objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang di dalam kehidupan sehari-
hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial Notoatmodjo, 2010.
Menurut asumsi peneliti, sikap seseorang dalam hal ini masyarakat menyikapi penyakit demam berdarah dengue dan tindakan pencegahannya masih
belum optimal, karena hanya 17 masyarakat yang memiliki sikap baik yang berarti hanya sedikit masyarakat di Dusun IX Desa Muliorejo yang mengerti dan
memahami tentang penyakit DBD. Sedikitnya masyarakat yang memiliki sikap baik menyebabkan rentannya warga untuk menderita DBD karena dengan
sikapnya tersebut masyarakat tidak melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang tepat dan benar untuk mencegah terjadinya penularan penyakit DBD.
2.2. Faktor Pemungkin Enabling Factors
Berdasarkan hasil penelitian, tersedianya alat menurut responden menunjukkan bahwa mayoritas tersedianya alat menurut responden kategori
cukup yaitu 40 orang 57. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Indriadi 2010, yang meneliti Faktor-faktor yang menyebut terjadinya
penularan penyakit DBD di Kampung Teleng Pemko Sawahlunto Sumatera Barat mendapatkan hasil bahwa mayoritas masyarakat menyatakan tersedianya
alat pencegahan DBD kategori cukup 50.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat yaitu faktor pemungkin enabling factors. Faktor pemungkin merupakan upaya dari
luar yang memungkinkan untuk melakukan pencegahan DBD yaitu tersedianya perangkatalat yang digunakan untuk pencegahan DBD berupa abatisasi dan
fogging. Tersedianya alat yaitu adanya alat-alat yang dapat digunakan untuk melakukan pencegahan DBD, seperti kelambu, semprot nyamuk dan lain-lain
Notoatmodjo, 2010. Menurut asumsi peneliti, dari hasil penelitian ini terlihat bahwa hanya 5
responden 7 dengan kategori baik tersedianya alat pencegahan penyakit DBD, artinya lebih banyak lagi masyarakat yang tidak tersedia alat di rumahnya
dalam pencegahan DBD di rumahnya, seperti tidak tertutup tempat penampungan air di rumah, tidak menggunakan kelambu, tidak ada alat semprot
nyamuk, tidak menggunakan kasa nyamuk, tidak tersedia alat untuk membersihkan kamar mandi, tidak tersedia alat-alat untuk mengubur barang-
barang bekas, rumah tidak tersedia ventilasi yang memadai, pencahayaan rumah yang kurang sehingga nyamuk senang di tempat-tempat yang seperti itu.
Berdasarkan hasil penelitian, tersedianya bahan kimiawi menurut responden menunjukkan bahwa mayoritas tersedianya bahan kimiawi menurut
responden kategori cukup yaitu 33 orang 47. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rusman 2009, di Kelurahan Mergahayu Kabupaten Bantul
Yogyakarta mendapatkan hasil bahwa mayoritas tersedianya bahan kimia untuk pencegahan penyakit DBD kategori cukup 58.
Universitas Sumatera Utara
Satu lagi faktor pemungkin yang dapat mengubah perilaku masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD yaitu tersedianya bahan kimiawi. Tersedianya
bahan kimiawi yaitu adanya bahan kimiawi yang dapat digunakan untuk pencegahan penyakit DBD seperti obat nyamuk, dan lain-lain Depkes RI,
2003. Menurut asumsi peneliti, dari hasil penelitian ini terlihat bahwa tidak
banyak keluarga yang menyediakan bahan kimiawi untuk pencegahan penyakit DBD. Hal ini berkaitan dengan kurangnya pengetahuan atau pemahaman
masyarakat tentang penyakit DBD itu sendiri serta pencegahannya. Hanya 14,3 masyarakat dengan kategori baik, hal ini berarti lebih banyak lagi
masyarakat yang tidak menyediakan bahan kimiawi untuk pemberantasan penyakit DBD seperti ketersediaan obat anti nyamuk, bubuk abate, obat-obatan
P3K sebagai pertolongan pertama.
2.3. Faktor Pendorong Reinforcing Factors