Kendala Optimalisasi dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan

Hasil analisis kelayakan usaha diperoleh nilai Net BC ratio untuk pedagang pengumpul sebesar 2.85 dan perusahaan sebesar 2.03 sehingga usaha yang dijalankan masih layak usaha dikembangkan. Nilai BEP untuk nilai produksi dengan harga ikan pedagang pengumpul dan perusahaan masing-masing sebesar 295 kg dan 494 kg. Selanjutnya berdasarkan nilai jual hasil tangkapan masing- masing sebesar Rp 3.281.581 per bulan dan Rp 1.344.191 per bulan. Pada kenyataannya volume produksi rata-rata unit pole and line sebesar 4140 kg per tahun dengan rata-rata nilai jual hasil tangkapan berdasarkan harga ikan yang ditetapkan perusahaan dan pedagang pengumpul masing- masing sebesar Rp 13.081.987 per bulan dan Rp 19.001.042 per bulan. Hal ini menunjukan bahwa usaha yang dijalankan masih memperoleh keuntungan dan layak untuk dikembangkan. Jika dihubungkan dengan periode pengembalian modal maka dengan harga ikan yang ditetapkan perusahaan, pengembalian investasi kapal dilakukan setelah usaha yang dijalankan 8 tahun. Sedangkan dengan harga ikan yang diberikan pedagang pengumpul maka pengembalian investasi kapal setelah usaha yang dijalankan 5 tahun 5 bulan. Menghadapi kondisi seperti di atas seharusnya perusahaan dapat mengambil suatu kebijakan dengan kembali merevisi harga ikan yang telah ditentukan sebelumnya sehingga sistem usaha perikanan cakalang yang ada di Kota Tidore Kepulauan dapat diperta hankan bahkan berkembang dan saling menguntungkan diantara para pelaku sistem.

5.5 Kendala Optimalisasi dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan

Cakalang di Kota Tidore Kepulauan Optimalisasi dan pengembangan perikanan cakalang di Kota Tidore Kepulauan setela h dianalisis sebelumnya mengalami beberapa kendala. Hasil pengkajian menunjukan bahwa kendala dalam pengembangan usaha perikanan cakalang di Kota Tidore Kepulauan adalah : 1 tingkat pemanfaatan sumber daya cakalang yang telah mengalami over fishing, 2 keterbatasan daerah penangkapan cakalang dan umpan, 3 tidak tersedianya sarana dan prasarana produksi serta fasilitas pendukung kegiatan operasi penangkapan ikan seperti cold storage, PPI atau dermaga dan lain- lain serta perkantoran cabang perusahaan inti yang bekerjasama dengan nelayan keberadaannya di luar Kota Tidore Kepulauan dan 4 harga ikan dan pendapatan nelayan yang relatif rendah. Potensi dan pemanfaatan sumber daya yang telah mengalami over fishing tidak memungkinkan untuk meningkatkan produk si hasil tangkapan bahkan dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi terus menerus. Daerah penangkapan yang hanya pada bagian selatan dan timur perairan Kota Tidore Kepulauan dengan batas wilayah kewenangan Kabupaten Kota yang hanya 4 mil dengan jumlah armada yang ada menyebabkan keterbatasan daerah penangkapan yang tidak memungkinkan meningkatkan produksi hasil tangkapan. Perolehan umpan yang semakin sulit karena ketersediaan umpan yang terbatas menyebabkan operasi penangkapan tidak maksimal dan dapat mengakibatkan hasil tangkapan yang rendah. Fasilitas pendukung operasi penangkapan yang keberadaanya di luar Kota Tidore Kepulauan merupakan kendala dalam pengembangan sistem usaha perikanan cakalang yang ada. Menurut Lubis 2002 dan Murdiyanto 2004 bahwa prasarana pelabuhan perikanan sebagai prasarana ekonomi dan sosial merupakan penunjang yang mutlak diperlukan dalam pengembangan industri perikanan. Keberadaan pelabuhan perikanan di luar Kota Tidore Kepulauan menyebabka n fasilitas atau sarana yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi perikanan harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Demikian halnya dengan penempatan kantor cabang perusahaan diluar Kota Tidore menyebabkan kurangnya pengontrolan dan pengawasan perusahaan terhadap kegiatan operasi penangkapan nelayan dan besarnya biaya operasional yang dikeluarkan nelayan karena harus melewati Kota Ternate sebelum melakukan operasi penangkapan. Selain itu kontrol dan pengawasan pemerintah setempat masih belum memadai dalam sistem usaha perikanan yang ada. Harga ikan yang relatif rendah diberikan perusahan kepada nelayan mengakibatkan pendapatan nelayan relatif rendah sehingga nelayan cenderung menjual hasil tangkapannya di luar perusahaan sebagai mitra kerjanya. Kecendrungan menjual hasil tangkapan di luar perusahaan ini menyebabkan lamanya pengembalian modal investasi kapal nelayan kepada perusahaan yang bertanggung jawab dalam pengembalian modal ke perbankan dalam hal ini adalah BRI. 5.6 Arah dan Peluang Pengembangan Sistem Usaha Perikanan Cakalang di Kota Tidore Kepulauan Pengembangan usaha perikanan cakalang di Kota Tidore Kepulauan diarahkan pada peningkatan faktor–faktor baik secara biologi, teknis, sosial dan ekonomi dalam sub sistem sumber daya ikan, sub sistem produksi dan sub sistem pema saran untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha. Hal tersebut dimaksud agar sistem usaha perikanan yang ada dapat menguntungkan bagi para pelaku usaha dan berkelanjutan. Peningkatan yang diharapkan yaitu dapat meningkatkan produksi dengan tetap me njaga kelestarian sumber daya yang ada, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan serta para pelaku yang terlibat dalam sistem usaha tersebut. Berdasarkan kendala pengembangan sistem usaha perikanan cakalang di Kota Tidore Kepulauan, faktor– faktror pendukung yang dijadikan sebagai peluang pengembangan sistem usaha yang ada dengan keterlibatan pelaku sistem usaha perikanan cakalang di Kota Tidore Kepulauan adalah ketersediaan sumber daya, faktor teknis produksi yang berpengaruh nyata dan pendapatan nelayan yang rendah. Ketersediaan potensi sumber daya cakalang yang pemanfataanya telah melampaui titik Maksimum Sustainable Yield MSY pada tahun 2004 sebesar 128.59 dan upaya penangkapannya yang telah melampaui upaya penangkapan optimum fopt sejak tahun 2000 sebesar 161.00 hingga 2004 sebesar 126.81. Dengan ini seharusnya direkomendasikan untuk pengembangan sistem usaha melalui pengurangan jumlah armada tangkap sebesar 29 dan upaya tangkap sebesar 27. Namun kondisi sosial budaya nelayan di Kota Tidore Kepulauan dengan keterbatasan modal serta tingkat ketrampilan dan pendidikan yang relatif rendah maka sangat sulit dilakukan pengalihan usaha dengan teknologi penangkapan yang lain. Hal demikian akan menimbulkan konflik baru dimana akan berdampak pada tingkat sosial ekonomi nelayan. Alternatif yang digunakan dalam mengatasi hal tersebut di atas adalah memperluas daerah penangkapan hingga keluar dari perairan Kota Tidore Kepulauan 4 mil yaitu pada perairan Halmahera lainnya seperti Halmahera Selatan Bacan yang merupakan daerah potensial ikan cakalang. Daerah potensial ini sesuai dengan yang dilaporkan Monintja et al 2001 bahwa wilayah yang memiliki potensi cakalang di Kawasan Indonesia Timur terdapat pada Peraiaran Sulawesi Utara, Halmahera, Maluku dan Irian Jaya. Alternatif p engembangan tersebut diatas akan masuk dalam wilayah kewenangan perairan kabupaten Halmahera Selatan sehingga membutuhkan kerjasama secara terpadu dengan wilayah perairan tersebut. Selanjutnya peningkatan perluasan lokasi daerah penangkapan cakalang akan membutuhkan kemampuan teknologi kapal untuk menjelajahi perairan yang cukup jauh dan harus dilengkapi dengan alat komunikasi dan navigasi yang sesuai dengan daerah operasi penangkapan. Hal ini berarti pengetahuan da n ketrampilan ABK juga harus ditingkatkan melalui penyuluhan dan pelatihan. Perluasan daerah penangkapan diiringi dengan penambahan jumlah rumpon yang direkomendasikan minimal 12 unit yang ditempatkan berjauhan dari penempatan sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan asumsi frekwensi melaut kapal dalam satu hari sebesar 50 dari jumlah armada yang ada yaitu 89 unit dengan penggunaan 1 unit rumpon dapat beroperasi 3 unit pole and line per hari Lampiran 14. Keterlibatan pemerintah dalam penataan rumpon di perairan sangat penting dalam membuat peraturan untuk konservasi daerah penangkapan, pengawasan dan pengontrolan terhadap daerah penangkapan dan musim penangkapan di perairan Kota Tidore Kepulauan khusus untuk armada tangkap pole and line. Faktor-faktor teknis yang berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi seperti umpan dan musim penangkapan. Pengembangan dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah umpan hidup sebanyak 16 ember per hari dan peningkatkan aktivitas penangkapan pada musim ikan yaitu pada bulan Februari sampai Juni dan bulan September sampai Oktober Lihat Gambar 16 dan 17 Untuk memenuhi penambahan jumlah umpan karena umpan semakin sulit diperoleh pada perairan Tidore Kepulauan maka penambahan tersebut diiringi dengan perluasan daerah penangkapan umpan pada daerah potensial umpan yaitu perairan Halmahera Selatan Bacan dan Ternate. Daerah potensial umpan ini sesuai dengan laporan Hutomo et al 1987 yang diacu dalam Dahoklory 2000 bahwa beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia diketahui sebagai daerah yang baik untuk penyediaan umpan antara lain : Kepulauan Pelang, Kendari dan sekitarnya, Muna -Buton, Kepulauan Banda, Sekitar pulau Ambon, Pulau Seram, Pulau Bacan, Ternate, Pulau Buru, Tobelo dan sekitarnya Morotai dan lain- lain. Beberapa di antara daerah tersebut masih ada yang belum dieksploitasi. Selain faktor teknis produksi yang dikembangkan, pengembangan sistem usaha perikanan cakalang harus didukung pula dengan adanya fasilitas seperti pelabuhan perikanan atau minimal pangkalan pendaratan ikan PPI yang memadai mengingat fasilitas ini tidak ada di Kota Tidore Kepulauan. Lubis 2002 dan Murdiyanto 2004 mengemukakan bahwa pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan PPI yang merupakan basis utama kegiatan industri perikanan tangkap harus dapat menjamin suksesnya aktivitas usaha perikanan tangkap di laut sehingga usaha peningkatan produksi dapat dicapai. Di samping itu pengembangan gedung perkantoran cabang dibangun pada lokasi Kota Tidore. Pendapatan nelayan yang rendah berdasarkan perbandingan nilai UMR dan kelayakan usaha yang layak untuk dikembangkan. Pengembangan dapat dilakukan dengan meningkatkan harga ikan berdasarkan hasil simulasi harga ikan senilai 5280 rupiah per kilogram tanpa membedakan ukuran size dan perbaikan sistem bagi hasil di atas 45:55 antara pemilik kapal 45 dengan ABK 55 Lampiran 12 dan 13 Model pengembangan usaha perikanan cakalang di Kota Tidore Kepulauan dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Skematik hasil formulasi model pengembangan usaha perikanan cakalang Kota Tidore Kepulauan 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan