Jamur pelapuk kayu dapat berkembang dalam kondisi lingkungan yang cocok melalui perkecambahan spora atau pertumbuhan segmentasi hifa
mycelium yang berasal dari sumber-sumber yang terinfeksi di sekitarnya. Hifa tumbuh sepanjang permukaan kayu dan melakukan penetrasi untuk pertama kali
melalui dinding sel kayu atau lubang yang dibuat oleh hifa itu sendiri Haygreen dan Bowyer 1982; Manion 1981 dalam Herliyana 1997. Menurut Khan 1954
dan Shigo 1979 dalam Herliyana 1997 berpendapat bahwa kejadian tersebut merupakan awal dari proses pelapukan.
Kemampuan hifa menyerang sel-sel kayu ditentukan oleh kenormalan aktivitas pertumbuhan sel hifa yang ada pada ujung hifa, yang dikenal sebagai
zona sub-apikal hifa. Sel-sel pada ujung hifa selain dapat mengadakan proses biokimia juga dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk mempercepat
katalisator proses biokimia dalam rangka menembus dinding sel kayu serta perolehan zat makanan yang diperlukan hifa Haygreen dan Bowyer 1982 dalam
Herliyana 1997.
2.7. Komponen Kayu yang Digunakan Jamur
Pada prinsipnya bahan yang terkandung dalam kayu dapat dimanfaatkan oleh jamur. Holoselulosa selulosa dan hemiselulosa serta lignin yang secara
bersama-sama membentuk zat kayu, dirombak oleh mikroorganisme menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana dengan bantuan enzim tertentu, sehingga dapat
diabsorbsi dan dimetabolisme Tambunan dan Nandika 1989. Kayu adalah bahan alami yang berupa komposit dan terdiri atas sel-sel.
Kayu dapat pula disebut polimer alami, mengingat 97 − 99 bobotnya berupa
polimer sekitar 90 pada kayu tropis. Nicholas 1987 dalam Herliyana 2007, mengatakan bahwa dalam kegiatan pelapukan kayu jamur membutuhkan nitrogen
dan minerak-mineral. Kandungan nitrogen yang tersedia pada kayu kurang lebih 0,03
− 0,10, sedangkan kandungan abu mineral tersebut mampu mendukung kegiatan pelapukan oleh jamur.
2.8. Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk Kayu terhadap Sifat-sifat Kayu
Pengaruh serangan jamur pelapuk putih terhadap sifat-sifat kayu diantaranya adanya perubahan struktural kayu dari yang normal, pengurangan
berat yang disebabkan oleh hilangnya sebagian selulosa dan lignin karena dirombak jamur, berkurangnya kekuatan kayu, peningkatan kadar air karena kayu
yang telah diserang jamur banyak menyerap air dari pada kayu sehat, penurunan kalori terjadi karena intensitas pelapukan semakin tinggi maka nilai kalori
semakin rendah sebab kayu yang lapuk memberi panas yang rendah pada kayu yang sehat, perubahan warna pelapuk putih menimbulkan warna putih pada
bagian kayu yang terserang, perubahan bau akan menimbulkan bau yang tak sedap dan perubahan struktur mikroskopis pelapukan putih menyebabkan dinding
sel kayu semakin lama makin tipis dan akhirnya habis Nandika dan Tambunan
1989 dalam Herliyana 1997.
Jika jamur berkembang, akan terjadi perubahan sifat-sifat fisik dan kimia kayu yang terserang. Intensitas perubahan tersebut terutama tergantung pada
luasnya perubahan tersebut terutama dari organisme yang dihasilkannya. Kayu yang terserang jamur pelapuk P. ostreatus hampir sama dengan kayu yang
terserang jamur pelapuk putih lainnya, yaitu adanya perubahan warna kayu menjadi putih, kuning, merah cokelat atau cokelat muda Padlinurjaji 1979 dalam
Herliyana 1997. Jamur pelapuk putih dapat dibedakan dengan jamur pelapuk cokelat, salah
satunya secara kimiawi dengan larutan “guaicum” ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi biru pada media biakan jamur pelapuk putih, sedang
pada media biakan jamur pelapuk cokelat tidak menunjukkan perubahan Boyce 1961 dalam Herliyana 1997. Selain itu hampir semua jamur pelapuk putih
memproduksi enzim oksidase, sedang jamur pelapuk cokelat tidak memberikan reaksi oksidase Khan 1954; Boyce 1961 dalam Herliyana 1997.
Zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari suatu pohon dan bukan merupakan penyusun struktur kayu, namun zat ini cukup esensial dan berpengaruh
terhadap sifat-sifat kayu termasuk ketahanan terhadap serangan serangga dan organisme pelapuk lainnya karena bersifat racun Ediningtyas 1993. Jenis dan
banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu
menentukan keawetan alami suatu jenis kayu. Penggolongan keawetan alami kayu didasarkan pada keawetan kayu teras. Hal ini disebabkan adanya zat ekstraktif
seperti tanin dan senyawa-senyawa phenolik yang memiliki sifat racun dan dalam jumlah yang cukup dapat mencegah kerusakan kayu oleh faktor perusak,
sehingga terdapat perbedaan ketahanan antara kayu gubal dan kayu teras. Selanjutnya Tobing 1977 mengemukakan bahwa kayu gubal memiliki keawetan
yang rendah karena kayu gubal tidak mengandung zat ekstraktif. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Browning 1967 dalam Ediningtyas 1993 bahwa
tidak ada jenis kayu yang menghasilkan kayu gubal yang awet. Selain itu variasi keawetan juga terdapat di dalam kayu teras, dimana kayu teras bagian luar lebih
awet dibandingkan kayu teras bagian dalam Tobing 1977.
2.9. Struktur Kayu Daun Lebar