Revitalisasi Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar Sebagai Upaya Peningkatan Potensi Wisata Sejarah

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alkhajar, Eka N. S. 2010. Masa-masa Suram Dunia Perfilman Indonesia. Universitas Sebelas Maret: Semarang.

Antariksa. 2006. Diskusi Tigabelasan: Sejarah Bioskop, dipublikasikan oleh Karbon 7 melalui http://www.karbonjournal.org/ yang diakses pada tanggal 27 Februari 2016. Pengurus Kunci Cultural Studies Center, Jogjakarta.

Budiono, Antonius. 2006. Makalah Seminar Revitalisasi: Arti Baru Bagi Masa Lalu dengan Judul Kebijakan Revitalisasi Kawasan dan Bangunan. Universitas Gunadarma, Jakarta.

Budiyono, D., Nurlaelih, E. E., Djoko R. 2012. Lanskap Kota Malang Sebagai Objek Wisata Sejarah Kolonial: Jurnal Lanskap Indonesia Vol. 4 No. 1 Tahun 2012 Hal. 1-2. Universitas Tribhuwana: Malang, Jawa Timur. Busono, Tjahjani. 2009. Jurnal Eskursi Preservasi, Konservasi, Renovasi Pada

Pemeliharaan Bangunan di Singapura dan Malaysia.

Creswell, John W. 2009. Research Design Pendekatan Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Penterjemah Achmad Fawaid.

Damanik, Janianton dan Weber, Helmut. 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. Pusat Studi Pariwisata Univesitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. 2013. Penataan Ruang dan Revitalisasi Cagar Budaya. Surabaya.


(2)

Fitriyani, Detty. 2014. Optimalisasi Program Perancangan Interior Museum Asia-Afrika. Fakultas Seni Rupa dan Desain ITENAS Bandung: Bandung. Hadinoto. 2010. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa Pada Masa Kolonial.

Jogjakarta: Graha Ilmu.

Hetanews Edisi 02 Februari 2016 dengan judul Bioskop Ria, Riwayatmu Kini Menanti, diakses melalui http://www.hetanews.com/ pada tanggal 01 Maret 2016.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid Ketiga. 2001. Jakarta.

Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Pedoman Revitalisasi Kawasan: Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Bangunan Gedung dan Lingkungan. Makassar.

Kompas Edisi 2013 Mei 2013. Diakses melalui www.kompas.com/ pada tanggal 01 Juni 2016.

Laporan Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Desember 2014. Laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, Desember 2014.

Mackellar, J. 2006. Conventions, Festivals and Tourism: Exploring The Network That Binds, Journal of Convention and Event Tourism, Vol. 8, No. 2 Hal. 45-46.

Marpaung, Happy. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Alfabeta Bandung, Bandung.

Martokusumo, Widjaja. 2008. Revitalisasi, Sebuah Pendekatan Dalam Peremajaan Kawasan: Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 19/


(3)

No. 3 Desember 2008 Hal. 57-73. Kelompok Keahlian Arsitektur SAPPK ITB: Bandung.

Pemerintah Kota Pematangsiantar. 2005. Profil Kota Pematangsiantar. Kota Pematangsiantar.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 18/Prt/M/2010 Tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan.

Priatmodjo, Danang. Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya: Konservasi + Nilai Ekonomi + Manfaat Bagi Masyarakat Luas. Tesis Program Pascasarjana UGM: Jogjakarta.

Saleh, I. N. S. 2004. Kajian Aspek Hukum Konservasi Cagar Budaya Terhadap Pelestarian dan Pengembangan Pariwisata Kota Gede. Tesis Program Pascasarjana UGM: Jogjakarta.

Shipley, R. dan Kovacs, J. F. 2008. Good Governance Principles for The Cultural Heritage. International Conference on Tourism and Heritage Management: Jogjakarta.

Sugiyono. 2001. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung.

Susanto, Adi. 2014. Revitalisasi Situs Tugurejo Sebagai Sarana Edukasi dan Pengembangan Potensi Wisata Budaya di Kecamatan Tugu. Pendidikan Sejarah IKIP Veteran: Semarang

Tamaladi, Patricia Elida. 2012. Mengenang yang Akan Datang: Kajian Terhadap Konsep Bioskop Sebagai Ruang Publik. Jurnal Retorik Vol. 3 No. 1: Sejarah dan Produksi Ruang Bioskop yang dipublikasikan oleh website Film Indonesia melalui http://www.filmindonesia.or.id/, diakses


(4)

pada tanggal 18 Maret 2016. Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta.

Tjasmadi, H. M. Johan. Sejarah Bioskop. 1992. Sinematek Indonesia : Jakarta. Undang-undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.


(5)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif mengenai kondisi Gedung Bioskop Ria saat ini, pendapat masyarakat mengenai keuntungan maupun kerugian keberadaan gedung bioskop ini serta dampak gedung ini di kawasan pusat kota. Penelitian kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Taylor dan Bogdan, 1984), dengan mengandalkan data-data dari kunjungan lapangan ke salah satu bangunan yang menjadi objek penelitian.

3.2 Gambaran Umum 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kota Pematangsiantar, tepatnya di Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar. Kota Pematangsiantar terletak di Provinsi Sumatera Utara dan merupakan kota kedua terbesar di provinsi Sumatera Utara.

Provinsi Sumatera Utara terletak di 1o-4o LU dan 98o-100o BT dengan Luas Wilayah 72.981,23 km2 dan terdiri dari 25 Kabupaten/ Kota (BPS Provinsi Sumatera Utara, Desember 2014).

Kota Pematangsiantar terletak pada 2o53‟20”-3o01‟00” LU dan 99o01‟00”_99o06‟3-” BT dengan ketinggian 400-500 mdpl. (BPS Kota Pematangsiantar, 2014). Kota Pematangsiantar memiliki luas 55,66 km2 dengan 8


(6)

Kecamatan dan 53 Kelurahan, jumlah penduduk 245.104 jiwa, kepadatan penduduk 4.404 jiwa/ km2, dengan perbandingan jumlah laki-laki 119.582 jiwa dan 125.522 perempuan jiwa (BPS Provinsi Sumatera Utara, Desember 2014).

Kota Pematangsiantar tergolong daerah tropis dan berkontur relatif datar, memiliki iklim sedang dengan suhu maksimum rata-rata 30,3oC dan suhu minimum rata-rata 21,1oC pada tahun 2014.

Untuk menuju Kota Pematangsiantar, dapat ditempuh melalui jalur darat, baik dengan menggunakan Bus umum, maupun dengan jasa kereta api. Sarana dan prasarana jalan di Kota Pematangsiantar bisa dikatakan cukup baik dan memadai untuk digunakan. Para pengunjung dapat mengelilingi kota kecil ini dengan angkutan kota atau dengan transportasi legenda, Becak BSA (www.google.co.id).

Gambar 3.1 Peta Lokasi Kota Pematangsiantar Sumber : www.maps.google.com


(7)

3.2.2 Lokasi Objek Penelitian

Gedung Bioskop Ria terletak di Kecamatan Siantar Barat, tepatnya di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 1, berjarak sekitar 300 m dari pusat kota (Kantor Pos Pematangsiantar). Gedung bioskop ini terdiri atas dua lantai dengan kondisi bangunan di sekitarnya berupa toko, rumah warga dan lapangan, lahan parkirnya telah digunakan sebagai tempat berjualan para pedagang kecil setiap harinya. Kondisi bangunan bioskop ini juga terlihat kumuh, terlantar dan gelap ketika malam hari karena kondisi sekitanya dilengkapi lampu jalan yang kurang memadai.

Gedung bioskop ini di sebelah Selatan berbatasan dengan Lapangan Haji Adam Malik Pematangsiantar (dulu disebut Lapangan Simarito), sebelah Utara berbatasan dengan Bank Mandiri Cabang Sudirman Pematangsiantar, sebelah Timur berbatasan dengan Taman Bunga Pematangsiantar (dulu disebut Lapangan Merdeka) dan sebelah Barat berbatasan langsung dengan Eks Rumah Dinas Bupati Simalungun.


(8)

Peta Kecamatan Siantar Barat

Gambar 3.2 Peta Lokasi Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar Sumber : www.maps.google.com

3.2.3 Potensi Objek Dalam Kawasan

Letaknya yang berada pada persimpangan Jalan Sudirman dan Jalan Merdeka yang merupakan Jalan Lintas Sumatera menjadikan gedung ini berpotensi untuk menjadi salah satu destinasi wisata sejarah. Selain itu, kemungkinan besar setelah potensi ini dimanfaatkan dan dikembangkan, akan memberi dampak positif bagi kawasan sekitarnya yang notebene merupakan


(9)

kawasan bersejarah. Gedung ini bisa menjadi pusat wisata sejarah yang terhubung dengan banyak tempat wisata lainnya di kota ini, bisa menjadi tempat untuk memperkenalkan tentang Kota Pematangsiantar bagi banyak orang dan otomatis mendukung perekonomian masyarakat setempat.

Pengaruh letaknya juga dapat mengajak wisatawan yang akan menuju Medan dari tempat wisata yang sedang dikembangkan saat ini (Tobasa dan sekitarnya) untuk melewati kawasan ini dan diharapkan dapat berwisata sejarah di kota ini dalam sekali perjalanan. Perjalanan wisata yang dapat dilewati antara lain adalah dimulai dari Jalan Gereja-Jalan Sudirman-Jalan Merdeka yang memiliki banyak tempat wisata sejarah yang dapat dikunjungi.

Potensi lainnya selain dari segi letaknya yang strategis, yaitu bangunan ini masih terbilang memiliki kondisi yang baik. Bentuk arsitekturalnya masih bertahan dan dapat terlihat jelas karakteristik bangunan gedung ini. Hanya butuh beberapa perawatan kecil seperti pengecatan ulang seluruh gedung dan memperbaiki beberapa bagian dari gedung yang mulai ada keretakan. Gedung ini bisa berfungsi lagi walaupun tidak sepenuhnya seperti fungsi awal gedung ini, yaitu sebagai bioskop.


(10)

`

U

n

iv

e

r

s

ita

s

Su

m

a


(11)

(12)

(13)

(14)

(15)

3.3 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Sugiyono, 2001) Sampel dalam penelitian ini, yaitu Gedung Bioskop Ria Pematangsiantar. Adapun pendukung sampel tersebut adalah 100 orang responden yang diambil secara acak pada kawasan sekitar objek penelitian.

3.4 Variabel

Menurut Sugiyono (2001), variabel bebas (independen) adalah variabel yang mempengaruhi suatu yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (dependen). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar, sedangkan variabel terikatnya adalah Wisata Sejarah di Kota Pematangsiantar. Dengan kata lain, keberadaan Bioskop Ria Kota Pematangsiantar dapat meningkatkan potensi Wisata Sejarah di Kota Pematangsiantar. Variabel-variabel tersebut dikelompokkan menjadi variabel fisik yang dapat dilihat pada Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar dan variabel non fisik yang mempengaruhi serta menjadi pendukung Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar.

Variabel fisik dan non fisik dapat dilihat pada tabel 3.1 dan Tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.1 Variabel Fisik

Variabel Fisik Indikator Deskripsi

Material Bangunan Material seluruh bangunan

Atap bangunan Badan bangunan Keamanan dan kenyamanan Kondisi bangunan Fasilitas pada bangunan


(16)

Variabel Fisik Indikator Deskripsi Temperatur dan pencahayaan

Nilai Sejarah Bentuk bangunan

Gaya arsitektur bangunan Hubungan letak bangunan dengan kawasan bersejarah

Aksesibilitas

Transportasi

Jenis transportasi yang dapat digunakan

Sirkulasi Jalan dan pedestrian

Fasilitas Pendukung Bangunan Pada Kawasan Bersejarah

Sarana dan prasarana

Penginapan

Ruang publik/ wisata sejarah Trotoar, lampu jalan, dll.

Tabel 3.2 Variabel Non Fisik

Variabel Non

Fisik Indikator Deskripsi

Ekonomi Wujud ekonomi Potensi lokal dan aktifitas ekonomi di sekitar kawasan gedung

Sosial Pandangan Masyarakat Pengaruh keberadaan gedung yang tidak berfungsi terhadap interaksi sosial masyarakat

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan data-data berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan secara langsung di tempat penelitian, sedangkan data sekunder adalah data yang didapat dari hasil kajian pustaka baik itu dari buku, jurnal maupun referensi lainnya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Observasi, wawancara, kuesioner dan studi literatur.


(17)

Secara singkat, metode prngumpulan data dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3 Metode Pengumpulan Data

Jenis Data Data Metode Pengumpulan Data

Data Primer

Bentuk Fisik Bangunan Bioskop Ria

Kota Pematangsiantar Observasi langsung (pengambilan gambar) Ukuran gedung Bioskop Ria Kota

Pematangsiantar

Data sejarah gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar

Wawancara

Pendapat masyarakat mengenai gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar

Kuesioner Sistem Angket

Data Sekunder

Data sejarah gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar

Studi Literatur melalui jurnal, buku, thesis dan referensi

internet

3.5.1 Observasi

Observasi adalah sebuah metode dengan melakukan pengamatan dimana peneliti mengambil catatan terhadap perilaku, aktifitas dan kegiatan di lokasi penelitian. Catatan tersebut dapat dibuat secara terstruktur maupun semi terstruktur (Creswell, 2009). Dalam penelitian ini, objek yang akan diobservasi adalah Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar.

Variabel dan indikator teknik pengumpulan data melalui observasi dapat dilihat pada tabel 3.4 berikut:


(18)

Tabel 3.4 Variabel dan data yang diambil dengan Metode Observasi

Variabel Data yang diambil

Material Bangunan Foto eksterior dan interior bangunan

Kondisi Bangunan

Ukuran bangunan

Gambar siteplan, denah dan tampak bangunan Gambar suasana bangunan dalam kawasan

Sarana dan Prasarana

Foto keadaan jalan dan pedestrian sekitar bangunan Pemetaan hubungan bangunan dengan fasilitas umum Tata Letak Bangunan Pemetaan hubungan bangunan dengan kawasan bersejarah

3.5.2 Wawancara

Wawancara merupakan metode tanya jawab dengan responden baik melalui telepon atau tatap muka secara langsung. Wawancara melibatkan pertanyaan terstruktur maupun tidak terstruktur untuk memperoleh pandangan dan pendapat dari responden (Creswell, 2009). Wawancara dalam penelitian ini melibatkan para tetua, pemuka masyarakat, sejarahwan, pemerintah kota dan pemerintah provinsi. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang akan digunakan dalam wawancara ini antara lain:

a. Kapan tepatnya gedung bioskop ini dibangun? Siapa pendirinya? b. Apa fungsi gedung bioskop ini pada awalnya?

c. Pernahkah gedung bioskop ini mengalami perubahan fisik, baik eksterior maupun interiornya?

d. Mengapa gedung bioskop ini tidak berfungsi lagi?

e. Apakah ada pengaruh tidak berfungsinya gedung bioskop ini terhadap Kota Pematangsiantar?


(19)

f. Apakah ada rencana pemerintah daerah untuk mengembalikan gedung bioskop ini ke fungsi semula?

3.5.3 Kuesioner

Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang akan digunakan oleh periset untuk memperoleh data dari sumbernya secara langsung malalui proses komunikasi atau dengan mengajukan pertanyaan (Jhon Hendri, 2009).

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang potensi dan fungsi baru yang paling sesuai dan menarik jika Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar kembali difungsikan. Kuesioner tersebut disebarkan secara acak kepada masyarakat Kota Pematangsiantar. Daftar pertanyaan kuesioner dapat dilihat pada lampiran.

3.5.4 Studi Literatur

Studi literatur didapatkan peneliti dari dokumen yang bersifat kualitatif. Dokumen ini bisa berupa dokumen publik (misalnya koran, buku atau laporan resmi) dan dokumen pribadi (misalnya jurnal pribadi, buku harian, surat dan e-mail) (Creswell, 2009). Kajian pustaka melalui studi literatur dalam penelitian ini mengambil data dari buku-buku, jurnal-jurnal, koran-koran dan laporan penelitian yang telah dilaksanakan.


(20)

3.6 Metode Analisa Data

Metode analisa data dalam penelitian ini adalah dengan mendeskripsikan data yang telah diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan kuesioner. Adapun tahapan yang dilakukan:

a. Mengumpulkan data sejarah gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar dari berbagai dokumen, buku, laporan, jurnal dan wawancara terhadap serajahwan, pemuka masyarakat, pemerintah kota dan pemerintah provinsi.

b. Survei lapangan untuk mengumpulkan data-data fisik bangunan Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar, yaitu berupa pengambilan gambar, mengamati dan menentukan karakteristik bangunan, ukuran bangunan, gambar denah bangunan, gambar tampak bangunan, mendata bagian-bagian yang mengalami kerusakan yang butuh perbaikan ringan, sedang maupun berat. c. Membagikan kuesioner kepada responden yang telah dipilih oleh peneliti. d. Setelah semua data fisik dan sejarah terkumpul dan dianalisa serta kuesioner

telah terisi sesuai jumlah yang telah ditentukan, dilakukan analisa terhadap kuesioner yang telah dibagikan dan diisi oleh para responden yang telah dipilih peneliti untuk mengetahui fungsi yang sesuai terhadap bangunan Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar jika dilakukan revitalisasi.

e. Hasil analisa tersebut kemudian disimpulkan oleh peneliti dengan merancang fungsi baru yang paling sesuai terhadap Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar.


(21)

Peta Kecamatan Siantar Barat BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar

4.1.1 Gambaran Umum dan Sejarah

Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 1, Kecamatan Siantar Barat, Kota Pematangsiantar. Lahan dengan luas 2013 m2 ini memiliki bangunan dua lantai dengan parkiran mobil dan sepeda motor di bagian samping kiri dan kanan bangunan.

Gambar 4.1 Eksisting Gedung Bioskop Ria Sumber : Olah Data

JALAN PERINTIS KEMERDEKAAN

JALAN MERDEKA JALAN

SUDIRMA

N LAPANGAN MERDEKA/ TAMAN BUNGA


(22)

Wawancara dengan beberapa sumber antara lain Pemerintah Kota (Dinas Pariwisata, Kebudayaan Pemuda dan Olahraga serta Dinas Tata Ruang dan Permukiman), penjaga gedung dan beberapa anggota Dewan Pers Kota Pematangsiantar diperoleh data bahwa Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar dibangun pada tahun 1953 dan mulai aktif beroperasi pada tahun 1955. Pada awal dibangun, gedung ini bernama Boskop Rio dan tidak memiliki ruang arsip khusus. Namun, karena faktor kebutuhan, gedung ini direnovasi pada tahun 1989 dengan menambahkan satu ruang arsip di lantai dua bangunan.

Gambar 4.2 Perbandingan kondisi gedung sebelum dan sesudah renovasi Sumber : Olah Data

Gedung ini sudah tidak berfungsi sejah tahun 2003, kemudian sejak tahun 2005 gedung ini tidak lagi mengalami perawatan. Penjaga gedung yang juga merupakan Karyawan PDAIJ (Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa) Sub Unit Hiburan dalam wawancara mengatakan bahwa alasan utama gedung bioskop tidak berfungsi adalah karena gedung bioskop tersebut tidak mendukung perekonomian kota, sedangkan ditinjau dari segi Arsitektur, gedung ini tidak sesuai dengan guna lahan di sekitar kawasan.

Teori Danang mengatakan bahwa, bangunan yang telah ada memiliki


(23)

lebih murah daripada membuat bangunan baru. Urban renewal dan adaptive reuse merupakan salah satu metode revitalisasi terhadap bangunan yang nilai ekonominya mengalami penurunan. Sejalan dengan kasus yang dialami gedung ini, revitalisasi adaptive reuse dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk meningkatkan fungsi gedung dan mendukung perekonomian kota.

Gedung ini terdiri dari banyak ruang. Pada lantai dasar bangunan, terdapat ruang-ruang yaitu: Lobby, Loket, Mushalla, Ruang Tunggu, Toilet, Ruang Penonton yang berupa tribun, Gudang dan Ruang Peralatan. sedangkan pada lantai dua hanya terdapat Ruang Arsip, Ruang Proyektor dan Kantor Pengelola.

Gambar 4.3 Denah Gedung Bioskop Ria Sumber : Olah Data

4.1.2 Gaya Arsitektur

Bangunan Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar ditinjau dari segi Arsitektur, memiliki Gaya Arsitektur Nieuwe Bouwen. Gaya Arsitektur ini merupakan gaya yang berkembang setelah masa Kolonial Belanda di Indonesia.


(24)

Pada masa tahun 50-an, Nieuwe Bouwen umumnya terlihat pada bangunan yang berkaitan dengan modal dan ekonomi (Kompas Edisi 23 Mei 2013).

Nieuwe Bouwen memiliki ciri secara umum, yaitu terdapat menara pada bangunan dan dominan berwarna putih pada fasadnya. Selain itu, Nieuwe Bouwen juga menonjolkan bentuk geometri kotak-kotak pada fasadnya. Umumnya di Indonesia, Arsitektur Nieuwe Bouwen hanyalah sebuah ekspresionisme dari perancang (Hadinoto, 2010).

Gambar 4.4 Gaya Arsitektur Nieuwe Bouwen pada Bangunan Bioskop Ria Sumber : Olah Data

Gambar 4.5 Menara dilihat dari dalam bangunan Sumber : Olah Data

Fasade yang berbentuk seperti menara dan menonjolkan bentukan geometri kotak kotak


(25)

Gaya arsitektur Nieuwe Bouwen pada gedung ini menjadi salah satu nilai historis yang penting untuk dikenang, dipahami dan dihormati oleh masyarakat. Memelihara bangunan dan lingkungan yang bernilai historis melalui revitalisasi dapat menunjukkan penghormatan kita kepada masa lalu, yang merupakan bagian dari eksistensi masa lalu. Gaya arsitektur yang merupakan salah satu kekhasan atau nilai sejarah pada bangunan ini mampu menjadi daya tarik yang mendatangkan wisatawan ke tempat ini. Kondisi ini sejalan dengan teori Martokusumo yang menjabarkan tentang manfaat dari revitalisasi.

4.1.3 Kondisi Bangunan Saat Ini

Kondisi objek penelitian setelah diobservasi ke lapangan adalah cukup buruk pada sebagian bangunan. Atap dan sebagian dinding bangunan di bagian tribun penonton telah mengalami kerusakan berat, sedangkan bagian bangunan lainnya seperti ruang kantor, ruang peralatan, loket, ruang ibadah dan toilet masih dalam kondisi baik. Hanya ada kerusakan kecil pada bagian jendela dan pintu.

Gambar 4.6 Kondisi ruang & tribun penonton pada Gedung Bioskop Ria Sumber : Dokumentasi pribadi, 2016


(26)

Gambar 4.8 menunjukkan atap bangunan yang sudah rusak karena tidak mengalami perawatan sejak tahun 2005, sedangkan ruang tribun penonton telah dijadikan tempat penyimpanan gerobak dagang para pedagang yang berjualan di sekitar gedung tersebut.

Gambar 4.7 Kondisi Ruang Arsip pada Gedung Bioskop Ria Sumber : Dokumentasi pribadi, 2016

Gambar 4.8 Kondisi ruang peralatan dan peralatan yang

masih terdapat di Gedung Bioskop Ria

Sumber : Dokumentasi pribadi, 2016

Upaya revitalisasi terhadap gedung dapat dilakukan mengingat kondisi interior gedung (terkhusus pada lantai 1) saat ini dapat dikatakan sangat buruk.


(27)

Ditinjau dari segi infrastruktur fisik dan sosial tidak layak lagi untuk dihuni. Upaya revitalisasi berupa memberikan fungsi baru terhadap gedung dapat menjadi salah satu jalan keluar. Revitalisasi sebagai upaya mempertahankan aset kota yang mulai rusak dapat menjadi daya dukung bagi perekonomian dan wisata sejarah bagi kota ini (Martokusumo, 2008).

4.2 Kawasan Bersejarah Sebagai Pendukung Bangunan

4.2.1 Sarana, Prasarana dan Ruang Publik Kawasan Objek Penelitian a. Sirkulasi Pedestrian dan Jalan

Gambar 4.9 Kondisi jalan & pedestrian di kawasan sekitar objek penelitian Sumber : Olah Data dan Dokumentasi pribadi, 2016

Kondisi pedestrian di kawasan objek penelitian pada umumnya baik dengan lebar 2 meter dan tinggi sekitar 18 cm dari badan jalan.


(28)

Data jalan:

Jalan Merdeka

Lebar Jalan : 12 meter

Garis Sempadan Bangunan (GSB) : 10 meter

Kondisi baik, beraspal, sistem satu jalur dan merupakan Jalan Lintas Sumatra

Jalan Sudirman

Lebar Jalan : 10 meter

Garis Sempadan Bangunan (GSB) : 6 meter Kondisi baik, beraspal, sistem satu jalur

Jalan Perintis Kemerdekaan

Lebar Jalan : 10 meter

Garis Sempadan Bangunan (GSB) : 6 meter Kondisi baik, beraspal, sistem satu jalur

Kondisi pedestrian dan jalan yang pada umumnya sudah baik menjadi pendukung upaya revitalisasi gedung yang akan dilakukan. Pedestrian dan jalan yang menjadi penghubung antara kawasan bersejarah dengan gedung bioskop menjadi salah satu akses penting yang perlu dipertahankan kondisinya agar selalu baik sehingga maksimal dalam pemanfaatannya. Martokusumo dalam teorinya tentang revitalisasi mengatakan bahwa aset lingkungan yang menonjol seperti bangunan


(29)

bernilai sejarah dapat direvitalisasi apabila memiliki infrastruktur dalam kota yang relatif memadai.

b. Ruang Terbuka

Ruang terbuka yang terdapat di kawasan Pusat Kota antara lain: Lapangan H. Adam Malik dan Lapangan Merdeka (Taman Bunga). Sebagai fasilitas umum, keberadaan ruang terbuka ini belum cukup maksimal dalam pemanfaatannya. Terutama taman bunga yang letaknya persis di seberang gedung bioskop. Sekeliling taman berpagar putih ini juga kurang terawat. Banyak yang perlu dibenahi antara lain: toilet umum dan mushalla yang dipenuhi dengan serakan sampah. Pedagang juga banyak menjajakan makanannya dan membentangkan tikar secara sembarangan di taman ini.

Gambar 4.10 Kondisi taman bunga sekarang Sumber : Dokumentasi pribadi, 2016

Ruang terbuka yang kurang maksimal dalam pemanfaatannya ini juga didukung dari hasil jajak pendapat dengan responden. Adapun hasil jajak pendapat dengan responden melalui kuesioner yang telah diisi dapat dilihat pada Gambar 4.13 berikut:


(30)

61

92 59

88

39 8

41 12

0 20 40 60 80 100

Lapangan Merdeka/ Taman Bunga dipagari Membayar biaya retribusi jika masuk ke

Lapangan Merdeka/ Taman Bunga Lapangan H. Adam Malik menjadi tempat

pertunjukan budaya dan seni Penanaman pohon dan bunga di tengah

Lapangan H. Adam Malik

Tidak setuju Setuju

Gambar 4.11 Diagram distribusi jawaban mengenai ruang terbuka

di Kawasan Pusat Kota

Sumber : Olah Data, 2016

Pernyataan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum dalam Pedoman Revitalisasi Kawasan yaitu: salah satu manfaat dari revitalisasi sebuah aset bernilai sejarah adalah meningkatnya kualitas ruang kota/ kawasan. Manfaat dari usaha revitalisasi pada gedung bioskop dapat berupa sebuah pembenahan terhadap taman bunga sebagai bagian dari ruang kota. Pembenahan yang bisa dilakukan dapat dilihat pada gambar 4.13 berikut:


(31)

Gambar 4.12 Usulan pembenahan Taman Bunga Sumber : Olah Data dan Dokumentasi pribadi, 2016

c. Penerangan

Gambar 4.13 Kondisi penerangan pada malam hari di sekitar objek penelitian Sumber : Dokumentasi pribadi, 2016


(32)

Pada Jalan Merdeka, khususnya area sederetan kantor Pemerintah Kota, penerangan mencukupi, sementara di area sekitar Lapangan Merdeka/ Taman Bunga, penerangan sangat sedikit, sehingga pada malam hari di area taman tersebut sangat gelap.

Sedangkan pada Jalan Sudirman, khususnya di Lapangan H. Adam Malik, penerangan juga mencukupi, namun di sekitar objek penelitian, penerangan hanya sedikit.

Penerangan di sekitar gedung bioskop menjadi pengaruh negatif terhadap fungsi gedung. Suasana sekitarnya yang gelap membuat masyarakat tidak mau melewati kawasan ini. Penerangan di sekitar gedung bioskop yang berada di kawasan bersejarah hendaknya dilakukan pembenahan oleh Pemerintah Kota.

Sejalan dengan pandangan Martokusomo bahwa salah satu penyebab dari penurunan dimensi kinerja sebuah kawasan kota adalah kondisi lingkungan yang buruk. Kondisi buruk tersebut mempercepat proses degradasi lingkungan yang dipastikan justru kontra produktif terhadap proses kehidupan sosial budaya yang sehat.


(33)

4.2.2 Tata Guna Lahan

Gambar 4.14 Tata Guna Lahan di Kawasan Objek Penelitian Sumber : Olah Data, 2016

Tata guna lahan di kawasan Pusat Kota Pematangsiantar sebagian besar merupakan bangunan komersil. Pada bagian yang berdekatan dengan Gedung Bioskop Ria, sebagian besar merupakan bangunan Kantor Swasta maupun Pemerintah. Dari hasil obeservasi, dapat disimpulkan bahwa, letak Gedung

Lapangan H. Adam Malik

Lapangan Merdeka/ Taman Bunga

Jalan Merdeka Jalan Sudirman

Lapangan H. Adam Malik


(34)

Bioskop Ria yang berada pada kawasan perkantoran menjadi salah satu penyebab tidak berfungsinya gedung tersebut.

Sesuai dengan teori Martokusumo tentang Penetapan Kriteria dan Rencana Revitalisasi. Ada tiga poin penting yang dapat mendukung dilaksanakannya revitalisasi terhadap Gedung Bioskop Ria, yaitu:

a. Tingkat kepadatan bangunan dan manusia melampaui batas daya dukung lahan dan kemampuan infrastruktur (sarana dan prasarana) yang ada. b. Efektifitas pemanfaatan lahan sangat rendah, akibat terjadinya penurunan

aktifitas/ kegiatan atau dengan kata lain under utilised. Hal ini dapat pula diakibatkan oleh alokasi fungsi yang tidak tepat, termasuk lahan lahan yang tidak memiliki fungsi jelas. Gedung Bioskop Ria termasuk salah satu bangunan yang memiliki efektifitas pemanfaatan lahan yang sangat rendah akibat terjadinya penurunan aktifitas/ kegiatan.

c. Lahan memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut, karena letaknya yang sangat strategis bagi pengembangan tata kota dan tingkat percepatan pembangunan yang tinggi.

4.2.3 Aktifitas Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan

Aktifitas yang terdapat di pusat kota, terkhusus pada area yang berdekatan dengan gedung bioskop kebanyakan adalah olahraga pada pagi hari dan berdagang pada siang dan malam hari. Aktifitas yang dilakukan terkonsentrasi di ruang terbuka yang terdapat di pusat kota, diantaranya adalah di pinggiran Lapangan H. Adam Malik dan di dalam Taman Bunga.


(35)

Berdagang ; 22

Rekreasi; 22 Olahraga;

30 Lain-lain;

26

Gambar 4.16 berikut menunjukkan aktifitas yang terdapat di pusat kota pada pukul 10.00 pagi, pukul 14.00 siang dan pukul 18.00 sore.

Gambar 4.15 Diagram distribusi jawaban menurut aktivitas yang dilakukan Sumber : Olah Data, 2016

Dari Gambar 4.16 dapat dilihat bahwa pengunjung Kawasan Pusat Kota kebanyakan beraktifitas olahraga (di Lapangan Merdeka atau Lapanga H. Adam Malik), sebanyak 30 orang atau 30 %, kemudian dilanjutkan dengan aktifitas berdagang sebanyak 22%, Rekreasi 22% dan aktifitas lainnya, seperti hanya sekedar jalan melewati kawasan pusat kota, bimbingan belajar sebanyak 26%.

Ketika Hari Besar Nasional yang bersifat kenegaraan, misalnya pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan pusat kota diisi dengan berbagai aktifitas seperti upacara pada pagi hari di Lapangan H. Adam Malik dilanjutkan dengan pawai alat musik tradisional simalungun sepanjang jalan Merdeka-Sutomo dan diakhiri dengan berbagai perlombaan di Lapangan H. Adam Malik dan Taman Bunga. Aktifitas-aktifitas yang bersifat kebudayaan tersebut bisa menjadi pendukung revitalisasi yang akan dilakukan terhadap Gedung Bioskop Ria. Gedung ini bisa menjadi salah satu wadah terselenggaranya berbagai aktifitas yang bersifat kebudayaan lokal di kota ini.


(36)

Gambar 4.16 Salah satu kegiatan budaya yang dilakukan di Lapangan H. Adam Malik

pada Perayaan HUT Pematangsiantar


(37)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap Gedung Bioskop Ria dan Kawasan pendukungnya, dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Gedung Bioskop Ria layak dijadikan sebuah cagar budaya karena telah memenuhi beberapa syarat antara lain:

 Gedung telah berusia lebih dari 50 tahun.

 Mewakili keunikan bentuk arsitektural yang menunjukkan masanya.

 Memiliki nilai penting bagi sejarah, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

b. Gedung Bioskop Ria yang tidak berfungsi dikarenakan oleh beberapa faktor antara lain : gedung tersebut kurang/ tidak lagi mendukung perekonomian kawasan, perawatan terhadap gedung yang tidak lagi dilakukan lebih kurang sepuluh tahun terakhir membuat kondisi gedung menjadi kurang layak untuk digunakan serta penggunaan lahan yang kurang sesuai dengan peruntukan Gedung Bioskop Ria

c. Gedung Bioskop Ria memiliki gaya arsitektur yang unik sehingga layak untuk tetap dipertahankan. Selain itu, gedung ini juga berada di posisi strategis, dilewati oleh Jalan Lintas Sumatra dan berada pada kawasan yang bernilai sejarah. Gedung ini juga berdekatan dengan fasilitas umum dan tempat wisata lainnya di Kota Pematangsiantar.


(38)

d. Banyak aktifitas yang rutin dilakukan di kawasan Pusat Kota Pematangsiantar, salah satunya adalah aktifitas kebudayaan lokal. Aktifitas ini seharusnya bisa menjadi pendukung tambahan kembalinya fungsi Gedung Bioskop Ria.

5.2 Saran

Dari beberapa kesimpulan yang telah dijelaskan, ada beberapa saran yang dapat diajukan terhadap Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar sebagai berikut :

a. Memasukkan gedung bioskop ke dalam daftar cagar budaya karena telah memenuhi beberapa syarat penetapan cagar budaya.

b. Kembali dilakukan perawatan terhadap Gedung Bioskop Ria sebagai sebagai bangunan yang bernilai sejarah.

c. Melakukan perbaikan di beberapa tempat, antara lain pada dinding gedung, pada atap dan beberapa pintu dalam bangunan.

d. Ruang terbuka hijau yang berdekatan dengan gedung bioskop (Lapangan H. Adam Malik dan Taman Bunga) dimaksimalkan pemanfaatannya supaya aktifitas ruang dalam kawasan tetap terlihat hidup.

e. Failitas umum yang terdapat dalam kawasan diperbaiki sehingga bisa digunakan lebih maksimal oleh masyarakat umum yang datang ke pusat kota.


(39)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Revitalisasi

2.1.1 Pengertian Revitalisasi

Revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai ekonomi lahan melalui pembangunan kembali suatu bangunan untuk meningkatkan fungsi bangunan sebelumnya (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 18/Prt/M/2010).

Revitalisasi bertujuan untuk mengembalikan vitalitas ataupun daya hidup sebuah bangunan atau kawasan pada suatu kota. Umumnya revitalisasi dapat dikaitkan dengan proses peremajaan bangunan, dimana intervensi yang dilakukan dapat mencakup aspek fisik dan non fisik (ekonomi, sosial budaya, dll.). Selama dua dekade terakhir praktek peremajaan dan revitalisasi bangunan telah terjadi beberapa perubahan dan perkembangan konseptual dalam kebijakan penataan lingkungan binaan (Martokusumo, 2008).

Bila dikaitkan dengan paradigma keberlanjutan, revitalisasi merupakan sebuah upaya untuk mendaur ulang (recycle) aset perkotaan untuk memberikan fungsi baru, meningkatkan fungsi yang ada atau bahkan menghidupkan kembali fungsi yang pernah ada. Namun, dapat dipastikan tujuannya adalah untuk menciptakan kehidupan baru yang produktif serta mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya dan terutama kehidupan ekonomi kota (Martokusumo, 2008). Hubungan revitalisasi dengan peremajaan, rehabilitasi dan redevelopment dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini :


(40)

Rehabilitasi (Rehabilitation) : a. Surface Rehabilitation

Perubahan hanya sebatas kulit luar bangunan

b. Deep Rehabilitation Perubahan fisik yang signifikan

Revitalisasi (Revitalisation) :

Upaya meningkatkan fungsi bangunan melalui peningkatan kualitas lingkungan, dengan mepertimbangkan aspek sosial budaya dan karakteristik kawasan

Redevelopment:

Proses peremajaan yang ditandai dengan adanya perubahan total terhadap struktur fisik dan morfologi bangunan fungsional kota (pembangunan kembali) untuk peningkatan fungsi bangunan.

Gambar 2.1 Skema Hubungan Peremajaan, Rehabilitasi,

Redevelopment dengan Revitalisasi

Sumber : Martokusumo, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 2008

Sementara itu, Budiono (2006) mengaitkan revitalisasi sebagai rangkaian upaya untuk menata kembali suatu kondisi kawasan maupun bangunan yang memiliki potensi dan nilai strategis dengan mengembalikan vitalitas suatu kawasan yang mengalami penurunan, agar kawasan-kawasan tersebut mendapatkan nilai tambah yang optimal terhadap produktivitas ekonomi, sosial dan budaya kawasan perkotaan.

Vitalitas kawasan adalah kualitas suatu kawasan yang dapat mendukung kelangsungan hidup warganya dan mendukung produktivitas sosial, budaya, dan ekonomi dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan fisik, dan/atau mencegah kerusakan warisan budaya (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 18/Prt/M/2010).

Peremajaan (Renewal):

Perubahan fisik kawasan yang terjadi karena tuntutan kegiatan/ aktifitas ekonomi atau kekuatan sosial


(41)

Penetapan kriteria dan rencana revitalisasi kawasan dapat dilakukan dengan menelaah penyebab penurunan kinerja kawasan. Dimensi penurunan kinerja sebuah kawasan kota dapat mencakup hal-hal sebagai berikut (Martokusumo, 2008):

a. Kondisi lingkungan yang buruk, artinya ditinjau dari segi infrastruktur fisik dan sosial tidak layak lagi untuk dihuni. Kondisi buruk tersebut mempercepat proses degradasi lingkungan yang dipastikan justru kontra produktif terhadap proses kehidupan sosial budaya yang sehat.

b. Tingkat kepadatan bangunan dan manusia melampaui batas daya dukung lahan dan kemampuan infrastruktur (sarana dan prasarana) yang ada.

c. Efektifitas pemanfaatan lahan sangat rendah, akibat terjadinya penurunan aktifitas/ kegiatan atau dengan kata lain under utilised. Hal ini dapat pula diakibatkan oleh alokasi fungsi yang tidak tepat, termasuk lahan-lahan yang tidak memiliki fungsi yang jelas.

d. Lahan memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut, karena misalnya letak yang sangat strategis bagi pengembangan tata kota, dan tingkat percepatan pembangunan yang tinggi.

e. Batasan luas lahan yang cukup, harga memadai dan proses pembebasan lahan memungkinkan.

f. Memiliki aset lingkungan yang menonjol, seperti peninggalan bersejarah (bangunan dan lingkungan) yang tidak tergantikan, misalnya tradisi penduduk yang khas terhadap pemanfaatan lanskap/ ruang hidupnya


(42)

(cultural landscape), unsur alami yang menarik, sumber tenaga kerja, infrastruktur dasar yang relatif memadai.

2.1.2 Manfaat Revitalisasi

Konservasi sebagai suatu proses memelihara place untuk mempertahankan nilai-nilai estetik, sejarah, ilmu pengetahuan dan sosial yang berguna bagi generasi lampau, sekarang dan masa yang akan datang, termasuk di dalamnya maintenance sangat tergantung kepada keadaan termasuk juga preservation, restoration, reconstruction, adaptation (revitalisation) dan kombinasinya. Maintenance bertujuan memberi perlindungan dan pemeliharaan yang terus menerus terhadap semua material fisik dari place, untuk mempertahankan kondisi bangunan yang diinginkan. Jenis pekerjaan pemeliharaan rutin juga bisa berupa perbaikan. Perbaikan mencakup restoration dan reconstruction, dan harus diperlakukan semestinya. Kerusakan-kerusakan yang harus diperbaiki bisa diakibatkan oleh proses alami, seperti kerapuhan, lapuk, kusam atau proses pemakaian, seperti goresan, pecah dsb (Busono, 2009).

Revitalisasi, sebagai bagian dari pelestarian atau konservasi memiliki beberapa manfaat bagi masyarakat di sebuah ruang kota, diantaranya adalah : a. Identitas dan Sense of Place

Peninggalan sejarah merupakan satu-satunya penghubung kita dengan masa lalu, menghubungkan kita dengan suatu tempat tertentu.


(43)

b. Nilai Sejarah

Dalam proses perjalanan sebuah bangsa, terdapat peristiwa-peristiwa yang penting untuk dikenang, dihormati dan dipahami oleh masyarakat. Memelihara bangunan dan lingkungan yang bernilai historis menunjukkan penghormatan kita kepada masa lalu, yang merupakan bagian dari eksistensi masa lalu.

c. Nilai Arsitektur

Salah satu alasan memelihara lingkungan dan bangunan bersejarah adalah karena nilai intristiknya sebagai karya seni, dapat berupa hasil pencapaian yang tinggi, contohnya seperti laggam atau seni tertentu yang menjadi landmark sebuah tempat.

d. Manfaat Ekonomi

Bangunan yang telah ada seringkali memiliki keunggulan ekonomis tertentu. Bukti empiris menunjukkan bahwa pemanfaatan bangunan yang sudah ada seringkali lebih murah daripada membuat bangunan baru. Di negara maju, proyek konservasi telah berhasil menjadi pemicu revitalisasi lingkungan kota yang sudah menurun kualitasnya, melalui urban renewal dan adaptive-reuse. e. Pariwisata dan Rekreasi

Kekhasan atau nilai sejarah suatu tempat telah terbukti mampu menjadi daya tarik yang mendatangkan wisatawan ke tempat tersebut.

f. Sumber Inspirasi

Banyak tempat dan bangunan bersejarah yang berhubungan dengan rasa patriotisme, gerakan sosial serta orang dan peristiwa penting di masa lalu.


(44)

g. Edukasi

Lingkungan, bangunan dan artefak bersejarah melengkapi dokumen tertulis tentang masa lampau. Melalui ruang dan benda tiga dimensi sebagai laboratorium, orang dapat belajar dan memahami kehidupan dalam kurun waktu yang menyangkut peristiwa, masyarakat atau individu tertentu, serta lebih menghormati lingkungan alam.

Manfaat revitalisasi lainnya menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum (2013) adalah sebagai berikut :

a. Peningkatan kualitas ruang kota/ kawasan b. Menguatnya identitas kota/ kawasan c. Terselamatkannya aset pusaka kota

d. Meningkatnya vitalitas/ produktivitas ekonomi perkotaan

2.2 Bioskop

2.2.1 Pengertian Bioskop

Bioskop adalah pertunjukan yang diperlihatkan dengan gambar (film), yang disorot sehingga dapat bergerak (berbicara); gedung pertunjukan film cerita

(Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001). Secara populer ”Bioskop” dikenal sebagai

gedung atau tempat pertunjukan film untuk umum dengan dipungut biaya ataupun bayaran.

Bioskop berasal dari bahasa yunani, gabungan suku kata bios = hidup dan skoein = melihat atau mengamati. Sejak awal kehadirannya di Indonesia diterjemahkan sebagai gambar hidoep. Secara khusus “Bioskop” diartikan sebagai


(45)

tempat bercengkrama (rendevous) bagi pembuat (sinears) dengan penggemar/ pecinta seni film dan alur seni (Tjasmadi, 1992).

2.2.2 Sejarah Bioskop

Gedung Bioskop pertama di dunia dibuka pada tanggal 16 Juni 1889. Bangunan permanen yang dirancang khusus untuk memutar film itu berada di

Perancis, tepatnya di Kota Pelabuhan La Ciotat dan diberi nama L‟ Eden Theatre

(www.konstelasi.com). Meskipun pemutaran film bioskop pertama di dunia terjadi pada tahun 1846, namun pemutaran film tersebut diadakan di sebuah gedung pertunjukan musik Koster & Bials Music Hall (http://cyberman.cbn.net.id).

Gambar 2.2 Gedung Bioskop pertama di dunia Sumber : www.konstelasi.com

Pertunjukan Bioskop pertama di Indonesia hadir di Tanah Abang pada 5 Desember 1900 di rumah seorang Belanda kaya yang diubah dan diisi dengan susunan kursi-kursi. Pertunjukan filmnya diselenggarakan oleh De Nederlandsch Bioscope Maatschppij. Mereka menjual tiket dengan harga yang sangat mahal,


(46)

sehingga mayoritas penontonnya adalah orang-orang Belanda. Gedung bioskop pertama mulai didirikan pada tahun 1903 di beberapa tempat di Batavia. Dengan munculnya gedung bioskop, sedikit demi sedikit seni pertunjukan tradisional keliling juga mulai ditinggalkan, puncaknya terjadi pada tahun 1930-an (www.karbonjournal.org).

Gambar 2.3 Salah satu gedung bioskop pertama di Indonesia, terdapat di Batavia Sumber : KITLV Collection

Bioskop sebagai salah satu bentuk ruang publik khas budaya urban mengalami perkembangan menarik yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah kota dan negara, serta dari dinamika global. Dalam konteks Asia Tenggara, bioskop hadir sebagai warisan kolonial dengan warna yang beragam, tergantung pada sejarah kolonialisme di masing-masing negara (yaitu, pengaruh jajahan Belanda, Amerika Serikat, Spanyol dan Inggris). Bentuk dan tata ruang bioskop serta aktifitas manusia di dalamnya kemudian berkembang dengan berbagai variasi, berkaitan antara lain dengan perbedaan kelas sosial, dengan perkembangan teknologi dan dengan budaya hiburan. Sebagai bagian dari dinamika itu pun pada


(47)

akhirnya banyak gedung bioskop beralih fungsi atau lenyap sama sekali (www.filmindonesia.or.id).

2.2.3 Bioskop Ria Kota Pematangsiantar

Bioskop di Kota Pematangsiantar mulai berkembang di tahun 1970-an. Salah satunya adalah Bioskop Ria. Bioskop Ria Kota Pematangsiantar berdiri sekitar tahun 1955 dengan Arsitektur Kolonial Belanda. Data sejarah mengenai gedung bioskop ini sangat terbatas, sehingga sulit untuk menemukan fakta mendalam mengenai gedung bioskop ini.

Data sejarah yang ada mengenai perkembangan perfilman di bioskop-bioskop di Kota Pematangsiantar menyebutkan bahwa pada masa dahulu, bioskop-bioskop diminati masyarakat. Masa kejayaan bioskop di Kota Pematangsiantar terjadi pada era 1970-1980-an. Sebelum menyandang nama Bioskop Ria, bioskop ini memiliki nama Bioskop Rio dan hanya menayangkan layar tancap hingga tahun 1970-an.

Gambar 2.4 Gedung Bioskop Rio (Sekarang „Ria‟) pada tahun 1955-1965

Sumber : KITLV Collection

Gedung bioskop tersebut pada saat ini sudah tidak berfungsi lagi. Hal ini diakibatkan oleh menurunnya minat masyarakat terhadap pertunjukan film dalam


(48)

gedung bioskop. Banyak orang beralih minat dari bioskop ke video VHS, dilanjutkan oleh Video Compact Disc (VCD) bajakan yang murah dan produk lanjutannya yang dapat ditonton sendiri di rumah. Akhirnya bioskop ini ditutup pada tahun 2003 dan diserahkan menjadi aset Provinsi Sumatera Utara. Setelah sekian dekade tidak berfungsi, gedung bioskop ini disewakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara kepada pihak swasta selama 30 tahun dan akan dibangun sebuah pusat perbelanjaan di Kota Pematangsiantar (www.hetanews.com).

Gambar 2.5 Gedung Bioskop Ria Pada Masa Sekarang Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015

2.3 Pariwisata

2.3.1 Pengertian Pariwisata

Pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia, barang dan jasa yang sangat kompleks. Ia terkait erat dengan organisasi, hubungan-hubungan kelembagaan dan individu, kebutuhan, layanan, penyediaan kebutuhan layanan dan sebagainya (Damanik dan Weber, 2006).

Pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan-pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Aktifitas dlakukan selama mereka tinggal di tempat yang dituju dan fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka (Marpaung, 2002).


(49)

Pariwisata adalah industri yang paling besar di dunia saat ini bila dilihat dari jumlah orang yang terlibat maupun uang yang beredar di dalamnya. Bersama-sama dengan sektor pertanian dan industri manufaktur, pariwisata adalah ujung tombak perekonomian dunia. Industri pariwisata terbentuk dari 7 unsur, yaitu : a. Informasi Wisata

b. Biro Perjalanan c. Transportasi d. Aksesibilitas e. Destinasi Wisata f. Atraksi Wisata

g. Unsur Penunjang (seperti pendidikan pariwisata maupun pemasaran) Infrastuktur, sumber daya alam dan budaya merupakan syarat penting keberhasilan pariwisata. Demikian halnya dengan keinginan baik (public goodwill) dan keramahtamahan penduduk daerah tujuan wisata. Kedua hal diatas merupakan faktor-faktor yang mendukung pelaksanaan pariwisata pusaka (heritage tourism).

Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Berdasarkan motivasi wisatawan serta atraksi yang terdapat di daerah tujuan wisata maka kegiatan pariwisata dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu pariwisata yang bersifat massal dan pariwisata minat khusus. Jika pada


(50)

pariwisata jenis pertama lebih ditekankan pada aspek kesenangan (leisure) maka pada tipe kedua penekanannya adalah pada aspek pengalaman dan pengetahuan (Cahyadi, Gunawijaya, 2009).

Menurut Damanik dan Weber, ada beberapa peran mutlak yang menjadi tanggungjawab pemerintah terhadap pariwisata, yaitu :

a. Penegasan dan konsistensi tentang tata guna lahan untuk pengembangan kawasan wisata, termasuk kepastian hak kepemilikan, sistem persewaan dan sebagainya.

b. Perlindungan lingkungan alam dan cagar budaya untuk mempertanyakan daya tarik objek wisata, termasuk aturan pemanfaatan sumber daya lingkungan tersebut.

c. Penyediaan infrastuktur (jalan, pelabuhan, bandara dan angkatan pariwisata). d. Fasilitas fiskal, pajak, kredit dan ijin usaha yang tidak rumit agar masyarakat

lebih terdorong untuk melakukan wisata dan usaha-usaha kepariwisataan semakin cepat berkembang.

e. Keamanan dan kenyamanan berwisata melalui penugasan polisi khusus pariwisata di kawasan wisata dan uji kelayakan fasilitas wisata (kendaraan, jalan dan lain-lain).

f. Jaminan kesehatan di daerah tujuan wisata melalui sertifikasi kualitas lingkungan dan mutu barang yang digunakan wisatawan.

g. Penguatan kelembagaan pariwisata dengan cara memfasilitasi perluasan jaringan kelompok dan organisasi kepariwisataan.


(51)

h. Pendampingan dalam promosi wisata, yakni perluasan dan intensifikasi jejaring kegiatan promosi di dalam dan luar negeri.

i. Regulasi persaingan usaha yang memungkinkan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk berusaha di sektor pariwisata, melindungi UKM wisata, mencegah perang tarif dan sebagainya.

j. Pengembangan sumber daya manusia dengan menerapkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja pariwisata dan akreditasi lembaga pendidikan pariwisata.

2.3.2 Jenis-jenis Pariwisata

Menurut Pendit (1994), pariwisata dapat dibedakan menurut motif wisatawan untuk mengunjungi suatu tempat. Jenis-jenis pariwisata tersebut adalah sebagai berikut :

a. Wisata Budaya atau Sejarah b. Wisata Maritim atau Bahari

c. Wisata Cagar Alam (Taman Konservasi) d. Wisata Konvensi

e. Wisata Pertanian (Agrowisata) f. Wisata Buru

g. Wisata Ziarah

Masih banyak jenis-jenis wisata lain, tergantung pada kondisi dan situasi perkembangan dunia kepariwisataan di suatu daerah atau negeri, dan selera atau daya kreativitas para ahli profesional yang berkecimpung dalam bisnis industri


(52)

pariwisata. Semakin kreatif dan banyak gagasan-gagasan yang dimiliki oleh mereka yang mendedikasikan hidup mereka bagi perkembangan dunia kepariwisataan, semakin bertambah pula bentuk dan jenis wisata yang dapat diciptakan bagi kemajuan industri ini.

Swarbrooke dan Horner (1999) membagi jenis-jenis wisata dalam beberapa bagian, yaitu:

a. Visiting Friends And Relatives (VFR)

Pada dasarnya, VFR adalah keinginan untuk bertemu dan berkumpul bersama keluarga, teman, dan/ relasi yang berada/ tinggal di tempat yang berlainan sehingga wisatawan mendapatkan nuansa/ pemandangan baru.

b. Wisata Bisnis (Business Tourism)

Wisata bisnis adalah wisata yang ada hubungannya dengan kegiatan bisnis. Seperti seminar, konferensi, kunjungan ke perusahaan, kunjungan ke potential customer, launching product, dan sebagainya.

c. Wisata Pilgrim (Religious Tourism)

Wisata Pilgrim adalah jenis wisata yang berhubungan dengan agama, sejarah, adat istiadat, dan kepercayaan yang di anut oleh wisatawan. Tujuan wisatawan melakukan perjalanan wisata ini dengan niat untuk mendapatkan ketenangan dan kekuatan batin, keteguhan iman, memperoleh restu, dan banyak juga yang bertujuan untuk mencari kekayaan dan berkah.

d. Wisata Kesehatan (Health Tourism)

Wisata kesehatan adalah perjalanan wisata ke suatu tempat untuk tujuan kesehatan, seperti pengobatan penyakit, pengembalian vitalitas, penyegaran


(53)

jasmani, dan kebugaran tubuh. Jenis kunjungan ini disebut wisata karena wisatawan mendapatkan berbagai bentuk hiburan di sela-sela kegiatannya. e. Wisata Sosial (Social Tourism)

Sebuah kegiatan yang banyak melibatkan orang-orang untuk tujuan sosial. Jenis liburan yang disubsidi dalam beberapa cara, baik oleh instansi pemerintah atau sektor sukarela seperti organisasi non-profit atau serikat pekerja.

f. Wisata Pendidikan (Educational Tourism)

Wisata Pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu penjalanan wisata dengan tujuan untuk memperoleh pendidikan dan memperluas wawasan wisatawan mengenai suatu fenomena. Seperti pertukaran pelajar, dimana seorang pelajar melakukan perjalanan keluar negeri untuk mempelajari lebih banyak tentang budaya dan bahasa dari masyarakat di negara tersebut.

g. Wisata Budaya (Cultural Tourism)

Wisata budaya adalah perjalanan wisata yang dilakukan untuk memperluas pengetahuan tentang seni, adat istiadat, cara hidup, kebiasaan, dan budaya dari tempat yang dikunjungi.

h. Wisata Alam (Scenic Tourism)

Kegiatan wisata untuk melihat pemandangan alam yang spektakuler dapat di sebut sebagai wisata alam. seperti mengunjungi lokasi Air terjun, hiking, melihat matahari terbit dari puncak gunung, dan sebagainya.

i. Wisata Hedonistik (Hedonistic Tourism)

Wisata Hedonistik adalah suatu wisata yang yang dimotivasi oleh keinginan


(54)

dan sex. Semua kegiatan wisata yang di lakukan akan berhubungan dengan

empat „S‟ tersebut.

j. Wisata Aktivitas (Activity Tourism)

Wisata aktivitas adalah sebuah kegiatan wisata yang didasarkan pada keinginan akan sebuah pengalaman dan pandangan baru mengenai suatu objek wisata. k. Wisata Minat Khusus (Special Interest Tourism)

Wisata minat khusus adalah jenis kegiatan wisata untuk menikmati minat tertentu di lokasi yang baru atau lokasi yang familiar, atau mengembangkan minat baru di lokasi yang baru atau lokasi yang familiar (Swarbrooke and Horner, 1999)

Menurut Soetomo (1994), yang didasarkan pada ketentuan WATA (World Association of Travel Agent), wisata adalah perjalanan keliling selama lebih dari tiga hari yang dilaksanakan oleh wisatawan. Pengertian wisata lebih menekankan pada kegiatan yang dilakukan oleh wisatawan dalam suatu perjalanan pariwisata.

2.4 Wisata Sejarah

2.4.1 Pengertian Wisata Sejarah

Pariwisata berbasis sejarah merupakan komponen di bidang pengembangan kepariwisataan yang saat ini makin gencar dilakukan karena pertimbangan bahwa setiap daerah memiliki sejarah yang berbeda dan unik yang tidak dimiliki daerah lain (Mackellar, 2006).

Orientasi pengembangan pariwisata berbasis sejarah sangat menarik untuk dikembangkan, di satu sisi memberikan dampak positif bagi penerimaan daerah


(55)

dan di sisi lain memberikan manfaat bagi penumbuh-kembangan industri kreatif yang berpengaruh bagi peningkatan pendapatan per kapita di daerah (Saleh, 2004).

Riset tentang wisata berbasis sejarah banyak dilakukan dengan berbagai model pendekatan, misalnya dari aspek arsitektur, arkeologi, historis, keterlibatan atau partisipasi publik, cost budgeting, konservasi, sosio-ekonomi-budaya dan juga eksibisi yang dipromosikan (Shipley dan Kovacs, 2008).

Wisata sejarah (historic tourism) adalah salah satu bentuk wisata budaya. Wisata budaya sendiri didefinisikan sebagai perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan mengadakan kunjungan, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan dan adat istiadat, cara hidup, budaya dan seni suatu daerah (Budiyono et al., 2012).

Pariwisata sejarah di berbagai belahan dunia saat ini menjadi populer karena memberi pengalaman tersendiri bagi para wisatawan. Salah satu tempat wisata sejarah yang paling terkenal saat ini adalah Tembok Besar di negara Cina (Great Wall, China). Tembok besar Cina merupakan sebuah tembok raksasa yang membentang sepanjang 6.350 km. Tembok besar ini dibangun pada masa pemerintahan Kaisar Qin Shihuang (lebih dikenal dengan nama Shi Huang Ti) pada tahun 221 SM, kemudian rancangannya disempurnakan pada masa Dinasti Ming pada tahun 1368-1644. Ujung barat Tembok Besar Cina berakhir di Top Lake, sedangkan ujung Timurnya berakhir di Shanhaiguan, Laut Bohai. Shanhaiguan atau Shanhai Pass dijuluki sebagai “Old Dragon’s Head” atau


(56)

Dua tempat favorit wisatawan adalah Changtai Tower dan Nereus Temple. Changtai Tower merupakan bangunan dua lantai dengan pondasi kayu dan bata, berfungsi sebagai menara pemantau. Sementara itu, Nereus Temple merupakan sebuah kuil bersejarah dari masa Dinasti Qing, dulunya menjadi tempat berdoa para kaisar kepada leluhur sebelum melanjutkan perjalanan ke sebelah Timur Laut Cina (www.ilmusiana.com).

Gambar 2.6 Changtai Tower, salah satu tempat favorit wisatawan Sumber : www.google.co.id

Wisatawan yang berkunjung ke Tembok Besar Cina selalu ramai dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2001 sebanyak 2,5 juta wisatawan datang ke tempat ini dalam setahun dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 70.000 pengunjung dalam sehari (www.chinahighlights.com).

Tempat wisata sejarah di Indonesia juga tak kalah menarik dibanding tempat-tempat lainnya di luar negeri. Salah satu tempat wisata sejarah yang terkenal di Indonesia adalah kawasan Kota Tua Jakarta. Kota Tua Jakarta terletak


(57)

di Provinsi DKI Jakarta dengan luas kawasan 1,3 kilometer persegi. Kawasan Kota Tua Jakarta memiliki banyak gedung-gedung bersejarah peninggalan jaman Kolonial Belanda. Bangunan-bangunan tersebut berupa lima buah museum (Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Museum Fatahillah, Museum Seni Rupa dan Keramik Indonesia serta Museum Wayang), Gedung Pos Indonesia, Gedung Kerta Niaga, Cafe Batavia, dan Rumah Merah. Terdapat juga area terbuka yang pada akhir pekan dijadikan tempat kegiatan seni dan budaya Indonesia. Dalam kawasan ini, pengunjung dapat berbelanja barang-barang yang dijual pedagang kaki lima ataupun berkeliling dengan menyewa sepeda onthel (www.indotravellers.com).

Gambar 2.7 Kawasan Kota Tua Jakarta Sumber : www.google.co.id

Daya tarik yang terdapat di Kawasan Kota Tua ini adalah museum-museum yang letaknya berdekatan sehingga pengunjung bisa mencapainya dengan berjalan kaki dari satu museum ke museum lain. Pengunjung dapat menikmati dan belajar mengenai sejarah di masa perjuangan hingga kemerdekaan Indonesia di Jakarta melalui museum-museum yang terdapat di kawasan ini (www.indotravellers.com).


(58)

Provinsi Sumatera Utara juga memiliki destinasi wisata berbasis sejarah. Salah satunya adalah Istana Maimun yang terdapat di Kota Medan. Istana Maimun merupakan peninggalan Kerajaan Deli yang saat itu disebut juga Istana Putri Hijau. Istana Maimun dibangun pada tanggal 28 Agustus 1888 oleh Sultan Mahmud Al Rasyid dan selesai pada tanggal 18 Mei 1891. Bangunan istana terdiri dari dua lantai dengan tiga bagian, yaitu bangunan induk, bangunan sayap kanan dan bangunan sayap kiri. Istana didesain dengan gaya tradisional Melayu dan pola India Islam (Moghul) yang terlihat dari bentuk lengkungan atap.

Gambar 2.8 Istana Maimun, Medan Sumber : www.google.co.id

Selain dapat menambah pengetahuan tentang sejarah Kerajaan Deli di Kota Medan, wisatawan juga dapat menyewa baju adat melayu dan berfoto layaknya bangsawan Melayu pada jaman dahulu.


(59)

2.4.2 Tempat-tempat Wisata di Kota Pematangsiantar

Pematangsiantar, merupakan salah satu kota yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara memiliki karakteristik Kota Kolonial yang masih terlihat. Gedung-gedung atau benda-benda bersejarah masih dapat terlihat di kota ini. Namun, belum satupun benda bersejarah di kota ini terdaftar sebagai benda cagar budaya. Beberapa tempat wisata termasuk wisata sejarah di Kota Pematangsiantar dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Daftar Beberapa Tempat Wisata di Kota Pematangsiantar

Jenis Wisata Objek

Jarak Lokasi dari Pusat Kota (km)

Keterangan

Wisata Pendidikan

Taman Hewan 0,80 km

Rahmat International Wildlife Museum & Gallery

1 km

Wisata Kesehatan

Lapangan Merdeka (Taman Bunga) 0,30 km Kolam Renang Detis Sari Indah 1 km Kolam Renang Siantar Hotel 0,80 km

Gedung Olahraga 1,70 km Bangunan Bersejarah

Wisata Alam

Permandian Karang Anyar 5 km

Permandian Sampuran 3 km

Taman Rekreasi Rindam 3 km

Permandian Timuran 6 km

Air Terjun Serbelawan 8 km

Kolam Renang Tirta Yudha (Bah Sorma)

4,10 km


(60)

Jenis Wisata Objek

Jarak Lokasi dari Pusat Kota (km)

Keterangan

Sejarah GKPS Sudirman 0,15 km Bangunan Bersejarah

HKBP Martoba 1,5 km Bangunan Bersejarah

Siantar Hotel 0,5 km Bangunan Bersejarah

Monumen Perjuangan Rakyat 0,40 km Situs Bersejarah Lapangan H. Adam Malik 0,23 km Kawasan Bersejarah Mesjid Raya Siantar 0,80 km Bangunan Bersejarah

Wisata Religi

Vihara Avalokitesvara 2,54 km

Gereja Katolik St. Laurensius 1,50 km Bangunan Bersejarah Wisata Ziarah Makam Raja Siantar 1,16 km Kawasan Bersejarah

Wisata Sosial Siantar Waterpark 6 km

Wisata Kuliner

Toko Roti Ganda 1 km

Kuliner Siantar City Square 1,64 km

Miramar Restaurant 1 km

Rumah Makan Asmara Murni 1 km

Rumah Makan Garuda 2,83 km

Bakso Kota Cak Man 2 km

Rumah Makan Beringin Indah 4 km

Crystal Palace 2 km

Siantar Restaurant 0,8 km

Kedai Kopi Sedap 1 km

Mega Land City 3 km

Kedai Kopi Kok Tong 1,14 km Bangunan Bersejarah Kawasan Simpang Empat 0,60 km

Wisata Belanja

Pasar Horas 1 km Bangunan Bersejarah


(61)

Jenis Wisata Objek

Jarak Lokasi dari Pusat Kota (km)

Keterangan

Supermarket Ramayana 2,26 km

Supermarket Hypermart 5 km

2.5 Revitalisasi Untuk Pengembangan Wisata Sejarah

Secara ringkas, revitalisasi bangunan cagar budaya seyogianya mengandung tiga unsur perlakuan, yaitu :

a. Konservasi, yaitu pemeliharaan serta perbaikan bagian-bagian yang rusak (pemugaran)

b. Pemberian nilai ekonomi, yaitu penambahan fungsi atau perubahan fungsi sesuai dengan kebutuhan manusia masa kini, sehingga alih-alih menjadi cost center bangunan cagar budaya hendaknya menjadi profit center.

c. Pemilihan jenis penggunaan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas, dengan demikian bangunan cagar budaya tidak menjadi sarana atau wadah kegiatan yang eksklusif (Priatmojo, 2009).

Pendekatan ekonomi sebagai hasil kebijakan memang sangat penting, tetapi aspek lain juga perlu mendapat perhatian, sebab keberhasilan dari pengembangan sektor kepariwisataan pasca revitalisasi tidak hanya dipengaruhi oleh objek wisata, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor (Adi et al, 2012).

Masyarakat lokal terutama penduduk yang bermukim disekitar kawasan wisata menjadi pemain kunci dalam pariwisata, karena merekalah yang akan menyediakan berbagai produk dan kualitas produk pariwisata. Dalam upaya pengembangan pariwisata pemerintah harus lebih memberdayakan masyarakat


(62)

lokal, di samping perencanaan yang matang dan bersinergi dengan berbagai kepentingan (Susanto, 2014).

Hubungan antara revitalisasi untuk pengembangan wisata sejarah yang berdampak pada meningkatnya perekonomian secara singkat dapat dilihat pada gambar 2.9 berikut ini:

Gambar 2.9 Skema hubungan Revitalisasi untuk Pengembangan Wisata Sejarah dengan

peningkatan perekonomian pada suatu kawasan/ kota

2.6 Studi Kasus Proyek Sejenis

2.6.1 Revitalisasi Goedang Ransoem, Sawahlunto, Sumatera Barat

Museum Gedung Ransum didirikan pada tahun 1918. Dulunya museum ini dibangun untuk dijadikan dapur umum, tempat memasak untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi para buruh tambang. Pada saat dapur umum ini dibangun, Pemerintah Kolonial sudah memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memasak, yaitu dengan menggunakan teknologi uap panas. Sejak tahun 1945, Dapur Umum tidak lagi efektif sebagai penyedia kebutuhan makanan bagi

Berfungsi Tidak Berfungsi

Difungsikan kembali pasca revitalisasi Kawasan/ Gedung Bersejarah

Menjadi Objek Wisata Sejarah

Meningkatkan Perekonomian

Faktor Pendukung Utama : Masyarakat Lokal, Pemerintah, Perencanaan yang


(63)

Indonesia (TKRI). Pada tahun 1948, dapur umum kembali beralih fungsi menjadi tempat memasak makanan bagi tentara Belanda. Aktifitas memasak di dapur umum berhenti sejak tahun 1950. Pada tahun 1950-1960, Dapur Umum dimanfaatkan sebagai tempat penyelenggaraan Administrasi PT. BO, kemudian beralih bangunan ini berubah fungsi menjadi tempat pendidikan formal setingkat SMP pada tahun 1970-2005. Hingga sekarang, bangunan ini difungsikan menjadi tempat hunian bagi karyawan tambang (www.wisatakandi.com).

Gambar 2.10 Kondisi Goedang Ransoem sebelum revitalisasi Sumber : Pedoman Revitalisasi Kawasan, 2011

Melihat latar belakangnya, bekas dapur umum tersebut begitu banyak menyimpan sejarah perjalanan Kota Sawahlunto. Seiring visi dan misi Pemerintah Daerah yang mencanangkan, bahwa pada tahun 2020, Sawahlunto menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya, maka bekas dapur umum ini ditetapkan menjadi Museum Gudang Ransum oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla (www.wisatakandi.com).


(64)

Gambar 2.11 Kondisi Goedang Ransoem setelah revitalisasi Sumber : Pedoman Revitalisasi Kawasan, 2011

2.6.2 Revitalisasi Gedung Arsip Nasional, Jakarta

Bangunan ini yang awalnya adalah rumah tinggal seorang petinggi VOC bernama Reinier de Klerk yang merupakan Gubernur-Jendral Hindia-Belanda XXXI. Rancangan dasar kompleks bangunan ini dibuat sendiri oleh de Klerk. Bangunan utamanya mengikuti model closed Dutch style atau Indische Woonhuizen dengan ciri tanpa beranda, baik di bagian depan maupun di belakangnya. Konon model ini sesuai untuk rumah di daerah tropis. Jendela-jendela berukuran besar dan jumlahnya relatif banyak merupakan ciri lain dari rumah tropis di samping langit-langit yang tinggi.


(65)

Gambar 2.12 Gedung Arsip Nasional sebelum Konservasi Sumber : www.google.co.id

Sepeninggal de Klerk bangunan ini telah berganti-ganti kepemilikannya. Sampai akhirnya pada tahun 1925, setelah dipakai untuk kantor dinas pertambangan, pemerintah memutuskan untuk menjadikannya Landsarchief atau Arsip Negara. Berbagai perbaikan dilakukan, taman-taman di bagian depan dan belakang rumah induk dikembalikan seperti semula. Paviliun diperbaiki untuk menyesuaikan dengan fungsi barunya. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda pada 1949, Arsip Negara diubah menjadi Kantor Arsip Negara yang berada di bawah Departemen PP&K. Pada 1961 diubah lagi menjadi Gedung Arsip Nasional hingga sekarang.

Namun seiring usianya yang semakin menua, perlahan-lahan gedung mulai mengalami pelapukan di sana sini, terutama yang berbahan kayu. Sistem drainase yang dirancang sebelumnya sudah tidak lagi memadai. Sehingga ketika terjadi hujan, air menggenang di sekitar bangunan. Keadaan lingkungan di kiri-kanan yang padat bangunan, di sepanjang Jl. Gajah Mada, ikut menyebabkan genangan itu. Melihat kondisi yang demikian itu sejumlah pengusaha asal Belanda di Jakarta tergerak untuk melakukan pemugaran demi pelestariannya. Maka pada


(66)

1993 dibentuklah Stichting Commite Cadeau Indonesie (SCCI) atau Yayasan Komite Hadiah Indonesia di Belanda, yang bertugas menghimpun dana.

Gambar 2.13 Suasana Gedung Arsip Nasional setelah Revitalisasi,

dapat dijadikan tempat resepsi pernikahan

Sumber : www.google.co.id

Revitalisasi dan renovasi melibatkan perusahaan konsultan dan kontraktor utama, yakni PT Han Awal Architects & Partners, Budi Liem Architects & Partners, PT Decorient-Balast Joint Operation Project, dan PT MLD (Belanda). Dalam proyek ini dilibatkan juga ahli-ahli lain, di antaranya beberapa arkeolog dari Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditbinjarah), Dirjen Kebudayaan, Depdikbud RI. Pemugaran bangunan diarahkan ke kondisi sebelum 1925, yang tidak lain adalah bangunan yang didirikan de Klerk. Sebab, ketika masih sebagai Landsarchief pada 1925, beranda pada kedua paviliun di belakang rumah induk ditutup untuk kepentingan penyimpanan arsip. Sekarang setelah mengalami renovasi, kompleks Gedung Arsip Nasional mengalami banyak sekali perubahan, selain aspek fisik yaitu tampilan bangunan yang mengalami peremajaan, aspek fungsi bangunan juga mengalami pertambahan. Selain dapat difungsikan sebagai tempat penyimpanan dokumen dokumen bersejarah, bangunan ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu obyek


(67)

wisata sejarah di Jakarta, bahkan ada yang pernah juga menggunakan sebagai tempat resepsi pernikahan.

2.6.3 Revitalisasi Gedung Merdeka, Bandung

Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) merupakan museum khusus untuk mengabadikan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang berlangsung pada tahun 1955 di Gedung Merdeka. KAA berperan besar bagi perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia dan Afrika yang pada waktu itu berada dalam kolonialisasi bangsa Eropa. Museum KAA telah terdaftar dalam Peraturan Daerah No. 19 Tahun 2009 sebagai salah satu Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung. Museum KAA terletak di Jalan Asia Afrika No. 65 Bandung. Bangunan yang sekarang berfungsi sebagai Museum KAA dibangun pada tahun 1895. Pada tahun tersebut tempat ini hanya berupa bangunan sederhana, yang sebagian dindingnya terbuat dari papan dan penerangan halamannya memakai lentera minyak tanah. Bangunan ini berada di sudut jalan Groote Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika) dan Bragweg (sekarang Jalan Braga). Sisi sebelah kanannya berdekatan dengan kali Tjikapoendoeng (Cikapundung) yang sejuk karena banyak ditumbuhi pohon rindang (http://asianafrican-museum.org/).


(68)

Gambar 2.14 Gedung Concordia tahun 1895 Sumber : http://asianafrican-museum.org/

Pada tahun 1921, dilakukan pembenahan pada gedung tersebut agar lebih menarik, yaitu dengan cara merenovasi bagian sayap kiri bangunan oleh perancang C. P. Wolf Schoemaker dengan gaya arsitektur Art Deco. Gedung ini berubah wajah menjadi gedung pertemuan super club yang paling mewah, lengkap, eksklusif dan modern di Nusantara (http://asianafrican-museum.org/).

Gambar 2.15 Gedung Concordia tahun 1921 Sumber : http://asianafrican-museum.org/

Societeit Concordia kembali mengalami perombakan pada tahun 1940 dengan gaya arsitektur International Style oleh Arsitek A. F. Albers. Bangunan gaya arsitektur ini bercirikan dinding tembok plesteran dengan atap mendatar,


(69)

tampak depan bangunan terdiri dari garis dan elemen horizontal, sedangkan bagian gedung bercorak kubisme (http://asianafrican-museum.org/).

Gambar 2.16 Gedung Concordia tahun 1949 Sumber : http://asianafrican-museum.org/

Pada masa pendudukan Jepang, bangunan utama gedung ini berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan yang digunakan sebagai pusat kebudayaan. Sedangkan bangunan sayap kiri gedung diberi nama Yamato yang berfungsi sebagai tempat minum-minum, yang kemudian terbakar (1944).

Setelah Proklamasi Kemerdekan Indonesia (17 Agustus 1945), gedung ini dijadikan markas pemuda Indonesia menghadapi tentara Jepang dan selanjutnya menjadi tempat kegiatan Pemerintah Kota Bandung. Pada masa pemerintahan presiden pertama (1946 – 1950), fungsi gedung dikembalikan menjadi tempat rekreasi.

Menjelang Konferensi Asia Afrika, gedung itu mengalami perbaikan dan diubah namanya oleh Presiden Indonesia, Soekarno, menjadi Gedung Merdeka pada 7 April 1955. Setelah terbentuk Konstituante Republik Indonesia sebagai hasil pemilihan umum tahun 1955, Gedung Merdeka dijadikan Gedung Konstituante. Ketika konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959,


(70)

gedung ini dijadikan tempat kegiatan Badan Perancang Nasional (Bapenas), kemudian diubah menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dari tahun 1960-1971. Pada 1965, di gedung tersebut berlangsung Konferensi Islam Afrika Asia (http://asianafrican-museum.org/).

Gambar 2.17 Gedung Concordia menjadi Gedung Medeka tahun 1955 Sumber : http://asianafrican-museum.org/

Setelah meletus pemberontakan G30S tahun 1965, Gedung Merdeka dikuasai oleh instansi militer dan sebagian dari gedung tersebut dijadikan tempat tahanan politik. Pada 1966, pemeliharaan gedung diserahkan dari pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat, yang selanjutnya diserahkan


(71)

Tahun 1968, MPRS mengubah surat keputusannya dengan ketentuan bahwa yang diserahkan adalah bangunan induk gedung, sedangkan bangunan-bangunan lainnya yang terletak di bagian belakang masih tetap menjadi tanggung jawab MPRS. Tahun 1969, pengelolaan gedung diambil alih kembali oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dari Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Bandung (http://asianafrican-museum.org/).

Gambar 2.18 Lokasi Museum Asia Afrika setelah Revitalisasi Gedung Merdeka Sumber : Fitriyani, 2014

Pada Peringatan Konferensi Asia-Afrika ke-25, 8 April 1980, bangunan sayap Gedung Merdeka diresmikan sebagai Museum Konferensi Asia Afrika. Gedung Merdeka dan Museum KAA berada dibawah otoritas Kementrian Luar Negeri, adapun masalah pengelolaan dan pemeliharaan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Fitriyani, 2014).


(72)

Gambar 2.19 Layout dan Storyline Museum Konferensi Asia-Afrika Sumber : Fitriyani, 2014

Gambar 2.20 Tampak Museum Konferensi Asia-Afrika dari arah Timur Sumber : Fitriyani, 2014


(73)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pematangsiantar sebagai salah satu Kota Perdagangan memiliki beragam peninggalan, seperti bangunan bernilai sejarah. Sebagai salah satu kota bernilai sejarah dengan karakteristik Kolonial Belanda, kota ini kini sedang mengembangkan kotanya di sektor pariwisata, khususnya wisata sejarah. Pengembangan sektor tersebut juga didukung dengan menonjolkan kebudayaan dari suku-suku yang ada di kota ini. Pematangsiantar mayoritas didiami oleh suku Batak yang terdiri atas Simalungun, Toba dan Karo.

Pengembangan wisata sejarah yang sedang marak dilakukan di berbagai kota lain di Indonesia seperti Bandung, Padang dan Semarang turut melatarbelakangi kota ini untuk mengembangkan potensi wisata sejarahnya. Rencana ini terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK), yaitu pembentukan jati diri Kota Pematangsiantar yang mempunyai karakteristik berdasarkan pertimbangan historis dan nilai budaya geografis dan fisik kota, potensi sumber daya, fungsi kota dan kajian planologi kota, arsitektur bangunan dan sebagainya, maka dilakukan beberapa pembenahan, baik dari industri maupun dari sektor pariwisata (Profil Kabupaten/ Kota, 2005).

Selain memiliki banyak bangunan bernilai sejarah, letak geografi Pematangsiantar juga diapit oleh Kabupaten Simalungun yang memiliki kekayaan perkebunan karet, sawit, teh, dan pertanian. Kemudian kota ini juga menghubungkan jalan darat ke kabupaten-kabupaten lainnya, seperti Toba


(74)

Samosir, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Selatan. Sehingga, posisinya sangat strategis sebagai kota transit perdagangan antar kabupaten atau transit wisata ke Danau Toba Parapat (Profil Kabupaten/ Kota, 2005).

Kota Pematangsiantar, dalam tahun-tahun terakhir mengalami perkembangan yang lumayan pesat. Sebagai kota nomor dua terbesar di Sumatera Utara setelah Medan, kota sejuk yang khas dengan Becak Siantar, ini terus menerus bermetamorfosis dengan dibangunnya banyak kawasan bisnis. Di tengah gempuran gedung-gedung baru, yang masih khas di Pematangsiantar adalah gedung-gedung tua peninggalan Belanda seperti Siantar Hotel, Gedung Juang 45, dan Balai Kota. Ketiga gedung tersebut berada di pusat kota, menempati ruas jalan protokol. Siantar Hotel dan Balai Kota berseberangan, terpisah oleh taman kota yang luas dan asri (Jurnal Gedung DPRD Siantar, 2005).

Selain ketiga gedung tua peninggalan Belanda tersebut, masih terdapat gedung tua lainnya di pusat kota. Gedung tersebut adalah Gedung Bioskop Ria yang dibangun pada tahun 1953. Data sejarah mengenai gedung bioskop ini sangat sedikit, sehingga sulit untuk menemukan fakta mendalam mengenai gedung bioskop ini.

Bioskop yang telah ditutup pada tahun 2003 dan diserahkan menjadi aset Provinsi Sumatera Utara ini sudah tidak berfungsi lagi sampai sekarang. Setelah sekian dekade tidak berfungsi, dikabarkan gedung bioskop ini telah disewakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera kepada pihak swasta selama 30 tahun dan akan dibangun sebuah pusat perbelanjaan di Kota Pematangsiantar (www.hetanews.com).


(75)

Hal ini menjadi permasalahan tersendiri mengingat gedung ini termasuk salah satu gedung bersejarah di Kota Pematangsiantar yang rentan mengalami penghancuran. Penghancuran tersebut dapat saja terjadi karena Gedung Bioskop ini belum didaftarkan menjadi cagar budaya meskipun sudah memenuhi syarat untuk dijadikan bangunan cagar budaya. (http://bataktoday.com/bioskop-ria-riwayatmu-kini). Nilai-nilai sejarah yang terkandung pada bangunan gedung bioskop ini dapat menjadi potensi wisata sejarah bagi Kota Pematangsiantar. Bangunan ini menjadi satu-satunya gedung bioskop bersejarah yang bangunannya masih utuh, sehingga dapat menjadi salah satu potensi untuk dijadikan destinasi wisata sejarah di Kota Pematangsiantar.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kawasan ini selalu sepi dan kurang diminati untuk dikunjungi karena kurangnya aktifitas ruang di kawasan ini sebagai akibat dari tidak berfungsinya gedung bioskop ini ditambah kawasan sekitarnya juga kurang diperhatikan oleh Pemerintah Daerah Kota Pematangsiantar. Kawasan tersebut antara lain: Lapangan Merdeka (Taman Bunga) dan Lapangan H. Adam Malik.

Revitalisasi sebagai salah satu wujud solusi bagi gedung ini dapat dilaksanakan jika Pemerintah Daerah melaksanakan RTRWK yang telah ditetapkan pada tahun 2012. Dalam RTRWK tersebut dijelaskan bahwa bentuk dukungan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ekonomi melalui sektor pariwisata terutama wisata sejarah adalah dengan melakukan revitalisasi pada kawasan/ bangunan bersejarah yang terdapat di Kota Pematangsiantar (RTRWK 2012-2032, 2012)


(1)

vi

2.2.2 Sejarah Bioskop ... 12

2.2.3 Bioskop Ria Kota Pematangsiantar ... 14

2.3 Pariwisata ... 15

2.3.1 Pengertian Pariwisata ... 15

2.3.2 Jenis-jenis Pariwisata ... 18

2.4 Wisata Sejarah ... 21

2.4.1 Pengertian Wisata Sejarah... 21

2.4.2 Tempat-tempat Wisata di Kota Pematangsiantar ... 26

2.5Revitalisasi Untuk Pengembangan Wisata Sejarah... 28

2.6 Studi Kasus Proyek Sejenis ... 29

2.6.1 Revitalisasi Goedang Ransoem, Sawahlunto, Sumatera Barat ... 29

2.6.2 Revitalisasi Gedung Arsip Nasional, Jakarta ... 31

2.6.3 Revitalisasi Gedung Merdeka, Bandung ... 34

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Gambaran Umum ... 40

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 40

3.2.2 Lokasi Objek Penelitian ... 42

3.2.3 Potensi Objek Dalam Kawasan ... 43

3.3 Sampel ... 50

3.4 Variabel ... 50


(2)

vii

3.5.1 Observasi ... 52

3.5.2 Wawancara ... 53

3.5.3 Kuesioner ... 54

3.5.4 Studi Literatur ... 54

3.6 Metode Analisa Data ... 55

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar ... 56

4.1.1 Gambaran Umum dan Sejarah ... 56

4.1.2 Gaya Arsitektur ... 58

4.1.3 Kondisi Bangunan Saat Ini... 60

4.2 Kawasan Bersejarah Sebagai Pendukung Bangunan ... 62

4.2.1 Sarana, Prasarana dan Ruang Publik di Kawasan Objek Penelitian ... 62

4.2.2 Tata Guna Lahan ... 68

4.2.3 Aktifitas Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan ... 69

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(3)

viii DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Hubungan Peremajaan, Rehabilitasi, Redevelopment

dengan Revitalisasi ... 7

Gambar 2.2 Gedung Bioskop Pertama di Dunia... 12

Gambar 2.3 Salah satu gedung bioskop pertama di Indonesia, terdapat di Batavia ... 13

Gambar 2.4 Gedung Bioskop Rio (Sekarang ‘Ria’) pada tahun 1955-1965 .... 14

Gambar 2.5 Gedung Bioskop Ria pada masa sekarang ... 15

Gambar 2.6 Changtai Tower, salah satu tempat favorit wisatawan ... 23

Gambar 2.7 Kawasan Kota Tua Jakarta ... 24

Gambar 2.8 Istana Maimun, Medan ... 25

Gambar 2.9 Skema hubungan Revitalisasi untuk Pengembangan WisataSejarah dengan perekonomian pada suatu kawasan/ kota ... 29

Gambar 2.10 Kondisi Goedang Ransoem sebelum Revitalisasi... 30

Gambar 2.11 Kondisi Goedang Ransoem setelah Revitalisasi ... 31

Gambar 2.12 Gedung Arsip Nasional sebelum Konservasi ... 32

Gambar 2.13 Suasana Gedung Arsip Nasional setelah Revitalisasi, dapat dijadikan tempat resepsi pernikahan ... 33

Gambar 2.14 Gedung Concordia tahun 1895 ... 35

Gambar 2.15 Gedung Concordia tahun 1921 ... 35

Gambar 2.16 Gedung Concordia tahun 1949 ... 36


(4)

ix Gambar 2.18 Lokasi Museum Asia Afrika setelah Revitalisasi Gedung

Merdeka ... 38

Gambar 2.19 Layout dan Storyline Museum Konferensi Asia Afrika ... 39

Gambar 2.20 Tampak Museum Konferensi Asia Afrika dari arah Timur ... 39

Gambar 3.1 Peta Lokasi Kota Pematangsiantar... 41

Gambar 3.2 Peta Lokasi Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar ... 43

Gambar 3.3 Gedung Bioskop Ria terletak di Kawasan Wisata Sejarah, dilewati Jalan Lintas Sumatera ... 45

Gambar 3.4 Pemetaan Lokasi Wisata Sejarah yang akan terpengaruh Gedung Bioskop Ria direvitalisasi... 46

Gambar 3.5 Jalur Yang Dapat Ditempuh Medan-Pematangsiantar ... 47

Gambar 3.6 Jalur Yang Dapt Ditempuh Asahan-Pematangsiantar ... 48

Gambar 3.7 Jalur Yang Dapat Ditempuh Parapat-Pematangsiantar ... 49

Gambar 4.1 Eksisting Gedung Bioskop Ria ... 56

Gambar 4.2 Perbandingan Kondisi Gedung Sebelum dan Sesudah Renovasi . 57 Gambar 4.3 Denah Gedung Bioskop Ria... 58

Gambar. 4.4 Gaya Arsitektur Nieuwe Bouwen Pada Bangunan Bioskop Ria .. 59

Gambar 4.5 Menara Dilihat Dari Dalam Bangunan ... 59

Gambar 4.6 Kondisi Ruang & Tribun Penonton Pada Gedung Bioskop Ria ... 60

Gambar 4.7 Kondisi Ruang Arsip Pada Gedung Bioskop Ria ... 61

Gambar 4.8 Kondisi Ruang Peralatan Pada Gedung Bioskop Ria ... 61

Gambar 4.9 Kondisi jalan & pedestrian di kawasan sekitar objek penelitian .. 62


(5)

x Gambar 4.11 Diagram distribusi jawaban mengenai ruang terbuka di

Kawasan Pusat Kota ... 65

Gambar 4.12 Usulan Pembenahan Taman Bunga ... 66

Gambar 4.13 Kondisi Penerangan Pada Malam Hari ... 66

Gambar 4.14 Tata Guna Lahan di Kawasan Objek Penelitian ... 68

Gambar 4.15 Diagram distribusi jawaban menurut aktivitas yang dilakukan .... 70

Gambar 4.16 Salah satu kegiatan budaya yang dilakukan di Lapangan H. Adam Malik pada Perayaan HUT Pematangsiantar ... 71


(6)

xi DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Beberapa Tempat Wisata di Kota Pematangsiantar ... 26

Tabel 3.1 Variabel Fisik ... 50

Tabel 3.2 Variabel Non Fisik ... 51

Tabel 3.3 Metode Pengumpulan Data ... 52