Ruang Terbuka Hijau TINJAUAN PUSTAKA

yang lebih luas, termasuk tanaman dan beragam jenis satwa yang telah berevolusi seiring dengan berkembangnya campur tangan manusia. Kedua, mengkonservasi bangunan dan praktek-praktek penggunaan lahan tertentu yang menyimpan sejarah manusia. Ketiga, memelihara gaya hidup lokal atau tradisional. Konsep yang dimiliki oleh lanskap yang dilindungi mampu memberikan hal tersebut melalui penyediaan sarana untuk mengontrol pembangunan yang tidak berbasis budaya lokal yang dapat merusak karakter sosial dari komunitas masyarakatnya. Keempat, mampu menawarkan kegiatan rekreasi dan inspirasi. Kelima, menawarkan nilai edukasi dan pemahaman yang dapat memberikan ilustrasi melalui contoh representatif terhadap bentukan-bentukan lanskap dari campur tangan manusia dan keberadaan manusianya itu sendiri dari lingkungan alami tempat di mana mereka tinggal. Keenam, mampu menunjukkan suatu sistem pada kegiatan pemanfaatan secara berkelanjutan yang selaras dengan alam. Kawasan ini akan lebih baik mampu memberikan nilai ekonomi bagi tempat tinggal mereka, menjaga identitas budaya dari komunitas masyarakatnya, memberikan kepuasan secara sosial dan spiritual, serta nyaman melalui keindahannya.

2.5 Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka open spaces suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi endemik, introduksi guna mendukung manfaat langsung danatau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH kota tersebut berupa keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan Departemen Pekerjaan Umum, 2005. RTH terdiri dari fungsi utama berupa fungsi ekologis dan fungsi tambahan berupa fungsi arsitektural, sosial, dan ekonomi. Keempat fungsi tersebut dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan pada suatu wilayah perkotaan. Fungsi ekologis RTH, yaitu untuk menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik. Bentuk RTH tersebut harus yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti. Adapun RTH untuk fungsi lain merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. RTH berdasarkan fungsinya memiliki manfaat yang terdiri dari manfaat langsung, seperti memperoleh barang-barang untuk dijual, kenyamanan fisik, keinginan, serta manfaat tidak langsung seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati Departemen Pekerjaan Umum, 2005. Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural antar komponen pembentuknya. Pola tersebut terdiri dari RTH struktural dan RTH non struktural. RTH struktural dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuk yang mempunyai pola hierarki planologis yang bersifat antroposentris, didominasi oleh fungsi-fungsi non ekologis dengan struktur RTH binaan yang berhierarki. Adapun RTH non struktural dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang pada umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris, fungsi ekologisnya yang sangat dominan dengan struktur RTH alami yang tidak berhierarki Departemen Pekerjaan Umum, 2005. RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi beserta rencana dan rancangan penggunaan lahannya. Jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan ekologis, sosial budaya, ekonomi, arsitektural pada suatu kota, akan mampu menjadi bahan tanaman utama penciri RTH kota bersangkutan. Hal ini selanjutnya dapat dikembangkan guna mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya hingga secara nasional. Hadirnya permasalahan mengenai RTH pun tidak dapat dipungkiri. Tiga hal utama yang menyangkut ketersedian dan kelestarian RTH dapat diakibatkan oleh 1 dampak negatif dari suboptimalisasi RTH yang tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas, 2 lemahnya lembaga pengelola RTH, 3 lemahnya peran stake holders, dan 4 keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH Departemen Pekerjaan Umum, 2005.

BAB III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada area rekreasi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang terletak di Kecamatan Jagakarsa, wilayah Jakarta Selatan. Area penelitian difokuskan pada dua kawasan inti untuk kegiatan rekreasi, yaitu area lingkar danau dan pekarangan warga yang berada di kawasan RT9 RT10RW8 Gambar 2. Kawasan ini dikelilingi empat kelurahan, yaitu Kelurahan Jagakarsa di bagian utara, Kelurahan Kalisari di bagian timur, Kelurahan Srengsengsawah di bagian selatan, dan Kelurahan Ciganjur di bagian barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2012. Gambar 2. Batas Kawasan Penelitian Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babaka