RELEVANSI PENGGUNAAN SISTEM M HAK KEKAYA

A. Latar Belakang

. Globalisasi merupakan gerakan perluasan pasar, dan di semua pasar yang

berdasarkan persaingan selalu ada yang menang dan yang kalah. Perdagangan bebas dapat juga menambah kesenjangan antara negara-negara maju dan negara- negara pinggiran, yang akan membawa akibat pada komposisi masyarakat dan

kondisi kehidupan 2 . Globalisasi juga merupakan salah satu hal yang tidak dapat dihindari oleh berbagai bangsa/negara di dunia, termasuk Indonesia.

Globalisation is a reality 3 . Menurut Francis Snyder , Globalisation is a fact of modern life 4 . Selanjutnya, ada yang menyatakan Globalisation can also be seen

as the result of the increase in foreign direct investment and the development of multinational corporation. 5 . Salah satu globalisasi itu ialah globalisasi ekonomi.

1 Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Strata 3 (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo

2 Erman Rajagukguk. 1999.” Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi”.

JURNAL HUKUM No. 11 Vol. 6 . Yogyakarta: UII 3 Lihat R Went.1997. “Globalization: Myths, Reality and Ideology: The EU in a Globalized

World”. 26(3) Int’l J. Political Economy. p. 35–59; Lihat juga P Hirst. 1997. “The Global 4 Economy —Myths and Realities” . 73(3) Int’l Affairs. p. 409–425.

Francis Snyder dalam Candido Tomas Garcia Molyneux. 2001. Domestic Structures and International Trade, The Unfair Trade Instruments of the United States and the European Union. Oxford and Portland Oregon: Hart Publishing. p.iv

5 .H Milne. 1988. Resisting Protectionism: Global Industries and the Politics of International Trade.

Princeton:Princeton University Press. Lihat juga J Grunwald and K Flamm.1985. The Global Factory : Foreign Assembly in International Tra de. Washington: The Brookings Institute.

Larry Cata Backer menyatakan 6 “ Globalization is now best characterized as institutionalization of systems of transactions, principally of economic

transactions”. Perkembangan kehidupan masyarakat dunia dewasa ini tengah memasuki era globalisasi di berbagai bidang terutama bidang ekonomi. Globalisasi ekonomi ini antara lain ditandai dengan tingginya tingkat perdagangan internasional dan

penanaman modal asing secara langsung. 7 Konsep globalisasi yang demikian dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari bebagai upaya yang dilakukan oleh

masyarakat Internasional dalam memperbaiki kondisi kehidupan khususnya pasca perang dunia kedua (PD2).

Konsekuensi globalisasi ekonomi ialah adanya tarik ulur kepentingan dengan motor liberalisasi perdagangan dan keuangan yang tidak selalu

memberikan keuntungan bagi semua orang (dan bangsa) di bumi ini 8 . Konsep globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, dengan demikian, memerlukan

perlindungan. Globalisasi bukanlah suatu gerakan yang harus ditahan dan dibendung, tapi sebaliknya, memerlukan nalar logis untuk menjauhkannya dari efek buruk bagi keadilan.

Berkaitan globalisasi ekonomi, kemunculan kelompok negara berkembang yang merupakan negara-negara bekas jajahan khususnya di kawasan Asia, Amerika Selatan, dan Afrika telah menjadikan kelompok ini sebagai kekuatan sekaligus pendatang baru dalam percaturan Internasional khususnya di bidang ekonomi. Kelompok negara berkembang ini kian memegang peranan penting ketika pada keyataannya sebagian besar sumber daya alam yang menjadi

6 Backer, Larry Cata. 2007. Harmonizing Law in Era of Globalization Convergence, Divergence, and Resistance . Durham, North Carolina: Carolina Academic Press.h.5.

7 Peter Van Den Bossche.2005.The Law and Policy of The World Trade Organization Text, Cases and Materials . Cambridge University Press.Uk. p.2

8 Ida Susanti dan Bayu Seto ed. 2003. Aspek Hukum dari Perdaganga n Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan

tentang Hukum IV . Bandung: Citra Aditya Bakti. h.1 tentang Hukum IV . Bandung: Citra Aditya Bakti. h.1

Salah satu keprihatinan negara berkembang ialah bahwa proses globalisasi telah mengancam penyalahgunaan elemen-elemen pengetahuan kolektif suatu masyarakat menjadi pengetahuan sebagai hak milik dan mendatangkan

keuntungan komersial bagi sebagaian kelompok tertentu 9 . Pada zaman modern ini dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan

perdagangan bebas telah mempengaruhi perubahan yang sangat besar terhadap bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya. Globalisasi ekonomi semakin dikembangkan berdasarkan prinsip liberalisasi perdagangan ( trade liberalization ) atau perdagangan bebas ( free trade ) lainnya yang telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas sulit ditolak dan harus diikuti karena globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui perundingan dan

perjanjian internasional 10 . .. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindari

karena globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, secara substansi berbagai Undang Undang dan perjanjian-perjanjian menyebar

9 Cita Citrawinda dalam Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Ditjen HKI Depkumham..2005. Kepentingan Negara Berkembang terhadap

Hak atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional . Depok: LPHI FH UI p.29

10 John Braithwaite dan Peter Drahos.2000. Global Business Regulation. New York: Cambridge University Press. p. 24-23 10 John Braithwaite dan Peter Drahos.2000. Global Business Regulation. New York: Cambridge University Press. p. 24-23

sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar 12 . Dalam

era globalisasi ekonomi, masyarakat negara berkembang, termasuk Indonesia, merupakan masyarakat transformasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri yang menerapkan paradigma barat dalam pembangunan ekonominya. Hal

ini mempengaruhi sistem hukum dan ekonomi negara yang kemudian berimbas kepada kehidupan masyarakatnya. Salah satu globalisasi ekonomi yang mempengaruhi sistem hukum dan

ekonomi itu adalah Hak Kekayaan Intelektual 13 . Hal ini menjadi trend yang kemudian dipakai oleh masyarakat untuk lebih melindungi dan mengikat hak

karya intelektualnya. Isu di bidang HKI merupakan isu yang sangat penting karena berkaitan dengan perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi

11 Erman Rajagukguk. 2001. “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya bagi

Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia”. Pidato Dies. Disampaikan pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44. Medan 20 Nopember 2001. h. 4

12 Lawrence M. Friedman,. 1990. Legal Culture and the Welfare State: Law and Society - An

Introduction . Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press. p. 89.

13 Disingkat HKI (selanjutnya digunakan singkatan ini), dahulu sering disebut Hak Milik Industri disingkat

HMI, kemudian ada yang menyebut Hak Milik Perindustrian sebagai terjemahan Industrial Property Rights, ada juga yang menyebut Hak Atas Kekakaan Intelektual disingkat HaKI. Saat ini digunakan isitilah Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat HKI sebagai terjemahan Intellectual Property Rights (disingkat IPR). Intellectual Property Rights ini berasal dari kepustakaan sistem hukum Anglo Saxon. negeri Belanda istilah tersebut diintrodusir dengan sebutan Intellectuele Eigendomsrecht. Di Indonesia, secara resmi untuk pertama kali istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) digunakan sebagai istilah padanan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization yang digunakan dalam berbagai Undang-Undang yang mengatur jenis-jenis HAKI berikut peraturan pelaksanaannya yang disahkan dalam kurun waktu akhir 1980-an hingga akhir 1990-an. GBHN 1993 maupun GBHN 1998 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights tersebut dengan Hak Milik Intelektual . Namun, UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang merupakan penjabaran lebih lanjut GBHN 1999-2004 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights

dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, disingkat HaKI. Istilah kemudian dalam perkembangannya sejak tahun 2000 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan juga dengan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.24/M/PAN/1/2000 ditetapkan penggunaan istilah Hak kekayaan Intelektual (HKI) . Pada tahun 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam

http://www . detiknews.com / read/2011/04/26/134737/1625819/10/ tak sepakat dengan istilah Kekayaan Intelektual. Hal ini disampaikan dalam Acara Peringatan HKI sedunia di Istana Negara 2011. Presiden SBY dalam pidatonya menyampaikan bahwa istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual yang selama ini dikenal sebaiknya dirubah dari Hak Atas Kekayaan Intelektual menjadi Hak Atas Kepemilikan Intelektual. Dalam tulisan ini Penulis menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual.

suatu negara. Inovasi teknologi sebagaimana peningkatan kekuatan ekonomi sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan masyarakat dan pengembangan industri. Inovasi teknologi dapat mendatangkan kemakmuran bagi kehidupan masyarakat, dan pengembangan teknologi mendorong pertumbuhan masyarakat.

Salah satu isu yang sampai saat ini menarik dan berkembang dalam lingkup kajian HKI ialah pengetahuan tradisional/ traditional knowledge. Pengetahuan tradisional yang merupakan kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat adat/asli/tradisional ini mencakup banyak hal mulai dari sistem pengetahuan tradisional, karya-karya seni, karya sastra, filsafat, obat-obatan, hingga apa yang dikenal sebagai indigenous science and technology .

Banyak problem berkait pengetahuan tradisional pada era globalisasi. Pada era ini, suatu bentuk kerjasama ( cooperation ), investasi, dan penelitian yang masuk ke negara berkembang oleh negara maju, ternyata hasil pengetahuan atau penelitian suatu kekayaan atau aset tradisional tersebut justru didaftarkan oleh pihak negara maju tanpa memandang nilai moral kemasyarakatan dan benefit sharing yang adil. Akibat hal tersebut, paradigma dalam melihat suatu karya tradisional di negara berkembang cenderung berubah dari suatu obyek yang perlu tetap dijaga kebebasannya ( “kegratisannya” ) menjadi obyek yang bernilai ekonomis. Negara yang merasa memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam

mulai melihat bahwa pengetahuan tradisional harus dioptimalkan dalam kompetisi perdagangan di tingkat internasional. Dengan demikian, karya-karya seni tradisional dan teknik- teknik tradisional yang telah lama “hidup” dalam masyarakat adat/asli/tradisional tersebut saat dianggap sebagai suatu aset yang bernilai ekonomis. Ada beberapa kasus HKI terkenal di tingkat internasional yang obyek atau sumber perselisihan hukumnya traditional knowledge . Sebagai contoh masalah pembatalan paten Shisedo atas ramuan tradisional Indonesia dan mulai melihat bahwa pengetahuan tradisional harus dioptimalkan dalam kompetisi perdagangan di tingkat internasional. Dengan demikian, karya-karya seni tradisional dan teknik- teknik tradisional yang telah lama “hidup” dalam masyarakat adat/asli/tradisional tersebut saat dianggap sebagai suatu aset yang bernilai ekonomis. Ada beberapa kasus HKI terkenal di tingkat internasional yang obyek atau sumber perselisihan hukumnya traditional knowledge . Sebagai contoh masalah pembatalan paten Shisedo atas ramuan tradisional Indonesia dan

14 Amerika 15 dan Paten tempe di AS . Dalam kasus Basmati Rice yaitu beras dari daerah Basmati - India , penggunaan Turmeric (kunyit) dari India dipatenkan

Amerika. Juga kasus Pohon 16 Neem yang telah berabad-abad dimanfaatkan orang India dipatenkan Perusahaan 17 AS WR Grace Tanaman Yacon sejenis umbi dari

Peru yang dapat dijadikan bahan membuat pemanis buatan rendah kalori, plasma nutfahnya telah diteliti Ahli Jepang, dan sudah dibudidayakan secara besar- besaran melebihi dari petani Peru itu sendiri. Yellow Bean (phaseolus vulgaris)

dari Meksiko telah dipatenkan oleh 18 POD_Ners. Plc, Amerik dan justru paten ini digunakan untuk menggugat Perusahaan Meksiko. Di samping itu, ada

Carpet Case 19

14 Agus Sardjono.2005. “Potensi Ekonomi dari GRTKF; Peluang dan Hambatan dalam Pemanfaatannya: Sudut Pandang Hak Kekayaan Intelektua ”. Media HKI Vol. I/No.2/Februari 2005. h.26. Tangerang: DJHKI

15 Adrian Sutedi. 2009. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta : Sinar Grafika h. 172. 16 Kasus Pohon Neem dapat dibaca dalam Graham Dutfield.2004. Intellectual Property, Biogenetic

Resources and Traditional Knowledge. UK:. Earthscan . p.53

17 European Patent No. EP 436257 dan US Patent No.US.5124349.

18 US Patent No. 5,984,479 19 Lihat. Afrillyana Purba,dkk.. 2005. TRIPS-WTO dan Hukum HKI Indonesia Kajian

Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia .. Jakarta: Rineka Cipta. h. 81. Kasus ini berawal dari tiga orang seniman yang berasal dari wilayah Australia bagian utara mengajukan gugatan ke Pengadilan Federal Australia atas tindakan pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh beberapa importir karpet. Ketiga orang seniman tersebut bertindak atas nama lima keluarga suku Aborigin yang telah meninggal dunia. Gugatan dilakukan karena beberapa importir (Tergugat) telah melakukan reproduksi atas karpet yang motif aslinya merupakan milik lima keluarga Aborigin. Terhadap gugatan pelanggaran hak cipta yang ditujukan para importir membantah dengan menyatakan bahwa tidak terdapat hak cipta dalam ciptaan seni karpet yang mengandung desain masa lalu. Selain itu dalam karpet yang dimaksud tidak ditemukan pula pencipta dan keaslian dari ciptaan pada karpet yang bersangkutan sebagai syarat adanya hak

Masalah ini sering dijadikan kritik oleh negara berkembang mengenai “permintaan” negara maju dalam penerapan sistem HKI yang lebih ketat dan

komprehensif yang lebih melindungi kepentingan negara maju. Sementara untuk kekayaan, budaya dan pengetahuan tradisional yang ada di negara berkembang, belum atau bahkan tidak mendapat pengakuan dan perlindungan.

Dalam sebuah keadaan global seperti sekarang ini, sangatlah susah untuk memisah-misahkan kebudayaan lokal dengan kebudayaan nasional dan kebudayaan global. Semuanya saling menyatu, saling mempengaruhi, sehingga sulit kita mengatakan ada bagian dari kebudayaan Indonesia yang masih sangat

asli dan tak terkena pengaruh dari kebudayaan luar 20 . Sejarawan Perancis Deny Lombard menunjukkan hal ini dalam tiga jilid bukunya, Nusa Jawa Silang

Budaya . Ia membuktikan bahwa Indonesia, dan Pulau Jawa khususnya, selama dua ribu tahun sejarahnya, telah menjadi sebuah persilangan budaya. Peradaban- peradaban yang terpenting di dunia (India, Islam, China, dan Eropa) bertemu di

situ, diterima, diolah, dikembanghkan, dan diperbarui 21 .

Apabila diamati, perkembangan era globalisasi dapat dikatakan sebagai perkembangan kontemporer yang sulit menyebut adanya lapisan-lapisan yang terpisah satu sama lain, semuanya saling menyatu, saling berbaur dan

cipta. Pengadilan Federal Australia tidak sependapat dengan argumentasai tergugat. Pengadilan berpendapat bahwa jika jika suatu desain memiliki kompleksitas dan kerumitan yang mencerminkan keaslian dan keahlian yang tinggi maka desain tersebut telah memenuhi syarat keaslian dalam hak cipta. [11] Meskipun fakta menunjukkan bahwa sebelumnya telah terdapat desain yang diciptakan oleh masyarakat tradisional. Lebih dari itu tidak diperlukan terjadinya tindakan meniru secara sama persis untuk menyatakan adanya pelanggaran terhadap hak cipta. Pelanggaran dapat terjadi pada saat suatu ciptaan telah diubah secara substansial ke dalam ciptaan/produk yang lain. Dengan demikian, Pengadilan Federal Australia memenangkan gugatan penggugat dengan menyatakan bahwa tergugat telah terbukti melakukan tindakan pelanggaran hak cipta atas desain karpet milik penggugat.

20 Ignatius Haryanto. 2004. “Menembus Kebekuan Sistem HKI”. Kompas, Minggu, 10 Oktober

2004. 21 Lombard, Dennys. 2006. Nusa Jawa Silang Budaya (tiga jilid). Jakarta: Gramedia.

menghasilkan suatu kebudayaan baru tersendiri. Mengutip pandangan seorang antropolog asal India, Arjun Appadurai 22 , yang mengatakan:

“The new global cultural economy has to be seen as a complex, overlapping, disjunctive order, which cannot any longer be understood in terms of existing center periphery models (even those which might account for multiple centers and peripheries) nor is it susceptible to simple model of push and pull (in terms of migration theory), or of surpluses and deficits (as in traditional models of balance of trade), or of consumers and producers (as in most neo-Marxis theories of development). Even the most complex ang flexible theories of global development which have comeout of the Marxis tradition (Amin, Mendel, Wallerstein, Wolf)

…….…” Salah satu keprihatinan negara berkembang ialah bahwa proses globalisasi

telah mengancam penyalahgunaan elemen-elemen pengetahuan kolektif suatu masyarakat menjadi pengetahuan sebagai hak milik dan mendatangkan

keuntungan komersial bagi sebagaian kelompok tertentu 23 . Salah satu contoh negara berkembang ialah negara Indonesia.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya hayati ( biodiversity ) terbesar kedua setelah Brasil dan memiliki kekayaan pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan yang sangat beragam. Indonesia juga mempunyai kekayaan dalam bentuk ekspresi folklore seperti tari-tarian, batik, lagu-lagu, desain, karya sastra dan lain sebagainya. Dalam hal pengetahuan tradisional berupa pengobatan tradisional, hampir 40% penduduk Indonesia menggunakan pengobatan tradisional dan menjadi semakin dikenal baik di dalam maupun di luar negeri, seperti obat-obat herbal yang berasal dari jamu seperti Prolipit dan ProUric yang sudah digunakan secara luas di Indonesia dan bahkan

22 Arjun Appadurai (“Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”, dalam Bruce Robbins [ed.] The Phantom Public Sphere, University of Minnesota Press, 1993). Juga dikutip

Ignatius.Haryanto. 2005. “Keluar dari Rumah Kaca: Problematika Memandang Masalah Hak atas Kekayaan Intelektual”, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Tahun XIII – 2005. p. 40.

23 Lihat. Cita Citrawinda dalam dalam Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Ditjen HKI Depkumham.2005. Depok: LPHI FH UI. h.29 23 Lihat. Cita Citrawinda dalam dalam Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Ditjen HKI Depkumham.2005. Depok: LPHI FH UI. h.29

atas hasil dari pemanfaatan sumber daya tersebut. Misalnya, dari 45 jenis obat penting yang terdapat di Amerika Serikat berasal dari tumbuh-tumbuhan, dan 14 jenis di antaranya berasal dari Indonesia, seperti tumbuhan “tapak dara”, yang berfungsi sebagai obat kanker. Di Jepang juga tercatat adanya pemberian hak paten atas obat-obatan yang bahannya bersumber dari biodiversity dan

pengetahuan tradisional Indonesia 25 . Selanjutnya, masyarakat lokal tidak menyadari bahwa pengetahuan tradisional mereka di bidang obat-obatan

mempunyai nilai ekonomis. Yang mereka pahami adalah bahwa siapa saja boleh memanfaatkan pengetahuan obat-obatan tradisional untuk menolong mengobati orang sakit. Masyarakat juga tidak memahami konsep HKI, apalagi

menggunakannya 26 .. Dalam keadaan global seperti sekarang ini, memang sangatlah susah memisah-

misahkan kebudayaan lokal, nasional, dan global. Semuanya saling menyatu, saling mempengaruhi, sehingga sulit dikatakan ada bagian kebudayaan Indonesia yang masih

sangat asli dan tak terkena pengaruh dari kebudayaan luar 27 . Sejarawan Perancis Deny Lombard menunjukkan hal ini dalam tiga jilid bukunya, Nusa Jawa Silang Budaya . Ia

membuktikan bahwa Indonesia, dan Pulau Jawa khususnya, selama dua ribu tahun sejarahnya, telah menjadi sebuah persilangan budaya. Peradaban-peradaban yang terpenting di dunia (India, Islam, China, dan Eropa) bertemu di situ, diterima, diolah,

dikembangkan, dan diperbarui 28 . Indonesia sebagai negara berkembang memang

24 Tantono Subagyo . 2005. “Meraih Masa Depan Bermodalkan Kekayaan Masa Lalu (Perlindung-an dan Pengembangan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklore di Negara-Negara ASEAN ”. Media HKI, Vol. II/No.5/Oktober 2005.h.13. Tangerang: DJHKI

25 Agus Sardjono. 2004. Pengetahuan Tradisional. Jakarta: Universitas Indonesia, h. 1. 26 Ibid. h. 104.

27 Ignatius Haryanto. 2004. “Menembus Kebekuan Sistem HKI”. Kompas, Minggu, 10 Oktober 2004.

28 Lombard, Dennys. 2006. Nusa Jawa Silang Budaya (tiga jilid). Jakarta: Gramedia.

mempunyai kekayaan yang berlimpah ruah mengenai pengetahuan tradisional dan indikasi geografis. Namun, Indonesia belum maksimal mengkonkretkan potensi yang dimiliki karena lemahnya pengetahuan, skill, profesionalisme SDM, dan dana. Kondisi tersebut justru dimanfaatkan oleh negara maju yang mempunyai kelebihan teknologi, kemampuan finansial maupun teknis, dan melalui mekanisme beroperasinya berbagai perusahaan multinasional. Karena memiliki keragaman pengetahuan tradisional dan budaya yang terbesar, kini indonesia menjadi sasaran utama pembajakan pihak asing. Pencurian pengetahuan tradisional dan budaya yang terjadi di berbagai daerah selama ini, dilakukan dengan cara "berkedok" kerja sama penelitian.

Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, se ring memberi ”cap” negara-negara berkembang sebagai pembajak. Ini perlu dibalik karena banyak tanam-tanaman obat dari negara berkembang yang dicurinya. Mereka justru yang berutang royalty pada para petani negara-negara berkembang, dan mereka sebagai Biopiracy yang harus dipertanggungjawabkan. Paten pengetahuan tradisional oleh negara maju membuat khawatir dan menusuk perasaan keadilan. Orang- orang asing mempelajari, mencari ilmu medis tradisional, tanaman obatan- obatan suku asli, kemudian dipatenkan. Justru kemudian dijual dengan harga yang

mahal ke dunia ketiga 29 Tantono Subagyo mengumpulkan Paten Jepang (40 paten) yang

menggunakan bahan tanaman obatan-obatan asal Indonesia, seperti: brotowali, daun sukun gondopuro, sambiloto, cabe Jawa, dsb. Akhirnya ada sebagian dari

paten tersebut ditarik sendiri oleh Perusahaan Shiseido 30 Selanjutnya, berita yang mengagetkan pada tahun 1991 yaitu Perajin asal Bali pernah digugat di

Pengadilan Distrik New York atas motif ukiran produknya yakni gelang motif naga 31 dan kalung motif Borobudur . Selanjutnya, pemanfaatan sumber daya

29 AusAID. 2001. Intellectual Property Law (Patent and Design). Jakarta: Asian Law Group. h. 32.

30 Tantono Subagyo .2002. h. 2-6 31 Forum Keadilan No. 31, 1999 30 Tantono Subagyo .2002. h. 2-6 31 Forum Keadilan No. 31, 1999

Di Indonesia, dapat diamati sejumlah peristiwa yang berkait pengetahuan tradisional. Pada 2004, di teater utama Esplanade, Singapura, digelar pertunjukan kontemporer yang menarik minat dunia sejak perjalanan persiapannya, yaitu

pertunjukan yang mengangkat epik Bugis 32 I La Galigo yang berumur ribuan tahun dan hampir dilupakan itu, disutradarai oleh Robert Wilson, sebuah nama

besar yang dianggap sebagai tonggak teater kontemporer dunia. Pertunjukan melibatkan 50 seniman Indonesia sebagai pelakon utamanya 33 . Pementasan

I La Galigo ini mengundang beberapa komentar dari sisi perlindungan HKI, antara lain

dari pakar hukum Henry Soelistyo Budi 34 yang menyatakan bahwa pementasan karya ini perlu dipertanyakan legalitasnya. Selanjutnya, pada akhir 2007 lalu,

masyarakat Indonesia heboh mendengar lagu Rasa Sayange yang muncul di

32 I La Galigo merupakan karya sastra terpanjang di dunia serta dianggap keramat oleh sementara orang Bugis —yang terdiri atas 300 ribu bait yang terpilah dalam 12 unit (6000 halaman folio). Isinya bersifat mitologis, dan sebagian bersifat epos (wiracarita) yang mengisahkan enam generasi

tokoh-tokoh dari sejumlah kerajaan yang sebagaian besar berpusat di Sulawesi. Karya sastra ini lebih panjang dari Mahabharata. Teks karya sastra ini diperkirakan ditulis sekitar abad ke-14 sampai 17 Masehi. Naskah ini mulai mendapat perhatian setelah Rhoda Grauer yang berasal dari Poughkeepsie, New York, bertemu Mohammad Salim, seorang ahli lontar yang pernah meneliti naskah ini di Universitas Leiden, Belanda. Lihat Sinar Harapan ,9 Maret 2004 “Mitologi Bugis Kuno itu Kini Milik Dunia”, .dan Kompas Cyber Media, 5 April 2002 “Pendahuluan Siklus ’I La Gal igo’ yang Tak Dikenal” .

33 Lihat Kompas 14 Maret 2004 “I La Galigo’, Sejarah Baru Indonesia”. , dan Suara Merdeka 14 Februari 2004 “I La Galigo’ Keliling Dunia”.

34 , Henry Soelistyo Budi. 2005. “I La Galigo: Simulasi Sebuah Kebijakan Eksploitasi ‘Public

Domain’ yang Diabaikan”. Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Tahun XIII–2005.h..

22-31.

website pariwisata Malaysia untuk kepentingan promosi pariwisata. Mereka beralasan bahwa walaupun lagu itu berasal dari Indonesia, tetapi juga sudah menjadi lagu rakyat Malaysia sejak lama. Menanggapi persoalan itu, Komisi X DPR RI mendesak pemerintah bersikap tegas terhadap Malaysia yang mengklaim lagu Rasa Sayange sebagai milik mereka. Pemerintah harus mengecek keaslian dan asal lagu tersebut di Indonesia, apakah benar dari Maluku atau bukan. Jika terbukti benar, pemerintah bisa melakukan penuntutan kepada Malaysia karena menjadikan lagu itu bagian dari promosi wisatanya yang bertema Truly Asia .

Sebab, tindakan negeri jiran itu sudah sangat berlebihan 35 . Kasus ini menambah panjang daftar kasus klaim Malaysia atas khazanah budaya Indonesia karena

negeri jiran tersebut sebelumnya sudah mempatenkan batik Indonesia, kerajinan tangan dan wayang karena mereka ingin menjadi etalase Asia. Namun, belum reda kasus tersebut, satu bulan berikutnya muncul kasus serupa, yaitu tampilnya gambar reog yang ditampilkan di website Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia yang memiliki banyak kemiripan dengan reog Ponorogo. Kasus ini membuat warga Ponorogo dan instansi pemerintahan setempat sempat kaget. Hal ini disebabkan oleh karena, Pemerintah Kabupaten Ponorogo sendiri telah mendaftarkan tarian reog Ponorogo sebagai hak cipta milik Kabupaten

Ponorogo di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 36 . Di samping itu, ada tindakan penggunaan/pemanfaatan secara komersial terhadap

seni batik tradisional Indonesia oleh pihak asing, contoh yang dapat dikemukakan yaitu mengenai diakuinya motif batik 37 parang oleh Malaysia . Dengan demikian,

peristiwa tersebut menunjukkan betapa problematisnya pengaturan perlindungan pengetahuan tradisional dalam konteks perlindungan hukum

Untuk mengatasi problematika tersebut, secara teoritis sistem perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya masyarakat adat dapat

35 Lihat Detik.Com 1 Oktober 2007 .”Komisi X: Klaim Rasa Sayange, Malaysia Harus Dituntut”. 36 Lihat Kompas 22 November 2007. ”Lagi, Reog Ponorogo Diklaim Malaysia”.

37 Lihat. Afrillyana Purba,dkk.. 2005. Op.Cit. h. 100 37 Lihat. Afrillyana Purba,dkk.. 2005. Op.Cit. h. 100

Lebih lanjut, perlindungan dalam bentuk non hukum, yaitu perlindungan yang diberikan kepada traditional knowledge dan ekspresi budaya yang sifatnya tidak mengikat, meliputi code of conduct yang diadopsi melalui internasional, pemerintah dan organisasi non pemerintah, masyarakat profesional dan sektor swasta. Perlindungan lainnya meliputi kompilasi penemuan, pendaftaran, database traditional knowledge dan folklore.

Dalam makalah ini hanya dibahas perlindungan pengetahuan tradisional dalam bentuk hukum. Perlindungan pengetahuan tradisional ini dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaturan yang bersifat internasional, maupun praktek kerjasama antar negara dalam upaya memberikan perlindungan pengetahuan tradisional tersebut. Langkah langkah di tingkat internasional untuk melindungi pengetahuan tradisional, yaitu diadakannya konferensi diplomasi Stockholm tahun 1967 yang bertujuan untuk melindungi cerita rakyat adat melalui

hak cipta dan berhasil memasukkan Pasal 15(4) 38 ke dalam konvensi Berne. Selanjutnya, UNESCO dan WIPO mengadakan forum sedunia untuk

perlindungan cerita rakyat adat. Terdapat 180 peserta dari 50 negara yang berpartisipasi dalam forum. Forum ini mengusulkan pendirian komite ahli untuk menyelidiki pelestarian dan perlindungan cerita rakyat adat dan merancang pembuatan perjanjian internasional untuk melindunginya. Tahun 1976 dibuat Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries atas prakarsa UNESCO dan WIPO . Di dalamnya ada anjuran kepada negara berkembang untuk mengatur secara terpisah perlindungan folklore dengan ketentuan: tidak ada batas jangka

38 Selanjutnya, Pasal 15(4) ini di indonesia kemudian diadopsi oleh UU Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta , tetapi belum berdampak luas.

waktu perlindungan, mengecualikan karya-karya tradisional dari keharusan adanya bentuk yang berwujud, adanya hak moral tertentu untuk melindungi dari pengrusakan dan pelecehan karya tradisiona Selanjutnya, Konferensi Internasional I mengenai Hak Budaya dan Intelektual dari penduduk asli, diadakan di New Zealand tahun 1993 menghasilkan Deklarasi Mataatua yang isinya antara lain : hak melindungi pengetahuan tradisional adalah hak menentukan nasib, serta masayarakat asli menentukan sendiri kekayaan intelektual dan budayanya. Titik puncak perhatian masyarakat internasional terhadap masalah ini, pada tahun 2000, World Intellectual Property Organization ( WIPO ) membentuk Intergovermental Commitee on Intellectual Property and

Genetic Resources 39 , Traditional Knowledge and Folkloree (IGC GRTKF) . Sampai saat ini, IGC GRTKF telah melakukan sidang sebanyak tujuh kali dan

pembahasan baru sampai kepada upaya menemukan prinsip-prinsip inti dan sasaran obyektif ( core principles and policy objectives ) yang disepakati bersama. Lambatnya pencapaian kesepakatan di dalam sidang-sidang IGC GRTKF ini disebabkan sifatnya yang melibatkan banyak negara anggota sehingga banyak sekali argumentasi yang disampaikan dan harus diakomodasikan. Melihat kondisi tersebut dan melihat pengalaman dalam proses pembentukan konvensi-konvensi multilateral, diperkirakan bahwa IGC GRTKF belum dapat merumuskan atau menghasilkan konvensi-konvensi mengenai perlindungan dan pemanfaatan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Folklore dalam waktu

dekat 40 . Di samping itu, sejumlah negara maju, khususnya Amerika Serikat, masih berkeberatan dengan rencana pembentukan suatu konvensi multilateral mengenai

hal tersebut.

39 Mandat yang diberikan kepada IGC GRTKF adalah mencari kemungkinan membentuk satu atau beberapa konvensi multilateral yang mengatur masalah perlindungan dan pemanfaatan

Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Folklore 40 Lihat. Robert J.L. Lettington and Kent Nandozi,.2000. December. A Review of International Committee on Generic Recoursiss, Traditional Knowledge and Folklore at WIPO, South

Centre/Centre for International Environmental Law .p. 22

Sejumlah pandangan negara-negara di dalam forum IGC GRTKF yang menarik dianalisis adalah sebagai berikut.

”...the Committee should n ow shift emphasis to the consideration of the international dimension of folkloree, TK and GR as a step towards norm setting

for what had come to be referred to as ‘the third pillar of the IP community’, the other two being the Berne and Paris Conventions. Most countries in the developing world did not participate in the negotiation of the first two pillars through no fault of theirs. But this third pillar was being pushed by concerned member countries many of which were in developing world and it was inter esting to note that this was the first time that the agenda for an international norm setting procedure, at least within the framework of WIPO, was being set by

developing countries.” “Expressions of folkloree were closely tied to the identity – historical, cultural,

spiritual and social – of a people, but more than all that, they were also economic assets with significant economic value.”

Di samping itu, delegasi Selandia Baru pada Sidang ke-6 IGC GRTKF, 15-19 Maret 2004 di Jenewa menyampaikan bahwa Sony Corp . telah melakukan pemanfaatan image Suku Maori di dalam playstation yang diproduksinya tanpa meminta ijin. Menarik pula disimak pernyataan wakil dari salah satu organisasi non-pemerintah suku Indian Amerika, bahwa Pemerintah AS telah memanfaatkan Pengetahuan Tradisional mereka hingga menghasilkan keuntungan sebesar US$

50 Milyar tanpa memberikan kompensasi sedikitpun kepada suku yang bersangkutan (sangat disayangkan bahwa pernyataan ini tidak direkam secara detail di dalam Draft Report sidang tersebut). Sampai sidang IGC GRTKF ke 13 November 2008, tetap terjadi perdebatan alot. Negara-negara berkembang pada umumnya mengharapkan segera disusunnya suatu international legally binding instrument , sedangkan negara-negara maju menghendaki agar dilakukan penelaahan dan pembahasan lebih mendalam mengenai berbagai hal/isu yang nantinya akan dituangkan dalam instrument dimaksud.

Salah satu isu yang paling tajam di dalam IGC GRTKF adalah usulan pembentukan suatu sui generic system bagi perlindungan dan pemanfaatan pengetahuan tradisional, atau mengadopsi sistem HKI yang berlaku di dunia saat ini. Banyak negara berkembang menghendaki agar sebaiknya dibuat sistem hukum yang sama sekali baru terhadap kedua jenis kekayaan intelektual tersebut. Selanjutnya, pada pertemuaan dan Simposium Internasional Negara-negara

Sepaham ( 41 Like-Minded Countries Meeting/LMCM ) di Bali tentang "Memastikan Perlindungan GRTKF Melalui Penyatuan Database" , pada tanggal

26 Juni 2012, dihasilkan beberapa komitmen sebagai berikut. 42 Pertama, komitmen yang kuat di tingkat nasional dan internasional untuk

membentuk regim hukum guna melindungi GRTKF. Kedua, pentingnya penyusunan database sebagai mekanisme perlindungan

defensif yang mampu melengkapi mekanisme positif dalam memelihara dan memajukan GRTKF.

Ketiga, pentingnya partisipasi sektor swasta dan masyarakat dalam proses penyusunan database.

Keempat . perlunya P emerintah mengambil langkah-langkah strategis dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terkait arti penting penyusunan database dimaksud.

41 Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan 16 negara-negara sepaham yaitu Aljazair, Brunei

Darussalam, Kolombia, Mesir, India, Indonesia, Jamaica, Lebanon, Malaysia, Namibia, Pakistan, Peru, Sri Lanka, Tanzania, Thailand, dan Viet Nam, serta perwakilan sekretariat WIPO dan South Centre.

42 Dit. Perj Ekososbud/Dit. Infomed/PLE/Yos/Yo2k

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di muka, permasalahan yang dibahas dalam ini makalah ialah :

1. Apakah sistem Hak Kekayaan Intelektual Internasional dapat digunakan melindungi hak ekonomi pengetahuan tradisional Masyarakat Adat Indonesia pada era globalisasi?

2. Apakah sistem Hak Kekayaan Nasional dapat digunakan melindungi hak ekonomi pengetahuan tradisional Masyarakat Adat Indonesia pada era globalisasi?

3. Bagaimana prospek perlindungan hak ekonomi pengetahuan tradisional Masyarakat Adat Indonesa pada era globalisasi?

C. Pembahasan

Sebelum dibahas inti permasalahan, penulis akan membahas terlebih dahulu terminologi Pengetahuaan Tradisional, terminologi Hak Keakayaan Intelektual, dan perkembangan teori Hak Kekayaan Intelektual

1. Deskripsi Terminologi Pengetahuan Tradisional

Istilah pengetahuan tradisional. sebenarnya terjemahan dari traditional knowledge . Menurut George Hobson, peraih the Northern Science Award, traditional knowledge merupakan bagian dari ilmu pengetahuan ( science ). Istilah pengetahuan tradisional digunakan untuk menerjemahkan istilah traditional knowledge , yang dalam perspektif WIPO digambarkan mengandung pengertian yang lebih luas mencakup indigenous knowledge dan folklore . Berikut ungkapannya: “Indegenous knowledge would be therefore part of the traditionalknowledge category, but traditional knowledge is not necessarrily indigenous. That is to say, indigenous knowledge is traditional knowledge, but not all traditional knowled

ge is indigenous” . Istilah “tradisional” seringkali ge is indigenous” . Istilah “tradisional” seringkali

karena, lebih dipengaruhi oleh pandangan 43 Eurocentrism . Traditional knowledge adalah istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi, know how yang

secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit social. Traditional knowledge mulai berkembang dari tahun ke tahun seiring dengan pembaruan hukum dan kebijakan, seperti kebijakan pengembangan pertanian, keanekaragaman hayati ( biological diversity ), dan kekayaan intelektual

( 45 intellectual property ) . Menurut Deepak and Shrivastava Anshu , Traditional knowledge (TK), indigenous knowledge (IK), traditional

environmental knowledge (TEK) and local knowledge generally refer to the matured long-standing traditions and practices of certain regional, indigenous, or local communities. Traditional knowledge also encompasses the wisdom, knowledge, and teachings of these communities. In many cases, traditional knowledge has been orally passed for generations from person to person. Some forms of traditional knowledge are expressed through stories, legends, folklore, rituals, songs, and even laws. Other forms of traditional knowledge are often

expressed through different means. .. Pembahasan kreativitas intelektual penduduk asli sejak pertengahan

tahun 1980 difokuskan pada perlindungan ekspresi kebudayaan tradisional ( folklore ), genetic resources (GR) serta traditional knowledge ( TK). Setelah kurun waktu tersebut pembahasan mulai meluas pada bidang-bidang seperti ekologi, obat-obatan serta bidang pengetahuan tradisional yang lain. Hal ini dikarenakan berbagai bidang pengetahuan tradisional tersebut merupakan salah

43 Agus Sarjono. 2006.Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung: Alumni. h. 1

44 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsuddin. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya

Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. h.27

45 Acharya, Deepak and Shrivastava Anshu .2008. Indigenous Herbal Medicines: Tribal Formulations and Traditional Herbal Practices . ,Jaipur- India.: Aavishkar Publishers Distributor

h.. 440 h.. 440

Ilmu pengetahuan “barat” selama ini didefinisikan sebagai ilmu yang menggunakan pendekatan yang sistematis dan metodologis dalam menjawab suatu permasalahan, serta mengandung prinsip dapat diulang ( repeatability ) dan dapat diprediksi ( predictability ). Berdasarkan pengertian tersebut, tra ditional knowledge sebenarnya juga merupaksan ilmu pengetahuan, meskipun banyak pihak (ilmuwan barat) yang menolaknya dengan alasan traditional knowledge tidak bersistem dan bermetode. Suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai

traditional knowledge 47 manakala pengetahuan tersebut :

a. diajarkan dan dilaksanakan dari generasi ke generasi;

b. merupakan pengetahuan tentang lingkungannya dan hubungannya dengan segala sesuatu;

c. bersifat holistik, sehingga tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang membangunnya;

d. merupakan jalan hidup ( way of life ), yang digunakan secara bersama sama oleh komunitas masyarakat, dan karenanya disana terdapat nilai-nilai masyarakat).

Selanjutnya, definisi baku traditional knowledge itu sendiri sampai saat ini masih menjadi perdebatan, bahkan dalam lingkup internasional, dan sangat bergantung pada karakteristik dan keadaan-keadaan khusus di suatu negara.

Tradisional knowledge secara umum didefinisikan sebagai: “all traditional based (i.e.,generally developed on the basis of transmission from

generation to generation) intellectual (i.e., based on intellectual activity) creations and innovations, in the very broadest sense, which are constanly evolving in response to a changing environment and are generally regarded as pertaining to a particular people or territory .

46 S. Von Lewinski. 2004. Indigenous Heritage and Intellectual Property Genetic Resouces, Traditional Knowledge and Folklore . . Netherlands: Kluwer Law International.p.49

47 M Zulfa Aulia. 2006. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional. Jakarta: FH UI. p.20

Salah satu definisi yang banyak diacu adalah yang ditetapkan World Intellectual Property Organization ( WIPO ), yaitu: “Traditional based literary, artistic or scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs, marks, names and symbols, undisclosed information and all other tradition-based innovations and creations resulting form intellectual activity in

the industrial, scientific, l 48 iterary or artistic fields” . Dari pengertian dan penjelasan traditional knowledge yang diberikan

WIPO tersebut maka dapat diketahui bahwa traditional knowledge adalah pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat lokal atau daerah yang

sifatnya turun temurun. Dalam hal isu terminologi, penggunaan serangkaian istilah yang lazim

diterapkan pada pokok masalah pengetahuan tradisional/ traditional knowledge bengantung pada sub-bidang, area kebijakan dan instrumen internasional yaitu:

traditonal knowledge, indigenous communities, peoples and nations; traditional medicine knowledge innovations and practices of indigenous and local communities embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable use of biological diversity; local local and traditional knowledge; and traditional and local technology; knowledge; know how and practices; traditional knowledge; innovations and creativity.

Juga istilah folklore , expressions of folklore; verbal expressions of folklore, musical verbal expressions of folklore; expressions by action, tangible expressons

of folklore; artisanal product 49 Adanya variasi terminologi karena pentingnya pengetahuan tradisional

terhadap berbagai bidang kebijakan dan luasnya lingkup pengetahuan tradisional, termasuk semua karya dalam bidang industri, sastra, artistik dan ilmiah. Dalam

48 Ar tinya:“Pengetahuan tradisional mengacu pada sastra yang berupa budaya; karya seni atau ilmiah; pementasan; penemuan-penemuan; penemuan ilmiah; desain; merek; nama dan simbol-

simbol; rahasia dagang dan inovasi-inovasi yang berupa budaya dan ciptaan-ciptaan yang merupakan hasil kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, seni dan

sastra”.

49 Cita Citrawinda.2003. Hak Kekayaan Intelektual- Tantangan Masa Depan. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia .

perdebatan internasional tentang pengertian traditional knowledge , beberapa terminologi/istilah yang sering dinyatakan termasuk: “ traditional knowledge, innovations and practices ” (dalam konteks perlindungan dan pemanfaatan sumber daya biologis); “ heritage of indigenous peoples ” dan “ indigenous heritage rights ”; “ traditional medicinal knowledge ” (dalam konteks kesehatan); “ expressions of foklore ” (dalam konteks perlindungan kekayaan intelektual);

“ folklore ” atau “ traditional and popular culture ” (dalam konteks pelestarian budaya tradisional); “ intangible culture heritage ”; “ indigenous intellectual propert y” dan “ indigenous cultural and intellectual property ”; “ traditional ecological knowledge ” dan “ traditional and local technology, knowledge, know- how and practices 50 ”) . Satu hal yang membedakan antara pengetahuan tradisional

dan hasil karya intelektual lain adalah bahwa satu pengetahuan tradisional merupakan satu bentuk karya intelektual yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam masyarakat komunal. Selanjutnya, menurut WIPO pengetahuan tradisional meliputi: The categories of traditional knowledge include...expressions of folklore in the form of music, dance, song, handcraft, design, stories and artwork...”

Pengertian traditional knowledge dapat dilihat secara lengkap lagi dalam Article 8 J Traditional Knowledge, Innovations, and Practices Introduction , yang menyatakan:

“Traditional knowledge refers to the knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities around the world. Developed from experience gained over the centuries and adapted to the local culture and environment, traditional knowledge is transmitted orally from generation to generation. It tends to be collectively owned and takes the from of stories, songs, folklore, proverbs, cultural values, beliefs, ritual, community laws, local language and animal breeds. Traditional knowledge is mainly of a practicalnature, particularly in such fields a s agriculture, fishe

ries, health, holticulture and forestry” 51 .

50 Ign. Subagjo.2005.”Kerangka Kebijakan Pengelolaan Pengetahuan Tradisional di Indonesia”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Perlindungan Traditional Knowledge dalam Kerangka

Otonomi Daerah di Fakultas Hukum UGM tanggal 20 Agustus 2005.,1.

51 Terjemahannya: “Pengetahuan tradisional merujuk pada pengetahuan, inovasi dan praktik

masyarakat asli dan lokal di seluruh dunia. Dikembangkan dari pengalaman melalui negara-

The Director General of United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization mendefinisikan traditional knowledge :

“The indigenous people of the world posess an immense knowledge of their environments, based on centuries of living close to nature. Living in and from the richness and variety of compelx ecosystems, they have an understanding of the properties of plants and animals, the functioning of ecosytems and the techniques for using and managing them that is particular and often detailed. In rural comunities in devloping countries, locally occurring species are relied on for many-sometimes all-foods, medicines, fuel, building materials and other products. Equally, people is knowledge and perceptions of the environment, and their

relatonships with it, are often important elements of cultural identity” 52 . Sementara itu, menurut pemahaman masyarakat asli

traditional knowledge 53 adalah:

1) hasil pemikiran praktis yang didasarkan atas pengajaran dan pengalaman dari generasi ke generasi;

2) pengetahuan di daerah perkampungan;

3) tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual, budaya dan bahasa dari masyarakat pemegang. Hal ini merupakan way of life . Traditional knowledge memberikan kredibilitas pada masyarakat pemegangnya.