noktah atau langsung menembus dinding sel Fengel dan Wegener 1989 dalam Herliyana 2007.
Jamur pelapuk putih paling sering diuraikan sebagai pembuat penipisan progresif dari dinding sekunder, dimulai pada lumen dan maju keluar kearah
lamela tengah. Fungi yang menghasilkan lapuk putih mampu mencerminkan semua komponen kayu yang utama, yaitu fraksi-fraksi lignin dan karbohidrat.
Secara teoritik, fungi ini mampu menghasilkan degradasi sempurna dari substansi kayu. Dengan mengingat hal ini, bahwa fungi ini akan menghasilkan suatu
penipisan seragam atau penghapusan progresif dari dinding sel kayu. Dalam kenyataanya, dilihat ada dua tipe yang berbeda dari cendawan pelapuk putih : a.
mendekomposisikan lignin dan selulosa secara simultan lewat pembusukkan, dan b. memilih mendekomposisikan lignin pada tahap awal-awal pembusukan
Wilcox 1987.
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jamur
Jamur merupakan sekelompok tumbuhan tingkat rendah yang tidak berklorofil dan tubuhnya dapat terdiri dari satu sel atau lebih. Individu yang terdiri
atas satu sel biasanya berbentuk benang-benang halus yang disebut miselium atau hifa. Karena tidak berklorofil, untuk hidupnya, jamur memerlukan bahan organik
yang dapat diserap dari lingkungan sekitarnya heterotrof. Bahan-bahan organik tersebut didapatkan oleh jamur dari benda mati bersifat saprofitik ataupun dari
jasad hidup, seperti tumbuhan atau hewan bersifat parasitik Alexopoulos dan Mims 1979 dalam Herliyana 1997.
Demikian halnya dengan jamur pelapuk kayu, untuk perkembangannya selain dipengaruhi oleh struktur dan komposisi kimia kayu, juga sangat
dipengaruhi oleh faktor makanan atau nutrisi dan faktor-faktor lingkungan lainnya seperti suhu, pH dan kelembaban.
2.5. Siklus Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk
Umumnya siklus pelapukan oleh jamur pelapuk kayu dari kelas Basidiomycetes adalah sebagai berikut. Basidiospora menempel pada permukaan
kayu karena terbawa udara, air, serangga atau bahan-bahan yang mudah terkena infeksi. Apabila keadaan lingkungan sesuai, basidiospora tersebut akan
berkecambah menjadi hifa atau miselium yang berinti sel satu yang haploid miselium primer Tambunan dan Nandika 1989 dalam Herliyana 1997. Dua
hifa miselium primer yang kompatibel akan mengadakan somatogami sehingga terjadi dikarionasi terjadinya hifa baru dengan tetap berinti dua, sehingga
terbentuk miselium sekunder yang selanjutnya berinti dua yang masing-masing haploid Buller 1924 dalam Herliyana 1997. Miselium sekunder ini berkembang
secara khusus, yaitu tiap inti membelah diri dan hasil belahan tiap pasangan inti berkumpul lagi membentuk pasangan baru tanpa mengadakan kariogami dalam
sel baru, sehingga miselium sekunder tiap sel selalu berinti dua. Pembelahan tiap- tiap inti diikuti dengan terbentuknya suatu kait yang mengakibatkan terjadinya
suatu struktur pada tiap antar dua sel yang lama dan baru yang biasa disebut sambungan apit clamp connection Buller 1924 dalam Herliyana 1997. Setelah
terbentuk miselium sekunder yang sel ke sel pada kayu melalui lubang pengeboran yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan antara hifa itu dengan
dinding sel atau melalui noktah-noktah dan dinding sel kayu. 2.6 Proses Pelapukan Kayu
Cartwright dan Findlay 1958 dalam Herliyana 1997 mendefinisikan pelapukan kayu sebagai berkurangnya kepadatan kayu, disebabkan karena
terjadinya penguraian bahan dasar kayu oleh jamur. Karena jamur tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk bahan organik sendiri, maka bahan-
bahan organik kompleks yang ada dalam kayu dirombak untuk dijadikan sebagai sumber energi. Hasil dari proses respirasi oleh jamur tersebut berupa
karbondioksida sesuai dengan dikemukakan di bawah ini. C H O + 6O 5H O + 6CO
Jamur pelapuk kayu dapat berkembang dalam kondisi lingkungan yang cocok melalui perkecambahan spora atau pertumbuhan segmentasi hifa
mycelium yang berasal dari sumber-sumber yang terinfeksi di sekitarnya. Hifa tumbuh sepanjang permukaan kayu dan melakukan penetrasi untuk pertama kali
melalui dinding sel kayu atau lubang yang dibuat oleh hifa itu sendiri Haygreen dan Bowyer 1982; Manion 1981 dalam Herliyana 1997. Menurut Khan 1954
dan Shigo 1979 dalam Herliyana 1997 berpendapat bahwa kejadian tersebut merupakan awal dari proses pelapukan.
Kemampuan hifa menyerang sel-sel kayu ditentukan oleh kenormalan aktivitas pertumbuhan sel hifa yang ada pada ujung hifa, yang dikenal sebagai
zona sub-apikal hifa. Sel-sel pada ujung hifa selain dapat mengadakan proses biokimia juga dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk mempercepat
katalisator proses biokimia dalam rangka menembus dinding sel kayu serta perolehan zat makanan yang diperlukan hifa Haygreen dan Bowyer 1982 dalam
Herliyana 1997.
2.7. Komponen Kayu yang Digunakan Jamur