Terminologi dan Perkembangan Teori Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

2. Terminologi dan Perkembangan Teori Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

a. Terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

HKI merupakan hak yang berasal dari kekayaan intelektual, yang dapat dideskripsikan sebagai hak kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Karya-karya intelektual tersebut di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra ataupun teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai. Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati maka nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan (property) terhadap karya-karya intelektual. Bagi dunia usaha, karya-karya itu dikatakan sebagai assets perusahaan. Dengan demikian, hak ini lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Definisi HKI menurut World of Intellectual Property Organization (WIPO), s “Very broadly, intellectual property means the legal rights which result from

intellectual actitivity in 60 the industrial , scientific, literary and artistic fields. ” .

Selanjutnya, dalam Konvensi World Intellectual property Organization (WIPO), IPR (HKI) diartikan “ Int ellectual property right is defined as ”intellectual property shall include the rights relating lo: leterary, artistic and scientific works, inventions in all fields of human endeavor, scientific discoveries, industrial designs, trademarks, service makrs, and commercial names and designations, protection against unfair competition and all other rights from intellectual activity

in the industrial, scientific or artistic fields” (Article 2).

59 dalam RUU PTEBT, Pengetahuan Tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan,

dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. 60 WIPO Intellectual Property Reading Material 1995

Selanjutnya, dalam Perjanjian TRIPS/World Trade Organization dinyatakan:

“ Intellectual property is defined as “The term intellectual property” refers to all categories of intellectual property that are subject of section 1 through 7 of part

II” (Article 1(2)). And…r, copyright and related rights (Section 1), trademarks (Section 2), geographical indications (Section 3), industrial designs (Section 4),

patents (Section 5), la yout designs of integrated circuits (Section 6), and protection of undisclosed information (Section 7) are stipulated in the Agreement.

Di Jepang HKI diartikan 61 : The world “intellectual property” is usually used to refer generallyu to mental works created through intellectual human activities,

such as industrial property, including” a patent, a utility model, a design and a trademark, “and copyright

Dengan demikian, HKI adalah segala sesuatu yang diciptakan melalui kegiatan intelektual seseorang. HKI juga dapat diartikan sebagai hak milik yang berasal dari kemampuan intelektual yang diekspresikan dalam bentuk ciptaan hasil kreativitas melalui berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi,

seni, sastra, desain dan sebagainya 62 . Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong 63 mengartikan HKI sebagai “…hak yang timbul dari kemampuan

berpikir atau olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna

61 Sadayuki Hosai dalam Prasetyo Hadi Purwandoko. 2010. “Pokok-pokok Hak Kekayaan Intelelktual”. Makalah. Disampaikan dalam Workshop Technical Assistance Hak Kekayaan Intelektual, Selasa – Rabu, 21-22 September 2010, di AULA Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya. h.3.

62 Lihat Akira Okawa. 1997.Major Provisions under WTO-TRIPs Agreement. Paper. Industrial Property Rights Training Course for Management . Tokyo : JIII & AOTS. h.1., Muhamad

Djumhana dan R. Djubaedillah.1996. Hak Milik Intelektual (Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia ). Bandung: Citra Aditya Bakti. h. 16. , Ok Saidin. 2004. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), Jakarta: PT Raja. h. 9. , Richard Burton Simatupang. 1996. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta.h.84-85., Adami Chazawi. 2007. Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI): Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Kepemilikan dan Penggunaan Hak Atas Kekayaan Intelektual . Malang: Bayumedia Publishing. h.2. , Rachmadi Usman. 2003, Hukum atas Kekayaan Intelektual . Bandung: Alumni. h.2., Muhammad Ahkam Subroto & Suprapedi. Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi. Jakarta: PT Indeks. 2008.h. 14., Dicky R. Munaf dalam Budi Agus Riswandi & Siti Sumartiah.2006. Masalah-masalah HAKI Kontemporer. Yogyakarta: Gita Nagari..h.3.

63 Elsi Kartika Sari dan A Simanunsong. tt. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo .h. 112..

http://books.google. co.id . [4 Desember 2012].

untuk manusia. Dalam ilmu hukum HKI merupakan harta kekayaan…yang mempunyai objek benda intelektual, yaitu benda yang tidak berwujud yang

bersifat immaterial…”. 3 Menurut Graham Dutfield, “ IP rights are legal and institutional devices to

protect creations of the mind such as inventions, works of art and literature, and designs. They also include marks on products to indicate their difference from

64 similar ones sold by competitors ” . Selanjutnya, Zaid Hamzah dalam bukunya yang 65 berjudul “Intellectual Property Law & Strategy” mengungkapkan : Intellectual Property is society’s recognition of intellectual efforts. It is monopoly

granted in exchange fot the contribution of inteellcetual creation to the society. It is an intangible property. The use IP by third party does not disprove the owne of his right of enjoyment. As such, an IP right is a right to restian others from using the right. The extent of this right is dependent upon the scope of the ablity granted by the law to restrain its us. The wider the scope given, the greater the monopoly an IP owner has. An IPR is a proprietary right which a person may exert over the use of his own intelligence. In so exerting this right, the person claims for himself

a basic to protect his intelligence from being used by other without his permission. Through the growth and evolvement of law, this tight has become enforceable under the law of IPRs almost globally.

66 Sementara itu, Aaron Schwabach menyebutnya sebagai: “… the intangible but legally reco gnized right to property in the products of one’s intellect. Intellectual property rights allow the originator of certain ideas,

inventions, and expressions to exclude others from using those ideas, inventions, and expressions without permission 2. ”.

Ditinjau dari cara perwujudannya, HKI sebenarnya berbeda dari objek berwujud lainnya. Hal ini dapat digambarkan dalam kasus yang melibatkan

seseorang pengarang terkenal yang bernama Charles Dickens 67 . HKI termasuk

64 Dutfield, G. 2003. Intellectual Property Rights and the Life Science Industries: A 20 th Century History .. Hampshire: Ashgate Publishing Limited. p.1. .. 65 Zaid Hamzah. 2007. Intellectual Property Law & Strategy. Singapore: Thomson/ Sweet&Maxwell Asia. p. 19- 21 66 Schwabach, A. 2007. Intellectual Property. California: ABC-CLIO, Inc. p.1.

67 Baca Tim Lindsey. dkk. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar . Bandung: PT Alumni. h.4-5 67 Baca Tim Lindsey. dkk. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar . Bandung: PT Alumni. h.4-5

68 sama lain dalam suatu produk atau obyek tertentu 69 . Selanjutnya, Mr N.E. Algra menyatakan bahwa ada beberapa sifat asli HKI yang dijadikan tumpuan

perubahan peraturan HKI, yaitu mempunyai jangka waktu terbatas, bersifat eksklusif dan mutlak, bersifat hak mutlak yang bukan kebendaan.

Dari beberapa pengertian tersebut, HKI merupakan istilah umum hak eksklusif yang diberikan sebagai hasil kegiatan intelektual manusia dan tanda yang digunakan dalam kegiatan bisnis, dan termasuk ke dalam hak tak berwujud

yang memiliki nilai ekonomis 70 . HKI adalah sistem yang memberikan apresiasi kepada para inventor, pendesain, pencipta dan pemegang karya intelektual lain.

Hal ini tidak lain merupakan insentif (dan tentu saja kompensasi) bagi tumbuhnya karya-karya yang bermanfaat dan sangat diperlukan oleh masyarakat luas 71 .

Inovasi teknologi sebagaimana peningkatan kekuatan ekonomi sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan masyarakat dan pengembangan industri. Inovasi teknologi

68 Insan Budi Maulana. 2007. “Paten dalam Bingkai AL-Qur`an : Pendekatan Sejarah dan Hukum”. Pidato Pengukuan Guru Besar. Jakarta: Fakultas Hukum Krisnadipayana. h.6

69 Dalam Muhammad Djumhana dan Djubaedillah. 1996. Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan Prakteknya). Bandung: alumni. 70 Baca juga JICA Team.2003. Capacity Building Program on the Implementation of the WTO Agreements in Indonesia (TRIPS COMPONENT), Training Material on Enforcement of

Intellectual Property Rights. Jakarta: DGIPR. h,1.

71 Baca A. Zen Umar Purba,. 2001 “Traditional Knowledge Subject Matter For Which Intellectual

Protection is So ught”. Paper. WIPO Asia-Pacific Regional Symposium on Intellectual Property Rights, Traditional Knowledge and

October 17 to 19. Yogyakarta: WIPO & DGIPR.,., A. Zen Umar. 2002. “Sistem Haki Nasional dan Otonomi Daerah” . Makalah. Disampaikan pada acara seminar nasional, Implementasi Undang-Undang Desain Industri dan Merek, diselenggarakan bekerjasama Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Hukum Universitas Manado, Yayasan Klinik HaKI, JIII, APIC, Asosiasi Alumni JIII. Indonesia , didukung oleh JPO dan Ditjen HaKI Departemen Kehakiman dan HAM, Manado, pada tanggal 18 Februari 2002. http://www.dgip . go.id/ article/articleview/60/1/15/. [10

Related

Issues,

Oktober 2012]., A.Zen Umar Purba. . Peta Mutakhir “Hak Kekayaan Intelektual Indonesia” Makalah . Disampaikan di Jakarta, 29Januari 2002. http://www . dgip.go.id/article/ articleview/60/1/15/ [20 November 2012] Oktober 2012]., A.Zen Umar Purba. . Peta Mutakhir “Hak Kekayaan Intelektual Indonesia” Makalah . Disampaikan di Jakarta, 29Januari 2002. http://www . dgip.go.id/article/ articleview/60/1/15/ [20 November 2012]

Tapscot, HKI diibaratkan sebagai berikut. The new economy is a knowledge economy and the key assets of every firm become intellectual assets 73 .

Dalam New York Times dinyatakan, Kekayaan Intelektual telah berubah dari bidang hukum dan bisnis yang sepi menjadi salah satu mesin penggerak ekonomi

teknologi tinggi 74 . Pengembangan HKI pada hakekatnya merupakan pengembangan sumber daya manusia (“SDM”). Hal ini disebabkan oleh karena

HKI berurusan dengan produk dan proses berkait olah pikir manusia. Pengembangan sistem HKI diharapkan akan berkembang pula SDM terutama terciptanya budaya inovatif dan inventif. Hal ini sangat penting dikaitkan dengan

kenyataan, bahwa walaupun kekayaan atau sumber daya alam (“SDA”) berlimpah, kita masih “begini-begini” saja bahkan mundur, dan tingkat kemiskinan makin bertambah 75 . Hal ini sesuai editorial The Washington Post, 28

April 2001 yang menyatakan: “… if there is one lesson in the past half century of economic development, it is that natural resources do not power economies, human resources do ”. Hal ini secara singkat dapat diartikan bahwa Sumber Daya Manusia (yang potensial menghasilkan kekayaan intelektual) lebih penting daripada Sumber Daya Alam.

72 A. Zen Umar Purba . 2001. “Perlindungan dan Penegakan Hukum HKI”. Makalah.Disampaikan pada Acara PelatihanTeknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme, Diselenggarakan oleh

Pusdiklat Mahkamah AgungRI, Makassar, 20 November 2001. http://www . dgip.go.id/article/ articleview/60/1/15/. [10 Oktober 2012].,

73 Don Tapscot dalam Andy Noorsaman Sommeng .2002. “Relevansi Relevansi Kekayaan Intelektual terhadap Usaha Kecil dan Menengah “. Naskah Power Point. Disampaikan dalam

Sosialisasi HKI bagi Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang Membidangi Koperasi Dan Usaha Kecil dan Menengah Makassar, 21 Oktober 2002 . http://www.dgip.go.id/

article/articleview/60/1/15/ [20 Novem-ber 2004] .h. 1.

74 New York Times, 9 April 1999 75 A.Zen Umar Purba. 2001. “Sistem Hak Kekayaan Intelektual dan Kaitannya dengan UKM”

Makalah. Disampaikan pada acara Peresmian SME Center dan Panel Diskusi, Jakarta, 7 November 2001. http:/ /www.dgip.go.id/article/articleview /60/1/15/ [20 November 2012].

Para ahli ekonomi selama bertahun-tahun telah mencoba memberikan penjelasan mengenai adanya sebagian perekonomian yang dapat berkembang pesat, ada yang tidak. Secara umum disepakati bahwa HKI memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi saat ini. Akumulasi dari ilmu pengetahuan merupakan kekuatan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Bagi negara yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya, maka kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat haruslah mendorong investasi di bidang penelitian, pengembangan dan mensubsidi program untuk pengembangan sumber daya

manusia 76 . Keberadaan HKI dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga merupakan sesuatu

yang given dan inheren dalam sebuah masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan

masalah HKI 77 . Secara umum ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari sistem HKI

yang baik, antarra lain meningkatkan posisi perdagangan dan investasi, mengembangkan teknologi, mendorong perusahaan untuk bersaing secara internasional, dapat membantu komersialisasi suatu invensi, dapat mengembangkan sosial budaya, dan dapat menjaga reputasi internasional untuk kepentingan ekspor.

Menjelang era perdagangan bebas masalah HKI telah menjadi isu yang strategis. Adanya globalisasi ekonomi terutama bidang perdagangan dan industri berarti pula globalisasi HKI. Hal ini mengakibatkan negara-negara berkembang akan menjadi sasaran penerapan HKI milik negara-negara maju. Berdasarkan hasil penelitian para ahli UNESCO ternyata negara-negara majulah yang telah

76 Baca Kamil Idris dalam Prihaniwati. 2004 . “Peranan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) dalam Pembangunan EkonomI”. Makalah. Disampaikan pada Seminar

Nasional Hubungan antara Penegakan Hukum HKI dan Pembangunan Ekonomi, tanggal 28 Sptember, di Hotel Sheratom Bandung. h. 2.

77 http//:www.dgip.go.id 77 http//:www.dgip.go.id

HKI memang tidak mudah didefinisikan. Namun demikian, dari istilah tersebut dapat diketahui bahwa hak tersebut merupakan hak yang berasal dari kekayaan intelektual seseorang. Hak kekayaan intelektual mempunyai lingkup yang sangat luas.. Lionel Bentley dan Brad Sherman menyebutkan bahwa: “ Intellectual property law creates property rights in a wide and diverse

range of things from novels, computer programs, films, television broadcasts, and performances, through to dress designs, pharmaceuticals, genetically modified

animals and plants 78 . Selanjutnya, WIPO (World Intellectual Property Organization) membagi

hak kekayaan intelektual menjadi dua kategori hak milik perindustrian dan hak cipta, yang dinyatakan: Intellectual property is divided into two categories: Industrial property, which

includes inventions (patents), trademarks, industrial designs, and geographic indications of source; and Copyright, which includes literary and artistic works such as novels, poems and plays, films, musical works, artistic works such as drawings, paintings, photographs and sculptures, and architectural designs. Rights related to copyright include those of performing artists in their performances, producers of phonograms in their recordings, and those of

broadcasters in their radio and television programs 79 .

Lionel Bently & Brad Sherman. 2004. Intellectual Property Law. New York: Oxford University Press Second edition. p.1

79 http://www.wipo.int/about-ip/en/ . 2009. “What is Intellectual Property?”, (diakses tanggal 21 Januari 2009).

Dengan demikian, HKI sebagai terjemahan Intellectual Property Rights ( IPR ), menurut WIPO ( The World Intellectual Property Organization ) secara garis besar meliputi dua cabang yaitu:

1) Hak Cipta ( Copyright ), dan

2) Hak Atas Kekayaan Industri ( Industrial Property Right ) yang terdiri atas:

a) Paten ( Patent )

b) Merek ( Mark )

c) Desain Produksi Industri ( Industrial Design );

d) Penanggulangan Praktek Persaingaan Curang ( Repression of Unfair Competition Practices ).

Penggologan HKI menurut WIPO tersebut agak sedikit berbeda dengan TRIP’s Agreement. Berdasarkan Bab II Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods ( TRIPs ), HKI digolongkan menjadi delapan, yaitu i 80 :

1) Hak Cipta ( Copyright ) dan Hak-hak yang terkait lainnya;

2) Merek ( Mark );

3) Indikasi Geografis ( Geographical Indication );

4) Desain Produksi Industri ( Industrial Design );

5) Paten ( Patent );

6) Rangkaian Elektronika Terpadu ( Lay Out Design of Integrated Circuit );

7) Perlindungan Rahasia Dagang ( Undisclosed Information/Trade Secret );

8) Pengendalian terhadap Praktek Persaingan Curang/tidak sehat ( Repression Unfair Competition Practices ).

Pada prinsipnyanya memang belum ada keseragaman di antara para ahli/praktisi tentang penggolongan HKI, lebih lagi saat ini pengelompokan tersebut sudah kurang mempunyai daya pembeda sebab karya-karya hasil

80 Lihat Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement)

(1994). This Agreement constitutes Annex 1C of the Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (here inafter referred to as the “WTO Agreement”, which was concluded on April 15, 1994, and entered into force on January 1, 1995. The TRIPS Agreement binds all Members of the WTO .(lihat Pasal II.2 Perjanjian WTO).

intelektual tersebut dalam pemanfaatannya kadang-kadang saling tumpang tindih terjadi kombinasi. Hal senada dikemukakan oleh Deborah E bounchoux. Deborah

E Bounchoux menyatakan bahwa pada dasarnya hak kekayaan intelektual terdiri dari empat jenis tipe kekayaan intelektual namun seringkali saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain yang terdiri dari merek, hak cipta, paten, dan rahasia dagang: Intellectual property generally is viewed as comprising four separate but often overlapping types of property rights: trademarks, copyrights, patents, and

trade secrets 81 . Perbedaan Hak Cipta, Paten, Merek, Rahasia Dagang, Desain Industri,

dan Desain Tata Letak Sirkuiit Terpadu (DTLST) dapat dilihat pada tabel berikut ini.

81

Bouchhoux, Deborah E. 2001. P r otecting Your Company’s Intellectual Property: A Practical Guide to Trademarks, Copyrights, Patents & Trade Secrets . New York : Amacom. p.3

b. Telaah Singkat Perkembangan Teori dan Pengaturan HKI

HKI pada awalnya muncul sebagai bagian human rights. Kesadaran akan hak-hak dasar yang dimiliki manusia mulai muncul dari dunia Barat. Pengaturan HKI muncul karena persoalan yang dihadapi oleh suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat di dunia Barat, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara. Isu HKI tidak datang dari tradisi masyarakat non Barat, termasuk Islam, Budhaa, dan Konfusius karena ada sebab dan latar belakang tertentu. Ini bukan berarti mereka tidak mempunyai peradaban yang relatif maju sehingga ide HKI tidak mereka cetuskan. Harus di akui orang China, India, dana Arab pernah berada dalam klimaks peradaban dunia. Dengan demikian, hampir dapat dinyatakan bahwa ketidakhadiran mereka dalam wacana HKI adalah karena sebuah world view yang berbeda dengan yang dipunyai masyarakat Barat.

Perdebatan konsep dan sistem HKI baru dimulai pada Abad ke-18. Filosuf yang menjadi tokoh perkembangan HKI adalah John Locke (1632-1704). Locke dalam bukunya yang berjudul The Second Treatise of Governmen berpandangan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada awalnya adalah milik seluruh umat manusia. Walaupun demikian, “segala sesuatu” itu tidak dapat dimanfaatkan secara langsung tanpa diperoleh dan diolah terlebih dahulu. Untuk dapat diolah, sesuatu yang ada di alam harus diambil terlebih dahulu, seperti hewan yang akan dimakan harus terlebih dahulu ditangkap dan diolah oleh seseorang (yang juga berarti dimiliki orang tersebut). Oleh karena itu, Locke menekankan pentingnya memberikan penghargaan kepada orang yang telah melakukan “pengorbanan” untuk menemukan dan mengolah sesuatu yang berasal dari alam dalam bentuk kepemilikan. Di samping itu, setiap orang secara alamiah memiliki hak atas dirinya sendiri. Oleh karena itu hasil pekerjaannya ( labour ) telah menambahkan “kepribadian” ke dalam sesuatu yang telah diolah tersebut, sebagaimana diungkapkan : 82 “…yet every man has a “property” in his own ‘person’. This nobody has any right to but himself. The ‘labour’ of his body and the ‘work’ of his hands, we may say, are properly his. Whatsoever, then, he

removes out of the state that Nature hath provided and left it in, he hath mixed his labour with it, and joined to it something that is his own, and thereby makes it his property .

Selanjutnya, 83 Justin Hughes , di dalam tulisan yang berjudul The Philosophy of Intellectual Property , menghubungkan pandangan Locke dan

masalah perlindungan HKI, dengan menyatakan bahwa HKI diperoleh melalui proses belajar/memahami (kognitif), sehingga walaupun “masukan” yang mendorong proses penciptaan tersebut berasal dari lingkungan luar si pencipta, namun proses “perakitan” ciptaan itu sendiri terjadi di dalam pikirannya sehingga

82 Locke, J. 2004. The Second Treatise of Government. USA: Barnes & Noble Publishing, Inc.p.17-19.

83 Hughes, J. 1988. The Philosophy of Intellectual Property. Georgetown Law Journal, 77(287). p.

tidak murni lagi seperti bentuk awalnya. Meskipun demikian, Locke tidak setuju dengan kepemilikan yang berlebihan atas sesuatu karena hal tersebut akan merugikan kepentingan orang lain, yang artinya bertentangan dengan hukum alam. Oleh karena itu, menurutnya, sesuatu dapat dijadikan sebagai hak milik

sepanjang dipenuhi syarat “ 84 enough and as good left in common for others ” . Apabila dikaitkan konteks kehidupan sosial pada masa itu, pandangan Locke ini

sangat erat hubungannya dengan dengan keinginan untuk menantang kerajaan- kerajaan (yang berkuasa absolut) dan dianggap “tidak bertanggung jawab”, yang

mendominasi hak milik berbagai hal bukan dari kemampuan/bakat individual anggota kerajaan sendiri melainkan hanya karena kekuasaan yang dimilikinya 85 .

Hal ini didasarkan kepada pemikirannya tentang bahaya keberadaan monarki absolut terhadap dua hal, yaitu kemampuannya untuk melakukan ” the capricious incarceration or the arbitrary seizure of property ” dan bahwa “ an absolut

monarchy could claim authority to enforce a particular set of beliefs 86 ” . Pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sekularisme sebagai

akibat perang agama yang terjadi di Eropa selama 30 tahun (1618-1648) yang menewaskan sekitar 8 juta jiwa. Pada saat itu, monarki absolut menempatkan dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi sebagai legitimasi atas kekuasaan yang dimiliki, termasuk kekuasaan dalam hal hak kepemilikan atas segala sesuatu. Perang inilah yang kemudian menjadikan pandangan Locke demikian berpengaruh, karena menolak delegasi Tuhan kepada penguasa dalam hak kepemilikan, melainkan menganggap bahwa segala macam kekuasaan (termasuk hak kepemilikan) didasarkan kepada kekuasaan individual atas dirinya sendiri

84 Ibid.p.6. 85 Ibid

86 Casson, D.J. 2011. Liberating Judgement: Fanatics, Skeptics, and John Locke’s Politics of Probability . New Jersey: Princeton University Press.p. 210.

sebagaimana kutipan tersebut di atas. Di kemudian hari, paham ini akan dikenal dengan paham individualisme yang melahirkan liberalisme 87 .

Tokoh lainnya di bidang perkembangan HKI adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Di dalam bukunya yang berjudul Du Contrat Social ,

dikatakan bahwa: “ Every man has naturally a right to everything he needs ...” Analogi yang digunakannya adalah kepemilikan atas tanah. Berkaitan hal tersebut, Rousseau menyebutkan syarat-syarat kepemilikan tanah, yaitu bahwa tanah yang dikuasai belum ada pemiliknya; manusia hanya boleh menguasai tanah seluas yang dibutuhkannya; dan kepemilikan tersebut harus disertai dengan pengelolaan

secara berkelanjutan 88 . Di samping itu, disebutkan pula bahwa setiap individu secara sukarela menyerahkan diri untuk diatur hak dan kewajibannya oleh

negara 89 . Hal ini berarti bahwa sebenarnya hak yang dimiliki seseorang adalah bersifat alamiah, hanya kemudian kekuasaan untuk mengakui hak milik tersebut

“diserahkan” kepada negara karena dihubungkan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk melindungi hak tersebut jika dilanggar oleh pihak lain 90 .

“Kepribadian” sebagaimana yang dijelaskan oleh Locke, kemudian menjadi teori yang disebut personality theory , yang dikemukakan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770- 1831). Menurut Hegel, “the individual’s will is

the core of the individual’s existence…constantly seeking actuality…and effectiveness in the world ”. Teori ini dianggap sebagai refleksi paham kebebasan

87 Thirty Years War. http://www.historylearningsite.co.uk/thirty_years_war.htm . [5 September 2011].

88 Rousseau, J.J. 2003. On the Social Contract. New York: Dover Publications, Inc.p. 13. , Mitchell, H.C. 2005. The Intellectual Commons: Toward an Ecology of Intellectual Property. Oxford:

Lexington Books. 78-80. 89 Keller, B. 2010. Liquefied Sanctity: Grotius and the Promise of Global Law. dalam Asbach, O.

and Schröder, P. (Ed.). War, the State and International Law in Seventeenth-Century Europe. Surrey: Ashgate Publishing Limited.p.137.

90 Rousseau, J.J. 2004. The Social Contract or Principles of Political Right. P. 2-13. http://books.google.co.id/ . [26 April 2011].

yang menurut Hegel harus diwujudkan dalam bentuk suatu karya cipta agar menjadi terlihat jelas. Dalam kehidupannya, manusia pada tahap awal “mengambil” segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Namun, kemudian, manusia

memiliki keinginan ( will ) untuk menyikapi apa yang telah diperolehnya tersebut berdasarkan kehendak pribadinya. Penyikapan tersebut dalam bentuk suatu karya cipta, kemudian menjadi milik manusia yang bersangkutan, karena merupakan ekspresi keinginan dimaksud. Jika kemudian hal tersebut diakui oleh masyarakat, maka teori bahwa suatu karya cipta merupakan ekspresi jati diri penciptanya

menjadi sah secara hukum sebagai hak milik 91 . Hegel melihat kekayaan intelektual sebagai “ ongoing expression of its creator, not as a free, abandonable

cultural object ”. Berkaitan hal tersebut, pembayaran yang dilakukan oleh seseorang untuk membeli hasil karya pencipta dianggap sebagai tindakan pengakuan terhadap si pencipta sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat. Hal yang sama berlaku pula dalam hal HKI si pencipta dibeli oleh pihak lain. Konsep inilah yang kemudian di dalam hukum HKI dikenal sebagai “ hak moral”, yaitu hak pencipta untuk melarang ciptaannya diubah tanpa persetujuan yang bersangkutan 92 .

Selanjutnya, apabila dilihat dari sejarahnya, sebenarnya perlindungan HKI telah dimulai sejak kurang lebih 3200 tahun yang lalu. Pada waktu itu dapat di ketahui bahwa konsep-konsep yang berkembang di Barat saat ini merupakan sebuah mata rantai pengaruh dari tradisi sebelumnya. Hampir semua negara di wilayah Eropa Barat mewarisi peradaban kekaisaran Romawi. Dalam bidang hukum pengaruh ini sangat kuat, pengaruh Codex Justinianus dalam tradisi hukum Eropa sangat besar sebelum muncul ide tentang ‘ state’, hampir semua wilayah Eropa Barat merupakan bagian Kekaisaran Romawi sehingga kalau pengaruh itu sangat besar adalah wajar saja.

91 Hughes, op. cit. p. 28-30. 92 Ibid,. p. 40-42.

Romawi membangun dan mengembangkan konsep-konsep hukum tersebut karena merupakan pewaris Yunani kuno. Dilihat dari sejarah dibuktikan bahwa Romawi merupakan pewaris kejayaan Yunani Kuno ( Acient Breek ) melewati

tradisi filsafat pemikiran Stoa 93 (Stoicim) . Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dinyatakan bahwa banyak konsep –konsep negara dan hukum dalam tradisi

Barat mendapatkan inspirasi dari Aristotes dan Plato. Maka benih-benih spirit liberalisme dan skularisme itu sebenarnya sudah mereka dapatkan pada peradaban Yunani Kuno. Para filsuf Barat modern mengembangkan konsep-konsep itu dengan jiwa liberalism. Pada saat itu, masyarakat Romawi telah memberikan

tanda pada keramik untuk menunjukkan identitas pembuatnya 94. Ide tentang HKI yang muncul dan berkembang di Barat dari imperium

Romawi memberikan ruang bagi munculnya ide tersebut. Terlebih, di tangan para Filosuf Barat moderen, khususnya Jhon Locke, yang dengan teori hukum alam nya merasionalkan ide tersebut, ide tentang the absolute ownership ini

kemudian muncul dan di akui 95 .

Isu property pun dimulai pada abad ke 13 sejalan perkembangan konsep hak asasi manusia. Hak asasi ikut berkembang sampai ketika masa renaissance ( aufklarung ) terjadi, disusul kemudian revolusi industri di Inggris, dan revolusi politik di Perancis. Selanjutnya, yang karena penemuan ( invention ) dilakukan oleh para ilmuwan Barat maka konsep tentang intellectual property righs itu berkembang dari Barat. Diawali dengan hak paten, hak cipta, dan kemudian berkembang hingga mencapai bentuknya yang modern sekarang ini.

93 Hoiberg, Dale H, ed. 2001. “Human rights : Historical Develovment”. Encyclopaedia Britannica. CD ROM Edition.tp.t.h. 94 Granstrand, O.1999. The Economics and Management of Intellectual Property: Towa rds

Intellectual Capitalism . Cheltenham (UK): .Edward Elgar Publishing Limited, p.28.

95 Sejarah munculnya konsep Intellectual property rights dapat dibaca pada Vaughan,

Richard ‘Defining Terms in the intellectual Property Protection Debate: Are the North and Shouth Arguing Past Each Onther when say ‘ Property ‘ ? Locken . Conpusian, and Islamic Comparison’ dalam, ILSA journal . h.6-8. [http:/www.unsulaw. nova.edu/].

Dalam bentuknya yang modern, perlindungan HKI telah dimulai pada tahun 1474 ketika Pemerintah kota Venesia (Italia) dengan tujuan menarik para ahli dari luar kota tersebut untuk mengembangkan teknologi di kota tersebut. Di bidang hak cipta, peraturan perundang-undangan pertama dibuat oleh Kerajaan Inggris

pada tahun 1710 96 . Persoalan yang berkaitan pelanggaran Hak Cipta ini mulai berkembang setelah teknologi repr oduksi lahir, karena sebelumnya: “ Manually

copying books or paintings was too laborious for piracy to be profitable ”. Selain itu, di bidang Merek, tercatat bahwa setidaknya perlindungan hukum telah

diberikan sejak tahun 1891 97 . Saat ini, perlindungan HKI di tingkat global didasarkan pada dua konvensi multilateral utama di bawah , yaitu Paris

Convention for the Protection of Industrial Property 1883 ( Paris Convention ) dan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1886 ( Berne

Convention 98 ), The Rome Convention concerning Protection of Neighboring Rights to Literary Works 1961; Patent Cooperation Treaty 1970 (“PCT”);

Trademark Law Treaty 1994; WIPO Copyright Treaty 1996; WIPO Performances and Phonograms Treaty 1996 (WP PT); The Budapest Treaty on the International Recognition of the Deposit of Microorganisms 1977; The Madrid Agreement concerning the Protection of Indication of Source 1891. . Di samping itu TRIPS Agreement 1994 di bawah WTO dan The Universal Copyright Convention 1952 di bawah UNESCO. Selanjutnya, berkait varietas tanaman diatur dalam The International Union for the Protection of New Varieties of Plant 1991 ( UPOV).

Dengan demikian Perlindungan internasional HKI pertamakali diberikan oleh The Paris Union tahun 1883 ( The Paris Convention for The Protection of

96 Dutfield, G. 2003. 3-4. 97 Schwabach, op. cit.p., 1, 8. 98 Rome Convention: Intemational Convention for the Protection of Performers, Producers of

Phonograms and Broadcasting Organizations

Industrial Property ). Kemudian pengaturan HKI mengalami perkembangan. Beberapa konvensi internasional secara sistematis di antaranya yaitu:

1. Hak Milik Perindustrian

a. Madrid Agreement for The Repression of False Or Deceptive Indications

of Source On Goods , 14 April 1981.

b. Patent Cooperation Treaty , 19 Juni 1970.

c. Trade Mark Registration Treaty , 12 Juni 1973.

d. International Convention For The Protection Of New Varietas Of Plants ,

2 Desember 1961.

2. Hak Cipta dan Hak Terkait

a. Bern Convention For The Protection Of Literary And Artistic Works (WIPO).

b. Universal Copyright Convention (UNESCO).

c. Genewa Convention For The Protection Of Production Of Phonograms Againts Unauthorized Duplication Of Their Phonograms , 29 Oktober 1971. Berbagai perjanjian intemasional di bidang HKI yang sudah ada sejak

tahun 1883 dapat dilihat dalam gambar berikut ini 99 .

99 JICA Team.2003. Op.Cit.h.2

Perjanjian Intemasional di bidang HKI

Tahun Umum

Paten 1883

Hak Cipta

Merek

Konvensi Paris

Konvensi Bern

Perjanjian Madrid

Konvensi Hak

Konvensi Roma 100

1967 Konvensi Pembentukan WIPO

1970 Patent Cooperation Treaty

WIPO Copyright Treaty

Masing-masing konvensi tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut 101 .

100 Rome Convention: Intemational Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations. 101 JICA Team.2003. Op.Cit. h. 6-8

The Paris Convention for the Protection of Industrial Property (selanjutnya disebut Konvensi Paris) bertujuan untuk memfasilitasi hubungan perdagangan di antara negara-negara anggota dengan mengembangkan perlindungan intemasional bagi hak kekayaan industri. Dalam Konvensi Paris ini, negara-negara yang tergabung membentuk suatu serikat negara atau union, dan peraturan hukum dan perundang-undangan mengenai HKI harus disesuaikan, dan pada prinsipnya hak prioritas dan sistem paten masing-masing negara tetap berdiri sendiri.

The Beme Convention conceming protection of copyright (selanjutnya disebut Beme Convention), yang secara formal disebut the Convention for the Protection of Literary and Artistic Works, mengatur tentang 1) perlakuan yang sama sebagai warga negara di setiap negara; 2) Keikutsertaan dalam konvensi bisa berlaku surut (retroactive); dan 3) prinsip tanpa formalitas (no formality) sebagai prinsip dasar. Prinsip tanpa formalitas ini, secara khusus, merupakan ciri yang paling khas dari Konvensi Beme, dimana setiap pencipta secara otomatis memperoleh hak cipta tidak hanya di negaranya, namun juga di semua negara-negara yang menjadi anggota Konvensi Beme

The Rome Convention conceming protection of the neighboring rights to literary works (selanjutnya disebut Konvensi Roma) secara formal disebut the Intemational Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations , dan merupakan sebuah konvensi intemasional untuk perlindungan bagi para pelaku, produser rekaman suara dan badan penyiaran sebagai pemegang hak-hak terkait karya sastra.

The Patent Cooperation Treaty (PCT) berfungsi untuk menyempumakan perlindungan hukum bagi invensi, untuk 1) menyempumakan dan membuat lebih ekonomis cara mendapatkan perlindungan invensi; 2) mendukung dan mempercepat akses oleh masyarakat mengenai data teknis yang terdapat dalam dokumen yang menggambarkan teknologi baru, dan untuk mendukung dan mempercepat pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.

The Budapest Treaty on the Intemational Recognition of the Deposit of Microorganism adalah sebuah perjanjian tentang pengenalan sistem penyimpanan mikroorganisme untuk tujuan pemeriksaan/penelusuran paten. Tujuan utamanya untuk menciptakan seperangkat peraturan yang mengatur hal-hal di mana permohonan paten yang diajukan menyangkut suatu mikroorganisme dan penyimpanan data mikroorganisme tersebut dipersyaratkan, sehingga diterima oleh badan penyimpanan intemasional manapun yang ditentukan oleh perjanjian tersebut, dan pengakuan dalam hubungannya dengan prosedur paten di negar~-, negara peserta perjanjian tersebut.

`The Madrid Agreement for the protection of indication of origin dimaksudkan untuk melindungi indikasi negara asal yang palsu atau dapat mengakibatkan kekeliruan. Secara umum memuat sanksi seperti denda atau larangan import produk-produk yang memiliki indikasi asal yang palsu atau yang dapat menyebabkan kekeliruan.

Konvensi atau Treaty intemasional lain yang tidak dikelola oleh WIPO adalah TRIPs Agreement yang dikelola oleh WTO, the Universal Copyright Convention yang dikelola oleh UNESCO sebuah badan khusus PBB, dan the Intemational Union for the Protection of New Varieties of Plants (UPOV).

The Universal Copyright Convention adalah sebuah konvensi tentang hak cipta, yang berlaku sebagai jembatan antara negara-negara anggota Konvensi Beme yang menerapkan prinsip tanpa formalitas dengan negara-negara lain yang meherapkan prinsip formalitas. Dalam pelaksanaan perlindungan hak cipta, negara di dunia ini terbagi atas dua kelompok, kelompok yang satu menerapkan prinsip formalitas dimana mewajibkan pendaftaran, pengalihan hak, indikasi hak cipta dan lain-lain, sebagai persyaratan perlindungan hak cipta, dan kelompok yang lain menerapkan prinsip tanpa formalitas dimana hak cipta diberikan secara otomatis lahir bersamaan dengan terciptanya kreasi, dan dalam kondisi apapun pendaftaran hak cipta tidak diperlukan. Negara-negara yang menerapkan prinsip tanpa formalitas ini sebagian besar terdiri atas negara-negara Eropa, yang The Universal Copyright Convention adalah sebuah konvensi tentang hak cipta, yang berlaku sebagai jembatan antara negara-negara anggota Konvensi Beme yang menerapkan prinsip tanpa formalitas dengan negara-negara lain yang meherapkan prinsip formalitas. Dalam pelaksanaan perlindungan hak cipta, negara di dunia ini terbagi atas dua kelompok, kelompok yang satu menerapkan prinsip formalitas dimana mewajibkan pendaftaran, pengalihan hak, indikasi hak cipta dan lain-lain, sebagai persyaratan perlindungan hak cipta, dan kelompok yang lain menerapkan prinsip tanpa formalitas dimana hak cipta diberikan secara otomatis lahir bersamaan dengan terciptanya kreasi, dan dalam kondisi apapun pendaftaran hak cipta tidak diperlukan. Negara-negara yang menerapkan prinsip tanpa formalitas ini sebagian besar terdiri atas negara-negara Eropa, yang

TRIPs Agrement merupakan singkatan Agrement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights. Perjanjian TRIPs ini memperjelas kedudukan perlindungan HKI sebagai isu-isu yang terkait di bidang perdagangan. Tujuannya untuk memberi perlindungan HKI dan prosedur penegakan hak dengan menerapkan tindakan yang menuju perdagangan sehat.

102 Adapun struktur Perjanjian TRIPs ialah sebagai berikut .

Struktur Perjanjian TRIPs Bab I

Ketentuan umum dan prinsip-prinsip dasar Bab II

Standar tentang keberadaan, lingkup dan penggunaan HKI Bab III

Penegakan hukum di bidang HKI Bab IV

Prosedur untuk memperoleh dan mempertahankan HKI berikut Prosedur inter-partis terkait

Bab V Pencegahan dan penyelesaian sengketa Bab VI

Ketentuan peralihan BabVII

Ketentuan kelembagaan dan ketentuan penutup

Bagian II Perjanjian TRIPs mengatur tentang objek HKI secara luas, yaitu: hak cipta dan hak terkait; merek; indikasi geografis; desain industri; paten; desain tata letak sirkuit terpadu; dan perlindungan rahasia dagang. Di sisi lain,

102 Ibid.h.10

Perjanjian ini juga mengatur tentang larangan praktek persaingan curang dan perjanjian lisensi.

Beberapa permasalahan khusus yang terdapat dalam Perjanjian TRIPs adalah 103 :

1) Memperkenalkan prinsip the most favored notion treatment sebagai tambahan dari prinsip national treatment; I National treatment diartikan bahwa warga negara lain mendapat perlakuan yang sama dengan perlakuan terhadap warga negaranya. Ini adalah definisi yang sama sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris dan Konvensi Bern. Bahkan Perjanjian TRIPs mengatur lebih jauh lagi tentang the most favored nation treatment, yang mana setiap keuntungan, kebaikan, kekhususan atau kekebalan yang diberikan oleh sebuah negara anggota kepada warga negara lain manapun, disetujui tanpa syarat diberikanjuga kepada warga negara darl negara-negara anggota lainnya. The most favored nation t reatment merupakan sebuah prinsipyang belum pemah diatur dalam perjanjian intemasional tentang perlindungan HKI. Perjanjian TRIPs merupakan perjanjian intemasional pertama yang mengatur tentang prinsip ini.

2) Perjanjian TRIPs mengatur tentang perlindungan paten dan hak cipta secara menyeluruh, dan mengatur jangka waktu perlindungan minimum yang harus diterapkan oleh negara anggot (Article 12 and 33A).

Obyek HKI yang diatur dalam perjanjian intemasional yang berlaku saat ini terbagi dalam dua klasifikasi, yaitu, hak kekayaan industri dan hak cipta, dan tidak ada satupun perjanjian intemasional yang mengatur kedua hai ini secara lengkap. perjanjian yang khusus, tingkat perlindungan yang terdapat dalam Perjanjian TRIPs cukup tinggi dibanding dengan perjanjian intemasional lainnya.

103 Ibid. 10-11

3) Perjanjian TRIPs mengatur tentang ketentuan upaya hukum administratif dan hukum acara bagi penegakan hukum.

Perjanjian intemasional tentang perlindungan HKI jarang ada yang mengatur tentang penegakan hukum. Namun, Perjanjian TRIPs secara khusus memuat aturan tentang penegakan hukum HKI yang efektif termasuk pengawasan batas wilayah negara terhadap produk barang yang melanggar HKI.

4) Perjanjian TRIPs dalam WTO mengatur penyelesaian sengketa di antara para anggotanya dengan cara konsultasi atau rekomendasi tentang perkembangan pelanggaran dari konvensi tersebut. Tidak ada penanganan penyelesaian sengketa yang sedemikian itu dimiliki oleh WIPO dan oleh karena itu penyelesaian sengketa yang efektif tentang perjanjian intemasional adalah tidak terjamin. Hal ini merupakan aturan khusus dari PerjanjianTRIPsyang menjamin penyelesaian sengketa yang efektif melalui konsultasi oleh dewan yang dibentuk sendiri yang khusus bertujuan untuk proses penyelesaian.

5) Perjanjian TRIPs diharapkan memainkan peranan yang efektif dalam mencegah sanksi sepihak seperti Pasal 301 Hukum Dagang Amerika Serikat.

Karakteristik perjanjian TRIPs tersebut berbeda dengan perjanjian intemasional lainnya yang mengatur perlindungan HKI, dan dapat disebut memiliki ketentuan yang bersifat khusus. Oleh karena tingginya tingkat perlindungan HKI yang diatur dalam Perjanjian TRIPs, maka bagi negara-negara berkembang diberikan kelonggaran waktu selama 5 tahun, yang berakhir pada tahun 2000.

Pada akhir abad ke 20 sampai saat ini, HKI menjadi isu lebih serius karena terkait dan terlekat dengan kepentingan ekonomi, yang dalam konsep Barat suatu karya adalah suatu keuntungan ekonomi ( capital ). Ketika aspek ekonomi HKI terganggu maka negara-negara Barat akan berusaha sekuat tenaga mendorong implementasi aturan tentang kekayaan intelektual di negara manapun juga. Maka sudah dapat ditebak, karena negara-negara Barat merupakan righsholder (pemegang hak ), mereka sangat berkepentingan dengan penegakan Pada akhir abad ke 20 sampai saat ini, HKI menjadi isu lebih serius karena terkait dan terlekat dengan kepentingan ekonomi, yang dalam konsep Barat suatu karya adalah suatu keuntungan ekonomi ( capital ). Ketika aspek ekonomi HKI terganggu maka negara-negara Barat akan berusaha sekuat tenaga mendorong implementasi aturan tentang kekayaan intelektual di negara manapun juga. Maka sudah dapat ditebak, karena negara-negara Barat merupakan righsholder (pemegang hak ), mereka sangat berkepentingan dengan penegakan

Menjelang era perdagangan bebas masalah HKI telah menjadi isu yang strategis. Adanya globalisasi ekonomi terutama bidang perdagangan dan industri berarti pula globalisasi Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini mengakibatkan negara- negara berkembang akan menjadi sasaran penerapan Hak Kekayaan Intelektual milik negara-negara maju. Berdasarkan hasil penelitian para ahli UNESCO ternyata negara-negara majulah yang telah mendahulukan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Dengan demikian, HKI mempunyai peran yang sangat penting di dunia internasional. Oleh karena itu, setiap negara wajib melindungi kreasi manusia (human creativity) untuk lebih mendorong kemajuan di bidang IPTEK dan seni. Negara Indonesia tidak mempunyai pilihan lain selain harus terlibat dalam bidang ekonomi global yang memberikan peranan penting pada HKI. Negara Indonesia tidak mempunyai pilihan lain selain harus terlibat dalam bidang ekonomi global yang memberikan peranan penting pada HKI..

Perjanjian TRIPs/WTO yang merupakan lampiran Perjanjian Pembentukan WTO (Agreement Establishing the WTO) telah memperjelas kedudukan perlindungan HKI sebagai isu-isu yang terkait di bidang perdagangan. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan HKI dan prosedur penegakan hak dengan menerapkan tindakan yang menuju perdagangan sehat.

Oleh karena tingginya tingkat perlindungan HKI yang diatur dalam Perjanjian TRIPs , maka bagi negara-negara berkembang diberikan kelonggaran waktu selama lima tahun, yang berakhir pada tahun 2000.

Persetujuan TRIPs menggunakan prinsip kesesuaian penuh atau “ Full Compliance ” sebagai syarat minimal bagi pesertanya, ini berarti negara-negara Persetujuan TRIPs menggunakan prinsip kesesuaian penuh atau “ Full Compliance ” sebagai syarat minimal bagi pesertanya, ini berarti negara-negara

Setelah dijelaskan teori dan perkembangan perlindungan HKI dalam lintasan sejarah, selanjutnya ada beberapa teori yang mendasari perlunya perlindungan HKI sebagaimana ditulis Robert M. Sherwood 104 , yaitu:

1) Reward theory Teori ini memiliki makna sangat mendalam berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/ menciptakan karya-karya intelektual tersebut.

2) Recovery theory Teori ini sejalan

prinsip yang menyatakan bahwa penemu/ pencipta/pendesain yang telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut.

3) Incentive theory Teori ini sejalan teori reward , yang mengkaitkan pengembangan kreativitas dengan memberikan insentif bagi para penemu/ pencipta atau pendesain tersebut. Berdasarkan teori ini insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian berikutnya dan berguna.

4) Risk theory Teori ini mengakui bahwa HKI merupakan suatu hasil karya yang mengandung resiko, misalnya; penelitian guna penemuan suatu vaksin terhadap virus penyakit dapat berisiko terhadap nyawa peneliti/penemu apabila tidak hati-hati, terlebih dia telah mengelurkan biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit.

Sherwood, Robert M. 1990. Intellectual Property and Economic Development: Westview Special Studies in Science Technology and Public Policy . San Francisco: Westview Press Inc.

5) Economic growth stimulus theory Teori ini mengakui bahwa perlindungan HKI merupakan suatu alat pembangunan ekonomi, dan yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem perlindungan atas HKI yang efektif.

105 Selanjutnya, Anthon y D’Amato dan Doris Estelle Long mengemukakan teori perlindungan HKI sebagai berikut 106 .

1) Prospect theory Teori ini merupakan salah satu teori perlindungan HKI di bidang paten. Dalam hal seorang penemu menemukan penemuan besar yang sekilas tidak begitu manfaat yang besar namun kemudian ada pihak lain yang mengembangkan penemuan tersebut menjadi suatu temuan yang berguna dan mengandung unsur inovatif, penemu pertama berdasarkan teori ini akan mendapat perlindungan hukum atas temuan yang pertama kali ditemukannya tersebut. Dalam hal ini penemu pertama mendapatkan perlindungan berdasarkan asumsi bahwa pengembangan penemuannya tersebut oleh pihak selanjutnya hanya merupakan aplikasi atau penerapan dari apa yang ditemukannya pertama kali.

2) Trade secret avoidance theory Menurut teori ini, apabila perlindungan paten tidak eksis, perusahan- perusahaan akan mempunyai insentif besar untuk melindungi penemuan mereka melalui rahasia dagang. Perusahaan akan melakukan investasi

berlebihan di dalam “menyembunyikan” penemuannya dengan menanamkan modal yang berlebihan. Berdasarkan teori ini, perlindungan hak paten

merupakan suatu alternatif yang secara ekonomis sangat efesien.

105 D’Amato, Anthony & Doris Estelle Long, International Intellectual Property Law, London: Kluwer Law International, 1997. 106 Ranti Fauza Mayana. 2004. Perlindungan Desain Industri di Indonesia . Jakarta: PT Gramedia

Widiasarana Indonesia .

3) Rent dissipation theory Teori ini bermaksud memberikan perlindungan hukum kepada penemu pertama atas temuannya. Seorang penemu pertama harus mendapat perlindungan dari temuan yang dihasilkannya walaupun kemudian penemuan tersebut akan disempurnakan oleh pihak lain yang kemudian berniat untuk mematenkan penemuan yang telah disempurnakan tersebut. Apabila penemuan yang telah disempurnakan tersebut dipatenkan, hasil penemuan dari penemu semula akan kalah bersaing di pasaran. Rent dissipation theory menyebutkan bahwa suatu penemuan dapat diberikan hak paten bilamana penemuan itu sendiri mengisyaratkan cara-cara dengan mana ia dapat dan dibuat secara komersial lebih berguna.

Kemudian, dasar filosofis sistem HKI adalah alasan ekonomi. Individu telah mengorbankan tenaga, waktu, pikirannya bahkan biaya demi sebuah karya atau penemuan yang berguna bagi kehidupan. Rasionalitas untuk melindungi modal investasi tersebut mesti dibarengi dengan pemberian hak eksklusif terhadap individu yang bersangkutan agar dapat secara eksklusif menikmati hasil olah pikirnya itu. Ajaran Aristoteles juga telah menggambarkan argumentasi di atas dalam upaya menciptakan keadilan. Salah satu keadilan yang dikenal dalam teorinya adalah keadilan distributif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang bagian yang sesuai dengan jasanya. Artinya bukan keadilan yang didasari kesamaan jumlahnya tetapi kesebandingan.

Di samping itu, ada teori ekonomi yang dikenal dengan the theory of bargaining 107 dapat dijadikan materi pembahasan yang diperlukan dalam urgensi

praktik pengaturan HKI demi tercapainya keseimbangan antara kepentingan ekonomi individual dan pemegang HKI, maupun keseimbangan dengan tingkat

Robert Cooter dan Thomas Ulen. 2000. Law and Economics. Third Edition. USA: Addison- Wesley.p. 75. Sebagaimana dikutip : “To develop an economic theory of property, we must first develop the economic theory of bargaining games. At first you may not see the relevance of this theory to property law, but later you will recognize that it is the very foundation of the economic theory of property. The elements of bargaining theory can be developed through an example of a familiar exchange- selling a used car.” Robert Cooter dan Thomas Ulen. 2000. Law and Economics. Third Edition. USA: Addison- Wesley.p. 75. Sebagaimana dikutip : “To develop an economic theory of property, we must first develop the economic theory of bargaining games. At first you may not see the relevance of this theory to property law, but later you will recognize that it is the very foundation of the economic theory of property. The elements of bargaining theory can be developed through an example of a familiar exchange- selling a used car.”

dikemukakan tentang pentingnya perlindungan HKI, yaitu 108 : “Patent and other types of intellectual property rights are intended to prevent people from

commercially exploiting ideas or inventions without fair compensation to the originators. The concept comprises two competing social objectives: the need to encourage technical innovations and the need to disperse the benefits of that innovation throughout society.”

Sistem HKI juga mengadopsi dan mengembangkan teori utilitarian Jeremy Bentham. Teori ini menjelaskan bahwa hukum dibentuk agar memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi sebagian besar warga masyarakat. Menurut teori utilitas, hukum harus dapat memberikan sebanyak mungkin manfaat dan kebahagiaan kepada sebagian besar orang. Darji Darmodiharjo dan Sidharta meendiskripsikan pandangan Jeremy Bentham sebagai berikut.

Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakatpun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar- besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini

lupus 109 (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain) . Menurut teori utilitarian pembentukan perundang-undangan di bidang HKI

merupakan bentuk perlindungan agar masyarakat memperoleh kemanfaatan itu. Hal inilah yang dalam konteks pembangunan ekonomi terutama di bidang HKI

menjadi 110 reward theory . Reward theory mendalilkan bahwa apabila individu- individu yang kreatif diberi insentif berupa hak eksklusif, maka hal ini akan

108 Justin Hughes,. 1988. The Philosophy of Intellectual Property,. 77 Geo.L.J.287 1988. p 21.

109

Darji Darmodiharjo & Sidharta. 2006. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. h.118.

110 Sebagaimana juga ditulis Robert M. Sherwood. .

merangsang individu-individu lain untuk berkreasi, dengan kata lain, sistem HKI merupakan sebuah bentuk kompensasi dan dorongan bagi orang untuk mencipta. Hal ini dapat menguntungkan masyarakat dalam jangka panjang. Melalui pembatasan penggunaan inovasi diharapkan akhirnya meningkatkan tingkat informasi dan inovasi yang tersedia di masyarakat. Sebaliknya di beberapa negara berkembang, hak alami ini tidak relevan karena hak milik sekalipun memiliki fungsi sosial dan menjadi milik bersama. Hal ini berarti bahwa masyarakat dapat memiliki hak alami atas suatu ciptaan atau invensi yang dibuat baik oleh individu maupun melalui kerjasama kelompok. Nilai-nilai falsafah yang mendasari pemilikan individu terhadap suatu karya cipta manusia baik dalam bidang ilmu, sastra, maupun seni adalah nilai budaya barat yang menjelma dalam sistem hukumnya.

Konsepsi masyarakat beradab menyatakan bahwa orang dapat mempunyai anggapan mereka boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkan bagi mereka, apa-apa yang telah mereka temukan dan punyai untuk tujuan sendiri, apa yang telah mereka ciptakan dengan tenaga sendiri, dan apa yang telah mereka peroleh melalui ketertiban masyarakat dan perekonomian. Asas ini disebut suum

cuiqe tribuere 111 (benda yang diperoleh seseorang adalah benda miliknya) . Akan tetapi meskipun dijamin kebebasan menikmatinya asas di atas tetap harus berbagi

dengan konsep barang milik negara (res publicae) dan konsep barang milik umum (res communes) 112 . Sebagian ahli meyakini bahwa monopoli berlebihan dari suatu

HKI dapat melemahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Oleh karena pada hakekatnya ilmu pengetahuan adalah milik kemajuan umat manusia, maka manusia tidak dapat memonopoli penuh suatu hak apapun

pengguna akal 113 .

111 Roscoe Pound,. 1996. Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta : Penerbit Bharatara. h. 117-143.

112 Roscoe Pound,..2000. Antropologi dan Hukum. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 113 Hendra Tanu Atmadja,. 2003. Hak Cipta Musik atau Lagu,. Jakarta : Fakultas Hukum, UI . 18

Dari uraian tersebut terlihat adanya pemikiran bahwa suatu karya intelektual yang dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualitasnya, baik berupa invensi maupun karya intelektual lainnya perlu memperoleh perlindungan guna mencegah segala bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa kompensasi yang adil kepada pihak yang menghasilkan karya intelektual tersebut. Konsep tersebut juga mengandung makna untuk mendukung dua tujuan sosial yang saling berkompetisi, yaitu adanya kebutuhan untuk merangsang invensi- invensi baru di satu sisi, dan di sisi lain kebutuhan menyebarluaskan karya intelektual tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek- subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan preventif diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Perlindungan hukum reprensif merupakan perlindungan akhir yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau pelanggaran.

Menurut Satjipto Rahardjo 114 , hukum (termasuk hukum HKI) dapat dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan

keteraturan di situ. Oleh karena itu ia bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula ia berupa norma. Dalam masyarakat tidak hanya dijumpai satu norma atau perlengkapan untuk menertibkan masyarakat. Peranan kekuatan sosial, yang tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Karena masyarakat merupakan suatu rimba tatanan yang majemuk. Hal ini digambarkan dalam oleh Chambliss dan Seidman sebagai berikut.

114 Chambliss & Siedman dalam Satjipto Rahardjo.2011. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan

Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing. Cetakan ke 2. h.28., Esmi Warassih. 2005. Pranata hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Suryandaru Utama. h. .12-13.

Semua kekuatan pibadi dan sosial

Lembaga-lembaga

Norma

pembuat hukum

Lembaga-lembaga Penerapan sanksi

penerap sanksi

Semua kekuatan Semua kekuatan pribadi dan sosial

pribadi dan sosial

Gambar 4. Bagan Chambliss dan Seidman

3. Relevansi Penggunaan Sistem HKI Internasional untuk Melindungi Hak Ekonomi Pengetahuan Tradisional Masyarakat Adat Indonesia

pada Era Globalisasi

Perlindungan traditional knowledge /pengetahuan tradisional dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaturan yang bersifat internasional, maupun praktek kerjasama antar negara dalam upaya memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional tersebut. Langkah langkah di tingkat internasional untuk melindungi pengetahuan tradisional, yaitu diadakannya konferensi diplomasi Stockholm tahun 1967 yang bertujuan untuk melindungi

cerita rakyat adat melalui hak cipta dan berhasil memasukkan Pasal 15(4) 115 ke dalam konvensi Berne. Pasal tersebut menyarankan perlindungan terhadap karya

karya yang belum diterbitkan terhadap anggota konvensi serta memperbolehlan untuk negara yang bersangkutan unutk menunjuk ”pihak kuat” untuk mewakili si

pencipta dan melindungi hak haknya. Selanjutnya, UNESCO dan WIPO

Ternyata pasal 15(4) ini diadopsi oleh UU hak cipta no 19 tahun 2002 di indonesia, tetapi belum berdampak luas.

mengadakan forum sedunia untuk perlindungan cerita rakyat adat. Terdapat 180 peserta dari 50 negara yang berpartisipasi dalam forum. Forum ini mengusulkan pendirian komite ahli untuk menyelidiki pelestarian dan perlindungan cerita rakyat adat dan merancang pembuatan perjanjian internasional untuk melindunginya. Selanjutnya, Konferensi Internasional I mengenai Hak Budaya dan Intelektual dari penduduk asli, diadakan di New Zealand tahun 1993. Hasilnya adalah deklarasi Mataatua yang isinya antara lain : hak untuk melindungi pengetahuan tradisional adalah hak untuk menentukan nasib serta masayarakat asli menentukan apa yang merupakan kekayaan intelektual dan budaya mereka.

Perlindungan pengetahuan tradisional internasional tersebut berkaitan dengan perkembangan dunia internasional. Titik puncak perhatian masyarakat internasional terhadap masalah ini, pada tahun 2000, World Intellectual P roperty Organization ( WIPO ) membentuk Intergovermental Commitee on Intellectual Property and Genetic Resources , Traditional Knowledge and Folkloree (IGC GRTKF). Mandat yang diberikan kepada IGC GRTKF adalah mencari kemungkinan membentuk satu atau beberapa konvensi multilateral yang mengatur masalah perlindungan dan pemanfaatan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Folklore. Sampai saat ini, IGC GRTKF telah melakukan sidang sebanyak tujuh kali dan pembahasan baru sampai kepada upaya menemukan prinsip-prinsip inti dan sasaran obyektif ( core principles and policy objectives ) yang disepakati bersama. Lambatnya pencapaian kesepakatan di dalam sidang- sidang IGC GRTKF ini disebabkan sifatnya yang melibatkan banyak negara anggota sehingga banyak sekali argumentasi yang disampaikan dan harus diakomodasikan. Melihat kondisi tersebut dan melihat pengalaman dalam proses pembentukan konvensi-konvensi multilateral, diperkirakan bahwa IGC GRTKF belum dapat merumuskan atau menghasilkan konvensi-konvensi mengenai perlindungan dan pemanfaatan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional Perlindungan pengetahuan tradisional internasional tersebut berkaitan dengan perkembangan dunia internasional. Titik puncak perhatian masyarakat internasional terhadap masalah ini, pada tahun 2000, World Intellectual P roperty Organization ( WIPO ) membentuk Intergovermental Commitee on Intellectual Property and Genetic Resources , Traditional Knowledge and Folkloree (IGC GRTKF). Mandat yang diberikan kepada IGC GRTKF adalah mencari kemungkinan membentuk satu atau beberapa konvensi multilateral yang mengatur masalah perlindungan dan pemanfaatan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Folklore. Sampai saat ini, IGC GRTKF telah melakukan sidang sebanyak tujuh kali dan pembahasan baru sampai kepada upaya menemukan prinsip-prinsip inti dan sasaran obyektif ( core principles and policy objectives ) yang disepakati bersama. Lambatnya pencapaian kesepakatan di dalam sidang- sidang IGC GRTKF ini disebabkan sifatnya yang melibatkan banyak negara anggota sehingga banyak sekali argumentasi yang disampaikan dan harus diakomodasikan. Melihat kondisi tersebut dan melihat pengalaman dalam proses pembentukan konvensi-konvensi multilateral, diperkirakan bahwa IGC GRTKF belum dapat merumuskan atau menghasilkan konvensi-konvensi mengenai perlindungan dan pemanfaatan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional

suatu konvensi multilateral mengenai hal tersebut. Sejumlah pandangan negara-negara di dalam forum IGC GRTKF yang

menarik dianalisis adalah sebagai berikut. ”...the Committee should now shift emphasis to the consideration of the

international dimension of folkloree, TK and GR as a step towards norm setting for what had come to be referred to as ‘the third pillar of the IP community’, the

other two being the Berne and Paris Conventions. Most countries in the developing world did not participate in the negotiation of the first two pillars through no fault of theirs. But this third pillar was being pushed by concerned member countries many of which were in developing world and it was interesting to note that this was the first time that the agenda for an international norm setting procedure, at least within the framework of WIPO, was being set by

developing countries.” “Expressions of folkloree were closely tied to the identity – historical, cultural,

spiritual and social – of a people, but more than all that, they were also economic assets with significant economic value.”

Di samping itu, delegasi Selandia Baru pada Sidang ke-6 IGC GRTKF, 15-19 Maret 2004 di Jenewa menyampaikan bahwa Sony Corp . telah melakukan pemanfaatan image Suku Maori di dalam playstation yang diproduksinya tanpa meminta ijin. Menarik pula disimak pernyataan wakil dari salah satu organisasi non-pemerintah suku Indian Amerika, bahwa Pemerintah AS telah memanfaatkan Pengetahuan Tradisional mereka hingga menghasilkan keuntungan sebesar US$

50 Milyar tanpa memberikan kompensasi sedikitpun kepada suku yang bersangkutan (sangat disayangkan bahwa pernyataan ini tidak direkam secara detail di dalam Draft Report sidang tersebut).

116 Lihat. Robert J.L. Lettington and Kent Nandozi,.2000. December. A Review of International Committee on Generic Recoursiss, Traditional Knowledge and Folklore at WIPO, South

Centre/Centre for International Environmental Law .p. 22

Salah satu isu yang paling tajam di dalam IGC GRTKF adalah usulan pembentukan suatu sui generic system bagi perlindungan dan pemanfaatan pengetahuan tradisional, atau mengadopsi sistem HKI yang berlaku di dunia saat ini. Banyak negara berkembang menghendaki agar sebaiknya dibuat sistem hukum yang sama sekali baru terhadap kedua jenis kekayaan intelektual tersebut.

Persoalan pengetahuan tradisional pada tingkat internasional berkaitan perkembangan dunia internasional. Di luar batas-batas wilayah negara Indonesia, masalah perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Folklore sudah tidak lagi sesederhana pola pikir tradisional bangsa Indonesia. Sejak awal dekade 1990-an, masalah ini telah menjadi isu internasional, apalagi setelah lahirnya Convention on Biological Diversity pada tahun 1992 yang menetapkan bahwa pemanfaatan traditional knowledge dalam kaitannya dengan penggunaan Sumber Daya

Genetika harus menerapkan prinsip ” equitable sharing of benefits ” kepada pemiliki Pengetahuan Tradisional dimaksud 117 .

Salah satu rekomendasi Konperensi Diplomatik Stockholm 1967, menetapkan perlu diberikan perlindungan folklore dalam revisi Konvensi Bern 1971. Tahun 1976 dibuat Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries atas prakarsa UNESCO dan WIPO . Di dalamnya ada anjuran kepada negara berkembang untuk mengatur secara terpisah perlindungan folklore dengan ketentuan: tidak ada batas jangka waktu perlindungan, mengecualikan karya-karya tradisional dari keharusan adanya bentuk yang berwujud, adanya hak moral tertentu untuk melindungi dari pengrusakan dan pelecehan karya tradisional

Silke von Lewinski 2003. .”The Protection of Folklore”. Cardozo Journal of International and Comparative Law, Vol.11.No.2. Summer 2003 . p. 748; Luthfi Asiarto dan Basuki Antariksa. 2004 . “ Beberapa Bentuk Perlindungan Hukum bagi Folklore dan Pengetahuan Tradisional di Beberapa Negara”. Makalah.. Disampaikan pada Forum Konsultasi Menuju

Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya dan Pengetahuan Tradisional yang diselenggarakan Ditjen. HKI dan WIPO, di Jakarta, 30 Nopember-1 Desember 2004 . Jakarta: Ditjen HKI.

h.1.

Di dalam hukum internasional, salah satu cara untuk memperjuangkan kepentingan nasional di tingkat internasional adalah dengan menciptakan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur pula masalah-masalah yang bersifat internasional. Jika peraturan dimaksud diterima oleh negara-negara lain, maka ia akan menjadi hukum kebiasaan internasional dan dapat menjadi instrumen hukum internasional yang mengikat. Walaupun hal tersebut mungkin memakan waktu yang cukup lama, namun dengan konsistensi penerapannya maka pola ini akan menjadi sangat efektif untuk memperjuangkan kepentingan nasional suatu negara.

Dalam rangka mengantisipasi kevakuman dalam hukum internasional yang mengatur masalah ini, sejumlah negara telah menetapkan atau merancang peraturan perundang-undangan nasional yang bersifat spesifik untuk melindungi kepentingan mereka masing-masing. Jika dilihat secara keseluruhan, ada beberapa

prinsip perlindungan yang penting sebagai berikut 118 .

1. Penduduk asli dan lokal adalah pemilik dari Pengetahuan Tradisional dan Folklore, dan hal tersebut berlangsung selamanya;

2. Sistem kontrak antara pengguna dengan masyarakat pemilik Pengetahuan Tradisional dan Folklore;

3. Perlindungan terhadap pemegang HKI asing tidak boleh merugikan Pengetahuan Tradisional dan Folklore negara;

4. Pembentukan database ;

5. Ijin dari masyarakat pemilik Pengetahuan Tradisional dan Folklore diperlukan terlebih dahulu sebelum suatu pihak memanfaatkannya. Permohonan ijin dari

Carlos M. Correa.2004, January. Protecting Traditional Knowledge: Lessons from National Experiences. Draft. UNCTAD-Commonwealth Secretariat Workshop on Elements of Na tional Sui Generis System for Preservation, Protection and Promotion of Traditional Knowledge, Innovations and Practices and OIption for an International Framework, Geneva 4-6 February 2004 . Negara-negara tersebut yang tergabung dalam Andean Community, Bangladesh, Brazil, negara-negara Amerika Tengah (Belize, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, Nicaragua, dan Panama), India, Pilipina, Portugal, Thailand, negara=negara di -awasan Pasifik dan Afrika.

pihak calon pengguna harus bersifat jujur sehingga masyarakat yang bersangkutan memiliki pemahaman yang jelas mengenai tujuan calon pengguna. Ini yang dimaksudkan dengan prior informed consent ;

6. 119 Pemberian ”beasiswa” kepada para living human treasure ;

7. Perlindungan diberikan juga kepada Pengetahuan Tradisional dan Folklore yang berbentuk lisan;

8. Pemohon paten harus menyebutkan jenis dan asal suatu produk ( geographical indication );

9. Pengaturan Pengetahuan Tradisional dan Foklor berdasarkan hukum adat;

10. Lisensi timbal balik antara pemilik paten dan pemilik Pengetahuan Tradisional;

11. Pendaftaran merek disesuaikan dengan kepemilikan penduduk asli dan lokal;

12. Kewenangan ekstra teritorial dari negara.

Salah satu sistem perlindungan yang paling menarik tentunya adalah rencana penerapan hukum nasional secara ekstrateritorial ( draft Biodiversity and Community Knowledge Protection Act dari Bangladesh), berkaitan dengan materi genetika dan biologi yang berada di luar wilayah negara tersebut. Jika Undang- Undang ini telah berlaku, maka orang asing di manapun di dunia dapat dilarang untuk memanfaatkan materi-materi tersebut sekalipun berada di luar wilayah

Bangladesh, apabila dilakukan tanpa seijin pemerintah yang bersangkutan 120 . Dengan demikian, salah satu usulan tersebut ialah menggunakan sistem

HKI dalam melindungi traditional knowledge , baik bedasarkan hukum internasional maupun nasional.

Dukukangan dana yang memungkinkan living human treasure atau para empu pengetahuan tradisional dan folklore untuk terus melestarikan dan mengembangkan kekayaan intelektual tersebut.

120 Lihat. Gerhard von Glahn. 1986. Law Among Nations: An Introduction to Public International Law. Cet. V. New York: MacMillan Publishing Company. P. .212-213.

Sistem HKI Internasional dapat dilihat dari berbagai perjanjian intemasional di bidang HKI yang sudah ada sejak tahun 1883 . Konvensi- konvensi internasional yang dikelola WIPO meliputi: The Paris Convention for the Protection of Industrial Property, The Beme Convention conceming Protection of Copyright, The Rome Convention conceming Protection of the Neighboring Rights to Literary Works, The Patent Cooperation Treaty (PCT), The Budapest Treaty on the Intemational Recognition of the Deposit of Microorganism, The Madrid Agreement for the P rotection of Indication of Origin.

Dengan demikian, dalam hal ini dikaji ketentuan berbagai konvensi internasional, khususnya TRIPs Agreement dalam melindugi pengetahuan tradisional.

Dalam sistem HKI internasional, TRIPs Agreement ternyata tidak ada ketentuan yang mengatur traditional knowledge /pengetahuan tradisional. Pengaturan

untuk traditional knowledge /pengetahuan tradisional, disebabkan oleh karena pada umumnya kepemilikan pengetahuan tradisional bersifat kolektif, tidak memenuhi syarat kebaruan ( novelty ) sebagai salah satu syarat pemberian paten.

Ketentuan paten dalam Perjanjian TRIPs terdapat dalam SECTION 5: PATENTS Article 27 Patentable Subject Matter, and Article 33 Term of Protection sebagai berikut.

SECTION 5: PATENTS Article 27 Patentable Subject Matter

1. Subject to the provisions of paragraphs 2 and 3, patents shall be available for any inventions, whether products or processes, in all fields of technology, provided that they are new, involve an inventive step and are capable of industrial application Subject to paragraph 4 of Article 65, paragraph 8 of Article 70 and paragraph 3 of this Article, patents shall be available and patent rights enjoyable without discrimination as to the place of invention, the field of technology and whether products are imported or locally produced.

2. Members may exclude from patentability inventions, the prevention within their territory of the commercial exploitation of which is necessary to protect ordre public or morality, including to protect human, animal or plant life or health or to avoid serious prejudice to the environment, provided that such exclusion is not made merely because the exploitation is prohibited by their law .

Article 33 Term of Protection

The term of protection available shall not end before the expiration of a period of twenty years counted from the filing date

Di samping itu, dalam pengetahuan tradisional penciptanya anonim, bahkan sebagian dalam keadaan tidak tertulis. Selanjutnya, sejumlah negara menghendaki agar kepemilikan masyarakat traditional knowledge / pengetahuan tradisional berlangsung selamanya. Padahal kepemilikan HKI ada batas waktunya , contohnya ketentuan jangka waktu paten dalam Article 33 TRIPs, The term of protection available shall not end before the expiration of a period of twenty years counted from the filing date

Berdasarkan hal tersebut di atas, berarti sampai saat ini belum ada satupun instrumen hukum internasional yang secara spesifik mengatur perlindungan dan pemanfaatan pengetahuan tradisional. Di sisi lain, pencurian kekayaan intelektual tersebut terus berlangsung, dan negara berkembang terancam menjadi korban yang paling menderita. Alasannya, Pengetahuan Tradisional dan Folklore paling

banyak terdapat di negara berkembang 121 ., , termasuk Indonesia yang kekayaan Sumber Daya Genetikanya saja adalah terbesar kedua di dunia setelah Brazil.

Masalah ini ditambah lagi dengan ” manuver ” dari sejumlah negara maju melalui berbagai forum internasional di luar IGC GRTKF yang bertujuan melemahkan upaya negara berkembang dalam memperjuangkan kepentingannya untuk mengatur perlindungan dan pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan Folklore.

121 Robert J.L. Lettington and Kent Nnadozi Op.Cit. p. 2

Sebagai contoh, di dalam naungan UNESCO, sedang dilaksanakan the Intergovernmental Meetings of Experts on the Preliminary Draft of a Convention on the Protection of the Diversity of Cultural Contents and Artistic Expressions , yang di dalamnya mencoba memuat ketentuan bahwa setiap negara berhak atas akses seluas-luasnya kepada kebudayaan negara lain.

Secara historis, gagasan melindungi pengetahuan tradisional berawal dari Eropa khususnya perlindungan produk-produk, seperti Champange, Cognac, Roguefort, Chianti, Pilsen, Porto, Sheffield, Havana, Tequila, Darjeeling

(Indikasi Geografis). Kata “ champange ” dapat berarti minuman beralkohol, dapat pula dipahami sebagai produk minuman yang berasal dari suatu tempat tertentu di Perancis. Secara relatif, istilah indikasi geografi sendiri dalam konteks perlindungan HKI merupakan istilah baru. The Paris Convention for the Protection of Industrial Prioperty tidak memuat gagasan mengenai perlindungan indikasi geografi. Dalam konvensi itu hanya disebutkan mengenai indications of source dan appellations of origin .

WIPO memilih menggunakan istilah geographical indication ( GI ) untuk menggantikan istilah indications of source . Istilah GI juga digunakan dalam EC Council regulation No. 2081/92 of July 14, 1992 on The Protection of geographical Indications and desigations of Origin for Agricultural Products and Foodstuffs .

Namun yang penting untuk dipahami adalah bahwa indikasi geografi digunakan untuk mengidentifikasikan suatu produk yang secara spesifik terkait dengan wilayah geografis tersebut. Misalnya, kata “batik” akan mengindikasikan

wilayah tertentu (Jawa) dari mana produk batik itu berasal. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada “pemilik” atas indikasi geografi, dalam arti bahwa suatu perusahaan atau orang tertentu memiliki “hak eksklusif” untuk mengecualikan pihak lain menggunakan indikasi geografi tersebut 122 .

122 Agus Sardjono. 2005. Op.Cit

Dalam TRIPs Agreement juga diatur tentang Indikasi Geografis, yaitu dalam Pasal 22 – 23. Ketentuan tersebut ialah sebagai berikut.

Article 22 Protection of Geographical Indications

1. Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a good as originating in the territory of a Member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographical origin.

2. In respect of geographical indications, Members shall provide the legal means for interested parties to prevent:

(a) the use of any means in the designation or presentation of a good that indicates or suggests that the good in question originates in a geographical area other than the true place of origin in a manner which misleads the public as to the geographical origin of the good;

(b) any use which constitutes an act of unfair competition within the meaning of Article 10bis of the Paris Convention (1967).

3. A Member shall, ex officio if its legislation so permits or at the request of an interested party, refuse or invalidate the registration of a trademark which contains or consists of a geographical indication with respect to goods not originating in the territory indicated, if use of the indication in the trademark for such goods in that Member is of such a nature as to mislead the public as to the true place of origin.

Dari ketentuan tersebut, Indikasi geografis adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu barang yang berasal dari wilayah salah satu negara anggota WTO, atau suatu daerah di dalam wilayah tersebut, yang tempat asal barang tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi reputasi barang yang bersangkutan karena kualitas dan karakteristiknya. Kemungkinan, barang tersebut merupakan hasil pengetahuan tradisional. Oleh karena itu, negara anggota wajib menyediakan sarana hukum untuk mencegah penyalahgunaan indikasi geografis di luar wilayah asalnya yang menyesatkan masyarakat

Sesuai karakter dasar sistem HKI (dalam hal ini TRIPs ) yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomis dari perlindungan yang dimaksud, maka sistem perlindungan IG juga bersifat monopolistik. Hal itu dapat dilihat dari Pasal

23 TRIPs: “Each “member” shall provide the legal means for interested parties to prevent

use of geographical indication identifying wines for wines not originating in the place indicated by the geographical indication in question or identifying spirits for spirits not originating in the place indicated by the geographical indication in question, even where the true origin of the goods is indicated or the geographical indication is us ed in translation or accompanied by expressions such as “kind”, “type”, ”style”, immitation”, or the like” .

Melalui pasal ini, suatu produk wines yang tidak berasal dari Bordeaux tidak boleh menggunakan nama atau sebutan bordeaux . Minuman keras yang tidak berasal dari Portugal tidak boleh menggunakan nama atau sebutan porto . Hal ini tidak jauh berbeda dengan sistem perlindungan merek. Mobil yang tidak diproduksi oleh Toyota International tidak boleh menggunakan merek Toyota. Produk elektronik yang tidak dibuat oleh Sony Corporation tidak boleh menggunakan merek Sony.

Oleh sebab itu dapat dipahami jika di banyak negara penandatangan WTO/TRIPs sistem perlindungan IG mengadopsi sistem perlindungan yang diterapkan dalam perlindungan merek. Sistem yang dimaksud adalah melalui mekanisme pendaftaran. Tidak ada perlindungan merek tanpa dilakukan pendaftaran merek yang bersangkutan. Tidak ada perlindungan IG tanpa pendaftaran IG ke Kantor Merek masing-masing negara yang bersangkutan.

Setelah suatu produk didaftarkan untuk mendapatkan perlindungan IG, maka sejak hak atas IG diberikan oleh negara dengan mengabulkan pendaftaran IG tersebut (melalui Kantor Merek), maka sejak saat itu pula produsen produk tersebut mempunyai hak untuk melarang pihak lain menggunakan IG untuk barang produksi mereka. Sekiranya ada yang tetap berkeinginan untuk menggunakan IG tersebut, maka mereka diharuskan membayar sejumlah uang ( royalty ) kepada “pemilik” IG yang bersangkutan. Ini adalah ciri khas dari sistem Setelah suatu produk didaftarkan untuk mendapatkan perlindungan IG, maka sejak hak atas IG diberikan oleh negara dengan mengabulkan pendaftaran IG tersebut (melalui Kantor Merek), maka sejak saat itu pula produsen produk tersebut mempunyai hak untuk melarang pihak lain menggunakan IG untuk barang produksi mereka. Sekiranya ada yang tetap berkeinginan untuk menggunakan IG tersebut, maka mereka diharuskan membayar sejumlah uang ( royalty ) kepada “pemilik” IG yang bersangkutan. Ini adalah ciri khas dari sistem

Mengingat sifat pengetahuan yang sangat beragam dan dinamis, tidaklah mungkin untuk mengembangkan definisi tunggal dan eksklusif dan istilah tersebut. Misalnya, dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual, Konvensi Bern ( The Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works ) tidak mencakup definisi yang eksklusi f mengenai arti dan “karya-karya sastra dan artistik/ literary and artistic works ”, tetapi hanya memberikan penyebutan pokok masalah yang tidak mendalam agar membatasi kategori dan karya-karya yang dilindungi menurut Konvensi Bern. Konvensi Paris tidak memberi definisi eksklusif mengenai arti istilah-istilah yang menjabarkan pokok masalah yang dilindungi Hak Milik Industri, seperti “invensi ( invention )”, “desain industri ( industrial design )”, tanda-tanda yang berbeda ( distinctive signs ). Pensetujuan TRIPs juga tidak memberi definisi istilah-istilah yang menjabarkan pokok masalah yang dilindungi oleh hak-hak yang merupakan standar internasional.

Isu pertama berkenaan tujuan-tujuan dan prinsip- prinsip “perlindungan” kekayaan intelektual bagi traditional knowledge . Istilah “perlindungan” merujuk pada hal-hal yang mempengaruhi tersedianya, perolehan, lingkup, pemeliharaan

dan penegakan HKI yang berhubungan dengan 123 traditional knowledge (Pasal 3

123 Article 3 National Treatment

1. Each Member shall accord to the nationals of other Members treatment no less favourable than that it accords to its own nationals with regard to the protection 123 of intellectual property, subject to the exceptions already provided in, respectively, the Paris Convention (1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention or the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits. In respect of performers, producers of phonograms and broadcasting organizations, this obligation only applies in respect of the rights provided under this Agreement. Any Member availing itself of the possibilities provided in Article 6 of the Berne Convention (1971) or paragraph 1(b) of Article 16 of the Rome Convention shall make a notification as foreseen in those provisions to the Council for TRIPS.

dan 4 124 Persetujuan TRIPs mengenai National Treatment Most- favoured Nation Treatment ).

Isu perlindungan Pengetahuan Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), sebenarnya telah menjadi salah satu bahan perdebatan di tingkat internasional sejak tahun 2001, ketika sidang pertama Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC GRTKF) digelar di markas besar World Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa, Swiss. Bahkan, substansi PT dan EBT telah menjadi bahan perdebatan sejak tahun 1967 ketika Bern

2. Members may avail themselves of the exceptions permitted under paragraph 1 in relation to judicial and administrative procedures, including the designation of an address for service or the appointment of an agent within the jurisdiction of a Member, only where such exceptions are necessary to secure compliance with laws and regulations which are not inconsistent with the provisions of this Agreement and where such practices are not applied in a manner which would constitute a disguised restriction on trade.

124 Article 4

Most-Favoured-Nation Treatment With regard to the protection of intellectual property, any advantage, favour, privilege or

immunity granted by a Member to the nationals of any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the nationals of all other Member s. Exempted from this obligation are any advantage, favour, privilege or immunity accorded by a Member:

(a) deriving from international agreements on judicial assistance or law enforcement of a

general nature and not particularly confined to the protection of intellectual property; (b) granted in accordance with the provisions of the Berne Convention (1971) or the Rome

Convention authorizing that the treatment accorded be a function not of national treatment but of the treatment accorded in another country;

(c) in respect of the rights of performers, producers of phonograms and broadcasting organizations not provided under this Agreement;

(d) deriving from international agreements related to the protection of intellectual property which entered into force prior to the entry into force of the WTO Agreement, provided that such agreements are notified to the Council for TRIPS and do not constitute an arbitrary or unjustifiable discrimination against nationals of other Members.

Convention for the Protection of Literary and Artistic Works menambahkan Pasal

15.4 125 , yang isinya adalah menyatakan bahwa karya yang belum dipublikasikan dan yang tidak dikenal penciptanya, dapat dilindungi sebagai Hak Cipta jika

diduga si pencipta adalah warga negara pihak pada konvensi tersebut. Di samping itu, negara pihak pada konvensi ini diminta untuk menunjuk otoritas yang berwenang untuk memberikan perlindungan.

Pengakuan terhadap pengetahuan tradisional (traditional knowledge) sebenarnya telah diakomodir dalam Pasal 27.3(b) 126 TRIPs Agreement , yaitu

sepanjang yang berkenaan dengan hal-hal yang dapat dipatenkan maupun tidak, baik berupa penemuan (invensi) tanaman maupun hewan, serta perlindungan

varietas tanaman. Pada Paragraf 19 Deklarasi Doha Tahun 2001 127 telah diperluas

125 Article 15 (4)

(a) In the ca se of unpublished works where the identity of the author is unknown, but where

there is every ground to presume that he is a national of a country of the Union, it shall be a matter for legislation in that country to designate the competent authority who shall represent the author and shall be entitled to protect and enforce his rights in the countries of the Union.

(b) Countries of the Union which make such designation under the terms of this provision shall

notify the Director General by means of a written declaration giving full information concerning the authority thus designated. The Director General shall at once communicate this declaration to all other countries of the Union.

126 Article 27

Patentable Subject Matter

3. Members may also exclude from pa tentability: (a) ... (b) plants and animals other than micro-organisms, and essentially biological processes

for the production of plants or animals other than non-biological and microbiological processes. However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or by an effective sui generis system or by any combination thereof. The provisions of this subparagraph shall be reviewed four years after the date of entry into force of the WTO Agreement.

Paragraph 19. We instruct the Council for TRIPS, in pursuing its work programme including under the review of Article 27.3(b), the review of the implementation of the TRIPS Agreement under Article 71.1 and the work foreseen pursuant to paragraph 12 of this declaration, to Paragraph 19. We instruct the Council for TRIPS, in pursuing its work programme including under the review of Article 27.3(b), the review of the implementation of the TRIPS Agreement under Article 71.1 and the work foreseen pursuant to paragraph 12 of this declaration, to

and Folklore ). Pembahasan perlunya perlindungan (protection) bagi pengetahuan tradisional telah menjadi isu penting dalam pertemuan-pertemuan Dewan HKI ( Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) di WTO. Adanya perdebatan panjang ini lebih banyak berkenaan dengan perlu-tidaknya perlindungan TK diatur tersendiri ( sui generis ) atau dimasukkan ke dalam perundang-undangan HKI masing negara anggota. Telah terjadi tarik-ulur kepentingan antara negara maju ( developed country ) dan negara berkembang ( developing country ) dalam hal perlindungan terhadap pengetahuan tradisionalnya ( traditional knowledge).

Dengan demikian, berdasarkan pembahasan di muka, sistem HKI berdasarkan Hukum Internasional tidak dapat digunakan suntuk melindungi pengetahuan tradisional.