Berkualitas di Era MEA
Berkualitas di Era MEA
Muhammad Faidzdiya Ul Haq Kharisma, Kimia 2013 Lingkar Studi Sains (LSiS) FMIPA UGM
Sejak akhir tahun 2015 lalu, seluruh kawasan asia tenggara menerapkan kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA diberlakukan untuk meningkatkan daya saing pasar ASEAN di ranah ekonomi dunia. Dengan diberlakukan kebijakan MEA, Indonesia dipastikan semakin terbuka dalam persaingan ekonomi dunia dan berusaha membuktikan diri menjadi yang terbaik di kawasan asia tenggara. Hingga saat ini, sudah banyak negara-negara luar yang berani berinvestasi dan menanamkan modal di Indonesia karena letaknya yang strategis dan potensi sumber daya manusia Indonesia yang besar. Hal ini tentu saja menjadi keuntungan besar bagi Indonesia. Namun, keuntungan tersebut akan berubah menjadi ancaman tersendiri jika Indonesia tidak siap berbenah dan generasi-generasi muda Indonesia yang lambat sadar akan ketatnya persaingan MEA.
Dikutip dari situs BBC Indonesia, MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang dan jasa, tetapi juga pasar tenaga profesional. Dengan adanya MEA, persaingan di bursa tenaga kerja semakin meningkat, terutama pekerja yang berkecimpung pada keahlian khusus (anonim, 2014). Hal ini tentu saja akan memperbesar peluang bagi tenaga kerja asing untuk menerapkan keahliannya di Indonesia. Mereka mempunyai peluang yang sama untuk mengisi jabatan-jabatan penting dari setiap bidang. Hal seperti ini tentu menguntungkan karena Indonesia mempunyai peluang besat untuk memiliki tenaga kerja yang berkualitas. Namun, di sisi lain nampaknya Indonesia perlu waspada dengan standar tenaga kerja yang semakin tinggi dan menuntut generasi mudanya untuk terus mengembangkan potensi diri jika tidak ingin kalah bersaing.
Salah satu parameter dari kualitas sumber daya manusia adalah faktor pendidikan. Perguruan tinggi menjadi aset penting dalam mencetak generasi
muda bangsa yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Riset dan paten yang dilakukan setiap perguruan tinggi menjadi penilaian penting dalam menentukan kualitas pendidikan dalam suatu negara, yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri lokal maupun internasional dalam suatu negara. Meskipun Indonesia sudah beberapa kali mempublikasikan hasil riset dan temuannya, tetapi jumlahnya masih kalah jika dibandingkan dengan negara lain termasuk di kawasan asia tenggara. Dari data dunia, tahun 2013, terlihat sekali hasil penelitian di Indonesia sangat sedikit jika dilihat dari pengajuan paten yang sangat kalah jumlahnya dengan negara tetangga. Dikutip dari Banjarmasin Post, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 250 juta, hanya mampu mengajukan paten sebanyak 8.641 saja. Singapura yang memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit dari Indonesia justru mampu mengeluarkan paten sains dan teknologi sebesar 9.722. Thailand 7.404, Malaysia 2.350, Vietnam 3.795, dan Filipina 3.090 paten (Murjani, 2015). Dari fakta yang telah disebutkan, riset yang merupakan salah satu parameter untuk menentukan kualitas sumber daya manusia nampaknya kurang menunjukkan hasil yang baik bagi Indonesia. Di kawasan asia tenggara pun, riset yang dilakukan Indonesia masih tertinggal jauh.
Untuk mengatasi tantangan di atas, diperlukan suatu solusi sebagai upaya untuk menanamkan jiwa karakter ilmiah yang kuat bagi setiap mahasiswa dalam melakukan riset di dunia pendidikan. Karakter ilmiah yang baik akan memperkuat dasar pemikiran setiap mahasiswa terutama dalam melakukan setiap kegiatan riset dan keberanian dalam berkompetisi setelah keluar dari dunia kampus. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah penanaman karakter Hasta Brata dalam dunia pendidikan yang berbasis kearifan lokal Jawa. Pada dasarnya, Hasta Brata merupakan suatu ilmu yang tergolong sangat tua, yang dikenalkan melalui pewayangan Wahyu Makutharama (Moeljono, 2013). Hasta Brata berisikan karakter-karakter kepemimpinan yang ideal dan sangat sesuai untuk menanamkan karakter ilmiah yang kuat bagi setiap mahasiswa dalam melakukan riset dan membuat paten.
Konsep Hasta Brata pada dasarnya merupakan suatu konsep yang berisikan perilaku atau karakter ideal bagi seorang pemimpin. Pada konsep tersebut, berisi delapan perilaku yang dijadikan pedoman bagi masyarakat
Jawa untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang baik. Jika dilihat dari isinya, perilaku-perilaku yang disebutkan tersebut sangat sesuai dengan karakter ilmiah yang perlu dipraktikkan oleh mahasiswa untuk meningkatkan kualitas riset dan menumbuhkan jiwa berkompetisi yang sehat. Konsep ini sangat sesuai untuk dimasukkan dalam pendidikan karakter bagi setiap mahasiswa. Selain itu, konsep Hasta Brata sendiri sudah lama tidak diperkenalkan di Indonesia. Dengan mengusung konsep di atas secara tidak langsung juga menunjukkan bukti bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi kearifan lokal. Karakter Hasta Brata diharapkan dapat mencetak generasi muda yang mempunyai karakter ilmiah yang baik dalam riset dengan tidak melupakan jati diri bangsa Indonesia.
Delapan karakter yang tercantum dalam Hasta Brata dilambangkan sebagai bumi, matahari, api, air, langit, angin, bulan, dan bintang. Sifat bumi adalah murah dan senantiasa memberi, apa saja yang ditanam di tanah tumbuh berbuah berlipat ganda bagi yang menanam. Kekayaan alam yang ada di bumi akan semakin baik jika kita dapat mengolahnya dengan baik dan benar. Sebagai pemimpin, sudah sepatutnya untuk memiliki sifat yang tangguh, sabar, dan ikhlas memberi. Hal ini jika dikaitkan dengan sikap ilmiah yang perlu ditanamkan oleh mahasiswa adalah memiliki sikap yang tidak mudah menyerah dalam melakukan riset. Di dalam riset yang sesungguhnya, sudah hal yang wajar jika terjadi kegagalan dalam melakukan suatu percobaan. Bahkan, kita sering dijumpai beberapa masalah dalam prosesnya. Sikap yang tangguh diperlukan untuk memperoleh hasil riset yang baik, berkualitas, dan
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Matahari diartikan sebagai sumber energi dalam kehidupan di bumi. Pemimpin yang baik seyogyanya mampu mendorong dan menumbuhkan daya hidup dan membangun kesejahteraan rakyatnya. Jika ini ditanamkan pada mahasiswa, maka diharapkan mahasiswa dapat melaksanakan riset tidak hanya semata-mata untuk keperluan akademis saja. Riset yang dilakukan mahasiswa tersebut diharapkan memberikan perkembangan baru bagi dunia pendidikan, teknologi, dan ekonomi bangsa.
Yasadipura I (1729-1803 M) juga mengungkapkan adanya sifat api bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki Yasadipura I (1729-1803 M) juga mengungkapkan adanya sifat api bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki
Sifat tersebut memiliki arti bahwa air itu dapat rata dan mengalir kemana mana secara seimbang. Berdasarkan han tersebut, sifat air juga dapat diartikan sebagai pemerataan persiapan maupun proses dalam melakukan riset, seperti keselamatan kerja maupun ketelitian dan ketekunan dalam bekerja. Ketelitian dan ketekunan dalam melaksanakan riset haruslah diterapkan dari permulaan sampai tahap akhir riset.
Langit mempunyai kekuasaan yang tak terbatas sehingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan kemampuan mengendalikan diri serta dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang beragam sesuai keperluan, persepsi, dan posisi masing-masing. Sikap seperti ini haruslah diterapkan pada mahasiswa. Seperti air, mahasiswa yang baik ketika melaksanakan riset sepatutnya mengesampingkan ego, mau menerima kritik dan saran yang membangun.
Sifat keenam yang perlu ditiru oleh mahasiswa adalah seperti angin. Mencontoh angin, seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyatnya tanpa memandang harkat dan martabat, sehingga secara langsung dapat mengetahui keadaan dan apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya. Sikap seperti ini juga ideal jika dimasukkan dalam karakter ilmiah yang baik. Sifat angin yang diartikan untuk mengetahui keadaan yang dibutuhkan rakyatnya, tidak akan pernah dicapai jika pemimpin tersebut tidak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Dalam dunia akademis, riset yang dilakukan tidak akan matang Sifat keenam yang perlu ditiru oleh mahasiswa adalah seperti angin. Mencontoh angin, seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyatnya tanpa memandang harkat dan martabat, sehingga secara langsung dapat mengetahui keadaan dan apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya. Sikap seperti ini juga ideal jika dimasukkan dalam karakter ilmiah yang baik. Sifat angin yang diartikan untuk mengetahui keadaan yang dibutuhkan rakyatnya, tidak akan pernah dicapai jika pemimpin tersebut tidak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Dalam dunia akademis, riset yang dilakukan tidak akan matang
Sinar bulan diartikan sebagai semangat serta rasa percaya dalam situasi yang pada suatu saat mengalami krisis dan masalah ketika riset tugas akhir dilakukan. Sudah hal yang wajar jika riset yang dilakukan oleh mahasiswa menemui hambatan di tengah jalan maupun hasil riset yang tidak sesuai dengan hipotesis yang telah diprediksi sebelumnya. Mahasiswa yang sedang melakukan riset harus menjaga semangatnya agar riset yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Terakhir. bintang memiliki sifat sebagai penerang di tengah malam, memiliki prinsip yang kuat dan menjadi teladan bagi semua kalangan, tidak ragu- ragu menjalankan keputusan yang telah diambil. Mahasiswa yang melakukan riset harus memiliki prinsip kedewasaan. Sikap dewasa dalam melakukan riset tersebut akan memunculkan keberanian dalam mempertahankan keyakinan dalam melaksanakan riset.
Riset dan paten yang telah dipublikasi oleh Indonesia dari berbagai instansi maupun universitas masih terjadi penyimpangan yang nyata. Penerapan konsep Hasta Brata tersebut membantu pembentukan karakter mahasiswa menjadi pribadi yang memiliki sikap ilmiah yang baik yang dituangkan dalam riset. Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa konsep Harta Brata yang telah diungkapkan oleh Yasadipura I (1729-1803 M) sangat sesuai untuk membangun karakter ilmiah bangsa. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya hasil penelitian dari Istiqamah, dkk. (2009), yang menyatakan bahwa karakter ilmiah yang nyata diantaranya adalah sikap rasa ingin tahu, jujur, terbuka, tekun, dan teliti, seperti yang telah dijelaskan dari konsep Hasta Brata sebelumnya. Melalui karakter ilmiah yang kuat, diharapkan akan melahirkan generasi-generasi muda yang barkualitas dan siap bersaing dalam era MEA tanpa melupakan jati diri sebagai bangsa Indonesia dengan menjunjung tinggi kearifan lokal yang ada.
Referensi:
Anonim, 2014, Apa yang Harus Anda Ketahui Tentang Masyarakat
Ekonomi ASEAN ,http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/0 8/140826_p asar_tenaga_kerja_aec#orb-banner,
27 Agustus 2014, diakses 14 September 2016. Istiqamah, H., Hendrato, S., Bambang, S., 2009, Penggunaan Model
Pembelajaran Group Investigation untuk Menumbuhkan Sikap Ilmiah Siswa, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, Vol. 6, Hal 40-
43. Moeljono, D., 2003, Beyond Kepemimpinan (12 Konsep Kepemimpinan), Kelompok Gramedia, Jakarta. Murjani, 2015, Insentif Sedikit, Peneliti di Indonesia Kalah Banyak dengan
Tetangga, http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/10/06/insentif- sedikit-peneliti-di-indonesia-kalah-banyak-dengan-negara- tetangga ,6 Oktober 2015, diakses 14 September 2016.
Negara
Pendidikan Multikulturalisme: Solusi dalam Menghadapi Permasalahan Keragaman di Indonesia
Selma Andana, D3 Bahasa Inggris 2016
Unit Penalaran Ilmiah Interdisipliner (UPII) UGM
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, suku, agama, ras, adat-istiadat, dan bahasa. Masyarakat Indonesia yang pluralistik disamping membawa kekayaan bangsa juga menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Pluralitas dan heterogenitas masyarakat itu dapat dipahami sebagai suatu kekayaan dalam konteks keanekaragaman budaya. Akan tetapi, dalam banyak urusan selebihnya keanekaragaman itu lebih potensial menjadi batu sandungan, apalagi bila kenyataan itu juga dieksploitasikan secara
struktural. Kemudian, yang akan didapat pastilah bukan “nation building”, melainkan
“nation bleeding” (Kusumohamidjojo, 2000:49). selain itu, menurut Kusumohamidjojo (2000:59-
60) bahwa sejak sebelum berdirinya sebagai negara merdeka, Indonesia sudah menghadapi persoalan besar yang berkaitan dengan keanekaragaman kebudayaan.
Persoalan ini menjadi semakin besar seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika sejarah yang menyertainya. Berbagai peristiwa yang terjadi di negara Indonesia sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa apresiasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan terasa semakin surut. Konflik-konflik yang berlatar belakang SARA terus berkobar yang disertai dengan lemahnya kebijakan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari konflik yang terjadi di Aceh dan Papua yang terus menguat untuk memisahkan diri dari negara Indonesia. Kerukunan etnik yang dibangga-banggakan sebagai manifestasi idiom Bhineka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam Garuda Pancasila sedikit demi sedikit sirna dan kehilangan makna. Fenomena yang berkaitan dengan kuatnya sikap etnosentrisme di setiap suku di indonesia juga semakin meningkat dimana jika
53 | Kompilasi Esai 53 | Kompilasi Esai
Seiring dengan perkembangan zaman yang didasari pada pengaruh globalisasi, permasalahan-permasalahan akan sikap etnosentrisme semakin marak terjadi di Indonesia. Bahkan permasalahan tersebut telah menimbulkan konflik sosio-kultural yang mampu memecah persatuan masyarakat Indonesia sehingga menimbulkan sikap primordialisme di Indonesia. Pemahaman- pemahaman mengenai sikap mayoritas dan minoritas perlu ditekankan. Menurut Kusumohamidjojo, dikotomi mayoritas-minoritas pada bidang agama bisa menjadi tragedi besar, bila ditumpangi dengan muatan politik-ideologis ataupun
ketimpangan dalam kesempatan kinerja ekonomi. Pemahaman-pemahaman tentang pentingnya sikap toleransi, menghargai, tegang rasa serta persamaan perlu diterapkan dalam upaya mengatasi permasalahan mengenai keberagaman di Indonesia. Secara konseptual, multikulturalisme berbeda dengan pluralisme. Pluralisme hanya bertumpu pada sebuah pengakuan terhadap keanekaragaman, tentang kemajemukan atau kebhinekaan bahwa Indonesia terdapat berbagai ras, suku, etnis, agama, dan kebudayaan. Sedangkan multikulturalisme lebih pada pengakuan tetapi juga memberikan ruang untuk akses dan ekspresi bagi semua elemen keanekaragaman dengan bersandar pada jati diri masing-masing dan kemudian saling berkomunikasi tanpa harus saling mematikan satu sama lain.
Salah satu upaya yang dapat diterapkan adalah penumbuhan sikap persamaan antar suku-suku dan pluralistisme melalui pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Pendidikan multikulturalisme yang menjadi perbincangan belakangan ini dalam wacana pendidikan nasional mampu dijadikan tombak dalam menyelesaikan permasalahan keragaman di Indonesia. Paradigma lahirnya pendidikan multikultural di berbagai negara telah menunjukkan peran penting partai-partai politik dan NGO (Non Government Organization), baik yang muncul sebagai perjuangan ras, etnis, kelas-kelas sosial, maupun kepentingan-kepentingan politik (Tilaar, 2004:146 –147). Membangun kesadaran masyarakat tentang makna keadilan, kesetaraan, dan penghargaan, sesungguhnya menjadi misi penting pendidikan multikultural (Tilaar, 2004; Parekh, 2007). Meskipun demikian pendidikan multikultural memiliki beberapa
54 | Kompilasi Esai 54 | Kompilasi Esai
Menurut Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang menjauhi realitas sosial dan budaya. Melainkan pendidikan itu harus mampu
menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengungkapkan suatu kelas sosial sebagai akibat dari kekayaan dan kemakmuran yang diperolehnya. Pendidikan multikulturalisme merupakan respons dari perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap orang. Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan multikultural merupakan salah satu langkah kongkrit dalam mengatasi perbedaan suku, ras, budaya, bahasa yang ada di Indonesia. Pendidikan multikultural atau Multicultural Based Education perlu ditanamkan kepada anak- anak ketika mereka memasuki bangku pembelajaran sekolah. Hal ini dikarenakan, sikap serta perilaku anak-anak tersebut akan mempengaruhi sikap serta perilaku mereka di masa yang akan datang. Jika anak-anak telah diperkenalkan tentang sikap saling menghormati, toleransi, tegang rasa, serta menghargai perbedaan yang ada maka ketika mereka beranjak dewasa, mereka akan mampu menyaring perilaku positif maupun negatif yang berkembang di masyarakat. Namun, pendidikan multikulturalisme tidak hanya diperuntuhkan untuk pelajar saja tetapi masyarakat juga harus mampu mengetahui tentang problematika-problematika permasalahan di Indonesia berkaitan dengan keragaman. Penumbuhan sikap kebhinekaan di kalangan masyarakat Indonesia dapat dilakukan melalui kegiatan seminar dan sosialisasi tentang pentingnya sikap keberagaman.
Pendidikan multikultural merupakan langkah strategis dalam mempersatukan keberagaman di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan multikultural di Indonesia baik dikalangan pelajar maupun mahasiswa dapat dijadiakan sarana dalam mengatasi konflik di Indonesia. Menurut Stephen Hill,
55 | Kompilasi Esai 55 | Kompilasi Esai
bahwa “pendidikan multikultural mendasari dan menjiwai semua mata pelajaran di dalam lembaga formal maupun informal ”.
bahwa pendidikan multikultural akan tercapai jika seluruh elemen baik pemerintah, lembaga, maupun masyarakat mampu bekerja sama dalam mewujudkan keberagaman Indonesia yang harmonis serta sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Alwi, Muhammad. 2011. Belajar Menjadi Bahagia dan Sukses Sejati. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Depdiknas. 2002. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Guru. Jakarta.
Jatmiko, Y.Sari. 2006. Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar.
Undang-undang No.3 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
56 | Kompilasi Esai
Peningkatan Kualitas Keilmuan pada Masa Bonus Demografi