Teori Pertumbuhan Teori Ketimpangan

terlatih yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jones melihat, bahwa pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja potensial, dan menjadi lebih siap latih dalam pekerjaannya yang akan memacu tingkat produktivitas tenaga kerja, yang secara langsung akan meningkatkan pendapatan nasional. Muhammad Fachrurro 2008,. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa belanja modal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PE dan PR. Jika dilihat lebih mendalam, tingkat ketergantungan belanja modal lebih dominan terhadap PR. Pada analisis terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat kecil pada belanja modal. Kata kunci : Belanja Modal BM, Pertumbuhan Ekonomi PE, Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah PR

2.2. Kerangka Teori

2.2.1 Teori Pertumbuhan

Model pertumbuhan Solow memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang diminishing returns jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap constant returns to scale Todaro dan Smith, 2006. Model pertumbuhan Solow memakai fungsi produksi agregat standar, yaitu: α α − = 1 AL K Y Dimana: Y : Produk domestik bruto PDB K : Stok modal fisik dan modal manusia L : Tenaga kerja A : Tingkat kemajuan teknologi α : Elastisitas output terhadap modal persentase kenaikan PDB yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia.

2.2.2 Teori Ketimpangan

Model neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar, akibatnya modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Ketimpangan pada negara sedang berkembang relative lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Oleh sebab itulah, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat didaerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Penelitian tentang hipotesis neoklasik dilakukan oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hipotesis neoklasik ternyata terbukti benar secara empirik. Fakta empirik ini menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh negara. Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang dapat digunakan mengidentifikasi adanya ketimpangan adalah indeks williamson. Pembangunan ekonomi di Provinsi Banten masih meninggalkan masalah yang sama dihadapi oleh beberapa provinsi lain, di Indonesia. Masalah yang timbul adalah ketimpangan antar kabupatenkota. Hal ini disebabkan karena perbedaan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi terhadap kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Dalam formulasi kebijakan diperlukan suatu kajian yang lebih dalam terhadap suatu daerah atau wilayah yang akan dijadikan sasaran. Setiap daerah atau wilayah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Pertumbuhan ekonomi dan struktur ekonomi merupakan ukuran yang harus diidentifikasi terlebih dahulu. Provinsi Banten merupakan provinsi yang relatif lebih baik dibandingkan dengan provinsi muda Indonesia lainnya Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku Utara, dari segi perekonomian maupun sarana prasarana yang ada. Namun demikian, di dalam Provinsi Banten masih terjadi ketimpangan antar kabupatenkota. Ketimpangan ini salah satunya terlihat dari ketersediaan tenaga kerja, modal dan teknologi yang menunjang dalam kegiatan ekonomi, adapun indikator tenaga kerja yang digunakan adalah angkatan kerja, indikator modal yaitu belanja modal pemerintah dan indikator teknologi yang digunakan indikator dari pendidikan yaitu angka melek huruf . Untuk lebih jelas tentang kerangka pikir sehingga dapat memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti, maka disajikan diagram alur kerangka pemikiran operasional pada gambar 2.1. Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Pembanguan Ekonomi Provinsi Banten Identifikasi Ketimpangan di Provinsi Banten dan Klasifikasi daerah: - Daerah cepat maju dan cepat tumbuh - Daerah maju tapi tertekan - Daerah berkembang cepat - Daerah relatif tertinggal Strategi pembangunan ekonomi di Provinsi Banten Analisis pengaruh belanja modal pemerintah, angkatan kerja dan angka melek huruf terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Banten Implikasi Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan ekonomi Pendapatan per kapita Struktur perekonomian Terjadi ketimpangan Faktor pertumbuhan seperti SDM, teknologi dan modal tidak merata di setiap kabupatenkota

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data panel, yang merupakan kombinasi antara data time-series dan cross-section. Jumlah individu yang digunakan yaitu 6 kabupatenkota yang ada di Provinsi Banten dan dalam kurun waktu 8 tahun 2001 - 2008, sehingga jumlah observasi 48 buah. Data diperoleh dari BPS Provinsi Banten. Adapun rincian data yang digunakan dalam kajian yaitu: 1. Data Produk Domestik Regional Bruto PDRB ADHK 2000 seluruh kabupatenkota di Provinsi Banten, yang dirinci menurut lapangan usaha sektor tahun 2001 - 2008, yang dipublikasikan oleh BPS Provinsi Banten. 2. Data Produk Domestik Regional Bruto PDRB ADHB 2000 seluruh kabupatenkota di Provinsi Banten, yang dirinci menurut lapangan usaha sektor tahun 2001 - 2008, yang dipublikasikan oleh BPS Provinsi Banten. 3. Data kependudukan masing-masing kabupatenkota di Provinsi Banten yang didapatkan dari hasil Sensus Penduduk dan Susenas serta Sakernas tahun 2001-2008 yang diambil dari Daerah Dalam Angka dan Pengolahan oleh BPS Provinsi Banten. 4. Data APBD di masing-masing kabupatenkota se Provinsi Banten dari tahun 2001 - 2008, yang diambil dari publikasi Statistik keuangan BPS.