Sakarifikasi PENGARUH PEMANASAN GELOMBANG MIKRO MICROWAVE PADA

35 autohidrolisis. Oleh sebab itu, total gula dan gula pereduksi bukan merupakan indikasi utama bahwa kondisi substrat telah sesuai untuk keseluruhan hidrolisis enzimatis sifat penerimaan enzim dan daya cerna pati dan serat baik untuk tahap likuifikasi maupun sakarifikasi. Kriteria pemilihan perlakuan pemanasan terbaik juga ditinjau dari jumlah energi panas yang dalam hal ini terkait dengan asumsi suhu yang diterima substrat. Suhu gelatinisasi sagu adalah 72-90 o C sedangkan untuk selulosa di atas 100 o C. Menurut Runkel and Wilke 1951, hemiselulosa terdegradasi pada suhu antara 130°C sampai 194°C, sedangkan lignin terdegradasi pada suhu di atas 170°C. Pemanasan pada suhu 259-452 o C menyebabkan rantai makromolekul selulosa terputus dan pada suhu 452-500 o C material menjadi stabil Sergeeva dan Vaivads 1954, namun warna sampel mulai gelap akibat pemekatan pada suhu 150 o C dan pada suhu 200 o C, reaksi pencoklatan akan menghasilkan furfural. Pada Tabel 6, telah diketahui bahwa pemanasan pada aras daya 50 memberikan energi sebesar 500 watt sedangkan energi yang diterima bahan dengan aras daya 30 ialah 350 watt. Demand Media 2011, menyetarakan aras daya 100 pada oven gelombang mikro dengan suhu 425 o F sedangkan aras daya 50 setara dengan suhu 350 o F. Suhu 350 o F setara dengan 177 o C sehingga pemanasan dengan aras daya 50 lebih baik untuk pemutusan rantai molekul lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Pemanasan pada aras daya 30 berada di bawah suhu 350 o F atau dibawah 177 o C sehingga pada kondisi pemanasan tersebut, ada kemungkinan hanya ujung-ujung rantai selulosa yang terdegradasi atau sebagian serat saja yang telah rusak. Autohidrolisis secara langsung dapat membentuk gula-gula sederhana namun sejumlah bagian lignin dan komponen serat lainnya belum terkena perlakuan pemanasan. Itulah sebabnya jumlah air bebas yang tersisa pada pemanasan aras daya 30 lebih banyak dibandingkan aras daya 50, bobot residunya lebih rendah, dan jumlah gula yang dihasilkan lebih banyak untuk tahap likuifikasi. Dengan adanya kemungkinan ini, maka diduga akan menyulitkan penetrasi enzim selulase dan hemiselulase untuk dapat infiltrasi ke dalam substrat sehingga pada akhirnya akan mengurangi rendemen gula-gula pereduksi. Atas dasar penjelasan tersebut, maka perlakuan P 5 U 7 dianggap lebih baik daripada perlakuan P 3 U 7 sehingga perlakuan P 5 U 7 yang dipilih untuk memasuki tahap sakarifikasi.

2. Sakarifikasi

Likuifikasi merupakan hidrolisis parsial oleh enzim α-amilase untuk menghasilkan glukosa, maltosa, maltotriosa, dan α-limit dekstrin. Nilai DP terkecil yang diperoleh dari tahap likuifikasi adalah 2.42. Hal ini berarti polimer glukosa telah terpotong-potong menjadi monomer-monomer glukosa berantai tiga maltotriosa, glukosa berantai dua maltosa, dan α-limit dekstrin yang merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-1,6-glikosidik. Komponen serat yang terdapat di dalam slurry tidak dapat dihidrolisis oleh enzim α-amilase. Sakarifikasi merupakan hidrolisis lanjutan setelah likuifikasi dan bertujuan untuk meningkatkan pembentukan gula-gula sederhana dari hasil likuifikasi dan serat. Pemanasan dengan microwave menyebabkan struktur lignin dan serat mengalami degradasi. Pada selulosa dan hemiselulosa, perlakuan pemanasan menyebabkan pori-pori membesar sehingga dapat memudahkan aksesbilitas enzim untuk infiltrasi ke dalam substrat. Kerja konsorsium enzim dextrozyme, selulase, dan hemiselulase akan meningkatkan jumlah pembentukan gula-gula pereduksi dari tahap hidrolisis parsial yaitu likuifikasi. Sakarifikasi tepung empulur sagu menggunakan konsorsium enzim yang terdiri dari dextrozyme AMG dan Pullulanase, selulase, dan xilanase. Inkubasi enzim dilakukan pada shaker waterbath dengan suhu 50 o C selama 48 jam. Sebagaimana likuifikasi, pada akhir sakarifikasi sampel diambil filtrat dan 36 residunya untuk dianalisis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Derosya 2010, konsentrasi enzim konsorsium untuk sakarifikasi adalah 0.3 Ug dextrozyme, 1 Ug selulase, dan 1 Ug xilanase. Nilai DP produk akhir yang diperoleh ialah 2.2. Dari hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa masih terdapat komponen gula kompleks yang belum terhidrolisis oleh konsorsium enzim. Seperti halnya pada tahap likuifikasi, diasumsikan bahwa konsentrasi konsorsium enzim untuk sakarifikasi masih perlu ditingkatkan. Oleh sebab itu, dilakukan peningkatan konsentrasi konsorsium enzim pada tahap sakarifikasi. Perlakuan dengan peningkatan konsentrasi enzim terdiri atas : 0.6 Ug dextrozyme, 2 Ug selulase, dan, 2 Ug xilanase. Hasil analisa sakarifikasi seperti yang disajikan pada Tabel 9, memperlihatkan bahwa semakin tinggi kombinasi konsentrasi enzim pada tahap likuifikasi dan sakarifikasi maka pembentukan gula-gula sederhana semakin meningkat ditandai dari jumlah total gula dan gula pereduksi yang semakin meningkat dari perlakuan P 5 U 1 K, P 5 U 7 K, P 5 U 7 P, dan P 5 U 7 T. Peningkatan konsentrasi enzim menyebabkan kinetika enzim untuk memotong substrat menjadi monomer-monomer gula juga akan semakin meningkat. Total gula dan gula pereduksi tertinggi diperoleh dari perlakuan P 5 U 7 T. Dengan demikian terbukti bahwa pemanasan dengan menggunakan gelombang mikro pada aras daya 50 memberikan kondisi ideal untuk kontak enzim dengan substrat sehingga dengan semakin meningkatnya konsentrasi enzim, pemotongan gula kompleks menjadi monomer gula semakin meningkat. Hal ini dapat terlihat dari jumlah peningkatan gula pereduksi yang hampir 2 kali lipat jumlahnya dari hasil likuifikasi untuk perlakuan P 5 U 7 T. Uji homogenitas pada total gula dan gula pereduksi untuk tahap sakarifikasi memperlihatkan bahwa perlakuan pemanasan gelombang mikro terhadap perbedaan konsentrasi enzim berbeda nyata dengan perlakuan P 5 U 7 T sebagai perlakuan terbaik. Nilai DP dan DE terbaik diperoleh dari perlakuan P 5 U 7 T. Jumlah peningkatan gula pereduksi lebih besar dibandingan total gula sehingga nilai DP yang semula 2.42 dari tahap likuifikasi turun menjadi 1.36. Sementara itu, nilai DE yang semula 44.4 dari tahap likuifikasi meningkat menjadi 73.9. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Derosya 2010, terdapat peningkatan nilai DE dan penurunan nilai DP, dimana pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Derosya 2010 nilai DP ialah 2.2 dan nilai DE adalah 44.6. Peningkatan hasil ini menggambarkan perlakuan pemanasan dengan menggunakan gelombang mikro pada aras daya 50 tidak menimbulkan sifat resisten substrat terhadap enzim sehingga peningkatan kombinasi konsentrasi enzim menjadi 7 Ug α-amilase, 0.6 Ug dextrozyme, 1 Ug selulase, dan 1 Ug xilanase tidak membuat suasana enzim jenuh dan justru meningkatkan kinetika hidrolisis oleh enzim. Suasana enzim yang jenuh dapat menyebabkan repolimerisasi Winarno 1986. Jika repolimerisasi terjadi maka, nilai DP justru meningkat dan nilai DE semakin menurun. Uji homogenitas pada nilai DP dan DE untuk tahap sakarifikasi memperlihatkan bahwa perlakuan pemanasan gelombang mikro terhadap perbedaan konsentrasi enzim konsorsium tidak berbeda nyata dengan perlakuan P 5 U 7 T sebagai perlakuan terbaik. Nilai DP maksimum yang diperoleh belum mencapai tepat 1, menandakan masih terdapatnya gula kompleks walaupun dalam jumlah yang sedikit. Menurut Chaplin dan Buckle 1990, proses sakarifikasi sebaiknya dihentikan manakala nilai DP hampir mencapai 1, peningkatan konsentrasi enzim dan waktu inkubasi justru akan menyebabkan terbentuknya isomaltosa sebagai akumulasi repolimerisasi glukosa. Dekstrosa murni adalah dekstrosa dengan derajat polimerisasi 1 unit dekstrosa tunggal atau dengan kata lain dextrose equivalent DE di dalam sirup mencapai 100 Kearsley dan Dziedzic 1995. Seperti halnya nilai DP, nilai DE belum mencapai angka maksimum namun secara umum kerja konsorsium enzim dapat dikatakan telah optimal mengingat nilai DP yang dicapai mendekati 1. 37 Tabel 9. Karakteristik Filtrat dan Residu Hasil Sakarifikasi Perlakuan Total Gula gl Gula Pereduksi gl Derajat Polimerisasi Dextrose Equivalent Volume Filtrat ml Bobot Residu g Kejernihan Filtrat T P 5 U 1 K 91.5 c 54.5 b 1.89 a 53.1 b 62.7 3.6 45.1 P 5 U 1 T 98.4 bc 56.9 b 1.67 ab 60.2 ab 63.5 3.5 41.4 P 5 U 7 K 102.4 b 60.5 b 1.64 ab 61.3 ab 64.5 3.3 33.3 P 5 U 7 T 110.2 a 78.0 a 1.36 b 73.9 a 70.0 3.1 32.8 Keterangan: K Konsentrasi dextrozyme 0.3 Ug, Selulase 1 Ug, dan Xilanase 1 Ug T Konsentrasi dextrozyme 0.6 Ug, Selulase 2 Ug, dan Xilanase 2 Ug 38 Nilai DE akan meningkat jika jumlah gula pereduksi juga meningkat, demikian pula nilai DP akan menurun dengan semakin banyaknya pembentukan gula pereduksi. Adanya sejumlah gula kompleks yang masih tersisa pada akhir sakarifikasi diduga merupakan sejumlah serat yang masih terikat oleh lignin. Komposisi lignin di empulur sagu pada penelitian ini lebih besar 6.86 daripada komposisi lignin pada penelitian Derosya 2010 yaitu sebesar 1.4. Dengan perlakuan pemanasan yang sama namun jumlah lignin yang lebih tinggi maka degradasi lignin tidak berlangsung dengan sempurna. Lignin adalah material yang paling kuat dalam biomassa, namun sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia. Karena kandungan karbon yang relatif tinggi dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa, lignin memiliki kandungan energi yang tinggi. Oleh sebab itu, peningkatan konsentrasi konsorsium enzim melebihi konsentrasi enzim pada perlakuan P 5 U 7 T diduga tidak akan memberikan peningkatan gula-gula pereduksi lagi. Selain itu juga dikhawatirkan akan terjadi repolimerisasi apabila konsentrasi konsorsium enzim ditingkatkan lagi. Hal ini juga perlu dipertimbangkan secara komersial mengingat peningkatan konsentrasi enzim berarti peningkatan biaya sementara hasil yang akan diperoleh belum tentu signifikan terhadap hasil terbaik yang telah diperoleh P 5 U 7 T. Volume filtrat pada tahap sakarifikasi meningkat dari tahap likuifikasi. Hal ini dikarenakan jumlah gula yang terbentuk semakin meningkat. Gula yang terbentuk merupakan gula-gula sederhana yang larut dalam slurry dari hasil degradasi selulosa dan hemiselulosa disertai peran enzim dextrozyme yang menghidrolisis lanjut substrat dari tahap likuifikasi. Volume filtrat tertinggi dari perlakuan P 5 U 7 P yaitu perlakuan dengan konsentrasi enzim tertinggi. Peningkatan konsentrasi enzim memberikan lebih banyak enzim untuk memotong gula kompleks menjadi monomer gula. Bobot residu pada tahap sakarifikasi lebih rendah dari tahap likuifikasi, berarti sejumlah bahan yang tidak terhidrolisis dari tahap likuifikasi telah dihidrolisis oleh konsorsium enzim sehingga komponen yang tidak terhidrolisis berkurang. Bobot residu terendah diperoleh dari perlakuan P 5 U 7 P. Hal ini disebabkan konsentrasi dextrozyme dan enzim penghidrolisis serat ditingkatkan sehingga lebih banyak komponen serat dan oligosakarida yang terdegradasi menjadi gula-gula sederhana. Akibatnya, jumlah bahan yang tidak terhidrolisis semakin berkurang. Pengurangan bobot residu pada tahap sakarifikasi tidak signifikan dengan tahap likuifikasi, artinya jumlah bobot yang berkurang masih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh keberadaan komponen lignin di dalam bahan yang menghalangi penetrasi enzim penghidrolisis serat. Selain itu juga dapat disebabkan oleh masih adanya bahan tidak larut yang sebenarnya bukan merupakan pati maupun serat selulosa dan hemiselulosa di dalam substrat empulur sagu. Menurut Komaki 1969, kandungan partikel pati tidak larut bervariasi antara spesies satu dengan spesies lain. Kejernihan filtrat pada tahap sakarifikasi semakin menurun dibandingkan pada tahap likuifikasi, sebab jumlah total padatan gula terlarut dalam filtrat semakin meningkat. Kejernihan filtrat terendah juga diperoleh dari perlakuan P 5 U 7 T sehingga hasil hidrolisis yang diperoleh dari perlakuan P 5 U 7 T untuk semua parameter saling berkorelasi dimana dengan semakin meningkatnya konsentrasi enzim α-amilase, dextrozyme, selulosa, dan hemiselulosa maka semakin meningkat juga substrat terhidrolisis oleh enzim sehingga gula-gula pereduksi yang terbentuk juga semakin meningkat. Peningkatan gula pereduksi ditandai dengan menurunnya nilai DP, bobot residu ,dan kejernihan filtrat, meningkatnya nilai DE, volume filtrat, gula total gula, serta gula pereduksi. 39 Secara umum, struktur ampas seperti yang disajikan pada Gambar 12, pada empulur sagu setelah tahap sakarifikasi masih menyisakan komponen serat dan granula pati. yang tidak terhidrolisis namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan residu pada tahap likuifikasi. P 5 U 1 K P 5 U 1 T P 5 U 7 K P 5 U 7 T Keterangan: 1. Biru-keunguan : komponen pati dan serat yang telah rusak struktur kristalinnya 2. Biru : struktur kristalin pati dan serat 3. Bulat transparan : granula pati 4. Susunan biru : komponen ujung serat 5. Bulat hitam : struktur serat yang masih utuh 6. Kekuningan : struktur serat yang telah rusak Gambar 12. Penampakan mikroskopik cahaya terpolarisasi perbesaran 100x empulur sagu setelah proses sakarifikasi Perlakuan pemanasan oleh gelombang mikro tidak sepenuhnya merusak struktur serat, karena cenderung merusak struktur lignin terlebih dahulu. Adanya granula pati yang sudah tergelatinisasi namun tidak terhidrolisis terlihat pada perlakuan P 5 U 1 K, P 5 U 1 T, dan P 5 U 7 K merupakan bukti bahwa konsentrasi enzim pada bahan tersebut belum mencukupi kebutuhan untuk menghidrolisis substrat sedangkan pada perlakuan P 5 U 7 T jumlah serat dan granula pati yang tidak terhidrolisis lebih sedikit dibandingkan perlakuan lainnya. Adanya struktur kristalin serat pada perlakuan P 5 U 7 T merupakan indikasi masih adanya komponen serat yang tidak rusak sehingga tidak dapat diakses oleh enzim. Berdasarkan hasil analisa dan pengamatan pada tahap perlakuan pendahuluan pemanasan gelombang mikro dan hidrolisis enzimatis, diperoleh DP terkecil 1.36 dengan DE tertinggi 73.9 dari perlakuan P 5 U 7 T sehingga perlakuan P 5 U 7 T merupakan perlakuan terbaik dan ditetapkan sebagai substrat pada tahap fermentasi menggunakan mikorba S. elippsoides dan Pichia stipitis. 3 6 4 3 5 5 6 6 5 5 6 3 40

E. PRODUKSI BIOETANOL