Survei Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga dan Persentase Serangan Rayap pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di PT. Bilah Plantindo Kabupaten Labuhan Batu
SURVEI INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS
SERANGGA DAN PERSENTASE SERANGAN RAYAP PADA
PERTANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI
PT BILAH PLANTINDO KABUPATEN LABUHAN BATU
SKRIPSI
OLEH
KRISNO JONO ARIFIN PURBA 050302046
HPT
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
SURVEI INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS
SERANGGA DAN PERSENTASE SERANGAN RAYAP PADA
PERTANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI
PT BILAH PLANTINDO KABUPATEN LABUHAN BATU
SKRIPSI
OLEH
KRISNO JONO ARIFIN PURBA 050302046
HPT
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
( Ir. Mena Uly Tarigan, MS ) ( Ir. Marheni MP ) Ketua Anggota
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
ABSTRACT
Krisno Jono Arifin Purba ”Index of varieties insect and persentation termite symptom at the oil palm in PT. Bilah Plantindo, Kabupaten Labuhan
Batu” with guide commission Ir. Mena Uly Tarigan, MS as chief and Ir. Marheni, MP as a member.
The objective of this research was to know index of varieties insect, useful insect, useless insect, parasitoid and predator at not produce oil palm and produce oil palm, with was to know persentation termite symptom at Afdeling three and Afdeling four.
Research was done in PT. Bilah Plantindo (SIPEF) Plantation, Desa Bilah, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhan Batu with places height ± 25 m on surface of sea. Catch on the insect done with use sweep net, pit fall trap, and light trap then continued research in Hama Penyakit Tumbuhan laboratory, North Sumatera University while to know persentation termite symptom used the survey method.
The result of research showed that insect was caught in produce oil palm area was 431 consist of 10 ordo and 39 family, and not produce oil palm area was 236 consist of 10 ordo and 32 family, not produce oil palm was 319 consist of 10 ordo and 32 family, and Produce oil palm 310 consist of 8 ordo and 28 family and persentation termite symptom at produce oil palm area was 1,14 % and at not produce oil palm was 0,03%.
Shanon- Weiner (H`) Index varieties value of insect highest in produce oil palm is 3.0901 (high) and not produce oil palm is 2.9372 (medium).
(4)
ABSTRAK
Krisno Jono Arifin Purba ”Survei Indeks Keanekaragaman Jenis
Serangga dan Persentase Serangan Rayap pada Tanaman Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) di PT. Bilah Plantindo Kabupaten Labuhan Batu” dibawah bimbingan Ir. Mena Uly Tarigan, MS selaku ketua dan Ir. Marheni, MP selaku anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indeks keanekaragaman jenis serangga, serangga berguna, serangga merugikan, parasitoid dan predator pada areal tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM) dan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) serta mengetahui persentase serangan rayap pada afdeling 3 dan afdeling 4.
Penelitian dilaksanakan di Perkebunan PT. Bilah Plantindo (SIPEF) Desa Bilah, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhan Batu dengan ketinggian tempat ± 25 m di atas permukaan laut. Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan jaring perangkap (sweep net), perangkap jatuh (Pit Fall Trap), dan perangkap cahaya (Light Trap) kemudian dilanjutkan pengamatan di Laboratorium Hama Penyakit Tumbuhan, Universitas Sumatera Utara sedangkan untuk mengetahui persentase serangan rayap dengan menggunakan metode survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga yang tertangkap pada areal Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan sebanyak 431 ekor yang terdiri dari 10 ordo dan 39 famili, areal Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan sebanyak 265 ekor yang terdiri dari 10 ordo dan 32 famili dan persentase serangan rayap pada tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM) sebesar 1,14 % dan pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) sebasar 0,03%.
Nilai indeks keanekaragaman serangga Shanon-Weiner (H`) tertinggi pada areal Tanaman Menghasilkan sebesar 3.0901 (tinggi) dan Tanaman Sawit Belum Menghasilkan sebesar 2.9372 (sedang).
(5)
RIWAYAT HIDUP
Krisno Jono Arifin Purba, dilahirkan di Huta Bayu Pane pada tanggal 21 Agustus 1984 dari pasangan Ayahanda Johannes Purba (Alm) dan Ibunda Saurma br Saragih. Penulis merupakan anak ke-7 dari 7 bersaudara.
Pendidikan yang pernah ditempuh Penulis adalah lulusan dari Sekolah Dasar Negeri Dolok Pardamean pada tahun 1997, lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta Dolok Pardamean tahun 2000, lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan GKPS-2 Pematang Siantar tahun 2003 dan diterima di Fakultas Pertanian USU Medan, Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan melalui jalur SPMB pada tahun 2005.
Penulis pernah aktif dalam organisasi kemahawiswaan seperti IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman) tahun 2004-2009, menjadi Asisten Laboratorium Dasar Perlindungan Tamanan tahun 2008-2009. Penulis melakuka n Praktek kerja Lapangan (PKL) di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kerasaan Indonesia (SIPEF) Kerasaan pada tahun 2009.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang maha Esa karena atas berkat dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul dari skripsi adalah ”Survei Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga dan
Persentase Serangan Rayap pada Tanaman Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) di PT. Bilah Plantindo Kabupaten Labuhan Batu. Adapun tujuan dan kegunaan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ir. Mena Uly Tarigan, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ir. Marheni MP, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis, dan tidak lupa juga kepada rekan-rekan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan proposal ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan, November 2009
(7)
DAFTAR ISI
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 4
Hipotesa Penelitian... 4
Kegunaan Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Keanekaragaman Jenis ... 5
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Keanekaragaman ... 6
Status Serangga pada Pertanaman Kelapa Sawit ... 8
Ledakan Populasi Serangga ... 10
Masalah Rayap pada Pertanaman Kelapa Sawit ... 12
Pengendalian Rayap ... 14
Deskripsi Perkebunan ... 16
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 18
Bahan dan Alat ... 18
Metoda Analisa Data ... 19
Indeks Keanekaragaman Serangga ... 19
Survei Persentase Serangan Rayap ... 21
Pelaksanaan Penelitian ... 21
(8)
Identifikasi Serangga ... 26 Koleksi Serangga ... 27 Peubah Amatan ... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelimpahan Serangga pada Areal Tanaman Kelapa Sawit
Mengasilkan ... 29 Pembagian Status Fungsi Serangga pada Areal Tanaman Kelapa
Sawit Menghasilkan ... 31 Kelimpahan Serangga pada Areal Tanaman Kelapa Sawit Belum
Menghasilkan ... 32 Pembagian Status Fungsi Serangga pada Areal Tanaman Kelapa
Sawit Belum Menghasilkan ... 35 Nilai Indeks Keanekaragaman Serangga ... 37 Jumlah Tanaman Kelapa Sawit yang Terserang Rayap per tahun
tanam ... 42 Persentase Serangan Rayap pada Tanaman Menghasilkan dan
Tanaman Belum Menghasilkan ... 43
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 45 Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(9)
DAFTAR GAMBAR
No Judul Hlm
1. Alat perangkap jaring (sweep net) ... 23 2. Perangkap perangkap jatuh (pit fall trap) ... 24 3. Perangkap cahaya lampu (light trap) ... 25
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Hlm
1. Jumlah serangga yang Tertangkap pada areal tanaman kelapa
sawit menghasilkan ... 30 2. Pembagian status fungsi serangga yang tertangkap pada areal
tanaman kelapa sawit menghasilkan ... 31 3. Jumlah serangga yang tertangkap pada areal tanaman kelapa
sawit belum menghasilkan... 34 4. Pembagian status fungsi serangga yang tertangkap pada areal
tanaman kelapa sawit belum menghasilkan.. ... 35 5. Nilai indeks keanekaragaman jenis serangga pada kedua areal ... 37 6. Indeks keragaman jenis serangga pada areal tanaman kelapa sawit menghasilkan ... 38 7. Indeks keragaman jenis serangga pada areal tanaman kelapa sawit belum menghasilkan ... 39 8. Jumlah tanaman kelapa sawit yang terserang rayap per tahun tanam di PT. Bilah Plantindo tahun 2009 ... 41 9 Persentase Serangan Rayap Pada Tanaman Mengasilkan dan Tanaman
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Lampiran
1. Jumlah serangga yang tertangkap pada masing-masing perangkap
di areal tanaman sawit menghasilkan ... .... 1
2. Jumlah serangga yang tertangkap pada masing-masing perangkap di areal tanaman kelapa sawit belum menghasilkan ... 2
3. Jumlah tanaman terserang rayap pada tiap blok sampel per tahun tanam di PT. Bilah Plantindo tahun 2009 ... 3
4. Gejala serangan rayap ... .... 4
5. Serangga-serangga yang tertangkap pada kedua areal ... .... 5
6. Peta lokasi Kebun PT. Bilah Plantindo ... .... 6
7. Lokasi sampling penangkapan serangga nocturnal dan diurnal ... .... 7
8. Lokasi survey persentase serangan rayap ... 8
9. Bagan penelitian indeks keanekaragaman serangga pada areal TM .... 9
10. Bagan penelitian indeks keanekaragaman serangga pada areal TBM .. 10
(12)
ABSTRACT
Krisno Jono Arifin Purba ”Index of varieties insect and persentation termite symptom at the oil palm in PT. Bilah Plantindo, Kabupaten Labuhan
Batu” with guide commission Ir. Mena Uly Tarigan, MS as chief and Ir. Marheni, MP as a member.
The objective of this research was to know index of varieties insect, useful insect, useless insect, parasitoid and predator at not produce oil palm and produce oil palm, with was to know persentation termite symptom at Afdeling three and Afdeling four.
Research was done in PT. Bilah Plantindo (SIPEF) Plantation, Desa Bilah, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhan Batu with places height ± 25 m on surface of sea. Catch on the insect done with use sweep net, pit fall trap, and light trap then continued research in Hama Penyakit Tumbuhan laboratory, North Sumatera University while to know persentation termite symptom used the survey method.
The result of research showed that insect was caught in produce oil palm area was 431 consist of 10 ordo and 39 family, and not produce oil palm area was 236 consist of 10 ordo and 32 family, not produce oil palm was 319 consist of 10 ordo and 32 family, and Produce oil palm 310 consist of 8 ordo and 28 family and persentation termite symptom at produce oil palm area was 1,14 % and at not produce oil palm was 0,03%.
Shanon- Weiner (H`) Index varieties value of insect highest in produce oil palm is 3.0901 (high) and not produce oil palm is 2.9372 (medium).
(13)
ABSTRAK
Krisno Jono Arifin Purba ”Survei Indeks Keanekaragaman Jenis
Serangga dan Persentase Serangan Rayap pada Tanaman Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) di PT. Bilah Plantindo Kabupaten Labuhan Batu” dibawah bimbingan Ir. Mena Uly Tarigan, MS selaku ketua dan Ir. Marheni, MP selaku anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indeks keanekaragaman jenis serangga, serangga berguna, serangga merugikan, parasitoid dan predator pada areal tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM) dan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) serta mengetahui persentase serangan rayap pada afdeling 3 dan afdeling 4.
Penelitian dilaksanakan di Perkebunan PT. Bilah Plantindo (SIPEF) Desa Bilah, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhan Batu dengan ketinggian tempat ± 25 m di atas permukaan laut. Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan jaring perangkap (sweep net), perangkap jatuh (Pit Fall Trap), dan perangkap cahaya (Light Trap) kemudian dilanjutkan pengamatan di Laboratorium Hama Penyakit Tumbuhan, Universitas Sumatera Utara sedangkan untuk mengetahui persentase serangan rayap dengan menggunakan metode survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga yang tertangkap pada areal Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan sebanyak 431 ekor yang terdiri dari 10 ordo dan 39 famili, areal Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan sebanyak 265 ekor yang terdiri dari 10 ordo dan 32 famili dan persentase serangan rayap pada tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM) sebesar 1,14 % dan pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) sebasar 0,03%.
Nilai indeks keanekaragaman serangga Shanon-Weiner (H`) tertinggi pada areal Tanaman Menghasilkan sebesar 3.0901 (tinggi) dan Tanaman Sawit Belum Menghasilkan sebesar 2.9372 (sedang).
(14)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk golongan tumbuhan palma. Tanaman kelapa sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit di Indonesia diintroduksi pertama sekali oleh Kebun Raya pada tahun 1884 dari Mauritinus (Afrika). Tahun 1912 di Indonesia baru diusahakan sebagai tanaman komersial dan ekspor minyak pertama pada tahun 1919. Perkebunan kelapa sawit pertama dibagun di Tanah Hitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt orang Jerman pada tahun 1911 (Hartati, 2006).
Para investor tertarik dengan komoditi ini karena nilai ekonominya cukup tinggi sehingga banyak investor yang menginvestasikan modalnya untuk
membangun pekebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Selama tahun 1990-2000, luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 14.164.439 ha atau
meningkat 21,5 % jika dibandingkan akhir tahun 1990 yang hanya 11.651.439 ha. Rata-rata produktivitas kelapa sawit mencapai 1.396 ton/ha/tahun untuk perkebunan rakyat dan 3,50 ton/ha/tahun untuk perkebunan besar. Produktivitas kelapa sawit tersebut dinilai cukup tinggi bila dibandingkan dengan produktivitas komoditas perkebunan lain (Fauzi et al., 2002).
Berkembangnya subsektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif. Terutama kemudahan dalam hal perizinan dan bantuan subsidi investasi untuk
(15)
pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR dan dalam perizinan
pembukaan wilayah baru untuk wilayah perkebunan besar swasta (Manurung, 2001).
Areal penanaman kelapa sawit di Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi, yakni di Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan
sentra produksi di Labuhanbatu, Langkat dan Simalungun) dan Riau. Tahun 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan
kontribusi sebesar 44 %, yakni Sumatera Utara 23,24 % (584,746 ha) dan Riau 20,76 % (522, 434 ha), sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7 % hingga 9,8 % dan propinsi lainnya 1 % hingga 5 % (Prasetyani dan Miranti, 2004).
Usaha untuk memperbaiki kemajuan pemasaran minyak kelapa sawit (CPO) dan perkembangan perkebunan kelapa sawit harus didukung oleh berbagai informasi yang menunjang. Kondisi perkebunan kelapa sawit yang sangat luas dan tersebar di berbagai lokasi yang berjauhan berdampak pada volume data serta informasi yang besar dan kompleks yang selalu terkait dengan informasi spasial (geografis) atau lokasi baik secara global maupun rinci (Suroso et al., 2003).
Dalam mengusahakan perkebunan sawit, sasaran adalah profitability dan sangat bergantung pada total bahan yang dihasilkan dan dapat dijual. Jadi jelas bahwa dari kebun kelapa sawit keuntungan akan diperoleh dari buah sawit. Komponen dari produksi kelapa sawit adalah total produksi TBS dan hasil minyak sawit dan inti sawit hasil ekstraksi dari TBS. Total produsi TBS setahun dipengaruhi rata-rata berat tandan dan jumlah tandan (Soehardjo et al., 1997).
(16)
Potensial sebagai salah satu komoditi agribisnis, tanaman kelapa sawit yang digunakan secara monokultur di daerah-daerah tropik basah mengalami peningkatan yang tinggi sehingga kegiatan pembukaan lahan baru tidak dapat di hindari. Dengan berubahnya ekosistem hutan tersebut, mengakibatkan terjadinya pergeseran populasi fauna, yang kemudian dapat menimbulkan kerugian pada lahan yang dibuka (Girsang dan Daswir, 1995).
Meskipun tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang tergolong tanaman kuat, namun tanaman ini juga tidak luput dari serangan hama dan penyakit, baik yang kurang membahayakan maupun yang sangat membahayakan. Sebagian besar hama yang menyerang adalah golongan insekta atau serangga dan beberapa jenis hewan dari kelompok mamalia yang biasa menyebabkan kerugian (Tim Penulis PS., 1997).
Perkebunan kelepa sawit terutama pada areal baru bekas hutan rayap dapat menimbulkan masalah besar. Ada dua jenis rayap yang menyerang tanaman kelapa sawit, yakni Coptotermes curvignathus dan Macrotermes gilvus, yang menyerang batang dan pelepah daun, baik jaringan yang masih hidup maupun jaringa n mati (Soepadiyo dan Haryono, 2003).
Rayap subteran Coptotermes curvignathus merupakan hama utama pada kelapa sawit terutama pada kelapa sawit khususnya di lahan gambut. Serangan rayap semakin tinggi setelah diterapkannya zero burning dalam pembukaan lahan. Pengendaliannya sulit dilakukan karena banyaknya sisa-sisa kayu yang
merupakan bahan makanan dan tempat berkembang biak yang sesuai (Purba et al., 2002).
(17)
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui indeks keanekaragaman jenis serangga pada areal tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM) dan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) di perkebunan PT. Bilah Plantindo Kabupaten Labuhanbatu.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis hama penting dan musuh alami pada beberapa lokasi yang diteliti.
3. Untuk mengetahui persentase serangan rayap berdasarkan umur tanaman.
Hipotesa Penelitian
1. Adanya perbedaan indeks keanekaragaman serangga pada beberapa ekosistem di areal perkebunan PT. Bilah Plantindo Kabupaten Labuhanbatu.
2. Terdapat berbagai jenis serangga berguna, merugikan, predator, parasitoid pada areal yang diteliti.
3. Adanya perbedaan gejala serangan rayap berdasarkan umur tanaman.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai salah satu syarat untuk dapat meraih gelar Sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
(18)
TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman (Indeks Diversitas)
Keragaman jenis adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada didalamnya. Untuk memperoleh keanekaragaman jenis cukup diperlukan kemampuan mengenal atau membedakan jenis meskipun tidak dapat mengidentifikasi jenis hama (Krebs, 1978).
Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan spesies dalam komunitas. Keanekaragaman spesies terdiri dari jumlah spesies dalam komunitas (kekayaan spesies) dan kesamaan spesies. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies itu (jumlah individu, biomassa, penutup tanah, dsb) tersebar antara banyak spesies itu. Contohnya, pada suatu komunitas terdiri dari 10% spesies, jika 90% adalah 1 spesies dan 10% adalah 9 jenis yang tersebar, kesamaan disebut rendah. Sebaliknya jika masing-masing spesies jumlahnya 10%, kesamaannya maksimum. Beberapa tahun kemudian muncul penggolongan indeks atas indeks kekayaan dan indeks kesamaan. Setelah itu digabungkan menjadi Indeks Keanekaragaman dengan variabel yang menggolongkan struktur komunitas seperti jumlah spesies, kelimpahan relarif spesies (kesamaan), homogenitas dan ukuran dari area sampel (Anonimus, 2008).
Keragaman hayati merupakan variabilitas antar mahluk hidup dari semua sumber daya, termasuk di daratan, ekosistem perairan dan kompleks ekologis termasuk juga keanekaragaman dalam speies di antara spesies dan ekosistemnya. Sepuluh persen dari ekosistem alam berupa suaka alam, suaka marga satwa,
(19)
taman nasional, hutan lindung dan sebagian lagi untuk kepentingan budidaya plasma nufah yang dialokasikan sebagai kawasan yang dapat memberi perlindungan bagi keanekaragaman hayati (Arief, 2001).
Jasa-jasa ekologis yang diemban oleh keanekaragaman hayati pertanian, diantaranya jasa penyerbukan, jasa penguraian, dan jasa pengendali hayati (predator, parasitoid, dan patogen) untuk mengendalikan hama, sangatlah penting bagi pertanian berkelanjutan. Dengan adanya kemajuan pertanian modern, prinsip ekologi telah diabaikan secara berkesinambungan, akibatnya agroekosistem menjadi tidak stabil. Perusakan-perusakan tersebut menimbulkan munculnya hama secara berulang dalam sistem pertanian, salinisasi, erosi tanah, pencemaran air, timbulnya penyakit dan sebagainya (Emden and Dabrowski, 1997).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Keanekaragaman
Dalam ekosistem alami semua makhluk hidup berada dalam keadaan seimbang dan saling mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Di ekosistem alamiah keragaman jenis sangat tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang terdapat flora dan fauna tanah yang beragam. Sistem pertanaman yang beranekaragam berpengaruh kepada populasi spesies hama (Oka, 1995).
Menurut Krebs (1978), ada 6 faktor yang saling berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman, jenis yaitu :
a) Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam ekologi lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi.
(20)
b) Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya.
c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup, namun persaingan tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.
d) Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis persaingan yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar kemunginan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman. Apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis.
e) Kestabilan iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu lingkungan tersebut. Lingkungan yang stabil, lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi.
f) Produktifitas, juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi.
Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan keanekaragaman jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam akibat turut campur tangan manusia (Michael, 1995).
Hambatan lingkungan merupakan faktor biotik dan abiotik di ekosistem yang cendrung menurunkan fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu
(21)
dalam populsi organisme. Faktor tersebut menghalangi suatu organisme untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi biotiknya. Foktor-faktor ligkungan tersebut ada dua yaitu faktor yang berasal dari luar populasi (faktor ekstrinsik) terdiri dari faktor biotik seperti makanan, peredasi dan kompetisi dan faktor abiotik seperti iklim, tanah, air dan faktor yang berasal dari dalam populasi (faktor intrinsik) seperti persaingan intrasfesifik dalam bentuk teritorialitas dalam tekanan sosial (Untung, 1996).
Keanekaragaman tanaman merupakan faktor yang mempengaruhi tingginya keanekaragaman individu-individu yang ada didalamnya, semakin tinggi keragaman ekosistem dan semakin lama keragaman ini tidak diganggu oleh manusia, semakin banyak pula interaksi internal yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan stabilitas serangga. Hasil studi interaksi tanaman-gulma serangga diperoleh bahwa gulma mempengaruhi keragaman dan keberadaan serangga herbivora dan musuh-musuh alaminya dalam system pertanian. Bunga gulma tertentu memegang peranan penting sebagai sumber pakan parasitoid dewasa yang dapat menekan populasi serangga hama (Altieri, 1999).
Status Serangga pada Pertanaman Kelapa Sawit
Serangga dapat berperan sebagai pemakan tumbuhan, sebagai parasitoid (hidup secara parasit pada serangga lain), sebagai predator (pemangsa), sebagai pemakan bangkai, sebagai penyerbuk dan sebagai penular (vector) bibit penyakit tertentu (Putra, 1994).
Agroekosistem merupakan tempat hidupnya berbagai jenis serangga, serangga-serangga tersebut dapat merugikan bagi tanaman budidaya dan dapat
(22)
berguna. Salah satu dari serangga tersebut dapat berperang sebagai hama utama yang merupakan spesies hama yang pada kurun waktu lama selalu menyerang pada suatu daerah dengan intensitas serangan yang berat sehingga memerlukan usaha pengendalian yang seringkali dalam daerah yang luas. Tanpa usaha pengendalian maka hama ini akan mendatangkan kerugian ekonomik bagi petani. Biasanya pada agroekosistem hanya ada satu atau dua hama utama, sisanya adalah termasuk kategori hama yang lain (Untung, 1996).
Hama minor atau disebut hama kadang-kadang adalah hama yang telah lama berada di suatu daerah, namun tidak dianggap begitu penting karena kerusakan yang ditimbulkannya masih bisa ditolerir oleh tanaman. Meskipun demikian, bila terjadi perubahan pada faktor lingkungan yang disebabkan baik oleh gangguan proses pengendalian alami atau keadaan iklim yang tidak menentu maupun kesalahan pegolahan oleh manusia, menyebabkan populasi hama meningkat dan menimbulkan kerusakan tanaman (Rukmana dan Sugandi, 1997).
Serangga predator atau serangga pemangsa adalah organisme yang membunuh dan mengkonsumsi serangga mangsa selama hidupnya. Serangga predator pada umumnya berukuran lebih besar dan lebih kuat dari mangsanya sehingga mereka mampu menaklukkan mangsa tersebut sebelum dibunuh dan dikonsumsi. Karena ukuran tubuh dan sifat memangsanya mencolok, predator
relatif mudah dikenali dan diamati secara langsung daripada parasitoid (Susilo, 2007).
(23)
Ledakan Populasi Serangga
Ledakan populasi dapat terjadi jika suatu spesies dimasukkan ke dalam suatu daerah yang baru, dimana terdapat sumber-sumber yang belum dieksploitir oleh manusia dan tidak ada interaksi negatif (misalnya predator, parasit), dimana sebenarnya predator dan parasit memainkan peranan dalam menahan peledakan
populasi dan memang menekan laju pertumbuhan populasi (Heddy dan Kurniaty, 1996).
Pestisida sering digunakan sebagai pilihan utama untuk memberantas organisme pengganggu tanaman, sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, dan hasilnya cepat untuk diketahui, namun bila aplikasinya kurang bijaksana pestisida dapat membunuh musuh alami hama sehingga dapat terjadi ledakan populasi hama (Wudianto, 1997).
Saat ini sebagian besar perkebunan kelapa sawit milik negara maupun swasta masih cendrung menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama-hama penting seperti ulat api, ulat kantung, kumbang badak dan tikus. Akibatnya terjadinya gangguan terhadap fungsi dan faktor-faktor pengendali alami yang ada di dalam ekosistem kelapa sawit. Sebenarnya sudah banyak ditemukan musuh-musuh alami yang potensial serta dapat dikembangbiakkan di laboratorium bahkan telah diperdagangkan, namun tampaknya tidak menarik untuk digunakan oleh pelaku perkebunan. Hal ini diduga karena daya bunuh mikroorganisme patogen (entomopatogenik) yang bekerja tidak langsung membunuh hama sasaran
seperti pestisida tetapi membutuhkan waktu beberapa hari (Prawirosukarto et al., 2002).
(24)
Penggunaan pestisida yang tidak terkontrol dapat membunuh musuh alami sehingga musuh alami makin berkurang dan tidak mampu lagi mengendalikan serangga hama. Hama yang terbebas dari musuh alami itu kemudian mampu merekoloni, apalagi bila menjadi resisten tehadap pestisida itu, populasinya meningkat sangat cepat, dan terjadilah ledakan hama (Susilo, 2007).
Menurut Allee et al (1955) pertumbuhan populasi organisme terbagi menjadi 5 tingkatan yaitu:
Tingkat I : Merupakan periode peningkatan populasi yang tumbuh secara sigmoid. Periode ini terdiri dari 3 tahap yaitu tahap pembentukan populsi, tahap pertumbuhan cepat secara eksponensial dan tahap menuju keseimbangan.
Tingkat II : Merupakan pencapaian aras atau letak keseimbangan yang merupakan garis asimtot dari kurva sigmoid. Pada tahap ini populasi telah mencapai stabilitas numerik.
Tingkat III : Merupakan tahap oskilasi dan fluktuasi populasi. Oskilasi populasi adalah penyimpangan populasi sekitar aras keseimbangan secara simetris, sedangkan fluktuasi populasi merupakan penyimpangan populasi yang tidak simetris. Tingkat III berjalan dalam waktu cukup lama tergantung pada berfungsinya mekanisme umpan balik negatif yang bekerja pada populasi organisme tersebut. Apabila mekanisme ini oleh sebab-sebab tertentu menjadi tidak berfungsi lagi, terjadilah tingkat IV yang merupakan periode penurunan populasi atau periode pertumbuhan negatif. Kalau periode ini terus berlanjut kemudian
(25)
akan terjadi tingkat terakhir pertumbuhan populasi yaitu tingkat V yang merupakan periode kepunahan populasi (Untung, 1996).
Dalam keadaan ekosistem yang stabil populasi suatu jenis organisme selalu berada dalam keadaan keseimbangan dengan populasi organisme lainnya dalam komunitasnya. Keseimbangan ini terjadi karena adanya mekanisme pengendalian yang bekerja secara umpan balik negatif yang berjalan pada tingkat antar spesies (persaingan, peredasi) dan tingkat inter spesies (persaingan, pembagian territorial) (Untung, 1996).
Masalah Rayap pada Tanaman Kelapa Sawit
Bahan-bahan yang berkayu yang melimpah pada lahan gambut merupakan habitat yang ideal bagi rayap. Rayap tersebut bersarang pada tunggul-tunggul kayu yang melapuk di sekitar tanaman kelapa sawit, dimana mereka bertahan hidup dan berkembangbiak. Apabila sisa-sisa kayu telah habis dari sana mereka mulai merayap membentuk lorong-lorong kembara menuju tanaman kelapa sawit. Rayap akan mulai menyerang tanaman menyerang kelapa sawit dan merusak jaringan-jaringan hingga menyebabkan kematian tanaman. Tanaman kelapa sawit di lahan gambut dapat terserang rayap pada umumnya yang sudah berumur tua karena ketersediaan seratnya sudah tinggi (Purba et al., 2002).
Rayap merupakan serangga yang hidup bermasyarakat. sebagai makhluk sosial, rayap selalu hidup dalam koloni. rayap tidak bisa hidup sendiri, karena dalam koloni ada bahan-bahan dan proses-proses untuk kelangsungan hidupnya. Satu kelompok rayap akan hidup di dalam satu koloni yang membentuk sebuah kota tersendiri dan mempunyai system pemerintahan yang khas (Susetya, 1994).
(26)
Jenis rayap yang sering dijumpai pada areal perkebunan kelapa sawit adalah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Macrotermes gilvus Hagen.
C.curvignathus lebih berbahaya karena menyerang jaringan hidup dan dapat
mematikan tanaman kelpa sawit. Rayap ini merupakan spesies asli yang banyak terdapat pada hutan primer di Indonesia dan Malaysia, terutama di dataran rendah
serta daeharah dengan penyebaran curah hujan merata sepanjang tahun
C. curvignathus mudah dibedakan dengan jenis rayap lainnya dari ciri pertahanan
dirinya, prajurit yang terganggu segera mengeluarkan cairan putih dari kelenjar di kepalanya untuk mempertahankan diri. Banyak jenis tanaman yang dapat diserang oleh C. curvignathus diantaranya karet, kapuk, kopi, kelapa, ubi kayu dan kelapa sawit (Ginting et al., 2002).
Telah di deskripsikan gejala serangan rayap tanah pada sawit menghasilkan (umur 8 tahun). Gejala awal yang tampak secara visual, rayap naik kepermukaan tanaman melalui alur pelepah daun sawit (8 alur) dengan cepat. Langkah berikutnya rayap membentuk koloni pada tandan buah dan naik mencapai titik tumbuh selanjutnya memakan titik tumbuh. Pada skala serangan berat, tandan buah segar sawit (muda dan tua) dirusak oleh rayap hingga pangkal tangkainya tampak keropos dan busuk (Gurning dan Purba, 1997).
Pengamatan atau sensus gejala serangan rayap perlu segera dilakukan di seluruh blok setelah diketahui adanya gejala serangan yang bersangkutan. Hal ini dapat diketahui dengan cara melakukan sensus per blok. Pengamatan atau sensus dilakukan setiap bulan sekali dengan cara mendatangi setiap pohon di masing-masing blok. Jika ditemukan pohon terserang maka ditentukan kriteria
(27)
serangannya atas dasar gejala luar serangan yang terlihat. Kriteria gejala serangan rayap didasarkan atas gejala luar, sebagai berikut:
a. Serangan ringan; ditandai oleh adanya lorong rayap yang terbuat dari tanah yang berada di permukaan batang dan mengarah ke bagian atas. Semua pelepah masih berwarna hijau dan normal.
b. Sarangan sedang; ditandai oleh adanya beberapa daun pupus yang layu atau kering, sedangkan pelepah bagian bawah masih terlihat segar atau hijau dan normal.
c. Serangan sangat berat (tanaman sudah mati); jika serangan sudah sampai ke titik tumbuh (umbut). Hanya beberapa pelepah di bagian bawah saja yang masih tertinggal dengan warna kuning pucat atau sudah mengering.
(Pahan, 2006).
Pengendalian Rayap
Selama ini pengendalian rayap pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut umumnya dilakukan secara konvensional, yaitu dengan lebih mengutamakan insektisida, bahkan sering dilakukan aplikasi terjadwal tanpa didahului dengan monitoring populasi rayap. Cara ini tidak efisien karena seluruh areal tanaman diaplikasi dengan insektisida. Disamping memboroskan uang, juga
akan menimbulkan dampak buruk berupa pencemaran lingkungan (Purba et al., 2002).
Selain penggunaan bahan kimia pengendalian rayap dapat juga dilakukan secara biologi. Cara ini dengan memanfaatkan nematoda, bakteri, dan jamur yang
(28)
diumpankan kepada rayap sehingga akan mengganggu sistem pencernaan rayap (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).
Menghancurkan sarang rayap dan membunuh semua anggota koloninya, terutama ratu adalah salah satu pengendalian rayap. Namun di areal pertanaman kelapa sawit yang terserang, terutama di areal gambut sulit untuk menemukan sarang rayap. Selain itu pohon yang terserang juga perlu diisolasi agar hubungan antara pohon dengan sarang rayap dapat diputus. Hal ini dianggap perlu karena rayap baru akan selalu datang dari sarangnya ke pohon yang terserang untuk menggantikan rayap yang sudah mati (Pahan, 1996).
Menurut Bakti (2004) nematoda Steinernema carpocapsae memiliki efektifitas cukup baik untuk mengendalikan rayap. Nematoda ini banyak
ditemukan di dalam tanah, sehingga efektif digunakan untuk mengendalikan rayap C. curvignathus yang selalu berhubungan dengan tanah. Pemberian nematoda dengan jumlah terkecil menimbulkan mortalitas 38,16% dan dengan jumlah tertinggi menimbulkan mortalitas 60,80%.
Penelitian mengenai pengaruh jamur Metarhizium anisopliae (Mets.) dan
Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin Sorokin terhadap rayap
C. curvignathus Holmgren telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan
Toksikologi, Departemen Biologi ITB pada bulan November 2004 – April 2005. Rayap C. curvignathus diperoleh dari Pusat Studi Ilmu Hayati IPB Bogor dan jamur B. bassiana serta M. anisopliae diperoleh dari BALITROP Bogor. Penelitian ini menyimpulkan bahwa B. bassiana dan M. anisopliae dapat digunakan untuk mengendalikan rayap C. curvignathus (Novianty, 2005).
(29)
Deskripsi Perkebunan
Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahtraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Dalam hal ini banyak perkebunan kelapa sawit yang berkembang, tidak hanya yang dikembangkan oleh negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta. Salah satu perusahaan swasta yang turut serta dalam partisipasi tersebut adalah PT. Bilah Plantindo, dibawah manajemen PT. Tolan Tiga yang berkedudukan di Gedung Bank Sumut lantai 7 jln. Imam Bonjol No. 18. Perusahaan yang merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) ini berdiri sejak
tahun 1978 dan masih berproduksi dengan baik sampai saat ini (Amdal, 2009).
Kawasan pembangunan kebun terletak di Desa Bilah, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara. Adapun luas areal perkebunan ini adalah 2.960 ha. Pembukaan kebun ini telah mendapat izin dari pemerintah pusat dan daerah No. 15/HGU/DA/1988 tanggal 28-11-1986 dan No. 62/HGU/DA/1986 tanggal 17-10-1988 tentang Hak Guna Usaha (HGU). Dukungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu dan seluruh masyarakat Kecamatan Bilah Hilir akan menjadi sumbangan besar untuk kemajuan perkebunan kelapa sawit Indonesia. Meluas pembangunan perkebunan kelapa sawit ini akan menjadikan kabupaten Labuhan Batu dan seluruh masyarakatnya memegang peranan penting dalam agribisnis kelapa sawit Nasional, mengingat masih luasnya lahan yang tersedia dan sesuai untuk budidaya tanaman kelapa sawit di daerah ini (Amdal, 2008).
(30)
Kegiatan perkebunan PT. Bilah Plantindo sejak berdirinya perusahaan adalah aktivitas pembibitan, pemeliharaan tanaman, pemupukan, replanting dan pemungutan hasil. Perkebunan ini tidak mempunyai pabrik pengolahan sendiri sehingga produksi dikirim ke PKS PT. Pangkatan Indonesia dan masih termasuk satu manajemen dengan PT. Bilah Plantindo (Amdal, 2008).
Kegiatan replanting dilakuakan setelah tanaman berumur 25 tahun. Replanting dilakukan dengan pengolahan tanah terlebih dahulu kemudian dilakukan dengan penumbangan tanaman kelapa sawit. Tanaman yang sudah ditumbang dicincang dan disusun pada jalur panen (Amdal, 2008).
(31)
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di areal perkebunan PT. Bilah Platindo, Kabupaten Labuhanbatu luas areal 2.961 ha dengan tofografi lahan datar dan ketinggian tempat ± 25 m di atas permukaan laut. Identifikasi serangga yang tertangkap dilakukan di Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Kegiatan pengambilan data dilaksanakan mulai tanggal 03 Agustus 2009 - 20 Agustus 2009 dan kegiatan identifikasi dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2009 - 05 September 2009.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah imago serangga yang tertangkap, air bersih, detergen, plastik transparan, kertas asturo warna kuning, formalin dan alkohol 70 %.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah stoples, botol kecil, kain kasa, sweep net, lampu kapal untuk perangkap cahaya (light trap), baskom untuk alat perangkap jatuh (pit fall trap), selotip, pinset, gunting, killing bottle, jarum suntik, lup, kamera, mikroskop stereo binokuler, alat tulis menulis, buku data, serta buku identifikasi yaitu kalshoven (1981), Borror (1992), Sulthoni dan Subiyanto (1980) serta alat pendukung lainnya.
(32)
Metode Analisa Data
I. Indeks Keanekaragaman Serangga
Indeks keaneka ragaman serangga di teliti pada TM dan TBM. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diagonal. Dimana areal sampling diambil 10% dari luas total areal sampel. Jarak antara perangkap dengan perangkap yang lain pada satu titik sampling adalah 4-5 m (Gambar bagan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10).
Serangga-serangga yang diperoleh pada setiap penangkapan setelah dikumpulkan, dikelompokkan dan selanjutnya diidentifikasi di laboratorium, kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut :
- Frekuensi Mutlak (FM) suatu jenis serangga
Frekuensi mutlak menunjukkan jumlah individu serangga tertentu yang ditemukan pada habitat yang dinyatakan secara mutlak (Suin, 2003).
- Frekuensi Relatif (FR) suatu jenis serangga
FR = x100%
FM FM
∑
Frekuensi relatif menunjukkan kesering hadiran suatu jenis serangga pada habitat dan dapat menggambarkan penyebaran jenis serangga tersebut (Suin, 2003). n penangkapa seluruh Jumlah serangga jenis suatu ditemukan Jumlah FM= % 100 n penangkapa setiap serangga seluruh Jumlah Total n penangkapa setiap serangga jenis suatu FM Nilai
(33)
- Kerapatan Mutlak (KM) suatu jenis serangga
Kerapatan mutlak menunjukkan jumlah serangga yang ditemukan pada habitat yang dinyatakan secara mutlak (Suin, 2003).
(Suin, 2003).
- Kerapatan Relatif (KR) suatu jenis serangga
KR = x100%
KM KM
∑
-
Indeks Keanekaragaman jenis seranggaUntuk membandingkan tinggi rendahnya keanekaragaman jenis serangga digunakan indeks Shanon-Weiner (H`) dengan rumus :
H` = -Σ pi In pi (Michael, 1995).
Dimana : pi = perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis
pi = ni/N
ni = jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah total individu semua jenis
Dengan kriteria indeks keanekaragaman (H`) sebagai berikut :
Keragaman jenis rendah bila H = < 1 (kondisi lingkungan tidak stabil) Keragaman jenis sedang bila H = 1-3 (Kondisi lingkungan sedang) Keragaman jenis tinggi bila H = > 3 (Kondisi lingkungan stabil) (Michael, 1995). n Penangkapa Jumlah p tertangka yang jenis individu Jumlah KM= % 100 n penangkapa setiap dalam individu Total n penangkapa setiap dalam jenis suatu individu Jumlah
(34)
II. Survei Persentase Serangan Rayap
Adapun metode yang digunakan untuk menghitung persentase serangan rayap adalah metode survey dengan menentukan blok sampel berdasarkan umur tanaman. Seluruh tanaman kelapa sawit pada blok sampel diamati dan dihitung jumlah tanaman yang terserang. Persentase serangan dihitung berdasarkan umur tanaman dan dibedakan menurut kriteria TM dan TBM. Persentase serangan dihitung dengan rumus:
PS = b a
x 100% Keterangan:
PS = Persentase serangan
a = jumlah tanaman yang terserang b = jumlah tanaman yang tidak terserang (Baharuddin dan Kurniati, 2004).
Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan Sampel
I. Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga
Pertamama ditentukan blok sampling pada areal TM dan TBM kemudian dipasang perangkap sesuai dengan metode pengamatan pada masing-masing areal. Pengambilan sampel untuk indeks keanekaragaman jenis serangga dilakukan dengan mengambil dan mengumpulkan serangga yang tertangkap pada masing-masing titik sampel.
(35)
Lokasi sampling dilakukan pada :
1. TM (Devisi III, blok B8, Luas lahan 31 hektar, tahun tanam 1989 dan areal sampling 100 m x 310 m (Lampiran 9.))
2. TBM (Devisi I, blok G7, luas lahan 39 hektar, tahun tanam 2008 dan areal sampling 100 m x 460 m (Lampiran 10.))
Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 7.
Sampel serangga yang diambil berupa imago dari serangga yang terperangkap. Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan berbagai perangkap sebagai berikut :
1. Perangkap jaring (sweep net)
Perangkap ini digunakan untuk menangkap serangga yang aktif pada siang hari (diurnal insect). Gagang perangkap terbuat dari pipa aluminium berukuran kecil dan kain kasa sebagai perangkap agar mudah diayunkan dan serangga yang tertangkap dapat terlihat. Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada areal TM dan TBM dengan lima titik sampel yang telah ditentukan pada tiap areal. Setiap titik sampling pada ke dua areal dilakukan metode pengabutan 30 kali pengayunan. Lokasi pengabutan sesuai dengan sistem diagonal. Pengambilan sampel dilakukan sampai 5 kali dengan interval 3 hari sekali. Serangga yang tertangkap dikumpulkan lalu dimasukkan ke dalam botol sampel yang selanjutnya akan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Khusus untuk kupu-kupu yang tertangkap di simpan dengan menggunakan amplop serangga yang terbuat dari kertas.
(36)
Gambar 1. Perangkap jaring (sweep net)
Sumber :
2. Perangkap jatuh (pit fall trap)
Perangkap ini digunakan untuk menangkap serangga-serangga yang aktif pada siang hari dan malam hari dan kebiasaannya berjalan di atas tanah dan jarang terbang. Pemasangan perangkap dilakukan pada ke dua areal dengan titik sampling yang telah ditentukan. Perangkap dipasang dengan sistem diagonal dan interval pemantauan 3 hari sekali dengan jumlah pengamatan 5 kali. Tiap masing-masing titik sampling yang telah ditentukan dipasang perangkap. Perangkap yang terbuat dari baskom plastik (diameter permukaan baskom ± 15 cm) ditanam di dalam tanah dengan permukaan baskom sejajar dengan permukaan tanah. Apabila cuaca menunjukkan akan dating hujan perrmukaan baskom di naikkan 1 cm dari permukaan tanah, pada sisi luar baskom ditanbahi tanah agar serangga dapat berjalan ke permukaan perangkap dan dibuat naungan untuk menghindari air masuk kedalam perangkap. Masing-masing dasar baskom dilapisi kertas berwarna kuning dan diisi dengan air jernih sebanyak ± 400 ml dan ditambah sedikit larutan detergen untuk membunuh serangga. Perangkap ini dipasang jam 08.00 WIB pagi dan diambil besoknya jam 08.00 pagi (24 jam). Serangga-serangga yang
(37)
tertangkap dimasukkan ke dalam botol sampel selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
Gambar 2. Perangkap jatuh (pit fall trap) Sumber : Foto langsung
3. Perangkap cahaya lampu (light trap)
Perangkap ini digunakan untuk menangkap serangga yang aktif pada malam hari (nocturnal insect). Pemasangan perangkap dilakukan pada ke dua areal dengan titik sampling yang telah ditentukan. Perangkap dipasang dengan sistem diagonal dan interval pemantauan 3 hari sekali dengan jumlah pengamatan 5 kali. Perangkap ini menggunakan lampu kapal sebagai sumber cahaya. Lampu digantung dengan menggunakan penyangga dan di bawah lampu diletakkan baskom berisi air + 400 ml yang sudah dicampur sedikit larutan detergen. Tinggi penyangga perangkap 50 cm dari permukaan tanah. Pemasangan dilakukan pada pukul 18.00 dan diambil pukul 21.00 WIB Selanjutnya semua sampel serangga yang tertangkap dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
(38)
Gambar 3. Perangkap cahaya lampu (light trap) Sumber : Foto langsung
II. Survei Persentase Serangan Rayap
Pengambilan sampel dilakukan dengan mengamati gejala serangan rayap tiap tanaman pada blok sampel yang telah ditentukan. Tanaman dikatakan terserang apabila terdapat lorong-lorong rayap pada batang kelapa sawit. Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada :
a. Tanaman menghasilkan (TM)
1. Tanaman tahun tanam 1987 dengan luas lahan 61 ha. 2. Tanaman tahun tanam 1989 dengan luas lahan 50 ha. 3. Tanaman tahun tanam 1990 dengan luas lahan 76 ha. 4. Tanaman tahun tanam 1992 dengan luas lahan 34 ha. 5. Tanaman tahun tanam 1993 dengan luas lahan 29 ha. 6. Tanaman tahun tanam 1994 dengan luas lahan 37 ha. 7. Tanaman tahun tanam 1995 dengan luas lahan 26 ha. 8. Tanaman tahun tanam 1994 dengan luas lahan 22 ha.
(39)
9. Tanaman tahun tanam 1997 dengan luas lahan 28 ha. 10. Tanaman tahun tanam 1998 dengan luas lahan 21 ha. 11. Tanaman tahun tanam 2000 dengan luas lahan 10 ha. 12. Tanaman tahun tanam 2001 dengan luas lahan 8 ha. 13. Tanaman tahun tanam 2002 dengan luas lahan 9 ha. 14. Tanaman tahun tanam 2003 dengan luas lahan 3 ha. 15. Tanaman tahun tanam 2004 dengan luas lahan 33 ha. 16. Tanaman tahun tanam 2005 dengan luas lahan 44 ha. b. Tanaman belum menghasilkan (TBM).
17. Tanaman tahun tanam 2006 dengan luas lahan 30 ha. 18. Tanaman tahun tanam 2007 dengan luas lahan 38 ha. 19. Tanaman tahun tanam 2008 dengan luas lahan 48 ha. 20. Tanaman tahun tanam 2009 dengan luas lahan 40 ha. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 8.
Identifikasi Serangga
Serangga yang terdapat di lapangan dibawa ke laboratorium dan dikelompokkan sesuai dengan lokasi pengambilan sampel kemudian diawetkan dengan alkohol 70%, selanjutnya dideterminasi dan diidentifikasi dengan memperhatikan bentuk luar (morfologi) dengan bantuan loup, mikroskop stereo binokuler serta buku acuan kalshoven (1981), Sulthoni dan Subiyanto (1980), Borror (1992). Identifikasi dilaksanakan sampai pada tingkat famili.
(40)
Koleksi Serangga
Serangga-serangga yang telah diidentifikasi, kemudian dikoleksi basah dalam campuran alkohol dan formalin untuk serangga-serangga yang berukuran kecil, sedangkan serangga koleksi kering untuk imago serangga-serangga yang berukuran besar.
Adapun cara untuk dapat membuat koleksi adalah sebagai berikut :
1. Koleksi kering; Koleksi kering dibuat untuk serangga-serangga yang berukuran besar. Adapun cara yang digunakan untuk membuat koleksi kering, yaitu :
- Dikumpulkan serangga yang tertangkap ke dalam stoples - Ditutup rapat dan dibiarkan sampai serangga tersebut lemas.
- Diambil formalin dan disuntikkan ke bagian abdomen serangga yang telah lemas
- Diletakkan di media koleksi
- Diatur letak tungkainya sayapnya bagi serangga yang dapat terbang. - Diberi pelekat pada serangga ke media koleksi.
- Diberi label keterangan morfologi pada media koleksi
2. Koleksi basah; Koleksi basah dibuat untuk serangga-serangga yang berukuran kecil. Adapun cara yang digunakan untuk membuat koleksi basah, yaitu : - Disediakan botol koleksi yang transparan.
- Dimasukkan formalin, alkohol dan air bersih dengan perbandingan 1:3:10 - Dimasukkan serangga yang berukuran kecil ke dalam botol koleksi sesuai
dengan ciri morfologinya masing-masing - Diberi label keterangan pada media koleksi.
(41)
Peubah Amatan
1. Indeks keanekaragaman serangga
- Jumlah serangga dan jenis serangga yang tertangkap pada perangkap tiap pengamatan.
- Nilai frekuensi mutlak, frekuensi relatif, kerapatan mutlak, kerapatan relatif pada setiap pengamatan.
- Nilai indeks keanekaragaman jenis serangga yang tertangkap pada ke dua areal.
2. Survei persentase serangan rayap
- Jumlah tanaman yang terserang pada tiap blok sampel. - Persentase gejala serangan pada TM dan TBM.
(42)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kelimpahan Serangga pada Areal TM
Pengkajian terhadap kelimpahan serangga pada tanaman kelapa sawit menghasilkan menunjukkan nilai-nilai kerapatan mutlak, kerapatan relatif, frekuensi mutlak, dan frekuensi relatif yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil pengamatan yang didapat menunjukkan bahwa selama pengamatan, jumlah serangga yang tertangkap dengan menggunakan berbagai jenis perangkap pada areal tanaman kelapa sawit menghasilkan adalah sebanyak 10 ordo, yang terdiri dari 31 famili, dengan jumlah populasi serangga sebanyak 358 ekor.
Dari Tabel 1 diketahui nilai KM tertinggi adalah ordo Isoptera (Rhinotermitidae) yaitu sebanyak 103 ekor dengan nilai KR sebesar 28,771 %, sedangkan yang terendah adalah ordo Hymenoptera (Ichneumonidae) yaitu sebanyak 3 ekor dengan nilai KR sebesar 0.838 %.
Nilai FM tertinggi adalah ordo Coleoptera (Carabidae), ordo Dermaptera (Forfoculidae), ordo Hemiptera (Pentatomidae), ordo
Homoptera (Cicadelidae), ordo Isoptera (Rhinotermitidae), ordo Lepidoptera (Mimallonidae), dan ordo Orthoptera (Blattidae dan Tettigonidae), yaitu sebanyak
5 dengan nilai FR sebesar 4,032 %. Nilai FM terendah adalah ordo Coleoptera (Crysomelidae, Coccinelidae, dan Dystricidae), ordo Hemiptera (Coreidae), ordo Hymenoptera (Ichneumonidae), ordo Lepidoptera (Geometridae, Hesperidae, dan Satiridae) dan ordo Odonata (Condulegastridae), yaitu sebanyak 3 dengan nilai FR sebesar 2,419 %.
(43)
Tabel 1 : Jumlah serangga yang tertangkap pada areal TM
No. SERANGGA Pengamatan KM KR (%) FM
FR (%) 1 2 3 4 5
1 COLEOPTERA :
1. Carabidae 2 3 2 2 2 11 3.073 5 4.032
2. Chrysomelidae 2 2 2 6 1.676 3 2.419
3. Coccinelidae 2 2 2 3 9 2.514 4 3.226
4. Dysticidae 2 2 2 6 1.676 3 2.419
5. Scarabaeidae 2 2 2 3 9 2.514 4 3.226
2 DERMAPTERA :
6. Forfoculidae 2 3 1 2 3 11 3.073 5 4.032
3 DIPTERA :
7. Chloropidae 2 1 2 1 6 1.676 4 3.226
8. Sarcophagidae 3 1 2 2 8 2.235 4 3.226
4 HEMIPTERA :
9. Alydidae 1 2 2 1 6 1.676 4 3.226
10. Coreidae 2 2 2 6 1.676 3 2.419
11. Miridae 1 2 2 2 7 1.955 4 3.226
12. Pentatomidae 1 3 1 2 1 8 2.235 5 4.032
5 HOMOPTERA :
13. Cixlidae 1 1 3 3 8 2.235 4 3.226
14. Cicadelidae 3 3 4 2 4 16 4.469 5 4.032
6 HYMENOPTERA :
15. Formicidae 4 3 4 4 15 4.190 4 3.226
16. Ichneumonidae 1 1 1 3 0.838 3 2.419
17. Vespidae 3 2 2 1 8 2.235 4 3.226
7 ISOPTERA :
18. Rhinotermitidae 17 20 18 23 25 103 28.771 5 4.032
8 LEPIDOPTERA :
19. Danaidae 1 1 3 2 7 1.955 4 3.226
20. Geometridae 2 3 3 8 2.235 3 2.419
21. Hesperiidae 2 2 1 5 1.397 3 2.419
22. Mimallonidae 3 2 2 2 3 12 3.352 5 4.032
23. Pyralidae 1 2 1 1 5 1.397 4 3.226
24. Satyridae 2 1 2 5 1.397 3 2.419
25. Tortricidae 3 3 5 5 16 4.469 4 3.226
9 ODONATA :
26. Cordulegastridae 1 1 3 5 1.397 3 2.419
27. Libellulidae 1 2 2 1 6 1.676 4 3.226
10 ORTHOPTERA :
28. Acridiidae 2 1 2 1 6 1.676 4 3.226
29. Blattidae 2 2 2 2 1 9 2.514 5 4.032
30. Gryllidae 5 6 4 3 18 5.028 4 3.226
31. Tettigonidae 4 3 4 4 15 4.190 4 3.226
Total 73 68 63 80 74 358 100 124 100
(44)
2. Pembagian Status Fungsi Serangga pada Areal TM
Status fungsi serangga pada areal tanaman kelapa sawit menghasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pembagian status fungsi serangga pada areal TM
No. Ordo
Status Serangga
merugikan Parasitoid Predator
Serangga berguna
Tidak diketahui
1 Coleoptera
1. Chrysomelidae 1.Carabidae
2. Scarabaeidae 2.Coccinelidae
2 Dermaptera
3.Forfuculidae 3 Diptera
4.Chloropidae 5.Sarcopagidae 4 Hemiptera
3. Alydidae 4. Coreidae 5. Miridae 6. Pentatomidae 5 Homoptera
7. Cicadelidae 1. Cixlidae
6 Hymenoptera
1.Ichneumonidae 6.Formicidaae 2.Roproniidae 7.Vesvidae 7 Isoptera
8. Rhinotermitidae 8 Lepidoptera
9. Geometridae 1.Danaidae
10. Hesperiidae 2.Satyridae
11. Mimallonidae 12. Pyralidae 13. Tortricidae 9 Odonata
8.Cordulegastridae 9.Libellulidae 10 Orthoptera
14. Acridiidae
15. Blattidae 16. Gryllidae 17. Tettigonidae
Total 17 2 9 2 1 Sumber: Analisis Data (2009) dan Susilo (2007).
Dari Tabel 2. di atas status serangga sebagai hama yang kemungkinan dapat merusak tanaman kelapa sawit adalah ordo Coleoptera (Scarabaeidae), ordo
(45)
Isoptera (Rhinotermitidae), ordo Lepidoptera (Geometridae, Hesperidae) dan odo Orthoptera (Acridiidae, Tettigonidae).
Dari Tabel 2. diketahui status serangga yang berperan sebagai hama terdiri dari 19 famili, parasitoid 2 famili, predator 12 famili, serangga berguna 2 famili dan yang tidak diketahui statusnya 1 famili. Dari keberadaan status serangga tersebut dapat diketahui bahwa jumlah family serangga merugikan lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah serangga lainnya. Hal ini dapat terjadi karena pada areal tanaman menghasilkan semakin sedikit keanekaraagaman tumbuh-tumbuhan dan campur tangan manusia masih tetap ada dan cenderung meningkat, misalnya dalam mengendalikan gulma dan hama tersebut manusia menggunakan pestisida kimia guna mendapatkan hasil yang maksimal. Susilo (2007) mengatakan peledakan hama dapat dikaitkan dengan aplikasi pestisida yang intensif pada agroekosistem. Pestisida yang diaplikasikan diduga lebih efektif terhadap musuh alami dari pada hama sehingga musuh alami tidak mampu lagi mengendalikan hama secara alami. Hama yang terbebas dari musuh alami itu kemudian mampu merekoloni, apalagi bila menjadi resisten tehadap pestisida itu, populasinya meningkat sangat cepat.
3. Kelimpahan Serangga pada Areal TBM
Pengkajian terhadap kelimpahan serangga pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan menunjukkan nilai-nilai kerapatan mutlak, kerapatan relatif, frekuensi mutlak, dan frekuensi relatif yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil pengamatan yang didapat menunjukkan bahwa selama pengamatan, jumlah serangga yang tertangkap dengan menggunakan berbagai jenis perangkap
(46)
pada areal TBM adalah sebanyak 10 ordo, yang terdiri dari 36 famili, dengan jumlah populasi serangga sebanyak 448ekor.
Dari Tabel 3. diketahui nilai KM tertinggi adalah ordo Hymenoptera (Formicidae) yaitu sebanyak 38 ekor dengan nilai KR sebesar 8,482 %, sedangkan yang terendah adalah ordo Isoptera (Rhinotermitidae) dan ordo Lepidoptera (Pieridae dan Satyridae) yaitu sebanyak 2 ekor dengan nilai KR sebesar 0,446 %.
Nilai FM tertinggi adalah, ordo Coleoptera (Carabidae, Dysticidae), ordo Homoptera (Cicadellidae) ordo Hymenoptera (Formicidae), ordo Odonata (Coenagrionodae) dan ordo Orthoptera (Gryllidae) yaitu sebanyak 5 dengan nilai FR sebesar 4,032 %. Nilai FM terendah adalah ordo Isoptera (Rhinotermitidae)
dan ordo Lepidoptera (Satyridae) yaitu sebanyak 1 dengan nilai FR sebesar 0,806 %.
(47)
Tabel 3. Jumlah serangga yang tertangkap pada areal TBM
No. SERANGGA Pengamatan KM KR (%) FM FR (%) 1 2 3 4 5
1 COLEOPTERA :
1. Carabidae 4 2 5 2 3 16 3.571 5 4.032
2. Cicindelidae 4 5 4 13 2.902 3 2.419
3. Ciidae 5 6 5 16 3.571 3 2.419
4. Colydiidae 4 7 2 5 18 4.018 4 3.226
5. Curculionidae 3 5 7 2 17 3.795 4 3.226
6. Dermastidae 4 4 8 6 22 4.911 4 3.226
7. Dysticidae 5 8 3 3 8 27 6.027 5 4.032
2 DIPTERA :
8. Cecidomyiidae 2 2 3 2 9 2.009 4 3.226
9. Syrphidae 2 3 2 2 9 2.009 4 3.226
10. Sepsidae 2 1 2 5 1.116 3 2.419
3 HEMIPTERA :
11. Coreidae 4 9 5 3 21 4.688 4 3.226
12. Lygaeidae 2 3 3 3 11 2.455 4 3.226
13. Nabidae 4 3 3 10 2.232 3 2.419
14. Pyrrhocoridae 4 4 5 13 2.902 3 2.419
15. Reduviidae 2 5 4 11 2.455 3 2.419
4 HOMOPTERA :
16. Cicadellidae 3 3 5 3 4 18 4.018 5 4.032
17. Cicadidae 1 1 1 3 0.670 3 2.419
5 HYMENOPTERA:
18. Formicidae 6 9 8 7 8 38 8.482 5 4.032
19. Heloridae 4 3 2 1 10 2.232 4 3.226
20. Repronidae 1 2 1 4 0.893 3 2.419
21. Vespidae 2 2 1 5 1.116 3 2.419
6 ISOPTERA :
22. Rhinotermitidae 2 2 0.446 1 0.806
7 LEPIDOPTERA :
23. Danaidae 2 2 2 6 1.339 3 2.419
24. Lycaenidae 2 3 3 3 11 2.455 4 3.226
25. Noctuidae 3 3 5 11 2.455 3 2.419
26. Nymphalidae 2 2 4 0.893 2 1.613
27. Pieridae 3 3 6 1.339 2 1.613
28. Sphingidae 2 2 2 6 1.339 3 2.419
29. Satyridae 2 2 0.446 1 0.806
8 MECOPTERA :
30. Panorbidae 2 3 2 7 1.563 3 2.419
9 ODONATA :
31. Coenagrionodae 2 3 4 3 5 17 3.795 5 4.032
32. Cordulegastridae 2 3 4 1 10 2.232 4 3.226
33. Libellulidae 2 2 2 6 1.339 3 2.419
10 ORTHOPTERA :
34. Gryllidae 7 5 7 6 7 32 7.143 5 4.032
35. Tetrigidae 7 4 6 17 3.795 3 2.419
36. Tettigonidae 5 6 4 15 3.348 3 2.419
Total 96 92 89 75 96 448 100 124 100
(48)
4. Pembagian Status Fungsi Serangga pada TBM
Status fungsi serangga pada areal tanaman kelapa sawit belum menghasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pembagian status serangga pada areal TBM.
No. Ordo
Status Serangga
merugikan Parasitoid Predator
Serangga berguna
Tidak diketahui
1 Coleoptera
1. Curculionidae 1. Carabidae 1.Ciidae
2. Dermestidae 2. Cicindelidae
3. Colydiidae 4. Dysticidae 2 Diptera
5. Cecidomyiidae
6. Syrphidae 2.Sepsidae
3 Hemiptera
3. Coreidae 7. Nabidae
4. Lygaeidae 8. Pyrrhocoridae
9. Reduviidae 4 Homoptera
5. Cicadellidae 3.Cicadidae
5 Hymenoptera
1. Heloridae 10.Formicidaae 11.Vesvidae 6 Isoptera
6. Rhinotermitidae 7 Lepidoptera
7. Danaidae 1.Lycaenidae
8. Noctuidae 2.Nymphalidae
9. Sphingidae 3.Pieridae
4.Satyridae 8 Mecoptera
12.Panorpidae 9 Odonata
13.Coenagrionodae 14.Cordulegastridae 15.Libelludidae 10 Orthoptera
10. Gryllidae 4.Tetrigidae
11. Tettigonidae
Total 11 1 15 4 4 Sumber: Analisis Data (2009) dan Susilo (2007).
(49)
Dari Tabel 4. di atas status serangga sebagai hama yang kemungkinan dapat merusak tanaman kelapa sawit adalah ordo Coleoptera (Curculionidae), ordo Isoptera (Rhinotermitidae), ordo Lepidoptera (Geometridae, Hesperidae) dan odo Orthoptera (Tettigonidae).
Dari Tabel 4. diketahui status serangga yang berperan sebagai hama terdiri dari 11 famili, parasitoid 1 famili, predator 15 famili, serangga berguna 4 famili dan yang tidak diketahui statusnya 4 famili. Dari keberadaan status serangga tersebut dapat diketahui bahwa jumlah family serangga hama lebih rendah dibandingkan dengan jumlah serangga lainnya. Hal ini dapat terjadi karena keseimbangan ekosistem masih stabil sehingga peranan musuh alami dapat berfungsi. Untung (1996) menyatakan bahwa dalam keadaan ekosistem yang stabil, populasi suatu jenis organisme selalu dalam keadaan keseimbangan dengan populasi organisme lainnya dalam komunitasnya. Keseimbangan ini terjadi karena adanya mekanisme pengendalian yang bekerja secara umpan balik negatif yang berjalan apa tingkat antar spesies (persaingan, predasi) dan tingkat inter spesies.
Apabila dilihat dari Tabel 1 dan 3 dapat dilihat perbedaan jumlah serangga yang tertangkap pada kedua areal, yaitu: 358 ekor serangga yang tertangkap di areal tanaman kelapa sawit menghasilkan dan 448 ekor serangga yang tertangkap di areal tanaman kelapa sawit belum menghasilkan. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan ketersediaan makanan pada kedua areal. Pada areal tanaman kelapa sawit menghasilkan ketersediaan makanan sangat sedikit, sehingga serangga-serangga bermigrasi ke daerah lain. Altieri (1999) mengatakan bahwa keanekaragaman tanaman merupakan faktor yang mempengaruhi tingginya keanekaragaman individu-individu di dalamnya.
(50)
Dari Tabel 1. dapat dilihat serangga yang paling banyak ditemukan adalah dari ordo Isoptera (Rhinotermitidae), sedangkan bila dilihat dari statusnya pada Tabel 2. tergolong kedalam serangga merugikan (hama), oleh karena itu perlu penanganan yang khusus untuk mengendalikan serangga ini. Pahan (1996) dan Gurning (1997), menyatakan bahwa rayap merupakan salah satu hama utama tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Selain menyerang di pembibitan, rayap juga menyerang tanaman kelapa sawit tanaman belum menghasilkan maupun tanaman menghasilkan. Serangan hama rayap merupakan problem yang perlu penanggulangan secara rutin.
Dari Tabel 1 dan 3. menunjukkan serangga dari ordo Dermaptera (Forfoculidae) terdapat di areal TM namun di areal TBM tidak ada dan sebaliknya ordo Mecoptera (Panorpidae) terdapat di areal TBM namun di areal TM tidak ada. Dari hasil pengamatan dilapangan ordo Dermaptera biasanya hidup dan memangsa serangga lain di tandan kelapa sawit sehingga hanya terdapat di areal TM dan ordo Mecoptera biasanya memangsa serangga-serangga yang hidup di areal terbuka sehingga hanya terdapat di areal TBM.
5. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga
Hasil Perhitungan Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga dari dua lokasi Pengkajian di areal Perkebunan PT. Bilah Plantindo pada Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan (TM) dan Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan (TBM) dapat dilihat dalam tabel 5-7.
(51)
Tabel 5. Nilai Indeks keanekaragaman jenis serangga pada kedua areal.
NO Lokasi Indeks Keanekaragaman Jenis Keterangan
1. TM 2,962 Sedang
2. TBM 3,385 Tinggi
Menurut Michael (1995) ada 3 kriteria keanekaragaman jenis serangga yaitu, bila H`<1 berarti keanekaragaman serangga tergolong rendah., bila H’ 1-3 berarti keanekaragaman serangga tergolong sedang, bila H`>3 berarti keanekaragaman serangga tergolong tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut maka keanekaragaman jenis serangga pada areal TM sedang, hal ini menunjukkan keadaan ekosistem yang ada di lapangan antara hama dan musuh alaminya adalah stabil. Sedangkan pada areal TBM tergolong tinggi, hal ini menunjukkan keadaan ekosistem yang ada di lapangan antara hama dan musuh alaminya hampir seimbang. Dalam hal ini, keseimbangan populasi suatu organisme dalam komunitasnya dapat menurun akibat adanya gangguan terhadap ekosistem tersebut.
(52)
Tabel 6. Indeks keragaman jenis serangga pada areal TM
No. SERANGGA Jumlah pi ln pi H' 1 COLEOPTERA :
1. Carabidae 11 0.031 -3.483 0.107
2. Chrysomelidae 6 0.017 -4.089 0.069
3. Coccinelidae 9 0.025 -3.683 0.093
4. Dysticidae 6 0.017 -4.089 0.069
5. Scarabaeidae 9 0.025 -3.683 0.093
2 DERMAPTERA :
6. Forfoculidae 11 0.031 -3.483 0.107
3 DIPTERA :
7. Chloropidae 6 0.017 -4.089 0.069
8. Sarcophagidae 8 0.022 -3.801 0.085
4 HEMIPTERA :
9. Alydidae 6 0.017 -4.089 0.069
10. Coreidae 6 0.017 -4.089 0.069
11. Miridae 7 0.020 -3.935 0.077
12. Pentatomidae 8 0.022 -3.801 0.085
5 HOMOPTERA :
13. Cixlidae 8 0.022 -3.801 0.085
14. Cicadelidae 16 0.045 -3.108 0.139
6 HYMENOPTERA :
15. Formicidae 15 0.042 -3.172 0.133
16. Ichneumonidae 3 0.008 -4.782 0.040
17. Vespidae 8 0.022 -3.801 0.085
7 ISOPTERA :
18. Rhinotermitidae 103 0.288 -1.246 0.358
8 LEPIDOPTERA :
19. Danaidae 7 0.020 -3.935 0.077
20. Geometridae 8 0.022 -3.801 0.085
21. Hesperiidae 5 0.014 -4.271 0.060
22. Mimallonidae 12 0.034 -3.396 0.114
23. Pyralidae 5 0.014 -4.271 0.060
24. Satyridae 5 0.014 -4.271 0.060
25. Tortricidae 16 0.045 -3.108 0.139
9 ODONATA :
26. Cordulegastridae 5 0.014 -4.271 0.060
27. Libellulidae 6 0.017 -4.089 0.069
10 ORTHOPTERA :
28. Acridiidae 6 0.017 -4.089 0.069
29. Blattidae 9 0.025 -3.683 0.093
30. Gryllidae 18 0.050 -2.990 0.150
31. Tettigonidae 15 0.028 -3.578 0.100
(53)
Tabel 7. Indeks keragaman jenis serangga pada areal TBM
No. SERANGGA Jumlah
pi ln pi H' 1 COLEOPTERA :
1. Carabidae 16 0.036 -3.332 0.119
2. Cicindelidae 13 0.029 -3.540 0.103
3. Ciidae 16 0.036 -3.332 0.119
4. Colydiidae 18 0.040 -3.214 0.129
5. Curculionidae 17 0.038 -3.272 0.124
6. Dermastidae 22 0.049 -3.014 0.148
7. Dysticidae 27 0.060 -2.809 0.169
2 DIPTERA :
8. Cecidomyiidae 9 0.020 -3.908 0.079
9. Syrphidae 9 0.020 -3.908 0.079
10. Sepsidae 5 0.011 -4.495 0.050
3 HEMIPTERA :
11. Coreidae 21 0.047 -3.060 0.143
12. Lygaeidae 11 0.025 -3.707 0.091
13. Nabidae 10 0.022 -3.802 0.085
14. Pyrrhocoridae 13 0.029 -3.540 0.103
15. Reduviidae 11 0.025 -3.707 0.091
4 HOMOPTERA :
16. Cicadellidae 18 0.040 -3.214 0.129
17. Cicadidae 3 0.007 -5.006 0.034
5 HYMENOPTERA:
18. Formicidae 38 0.085 -2.467 0.209
19. Heloridae 10 0.022 -3.802 0.085
20. Repronidae 4 0.009 -4.718 0.042
21. Vespidae 5 0.011 -4.495 0.050
6 ISOPTERA :
22. Rhinotermitidae 2 0.004 -5.412 0.024
7 LEPIDOPTERA :
23. Danaidae 6 0.013 -4.313 0.058
24. Lycaenidae 11 0.025 -3.707 0.091
25. Noctuidae 11 0.025 -3.707 0.091
26. Nymphalidae 4 0.009 -4.718 0.042
27. Pieridae 6 0.013 -4.313 0.058
28. Sphingidae 6 0.013 -4.313 0.058
29. Satyridae 2 0.004 -5.412 0.024
8 MECOPTERA :
30. Panorbidae 7 0.016 -4.159 0.065
9 ODONATA :
31. Coenagrionodae 17 0.038 -3.272 0.124
32. Cordulegastridae 10 0.022 -3.802 0.085
33. Libellulidae 6 0.013 -4.313 0.058
10 ORTHOPTERA :
34. Gryllidae 32 0.071 -2.639 0.189
35. Tetrigidae 17 0.038 -3.272 0.124
36. Tettigonidae 15 0.033 -3.397 0.114
(54)
Dari Tabel 6. dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman serangga pada areal tanaman kelapa sawit menghasilkan tergolong sedang. Hal ini dapat terjadi karena ketersediaan sumber makanan sangat terbatas serta adanya usaha kultur teknis perkebunan dalam hal pengaruh dan pengendalian jasad-jasad pengganggu tanaman dengan menggunakan pestisida. Untung (1996) mengatakan bahwa hambatan lingkungan merupakan faktor biotik dan abiotik di ekosistem yang cendrung menurunkan fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu dalam populsi organisme. Faktor tersebut menghalangi suatu organnisme untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi biotiknya.
Dari Tabel 7. dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman serangga pada areal tanaman kelapa sawit belum menghasilkan tergolong tinggi. Hal ini dapat terjadi karena ketersediaan sumber makanan masih tinggi sehingga mendukung untuk perkembangan serangga baik serangga merugikan maupun musuh alaminya. Michael (1995) mengatakan bahwa semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya.
(55)
6. Jumlah Tanaman Kelapa Sawit yang Terserang Rayap Per Tahun Tanam
Jumlah tanaman kelapa sawit yang terserang rayap per tahun tanam pada setiap blok sampel dapat dilihat pada Tabel 8. berikut:
Tabel 8. Jumlah tanaman yang terserang rayap per tahun tanam di PT. Bilah Plantindo tahun 2009
Tahun tanam Luas Jumlah tanaman Jumlah tanaman
terserang
Persentase serangan
(%)
1987 61 8694 151 1.74
1989 50 7003 105 1.50
1990 45 6356 123 1.94
1992 34 4621 52 1.13
1993 29 3937 37 0.94
1994 37 5125 33 0.64
1995 26 3569 47 1.32
1996 22 2781 31 1.11
1997 28 3577 31 0.87
1998 21 2978 15 0.50
2000 10 1276 5 0.39
2001 8 1057
2002 9 1276 13 1.02
2003 3 429 5 1.17
2004 33 4719
2005 44 6292 9 0.14
2006 30 4290 0
2007 38 5434 0
2008 48 6864 0
2009 40 5720 0
(56)
Dari tabel 8. dapat dilihat perbedaan jumlah tanaman yang terangan rayap dan persentase serangan pada masing-masing blok sampel per tahun tanam dimana semakin tinggi umur tanaman pada umumnya akan semakin tinggi pula serangan rayap. Hal ini sesuai dengan Purba et al (2002) yang mengatakan tanaman kelapa sawit di lahan gambut dapat terserang rayap pada umumnya yang sudah berumur tua karena ketersediaan seratnya sudah tinggi.
Dari Tabel 8. dapat juga dilihat pada tanaman kelapa sawit tahun tanam 2001 walaupun sudah tua tetapi tidak ada serangan rayap. Hal ini diduga dapat terjadi karena sifat rayap hidup berkelompok dan penyebarannya lambat sehingga pada lokasi tersebut belum terdapat kelompok rayap. Susetya (1994) mengatakan bahwa rayap merupakan serangga yang hidup bermasyarakat. sebagai makhluk sosial, rayap selalu hidup dalam koloni. rayap tidak bisa hidup sendiri, karena dalam koloni ada bahan-bahan dan proses-proses untuk kelangsungan hidupnya.
7. Persentase Serangan Rayap pada Areal TM dan TBM.
Persentase serangan rayap pada areal TM dan TBM dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 9. Persentase Serangan Rayap Pada TM dan TBM
No. Lokasi Luas Jumlah populasi
tanaman
Jumlah tanaman terserang
Persentase serangan
(%)
I TM
416 57398 655 1,14
II
TBM
200 28600 9 0,03
Dari Tabel 9. Dapat dilihat pada areal TBM terdapat sedikit serangan rayap diduga karena tanaman masih muda dan ketersediaan makanan bekas
(57)
replanting di dalam tanah masih banyak tersedia. Karena sudah dikeluarkannya UU yang melarang pembakaran yang tertulis dalam UU No19 tahun 2004 Pasal 49 dan Pasal 50 ayat (3) huruf d yang melarang siapapun dan dengan tujuan apapun untuk melakukan pembakaran hutan atau lahan sehingga batang-batang sawit bekas replanting di cincang dan dijejerkan di sepanjang gawangan mati. Hal ini sesuai dengan literatur Purba et al (2002) yang mengatakan bahwa bahan-bahan yang berkayu yang melimpah pada lahan gambut merupakan habitat yang ideal bagi rayap. Rayap tersebut bersarang pada tunggul-tunggul kayu yang melapuk di sekitar tanaman kelapa sawit, dimana mereka bertahan hidup dan berkembangbiak. Apabila sisa-sisa kayu telah habis dari sana mereka mulai merayap membentuk lorong-lorong kembara menuju tanaman kelapa sawit.
(58)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pada areal tanaman kelapa sawit menghasilkan diperoleh nilai kerapatan relatif (KR) tertinggi adalah 28,771 % dari ordo Isoptera dan terendah sebesar 0,838 % dari ordo Hymenoptera.
2. Pada areal tanaman kelapa sawit belum menghasilkan diperoleh nilai kerapatan relatif (KR) tertinggi adalah 8,482 % dari ordo Hymenoptera dan terendah sebesar 0,446 % dari ordo Isoptera.
3. Persentase serangan rayap pada areal TM sebesar 1,14 % dan pada areal TBM sebesar 0,03%.
4. Nilai indeks keanekaragaman jenis serangga (H`) pada areal TM sebesar 2,962 dan pada areal TBM sebesar 3,385.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai daya bunuh serangga predator dan parasitoid terhadap serangga hama.
2. Perlu ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pengendalian serangan rayap terutama pada saat replanting agar serangan rayap berkurang dimasa yang akan datang.
(59)
DAFTAR PUSTAKA
Altieri, M.A. 1999. The Ecological Role of Biodiversity in Agroecosystem. Agriculture, Ecosystems and Environment
Amdal, 2009. Kebun PT. Bilah Plantindo. Lembaga Penelitian-USU, Medan. Anonimous, 2008. Indeks Diversitas/Keanekaragaman. Available on line at :
Arief, 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius, Jakarta.
Baharuddin, N., dan A., Kurniati, 2004. Pengamatan Penyakit Penting pada Beberapa Fase Perkembangan Tanaman Transgenik di Lahan Sawah dan Lahan Kering, Jurnal Sains dan Teknologi
Bakti, D. 2004. Pengendalian Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren menggunakan Nematoda Steinernema carpocapsae W. dalam Skala Laboratorium. Jurnal Natur Indonesia, 6(2):81-83.
Borror, D.J., C.A. Triplehorn., dan N.F. Johnson., 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Emden, V.H.F dan Z.T. Dabrowski. 1997. Issues of biodiversity in pest
management. Insect Science and Applications
Fauzi, Y., Yustina E.W., Irman S., dan Rudi, H., 2002. Kelepa Sawit Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasarannya. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ginting, C.S, P. Sudarto, dan Chenon. D. R., 2002. Strategi Pengendalian Rayap Pada Kelapa Sawit di Lahan Gambut. Warta PPKS. Medan
Girsang, P. dan Daswir, 1995. Ekologi Pengendalian Hama pada Tanaman Kelapa Sawit. Makalah Seminar dan Pameran Ilmiah Himpunan Mahasiswa Hama dan Penyakit tumbuhan, UISU, medan.
Gurning, T.M., dan E., Purba, 1997. Masalah Hama Rayap Kelapa Sawit di Lahan Gambut. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan symposium Entomologi. Himpunan Entomologi Indonesia dengan Universitas Padjajaran, Bandung.
(60)
Hartati, S.S., 2006. Position Paper KPPU Terhadap Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit. Available on line at : 2009)
Heddy, S dan M, Kurniaty., 1996. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Kalshoven, L.G.E, 1981. The Pest Of Crops In Indonesia. PT. Ichtan Baru-Van Hoeve, Jakarta.
Krebs, 1978. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Third Edition. Harper and Row Publisher, New York.
Manurung, E.G.T., 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Available on line at :
Michael, P, 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koester. UI-Press, Jakarta.
Novianty, D. 2005. Pengaruh Jamur Beauveria bassiana (Balsomo) vuillemin dan Metarhizium anisopliae (Mets). Sorokin Terhadap Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren. Available on line at :
Oka, I.N., 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. UGM-Press, Yogyakarta.
Pahan, I., 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta.
Prasetiyo, K.W. dan S. Yusuf, 2005. Mencegah dan Membasmi Rayap Secara Ramah Lingkungan dan Kimiawi. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Prasetyani, M., dan E. Miranti, 2004. Potensi dan Prospek Bisnis Kelapa Sawit di
Indonesia. Available on line at :
Prawirosukarto, S., A. Susanto dan R.Y. Purba. 2002. Teknologi pengendalian
hama dan penyakit pada kelapa sawit. PPKS Medan.
Purba, Y.R., Sudharto P, dan R. Desmier de Chenon, 2002. Strategi Pengendalian Rayap pada Lahan Gambut.Warta PPKS. Medan Sumatera Utara.
(61)
Rukmana, R., dan Sugandi, 1997. Hama Tanaman dan Taknik Pengendaliannya. Kanisius, Yokyakarta.
Soehardjo H., Habib H. H., Rajali I., Asmah P., Elvidiana L., Sri B., dan Kusmahadi, 1997. Vademecum Kelapa Sawit. PT. Perkebunan Nusantara IV, Bah Jambi Pematang Siantar, Sumatera Utara – Indonesia.
Soepadiyo, dan S. Haryono., 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Suin, M.I., 2003. Metoda Ekologi. Universitas Andalas, Suin.
Sulthoni, A, dan Subyanto, 1980. Kunci Determinasi Serangga. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suroso I.A., Kudang B,S., dan P., Satriawan, 2003. Pengenbangan Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit. Available on line at : 2009).
Susetya N. P., 1994. Serangga di Sekitar Kita. Penerbit Kanisius, Yokyakarta. Susilo, F.X., 2007. Pengendalian Hayati dengan Memberdayakan Musuh Alami
Hama Tanaman. Graha Ilmu, Yokyakarta.
Tarumingkeng R.C., 2001. Serangga dan Lingkungan. Available on line at :
Tim Penulis PS, 1997. Kelapa Sawit, Usaha Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Aspek Pemasaran. Penebar Swadaya, Jakarta.
Untung, K., 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Uiversity Press, Yokyakarta.
Wardojo, S., M. Soehardjan., S. Adisoemarto., E. Soenarjo., dan M. Ismunadji., 1997. Aspek Pestisida di Indonesia. Hasil Simposium Peranan Pestisida dalam Pengembangan Hama dan Penyakit Tanaman, Bogor.
(1)
Lampiran 3. Jumlah tanaman terserang rayap pada tiap blok sampel per tahun tanam di PT. Bilah Plantindo tahun 2009
Tahun tanam
Blok Luas Jumlah Tanaman
Jlh Tanaman terserang 1987
D12 17 2421 55
E12 21 2995 45
F12 23 3278 51
8694 151
1989
A11 20 2803 45
D3 16 2237 27
E1 14 1963 33
7003 105
1990
D4 23 3341 67
D10 22 3015 56
6356 123
1992
A9 34 4621 52
1993
B7 29 3937 37
1994
A2 37 5125 33
1995
B2 26 3569 47
1996
C5 22 2781 31
1997
C7 28 3577 31
1998
D2 13 1853 15
H6 2 276 -
H8 6 849 -
2978 15
2000
E1 3 347 5
H12 7 929 -
1276 5
2001
E2 8 1057
2002
E1 4 567 5
E2 5 709 8
1276 13
2003
E1 3 429 5
2004
F4 10 1430 -
J6 23 3289 -
4719 -
2005
F7 44 6292 9
2006
E8 30 4290 -
2007
G5 38 5434 -
2008
G8 48 6864 -
2009
(2)
Lampiran 4. Gejala serangan rayap
(a)
(b)
Foto gejala serangan rayap pada batang kelapa sawit
Gambar (a) Lobang yang dibuat rayap pada batang sawit (b) Sarang rayap yang terbuat dari tanah menuju titik tumbuh.
(3)
Lampiran 5. Serangga-serangga yang tertangkap pada kedua areal
ORDO ORTHOPTERA
Coleoptera : Carabidae Coleoptera : Ciidae Coleoptera : Cicindelidae
Coleoptera : Chrysomelidae Coleoptera : Dermastidae Coleoptera : Coccinelidae
Coleoptera : Curculionidae Coleoptera : Scarabaeidae Coleoptera : Dysticidae
Coleoptera : Colydiidae
ORDO DERMAPTERA
Dermaptera : Forpiculidae
(4)
ORDO DIPTERA
Diptera : Sepsidae Diptera : Syrphidae Diptera : Sarchopagidae
ORDO HEMIPTERA
Hemiptera : Coreidae Hemiptera : Ligaeidae Hemiptera : Miridae
Hemiptera : Namidae Hemiptera : Pentatomidae Hemiptera Pyrrhocoridae
Hemiptera :Reduviidae
ORDO HOMOPTERA
(5)
ORDO HYMENOPTERA
Hymenoptera: Formicidae Hymenoptera: Heloridae Hymenoptera:Repronidae
Hemiptera : Vespidae
ORDO ISOPTERA
Isoptera : Rhinotermitidae
ORDO LEPIDOPTERA
Lepidoptera : Danaidae Lepidoptea : Geometridae Lepidoptera: Nymphalidae
(6)
Lepidoptera : Seslidae Lepidoptera : Sphingidae Lepidoptera : Totricidae
ORDO ODONATA
Odonata : Coenagridae Odonata : Cordulegastridae Odonata : Libellulidae
ORDO ORTHOPTERA
Orthoptera : Acridiidae Orthoptera : Blattidae Orthoptera : Gryllidae
Orthoptera : Tettigonidae Sumber : Foto Langsung (2008).