Pembuatan Dan Karakterisasi Bata Berpori Dengan Agregat Batu Apung (Pumice) Sebagai Filter Gas Buang Kendaraan
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BATA BERPORI
DENGAN AGREGAT BATU APUNG (PUMICE) SEBAGAI
FILTER GAS BUANG KENDARAAN
TESIS
Oleh :
Z U L H E L M I
NIM : 087026024/FIS
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BATA BERPORI
DENGAN AGREGAT BATU APUNG (PUMICE) SEBAGAI
FILTER GAS BUANG KENDARAAN
TESIS
Oleh :
Z U L H E L M I
NIM : 087026024/FIS
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(3)
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BATA BERPORI
DENGAN AGREGAT BATU APUNG (PUMICE) SEBAGAI
FILTER GAS BUANG KENDARAAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Fisika pada Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara
Oleh
ZULHELMI
NIM : 087026024/FIS
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(4)
(5)
PENGESAHAN TESIS
Judul Tesis : PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BATA BERPORI DENGAN AGREGAT BATU
APUNG (PUMICE) SEBAGAI FILTER GAS BUANG KENDARAAN
Nama : ZULHELMI Nomor Induk Mahasiswa : 087026024
Program Studi : Magister Fisika
Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc Dr. Anwar Dharma Sembiring, MS
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc NIP. 195503171986011001 NIP. 196310261991031001
(6)
PERNYATAAN ORISINALITAS
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BATA BERPORI DENGAN AGREGAT BATU APUNG ( PUMICE ) SEBAGAI
FILTER GAS BUANG KENDARAAN
TESIS
Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya Tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah
dijelaskan sumbernya dengan benar.
Medan, 10 Agustus 2010
ZULHELMI NIM : 087026024
(7)
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Zulhelmi NIM : 087026024
Program Studi : Magister Ilmu Fisika Jenis Karya Ilmiah : Tesis
Demi pengembangan Ilmu Pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ( Non-Exlusive Royalty Free Right ) atas Tesis saya yang berjudul :
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BATA BERPORI DENGAN AGREGAT BATU APUNG ( PUMICE ) SEBAGAI
FILTER GAS BUANG KENDARAAN
Beserta perangkat yang ada ( jika diperlukan ). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media. Memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasi Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Medan, 10 Agustus 2010
ZULHELMI NIM : 087026024
(8)
Telah diuji pada
Tanggal : 10 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc Anggota : 1. Dr. Anwar Dharma Sembiring, MS
2. Prof. Drs. Muhammad Syukur, MS 3. Prof. Dr. Timbangen Sembiring, M.Sc
(9)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama lengkap berikut gelar : Zulhelmi, S.Si
Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 2 Juni 1979
Alamat Rumah : Jl. Satu Lingkungan IV No. B 14 Kelurahan Pulo Brayan Bengkel Kecamatan Medan Timur Kota Medan
Telepon : 085297600053
e – mail : zulhelmi0279@yahoo.co.id
Instansi Tempat Bekerja : SMA Amir Hamzah Medan
Alamat Kantor : Jl. Meranti No. 1 Medan
Telepon / Fax : 061 – 4528167
DATA PENDIDIKAN
SD : Negeri 060863 Medan Tamat : 1992
SMP : Negeri 9 Medan Tamat : 1995
SMA : Sutan Oloan Medan Tamat : 1998
Strata – 1 : Fisika FMIPA Universitas Andalas Padang Tamat : 2003
Strata – 2 : Program Studi Magister Fisika Program
(10)
KATA PENGANTAR
Pertama – tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmad dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Kami ucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dana sehingga kami dapat melaksanakan Program Magister Sains pada Program Studi Magister Ilmu Fisika Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM) Sp.A(K). atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Sains.
Bapak Dekan FMIPA, Dr. Sutarman, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Sains pada Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.
Bapak Ketua Program Studi Magister Ilmu Fisika, Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc, Bapak Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Fisika, Drs. Nasir Saleh, M.Eng.Sc beserta seluruh staf edukatif dan administratif pada Program Studi Magister Ilmu Fisika Program Pascasarjana Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc selaku Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian dan telah memberikan dorongan, bimbingan dan arahan, demikian juga kepada Bapak Dr. Anwar Dharma Sembiring, MS selaku Pembimbing Lapangan yang dengan penuh kesabaran menuntun dan membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini.
Kepada Almarhum Ayahanda Hamzah, Ibunda tercinta Nurnely, abang tersayang Zulhamtony dan Henro Zulnofly serta adinda tersayang Abdul Karim dan M. Arief, terima kasih atas segala pengorbanan kalian yang penuh sabar dan pengertian serta motivasi kepada penulis hingga selesainya pendidikan ini, kebaikan ini tidak dapat dibalas hanya diserahkan kepada Allah SWT jua.
Semoga kita diberikan taufiq, hidayah, dan inayah-Nya dalam memanfaatkan segala ciptaan-Nya bagi kesejahteraan umat manusia.
Amin Ya Rabbal Alamin.
Medan, 10 Agustus 2010
Penulis,
(11)
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BATA BERPORI DENGAN AGREGAT BATU APUNG ( PUMICE ) SEBAGAI
FILTER GAS BUANG KENDARAAN
ABSTRAK
Sekarang ini pengaruh negatif dari polusi udara yang disebabkan oleh gas buang kendaraan bermotor pada keadaan yang memprihatinkan. Pencemaran ini dapat mengancam kesehatan umat manusia. Penelitian ini untuk menemukan suatu alternatif dalam membantu mengatasi masalah polusi udara dengan pembuatan bata berpori yang digunakan sebagai filter gas buang kendaraan. Komposisi bahan dasar bata berpori yang digunakan adalah semen sebanyak 20 % setiap sampel, pasir 80 %, 70 %, 60 %, 50 %, 40 %, 30 %, 20 %, 10 %, 0 % dan agregat batu apung dengan komposisi 0 %, 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, 70 %, dan 80 %. Semua bahan berukuran 100 mesh. Kemudian dicetak dan dikeringkan selama 28 hari. Karakterisasi bata berpori yang telah diuji memiliki densitas 1,77 gr/cm3 – 1,33 gr/cm3, serapan air 5,52 % - 33,09 %, kuat tekan 8,57 MPa – 6,96 MPa, kuat impak 1,34 J/cm2 – 0,57 J/cm2, kekerasan brinell hardness 99,55 HB – 90,15 HB, dan kekerasan vickers hardness 105,79 HV – 95,80 HV. Filter gas buang yang dibuat berhasil mengurangi polusi udara yang diakibatkan oleh gas buang kendaraan bermotor berbahan bakar bensin (C6H12) dengan absorbsi gas sebesar 2,62 % - 32,97 % CO, 7,5 % - 38,37 % CO2, 27,66 % - 63,74 % HC. Sebaliknya meningkatkan produksi gas O2 sebesar 11,50 % - 74,33 % dari gas yang lain.
(12)
PREPARATION AND CHARACTERIZATION OF POROUS BRICKS WITH PUMICE STONE AGGREGATE (PUMICE) AS
A VEHICLE EXHAUST GAS FILTER
ABSTRACT
Nowadays the negative effect of the air pollution caused by vehicle exhaust gas take at high level seriously. This air pollution can threaten human health. This research want to find an alternative way to solve air pollution problems with the making of porous brick that used as vehicle exhaust gas filter. The composition of basic porous brick substance that used cement 20 % of each sample, sand 80 %, 70 %, 60 %, 50 %, 40 %, 30 %, 20 %, 10 %, 0 % and pumice aggregate with the composition 0 % , 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, 70 %, and 80 %. All of the substances have a measurement of 100 mesh. And then moulded and dried for 28 days. Characteristic of the porous brick has been studied is density 1,77 gr/cm3 – 1,33 gr/cm3, water absorption 5,52 % - 33,09 %, compressive strength 8,57 MPa – 6,96 MPa, impact strength 1,34 J/cm2 – 0,57 J/cm2, brinell hardness 99,55 HB – 90,15 HB, and Vickers hardness 105,79 HV – 95,80 HV. Gas filter which has been made can decrease air pollution successfully by gasoline ( C6 H12 ) exhaust gas with absorption gas is 2,62 %
- 32,97 % CO, 7,5 % - 38,37 % CO2, 27,66 % - 63,74 % HC. Against to other gas, O2
increase from 11,50 % - 74,33 %.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
PENGESAHAN TESIS i
PERNYATAAN ORISINALITAS ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP v
KATA PENGANTAR vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Ruang Lingkup Masalah 3
1.3. Pembatasan Masalah 3
1.4. Perumusan Masalah 3
1.5. Tujuan Penelitian 4
1.6. Manfaat Penelitian 4
(14)
2.1. Pengertian dan Material Bata Berpori 5
2.2. Bahan-bahan Bata Berpori 7
2.3. Gas Buang Kendaraan Bermotor 14
2.4. Absorbsi 17
2.5. Pembuatan Bata Berpori 18
2.6. Karakteristik Bahan 19
2.6.1. Densitas 19
2.6.2. Serapan Air 19
2.6.3. Kekerasan 20
2.6.4. Kuat Tekan 21
2.6.5. Kuat Impak 21
2.6.6. Gas Analizer 22
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 23
3.2. Alat dan Bahan Penelitian 23
3.3. Prosedur Penelitian 26
3.4. Variabel dan Parameter Penelitian 27
3.5. Alat Pengumpul Data Penelitian 27
3.6. Pembuatan Sampel 28
3.7. Pengukuran Densitas 31
3.8. Pengukuran Serapan Air 31
3.9. Pengujian Kekerasan 32
(15)
3.11. Pengujian Kuat Tekan 32
3.12. Pengujian Absorbsi Gas Buang 33
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Densitas 34
4.2. Serapan Air 36
4.3. Kuat Tekan 38
4.4. Kuat Impak 40
4.5. Kekerasan 42
4.6. Uji Absorbsi Gas Buang Kendaraan 45
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 53
5.2. Saran 54
DAFTAR PUSTAKA 55
(16)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halama n Tabel
3.1. Perbandingan Bahan 25
4.1. Hasil Pengukuran Densitas 34
4.2. Hasil Pengukuran Serapan Air 36
4.3. Hasil Pengujian Kuat Tekan 38
4.4. Hasil Pengujian Kuat Impak 40
4.5. Hasil Pengujian Kekerasan 42
4.6. Hasil Pengujian Gas Buang Tanpa Filter 46
4.7. Hasil Pengujian Absorbsi Gas Buang Dengan Filter 46
(17)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul
Halaman Gambar
2.1. Knalpot Kendaraan 14
3.1. Skema Pembuatan Bata Berpori Untuk Uji
Gas Buang Kendaraan 26
3.2. Perendaman Sampel 31
3.3. Pengujian Sampel Filter 33
4.1. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
pada bata berpori terhadap nilai densitas 35 4.2. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apungpada bata
berpori terhadap nilai serapan air 37
4.3. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung pada bata
berpori terhadapnilai kuat tekan 39 4.4. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung pada bata
berpori terhadap nilai kuat impak 41
4.5. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
pada bata berpori terhadap nilai kekerasan Brinell Hardness (HB) 43
4.6. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
(18)
4.7. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
terhadap absorbsi gas CO 47 4.8. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
terhadap absorbsi gas CO2 48 4.9. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
terhadap absorbsi gas HC 49 4.10. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
terhadap pertambahan produksi gas O2 51
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman Lampiran
A. Perhitungan Untuk Menentukan Densitas L – 1 B. Perhitungan Untuk Menentukan Serapan Air L – 2
C. Perhitungan Untuk Menentukan Kuat Tekan L – 3 D. Perhitungan Untuk Menentukan Kuat Impak L – 4
E. Perhitungan Untuk Menentukan Kekerasan Vickers
Hardness L – 5
F. Perhitungan Untuk Menentukan Persentase Absorbsi
Gas CO, CO2, HC, dan O2 L – 6
G. Gambar Bahan – bahan penelitian L – 9
H. Contoh Sampel Penelitian L – 10
I. Gambar Alat – alat Penelitian L – 11
J. Surat Keterangan dari Balai Riset dan Standardisasi
Industri Medan L – 16
K. Surat Keterangan dari PT. Capella Medan L – 17
L. Data Uji Gas Buang Kendaraan L – 18
(20)
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BATA BERPORI DENGAN AGREGAT BATU APUNG ( PUMICE ) SEBAGAI
FILTER GAS BUANG KENDARAAN
ABSTRAK
Sekarang ini pengaruh negatif dari polusi udara yang disebabkan oleh gas buang kendaraan bermotor pada keadaan yang memprihatinkan. Pencemaran ini dapat mengancam kesehatan umat manusia. Penelitian ini untuk menemukan suatu alternatif dalam membantu mengatasi masalah polusi udara dengan pembuatan bata berpori yang digunakan sebagai filter gas buang kendaraan. Komposisi bahan dasar bata berpori yang digunakan adalah semen sebanyak 20 % setiap sampel, pasir 80 %, 70 %, 60 %, 50 %, 40 %, 30 %, 20 %, 10 %, 0 % dan agregat batu apung dengan komposisi 0 %, 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, 70 %, dan 80 %. Semua bahan berukuran 100 mesh. Kemudian dicetak dan dikeringkan selama 28 hari. Karakterisasi bata berpori yang telah diuji memiliki densitas 1,77 gr/cm3 – 1,33 gr/cm3, serapan air 5,52 % - 33,09 %, kuat tekan 8,57 MPa – 6,96 MPa, kuat impak 1,34 J/cm2 – 0,57 J/cm2, kekerasan brinell hardness 99,55 HB – 90,15 HB, dan kekerasan vickers hardness 105,79 HV – 95,80 HV. Filter gas buang yang dibuat berhasil mengurangi polusi udara yang diakibatkan oleh gas buang kendaraan bermotor berbahan bakar bensin (C6H12) dengan absorbsi gas sebesar 2,62 % - 32,97 % CO, 7,5 % - 38,37 % CO2, 27,66 % - 63,74 % HC. Sebaliknya meningkatkan produksi gas O2 sebesar 11,50 % - 74,33 % dari gas yang lain.
(21)
PREPARATION AND CHARACTERIZATION OF POROUS BRICKS WITH PUMICE STONE AGGREGATE (PUMICE) AS
A VEHICLE EXHAUST GAS FILTER
ABSTRACT
Nowadays the negative effect of the air pollution caused by vehicle exhaust gas take at high level seriously. This air pollution can threaten human health. This research want to find an alternative way to solve air pollution problems with the making of porous brick that used as vehicle exhaust gas filter. The composition of basic porous brick substance that used cement 20 % of each sample, sand 80 %, 70 %, 60 %, 50 %, 40 %, 30 %, 20 %, 10 %, 0 % and pumice aggregate with the composition 0 % , 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, 70 %, and 80 %. All of the substances have a measurement of 100 mesh. And then moulded and dried for 28 days. Characteristic of the porous brick has been studied is density 1,77 gr/cm3 – 1,33 gr/cm3, water absorption 5,52 % - 33,09 %, compressive strength 8,57 MPa – 6,96 MPa, impact strength 1,34 J/cm2 – 0,57 J/cm2, brinell hardness 99,55 HB – 90,15 HB, and Vickers hardness 105,79 HV – 95,80 HV. Gas filter which has been made can decrease air pollution successfully by gasoline ( C6 H12 ) exhaust gas with absorption gas is 2,62 %
- 32,97 % CO, 7,5 % - 38,37 % CO2, 27,66 % - 63,74 % HC. Against to other gas, O2
increase from 11,50 % - 74,33 %.
(22)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udara merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Tanpa udara manusia tidak akan dapat bertahan hidup. Namun kualitas
udara semakin menurun seiring dengan adanya pembangunan dan tingginya arus
transportasi kendaraan bermotor terutama di kota-kota besar seperti Kota Medan.(
http://carelingkungan.blogspot.com/2010/06/lingkungan-di-tengah-emisi-gas-buang.html )
Perkembangan kendaraan bermotor dan industri yang pesat dewasa ini
ternyata membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik yang bersifat positif
maupun bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif memang diharapkan oleh
manusia dalam rangka meningkatkan kualitas kenyamanan hidup. Sementara itu
dampak yang bersifat negatif tidak diharapkan karena dapat menurunkan kualitas dan
kenyamanan hidup, sehingga harus dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Dampak
negatif dari masalah sistem transportasi ini adalah tingginya kadar polutan akibat
emisi (pelepasan) dari asap kendaraan bermotor. Hal ini bisa menjadi ancaman serius
bila dibiarkan begitu saja. Bukan saja bagi lingkungan yang kita diami, tapi lebih jauh
bisa mengakibatkan menurunnya derajat kesehatan masyarakat dengan berjangkitnya
penyakit saluran pernapasan akibat polusi udara. Dampak lain yang begitu dirasakan
akibat menurunnya kualitas udara adalah laju pembangunan antara lain adanya
pemanasan kota sejalan dengan kenaikkan jumlah kendaraan bermotor yang
menyebabkan kenaikkan jumlah konsumsi bahan bakar minyak. ( Dorin Mutoif, 2008
(23)
Kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber pencemaran udara di
daerah perkotaan. Kondisi emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh
kandungan bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin. Pada pembakaran
sempurna, emisi paling signifikan yang dihasilkan dari kendaraan bermotor
berdasarkan massa adalah gas karbon dioksida (CO2) dan uap air, namun kondisi ini jarang terjadi. ( Ardi Tjitra, 2008 )
Bahan pencemar yang utama terdapat di dalam gas buang kendaraan bermotor
adalah karbon monoksida (CO), berbagai senyawa hidrokarbon (HC), berbagai
oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), serta partikulat debu termasuk timbel (Pb). Dari segi lingkungan, emisi gas buang kendaraan bermotor juga cenderung membuat
kondisi tanah dan air menjadi asam. Pengalaman di negara maju membuktikan
bahwa kondisi seperti ini dapat menyebabkan terlepasnya ikatan tanah atau sedimen
dengan beberapa mineral/logam, sehingga logam tersebut dapat mencemari
lingkungan. ( Gabriel, J. F, 2001 )
Disisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bahan bahwa
pembuatan bata berpori dirasa perlu dalam mengabsorbsi penurunan kadar emisi gas
buang kendaraan bermotor. Dari masa lampau, bata berpori sudah dikenal hingga saat
sekarang ini banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan antara lain untuk keperluan
rumah tangga, industri mekanik, elektronika, sebagai bahan filter, bahkan dipakai juga
pada bidang teknologi ruang angkasa.
Bata berpori dirasakan berporositas telah berhasil dibuat dan dimanfaatkan
sebagai filter dalam penuangan logam cair, sebagai katalisator yang biasa ditempatkan
dalam sistem gas buang kendaraan bermotor. Di Indonesia potensi batu apung sebagai
filter sangat besar, terutama limbah batu apung yang pemanfaatannya masih belum
(24)
hanya digunakan sebagai bahan dasar tungku atau dipanaskan begitu saja tanpa
penggunaan yang berarti, sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan,
walaupun pencemaran lingkungan yang berasal dari emisi kendaraan bermotor
menjadi salah satu penyebab utama polusi udara dan kontribusi dominan terhadap
asap kabut di Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas dan dalam rangka efisiensi penggunaan batu apung,
maka dirasa perlu mengupayakan pemanfaatan batu apung menjadi produk yang lebih
bermanfaat. Untuk itu penulis berkeinginan melakukan penelitian memanfaatkanbata
berpori sebagai bahan yang digunakan untuk filter gas buang kendaraan bermotor.
1.2. Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui
karakteristik bata berpori yang digunakan sebagai filter gas buang kendaraan
bermotor.
1.3. Pembatasan masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah pembuatan alat dari bahan
bata berpori yang berguna untuk mengetahui persentase pengurangan jumlah gas-gas
seperti CO, HC, dan CO2 serta persentase pertambahan jumlah gas O2 yang dihasilkan oleh gas buang kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin (C6H12).
1.4. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
a. Apakah peran bata berpori bermanfaat untuk mereduksi/merubah karakter
gas-gas CO, HC, CO2 dan O2 yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin (C6H12) ?
(25)
b. Berapa besarkah gas CO, HC, CO2, yang berasal dari kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin (C6H12) dapat berkurang jika dilewatkan dari bata berpori dan berapa besarkah gas O2 dapat bertambah jika dilewatkan dari bata berpori ?
1.5. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan penelitian ini antara lain :
a. Untuk mengetahui cara yang baik dalam pembuatan bata ringan dan
berpori
b. Untuk mengetahui pembuatan katalis yang berfungsi mengubah karakter
dan absorbsi emisi gas buang pada kendaraan bermotor yang
menggunakan bahan bakar premium.
c. Memanfaatkan bahan baku lokal seperti semen Portland tipe 1, pasir, dan
agregat batu apung
1.6. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai : a. Studi tentang fungsi bahan bata berpori sebagai filter
b. Mengetahui persentase berkurangnya gas CO, HC, CO2 yang berasal dari kendaraan bermotor roda empat dengan bahan bakar bensin (C6H12) dapat berkurang jika dilewatkan dari bata berpori dan bertambahnya gas O2.
(26)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Material Bata Berpori
Bata berpori adalah bata yang memiliki berat jenis ( density ) lebih ringan dari
pada bata pada umumnya. ( Ngabdurrochman,2009 ).
Bata berpori disebut juga sebagai bata ringan atau beton ringan alternatif bata.
Hal ini bertujuan memudahkan pengertian dan sudah akrab bagi pemakai bahan
bangunan dinding. (
http://properti.mediatata.com/2010/01/beton-ringan-alternatif-pengganti-bata.html )
Bata berpori dapat dibuat dengan berbagai cara antara lain dengan
menggunakan agregat ringan ( fly ash, batu apung, expanded polystyrene/EPS dan
lain – lain ), campuran antara semen, silika, pozzolan dan lain – lain yang dikenal
dengan nama aerated concrete atau semen dengan cairan kimia penghasil gelembung
udara ( dikenal dengan nama foamed concrete atau cellular concrete ).
Tidak seperti bata biasa, berat bata ringan dapat diatur sesuai kebutuhan. Pada
umumnya berat bata ringan berkisar antara 600-1600 kg/m3. Karena itu keunggulan bata ringan utamanya ada pada berat, sehingga apabila digunakan pada proyek
bangunan tinggi ( high rise building ) akan dapat secara signifikan mengurangi berat
sendiri bangunan, yang selanjutnya berdampak kepada perhitungan pondasi.
Bata berpori (ringan) atau beton ringan AAC ( Autoclaved Aerated Concrete )
(27)
bangunan untuk mengurangi penggundulan hutan. Bata ringan AAC ini kemudian
dikembangkan lagi oleh Joseph Hebel di Jerman pada tahun 1943. Hasilnya bata
berpori (ringan) atau beton ringan aerasi ini dianggap sempurna, termasuk material
bangunan yang ramah lingkungan, karena dibuat dari sumber daya alam yang
berlimpah. Sifatnya kuat, tahan lama, mudah dibentuk, efisien, dan berdaya guna
tinggi. Di Indonesia sendiri bata berpori ( beton ringan ) mulai dikenal sejak tahun
1995, saat didirikannya PT Hebel Indonesia di Kerawang Timur, Jawa Barat. (
Ngabdurrochman, 2009 ).
Dalam kontruksi, bata adalah sebuah bahan bangunan komposit yang terbuat
dari kombinasi agregat dan pengikat semen.
Biasanya dipercayai bahwa bata mengering setelah pencampuran dan
peletakan. Sebenarnya, bata tidak menjadi padat karena air menguap, tetapi semen
berhidrasi, mengelem komponen lainnya bersama dan akhirnya membentuk material
seperti batu.
Bata (beton) normal diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu bata normal
dan bata ringan. Bata normal tergolong bata yang memiliki densitas sekitar 2,2 – 2,4
gr/cm3 dan kekuatannya tergantung pada komposisi campuran bata ( mix design ). Sedangkan untuk bata ringan atau beton ringan memiliki densitas < 1,8 gr/cm3, begitu juga dengan kekuatannya sangat bervariasi dan sesuai dengan penggunaan dan
pencampuran bahan bakunya. Jenis dari bata ringan (beton ringan) ada dua, yaitu bata
ringan berpori ( aerated concrete ) dan bata ringan tidak berpori ( non aerated
concrete ). Bata ringan berpori (beton ringan berpori) adalah bata yang dibuat agar
strukturnya terdapat banyak pori. Bata semacam ini diproduksi dengan menggunakan
(28)
dan dicampur dengan bahan baku dari campuran semen, pasir, gypsum, CaCO3 dan katalis aluminium. Dengan adanya katalis Al selama terjadi reaksi hidrasi semen akan
menimbulkan panas sehingga timbul gelembung-gelembung gas H2O, CO2 dari reaksi tersebut. Akhirnya gelembung tersebut akan menimbulkan jejak pori dalam bata yang
sudah mengeras. Semakin banyak gas yang dihasilkan akan semakin banyak pori yang
terbentuk dan bata akan semakin ringan.
Berbeda dengan bata non aerated, pada bata ini ditambahkan agregat ringan
dalam pembuatannya seperti, serat sintesis dan alami, slag baja, perlite, dan lain-lain.
Pembuatan bata ringan berpori jauh lebih mahal karena menggunakan bahan-bahan
kimia tambahan dan mekanisme pengontrolan yang cukup sulit. ( Zulfikar Syaram,
2010 ).
Pembuatan bata ringan berpori (bata aerasi) ini pada prinsipnya membuat
rongga udara didalam bata. Ada tiga macam cara membuat bata aerasi, yaitu :
Yang paling sederhana yaitu dengan memberikan agregat/campuran isian
bata ringan. Agregat itu bisa berupa batu apung (pumice), stereofoam, batu
alwa atau abu terbang yang dijadikan batu.
Menghilangkan agregat halus (agregat halusnya disaring, contohnya debu/ abu
terbangnya dibersihkan)
Meniupkan atau mengisi gelembung udara di dalam bata.
Dengan tidak memakai pasir agar bata banyak mengandung rongga sehingga
bobotnya rendah/ringan. ( Kardiyono Tjokrodimuljo, 2003 ).
2.2. Bahan-bahan Bata Berpori
(29)
a. Semen
Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku : batu kapur/gamping sebagai bahan utama dan lempung / tanah liat atau bahan pengganti
lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk bubuk/bulk, tanpa memandang proses pembuatannya, yang mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air.
Batu kapur/gamping adalah bahan alam yang mengandung senyawa Calcium Oksida
(CaO), sedangkan lempung/tanah liat adalah bahan alam yang mengandung senyawa
: Silika Oksida (SiO2), Alumunium Oksida (Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3 ) dan Magnesium Oksida (MgO). Untuk menghasilkan semen, bahan baku tersebut dibakar
sampai meleleh, sebagian untuk membentuk clinkernya, yang kemudian dihancurkan dan ditambah dengan gips (gypsum) dalam jumlah yang sesuai. Hasil akhir dari proses produksi dikemas dalam kantong/zak dengan berat rata-rata 40 kg atau 50 kg.
Jenis-jenis semen menurut BPS adalah :
- Semen Abu atau Semen Portland adalah bubuk/bulk berwarna abu kebiru-biruan, dibentuk dari bahan utama batu kapur/gamping berkadar kalsium tinggi
yang diolah dalam tanur yang bersuhu dan bertekanan tinggi. Semen ini biasa
digunakan sebagai perekat untuk memplester. Semen ini berdasarkan persentase
kandungan penyusunannya terdiri dari 5 (lima) tipe, yaitu tipe I sampai dengan V.
( http://www.beacukai.go.id/library/data/Semen.htm )
Macam – macam tipe semen, seperti yang di jelaskan berikut :
(30)
Dipakai untuk keperluan konstruksi umum yang tidak memakai persyaratan
khusus terhadap panas hidrasi dan kekuatan tekan awal. Cocok dipakai pada
tanah dan air yang mengandung sulfat 0,0% – 0,10 % dan dapat digunakan
untuk bangunan rumah pemukiman, gedung-gedung bertingkat, perkerasan
jalan, struktur rel, dan lain-lain.
b. Semen Portland Type II
Dipakai untuk konstruksi bangunan dari beton massa yang memerlukan
ketahanan sulfat ( Pada lokasi tanah dan air yang mengandung sulfat antara 0,10
– 0,20 % ) dan panas hidrasi sedang, misalnya bangunan dipinggir laut,
bangunan dibekas tanah rawa, saluran irigasi, beton massa untuk dam-dam dan
landasan jembatan.
c. Semen Portland Type III
Dipakai untuk konstruksi bangunan yang memerlukan kekuatan tekan awal
tinggi pada fase permulaan setelah pengikatan terjadi, misalnya untuk
pembuatan jalan beton, bangunan-bangunan tingkat tinggi, bangunan-bangunan
dalam air yang tidak memerlukan ketahanan terhadap serangan sulfat.
d. Semen Portland Type IV
Adalah tipe semen dengan panas hidrasi rendah. Semen tipe ini digunakan untuk
keperluan konstruksi yang memerlukan jumlah dan kenaikan panas harus
diminimalkan. Oleh karena itu semen jenis ini akan memperoleh tingkat kuat
beton dengan lebih lambat ketimbang Portland tipe I. Tipe semen seperti ini
(31)
kenaikan temperatur akibat panas yang dihasilkan selama proses curing
merupakan faktor kritis.
e. Semen Portland Type V
Dipakai untuk konstruksi bangunan-bangunan pada tanah/air yang mengandung
sulfat melebihi 0,20 % dan sangat cocok untuk instalasi pengolahan limbah
pabrik, konstruksi dalam air, jembatan, terowongan, pelabuhan, dan pembangkit
tenaga nuklir. ( Hansen’s Kammer, 2009 ).
- Semen Putih (gray cement) adalah semen yang lebih murni dari semen abu dan digunakan untuk pekerjaan penyelesaian (finishing), seperti sebagai filler atau pengisi. Semen jenis ini dibuat dari bahan utama kalsit (calcite) limestone
murni.
- Oil Well Cement atau semen sumur minyak adalah semen khusus yang digunakan dalam proses pengeboran minyak bumi atau gas alam, baik di darat
maupun di lepas pantai.
- Mixed dan Fly Ash Cement adalah campuran semen abu ( semen Portland ) dengan Pozzolan buatan (fly ash). Pozzolan buatan (fly ash) merupakan hasil sampingan dari pembakaran batubara yang mengandung amorphous silika, aluminium oksida, besi oksida dan oksida lainnya dalam berbagai variasi
jumlah. Semen ini digunakan sebagai campuran untuk membuat beton,
sehingga menjadi lebih keras.
Semakin baik mutu semen maka semakin lama mengeras atau membatunya
jika dicampur dengan air, dengan angka-angka hidrolitas yang dapat dihitung dengan
(32)
(% SiO2 + % Al2O3 + Fe2O3) : (%CaO + %MgO)
Angka hidrolitas ini berkisar antara <1/1,5 (lemah) hingga >1/2 (keras sekali). Namun
demikian dalam industri semen angka hidrolitas ini harus dijaga secara teliti untuk
mendapatkan mutu yang baik dan tetap, yaitu antara 1/1,9 dan 1/2,15.
Proses pembuatan semen dapat dibedakan menurut :
· Proses basah : semua bahan baku yang ada dicampur dengan air, dihancurkan
dan diuapkan kemudian dipanaskan dengan menggunakan bahan bakar minyak, bakar
(bunker crude oil). Proses ini jarang digunakan karena masalah keterbatasan energi BBM.
· Proses kering : menggunakan teknik penggilingan dan blending kemudian dibakar dengan bahan bakar batubara. Proses ini meliputi lima tahap pengelolaan
yaitu :
- proses pengeringan dan penggilingan bahan baku di rotary dryer dan
roller meal.
- proses pencampuran (homogenizing raw meal) untuk mendapatkan campuran yang homogen.
- proses pembakaran raw meal untuk menghasilkan terak (clinker : bahan setengah jadi yang dibutuhkan untuk pembuatan semen).
- proses pendinginan terak.
- proses penggilingan akhir di mana clinker dan gypsum digiling dengan
(33)
Dari proses pembuatan semen di atas akan terjadi penguapan karena
pembakaran dengan suhu mencapai 900 derajat Celcius sehingga menghasilkan :
residu (sisa) yang tak larut, sulfur trioksida, silika yang larut, besi dan alumunium
oksida, oksida besi, kalsium, magnesium, alkali, fosfor, dan kapur bebas. (
http://www.beacukai.go.id/library/data/Semen.htm )
b. Pasir
Batu pasir (Bahasa Inggris : Sandstone) adalah batuan endapan yang terutama terdiri dari mineral berukuran pasir atau butiran batuan. Sebagian besar batu
pasir terbentuk oleh kuarsa atau feldspar karena mineral-mineral tersebut paling
banyak terdapat di kulit bumi. Seperti halnya pasir, batu pasir dapat memilki berbagai
jenis warna, dengan warna umum adalah coklat muda, coklat, kuning, merah, abu-abu
dan putih. Karena lapisan batu pasir sering kali membentuk karang atau bentukan
topografis tinggi lainnya, warna tertentu batu pasir dapat diidentikan dengan daerah
tertentu. Sebagai contoh, sebagian besar wilayah di bagian barat Amerika Serikat
dikenal dengan batu pasir warna merahnya.
Batu pasir tahan terhadap cuaca tapi mudah untuk dibentuk. Hal ini membuat
jenis batuan ini merupakan bahan umum untuk bangunan dan jalan. Karena kekerasan
dan kesamaan ukuran butirannya, batu pasir menjadi bahan yang sangat baik untuk
dibuat menjadi batu asah (grindstone) yang digunakan untuk menajamkan pisau dan
berbagai kegunaan lainnya. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Batu_pasir )
Pasir yang digunakan dalam sample ini adalah pasir sungai yang ukuran
butirannya sangat halus dan lolos ayakan 100 mesh. Butiran pasir yang halus
ditambah semen akan mengisi rongga butiran yang halus sehingga diperoleh hasil
(34)
rongga antara butiran cukup lebar sehingga tegangan tidak dapat menyebar secara
merata.
c. Agregat Batu Apung ( Pumice )
Batu apung mempunyai sifat vesikular yang tinggi , mengandung jumlah sel yang banyak (berstruktur selular) akibat ekspansi buih gas alam yang terkandung di
dalamnya, dan pada umumnya Batu apung ( pumice ) adalah jenis batuan yang
berwarna terang, mengandung buih yang terbuat dari gelembung berdinding gelas,
dan biasanya disebut juga sebagai batuan gelas vulkanik silikat. Batuan ini terbentuk
dari magma asam oleh aksi letusan gunung api yang mengeluarkan materialnya ke
udara, kemudian mengalami transportasi secara horizontal dan terakumulasi sebagai
batuan piroklastik terdapat sebagai bahan lepas atau fragmen –fragmen dalam breksi
gunung api. Sedangkan mineral-mineral yang terdapat dalam batu apung adalah
feldspar, kuarsa, obsidian, kristobalit, dan tridimit Jenis batuan lainnya yang memiliki
struktur fisika dan asal terbentuknya sama dengan batu apung adalah pumicit,
vulkanik, cinter, dan scoria. Didasarkan pada cara pembentukan, distribusi ukuran
partikel (fragmen) dan material asalnya, batu apung diklasifikasikan menjadi beberapa
jenis, yaitu : sub-arel, sub-aqueous, new ardante, dan hasilendapan ulang (redeposit).
Sifat kimia dan fisika batu apung antara lain, yaitu : mengandung oksida SiO2, Al2O3, Fe2O3, Na2O, K2O, MgO, CaO, TiO2, SO3, dan Cl, hilang pijar (Loss of Ignition) 6%, pH 5, bobot isi ruah 480-960 kg/cm3, peresapan air (water absorption) 16,67 %, berat jenis 0,8 gr/cm3, hantaran suara (sound transmission) rendah, rasio kuat tekan terhadap beban tinggi, konduktifitas panas (thermal conductivity) rendah, dan
ketahanan terhadap api sampai dengan 6 jam. Keterdapatan batu apung selalu
(35)
meliputi daerah Serang, Sukabumi, Pulau Lombok, dan Pulau Ternate.
(http://www.tekmira.esdm.go.id/data/Batuapung/ulasan.asp?xdir=Batuapung&commI
d=3&comm=Batuapung(pumice) ).
Batu apung banyak digunakan untuk membuat beton ringan dalam hal ini
adalah bata ringan dan berpori, karena kepadatannya rendah dan insulatif. Juga
digunakan sebagai bahan penggosok, seperti pelitur, penghapus pensil, pengelupas
kosmetik, dan lain-lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Batu_apung).
d. Air
Air diperlukan pada pembuatan bata berpori untuk memicu proses kimia
semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan bata. Air
yang dapat diminum umumnya dapat digunakan sebagai campuran bata. Air yang
mengandung senyawa-senyawa yang berbahaya, yang tercemar garam, minyak, gula
atau bahan kimia lainnya, bila dipakai dalam campuran bata akan menurunkan
kualitas bata, bahkan dapat mengubah sifat-sifat bata yang dihasilkan.
Air digunakan untuk membuat adukan menjadi bubur kental dan juga sebagai
bahan untuk menimbulkan reaksi pada bahan lain untuk dapat mengeras. Oleh karena
itu, air sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pengerjaan bahan. Tanpa air, konstruksi
bahan tidak akan terlaksana dengan baik dan sempurna.
2.3. 0 Gas Buang Kendaraan Bermotor
Gas buang menyebabkan ketidaknyamanan pada orang yang berada di tepi
jalan dan menyebabkan masalah pencemaran udara pula. Pengaruh dari pencemaran
khususnya akibat kendaraan bermotor tidak sepenuhnya dapat dibuktikan karena sulit
(36)
jenis gas maupun partikulat yang terdiri dari berbagai senyawa anorganik dan organik
dengan berat molekul yang besar dan dapat langsung terhirup melalui hidung dan
mempengaruhi masyarakat di jalan raya dan sekitarnya. Bahan pencemaran yang
terutama terdapat dalam gas buang kendaraan bermotor yang keluar dari knalpot
adalah CO, dan berbagai oksida Nitrogen (NOx), bahan bakar tertentu seperti hidrokarbon dan timbal organik, dilepaskan ke udara karena adanya penguapan dari
sistem bahan bakar.
Gambar 2.1. Knalpot Kendaraan ( http://kaskustoday.com/oto/knalpot-mobil-avanza mantap/ )
Sisa hasil pembakaran berupa air ( H2O ), gas CO atau disebut juga karbon monoksida yang beracun, CO2 yang merupakan gas rumah kaca, NOx senyawa nitrogen oksida, HC berupa senyawa Hidrat arang sebagai akibat ketidaksempurnaan
proses pembakaran. Gas ini dikeluarkan dari knalpot kendaraan. Knalpot itu sendiri
adalah salah satu saluran gas buang yang punya fungsi mengalirkan gas buang dari
ruang bakar mesin dan meredam suara yang keluar dari ruang bakar mesin.
Setelah berada di udara, beberapa senyawa yang terkandung dalam gas buang
dapat berubah karena adanya suatu reaksi misalnya dengan sinar matahari dan uap air,
(37)
reaksi di udara yang mengubah nitrogen monoksida (NO) yang terkandung dalam gas
buang kendaraan bermotor menjadi NO2 yang lebih reaktif dan reaksi kimia antara berbagai oksida nitrogen dengan senyawa hidrokarbon yang menghasilkan ozon dan
oksida lain yang dapat menyebabkan asap awan fotokimia. Pembentukan fotokimia
ini terkadang tidak terjadi di tempat asal sumber, tetapi dapat terbentuk di pinggiran
kota atau di tempat lain tergantung pada kondisi reaksi dan kecepatan angin. Emisi
gas buang kendaraan juga cenderung membuat kondisi tanah dan air menjadi asam
dan menyebabkan terlepasnya ikatan tanah atau sedimen dengan beberapa mineral
atau logam, sehingga logam tersebut dapat mencemari lingkungan.
Bahan pencemaran yang terutama mengganggu saluran pernafasan adalah
oksida nitrogen, oksida sulfur, oksida carbon, hidrokarbon, logam berat tertentu dan
partikulat. Berdasarkan sifat kimia dan perilakunya di lingkungan, dampak bahan
pencemaran yang terkandung di dalam gas buang kendaraan digolongkan sebagai
berikut :
a. Bahan-bahan pencemar yang terutama mengganggu saluran pernafasan
seperti oksida sulfur, partikulat, oksida nitrogen, ozon dan oksida lainnya.
b. Bahan-bahan pencemar yang menimbulkan pengaruh racun sistemik
seperti hidrokarbon monoksida dan timah hitam atau timbal.
c. Bahan-bahan pencemar yang dicurigai menimbulkan kanker seperti
hidrokarbon
d. Kondisi yang mengganggu kenyamanan seperti kebisingan, debu jalanan,
dan lain-lain.
Nitrogen oksida merupakan gas paling beracun karena larutan NO2 dalam air yang lebih rendah dibandingkan dengan SO2 maka NO2 akan dapat menembus
(38)
kedalam saluran pernafasan yang lebih dalam. Bagian saluran yang pertama
kali dipengaruhi adalah membran mukosa dan jaringan paru. Organ lain yang
dapat dicapai oleh NO2 dari paru adalah melalui darah. Hasil pengamatan pada manusia menunjukkan bahwa NO sebesar 250 μg/m3 dan 500 μg/m3 mengganggu saluran pernafasan pada penderita asma dan orang sehat.
Senyawa-senyawa kimia yang masuk ke dalam hidung dan ada dalam
mukosa bronkial juga dapat terbawa oleh darah atau tertelan masuk kedalam
tenggorokkan dan diabsorbsi masuk kedalam saluran pencernaan. Selain itu
juga pengaruh yang tidak langsung misalnya melalui makanan, seperti timah
hitam. Diantara senyawa-senyawa yang terkandung di dalam gas kendaraan
yang dapat menimbulkan pengaruh sistemik, yang paling penting adalah
karbon monoksida dan timbal.
Karbon monoksida dapat terikat dengan hemoglobin darah lebih kuat
dibandingkan dengan oksigen yang membentuk karboksihemoglobin,
sehingga menyebabkan terhambatnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh.
Pengaruh CO diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung, sistem syaraf
pusat, juga janin dan semua organ tubuh yang peka terhadap kekurangan
oksigen. Pengaruh CO terhadap sistem kardiovaskuler cukup nyata teramati
walaupun dalam kadar rendah. Penderita penyakit jantung dan penyakit
paru-paru merupakan kelompok yang peka terhadap pengaruh CO. Studi eksprimen
terhadap pasien jantung dan penyakit paru menemukan adanya pasokan
oksigen ke jantung selama melakukan latihan gerak badan pada kadar COHb
yang cukup rendah 2,7 %. Pengaruh terhadap janin pada prinsipnya adalah
karena pengaruh CO pada kadar tinggi dapat menyebabkan kurangnya
(39)
tekanan oksigen di dalam flasenta dan juga pada janin dan darah. Hal inilah
yang menyebabkan kelahiran prematur bayi dengan berat badan yang rendah
dibandingkan dengan kelahiran bayi normal.
2.4. Absorbsi
Absorbsi adalah terserapnya atau terikatnya suatu subtansi (adsorbat) pada permukaan yang dapat menyerap (adsorben). Adsorbsi dapat terjadi diantara zat padat dan zat cair, zat padat dengan gas, zat cair dengan zat cair, dan zat cair dengan gas.
Adsorbsi terjadi karena molekul-molekul pada permukaan zat yang memiliki gaya
tarik dalam keadaan tidak setimbang yang cenderung tertarik kearah dalam (gaya
kohesi adsorben lebih besar dari gaya adhesinya). Ketidakseimbangan gaya tarik
tersebut mengakibatkan zat yang digunakan sebagai adsorben cenderung menarik
zat-zat lain yang bersentuhan dengan permukaannya. Berdasarkan interaksi molekular
antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorbsi dibagi menjadi dua bagian,
yaitu adsorbsi fisika dan adsorbsi kimia.
Adsorbsi fisika terjadi bila gaya intermolekul lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan
permukaan adsorben, gaya ini disebut gaya Van der Waals, sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben.
Adsorbsi ini berlangsung cepat, dapat membentuk lapisan jamak (multilayer), dan dapat bereaksi balik (reversible) karena energi yang dibutuhkan relatif rendah.
Adsorbsi kimia terjadi karena adanya reaksi antara molekul-molekul adsorbat dengan adsorben dimana terbentuk ikatan kovalen dengan ion. Gaya ikat adsorben ini
bervariasi tergantung pada zat yang bereaksi. Adsorben jenis ini bersifat irreversible
(40)
2.5. Pembuatan Bata Berpori
Proses pembuatan bata berpori dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
a. Pembuatan campuran
Agregat batu apung dibebaskan dari kotoran serat benda-benda organik
lainnya, kemudian dilanjutkan dengan pencampuran semen, pasir dan batu
apung sesuai dengan komposisi yang telah ditetapkan, dan kemudian
ditambahkan air sampai tercapai campuran setengah basah (lengas) yang
merata.
b. Pencetakan
Pencetakan bata berpori dilakukan dengan menggunakan alat cetak manual.
Alat cetak diolesi dengan minyak pelumas secukupnya, kemudian campuran
dimasukkan ke dalam cetakan sedikit demi sedikit sambil dipadatkan dengan
penumbukan ( sampai dicapai kepadatan optimum )
c. Pemeliharaan awal
Pembukaan cetakan dilakukan dengan hati-hati dan perlahan-lahan untuk
menghindari kerusakan-kerusakan dan ketidaksempurnaan hasil seperti retak –
retak, bentuk maupun sudut-sudutnya. Bata berpori yang sudah dilepaskan
dari cetakannya dibiarkan selama 24 jam.
d. Pemeliharaan akhir
Pengeringan dilakukan selama 3 – 4 minggu dalam keadaan tersusun. Dan
(41)
matahari akan menyebabkan retak – retak, yang dapat mengurangi kekuatan
bata. ( Rusli, Iwan Suprijanto, I B Gd Putra Budiana, 2009 )
2.6. Karakteristik Bahan 2.6.1. Densitas
Densitas pada material didefenisikan sebagai perbandingan antara massa (m)
dengan volume (v). Setiap zat memiliki densitas yang berbeda. Dan satu zat yang
sama berapapun massanya dan volumenya, akan memiliki densitas yang sama pula.
Oleh sebab itu, dikatakan bahwa massa jenis atau densitas merupakan ciri khas suatu
zat. Densitas dinyatakan dalam gr/cm3 dan dilambangkan dengan ρ (rho).
Untuk menghitung besarnya densitas dipergunakan persamaan sebagai berikut
: ) 1 . 2 ( ... ... ... ... ... V m
Dimana : m = massa (gram )
ρ = densitas ( gram/cm3 ) V = volume (cm3 )
2.6.2. Serapan Air
Pada saat terbentuknya agregat kemungkinan ada terjadinya udara yang
terjebak dalam lapisan agregat atau terjadi karena dekomposisi mineral pembentuk
akibat perubahan cuaca, maka terbentuklah lubang atau rongga kecil di dalam butiran
(42)
di seluruh tubuh butiran. Pori-pori mungkin menjadi reservoir air bebas di dalam
agregat. Persentase berat air yang mampu diserap agregat di dalam air disebut serapan
air.
Untuk mengetahui besarnya serapan air dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :
) 2 . 2 .( ... ... ... % 100 ) % ( x m m m Air Serapan k k b
dimana : mb = massa basah benda uji (gram) mk = massa kering benda uji (gram)
2.6.3. Kekerasan
Kekerasan didefenisikan sebagai ketahanan bahan terhadap penetrasi pada
permukaannya. Cara pengukuran kekerasan dapat ditetapkan dengan deformasi yang
berbeda-beda, yaitu kekerasan Brinnel, Rochwell, Vickers, yaitu yang disebut Static Hardness Tests.
Dynamic Hardness Tests contohnya Shore Scleroscope, Pendulum Hardness,
Cloudburst Test, Equotip Hardness. Alat uji kekerasan yang sering digunakan adalah
Brinnel Hardness, Rockwell dan Vickers. Ketiga alat uji ini menggunakan indentor yang bentuknya berupa bola kecil, piramid, atau tirus. Identor berfungsi sebagai
pembuat jejak pada logam (sampel) dengan pembebanan tertentu, nilai kekerasan
diperoleh setelah diameter jejak diukur.
Pada penelitian ini digunakan alat uji kekerasan Equotip Hardness, alat uji ini diperkenalkan pada tahun 1977, dengan satuan pengukurannya disebut Leeb Value
(43)
sesuai dengan nama penemunya Dietmar Leeb, menggunakan baterai dalam mengoperasikannya dan bekerja secara otomatis (digital), penggunaannya sangat
praktis sesuai dengan bentuknya yang kecil dan sederhana dan dapat dibawa
emanapun.
HB = 0,941 HV...(2.3)
HB = Hardness of Brinnel
HV = Hardness of Vickers
2.6.4.
atan beban tertentu atas
benda u ilai tekan digunakan rumus :
k
Untuk menghitung besarnya kekerasan sampel dipergunakan persamaan :
Kuat Tekan
Nilai kuat tekan sampel didapat melalui tata cara pengujian secara manual
dengan memberikan beban tekan bertingkat dengan peningk
ji. Untuk mendapatkan n
) 4 . 2 .... ... ... ... ... A ...( F P
A = Luas bidang tekan (m2)
2.6.5. Kuat Impak
Dimana : P = Tekanan (N/m2) F = Gaya Tekan ( N )
Kuat Impak didefenisikan suatu kriteria penting untuk mengetahui kegetasan
(44)
dalam
Pengujian impak dilakukan untuk mengetahui besar energi yang diserap oleh
spesim
Harga impak menjadi besar dengan meningkatnya absorbsi kadar air dan
menjadi kecil karena pengeringan. Impak dari benda uji dapat diperoleh
menggunakan persamaan :
keadaan biasa bersifat liat, namun berubah menjadi getas akibat pembebanan
tiba-tiba pada suatu kondisi tertentu dengan satuan Newton meter.
en per satuan luas. Pengujian impak menggunakan benda uji berbentuk
penampang balok. dengan ) 5 . 2 ...( ... ... ... ... 0 A W K dimana :
K = Nilai pukulan takik (J/m2)
W = Kerja pukulan (J)
A0 = luas ukuran penampang benda uji (m)
getahui besar persentase gas buang dari kendaraan bermotor yang
terserap oleh sampel dapat ditentukan dengan persamaan matematis sebagai berikut :
2.6.6. Gas Analizer
Untuk men ) 6 . 2 ...( ... % 100 % x Xo Xs Xo Agregat
(45)
Dimana : Xo = banyaknya gas CO, CO2 , HC dan O2 sebelum menggunakan filter
Xs = banyaknya gas CO, CO2 , HC dan O2 sesudah menggunakan filter.
(46)
BAB III
PENELITIAN
3.1. T
3.1.1. Penelitian ini dilakukan di :
a. Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan, Jl. Medan – Tj. Morawa Km.
3.1.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2009 sampai dengan bulan
3.2. A
3.2.1. Alat yang digunakan
2. n Mortal dan Pastel serta Mesin
3. butiran partikel atau kehalusan bahan digunakan
r
METODE
empat Dan Waktu Penelitian
9,3 Medan
b. PT. Capella Medan, Jl. Jend. Gatot Subroto Km 6,2 No. 158/180 Medan
Juli 2010
lat Dan Bahan Penelitian
1. Untuk menimbang bahan bata berpori digunakan neraca Ohauss
Untuk menggiling bahan digunaka
Penggiling
Mengukur besar
peralatan ayakan manual 100 mesh
4. Membentuk sampel digunakan cetakan yang dibuat sendiri yang
(47)
5. Untuk merendam sampel digunakan wadah
Untuk mengetahui kekerasan bata be
6. rpori digunakan alat Digital Equotip
esting Machine
9. U sampel digunakan jangka sorong dengan
ketelitian 0,05 mm
10. Untuk mengukur absorbsi gas buang kendaraan digunakan alat
3.2.2. Bahan yang Digunakan
ung diambil dari sungai Padang yang terdapat di daerah
Kotamadya Tebing Tinggi. Sedangkan semen Portland tipe I berasal dari toko.
Perbandingan bahan baku diatas adalah seperti tercantum dalam tabel 3.1
Bahan Bata Berpori
No Semen Pasir A Hardness Tester
7. Untuk mengukur Kuat Tekan (tensile) digunakan alat pengukur Kuat
Tekan Universal T
8. Untuk mengukur kuat impak digunakan alat Iber Test
ntuk menghitung diameter
Automotive Gas Analyzer
Untuk pembuatan bata berpori ini digunakan bahan alam seperti pasir dan batu ap
dibawah ini.
Tabel 3.1. Perbandingan Bahan
gregat Batu Apung 1. 20 % 80 % 0 %
2. 20 % 70 % 10 %
(48)
4. 20 % 50 % 30 %
5. 20 % 40 % 40 %
6. 20 % 30 % 50 %
7. 20 % 20 % 60 %
8. 20 % 10 % 70 %
. 20 % 0 % 80 % 9
(49)
3.3. rosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada kendar 6 H12) dengan
Berpori untuk Uji Gas Buang Kendaraan
P
aan dengan bahan bakar bensin (C prosedur sebagai berikut :
Bahan
Batu Apung Sebagai Agregat
Semen Pasir
Ganbar 3.1. Skema Pembuatan Bata
Dicampur dengan
vari osisi
Dimixer 45 menit
Dicetak
Pengeringan selama 28 hari
Penimbangan : untuk mengetahui massa kering Pengukuran : untuk mengetahui volume sampel
Perendaman selama 2 hari asi komp
Pengujian
Uji Absorbsi ( Gas Analyzer ) Uji Mekanik
uat Te ( Kekerasan, Kuat Impak, K kan )
Tanpa Filter :
( % Absorbsi CO, O2, HC, CO2)
Dengan Filter :
( % Absorbsi CO, O2, HC, CO2) Uji Fisis
( Densitas, Serapan Air )
Penimbangan : untuk mengetahui massa basah Air
(50)
3.4. ter Penelitian a
Pada penelitian ini yang menjadi variabel tetap adalah persentase gas
buang yang disaring (di filter ) oleh bahan agregat bata berpori, sedangkan
variabel bebas adalah komposisi bahan pasir dan agregat batu apung pada
Parameter adalah ukuran data yang akan diperoleh dari hasil penelitian. menjadi parameter dalam penelitian ini adalah :
rinell, Vickers)
gas buang kendaraan dengan gas analizer
Alat pengumpul data adalah instrumen yang digunakan seperti Neraca, Ayakan, Jangka sorong dan lainnya yang berhubungan dengan karakterisasi. Variabel dan Parame
.Variabel Penelitian
komposisi yang berbeda.
b. Parameter Penelitian
Adapun yang
1. Densitas
2. Serapan Air
3. Kekerasan (B
4. Kuat Tekan
5. Kuat Impak
6. Absorpsi bata berpori terhadap
(51)
3.6. Pembua
Adapun langkah – langkah yang dilakukan dalam pembuatan sampel
sebagai berikut :
1.
Seluruh bahan baku awalnya masih dalam bentuk bongkahan / batuan (
lampiran G. 1 ). Kemudian dihancurkan dengan menggunakan mortal,
digiling dengan mesin penggiling ( lampiran I. 4 ) batuan sehingga
menghasilkan serbuk halus dengan ukuran serbuk 100 mesh ( lampiran G. 1
) . Penggilingan ini di lakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri
dan – Tj. Morawa Km 9,3 Medan.
2.
Ayakan digunakan untuk menyaring bahan baku agar diperoleh besar butiran
yang seragam. Ayakan yang digunakan adalah 100 mesh dengan jenis
Retsch Test Sieve A Stmell 250 micron ( lampiran I. 5 ). Hasil pengayakan menjadi bahan baku berupa serbuk halus yang dapat melewati ayakan
Bahan sampel yang telah dicampur kemudian ditimbang dengan
menggunakan neraca Ohauss ( lampiran I. 1 ) sesuai komposisi yang
dibutuhkan. Semen ditimbang sebanyak 20 % sampai sembilan sampel.
Kemudian pasir dan batu apung ditimbang dari komposisi 1 sampai
komposisi 9. Komposisi 1, 0 % batu apung dan 80 % pasir, komposisi 2, 10 tan Sampel
pada penelitian ini adalah
Penggilingan Bahan
Medan Jl. Me
Pengayakan
tersebut.
(52)
% batu apung dan 70 % pasir, komposisi 3, 20 % batu apung dan 60 % pasir,
komposisi 4, 30 % batu apung dan 50 % pasir, komposisi 5, 40 % batu
apung dan 40 % pasir dan begitu seterusnya sampai pada komposisi 9.
4. Pencampuran (mixed)
10 %, 0 % dan
setiap komposisi sampel dicampur semen sebanyak 20 %.
5. Pembentukan sampel
pencetak sehingga diperoleh sampel bata berpori setinggi 20 cm. Kemudian Semua bahan – bahan bata berpori tersebut dicampur dengan menambahkan
media air lalu diaduk dengan menggunakan mixer ( lampiran I. 6 ) sesuai
dengan komposisi 1 sampai pada komposisi 9. Pencampuran dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh suatu bahan yang merata ( homogen ) agar
bahan tidak berkelompok pada satu bagian bahan. Pengadukan/pencampuran
ini dilakukan ± 45 menit. Persentase komposisi campuran yang digunakan
adalah batu apung 0 %, 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, 70 %, 80 %
dan pasir 80 %, 70 %, 60 %, 50 %, 40 %, 30 %, 20 %,
Bahan yang telah dicampur dituang kedalam cetakan berbentuk selinder.
Cetakan ini terdiri dari dua selinder. Selinder pertama berdiameter lebih
besar dengan diameter 4,5 cm dan selinder kedua berdiameter lebih kecil
dengan diameter 2,2 cm dan tinggi keduanya masing – masing 20 cm.
Selinder kecil diletakkan di sebelah dalam dari selinder yang lebih besar (
lampiran I. 3a ). Bahan campuran bata berpori yang berbentuk serbuk basah
dituang kedalam catakan ( ruang antara selinder besar dan selinder kecil ),
(53)
sampel aplikasi ini dibuka dari cetakan selama 7 hari dan dikeringkan
selama 28 hari. ( lampiran H. 1 )
Untuk pengukuran kuat impak, dibuat sampel berbentuk balok (pelet) yang
panjangnya 12,20 cm, lebar 3,10 cm, dan tinggi 2,70 cm ( lampiran H. 3 ).
Untuk pengukuran densitas, serapan air, kekerasan dan kuat tekan dibuat
sampel berbentuk selinder (koin) dengan diameter 5,10 cm dan tinggi 4,9 cm
( lampiran H. 2 ). Sampel dicetak dan dipres dengan alat pencetak ( lampiran
I. 2 ) sampai tekanan 24,03 MPa. Setelah itu sampel dibuka dari cetakan (
lampiran I. 3b ) dan dibiarkan diruang terbuka untuk dikeringkan selama 28
hari.
6. Pengeringan sampel
Pengeringan dilakukan diruangan dengan suhu kamar (270C) dan terhindar dari sinar matahari karena penguapan rendah maka kelembabannyapun
rendah sehingga dapat mengurangi kecepatan menguapnya air dari
permukaan. Kecepatan pengeringan akan mengakibatkan sampel retak.
Pengeringan dilakukan selama 28 hari. Setelah pengeringan sampel selama
28 hari, sampel tersebut ditimbang untuk mengetahui massa keringnya
dengan neraca Ohauss, sambil diukur diameter dan tebal sampel dengan
menggunakan jangka sorong untuk sampel yang berbentuk selinder (koin),
sehingga diperoleh masing – masing volume sampel tersebut. Sedangkan
sampel yang berbentuk balok tadi hanya diukur lebar, dan tingginya saja,
agar diperoleh masing-masing luas sampel tersebut.
(54)
Perendaman dilakukan secara perlahan – lahan, dengan membiarkan
sembilan sampel yang berbentuk selinder (koin) tetap didalam wadah yang
berisi air sampai sampel berada pada posisi didasar wadah selama 2 hari,
Setelah itu sampel dikeluarkan dari wadah untuk ditimbang massa basahnya.
Tahap selanjutnya dilakukan pengukuran – pengukuran.
Gambar 3.2. Perendaman Sampel
3.7. Pengukuran Densitas
Pengukuran densitas dilakukan dengan menimbang massa kering
dengan neraca Ohauss dan menghitung volume sampel dengan mengukur
diameter dan tebal sampel dengan menggunakan jangka sorong, lalu dihitung
densitasnya dengan menggunakan persamaan (2.1).
3.8. Pengukuran Serapan Air
Pengukuran serapan air dilakukan dengan menimbang massa kering
(55)
menggunakan neraca Ohauss. Kemudian dihitung serapan airnya dengan
menggunakan persamaan (2.2).
3.9. Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi
Industri Medan, yaitu dengan menggunakan alat Digital Equatip Hardness Tester yakni alat yang berfungsi untuk mengukur kekerasan ( lampiran I. 9 ). Hasil pengujian langsung tertera di monitor alat dalam satuan BH ( Brinell Hardness ), yang kemudian dikonversikan ke VH ( Vickers Hardness ) dengan menggunakan persamaan (2.3).
3.10. Pengujian Kuat Impak
Pengujian impak dilakukan untuk mengetahui besar energi yang
diserap oleh spesimen persatuan luas. Pengujian kuat impak menggunakan
sampel berbentuk balok. Pengujian dilakukan setelah bata berpori dikeringkan
selama 28 hari. Pengujian impak dengan menggunakan alat Iber Test yang berfungsi untuk mengukur kuat impak ( lampiran I. 8 ). Pengujian impak
bertujuan untuk mengetahui nilai pukul sampel yang diuji. Diukur lebar dan
tinggi sampel dengan menggunakan jangka sorong, lalu dihitung luas benda uji.
Sampel diletakkan pada dua tumpuan sehingga bagian yang ditekik/dipukul
terletak di tengah-tengah. Lalu ayunan dilepas dari kedudukan semula dan
dibaca nilai Energi pada skala penunjuk. Kemudian dihitung nilai impaknya
dengan menggunakan persamaan (2.5).
(56)
Pengujian kuat tekan dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi
Industri Medan, yaitu dengan menggunakan alat Universal Testing Machine
yang berfungsi untuk mengukur kekuatan tekan ( lampiran I. 7 ), sampel diukur
diameternya, sehingga dapat dihitung luas permukaannya. Jarum penunjuk pada
alat diatur sehingga menunjukkan angka nol. Beban diletakkan di atas sampel
yang berbentuk selinder sehingga pada alat tertera beban maksimal yang dapat
di tahan benda sampai sampel retak. Kemudian dihitung kuat tekannya dengan
menggunakan persamaan (2.4).
3.12. Pengujian Absorbsi Gas Buang
Uji absorbsi gas buang dilakukan di PT. Capella Medan Jl. Jend. Gatot
Subroto Km 6,2 No.158/180 Medan dengan menggunakan Automotive Gas
Analyzer ( lampiran I. 10 ), yang bekerja secara komputerisasi. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan sampel aplikasi yang berbentuk selinder
dengan cara menempatkan sampel di dalam knalpot kendaraan dengan bantuan
baut, kemudian dimasukkan sensor pendeteksi gas buang kedalam sampel.
Pengujian untuk tiap sampel dilakukan selama 15 menit.
(57)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Densitas
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Densitas
No. Batu Apung Massa Kering Diameter Tebal Volume Densitas ( % ) mk ( gram ) d ( cm ) t (cm) V ( cm3 ) ( gr/cm3 ) 1. 0 163 5,1 4,5 91,88 1,77
2. 10 156 5,1 4,6 93,92 1,66
3. 20 154 5,1 4,7 95,96 1,60
4. 30 150 5,1 4,77 97,39 1,54
5. 40 148 5,1 4,8 98,00 1,51
6. 50 146 5,1 4,85 99,02 1,47
7. 60 143 5,1 4,9 100,04 1,43
8. 70 142 5,1 5,0 102,08 1,39
9. 80 139 5,1 5,1 104,13 1,33
Dari tabel 4.1 di atas, dapat dihitung nilai densitas dengan menggunakan
persamaan 2.1 ( lampiran A ). Kemudian dapat dibuat grafik hubungan antara variasi
(58)
Grafik Komposisi Batu Apung Vs Densitas
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Komposisi Batu Apung ( % )
Dens
it
as
( gr/cm
3 )
Gambar 4.1. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung pada bata berpori terhadap nilai densitas
Bahwa dari grafik di atas terlihat pertambahan variasi komposisi batu apung
cenderung menurunkan densitas bata berpori, semakin bertambah variasi batu apung
maka densitas dari bata berpori semakin menurun. Hal ini dikarenakan batu apung
lebih ringan dari pasir, sehingga massa bata berpori semakin kecil dengan variasi
komposisi batu apung yang semakin besar. Pengujian densitas ini dilakukan setelah
bata berpori mengalami masa pengeringan selama 28 hari. Dalam hal ini densitas
bata berpori untuk variasi komposisi 0 %, 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, 70
%, dan 80 % batu apung dari massa pasir, berturut-turut diperoleh 1,77 gram/cm3, 1,66 gram/cm3, 1,60 gram/cm3, 1,54 gram/cm3, 1,51 gram/cm3, 1,47 gram/cm3, 1,43 gram/cm3, 1,39 gram/cm3, dan 1,33 gram/cm3.
(59)
4.2.Serapan Air
Setelah sampel bata berpori mengalami pengeringan selama 28 hari dan dilakukan pengukuran, hasil pengukuran serapan air dari bata berpori diperlihatkan
pada tabel 4.2. di bawah ini.
Tabel 4.2. Hasil Pengukuran Serapan Air
No. Batu Apung Massa Basah Massa Kering mb – mk Serapan Air ( % ) mb ( gram ) mk ( gram ) ( gram ) ( % ) 1. 0 172 163 9 5,52 2. 10 173 156 17 10,89
3. 20 175 154 21 13,63
4. 30 176 150 26 17,33
5. 40 177 148 29 19,59
6. 50 179 146 33 22,60
7. 60 180 143 37 25,87
8. 70 182,5 142 40,5 28,52
9. 80 185 139 46 33,09
Dari tabel 4.2. di atas, dapat dihitung nilai serapan air dengan menggunakan
persamaan 2.2 ( lampiran B ). Selanjutnya dapat dibuat grafik hubungan antara variasi
(60)
Grafik Komposisi Batu Apung Vs Serapan Air
0 5 10 15 20 25 30 35
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Komposisi Batu Apung ( % )
Se
ra
pan A
ir
( % )
Gambar 4.2. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung pada bata berpori terhadap nilai serapan air
Bahwa dari grafik di atas terlihat pertambahan variasi komposisi batu apung
cenderung menaikkan nilai serapan air bata berpori, semakin bertambah variasi batu
apung maka serapan air dari bata berpori semakin meningkat. Hal ini dikarenakan
batu apung memiliki permukaan pori – pori yang lebih luas, cenderung tidak padat
dan berongga sehingga serapan airnya pun semakin besar. Pengujian serapan air ini
dilakukan setelah bata berpori mengalami masa pengeringan selama 28 hari. Serapan
air bata berpori untuk variasi komposisi 0 %, 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %,
70 %, dan 80 % batu apung dari massa pasir, berturut-turut adalah 5,52 %, 10,89 %,
(61)
4.3. Kuat Tekan
Setelah sampel bata berpori mengalami pengeringan selama 28 hari dan dilakukan pengujian, hasil pengujian kuat tekan dari bata berpori diperlihatkan pada
tabel 4.3. di bawah ini.
Tabel 4.3. Hasil Pengujian Kuat Tekan
No. Batu Apung (%)
Diameter d (cm)
Luas A (cm2)
Beban Maks. (kgf)
Gaya Tekan F (N)
Kuat Tekan P (MPa)
1. 0 5,1 20,41 1785 17510,85 8,57
2. 10 5,1 20,41 1755 17216,55 8,43
3. 20 5,1 20,41 1690 16578,9 8,12
4. 30 5,1 20,41 1660 16284,6 7,97
5. 40 5,1 20,41 1620 15892,2 7,78
6. 50 5,1 20,41 1565 15352,65 7,52
7. 60 5,1 20,41 1525 14960,25 7,32
8. 70 5,1 20,41 1455 14273,55 6,99
9. 80 5,1 20,41 1450 14224,5 6,96
Dari tabel 4.3. di atas, dapat dihitung nilai kuat tekan dengan menggunakan
persamaan 2.4. ( lampiran C ). Selanjutnya dapat dibuat grafik hubungan antara
variasi komposisi batu apung terhadap nilai kuat tekan seperti gambar di bawah ini.
(62)
Grafik Komposisi Batu Apung Vs Kuat Tekan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Komposisi Batu Apung ( % )
Kuat
T
ekan (
MP
a )
Gambar 4.3. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung pada bata berpori terhadap nilai kuat tekan
Bahwa dari grafik di atas terlihat pertambahan variasi komposisi batu apung
cenderung menurunkan nilai kuat tekan bata berpori, semakin bertambah variasi batu
apung maka kuat tekan dari bata berpori semakin menurun. Hal ini dikarenakan daya
ikat semen terhadap batu apung berkurang dengan semakin bertambahnya variasi
komposisi batu apung sehingga batu apung hanya bersifat sebagai bahan pengisi.
Sedangkan semen bersifat sebagai bahan pengikat. Pengujian kuat tekan ini dilakukan
setelah bata berpori mengalami masa pengeringan selama 28 hari. Kuat tekan bata
berpori untuk variasi komposisi 0 %, 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, 70 %, dan
80 % batu apung dari massa pasir, berturut-turut adalah 8,57 MPa, 8,43 MPa, 8,12
(63)
4.4. Kuat Impak
Setelah sampel bata berpori mengalami pengeringan selama 28 hari dan dilakukan pengujian, hasil pengujian kuat impak dari bata berpori diperlihatkan pada
tabel 4.4. di bawah ini.
Tabel 4.4. Hasil Pengujian Kuat Impak
No. Batu Apung (%)
l (cm)
t (cm)
Luas A (cm2)
Energi W (Joule)
Kuat Impak K (J/cm2)
1. 0 3,1 2,4 7,44 10,0 1,34
2. 10 3,1 2,3 7,13 8,1 1,13
3. 20 3,1 2,3 7,13 7,9 1,10
4. 30 3,1 2,5 7,75 8,0 1,03
5. 40 3,1 2,6 8,06 7,2 0,89
6. 50 3,1 2,7 8,37 7,1 0,84
7. 60 3,1 2,7 8,37 7,0 0,83
8. 70 3,1 3,0 9,3 6,8 0,73
9. 80 3,1 2,9 8,99 5,2 0,57
Dari tabel 4.4. di atas, dapat dihitung nilai kuat Impak dengan menggunakan
persamaan 2.5. ( lampiran D ). Selanjutnya dapat dibuat grafik hubungan antara
variasi komposisi batu apung terhadap nilai kuat Impak seperti gambar di bawah ini.
(64)
Grafik Komposisi Batu Apung Vs Kuat Impak
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Komposisi Batu Apung ( % )
Kuat Impak ( J/cm2 )
Gambar 4.4. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung pada bata berpori terhadap nilai kuat Impak
Bahwa dari grafik di atas terlihat pertambahan variasi komposisi batu apung
cenderung menurunkan nilai kuat impak bata berpori, semakin bertambah variasi
komposisi batu apung maka kuat impak dari bata berpori semakin menurun. Hal ini
dikarenakan batu apung banyak mengandung pori-pori dengan bertambahnya variasi
batu apung pada bata berpori, maka bata berpori yang mengandung banyak pori-pori
ini akan melemahkan ikatan semen dan pasir, sehingga semakin banyak pori-pori kuat
impak bata berpori berkurang. Pengujian kuat impak ini dilakukan setelah bata
berpori mengalami masa pengeringan selama 28 hari. Nilai Kuat impak bata berpori
untuk variasi komposisi 0 %, 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, 70 %, dan 80 %
batu apung dari massa pasir, berturut-turut adalah 1,34 J/cm2, 1,13 J/cm2, 1,10 J/cm2, 1,03 J/cm2, 0,89 J/cm2, 0,84 J/cm2, 0,83 J/cm2, 0,73 J/cm2, 0,57 J/cm2.
(65)
4.5.Kekerasan
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan maka nilai kekerasan dari sampel uji
dapat ditentukan nilai kekerasannya dengan menggunakan alat Digital Equotip
Hardness Tester. Sedangkan nilai kekerasan Vickers Hardness dihitung dengan
menggunakan persamaan 2.3 ( lampiran E ). Data hasil pengujian dapat diperlihatkan
pada tabel 4.5 di bawah ini.
Tabel 4.5. Hasil Pengujian Kekerasan
No. Batu Apung ( % )
Brinell Hardness ( HB )
Vickers Hardness ( HV )
1. 0 99,55 105,79
2. 10 98,85 105,04
3. 20 98,77 104,96
4. 30 98,55 104,72
5. 40 96,95 103,02
6. 50 95,4 101,38
7. 60 93,7 99,57
8. 70 92,05 97,82
9. 80 90,15 95,80
Dari tabel 4.5. di atas maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai
kekerasan terhadap variasi komposisi batu apung seperti gambar di bawah ini.
(66)
Grafik Komposisi Batu Apung Vs Kekerasan Brinell Hardness 88 88.589 89.590 90.591 91.592 92.593 93.594 94.595 95.596 96.597 97.598 98.599 99.5100
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Komposisi Batu Apung (%)
K ek era sa n B ri n el l H a rd n es s
Gambar 4.5. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung pada bata berpori terhadap nilai kekerasan Brinell Hardness ( HB ) Bahwa dari grafik di atas terlihat pertambahan batu apung cenderung
menurunkan nilai kekerasan Brinell Hardness pada bata berpori. Semakin bertambah
variasi batu apung maka nilai kekerasan Brinell Hardness dari bata berpori semakin
menurun. Nilai kekerasan Brinell Hardness relatif menurun secara landai sebesar
99,55 HB – 98,55 HB dari pertambahan variasi komposisi batu apung 0 % - 30 %.
Selanjutnya nilai kekerasan Brinell Hardness mengalami penurunan secara mencolok
sebesar 96,95 HB – 90,15 HB dari pertambahan variasi komposisi batu apung 40 % -
80 %. Hal ini dikarenakan batu apung banyak mengandung pori-pori yang dapat
(67)
berpori mengandung banyak pori-pori. Sehingga ini akan mengurangi ikatan antara
semen dan pasir, jika bata berpori mendapat pukulan maka sangat mudah hancur.
Pengujian nilai kekerasan ini dilakukan setelah bata berpori mengalami masa
pengeringan selama 28 hari. Nilai kekerasan Brinell Hardness bata berpori untuk
variasi komposisi 0 %, 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, 70 %, dan 80 % batu
apung dari massa pasir berturut-turut diperoleh 99,55 HB, 98,85 HB, 98,77 HB, 98,55
HB, 96,95 HB, 95,4 HB, 93,7 HB, 92,05 HB, dan 90,15 HB
Sedangkan untuk kekerasan Vickers Hardness ( HV ) dapat dilihat dari tabel
4.5. di atas. Berdasarkan tabel 4.5. diatas maka dapat dibuat grafik hubungan antara
variasi komposisi batu apung terhadap nilai kekerasan Vickers Hardness ( HV )
seperti gambar di bawah ini.
Grafik Komposisi Batu Apung Vs Kekerasan Vickers Hardness 90 92 94 96 98 100 102 104 106 108
0 10 20 30 40 50 60 70 80 Komposisi Batu Apung ( % )
K ek eras a n Vi ck ers Har dne ss
( Hv )
Gambar 4.6. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung pada bata berpori terhadap nilai kekerasan Vickers Hardness ( HV )
(68)
Bahwa dari grafik di atas terlihat pertambahan variasi komposisi batu apung
cenderung menurunkan nilai kekerasan Vickers Hardness pada bata berpori. Semakin
bertambah variasi batu apung maka nilai kekerasan Vickers Hardness dari bata
berpori semakin menurun. Nilai kekerasan Vickers Hardness relatif menurun secara
landai sebesar 105,79 HV – 104,72 HV dari pertambahan variasi komposisi batu
apung 0 % - 30 %. Selanjutnya nilai kekerasan Vickers Hardness mengalami
penurunan secara mencolok sebesar 103,02 HV – 95,80 HV dari pertambahan variasi
komposisi batu apung 40 % - 80 %. Hal ini dikarenakan batu apung banyak
mengandung pori-pori yang dapat menyerap air. Dengan bertambahnya variasi batu
apung pada bata berpori, maka bata berpori mengandung banyak pori-pori. Sehingga
ini akan mengurangi ikatan antara semen dan pasir, jika bata berpori mendapat
pukulan maka sangat mudah hancur. Pengujian nilai kekerasan ini dilakukan setelah
bata berpori mengalami masa pengeringan selama 28 hari. Nilai kekerasan Vickers
Hardness bata berpori untuk variasi komposisi 0 %, 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %,
60 %, 70 %, dan 80 % batu apung dari massa pasir berturut-turut diperoleh 105,79
HV, 105,04 HV, 104,96 HV, 104,72 HV, 103,02 HV, 101,38 HV, 99,57 HV, 97,82
HV, dan 95,80 HV
4.6. Uji Absorbsi Gas Buang Kendaraan
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan maka nilai uji absorbsi gas buang dapat ditentukan nilai absorbsinya yaitu hasil pengujian awal tanpa filter selama 15
menit ( Lampiran L.a), setelah itu dilakukan pengujian dengan menggunakan filter
sampel bata berpori yang pengujiannya berlangsung selama 15 menit dari tiap – tiap
sampel ( Lampiran L.b ). Data hasil pengujian awal tanpa filter dapat diperlihatkan
(69)
Tabel 4.6. Hasil Pengujian Gas Buang Tanpa Filter Tanpa Filter
CO CO2 HC O2 6,49 8,6 1128 5,65
Data hasil pengujian dengan menggunakan filter sampel bata berpori dapat
diperlihatkan pada tabel 4.7. di bawah ini. ( Lampiran L.b )
Tabel 4.7. Hasil Pengujian Absorbsi Gas Buang Dengan Filter No. Batu Apung Dengan Filter Absorbsi ( % )
( % ) CO CO2 HC CO CO2 HC 1. 0 6,32 8,0 816 2,62 7,5 27,66
2. 10 5,98 6,2 661 7,85 27,90 41,40
3. 20 5,88 5,9 544 9,39 31,39 42,90
4. 30 5,78 5,8 630 10,93 32,55 44,14
5. 40 5,76 5,7 552 11,24 33,72 51,06
6. 50 5,29 5,6 537 18,48 34,88 52,39
7. 60 4,98 5,5 523 23,26 36,04 53,63
8. 70 4,46 5,4 430 31,27 37,20 61,87
9. 80 4,35 5,3 409 32,97 38,37 63,74
Pada tabel 4.7. diatas diperoleh persentase absorbsi gas buang dengan
menggunakan persamaan 2.6 ( lampiran F ). Absorbsi CO 2,62 % - 32,97 %, absorbsi
CO2 7,5 % - 38,37 %, dan absorbsi HC 27,66 % - 63,74 %. Sehingga dari tabel 4.7. di atas dapat diperoleh Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung dengan
(70)
Grafik Komposisi Batu Apung Vs Absorbsi Gas CO 0 5 10 15 20 25 30 35
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Komposisi Batu Apung ( % )
Ab so rb si G a s CO ( % ) Gambar 4.7. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
terhadap absorbsi gas CO
Dari gambar 4.7. diatas terlihat bahwa pertambahan batu apung dari 0 % - 30
% mengakibatkan daya absorbsi gas CO pada bata berpori cenderung meningkat
secara landai dari 2,62 % - 10,93 %, selanjutnya pada pertambahan batu apung dari 40
% - 80 % mengakibatkan daya absorbsi gas CO pada bata berpori mengalami
kenaikan yang begitu signifikan yaitu dari 11,24 % - 32,97 %. Hal ini dikarenakan
pori – pori dari batu apung tercampur secara tidak merata dan tidak homogen di dalam
sampel bata berpori. Sehingga ketika gas buang CO dilewatkan pada filter bata
berpori terjadi pengabsorbsian gas CO yang menumpuk di dalam filter yang memiliki
pori – pori lebih besar, dan ini terlihat pada pertambahan komposisi batu apumg dari
(71)
Grafik Komposisi Batu Apung Vs Absorbsi Gas CO2
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Komposisi Batu Apung ( % )
Absorbsi Gas CO2 ( % )
Gambar 4.8. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
terhadap absorbsi gas CO2
Dari gambar 4.8. diatas terlihat bahwa pertambahan batu apung dari 0 % - 10
% mengakibatkan daya absorbsi gas CO2 pada bata berpori cenderung meningkat secara mencolok dari 7,5 % - 27,90 %, hal ini dikarenakan ketidakhomogenan pori –
pori dari batu apung di dalam sampel bata berpori, selanjutnya pada pertambahan batu
apung dari 20 % - 80 % mengakibatkan daya absorbsi gas CO2 pada bata berpori mengalami kenaikan secara parabola dari 31,39 % - 38,37 %. Hal ini dikarenakan pori
– pori dari batu apung tercampur secara merata dan homogen di dalam sampel bata
(72)
Grafik Komposisi Batu Apung Vs Absorbsi Gas HC
0 10 20 30 40 50 60 70
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Komposisi Batu Apung ( % )
Absorbsi Gas HC ( % )
Gambar 4.9. Grafik hubungan antara variasi komposisi batu apung
terhadap absorbsi gas HC
Dari gambar 4.9. diatas terlihat bahwa pertambahan batu apung dari 0 % - 10
% mengakibatkan daya absorbsi gas HC pada bata berpori cenderung menaik secara
tajam dari 27,66 % - 41,40 %, begitu juga dengan pertambahan batu apung dari 30 %
- 40 % mengakibatkan daya absorbsi gas HC pada bata berpori naik secara tajam dari
44,14 % - 51,06 %, dan selanjutnya pada pertambahan batu apung dari 60 % - 70 %
mengakibatkan daya absorbsi gas HC pada bata berpori mengalami kenaikan sangat
tajam dari 53,63 % - 61,87 %. Berikutnya pada pertambahan batu apung dari 20 %, 50
%, dan 80 % mengakibatkan daya absorbsi gas HC pada bata berpori mengalami
kenaikkan yang cenderung konstan dari 42,90 %, 52,39 %, dan 63,74 %.
Berbeda dengan ketiga gas lainnya, jumlah gas O2 ternyata bertambah. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.8. di bawah ini. ( Lampiran L.b )
(1)
100
(2)
101
(3)
(4)
103
(5)
104
(6)
105