1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: 1 Menentukan komposisi hasil tangkapan jaring rampus yang diperoleh selama
penelitian; 2 Menentukan jumlah hasil tangkapan ikan layang Decapterus kurroides
dengan menggunakan jaring rampus pada hanging ratio yang berbeda; dan 3 Menentukan perbedaan cara tertangkap ikan layang Decapterus kurroides
pada jaring rampus dengan hanging ratio yang berbeda.
1.3 Manfaat
Manfaat penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan layang dengan menggunakan jaring
rampus di perairan Cisolok.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Layang Decapterus kurroides
2.1.1 Klasifikasi dan morfologi ikan layang
Menurut Bleeker 1855 diacu dalam Saanin 1984, ikan layang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Filum
: Chordata Super Kelas : Pisces
Kelas : Actinopterygii
Sub Kelas : Teleostei Ordo : Perciformes
Famili : Carangidae
Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus kurroides
Sumber: Bleeker 1985.
Ikan layang Decapterus kurroides memiliki ciri morfologi sebagai berikut, ikan layang memiliki panjang total TL sekitar 45 cm, dan panjang cagak FL
sekitar 30 cm. Ikan layang memiliki ciri khas yaitu sirip ekor caudal yang berwarna merah, sirip kecil finlet di belakang sirip punggung dan sirip dubur
dan terdapat gurat sisi lateral line Nontji, 2002. Ikan layang hidup di perairan lepas, dan ikan ini biasa memakan plankton-plankton kecil. Decapterus kurroides
memiliki ciri morfologi sebagai berikut, ikan ini memiliki dua sirip punggung dorsal, dorsal 1 memiliki 8 jari-jari keras dan dorsal 2 memiliki 1 jari-jari keras
dan 28-29 jari-jari lemah. Sirip dubur anal memiliki 3 jari-jari keras dan 22-25 jari-jari lemah. Tubuhnya memiliki warna hijau kebiruan di daerah atas dan
keperakan di daerah bawah, operculum memiliki bintik-bintik hitam kecil. Insang dilindungi oleh membran halus.
2.1.2 Biologi
Dalam biologi perikanan, pencatatan perubahan-perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui ikan-ikan yang melakukan
reproduksi dan yang tidak. Pengetahuan mengenai tahap kematangan gonad ini juga akan diperoleh keterangan bila ikan itu akan memijah. Dengan mengetahui
ukuran ikan untuk pertama kali matang gonad, ada hubungannya dengan pertumbuhan
ikan itu
sendiri dan
faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhinya Effendi, 2002.
Dasar yang dipakai untuk menentukan tingkat kematangan gonad dengan pengamatan secara morfologi melalui bentuk, ukuran panjang, berat, warna dan
perkembangan isi gonad yang dapat dilihat. Beberapa tanda yang dapat dilakukan untuk membedakan kelompok dalam penentuan Tingkat Kematangan Gonad
TKG di lapangan antara lain adalah Tabel 1 :
Tabel 1 Penentuan tingkat kematangan gonad TKG di lapangan.
No. Ikan betina
Ikan jantan
1. 2.
3.
4. 5.
Bentuk ovarium Besar kecilnya ovarium
Pengisian ovarium dalam rongga tubuh
Warna ovarium Halus tidaknya ovarium
Bentuk testes Besar kecilnya testes
Pengisian testes dalam rongga tubuh
Warna testes Keluar tidaknya cairan dari testes
Sumber : Effendi, 2002
Untuk mendapatkan gambaran Tingkat Kematangan Gonad digunakan skala Kematangan Gonad dalam Effendi 2002 sebagaimana Tabel 2 berikut :
Tabel 2 Skala tingkat kematangan gonad ikan
TKG Tingkat kematangan Deskripsi
1. Belum matang, dara
Immature Ovari dan testis kecil, ukuran hingga ½ dari
panjang rongga
badan. Ovari
berwarna kemerahan jernih translucent, testis keputihan,
dan butiran telur tidak nampak. 2.
Perkembangan Maturing
Ovari dan testis sekitar ½ dari panjang rongga badan. Ovari merah-orange, translucent, testis
putih, kira-kira simetris. Butiran telur tidak Nampak dengan mata telanjang.
3. Pematangan
Ripening Ovari dan testis sekitar 23 dari panjang rongga
badan. Ovari kuning-orange, nampak butiran telur, testis putih kream. Ovari dengan pembuluh
darah di permukaan. Belum ada telur-telur yang transparan atau translucent, telur masih gelap.
4. Matang, mature Ripe Ovari dan testis kira-kira 23 sampai memenuhi
rongga badan. Ovari berwarna orange-pink dengan
pembuluh-pembuluh darah
dipermukaannya. Terlihat telur-telur besar, transparan, telur-telur matang ripe. Testis
putih-kream, lunak. 5.
Mijah, Salin Spent Ovari dan testis menyusut hingga ½ dari rongga
badan. Dinding tebal, di dalam ovari mungkin masih tersisa telur-telur gelap dan matang yang
mengalami desintegrasi akibat penyerapan, gelap atau translucent. Testis lembek.
Sumber : Effendi, 2002
Adapun Dalam pencatatan komposisi kematangan gonad dihubungkan dengan waktu akan didapat daur perkembangan gonad tersebut, namun
bergantung kepada pola dan macam pemijahannya spesies yang bersangkutan. Prosentase TKG dapat dipakai untuk menduga waktu terjadinya pemijahan.
Ikan yang mempuyai satu musim pemijahan panjang, akan ditandai dengan peningkatan prosentase TKG yang tinggi pada saat akan mendekati musim
pemijahan. Bagi ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun, pada pengambilan contoh setiap saat akan didapatkan komposisi tingkat kematangan
gonad TKG terdiri dari berbagai tingkat dengan prosentase yang tidak sama. Prosentase yang tinggi dari TKG yang besar merupakan puncak pemijahan
walaupun pemijahan sepanjang tahun. Jadi dari komposisi TKG ini dapat diperoleh keterangan waktu mulai dan berakhirnya kejadian pemijahan dan
puncaknya Effendi, 2002. TKG, dapat dikaitkan dengan ukuran ikan dan dapat mengarah kepada
identifikasi panjang saat pertama matang gonad length of first maturity. Informasi ini dapat dijadikan dasar pengaturan besarnya mata jaring. Besarnya
mata jaring ditetapkan sedemikian rupa sehingga paling tidak ikan yang ditangkap sudah memijah, minimal satu kali memijah Badrudin, 2004.
2.1.3 Habitat
Ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis layang yang umum yakni Decapterus kurroides, Decapterus russelli, Decapterus macrosoma,
Decapterus layang , dan Decapterus maruadsi FAO,1974. Penyebaran ikan
layang ini sangat menyebar di daerah Perairan Indonesia, yaitu dari Pulau Seribu, P. bawean, P. Masalembo, Selat Makassar, Selat Karimata, Selat Malaka, Laut
Flores, Arafuru, Selat Bali, dan Perairan Selatan Pulau Jawa. Decapterus kurroides
termasuk jenis ikan layang yang agak langka yang terdapat di perairan Palabuhanratu, Labuhan, Muncar, Bali dan Aceh Wiews et al., 1968 diacu dalam
Genisa, 1988. Jenis ikan layang yang banyak di perairan Cisolok adalah jenis layang Decapterus Kurroides dan masyarakat sekitar perairan Cisolok
menyebutnya ikan selayang. Penyebaran ikan layang Decapterus kurroides di dunia antara lain
menyebar di perairan Pasifik Barat Indonesia, Perairan Afrika Timur sampai Filiphina, Perairan Utara sampai selatan Jepang, Perairan Selatan sampai Barat
Australia Bleeker, 1855 diacu dalam Saanin, 1984. Lingkungan ikan layang Decapterus kurroides
cukup berbeda dengan jenis genus decapterus lainnya,
ikan layang ini berada di kedalaman 100-300 m, dan biasanya berada di kedalaman 150-300 m, dan biasa berinteraksi di karang Bleeker, 1855 diacu
dalam Saanin, 1984.
Ikan layang merupakan jenis ikan yang hidup dalam air laut yang jernih dengan salinitas tinggi. Ikan layang bersifat stenohalin hidup di air laut yang
bersalinitas tertentu yaitu antara 32-33, sehingga dalam kehidupannya dipengaruhi oleh musim dan ikan ini selalu bermigrasi Handenberg, 1937 diacu
dalam Nontji, 2002.
2.1.4 Sebaran
Ikan layang tersebar diseluruh dunia. Mereka mendiami perairan tropis dan subtropis di Indo-Pasifik dan Lautan Atlantik. Meskipun ikan layang hidup di
wilayah yang luas, setiap jenis mempunyai sebaran tertentu dan ada juga yang daerah sebarannya tumpang tindih satu sama lain. Dari berbagai jenis ikan layang
di perairan Indonesia hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah sebaran yang luas. Ikan ini hampir tertangkap di seluruh perairan Indonesia dan di laut
Jawa sangat dominan di dalam hasil tangkapan nelayan, mulai dari Pulau Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau Masa Lembu. Decapterus lajang senang hidup di
perairan dangkal dan Decapterus macrosoma di laut Jaluk. Anggapan ini hanya berdasarkan data penangkapan. Decapterus lajang tertangkap di Laut Jawa, Selat
Sunda, Selat Madura dan perairan laut dangkal, sedangkan Decapterus macrosoma
tertangkap di Laut Jeluk seperti Pulau Banda, Ambon, Sangihe, dan Selat Bali. Decapterus kurroides tergolong ikan yang langka tetapi di Gilimanuk
dan Bali Barat ikan ini cukup banyak tertangkap karena dijual dalam bentuk cue. Jenis ini tertangkap juga di Labuhan dan Palabuhanratu, Jawa Barat, dalam
jumlah besar pada musim tertentu Djamali, 1979.
2.1.5 Musim dan daerah penangkapan
Puncak produksi layang di Laut Jawa terjadi dua kali dalam setahun yang kurang lebih jatuh pada bulan Januari-Maret dan Juli-September. Puncak musim
ini dapat berubah maju mundur sesuai dengan perubahan musim. Pada perairan sebelah Timur Pulau Seribu layang tertangkap pada akhir Juni atau sampai awal
Juli berukuran kecil. Pada pekan-pekan berikutnya ikan layang menjadi besar hingga mencapai ukuran 15 cm dan produksinya pun meningkat. Menurut
Mubarak, 1972 telah melakukan penelitian layang di perairan Tegal dan mendapatkan jenis Decapterus russelli sebanyak 88 dan Decapterus
macrosoma 12. Adapun Puncak musim penangkapan terjadi pada bulan April –
Mei dan bulan Oktober-November. Produksi pada bulan Oktober-November lebih besar daripada bulan April-Mei.
Hardenberg 1937 diacu dalam Nontji 2002 mengatakan bahwa ruaya ikan layang di laut Jawa dan sekitarnya dengan arah gerakan ruayanya yang
sejalan dengan gerakan arus utama yang berkembang di laut Jawa pada musim tersebut sebagai berikut :
1 Pada musim Timur : bulan Juni-September banyak ikan layang di Laut Jawa. Ikan layang ini adalah ikan layang Timur yang terdiri dari 2 populasi, yakni
yang datang dari Selat Makassar dan yang datang dari laut Flores. Pada saat itu, dengan salinitas tinggi menyebar dari laut Flores masuk ke laut Jawa dan
keluar melalui Selat Karimata dan Selat Sunda; dan 2 Pada musim Barat : bulan Januari-April. Pada musim ini terdapat 2 dua
populasi yang masuk ke Laut Jawa yaitu ikan layang barat dan ikan layang utara. Populasi layang Barat memijah di Samudera Hindia sampai ke Selatan
Selat Sunda dan sekitarnya selanjutnya bermigrasi atau terbawa arus masuk ke Laut Jawa. Sementara itu populasi layang Utara memijah di Laut Cina
Selatan, pada musim Barat sebagian bermigrasi ke Selatan melalui Selat Sunda masuk ke Laut Jawa dan sebagian lagi ke Timur sampai ke Pulau
Bawean, Pulau Masalembo dan sebagian lagi membelok kearah Selatan Selat Bali. Pola ruaya ini sejalan dengan pola arus yang berkembang saat itu.
2.2 Jaring Rampus 2.2.1 Klasifikasi dan deskripsi
Menurut Martasuganda 2008, jaring insang diklasifikasikan menjadi 2 yaitu klasifikasi berdasarkan konstruksi dan klasifikasi berdasarkan metode
pengoperasian. Klasifikasi berdasarkan konstruksi, jaring insang diklasifikasikan
lagi berdasarkan jumlah lembar badan jaring dan berdasarkan pemasangan tali ris pada badan jaring.
1 Klasifikasi berdasarkan jumlah lembar badan jaring, jaring insang dibedakan ke dalam 3 jenis yaitu:
1 Jaring insang satu lembar Gillnet; 2 Jaring insang dua lembar semi tramel net double gillnet; dan
3 Jaring insang tiga lembar tramel net. 2 Klasifikasi berdasarkan pemasangan tali ris, jaring insang dapat dibagi lagi
kedalam empat jenis yaitu: 1 Pemasangan tali ris atas dan tali ris bawah disambungkan langsung
dengan badan jaring; 2 Pemasangan tali ris atas disambungkan langsung dengan badan jaring,
sedangkan tali ris bawah disambungkan dengan badan jaring melalui tali penggantung hanging twine;
3 Pemasangan tali ris atas disambungkan dengan badan jaring melalui tali penggantung hanging twine, sedangkan tali ris bawah disambungkan
langsung dengan badan jaring; dan 4 Pemasangan tali ris atas dan tali ris bawah disambungkan dengan badan
jaring melalui penggantungan hanging twine 3 Klasifikasi berdasarkan metode pengoperasian
Berdasarkan metode pengoperasiannya, jaring insang diklasifikasikan kedalam lima jenis, yaitu:
1 Jaring insang menetap set gillnet; 2 Jaring insang hanyut drift gillnet;
3 Jaring insang lingkar encircling gillnet; 4 Jaring insang giring frightening gillnet drive gillnet; dan
5 Jaring insang sapu rowed gillnet.
Jaring insang satu lembar adalah jaring insang yang badan jaringnya hanya terdiri atas satu lembar jaring, jumlah mata jaring ke arah mesh length dan ke arah
mesh depth disesuaikan dengan ikan yang akan dijadikan target tangkapan, daerah
penangkapan, metode
pengoperasian dan
kebiasaan nelayan
yang
mengoperasikannya. Pengoperasian dari jenis ini, ada yang dioperasikan dipermukaan, kolom perairan dengan cara diset atau dihanyutkan Martasuganda,
2008. Menurut Ayodhyoa 1981 jaring insang adalah jaring yang berbentuk
empat persegi panjang dengan ukuran mata yang sama pada seluruh tubuh jaring. Pada sisi atas jaring diletakkan pelampung float dan pemberat sinker pada sisi
bawah. Jaring akan terentang akibat dua gaya yang berlawanan arah, yaitu bouyancy
force dari float yang mengarah ke atas dan sinking force dari sinker- ditambah dengan berat jaring yang mengarah ke bawah.
Sadhori 1985 menyebutkan bahwa gillnet bila diartikan secara harfiah berarti jaring insang. Gillnet disebut jaring insang karena ikan yang tertangkap
oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup insangnya. Cara tertangkap ikan-ikan yang berukuran besar biasanya tergulung. Sementara jenis organisme air lainnya,
seperti udang, kepiting dan lobster, tertangkap secara tersangkut pada bagian capit atau sungutnya.
Penamaan gillnet di Indonesia beraneka ragam. Ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap. Ada pula yang menyebutnya sesuai
dengan posisi pemasangannya di dalam laut Ayodhyoa, 1981. Jaring rampus merupakan salah satu nama lokal untuk gillnet di Palabuhanratu Firmansyah,
1988; Ditjen Perikanan, 1994; Zarochman et al., 1996. Menurut Subani dan Barus 1989, jaring rampus dikelompokkan ke dalam jaring insang hanyut dasar
atau bottom gillnet. Cara pengoperasiannya dengan cara dihanyutkan di dasar perairan.
2.2.2 Konstruksi jaring rampus
Bahan dan bagian jaring rampus, menurut Sainsbury, 1971, terdiri dari badan jaring, tali ris atas, pelampung, tali ris bawah, pemberat dan tali selambar.
1 Badan jaring Badan jaring merupakan susunan dari mata jaring yang memiliki ukuran yang
homogen. Badan jaring umumnya dibuat dari bahan sintetis seperti nylon, amilon
. Bahan sintetis sengaja digunakan karena bersifat fleksibel dan kekuatan putus yang cukup tinggi, sehingga menyulitkan ikan yang sudah
terjerat untuk melepaskan diri. Warna benang disesuaikan dengan perairan untuk mengaburkan penglihatan ikan terhadap jaring rampus. Warna jaring
yang biasa digunakan adalah transparan, coklat dan biru Nomura dan Yamazaki, 1976. Pemakaian benang yang lebih lembut akan meningkatkan
daya tangkap jaring rampus; 2 Tali ris atas
Tali ris atas terbagi 2, yaitu tali pelampung untuk menggantungkan pelampung dan tali jaring untuk menggantungkan jaring bagian atas. Arah
pintalan kedua tali ini harus berbeda, yaitu arah S dan Z. Hal ini dimaksudkan agar tali ris atas tidak terbelit sewaktu jaring rampus dioperasikan. Bahan tali
ris atas yang digunakan adalah nilon polyethylene multifilamen; 3 Pelampung
Pelampung biasanya terbuat dari berbagai bahan, seperti styrofoam, polyvinyl choloride,
plastik atau karet. Jumlah pelampung yang digunakan tergantung pada panjang jaring yang dioperasikan. Pelampung berguna untuk
kesempurnaan rentangan tubuh dan bentuk jaring selama operasi. Banyaknya pelampung erat hubungannya dengan daya apung bouyancy, sedangkan
daya apung sendiri dipengaruhi oleh bentuk pelampung dan jenis bahan yang digunakan. Adapun untuk menjaga kesempurnaan daya apung maka
pelampung yang digunakan harus sejenis atau seragam, mempunyai specific gravity
yang kecil dan mempunyai tahanan yang cukup terhadap air Atmadja, 1980. Nukundan dan Narayanan 1975 diacu dalam Paryono,
1980 , mengemukakan bahwa pelampung yang biasa digunakan untuk alat penangkapan ikan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1 Low density material, misalnya kayu, bambu, cork, sponge plastik, dan thermocol
; dan 2 High density material, misalnya glass spheres, steel spheres, aluminium
spheres dan polyethelene spheres.
4 Tali ris bawah Tali ris bawah berjumlah 2 buah, yaitu tali pemberat untuk menggantungkan
pemberat dan tali jaring untuk menggantungkan jaring bagian atas. Arah
pilinan kedua tali ini juga harus berlawanan untuk menghindari jaring terbelit sewaktu dioperasikan. Pilinannya adalah S dan Z;
5 Pemberat Pemberat pada jaring rampus berfungsi untuk memberi gaya berat pada
jaring. Jumlah pemberat akan mempengaruhi kekenduran badan jaring. Bahan pemberat umumnya timah. Bahan lain yang terkadang digunakan adalah batu
atau baja; dan 6 Tali selambar
Tali selambar adalah tali yang dipasang pada kedua ujung alat tangkap jaring rampus. Pada saat jaring dioperasikan, salah satu ujung tali selambar
diikatkan pelampung tanda, sedangkan ujung lainnya diikatkan ke perahu. Panjang tali selambar sekitar 25-50 m, atau tergantung pada panjang jaring
dan ukuran perahu yang yang digunakan.
2.2.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan
ikan dengan gillnet
Nomura dan Yamazaki 1976, menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan dengan efisiensi gillnet adalah material jaring, fleksibilitas benang,
tekanan atau gaya-gaya yang bekerja pada benang, breaking strength, elongasi, warna jaring, mesh size dan hanging ratio. Hamley 1975 menyebutkan bahwa
seleksi jaring insang tergantung dari sejumlah faktor selain ukuran mata jaring: yakni konstruksi jaring, visibilitas dan kerentangan jaring, bahan jaring dan
bentuk serta tingkah laku ikan. Adapun Ayodhyoa 1981 mengatakan supaya ikan-ikan mudah terjerat pada mesh size atau terbelit pada tubuh jaring, maka
bahan yang digunakan pada waktu pembuatan tubuh jaring hendaklah memperhatikan hal-hal seperti: kekuatan dari twine, ketegangan rentangan tubuh
jaring, pengerutan jaring, tinggi jaring, mesh size dan ukuran besar ikan yang
menjadi tujuan penangkapan.
1 Bahan Jaring Bahan jaring yang mempengaruhi hasil tangkapan gillnet. Pada dasarnya
bahan jaring ada dua golongan besar yaitu bahan alami naturral fibres dan bahan buatan syntetis fibres. Bahan atau twine yang paling banyak
digunakan adalah yang terbuat dari syntetis. Beberapa jenis bahan jaring yang umum dan sesuai untuk pembuatan gillnet adalah polyamide, polypropylene,
polyester, cotton dan silk Bambang, 1975. Dewasa ini penggunaan bahan
alami terdesak oleh bahan sintenis yang mempunyai sifat lebih baik dan lebih efisien penggunaan waktu dan tenaga. Adapun untuk mendapatkan twine
yang lembut, ditempuh cara yang antara lain dengan memperkecil diameter twine
ataupun jumlah pilin per-satuan panjang dikurangi, ataupun bahan- bahan celup pemberi warna ditiadakan. Bahan nylon dipilih sebagai bahan
dasar gillnet karena memiliki karakteristik yang sesuai sebagai bahan dasar gillnet. Gillnet
menangkap ikan dengan cara menjerat memuntal. Oleh karenanya diperlukan bahan yang terbuat dan memiliki daya lentur dan daya
tahan putus yang tinggi. Sifat-sifat dari nylon menurut Soeprijono et al. 1975 diacu dalam Prasetyo, 2009 sebagai berikut:
1 Kekuatan dan daya mulur Nylon
memiliki kekuatan dan daya mulur berkisar dari 8,8 gramdenier dan 18 sampai 4,3 gramdiener dan 45. Kekuatan basahnya 80-90
kekuatan kering; 2 Tahan gosokan dan tekukan
Nylon mempunyai tahan tekukan dan gosokan yang tinggi. Tahan gosokan
nylon kira-kira 4 -5 kali tahan gosok wol; dan
3 Elastisitas Nylon
selain mempunyai kemuluran yang tinggi 22. Pada penarikan 8 nylon elastis 100, dan pada penarikan sampai 16 nylon masih
mempunyai elastisitas 91. 2 Ketegangan rentangan tubuh jaring
Rentangan yang dimaksud disini adalah baik rentangan ke arah lebar demikian pula rentangan ke arah panjang. Ketegangan rentangan ini, akan
mengakibatkan terjadinya tension baik pada float line ataupun pada tubuh jaring. Jika jaring direntang terlalu tegang maka ikan akan sukar terjerat, dan
ikan yang telah terjeratpun akan mudah lepas. Ketegangan rentangan tubuh jaring akan ditentukan terutama oleh bouyancy dari float, berat tubuh jaring,
tali temali, sinking force dari sinker dan juga shortening yang digunakan.
Adapun sebaliknya bila jaring terlalu kendur maka ikan sulit untuk melakukan penetrasi ke dalam mata jaring Ayodhyoa, 1981;
3 Shortening Shortening
mempengaruhi efisiensi penangkapan pada gillnet, karena merupakan faktor yang mempengaruhi bentuk mata jaring. Shortening yang
dimaksud disini adalah selisih antara panjang jaring dalam keadaan mata jaring tertutup stretch length dengan panjang tali ris dibagi panjang jaring
dalam keadaan mata jaring tertutup. Supaya ikan-ikan mudah terjerat gilled pada mata jaring dan juga supaya ikan-ikan tersebut setelah sekali terjerat
pada jaring tidak akan mudah terlepas, maka pada jaring perlulah diberikan shortening
yang cukup Atmadja, 1980. Nomura dan Yamazaki 1976 mengatakan bahwa untuk gillnet yang ikannya tertangkap secara gilled maka
nilai shortening bergerak sekitar 30-40 dan untuk yang tertangkapnya ikan secara entangle maka nilai shortening bergerak sekitar 35-60;
4 Hanging ratio Probabilitas dari seekor ikan dapat terjerat pada jaring diyakini tergantung
dari apa yang dinamakan dengan hanging ratio. Hanging ratio didefinisikan perbandingan antara panjang tali ris atas dengan jumlah mata jaring dan
ukuran mata jaring Sparre dan Venema, 1999. Adapun untuk menangkap ikan diperlukan hanging ratio sebesar 30 sudah cukup, tetapi jika
menginginkan ikan tertangkap secara entangled maka hanging ratio harus diantara 40-50 atau lebih, dan jika ikan tertangkap secara gilled dan
entangled pada waktu bersamaan, maka hanging ratio harus dimiliki sebesar
40 Nomura dan Yamazaki, 1976. Menurut Fridman 1988, hanging ratio dibagi menjadi dua, yaitu hanging ratio primer
dan hanging ratio sekunder
. Hanging ratio primer adalah perbandingan panjang
tergantung dari jaring pada tali rangka L dengan panjang jaring tersebut bila direntangkan penuh
dengan rumus : E
1
= LL ;
Hanging ratio sekunder adalah perbandingan tinggi depth tergantung H
dari jaring dengan tinggi jaring bila diratik tegang dengan rumus:
E
2
= HH
0 ;
Untuk mencari dan
menggunakan rumus : L
= 2 × m
s
× M = m
1
× M dan
H = 2 × m
s
× N = m
1
× N; Dimana M adalah jumlah mata menurut panjang jaring, N jumlah menurut
tingginya, ms adalah panjang kaki bar dan m
1
panjang mata jaring. Hubungan antara
dan adalah seperti rumus berikut :
E
1 2
+ E
2 2
= 1; Rumus ini berlaku untuk jaring berbentuk rhombic. Adapun untuk jaring
berbentuk persegi, rumus ini tidak berlaku. Tinggi jaring secara geometris tergantung pada hanging ratio primer yang dipilih. Sebaliknya bila hanging
ratio sekunder yang dipilih terlebih dahulu, maka hanging ratio primer akan
menyesuaikan. Nilai shringkage akan mempengaruhi bentuk mata jaring. Untuk bottom gillnet atau jaring rampus memerlukan shringkage yang tinggi,
khususnya untuk menangkap ikan dengan memuntal sekitar 30-50 . Pengukuran hanging ratio dilakukan dengan mengukur shringkage Nomura
dan Yamazaki, 1976. Hanging ratio drift gillnet berkisar 0,4-0,6 dan hanging ratio
bottom gillnet adalah 0,3-0,5. Nilai hanging ratio terendah 0,3 akan menambah daya puntal. Jika E 0,5, maka gillnet cenderung selektif
Prado, 1990. Secara detail beberapa ukuran hanging ratio yang berbeda pada jaring gillnet disajikan pada Gambar 1.
Sumber : Prado 1990
Gambar 1 Beberapa ukuran mata jaring dengan nilai hanging ratio berbeda. 5 Tinggi Jaring
Tinggi jaring merupakan jarak antara float line ke sinker line pada saat jaring tersebut terpasang di perairan. Hal ini tergantung pada swimming layer dari
jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, selain itu kondisi dari fishing ground
perlu menjadi pertimbangan Ayodhyoa, 1981. Ayodhyoa 1981 mengungkapkan bahwa penentuan tinggi jaring didasarkan antara lain
atas lapisan renang ikan yang menjadi tujuan penangkapan dan kepadatan gerombolan ikan. Sementara panjang jaring tergantung pada situasi
penangkapan, dan ukuran perahu. Jumlah lembar jaring yang dipergunakan akan menentukan besar kecilnya skala usaha, juga jumlah hasil tangkapan
yang mungkin diperoleh; 6 Mesh size
Pemilihan mesh size merupakan faktor yang penting karena besar mesh size pada gillnet akan menentukan ukuran ikan yang tertangkap secara terjerat
Mori, 1968. Selanjutnya dikatakan pula terdapat kecenderungan bahwa mesh size tertentu
hanya menjerat ikan-ikan yang mempunyai fork length dalam selang tertentu. Dengan perkataan lain, gillnet akan bersikap selektif
terhadap besar ukuran dari hasil tangkapan yang diperoleh. Oleh karena itu diperlukan penentuan mesh size yang sesuai dengan keadaan daerah
penangkapan, yaitu penyesuaian terhadap ukuran dan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Ukuran ikan yang tertangkap berhubungan erat
E = 0,4 E = 0,5
E = 0,71 E = 0,8
47° 90°
60° 106°
dengan ukuran mata jaring. Semakin besar ukuran mata jaring, maka akan semakin bersar pula ikan yang tertangkap Manalu 2003. Penetapan ukuran
mata jaring dapat berdasarkan pada ukuran jenis ikan yang dominan tertangkap. Gillnet yang dioperasikan di Indonesia umumnya memiliki
ukuran mata jaring yang berkisar antara 1,5”- 4”; 7 Warna jaring
Warna jaring di dalam air dipengaruhi oleh faktor-faktor kedalaman perairan, kecerahan, sinar matahari dan sinar bulan. Warna akan mempunyai perbedaan
derajat terlihat oleh ikan-ikan yang berbeda. Pada waktu siang hari kemungkinan terlihatnya jaring oleh ikan akan lebih besar dibandingkan
dengan pada waktu malam hari. Mori 1968 mangatakan bahwa warna jaring tidak boleh merangsang optik mata ikan. Maka dari itu warna jaring
harus serupa dengan warna air, untuk mengurangi kemungkinan terlihatnya jaring;
8 Extra bouyancy Extra bouyancy
pada gillnet berbeda-berda tergantung jenisnya, seperti extra bouyancy gillnet
permukaan berkisar antara 30-40 , gillnet extra bouyancy pertengahan adalah 0 dan extra bouyancy gillnet dasar adalah negatif. Rumus
dari gillnet extra bouyancy adalah : EB = TB – S TB × 100
; Keterangan :
EB : Extra bouyancy ;
TB : Total bouyancy; dan
S : Berat benda di air
Rumus untuk menghitung luas jaring adalah ;
Keterangan : L
: Luas jaring m
2
; E
: Hanging ratio ; N
: Jumlah mata jaring horizontal mata; H
: Jumlah mata jaring vertikal mata; dan α
: Ukuran mata jaring dalam keadaan tegang cm.
Menghitung tinggi jaring menggunakan rumus : ;
Keterangan : H
: Tinggi jaring; dan tm
: Tinggi jaring dalam keadaan tegang Perhitungan jumlah mata
1 Vertikal ;
2 Horizontal .
Keterangan : M
: Mesh size; H
m
: Tinggi jaring terpasang; L
: Panjang foatline; dan E
: Shortening.
2.2.4 Metode pengoperasian
Nomura dan Yamazaki 1976 mengemukakan bahwa umumnya gillnet dioperasikan dalam rangkaian yang panjang hingga mencapai ribuan meter.
Kadang kala dioperasikan secara terhanyut bersama-sama kapal atau ditetapkan kedudukan jaring dengan bantuan jangkar membentang sepanjang dasar perairan
maupun pada kedalaman tertentu. Ikan yang menjadi tujuan penangkapannya ialah jenis-jenis yang bermigrasi horizontal dan vertikal Ayodhyoa 1981.
Menurut Miranti 2007 secara umum metode pengoperasian alat tangkap gillnet terdiri atas beberapa tahap, yaitu :
1 Persiapan yang dilakukan nelayan meliputi pemerikasaan alat tangkap, kondisi mesin, bahan bakar kapal, perbekalan, es dan tempat untuk
menyimpan hasil tangkapan; 2 Pencarian daerah penangkapan ikan DPI, hal ini dilakukan nelayan
berdasarkan pengalaman-pengalaman melaut yaitu dengan mengamati
kondisi perairan
seperti banyaknya
gelembung-gelembung udara
dipermukaan perairan, warna perairan, serta adanya burung-burung di atas perairan yang mengindikasikan adanya schooling ikan;
3 Pengoperasian alat tangkap yang terdiri atas pemasangan jaring setting, perendaman jaring soaking dan pengangkatan jaring hauling; dan
4 Tahap penanganan hasil tangkapan adalah pelepasan ikan hasil tangkapan dari jaring untuk kemudian disimpan pada suatu wadah atau tempat.
Pengoperasian jaring rampus pada umumnya sama dengan jaring insang lainnya yaitu terbagi atas setting dan hauling. Pada waktu setting dilakukan
penurunan jangkar, tali pemberat, jaring, tali ris atas dan tali pelampung. Adapun ketika hauling dilakukan pengangkatan jangkar, tali ris atas, tali pemberat dan
hasil tangkapan. Direktorat Jendral Perikanan 1994 mengungkapkan hal yang sama dengan urutan sebagai berikut:
1 Jaring diturunkan lembar demi lembar dengan memperhatikan arah arus dan angin;
2 Ujung tali pelampung lembar jaring pertama yang diturunkan kedalam air diberi tali berpelampung tanda dan ujung tali pemberatnya diberi pemberat
batu; 3 Ujung tali pelampung lembar jaring terakhir diberi tali selambar
berpelampung tanda dan ujung tali pemberatnya diberi pemberat batu; 4 Kapal labuh jangkar didekat lokasi penawuran atau mencari tempat lain yang
aman; 5 Pengangkatan jaring dilakukan lembar demi lembar yang dimulai dengan
lembar jaring yang paling dekat ke kapal sampai dengan lembar pertama yang diturunkan;
6 Pengambilan ikan yang terjerat pada mata jaring dilakukan bersamaan dengan pengangkatan jaring; dan
7 Jaring disusun kembali secara teratur untuk penawuran berikutnya setelah semua ikan yang terjerat pada mata jaring dilepas.
2.2.5 Musim dan daerah penangkapan jaring rampus
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian jaring rampus adalah waktu penangkapan, daerah penangkapan, dan jaring. Adapun fishing
ground yang umum adalah daerah-daerah Teluk, pantai dan muara sungai
Ayodhyoa, 1981. Menurut Direktorat Jendral Perikanan 1994, jaring rampus dioperasikan pada perairan yang mempunyai substrat lumpur, pasir, atau pasir
bercampur lumpur dengan kedalaman sekitar 50 m.
2.2.6 Hasil tangkapan
Menurut Direktorat Jendral Perikanan 1994, hasil tangkapan utama jaring rampus adalah jenis-jenis ikan demersal, dan selebihnya ikan-ikan pelagis kecil.
Ikan demersal yang dominan antara lain adalah tiga jawa Johnius spp., gulamah Pseudociana spp., kuwe Caranx spp., layang decapterus spp, dan kuro
Polynemus spp. Adapun ikan pelagis yang biasa tertangkap adalah selar bentong Selaroides crumenopthalmus, japuh Sardinella spp., lemuru Sardinella sirm,
dan tenggiri Scomberomerous spp.
2.3 Kapal
Berdasarkan metode pengoperasian alat tangkapnya, kapal ikan dibedakan dalam empat kelompok besar, yaitu towed gear, kapal dengan alat tangkap ikan
yang ditarik; encircling gear, kapal dengan alat tangkap dilingkar; static gear, kapal dengan alat tangkap yang dioperasikan secara statis; dan multi purpose,
kapal dengan lebih dari satu alat tangkap Fyson J 1985. Kapal gillnet termasuk kedalam kelompok kapal dengan metode static gear, sehingga kecepatan kapal
bukanlah suatu faktor yang penting karena alat tangkap ini bekerja secara statis. Pada kapal gillnet stabilitas kapal yang tinggi lebih diperlukan agar saaat
pengoperasian alat tangkap dapat berjalan dengan baik Rahman 2005. Menurut Solihin 1993, umumnya kapal gillnet mengoperasikan berbagai jenis ukuran alat
tangkap. Gillnet pada mulanya dioperasikan menggunakan kapal-kapal kecil tanpa motor oleh nelayan tradisional. Adanya kemajuan dalam bidang motorisasi, maka
penggunaan kapal gillnet di Indonesia umumnya telah menggunakan penggerak mesin motor tempel outboard engine. Gillnet dengan skala usaha yang lebih
besar biasanya menggunakan tenaga penggerak jenis mesin dalam inboard engine
dan alat bantu roller untuk proses penarikan jaring. Kapal motor tempel outboard adalah kapal dengan mesin yang dapat
dipasang atau dilepaskan secara cepat yang digunakan untuk menangkap ikan dengan alat tangkap gillnet. Bentuk badan kapal gillnet pada bagian haluan “V”,
bagian tengah berbentuk “U” dan bagian buritan cenderung mendatar Agustina, 1996.
2.4 Nelayan