TINJAUAN PUSTAKA Piagam Sertifikat Medali Tanda Kehormatan

16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke 2.1.1 Pandangan Umum Stroke Genetik Berdasarkan studi The Ischemic Stroke Genetic Study ISGS dikatakan bahwa dasar terjadinya risiko genetik pada stroke iskemik bersifat multigenetik dan melibatkan faktor lingkungan Meschia et. al, 2003. Kadar fibrinogen juga dapat dipakai sebagai prediktor kejadian risiko penyakit kardiovaskuler, terutama bagi populasi yang tergolong risiko tinggi kadar fibrinogen plasma 3 gdl. Kadar fibrinogen tampaknya sangat ditentukan oleh faktor genetik Ernst et. al., 1993; Kamath et. al., 2003. 2.1.1.1 Definisi Stroke Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut yang disebabkan oleh iskemik atau perdarahan yang berlangsung 24 jam atau meninggal, tetapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan Sacco et. al., 2013. Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal serebral, spinal, dan infark retinal. Infark susunan saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia berdasarkan patologi, pencitraan atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu, atau bukti klinis dari injury fokal Universitas Sumatera Utara iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina berdasarkan gejala yang bertahan 24 jam atau meninggal, dan etiologi lainnya yang telah disingkirkan Sacco et. al., 2013. 2.1.1.2 Epidemiologi Stroke Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika Serikat, termasuk di banyak Negara lainnya di dunia, setelah penyakit Jantung dan kanker Caplan, 2000. Insiden stroke bervariasi di negara-negara Eropa dan diperkirakan antara 100 – 200 kasus stroke baru per 100.000 penduduk per tahun Hacke et. al., 2003. Rerata insiden stroke di Amerika Selatan per tahun adalah 0,35 – 1,83 per 1000 penduduk Saposnik et al., 2003. Insiden di Australia per tahun adalah 2,06 per 1000 penduduk pria 1,95 dan wanita 2,17 Thrift et. al., 2001; Sturm et. al.,2004. Insiden di Jerman didapatkan per tahun 1,74 per 1000 penduduk pria 1,47 dan wanita 2,01 Kolominsky-Rabas et. al., 1996. Di Jepang insiden stroke per tahun pada populasi usia di atas 35 tahun, pria 2,687 per 1000 penduduk dan wanita 1,675 Kita et. al., 1999. Insiden pertahun berdasarkan tipe stroke di Australia adalah stroke infark 72,5, perdarahan intraserebral 14,5, dan perdarahan subaraknoid 4,3. Persentase kematian dalam 28 hari pada stroke infark adalah sebesar 2, perdarahan intraserebral 45, perdarahan subaraknoid 50 Thrift et. al., 2001. Di Jerman insiden per tahun pada stroke infark adalah sebesar 1,37 per 1000 penduduk, perdarahan intraserebral 0,24 per 1000 penduduk, perdarahan subraknoid sebesar Universitas Sumatera Utara 0,06 per 1000 penduduk. Seluruh persentase kasus kematian dalam 28 hari adalah sebesar 19,4, dalam 3 bulan sebesar 28,5, dan dalam 1 tahun 37,3 Kolominsky et. al., 1998. Di Indonesia walaupun data epidemiologik yang lengkap dan akurat belum ada, dengan meningkatnya umur harapan hidup bangsa Indonesia, dijumpai tendensi penderita stroke akan meningkat pada masa yang akan datang. Dari hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga SKRT di Indonesia dilaporkan bahwa stroke di rumah sakit antara tahun 1985 sampai dengan tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan kemudian naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Dilaporkan pula bahwa prevalensi stroke adalah 35,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1986, sedangkan di Yogyakarta morbiditas stroke di rumah sakit pada tahun 1991 menunjukkan kecendrungan meningkat dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989. Menurut studi populasi di daerah Bogor dan sekitarnya tahun 2001, Misbach et. al. 2011 mendapatkan estimasi insidens stroke adalah 234100.000, di Insidens daerah rural lebih rendah daripada daerah metropolitan. Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1263 kasus stroke yang terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, diantaranya meninggal 201 orang 15,91 yaitu 98 orang 11,93 stroke iskemik dan 103 orang 23,30 stroke hemoragik Nasution, 2007; Misbach, 2011. Universitas Sumatera Utara Prasetyo et.al.2011 mengatakan dari 110 subjek penelitian berdasarkan sebaran waktu kedatangan likelihood of behavior change penderita stroke di Rumah Sakit dengan onset di bawah 3 jam adalah 24,5, subjek yang datang di atas 3 jam adalah 75,5, dan datang setelah 1 hari 41,8. Berdasarkan sebaran Modifying Factors, usia yang terbanyak mengalami stroke adalah usia 41 – 64 tahun sebesar 56,4, disusul usia lanjut 65 tahun yaitu sebesar 37,3, dan usia muda 40 tahun sebesar 6,4. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki 57,3 dan wanita 42,7. Berdasarkan kondisi saat datang ke rumah sakit, sadar sebanyak 46,4 dan kesadaran menurun sebanyak 53,6. Agustini et. al. 2010 melaporkan gambaran stroke pada wanita di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkosumo yang diilakukan pada tahun 2003 – 2009, hasilnya didapatkan 1744 data pasien stroke, yaitu pasien wanita sebanyak 793 kasus 45,4, sedangkan laki-laki sebanyak 951 kasus 54,5. Jenis atau tipe stroke yang terbanyak pada wanita adalah stroke iskemik 64,7. Berdasarkan kelompok umur di bawah 45 tahun adalah sebanyak 131 kasus 16,5, 45 – 54 tahun sebanyak 239 kasus 30,1, dan di atas 55 tahun sebanyak 423 53,3 kasus. Pada penelitian ini juga didapatkan rerata umur penderita wanita adalah 56 tahun dengan umur stroke termuda adalah 14 tahun dan umur tertua adalah 91 tahun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar di Indonesia pada tahun 2008, Stroke masih merupakan penyebab kematian, yaitu umur di atas 5 tahun Universitas Sumatera Utara 15,4, umur 45 – 54 tahun 15,9, dan umur 55 – 64 tahun 26,0 Riskesdas, 2008. 2.1.2 Klassifikasi Stroke Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan, dan prognosis yang berbeda walaupun patogenesisnya sama Misbach, 2011. 2.1.2.1 Berdasarkan Patologi Anatomi dan Penyebabnya: 1. Stroke iskemik Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia, berdasarkan: patologi, pencitraan atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu, atau bukti klinis dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina berdasarkan gejala yang bertahan 24 jam atau meninggal dan etiologi lainnya telah disingkirkan Sacco et al, 2013. Pada stroke iskemik dapat disebabkan oleh tiga macam mekanisme, yakni a. Transient Ischemic Attack TIA adalah serangan defisit neurologis yang bersifat temporer akibat gangguan peredaran darah otak, timbul mendadak, dan menghilang dengan cepat 24 jam tanpa gejala sisa Hacke, 2003 Universitas Sumatera Utara b. Thrombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi pada satu pembuluh darah lokal atau lebih Hacke, 2003, Bogousslavsky et. al., 2012. c. Embolia serebri adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah Hacke, 2003, Bogousslavsky et al., 2012. 2. Stroke hemoragik Stroke hemoragik adalah gangguan fungsi otak fokal yang berlangsung lebih dari 24 jam atau lebih yang disebakan perdarahan spontan dalam jaringan otak akibat pecah pembuluh darah Hacke, 2003, Bogousslavsky et. al., 2012. Stroke hemoragik terdiri atas: a. Perdarahan intraserebral yaitu perdarahan spontan ke dalam substansi otak yang penyebabnya bisa hipertensif dan nonhipertensif Caplan, 2000, Bogousslavsky et. al., 2012. b. Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid, yang penyebabnya bisa trauma dan spontan Caplan, 2000, Bogousslavsky et. al., 2012. 2.1.2.2 Berdasarkan Stadium Pertimbangan Waktu: 1. Transient Ischemic Attack TIA Pada TIA serangan otak sepintas gejala neurologi yang timbul akan cepat menghilang dalam beberapa menit sampai kurang dari 24 jam. Dari gejala yang ditimbulkan TIA dapat dibedakan dari sumber alirannya, yakni Universitas Sumatera Utara TIA sistem karotis dan TIA sistem vertebrobasiler Caplan, 2000; Misbach, 2011. 2. Stroke in Evolution Progressing Stroke Pada bentuk ini kelainan yang ada masih terus berkembang sedang berlangsung ke arah yang lebih berat Caplan, 2000; Misbach, 2011. 3. Completed Stroke Pada bentuk ini diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap Caplan, 2000; Misbach, 2011. 2.1.2.3 Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah: Gejala klinis stroke pada sistem karotis atau stroke hemisfer yakni: daerah otak yang mendapat darah dari arteri karotis interna terutama lobus frontalis, parietalis, basal ganglia dan lobus temporalis. Gejala timbul sangat mendadak berupa hemiparesis, hemihipastesi, bicara pelo Caplan, 2000; Adams et. al., 2001 ; Misbach, 2011; Saco et. al., 2013. Gejala klinis stroke pada sistem vertebrobasiler atau stroke fosa posterior tergantung kepada cabang-cabang sistem vertebrobasiler yang terkena, yakni: a. Cabang-cabang panjang, misalnya arteri serebri inferior posterior yang jika tersumbat akan memberikan gejala-gejala sindroma wallenberg yaitu infark di bagian dorso lateral tegmentum medulla oblongata. b. Cabang-cabang paramedian: sumbatan cabang-cabang yang lebih pendek memberikan gejala klinik berupa sindroma weber, Universitas Sumatera Utara hemiparesis alternans dari berbagai saraf kranial dari mesensefalon atau pons. c. Cabang-cabang perforating branches memberikan gejala-gejala sangat fokal seperti internuclear ophtalmoplegia Adams et. al., 2001; Misbach, 2011; Saco et. al., 2013. 2.1.2.4 Berdasarkan tipe stroke : a. Total Anterior Circulation Infarction, gambaran klinis yaitu hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik kontralateral sisi lesi, hemianopia kontralateral sisi lesi, gangguan fungsi luhur. b. Partial Anterior Circulation Infarction, gambaran klinis yaitu defisit motorik sensorik dan hemianopia, defisit motorik sensorik disertai gejala fungsi luhur, gejala fungsi luhur dan hemianopia, defisit motorik sensorik murni yang kurang ekstensif dibandingkan dengan infark lakunar, serta gangguan fungsi luhur saja. c. Posterior Circulation Infarction, gambaran klinis yaitu disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan gangguan motorik sensorik kontralateral, gangguan motorik sensorik bilateral, gangguan gerakan konjugat mata horizontal atau vertical, disfungsi serebellar dan buta kortikal. d. Lacunar Infarction. gambaran klinis yaitu tidak ada defisit visual, tidak ada gangguan fungsi luhur dan tidak ada gangguan fungsi batang otak, defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil, Universitas Sumatera Utara dengan gejala motorik murni, sensorik murni serta ataksia hemiparesis Caplan, 2000; Sjahrir, 2003; Misbach, 2011; Sacco et. al., 2013: 2.1.2.5 Klasifikasi Stroke Iskemik Berdasarkan Kriteria Kelompok Peneliti TOAST Aterosklerosis arteri besar Embolus Trombosis, kardio embolism Risiko Tinggi Risiko Sedang, oklusi pembuluh darah kecil Lakunar, Stroke akibat dari penyebab lain yang menentukan, dan Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan: dua atau lebih penyebab teridentifikasi dan tidak ada evaluasi serta evaluasi tidak lengkap Caplan, 2000; Adams et. al., 2001; Sjahrir, 2003; Sacco et. al., 2013. 2.1.3 Faktor Risiko Stroke Faktor risiko terhadap terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan untuk dimodifikasi atau tidak nonmodifiable, modifiable, atau potentially modifiable dan bukti yang kuat Well documented atau less well documented. 2.1.3.1 Non-modifiable Risk Factors: 1. Usia Usia merupakan faktor risiko yang penting. Insidens stroke meningkat secara eksponensial seiring dengan meningkatnya umur Caplan, 2000. Usia rerata stroke dari data 28 Rumah Sakit di Indonesia adalah 58,8 + 13,3 tahun dengan kisaran umur 18 – 95 tahun. Usia rerata wanita lebih Universitas Sumatera Utara tua dari pada pria 60,4 + 13, 8 tahun versus 57,5 + 12,7 tahun. Usia kurang dari 45 tahun sebanyak 12,9 dan lebih dari 65 tahun sebanyak 35,8. Dari data ini terlihat peningkatan kejadian stroke yang berkorelasi dengan bertambahnya usia Misbach, 2011. Chuang et. al. 2009 yang meneliti kadar fibrinogen plasma di Taiwan menjelaskan bahwa prediktor independen pada stroke iskemik pada community based follow up The CardioVascular Disease Risk Factors Two-township Study CVDFACTS selama 10,4 tahun, adalah pada kadar fibrinogen rendah kurang dari 7.03 umolL pada usia 41,7 + 14,0, kadar fibrinogen sedang 7,03 – 8,79 umolL pada usia 46,3 + 14,6, dan kadar fibrinogen tinggi 8,79 pada usia 51,2 + 14,8. Di dalam analisis chi-square test pada perbandingan kadar fibrinogen tertile ini dijumpai hubungan yang bermakna antara usia dan kadar fibrinogen plasma sebagai faktor independen stroke iskemik p 0,0001. 2. Jenis Kelamin Berdasarkan studi Framingham, kejadian stroke pada pria rata-rata 2,5 kali lipat lebih sering dari pada wanita Misbach, 2011. Peneliti Chuang et. al. 2009 mengatakan insiden rate pada pria 4,83 per 1000 penduduk pertahun lebih tinggi dari pada wanita 2,97 per 1000 penduduk per tahun. Sebaliknya Goldstein 2006 mengatakan wanita sedikit lebih tinggi dibandingkan pria berdasarkan age specific incidence rate pada umur 35 – 44 tahun dan umur di atas 85 tahun. Universitas Sumatera Utara 3. Berat Badan Lahir Rendah. Angka mortalitas stroke, di Inggeris dan Wales lebih tinggi pada penderita dengan berat badan lahir rendah Goldstein, 2006. 4. Ras Etnis Berdasarkan studi ARIC Atherosclerosis Risk in Communities dijelaskan bahwa kaum ras kulit hitam lebih tinggi insidens stroke yaitu 38 dibandingkan dengan kaum ras kulit putih. Sebaliknya, insidensi stroke juga lebih tinggi pada etnis grup di Asia Caplan, 2000; Goldstein, 2006; Sacco et. al., 2013. 5. Genetik Berdasarkan studi ISGS The Ischemic Stroke Genetic Study mengatakan dasar terjadinya resiko genetik pada stroke iskemik bersifat multigenik dan melibatkan beberapa faktor lingkungan. Adanya mutasi gen pada coding region mempunyai hubungan dengan stroke iskemik. Misalnya polimorfisme gen beta fibrinogen G455A, C148T, G448A, C807T dan glycoprotein GP reseptor IaIIa, IbIXV, dan IIbIIIa Meschia et. al., 2003. 2.1.3.2 Modifiable risk factors: 1. Well-documented and Modifiable Risk Factors: a.Hipertensi Hipertensi menyerang 65 juta orang di Amerika Serikat dan merupakan faktor risiko mayor terjadinya stroke iskemik dan stroke perdarahan. Peningkatan risiko stroke terjadi seiring dengan peningkatan tekanan darah Goldstein, 2006. Penderita hipertensi hanya kurang 30 Universitas Sumatera Utara yang diobati dan terkendali dengan tekanan darah 14090 mmHg. Risiko terjadinya stroke trombotik berkisar antara 4,5 kali dibandingkan dengan normotensi. Akan tetapi, pada usia lebih dari 65 tahun hanya 1,5 kali dibanding normotensi Misbach, 2011. Pada The British Regional Heart Study dijelaskan bahwa laki-laki dengan tekanan darah sistolik antara 160 – 180 mmHg mengalami resiko stroke 4 kali daripada pria dengan tekanan darah dibawah 160 mmHg. Pada tekanan diastolik di atas 180 mmHg mempunyai 6 kali lipat risiko terjadinya stroke. Risiko relatif stroke untuk kenaikan 10 mmHg tekanan darah diastolik adalah 1,9 untuk laki-laki dan 1,7 untuk wanita setelah disesuaikan dengan faktor risiko lainnya Sacco, 2000. b. Paparan asap rokok Rokok adalah faktor risiko stroke iskemik. Berdasarkan studi meta - analisis dari 32 studi dikatakan bahwa risiko relatif pada stroke iskemik adalah 1,9 95 CI 1,7 - 2,2 bagi perokok dan bagi bukan perokok serta 2,9 95 CI 2,5 – 3,5 pada stroke subaraknoid Goldstein, 2006. Rokok adalah determinan independen yang menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri karotis, yang disebabkan oleh meningkatnya koagulabilitas, viskositas darah, kadar fibrinogen, platelet aggregasi, dan tekanan darah Ernst et al., 1988; Misbach, 2011; Saco et. al., 2013. c. Diabetes Diabetes melitus merupakan problem endokrinologis yang menonjol dalam pelayanan kesehatan dan juga sudah terbukti sebagai faktor risiko stroke. Berdasarkan studi epidemiologi risiko relatif penderita diabetes Universitas Sumatera Utara pada stroke iskemik adalah 1,8 sampai dengan 6 kali lipat Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011; Saco et. al., 2013. d. Atrial Fibrilasi dan Beberapa Kondisi Jantung Tertentu Angka thrombo-embolism pada penderita kelainan katup jantung adalah 4,4 per 100 pasien tanpa terapi antithrombotik dan 2,2 per 100 pasien dengan obat antiplatelet, serta 1 per 100 pasien dengan warfarin. Atrial Fibrilasi dapat meningkatkan insidens stroke 3 - 4 kali lipat pada stroke emboli. Prevalens atrial fibrilasi dapat meningkat sesuai umur, yaitu 5 pada usia 70 tahun. Rerata usia penderita Atrial Fibrilasi adalah 75 tahun Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001;Goldstein, 2006; Saco et. al., 2013. e. Dislipidemia Tiga studi prospektif pada laki-laki menunjukkan peningkatan stroke iskemik pada kadar kolesterol di atas 240 – 270 mg dl. HMG CoA- reductase inhibitor statin yang dapat digunakan sebagai pencegahan stroke iskemik dengan Coronary Artery Disease CAD. HDL kolesterol berhubungan dengan stroke iskemik. Angka HDL 30 – 35 mgdl dan LDL 130 mgdl dapat menurunkan risiko stroke Caplan, 2000; Goldstein, 2006; Saco et. al., 2013. f. Stenosis arteri karotis Carotid End Arterectomy CEA profilaksis dapat dilakukan pada penderita stenosis arteri karotis asimptomatik dengan seleksi ketat, yaitu Universitas Sumatera Utara minimal 60 dengan angiografi, dan 70 dengan Doppler ultrasound Goldstein, 2006; Misbach,2011; Guideline Stroke, 2011. g. Sickle Cell Disease Sickle Cell Disease SCD merupakan penyakit turunan akibat autosomal recessive yang disebabkan oleh abnormalnya gen pada hemoglobine beta chain Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001;Goldstein, 2006. h. Terapi Hormonal Pascamenopause Berdasarkan The Heart and Estrogen Progesterone replacement study HERS dijelaskan bahwa terapi hormonal tidak ada efeknya sebagai pencegahan stroke primer pada penderita pascamenopause Caplan, 2000; Goldstein,2006; Saco et. al., 2013. i. Diet yang Buruk Penurunan masukan natrium dan peningkatan masukan kalium direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Metode Dietary Approach to stop Hypertension DASH yang menekankan pada konsumsi buah, sayur, dan produk susu rendah lemak dapat menurunkan tekanan darah serta merupakan diit yang direkomendasikan Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011. j. Inaktivitas fisik Peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan karena berhubungan dengan penurunan risiko stroke. Pada orang dewasa direkomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik aerobik minimal selama 150 menit 2 jam 30 menit setiap minggu dengan intensitas sedang atau 75 menit 1jam 15 Universitas Sumatera Utara menit setiap minggu dengan intensitas lebih berat Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011; Sacco et. al., 2013. k. Obesitas Pada individu overweight dan obesitas, penurunan berat badan dipandang cukup beralasan dapat menurunkan risiko stroke. Penurunan berat badan sebaiknya dilakukan dengan target Body Mass Index BMI 25 kg m 2 , garis lingkar pinggang 80 cm untuk wanita dan 90 cm untuk laki-laki Goldstein,2006; Guideline Stroke, 2011. 2 Less well-documented and modifiable risk factors: a. Sindroma Metabolik Sindroma metabolik merupakan suatu pertanda prediktor pada coronary heart disease dan cardiovascular disease coronary heart disease dan stroke. Rekomendasi pada sindroma metabolik adalah perubahan gaya hidup seperti latihan, penurunan berat badan dan diet yang teratur serta farmakoterapi Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006. b. Penyalahgunaan Alkohol Laki-laki sebaiknya mengkonsumsi alkohol tidak lebih dari 2 gelas hari dan wanita tidak hamil mengkonsumsi tidak lebih dari 1 gelas hari Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006. c. Penggunaan Kontrasepsi Oral Penyalahgunaan obat seperti kokain, heroin, fenilpropanilamin, dan konsumsi alkohol akan menyebabkan tekanan darah meningkat sehingga Universitas Sumatera Utara dapat menyebabkan stroke hemoragik Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006. d. Sleep-Disordered Breathing SDB Sleep-Disordered Breathing berhubungan dengan faktor risiko vaskuler dan morbiditas kardiovaskuler lain. Evaluasi adanya SDB dengan anamnesis yang teliti dan bila perlu dengan tes khusus direkomendasikan untuk dilakukan terutama pada individu dengan obesitas abdomen, hipertensi, penyakit jantung, atau hipertensi yang resisten terhadap obat Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011. e. Nyeri Kepala Migren Mengingat adanya hubungan antara frekuensi migren yang sering dengan risiko stroke migraineus infarction, pengobatan untuk menurunkan migren cukup beralasan Caplan, 2000; Goldstein, 2006. f. Hiperhomosisteinemia Pemberian vitamin B komplek, piridoksin B6, kobalamin B12, dan asam folat berguna menurunkan kadar homosistein darah dan mencegah terbentuknya aterosklerosis Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011. g. Peningkatan lipoprotein a Pemberian niacin cukup beralasan untuk pencegahan stroke iskemik pada penderita dengan Lpa yang tinggi Goldstein, 2006; Guideline, 2011. h. Peningkatan Lipoprotein-Associated Phosphilipase Peningkatan plasma level dari Lp-PLA berhubungan dengan peningkatan risiko cardiovascular event dan bisa juga meningkatkan 2 kali Universitas Sumatera Utara lipat risiko stroke iskemik. Lp-PLA dapat dikurangi dengan pemberian statin, fenofibrat, dan beta blockers Goldstein, 2006. i. Hypercoagulability Manfaat skrining genetik untuk mendeteksi hiperkoagulabilitas herediter pada pencegahan stroke masih belum jelas Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006. j. Inflamasi dan Infeksi Penanda inflamasi seperti hsCRP pada penderita tanpa stroke mungkin dapat mengidentifikasikan penderita dengan peningkatan risiko stroke meskipun manfaatnya dalam praktik klinis rutin belum jelas Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011; Di Napoli et. al., 2011. 2.1.4 Patofisiologi Stroke Iskemik 2.1.4.1 Aterosklerosis Mekanisme terjadinya stroke iskemik secara garis besar dapat dibagi tiga, yaitu thrombus, emboli dan penurunan perfusi sistemik. Dimana penyebab trombus yang tersering adalah aterosklerosis Caplan, 2000. Aterosklerosis merupakan suatu proses inflamasi pada dinding vaskuler pembuluh darah dan diamplikasi karena adanya vascular oxidative stress. Sumber potensial yang paling penting pada oxidative stress pada dinding vaskuler adalah oxidized low density lipoprotein oxLDL serta nicotinamide adenine dinucleotide phosphate NADPH oxidase Griendling et al., 2000. Proses inflamasi pada intima merupakan karakteristik utama dari proses aterosklerosis. Akumulasi, Universitas Sumatera Utara agregasi, dan modifikasi berupa oksidasi LDL yang berperanan penting dalam aktivasi dari proses inflamasi Glass et. al., 2001. Oxidized low density lipoprotein oxLDL merupakan suatu penanda yang umum untuk menjelaskan variasi dan modifikasi dari lipid dan protein yang terdapat dalam LDL. OxLDL terjadi ketika radikal bebas menginduksi peroksidasi dari lipid. OxLDL bersifat sitotoksik bagi sel endotel, bertindak sebagai chemoatractant bagi monosit, menghalangi pergerakan makrofag, dan memicu trombosis dengan menginduksi adhesi platelet. OxLDL juga dapat mengatur ekspresi faktor pertumbuhan dan sitokin-sitokin yang berperan dalam perkembangan aterosklerosis, memengaruhi vascular reactivity, dan juga menstimulasi ekspresi molekul yang terlibat dalam trombogenesis Tsimikas et. al., 2003; Furie et. al., 2008. Secara anatomi arteri normal teridiri atas tunika intima, media, dan adventitia. Tunika intima terdiri atas satu lapisan sel endotel dengan jaringan ikat subendotel minimal dibawahnya dan dipisahkan dari tunika media oleh suatu membrane elastik padat yang disebut lamina elastik interna. Lapisan sel otot polos tunika intima dekat lumen menerima oksigen dan nutrien melalui difusi langsung dari lumen pembuluh, dan kemudian yang dipermudah oleh adanya lubang fenestrasi di membran elastik interna. Namun, pada pembuluh berukuran sedang sampai besar difusi dari lumen kurang memadai pada bagian luar tunika media sehingga bagian ini mendapat makanan dari arteriol kecil yang berasal dari bagian luar pembuluh. Batas luar media di sebagian besar arteri ditentukan oleh lamina elaktik interna. Di sebelah luar media terdapat Universitas Sumatera Utara tunika adventitia, yang terdiri atas jaringan ikat dengan serat saraf dan vasa vasorum Robbins, 2007. Karakteristik aterosklerosis adalah adanya akumulasi fibro fatty plaque yang mengandung sel imun, vascular smooth muscle cells, vascular endothelial cells, dan extracellular matriks yang mengelilingi suatu lipid rich core. Kompleksitas aterosklerosis ditandai dengan adanya efek apoptosis dan proliferasi dari spesifik tipe sel yang terdapat pada pembuluh darah Kavurma et. al., 2008. Proses aterosklerosis diawali dengan penumpukan lipid di tunika intima disertai dengan masuknya adhesi monosit dan sel T. Adhesi ini didahului dengan ekspresi molekul adhesi, yaitu Vascular cellular adhesion molecule VCAM dan lipid yang bertanggung jawab dalam aktivasi gen VCAM. Ekspresi VCAM juga dipengaruhi oleh shear stress. Monosit tersebut akan dikonversi menjadi makrofag, akan memakan memfagosit sel-sel lipid modified LDL, dan kemudian berubah menjadi sel busa foam cell Ito et al, 2006. Sejumlah sel otot polos akan memproduksi matriks protein yang terkumpul di dalam plak aterosklerosis dan membentuk berbagai tipe lesi aterosklerosis yang diawali dengan fatty streak akumulasi lipid intraselular, intermediate lesion akumulasi lipid ekstraselular, atheroma terbentuknya inti lipid di bagian tengah, pembentukan fibrous plaque pembentukan jaringan ikat yang dominan, dan diakhiri dengan complicated lesion rusaknya permukaan tunika intima, terjadinya pendarahan, dan trombosis Koenig et. al., 1992; Osterud et. al., 2003. Universitas Sumatera Utara Faktor yang memengaruhi patogenesis dari aterosklerosis, di antaranya adalah gangguan metabolisme lipid, disfungsi endotel, inflamasi, sistem imunologi tubuh, ketidakstabilan plak, dan gaya hidup Szmitko et. al., 2003. Plaque instability and thrombus At he roscl e rosis M a y C ul mi na t e i n Pl a q ue I nst a bi l it y, Rupt ure , a nd Thrombus Libby P. Circulation. 2001;104:365-372; Ross R. N Engl J Med. 1999;340:115-126. Monocyte LDL-C Adhesion molecule Macrophage Foam cell Oxidized LDL-C Plaque rupture Smooth muscle cells CRP Oxidation Inflammation Endothelial dysfunction Gambar 2.1 Proses terjadinya aterosklerosis.Libby, 2001. 2.1.4.2 Patofisiologi Stroke Iskemik Pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi- reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur- unsur pendukungnya Misbach, 2011. Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri atas bagian inti core dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada perfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati tetapi sangat berkurang fungsi- fungsinya dan juga menyebabkan defisit neurologis. Tingkat iskemiknya Universitas Sumatera Utara jika semakin ke perifer akan semakin ringan. Derah luar penumbra iskemik, dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral luxury perfusion area. Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas bergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi refepfusi, daerah penumbra dapat berangsur- angsur mengalami kematian Misbach, 2011. Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu: Tahap 1: 1. Penurunan aliran darah Otak adalah organ yang sangat aktif bermetabolisme. Berat otak hanya sekitar 2 dari seluruh berat tubuh, tetapi dalam keadaan istirahat otak membutuhkan sekitar 20 dari output kardiak. Penggunaan energi otak dan aliran otak bergantung pada derajat aktivitas neuron. Di sini berperan proses autoregulasi, yaitu kapasitas sirkulasi serebral dalam mempertahankan level Cerebral Blood Flow CBF secara konstan terhadap perubahan-perubahan tekanan darah yakni pada Mean arterial blood pressure antara 50 – 150 mmHg. Cerebral Blood Flow CBF normal adalah 50 ml 100 jaringan otak menit. Jika terjadi tekanan darah tinggi secara kronis, level atas atau bawah autoregulasi akan bertambah. Hal ini mengindikasikan adanya toleransi tinggi terhadap hipertensi dan juga sensitif terhadap hipotensi. Universitas Sumatera Utara Kecepatan aliran darah di otak bervariasi antara 40 – 70 cm detik. Apabila Cerebral Blood Flow CBF meninggi atau arteri menyempit, kecepatan segmen arteri tersebut juga akan meninggi. Jika aliran darah 20 ml 100 gram menit, gambaran elektroensefalogram akan terganggu. Rate of cerebral oxygen metabolism CMRO 2 mulai menurun jika CBF turun di bawah 20 ml 100 gram otak menit. Jika aliran darah otak dibawah 17 cc 100 gram otak menit, dapat menyebabkan aktivitas listrik otak berhenti meskipun kegiatan ion pump masih berlangsung. Jika aliran darah otak 10 ml 100 gram otak menit, akan terjadi kegagalan ionik. Pengaruh iskemia terhadap integritas dan struktur otak pada daerah penumbra terletak antara batas kegalan elektrik otak dan batas bawah kegagalan ionik. Kematian neuron terjadi apabila CBF di bawah 10 ml 100 gram otak menit Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Sjahrir, 2003. 2. Pengurangan O 2 Jika aliran darah ke otak menurun, pembuluh darah mengalami vasodilatasi untuk mempertahankan ekstraksi oksigen ke otak yang maksimum sehingga CMRO 2 turun. Berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan berkurangnya persediaan oksigen dan glukosa serta zat- zat lain yang penting untuk kehidupan sel otak. Dalam keadaan fisiologis otak manusia membutuhkan energi yang besar untuk metabolisme yang berasal dari metabolisme oksidatif. Dalam keadaan normal konsumsi oksigen yang diukur sebagai CMRO 2 adalah 3,5 cc 100 gram otak menit. Keadaan hipoksia juga menyebabkan produksi molekul oksigen tanpa Universitas Sumatera Utara pasangan elektron oxygen free radical, menyebabkan oksidasi fatty acid dalam organel sel dan plasma sel yang mengakibatkan disfungsi sel Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Sjahrir, 2003. 3. Kegagalan Energi Berbeda dengan organ tubuh lainnya, otak hanya menggunakan glukosa sebagai substrat dasar agar metabolisme energi dapat mengubah ADP adenin difosfat menjadi ATP adenosin trifosfat. Supply produksi ATP secara konstan penting untuk mempertahankan integritas neuron, mayoritas kation Ca ++ . Na ++ ekstraseluler dan K + intraseluler. Produksi ATP sangatlah efisien dengan adanya 0 2 . Otak normal membutuhkan 500 cc 0 2 dan 75 – 100 mg glukosa tiap menitnya total sekitar 125 mg glukosa per harinya. Jika supply 0 2 berkurang hipoksia, proses anerob glikolisis akan terjadi dalam pembentukan ATP dan laktat. Akhirnya produksi energi menjadi kecil dan terjadi penumpukan asam laktat, baik di dalam sel saraf maupun di luar sel saraf lactic acidosis. Akibatnya metabolisme sel saraf terganggu Ahmad et. al. 2001; Sjahrir, 2003; Ito et. al., 2006. 4. Terminal Depolarisasi dan Kegagalan Hemostasis Ion Jika neuron iskemik terjadi, beberapa perubahan kimiawi berpotensi memacu peningkatan kematian sel, kalium akan bergerak pindah menembus sel membran ke ekstraseluler, dan kalsium akan bergerak ke dalam sel. Pada keadaan normal sel membran mampu mengontrol keseimbangan ion intra dan ekstra sel Adams et. al., 2001;Sjahrir, 2003; Ito et. al., 2006. Universitas Sumatera Utara Tahap 2 : 1. Eksitoksisitas dan Kegagalan Hemostasis Ion Dalam keadaan normal, neurotransmitter glutamat terkonsentrasi dalam terminal nerve dan dalam proses transisi neuronal yang bersifat eksitatorik. Pada keadaan iskemik aktivitas neurotransmitter eksitatori glutamat, aspartat, asam kainat meninggi di daerah iskemik Adams et al., 2001. Pada stroke iskemik akibat berkurangnya pembentukan ATP serta Na-K-ATP-ase, mengakibatkan konsentrasi Na dalam sel meningkat sehingga timbul pembengkakan sel serta pelepasan glutamat karena depolarisasi membran sel Ito et. al., 2006. Peninggian pelepasan glutamat mengakibatkan neuron lebih mudah rusak karena sifat toksik glutamat mengakibatkan kematian sel. Depolarisasi menyebabkan rangsangan pada reseptor-reseptor glutamat dan masuknya ion-ion bermuatan positif yang secara tidak langsung merangsang pembukaan saluran kalsium peka voltase Caplan, 2000. Masuknya ion natrium dalam jumlah besar ke dalam sel diikuti oleh ion klorida dan air sehingga menyebabkan edema sel Caplan, 2000; Sjahrir, 2003. Glutamat adalah suatu agonist NMDA N-methyl-D-aspartat dan non NMDA kainate dan quisqualate reseptor. NMDA reseptor berikatan dengan membrane channel dengan permeabilitas ion kalsium yang tinggi Adams et. al., 2001; Sjahrir, 2003; Ito et. al., 2006. 2. Spreading Depression Cortical spreading depression merupakan gangguan sementara dari keseimbangan ionik lokal yang menyebar secara perlahan di korteks Universitas Sumatera Utara serebral. Cortical spreading depression dapat memengaruhi perburukan lesi pada stroke eksperimental serta dapat berperan pada inisiasi serangan migrain Obrenovitch et al., 2003. Derajat keparahan iskemik yang disebabkan blokade arteri bervariasi dalam zona yang berbeda di daerah disupply. Pada pusat zona tersebut aliran darah sangat rendah 0 - 10 ml 100 gram menit dan kerusakan iskemik sangat parah sehingga dapat menyebabkan nekrosis. Proses ini disebut core of infarct. Di daerah pinggir zona tersebut aliran darah agak lebih besar yaitu sekitar 10 – 20 ml 100 mg menit karena adanya aliran kolateral sekitarnya. Hal ini menyebabkan kegagalan elektrik tanpa disertai kematian sel permanen. Daerah ini disebut daerah iskemik penumbra, keadaan antara hidup dan mati, sel neuron keadaan paralisis disfungsi yang menunggu aliran darah, dan oksigen yang adekuat untuk suatu restorasi. Di sebelah luar dari daerah penumbra ada daerah yang disebut daerah oligemia Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Fisher, 2001; Sjahrir, 2003. Gambar 2.2 Perubahan daerah iskemik otak akibat stroke Fisher,2001. Universitas Sumatera Utara Tahap 3: Inflamasi Respon inflamatorik pada stroke iskemik akut berpengaruh buruk terhadap perkembangan infark serebri. Berbagai penelitian menunjukkan adanya perubahan kadar sitokin pada stroke iskemik akut. Mikroglia merupakan makrofag serebral yang merupakan sumber sitokin yang utama di serebral. Sitokin adalah mediator peptida molekuler yang merupakan protein atau glikoprotein yang dikeluarkan oleh suatu sel dan memengaruhi sel lain dalam suatu proses inflamasi, contohnya limfokin dan interleukin IL yang terdiri atas beberapa jenis yakni IL-1 beta, IL-6, IL-8.dan TNF Tumor Necrotizing Factor alfa yang merupakan sitokin proinflamatorik Caplan, 2000; Sjahrir, 2003. Tahap 4: Apoptosis Apoptosis setelah iskemia otak yang terjadi akibat serangkaian proses patofisiologi yakni eksitoksitas, pembentukan radikal bebas, reaksi inflamasi, dan kerusakan mitokondria Adams et. al., 2001; Ahmed et. al., 2001 Mekanisme kematian sel dapat berupa nekrosis ataupun apoptosis, bergantung pada beratnya iskemik dan cepatnya kerusakan yang terjadi. Pada nekrosis, struktur sel menjadi hancur secara akut disertai dengan reaksi inflamasi dan makrofag akan menyerbu serta memfagositasi sisa- sisa sel. Sebaliknya pada apoptosis tidak terjadi reaksi inflamasi, tetapi struktur sel akan menciut Shrinkage. Selain proses kematian neuron pada stroke akut, integritas antara neuron-neuron dan matriks sekitarnya Universitas Sumatera Utara terutama sel-sel glia dan endotel kapiler juga berperan penting Caplan, 2000; Fisher, 2001; Misbach, 2011. 2.1.4.3 Sistem Hemostasis a Kelainan Hemostasis dan Hubungannya dengan Stroke Hemostasis dilaporkan berhubungan dengan berbagai penyakit klinis, mulai dari penyakit jantung iskhemik dan insufisiensi pembuluh darah perifer sampai dengan terjadi stroke iskemik akut dan iskemik otak reversibel. Sekarang ini banyak penelitian melaporkan bahwa adanya kelainan hemostasis di pembuluh darah otak cenderung menyebabkan stroke iskemik. Ini mungkin ditandai oleh peningkatan marker sekunder sebagai akibat dari pengrusakan sawar darah otak dan pelepasan zat prokoagulan dari jaringan otak yang mengalami nekrosis Lai et. al., 1994; Yatsu et. al., 1998; Hoffbrand et .al.,2002; Davis et. al., 2012 Keadaan hiperkoagulasi darah dan kadar fibrinogen plasma menjadi fokus perhatian dalam proses koagulasi darah. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dalam gelatin manusia dan plak fibrosa kaya dengan fibrinogen dan produk degradasinya seperti trombin, fibrinogen, dan fibronektin yang terlibat dalam proliferasi sel. Generasi trombin dan fibrin dijumpai secara berlebihan pada pasien dengan stroke iskemik progresif. Fibrinogen juga terlibat dalam mekanisme agregasi trombosit, cedera sel endotel, dan viskositas plasma sehingga berperan penting dalam pembentukan trombus. Trombosis cenderung menyebabkan stroke iskhemik. Data epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan kadar Universitas Sumatera Utara fibrinogen berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler Cardiovascular Disease dan iskhemik pembuluh darah otak Kamath et. al., 2003; Borrissoff et. al., 2011. b Hiperkoagulasi Konsep status hiperkoagulasi trombofilia pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1854 oleh seorang ahli patologi Jerman yang bernama Rudolph Virchow. Ia menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu :Penurunan aliran darah stasis vena, peradangan di dekat pembuluh darah cedera endotel dan faktor intrinsik yang mempengaruhi keadaan darah Welch et. al., 1998; Hoffbrand et. al. , 2002. Status hiperkoagulopati dapat didefinisikan sebagai sekelompok kelainan yang bersifat herediter atau yang cenderung menyebabkan trombosis vena trombosis vena dalam ekstremitas atas dan bawah dengan atau tanpa emboli paru, trombosis vena serebral, dan trombosis intra-abdominal, trombosis arteri iskemik miokard, stroke, iskemik tungkai, dan splanknik akut atau kedua-duanya. Penyakit tromboemboli vena merupakan kelainan yang sering timbul pada status hiperkoagulasi. Sebagian besar kelainan ini diturunkan secara genetik sehingga menyebabkan peningkatan risiko tromboemboli vena Venous Thromboembolic Event VTE. Walaupun demikian beberapa kelainan yang didapat di samping berhubungan dengan VTE, juga berhubungan dengan trombosis arteri. Hiperkoagulasi didapat dan kongenital terjadi bila terdapat ketidakseimbangan antara aktivitas antikoagulan dan Universitas Sumatera Utara protrombotik plasma aktivitasnya protrombotik lebih dominan. Mekanisme yang mendasari trombosis ini adalah trias Virchow. Berdasarkan hal ini, apabila terjadi kekurangan antikoagulan dalam sirkulasi, akan menyebabkan pergeseran proses keseimbangan homeostasis sehingga trombosis terjadi dimana-mana. Misalnya, defisiensi antitrombin III kongenital, protein C dan protein S yang menyebabkan risiko terjadi trombosis vena dalam tungkai bawah, tetapi tidak di tungkai atas. Defisiensi ini tidak menyebabkan kecendrungan trombosis arteri. Satu hal yang menjadi pengecualiannya adalah mutasi lokasi perlekatan heparin dengan antitrombin III. Pada kejadian ini, antitrombin III abnormal tidak melekat ke heparin sehingga kurang efektif untuk menghambat trombin dan faktor-faktor lain dalam kaskade koagulasi. Faktor V Leiden biasanya berhubungan dengan peningkatan risiko trombosis vena dalam di kaki dan otak. Namun, bisa juga menyebabkan risiko iskemik miokard akut pada wanita muda perokok. Mutasi protrombin G20210A mempunyai predisposisi trombosis vena dalam, yaitu di kaki dan otak dan mungkin merupakan faktor risiko genetik terhadap stroke dan penyakit jantung iskhemik Caplan, 2000. Faktor V Leiden atau faktor V G1691A merupakan gen mutasi yang mengode faktor koagulasi V. Dan Guanine G disubstitusi menjadi A Adenine di nukleotida 1691 G1691A dan di exon 10, dimana diprediksi terjadi pergantian arginin pada residu asam amino 506 oleh glutamine Arg506Gin. Mutasi ini diturunkan secara autosomal dominan sehingga faktor V menjadi resisten terhadap inaktivasi oleh APC suatu protein antikoagulan alami. Faktor V Leiden diperkirakan Universitas Sumatera Utara 92 disebabkan oleh kejadian APC resisten APC-R dan 8 sisanya disebabkan oleh faktor kehamilan, penggunaaan kontrasepsi oral, kanker, APA selektif, dan mutasi faktor V lain. Oleh karena itu, istilah ”faktor Leiden-V” dan ”APC-R” tidak sinonim. Buktinya, APC-R merupakan faktor risiko independen terhadap VTE bahkan tanpa faktor Leiden V Lai et. al., 1994. Mutasi pada nenek moyang orang Kaukasia tunggal diperkirakan telah terjadi sejak 21.000 – 34.000 tahun yang lalu setelah evolusi pemisahan orang non-Afrika dari orang Afrika dan orang Kaukasia orang non-afrika putih dari subpopulasi Mongolia Asia Roos, 1999. Protrombin G20210A merupakan mutasi subsitusi G ke A di nukleotida 20210 di daerah gen 3’ untranslated protrombin faktor koagulasi II Lai et al, 1994. Mutasi autosomal yang dominan ini menyebabkan peningkatan konsentrasi protrombin plasma. Seperti halnya faktor V Leiden, mutasi protrombin G20210A terdapat pada orang Kaukasia tunggal, yang mungkin juga terjadi setelah evolusi pemisahan subpopulasi Salaeth, 2006. Lebih dari 100 mutasi yang berbeda telah diketahui terjadi pada gen yang mengodekan antikoagulan alami protein C, protein S, dan antitrombin Dan menyebabkan defisiensi kuantitatif tipe I atau kualitatif tipe II. Defisiensi antitrombin dan protein S diyakini diturunkan secara autosomal dominan. Di samping itu, defisiensi protein C diduga juga dapat diturunkan secara autosomal resesif Moake, 2002. Universitas Sumatera Utara 2.1.4.4 Peran Fibrin dan Fibrinogen pada Stroke Iskemik a Pandangan Umum Fibrinogen Fibrin adalah protein yang terlibat dalam pembentukan bekuan darah. Ini merupakan serat-serat protein yang terpolimerisasi membentuk jaring dalam pembentukan plak hemostasis atau bekuan bersama dengan trombosit pada suatu luka. Fibrin dibuat dari fibrinogen, yaitu suatu glikoprotein plasma yang disintesis oleh hati Ernst et. al.,1993; Blake et. al., 2001; Hoffbrand et .al., 2002; Mackie et. al., 2003. Fibrinogen merupakan molekul yang berbentuk heksamer yang terdiri atas tiga pasang rantai polipeptida yaitu A-, B-, dan . A dan B adalah polipeptida spesifik pada dua rantainya yang disebut fibrinopeptida. Peptida kecil ini berperan mencegah fibrinogen membentuk polimer secara spontan. Setelah terjadi translasi, protein fibrinogen matur berada dalam sirkulasi darah dengan berat molekul 340.000 dalton Ernst et .al.,1993; Mackie et. al., 2003; Brummel et .al., 2004. Fibrinogen disintesis di hati sekitar 1,7 gram sampai 5 gram per hari. Dengan rata-rata 75 disekresi di plasma dan sisanya didistribusikan antara kelenjar limfe dan jaringan interstisial. Fibrinogen dianggap sebagai reaktan fase akut sehingga kadarnya bisa meningkat 2 sampai 10 kali lipat pada berbagai keadaan stres, seperti trauma, kehamilan, dan peradangan jaringan Ernst et .al.,1993; Blake et. al., 2001; Mackie et. al., 2003. Rantai polipeptida pada fibrinogen merupakan dua belahan molekul simetris yang masing-masing berisi satu rantai A, satu rantai B, dan Universitas Sumatera Utara satu rantai  dengan NH2 dan COOH pada masing-masing ujung yang sama. Belahan molekul tersebut dihubungkan oleh ikatan nonkovalen dan disulfida pada ujung terminal asam aminonya yang membentuk struktur noduler yang tersusun lurus. Bagian luar kedua domains tersebut dibentuk oleh bagian ujung terminal gugus hidroksil dari rantai B- dan  yang disebut domain D, sedangkan domain bagian tengah mengandung ujung asam amino pada setiap rantainya yang disebut domain E Ernst et. al.,1993; Blake et. al., 2001; Mosesson et. al., 2005. Fibrinogen berperan penting dalam formasi hemostatic plug, yaitu dengan fungsinya sebagai molekul adhesi terhadap trombosit dan sel-sel endotelial. Ketika trombosit teraktivasi oleh berbagai stimulan, glikoprotein IIb-IIIa Gp IIbIIIa akan mengalami perubahan dan menyediakan binding site untuk fibrinogen. Fibrinogen akan bertindak sebagai jembatan molekul di antara sepasang glikoprotein IIb-IIIa Gp IIbIIIa dalam trombosit yang berdekatan dan teraktivasi Brummel et .al., 2004. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Karakteristik Molekul dan Gen Fibrinogen Konsentrasi dalam plasma 7400 nmolL atau 2500 gml Waktu paruh hari 3-5 Karbohidrat 3 Lokus gen 4q23-q32 Fibrinogen A B  Berat Molekul 340.000 d 66.500 d 52.000 d 46.500 d Ukuran Gen kb 50 5,4 8 8,5 Jumlah Exon 6 8 10 Ukuran mRNA kb 2,2 1,9 1,6 Sumber :Brummel et. al., 2004 Dalam proses kaskade koagulasi darah terjadi pengaktifan protrombin menjadi trombin sehingga menyebabkan perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin berhubungan dengan faktor XIII untuk membentuk bekuan darah. Fibrinogen merupakan suatu glikoprotein 340 kilo dalton yang disintesis oleh hepatosit dan megakariosit. Dalam keadaan normal kadar hepatosit dan megakariosit dalam plasma darah adalah berkisar 1.5-4.0 gL Brummel, 2004; Mosesson et. al., 2005. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3 Molekul Fibrinogen Jennifer McDowall ,2006. Kelainan fungsi atau penyakit hati menyebabkan produksi fibrinogen menurun atau terjadi pembentukan molekul fibrinogen abnormal dengan penurunan aktivitas yang disebut disfibrinogenemia. Kelainan fibrinogen herediter dimana gennya terdapat dalam kromosom empat menyebabkan kelainan fibrinogen secara kualitatif dan kuantitatif, seperti afibrinogenemia, hipofibrinogenemia, disfibrinogenemia, dan hipodisfibri- nogenemia. Secara normal fibrinogen merupakan prekursor fibrin yang penting untuk pembentukan jembatan antar-trombosit melalui perlekatannya ke reseptor GpIIbIIIa di permukaan protein membran trombosit Brummel et. al., 2004; Mosesson et. al., 2005; Jennifer, 2006. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4 Fibrinogen dan Pembentukan Polimer Fibrin Jennifer McDowall ,2006. Setelah terjadi aktivasi protrombin menjadi trombin faktor IIa, trombin akan memecah fibropeptida ini. Pada ujung rantai  terdapat domain E yang bisa melekat ke ujung terminal gugus karboksil dari rantai . Pemecahan rantai  terjadi lebih lambat dan menyebabkan pembentukan fibril dan serat-serat hubungan fibrinogen. Proses ini menyebabkan perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Molekul fibrin aktif berikatan satu dengan yang lain dan biasanya berhubungan dengan agregasi trombosit dan molekul trombin. Fibrin solubel ini kemudian bersilangan melalui ikatan kovalen oleh pengaruh faktor XIII untuk Universitas Sumatera Utara membentuk sumbat hemostatik yang stabil sehingga efektif menghentikan perdarahan Hoffbrand, 2002; Jennifer, 2006. b Hubungan Fibrinogen dengan Aterosklerosis dan Stroke Sejak tahun 1950-an sudah diketahui bahwa fibrinogen berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler. Peningkatan kadar fibrinogen berhubungan dengan kerusakan target organ kardiovaskuler. Beberapa penelitian prospektif menunjukkan bahwa fibrinogen merupakan prediktor kuat untuk terjadi aterotrombosis. Hubungan antara fibrinogen dan aterotrombogenesis tidak dibantah lagi Smith et .al., 1990; Blake et. al., 2001; Ohira et al, 2006. Kadar fibrinogen meningkat setelah terjadi stroke akut. Pada pasien dengan riwayat TIA atau stroke iskemik, risiko kejadian stroke ulang, dan serangan jantung akut menurun sesuai dengan tingkat kadar fibrinogen darah. Viskositas plasma dan fibrinogen sama-sama meningkat secara bermakna pada pasien dengan serangan iskemik sementara, sehingga diduga fibrinogen telah meningkat sebelum terjadi stroke Eidelman, 2007. Bahkan, sangat meningkat pada pasien yang akhirnya meninggal dalam perawatan Feiberg, 1996. Suatu penelitian analisis awal saat terjadi perubahan ini menunjukkan bahwa fibrinogen secara berlebihan meningkat pada pasien-pasien yang akhirnya berakhir dengan kematian. Dahulu fenomena ini diketahui berhubungan dengan nekrosis jaringan otak. Penelitian epidemiologis prospektif menunjukkan bahwa fibrinogen plasma merupakan prediktor kuat iskemik miokardium dan stroke. Bahkan Universitas Sumatera Utara secara klinis diduga bahwa fibrinogen juga bisa sebagai faktor risiko terjadinya sekuele pada pasien stroke iskemik aterotrombotik. Walaupun demikian, viskositas plasma dan fibrinogen juga bisa meningkat secara bermakna pada pasien serangan otak sepintas TIA. Hal ini diduga bahwa kadar fibrinogen meningkat sebelum terjadi stroke Ernst et. al., 1993; Chao et. al.,2007. Peningkatan kadar fibrinogen dapat menjadi prediksi terjadinya stroke iskemik di kemudian hari, terutama pada pria berusia muda atau menengah Rothwell et. al., 2004; Kofoed et. al., 2003. Fibrinogen merupakan protein fase akut yang kadarnya akan meningkat sebagai respon terhadap infeksi, peradangan, stress, tindakan bedah, trauma dan nekrosis jaringan Kamath et. al., 2003. Kadar fibrinogen yang tinggi berhubungan dengan proses aterosklerosis dan juga dilaporkan pada pasien dengan coronary hearth disease, peripheral vascular disease dan carotid stenosis Escobar et. al., 2002; Rothwell et. al, 2004. Reseptor platelet glycoprotein apabila berikatan dengan fibrinogen, von Willebrand factor vWF atau kolagen, dapat mempromosikan aggregasi platelet dan trombosis. Peningkatan risiko stroke aterotrombotik ditemukan pada A2 allel carriers pada integrasi -3 GP IIIa Debatte et. al., 2009. c Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar Fibrinogen Kadar fibrinogen plasma bergantung kepada dua faktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan non-genetik. Kadar fibrinogen tampaknya sangat ditentukan oleh faktor genetik Hamsten et. al.,1987; Humphries et. Universitas Sumatera Utara al.,1987. Interaksi fibrinogen dengan beberapa variabel lain telah dilakukan melalui penelitian potong silang epidemiologi Stout, 1991. Penelitian yang besar ini dengan 15.803 orang menunjukkan kadar fibrinogen lebih tinggi 0.2 gL pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih. Juga menunjukkan bahwa kadarnya pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Fibrinogen meningkat sesuai peningkatan usia, merokok, ukuran badan, diabetes, insulin serum puasa, LDL, Lpa, hitung lekosit, dan menopause. Kadarnya menurun pada peminum alkohol, latihan, HDL, dan penggunaan hormon wanita postmenopause Bielak et. al., 2000. Dijumpai juga hubungan positif antara parameter lipid dan fibrinogen. Kadar fibrinogen meningkat pada pasien dengan hiperlipoproteinemia tipe II dan hiperkholesteol familial DiMinno et al,1986; Qizilbash et al.,1991. Fibrinogen dan viskositas plasma keduanya berhubungan positif dengan kadar total kolesterol, trigliserida, LDL, dan negatif dengan HDL Qizilbash et al.,1991. Merokok berpengaruh kuat terhadap kadar fibrinogen pada orang sehat. Hal ini dipengaruhi oleh dosis dan penghentian merokok Feinberg et. al., 1996 Kadar fibrinogen dan karboksi-hemoglobin secara statistik berhubungan. Viskositas plasma meningkat pada pria perokok, tetapi tidak pada wanita perokok Ernst et. al.,1988. Perokok yang berhenti merokok, setelah dua minggu secara bermakna menunjukkan penurunan kadar fibrinogen, hematokrit, viskositas plasma dan darah secara keseluruhan, serta terjadi peningkatan kadar kolesterol HDL sehingga mengurangi proses aterogenesis dan trombogenesis Ernst et. al., 1987; Feher et. al.,1990. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Fibrinogen Normal Kadar fibrinogen tinggi Kadar fibrinogen rendah 1. Kulit hitam 2. Pria 3. Peningkatan usia 4. Merokok 5. Berat badan berlebih 6. Peningkatan kadar LDL 7. Menopause 8. Klas sosio-ekonomi rendah 9. Inaktifitas fisik 10. Penggunaan kontrasepsi oral 11. Peningkatan jumlah lekosit total 12. Stres 13. Diet kaya karbohidrat 14. B1B2 atau B2 B2 genotip 15. G-455 A genotip 1. Kulit putih 2. Wanita 3. Konsumsi alkohol teratur 4. Aktifitas fisik teratur 5. Substitusi hormon postmenopause 6. Diet kaya asam lemak polyunsaturated Sumber: Ernst et al. 1993; Sehnal 2002 d Hubungan Fibrinogen, Aterosklerosis, dan Aterogenesis Mekanisme pasti bagaimana fibrinogen menyebabkan aterosklerosis belum sepenuhnya diketahui. Fibrinogen sangat memengaruhi hemostasis, rheologi darah, aggregasi trombosit, dan fungsi endotel Ernst et. al., 1993; Harmening, 2002. Universitas Sumatera Utara Keadaan hiperkoagulasi jelas berhubungan dengan trombosis. Fibrinogen merupakan faktor penentu utama viskositas darah dan menyebabkan aggregasi sel darah merah secara reversibel. Perubahan hemorheologik akibat hiperfibrinogenemia dapat menurunkan kecepatan aliran darah sehingga cendrung terjadi trombosis dan aterogenesis Sabeti et. al., 2005. Hiperaggregasi trombosit berperan penting dalam pembentukan plak atherosklerotik. Fibrinogen berikatan dengan reseptor pada permukaan membran trombosit, sehingga terjadi agregasi in vivo Rothwell et. al., 2004. Selanjutnya, fibrinogen juga terintegrasi secara langsung ke dalam lesi vaskuler aterosklerotik yang berubah menjadi fibrin dan produk degradasi fibrinogen. Fibrinogen dan produk degradasi fibrinogen tampaknya merangsang proliferasi dan migrasi sel otot polos Smith et. al.,1990. Fibrinogen diduga terlibat pada fase awal pembentukan plak. Kadar fibrinogen yang tinggi mencerminkan tingkat aktivitas inflamasi yang berhubungan dengan progresivitas aterosklerosis Sabeti et. al., 2005. Pembentukan trombus terjadi karena adanya aktivasi trombosit dan ekspresi faktor jaringan tissue factor TF oleh makrofag dan sel otot polos. Tissue factor akan memicu proses pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dengan mengaktifkan faktor VII. Faktor VII aktif dapat pula mengaktifkan faktor X dengan faktor IX dan akhirnya dapat meningkatkan jumlah fibrinogen yang menghasilkan bekuan fibrin Corte et. al., 2011. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.5 Fibrinogen Plasma, Trombogenesis, dan Aterogenesis Sumber: Kamath et. al., 2003 Fibrinogen berperan penting dalam sejumlah proses patofisiologi di dalam tubuh seperti aterogenesis, trombogenesis, dan inflamasi. Walaupun demikian, pemahaman tentang mekanisme timbulnya aterotrombogenesis oleh faktor fibrinogen masih terkotak-kotak. Mekanisme tersebut terjadi diduga melalui infiltrasi fibrinogen ke dinding pembuluh darah, mempengaruhi hemoreologis karena viskositas darah yang meningkat, meningkatkan aggregasi trombosit, dan pembentukan trombus. Selanjutnya, fibrinogen plasma juga berperan pada reaksi fase akut, yaitu memperkuat degranulasi trombosit dalam responnya terhadap adenosine diphosphate ADP bila ditangkap oleh granula  Sabeti et. al., 2005. Fibrinogen Peningkatan viskositas Substrat untuk trombin dan fase akhir koagulasi darah Agregasi trombosit melalui ikatan silang Timbul sebagai protein fase akut Berinteraksi dengan plasminogen yang melekat ke reseptornya Memodulasi fungsi endotel Menyebabkan proliferasi sel dan migrasi otot polos Menghasilkan fibrin melalui perlekatannya ke lipoprotein LDL dan mempertahankan lipid dalam plak Universitas Sumatera Utara Deposit fibrin bisa menyebabkan aterogenesis dan pertumbuhan plak Levenson et. al., 1995. Fibrinogen dan metabolitnya menyebabkan kerusakan dan disfungsi endotel melalui beberapa mekanisme Rothwell et. al., 2004. Banyak lesi aterosklerotik pada manusia tidak terdapat celah atau ulkus, ini bisa berisi sejumlah besar fibrin seperti halnya juga pada trombus mural, pada permukaan plak yang utuh, di dalam lapisan di bawah selubung fibrosa, dalam inti yang kaya lipid, atau tersebar merata pada seluruh bagian plak. Fenomena ini bisa disertai oleh penurunan aktivitas fibrinolitik intimal arteri dan konsentrasi plasminogen yang kesemuanya itu dapat diamati pada penyakit kardiovaskuler. Selanjutnya, di tunika intima, fibrin merangsang proliferasi sel melalui tahap-tahapan sepanjang migrasi sel dan melalui perlekatan fibronektin yang berakibat perangsangan migrasi dan adhesi sel Naito et .al., 1992; Kamath et al., 2003. Produk degradasi fibrin yang terdapat di tunika intima bisa merangsang mitogenesis dan sintesis kolagen, menarik lekosit, dan mengubah permeabilitas endotel dan tonus vaskuler. Pada plak yang baru terbentuk fibrin dapat ikut terlibat dalam memperkuat penempelan LDL dan akumulasi lipid sehingga membentuk inti lipid dalam lesi aterosklerosis Smith et.al. ,1990; Levenson et. al, 1995. Walaupun demikian hasil ini tidak dapat dipastikan karena hanya bersifat asosiasi. Jadi tidak bisa secara pasti dikatakan peran fibrinogen sepenuhnya. Trombogenesis diatur oleh keseimbangan antara jalur koagulasi dan fibrinolisis Kamath et al., 2003. Setelah terjadi trauma pada dinding pembuluh darah, tromboplastin jaringan dilepaskan oleh lapisan sub- Universitas Sumatera Utara endotel. Tromboplastin jaringan ini selanjutnya mengaktifkan jalur ekstrinksik dari sistem koagulasi melalui aktivasi faktor VII menjadi VIIa. Kontak langsung darah dengan permukaan asing akan mengaktifkan jalur koagulasi intrinksik melalui aktivasi faktor XII menjadi XIIa dan juga trombosit. Agregasi trombosit saja tidak cukup adekuat untuk membuat stabil sehingga diperlukan juga pengaktifan jalur koagulasi Kamath et al., 2003. Pengaktifan kedua jalur kaskade koagulasi tersebut akhirnya mengaktifkan faktor X menjadi Xa, dan selanjutnya mengaktifkan protrombin menjadi trombin. Trombin suatu enzim protease, memfasilitasi pemecahan fibrinogen menjadi fibrin monomer yang saling berikatan satu sama lain dan dari ujung ke ujung membentuk fibrin polimer. Pengaktifan faktor XIII menyebabkan ikatan silang fibrin polimer ini sehingga membentuk bekuan fibrin yang stabil. Fibrinogen juga terlibat pada jalur akhir aggregasi trombosit. Fibrinogen membentuk ikatan silang dengan trombosit melalui perlekatannya ke reseptor glikoprotein IIb-IIIa pada permukaan trombosit Naito et. al.,1992; Kamath et al.,2003. e Fibrinogen sebagai Faktor Risiko Stroke Iskemik Kadar fibrinogen plasma merupakan faktor independen terhadap stroke Rosenberg et. al.,1999; Wilhemsen et. al., 1984. Penelitian kohort yang dilakukan di United Kingdom pada tahun 2004 terhadap 5113 pasien stroke minor dan TIA yang diikuti selama 5 tahun menunjukkan bahwa kadar fibrinogen di atas rata-rata berhubungan dengan peningkatan risiko stroke iskemik dibandingkan dengan kadar di bawah Universitas Sumatera Utara median Hazard Rasio; 1.34; interval kepercayaan 95, 1.13 - 1.60. Hubungan tersebut lebih kuat pada stroke non-lakuner HR, 1.42; interval kepercayaan 95, 1.13-1.78 dibandingkan stoke lakunar HR, 1.09; interval kepercayaan 95, 0.80-1.49. Jadi, hubungan antara kadar fibrinogen dan risiko stroke iskemik adalah berbanding lurus Rothwell et. al., 2004. Penelitian kohort yang dilakukan di kota Copenhagen Denmark tahun 2003 dengan 8.755 sampel yang diikuti selama 6 tahun dan menunjukkan bahwa kadar fibrinogen di atas rata-rata 3 grL diprediksi berisiko menimbulkan stroke iskemik risiko relatif, 1.9; interval kepercayaan 95, 1.4-2.5; 235 kejadian. Risiko yang bermakna juga dijumpai pada pria 2.7;1.7-4.2, wanita 1.4;0.9-2.0; 122 kejadian, pada usia muda 5.2;1.1-26, 8 kejadian, dan usia menengah 2.9;1.6-5.4; 64 kejadian. Jadi, peningkatan kadar fibrinogen memprediksi timbulnya stroke iskemik di kemudian hari, terutama pada pria berusia muda dan menengah. Hal ini mencerminkan kecenderungan timbulnya aterosklerosis Kofoed et. al., 2003. Merokok bisa menyebabkan peningkatan kadar fibrinogen dalam darah yang selanjutnya mempercepat pembentukan trombosis. Mekanismenya mungkin terjadi karena peningkatan aktivitas hemostasis, peningkatan viskositas darah, dan penurunan aliran darah otak. Di samping itu, fibrinogen juga berperan dalam pengaktifan aggregasi tombosit melalui perlekatannya ke reseptor glikoprotein IIb-IIIa di permukaan membran Cook et. al., 1990. Universitas Sumatera Utara Whiteley et al. 2012 meneliti pada 270 pasien stroke iskemik akut dengan menilai Biomarker darah untuk memprediksi outcome selama 3 bulan. Pada 3 bulan outcome yang dinilai, ditemukan 112 pasien memiliki outcome yang buruk. Salah satu Biomarker darah yang dinilai yakni fibrinogen. Odds ratio fibrinogen pada penelitian ini adalah 1,29 0,57- 2,47, sehingga apabila Odds ratio di atas satu berhubungan dengan outcome yang jelek. Jumraini 2012 mengatakan bahwa kadar fibrinogen plasma 375 mgdl dibandingkan kadar fibrinogen 375 mgdl pada 106 kelompok stroke dan 110 kelompok kontrol. Hubungan yang bermakna kadar fibrinogen dijumpai faktor risiko kejadian stroke iskemik p 0,005. Korelasi yang digunakan berupa Odds Ratio, yakni sebesar 36,90 dengan 95 confidence interval 12,5 – 113,04. Artinya pada kelompok kasus stroke dijumpai kemungkinan 36,90 kali untuk mempunyai kadar fibrinogen tinggi daripada kelompok kontrol. Dari nilai Odds Ratio sebesar 36,90 dapat juga diinterpretasikan bahwa probabilitas kelompok kasus yang memiliki kadar fibrinogen tinggi adalah sebesar 97.36. Kumar et al. 2013 melaporkan ada hubungan beta fibrinogen gen C 148 T dengan skala BI dan mRS pada stroke iskemik India Utara p0,05. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.3 Faktor-faktor yang Bisa Menyebabkan Kelainan Pembuluh Darah Oklusif Stroke Iskemik, Iskemik Miokard, dan Klaudikasio Penyebab pasti Kemungkinan penyebab 1. Umur 2. Wanita 3. Hipertensi 4. Merokok 5. Diabetes melitus 6. Hiperfibrinogenemia 7. Kadar lemak dalam darah 1. Peningkatan kadar faktor VII 2. Penurunan aktifitas fibrinolitik 3. Peningkatan kadar plasminogen aktifator jaringan 4. Inaktifitas fisik 5. Peningkatan kadar hematokrit 6. Obesitas 7. Diet garam, antioksidan, kopi dll 8. Alkoholism 9. Ras 10. Kegagalan sosial Sumber : Warlow, 1997 2.1.4.5 Faktor Genetik pada Fibrin dan Fibrinogen a. Fibrinogen – α, β dan γ Lokus fibrinogen terdiri atas tiga gen pengkode, yaitu fibrinogen gamma FGG, fibrinogen alfa FGA, dan fibrinogen beta FGB yang merupakan daerah yang berukuran kira-kira 50 kb dan berlokasi pada lengan panjang kromosom 4q23-q32 Hamsten et. al., 1987; Harmening, 2002. Universitas Sumatera Utara Gen rantai A mempunyai 6 exon, gen rantai B 8 exon, dan gen rantai  10 exon. Gen A terdapat di tengah dan diapit oleh gen B pada satu sisinya dan gen  pada sisi yang lain. Kedua rantai A dan  ditranskripsikan dari untaian DNA yang sama, sedangkan rantai B ditranskripsikan dari untaian DNA yang berseberangan. Jadi, arah transkripsi gen  ini berlawanan dengan arah kedua gen yang lain. Terdapat hasil salinan tunggal pada tiap-tiap gen ini. Ekspresi ketiga gen bersama-sama diatur oleh suatu mekanisme regulasi. Oleh karena itu, ekspresi ketiga rantai tersebut dikoordinasi secara baik sehingga kadar mRNA tiap-tiap rantai berada dalam keadaan seimbang di dalam sel hepatosit. Transkripsi dicetuskan oleh promoter pada masing-masing rantainya dan menghasilkan mRNA yang multipel. Variasi lokus fibrinogen menyebabkan perbedaan individual kadar fibrinogen plasma Rothwell et. al., 2004. b Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa kadar fibrinogen plasma diatur oleh kontrol genetik, seperti pada polimorfisme genetik yang dilaporkan pada 20-51 variasi kadar fibrinogen plasma Humphries et. al.,1987 Pengungkapan dasar kontrol genetik ini selanjutnya mendukung pandangan bahwa fibrinogen plasma merupakan faktor risiko primer terhadap terjadinya aterotrombosis. Variasi lokus fibrinogen menyebabkan perbedaan individual kadar fibrinogen plasma. Jadi, polimorfisme gen fibrinogen berhubungan dengan konsentrasi fibrinogen plasma sehingga Universitas Sumatera Utara memengaruhi kepekaan atau keparahan suatu penyakit aterotrombotik Brummel et al, 2004. Walaupun demikian, mekanisme molekuler pasti mendasari kelainan genetik konsentrasi fibrinogen plasma yang diturunkan ini masih belum jelas. Hasil penelitian epidemiologis menunjukkan hubungan yang kuat antara dua polimorfisme gen fibrinogen  dan konsentrasi fibrinogen plasma. Pengaruh polimorfisme ini terhadap penyakit vaskuler masih dipertanyakan karena lingkungan atau keadaan fenotip pasien bisa berpengaruh. Hal ini memperkuat dugaan kepekaan individual terhadap suatu penyakit yang ditentukan oleh faktor genotipe dan faktor risiko lingkungan Brummel et. al., 2004. Pengaruh genetik dari gen  fibrinogen telah dipelajari secara luas karena sintesis rantai  merupakan langkah yang membatasi produksi fibrinogen matur. Pada tahun tahun terakhir ini, beberapa polimorfisme sudah diidentifikasi pada gen fibrinogen, terutama melalui analisis Restriction Fragment Length Polymorphisms RFLP dan Single-Standard Conformation Polymorphysm SSCP Kant, et. al., 1985. Sebaliknya, Van’t Hooft et .al. 1999 menunjukkan bahwa polimorfisme gen  fibrinogen -455 GA dan -845GA secara bermakna memengaruhi konsentrasi fibrinogen dalam plasma. Polimorfisme gen  fibrinogen - 455GA dan -148GT memengaruhi kadar fibrinogen plasma secara bermakna dan berhubungan dengan stroke Hamsten,1987. Mutasi - 455GA di bagian promoter gen fibrinogen  merupakan satu dari variasi genetik terkuat dan berhubungan dengan peningkatan kadar fibrinogen Universitas Sumatera Utara plasma pada kedua jenis kelamin dari seluruh populasi Kamath et. al.,2003. Walaupun banyak penelitian menunjukkan kebermaknaan hubungan antara polimorfisme gen fibrinogen, ada beberapa penelitian yang gagal menunjukkan hubungan antara polimofisme genetik ini dan kadar fibrinogen plasma seperti penelitian yang dilakukan oleh Connor et. al. 1992, penelitiannya menemukan bahwa kadar fibrinogen plasma tidak berhubungan dengan 4 polimorfisme lokus fibrinogen, yaitu  TaqI,  BclI dan HaeIII dan  KpnISacI. Humphries et. al. menemukan bahwa individu dengan genotip B1B1 memunyai kadar fibrinogen rata-rata 2,74 gL, sementara mereka dengan genotipe B2B2 memunyai kadar fibrinogen plasma rata-rata 3.69 gL, suatu kadar yang berhubungan kuat dengan peningkatan risiko penyakit jantung iskhemik. Heterozigot dari kedua alel genotip B1B1 memunyai kadar fibrinogen rata-rata 2.98 gL Humpries, 1987. Kesler et. al. 1997 pada penelitian case control study terhadap 227 pasien stroke yang berumur 60 – 76 tahun mengatakan bahwa polimorfisme gen beta fibrinogen -455 GA tidak menemukan hubungan secara keseluruhan antara genotipe dan stroke. Tetapi menemukan heterozigot untuk allel A yang berhubungan dengan large vessel ischemic stroke p=0,045. Lam et. al. 1999 pada 264 pasien stroke dan diabetes tipe II pada penelitian kohort yang berumur 49 – 76 tahun mengatakan bahwa beta fibrinogen gene -455 GA polimorfisme berhubungan pada genotipe AA pada pasien diabetes dengan ischemic heart disease Universitas Sumatera Utara p0,05. Selain itu, juga ada hubungannya dengan faktor lingkungan seperti merokok. Martiskainen et. al. 2003 ini menduga A allel pada fibrinogen Gen Promoter -455 sebagai predisposisi kejadian aterotrombosis pada cerebrovascular circulation. Nan et. al. 2012, dengan desain kasus kontrol pada 3119 penderita 1559 kasus stroke dan 1560 kontrol. Penelitian tersebut dilakukan pada The Stroke Hypertension Investigation in Genetics SHINING dari tahun 1997 sampai tahun 2000. Rerata umur pada kasus stroke iskemik adalah 59,20 + 10,71 dan pada kontrol adalah 62,32 + 10,68, serta dijumpai perbedaan signifikan pada kedua kelompok p 0,0001. Dua single nucleotide polymorphism SNP dari 51 SNP dijumpai pada 35 gen yang berhubungan dengan respon inflamasi pada stroke iskemik. El-Tarras et. al. 2012 pada 200 orang populasi Saudi Arabia yang berumur 55 sampai 60 tahun menggunakan faktor koagulasi darah Faktor XIII gen V34L dan polimorfisme gen beta fibrinogen -455 GA. Penelitian ini dijumpainya frekuensi FXIII V23L allel VG 0,98 dan allel LT 0,02 serta  gen -455 GA dijumpainya frekuensi G allel 0,825 dan A allel 0,175. Walaupun penelitian membuktikan bahwa kadar fibrinogen plasma dikendalikan secara bermakna oleh faktor genetik, tetapi gen, alel, dan polimorfisme memberikan variasi respon yang berbeda dalam menentukan kadar fibrinogen di antara populasi yang berbeda Liu, et. al., 2001; Kamath et .al..,2003. Faktor-faktor lain yang juga ikut memengaruhi peningkatan kadar fibrinogen plasma faktor non-genetik dan diduga Universitas Sumatera Utara berinteraksi dengan faktor genetik adalah peningkatan usia, wanita, ras kulit hitam, merokok, obesitas, inaktifitas fisik, peningkatan kadar kolesterol, menopause, kontrasepsi oral, status sosio-ekonomi yang rendah, dan stress Ananyeva , 2002. Gambar 2.6 Gen  Fibrinogen dan Polimorfisme Iacoviello et.al. 2001. 2.2 Antiplatelet 2.2.1 Pandangan Umum Antiplatelet Platelet berfungsi menjaga integritas sirkulasi sistemik. Pada kondisi sehat, endotelium pembuluh darah mencegah terjadinya adhesi platelet. Proses adhesi platelet atau pergerakan platelet menuju daerah luka injury, apabila menjadi aktif, mengakibatkan pembentukan dan pelepasan tromboksan A 2 TXA 2 dari asam arakidonat yang terdapat pada fosfolipida membran platelet. Tromboksan A 2 TXA 2 merupakan senyawa pengagregat poten dan bersifat vasokonstriktor. Aktivasi platelet juga menyebabkan pelepasan ADP adenosin difosfat dari granul penyimpanan platelet. Tromboksan A 2 TXA 2 dan ADP beraksi pada reseptor spesifik pada permukaan platelet, sehingga mengakibatkan reseptor glikoprotein GP IIb IIIa berikatan dengan fibrinogen dan protein Universitas Sumatera Utara adesif vWF Von Willebrand Factor. Akibatnya, fibrinogen yang telah terikat pada platelet tersebut berikatan dengan kompleks fibrinogen- platelet lainnya sehingga terjadi proses agregasi platelet. Sebaliknya vWF berperan dalam adesi platelet ke jaringan lainnya. Pembentukan trombus terjadi pada permukaan platelet teraktiviasi tersebut Nugroho,2012; Davi et .al., 2007. Gambar 2.7 Peran sel endotel Hoffbrand et .al. ,2005. Aktivasi platelet dihambat oleh kenaikan cAMP platelet. Prostasiklin PGI 2 yang dilepaskan sel dinding pembuluh darah dan NO dari sel endotelial meningkatkan konsentrasi cAMP, sehingga memunyai efek menghambat proses aggregasi platelet Nugroho, 2012. Fungsi platelet diregulasi oleh substansi-substansi yang dibagi menjadi tiga kategori. Pada kelompok yang pertama, zat-zat yang berada diluar platelet berinteraksi dengan reseptor membran platelet seperti katekolamin, kolagen, thrombin dan prostasiklin. Pada kategori kedua zat- zat yang berada dalam platelet berinteraksi dengan reseptor membran seperti ADP, prostaglandin D2, prostaglandin E2 dan seretonin. Pada Universitas Sumatera Utara kelompok ketiga, zat-zat yang berada dalam platelet berinteraksi dengan platelet, yaitu prostaglandin endoperoksida, dan TXA 2 , ion kalsium Katzung et. al., 2005. Gambar 2.8 Aktivasi dan aggregasi platelet Fergusson, 2000. 2.2.2 Aspirin Obat antiplatelet telah direkomendasikan untuk pengobatan stroke dan TIA, untuk mengurangi risiko stroke berulang, dan kejadian vaskular lainnya. Berdasarkan prosedur penatalaksanaan pemberian obat antiplatelet sebagai pilihan dapat digunakan aspirin, clopidogrel, dipiridamole, dan aspirin Hills et. al., 2007; Husted,2007. Menurut Food Drug Administration ada tiga golongan obat antiplatelet, yakni Cyclooxygenase inhibitors, misalnya aspirin, Thienopyridine derivates misalnya clopidogrel dan ticlopidine, dan Phosphodiesterase inhibitors misalnya cilostazol dan dipiridamole Katzung, 2005. Aspirin merupakan obat antiplatelet pertama yang digunakan untuk mencegah stroke. Akan tetapi, dua dekade terakhir beberapa jenis obat antiplatelet lainnya dan kombinasi antara obat antiplatelet telah dievaluasi Universitas Sumatera Utara untuk digunakan dalam memperbaiki keefektifan dan keamanan dari penggunaan aspirin O’Donnel et. al., 2008. Aspirin acetylsalicyclic acid merupakan prototipe dari prostaglandin tromboxane A 2 TXA 2 yang memproduksi arakhidonat sehingga mengakibatkan perubahan bentuk dari platelet untuk mengeluarkan granul dan melakukan aggregasi Katzug, 2003; Michos et. al., 2006; Husted, 2007. Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 TXA 2 di dalam trombosit dan prostasiklin PGI 2 di pembuluh darah dengan menghambat secara irreversibel enzim siklooksigenase akan tetapi siklooksigenase dapat dibentuk kembali oleh sel endotel. Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembetukan TXA 2 , sebagai akibatnya terjadi pengurangan aggregasi trombosit. Aspirin dikatakan 170 kali lipat lebih poten pada COX-1 dari pada COX-2.Katzung, 2005; Dewoto, 2007. Mekanisme variabilitas dalam respon pengobatan dengan aspirin dianggap multifaktorial, mulai dari ketidak patuhan pasien, kegagalan dokter untuk meresepkan aspirin dengan akurat dan interaksi obat serta faktor genetik, seperti siklookasigenasi-1 polimorfisme Husted,2007. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.9 Mekanisme kerja Antiplatelet Patrono C. et. al.,2011. Gambar 2.10 Mekanisme Kerja Obat Aspirin Katzung,2005. 2.2.3 Mekanisme Kerja Aspirin Farmakokinetik Aspirin ASA diabsorbsi sebanyak 100 dengan bioavailabilitasnya 68. Waktu paruh aspirin selama 15 menit dan dieliminasi di ginjal bergantung pada pH. Ikatan protein plasma adalah 50- Universitas Sumatera Utara 80, semakin tinggi dosis, semakin rendah ikatan protein plasma Katzung, 2005. Asam asetil salisilat ASA bekerja dengan menghambat kedua bentuk isoform dari enzim COX dan dapat menurunkan sintesis prostaglandin dan tromboksan dalam tubuh. Perbedaan obat ini dengan obat anti-inflamasi nonsteroid yang lainnya adalah obat ini dapat menghambat COX secara irreversibel, sementara yang lainnya reversibel Vane et. al., 2003; Katzung, 2005. Aspirin ASA memunyai efek pleotropik. Selain mempunyai kerja sebagai antiplatelet, juga sebagai antitrombotik, sehingga aspirin dapat menurunkan kadar fibrinogen Altman et .al., 2004 2.2.4 Penggunaan Klinis Aspirin Asam asetil salisilat ASA melalui oral diserap dengan baik di lambung dan di intestinal dalam 4-10 menit dan mencapai puncaknya dalam plasma 30 – 40 menit Johnsten et .al., 2008; Hall et. al., 2011. Aspirin di hidrolasi di hepar menghasilkan asam salisilat. Metabolit inaktif dieksresikan melalui ginjal. Pada stroke iskemik akut, pemberian aspirin bermanfaat dalam mengurangi mikroaggregasi dari platelet dan TXA2. Dosis aspirin yang direkomendasikan pada stroke iskemik akut adalah dengan dosis 160 – 325 mg per hari. Lip et. al., 2003; Hall et. al., 2011. Sebaliknya Food and Drug Administration FDA menyetujui pemberian aspirin 325 mg per hari untuk profilaksis primer infark miokard. Katzung, 2005. Menurut Anti Thrombotic Drug pada tahun 2002, dosis aspirin Universitas Sumatera Utara untuk pengurangan kejadian vaskuler adalah: 150 – 1500 mg per hari sebanyak 19, 160 – 325 mg per hari sebanyak 28, 75 – 150 mg hari sebanyak 6, dan kurang dari 75 mg per hari sebanyak 13. Antithrombotic Trialist Collaboration, 2002. Menurut Guideline Stroke pada tahun 2011, aspirin dapat diberikan dalam 24 – 48 jam pertama setelah stroke dengan dosis awal 325 mg per hari. Rekomendasi ini termasuk klas I level of evidence A Guideline Stroke, 2011. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA2, sebagai akibatnya terjadi pengurangan aggregasi trombosit. Akan tetapi pemberian dosis kecil rendah kemungkinan dapat menyebabkan ” resistensi aspirin”. Dosis yang lebih tinggi selain meningkatkan toksisitas terutama perdarahan juga menjadi kurang efektif karena selain menghambat TXA2 juga menghambat prostasiklin Dewoto, 2007; Michos et. al., 2006. Pada penelitian ini menggunakan aspirin dosis tunggal 300 mg yang diikuti dengan 100 mg sekali sehari dan diikuti dengan penggunaan pada hari ke-14 dan hari ke-90. 2.2.5 Resistensi aspirin Menurut Michos et. al. 2006 melaporkan bahwa ada tiga penyebab dari resistensi aspirin, yakni faktor seluler, faktor klinis dan genetik. Faktor seluler dipengaruhi oleh COX-I, COX-II mRNA, eritrosit diinduksi aktivasi platelet, dan peninggian Norepinephrin. Pada faktor klinis dipengaruhi oleh kegagalan peresepan, non compliance, tidak diabsorbsi, interaksi dengan ibuprofen. Faktor genetik dipengaruhi oleh Universitas Sumatera Utara polimorfisme, COX-I, GP IIa reseptor, collagen reseptor dan vWF reseptor Michos et. al., 2006. 2.2.6 Efek Samping Aspirin Efek samping dari penggunaan aspirin adalah rasa tidak enak di perut, mual dan perdarahan saluran cerna, ruam kulit, purpura, dan alopesia Blann, et .al., 2003; Dewoto, 2007. 2.2.7 Kontraindikasi Aspirin Kontraindikasi pemberian aspirin dibagi menjadi dua, yakni absolut pada kondisi ulkus gastrontestinal yang aktif, hipersensitivitas, dan trombositopenia. Yang relatif adalah adanya riwayat ulkus atau dispepsia, penyakit dengan perdarahan, dan pemberian warfarin Blann et. al., 2003. 2.3 Pengobatan Stroke Iskemik 2. 3.1 Terapi Stroke Iskemik dengan Aspirin Pada stroke iskemik akut pemberian aspirin ASA dapat bermanfaat dalam mengurangi mikroaggregasi dari platelet dan thromboxane A 2 TXA 2 Wilterdink et. al., 2001. Pengurangan kejadian vaskular dengan menggunakan aspirin ASA berdasarkan hasil meta-analisis adalah dengan dosis 500 – 1500 mg per hari sebanyak 19, dosis 160 – 325 mg per hari sebanyak 26, Universitas Sumatera Utara dosis 75 – 150 mg per hari sebanyak 6, dan dosis kurang dari 75 mg per hari sebanyak 13 Antitrombotic Trialists Collaboration, 2002. Berdasarkan hasil meta-analisis O’ Donnel et. al. 2008, pada pemberian aspirin ditemukan efek samping antara lain perdarahan intrakranial simptomatik sebanyak 22 dan perdarahan ekstrakranial sebanyak 69 O’Donnel et. al., 2008. 2.3.2 . Keberhasilan Pengobatan Stroke Iskemik dengan Aspirin Menurut Guideline Stroke pada tahun 2011, aspirin dapat diberikan dalam 24 – 48 jam pertama setelah stroke dengan dosis awal 325 mg per hari. Rekomendasi ini termasuk klas I level of evidence A Guideline Stroke, 2011. Berdasarkan studi Wilterdink et. al. pada tahun 2001, dilakukan pada 1275 pasien stroke iskemik akut yang melakukan perbandingan keparahan stroke antara pasien yang mendapatkan aspirin dan tidak mendapat aspirin. Pada studi ini digunakan National Institute of Health and Stroke Scale NIHSS dan Suplemental Motor Examination SME untuk menilai keparahan stroke. Dari hasil penelitian ditemukan perbedaan signifikan pada skor NIHSS dan SME antara pasien yang menggunakan aspirin dan pasien yang tidak menggunakan aspirin Wilterdink et. al., 2001. Studi cilostazole for prevention of secondary stroke CSPS 2 Shinohara pada tahun 2010, melakukan penelitian untuk mengetahui perbandingan efikasi, keamanan cilostazol dan aspirin pasien stroke Universitas Sumatera Utara iskemik yang bukan kardioemboli. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cilostazol dibandingkan dengan aspirin kemungkinan lebih baik dalam mencegah kejadian stroke dan berhubungan dengan risiko perdarahan yang lebih rendah pada cilostazol Shinohara et. al., 2010. Sementara Hankey et. al., 2010 melakukan penelitian yang menilai efek dari clopidogrel ditambah aspirin dengan plasebo, ditambah aspirin terhadap fungsional keparahan stroke yang diukur dengan modified rankin scale mRS di antara semua penderita stroke dengan risiko tinggi. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penambahan clopidogrel dan aspirin tidak menunjukkan secara signifikan perubahan outcome fungsional keparahan stroke di antara pasien stroke dengan risiko tinggi. Nilai rerata skor mRS pada awal masuk adalah 36 + 1,8 pada subjek yang akan mendapatkan aspirin ditambah clopidogrel dan 3,4+ 1,8 pada subjek yang akan mendapatkan aspirin ditambah plasebo. Setelah dilakukan pemberian obat pada kedua subjek penelitian pada hari ke – 30 nilai rerata skor mRS tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Ini menunjukkan nilai rerata skor mRS pada hari ke -30 adalah 3,6 + 2,3 pada kelompok yang mendapatkan aspirin ditambah clopidogrel dan 3,3 + 2,1 pada kelompok yang mendapatkan aspirin ditambah plasebo. 2.4 Instrumen Pengukuran Keberhasilan Terapi Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairement, disabilitas, dan handicaps. WHO membuat batasan sebagai berikut Caplan, 2000: Universitas Sumatera Utara 1. Impairment adalah suatu kehilangan atau abnormalitas psikologis dan fisiologis atau fungsi struktur anatomis. 2. Disabilitas adalah setiap keterbatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan suatu aktivitas dengan cara atau dalam rentang yang dianggap normal untuk orang sehat. 3. Handicap adalah gangguan yang dialami oleh individu akibat impairment atau disabilitas yang membatasi perannya sebagai manusia normal. Penelitian klinis tentang stroke secara rutin menggunakan mortalitas sebagai outcome. Namun, terdapat outcome lainnya yang penting untuk investigasi klinis dan relevan dengan pasien, mencakup perubahan fungsi tubuh dan disabilitas. Sejumlah instrumen untuk menilai fungsi dan disabilitas telah dikembangkan. Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah digunakan dan merupakan pengukuran yang sensitif terhadap derajat keparahan stroke. Penilaian modified Rankin Skale mRS lebih sensitif dibandingkan dengan Barthel Indeks BI Weimar et. al., 2002. Modified Rankin Scale mRS mengukur tingkat ketergantungan, baik mental maupun adaptasi fisik yang digabungkan dengan defisit neurologis. Adapun skala yang digunakan untuk menilai outcome secara global adalah nilai 0 tidak ada gangguan, nilai 1 mampu melakukan semua aktivitas yang biasa sehari-hari, nilai 2 disabilitas ringan atau tidak mampu melakukan berbagai jenis aktivitas baru akan tetapi masih Universitas Sumatera Utara mampu mempertahankan urusan hal-hal sehari-hari tanpa bantuan, nilai 3 disabilitas sedang atau memerlukan sedikit pertolongan akan tetapi bisa berjalan tanpa bantuan, nilai 4 disabilitas sedang-berat atau tidak mampu berjalan tanpa bantuan dan tidak mampu melayani kebutuhan diri sendiri tanpa dibantu, Nilai 5 disabilitas berat atau bedridden, dan nilai 6 fatal atau meninggal Milan et. al., 2007. Berdasarkan penilaian outcome, nilai mRS 0 – 2 dikategorikan sebagai outcome baik dan nilai mRS 3 – 6 dikategorikan sebagai outcome buruk Milan et. al., 2007. Penilaian Barthel Index BI adalah menilai 10 aktivitas dasar dalam mengurus diri sendiri dan mobilitas. Skor maksimum adalah 100 fungsi fisik benar-benar tanpa bantuan dan nilai terendah adalah 0 Fungsi bergantung total Sulter et. al.,1999; Weimar et. al., 2002. Wypasek et al. 2012 mengkaji kaitan nilai luaran klinis BI atau mRS penderita stroke iskemik dengan polimorfism Gen Beta Fibrinogen -148 CT. Kelompok peneliti ini menemukan bahwa pada stroke nonfatal yang dirawat inap di rumah sakit lebih sering terjadi pada -148T allel carrier. Kumar et. al. 2013 melaporkan bahwa ada hubungan beta fibrinogen gen C 148 T dengan skala BI dan mRS pada stroke iskemik India Utara p0,05. Universitas Sumatera Utara 2.5. Kerangka Teori Dari uraian tinjauan pustaka diatas maka dapat digambarkan kerangka terori sebagai dasar menyusun kerangka konsep sebagai berikut: Gambar 2.11 Kerangka Teoritis FIBRINOGEN Kadar Fibrinogen Plasma GENETIK FAKTOR ASPIRIN VISKOSITAS DARAH AGGREGASI TROMBOSIT MODULASI FUNGSI ENDOTEL PROLIFERASI SEL OTOT POLOS VASKULER HIPERKOAGULASI TROMBOSIS OUTCOME Barthel Indeks Modified Rankin Scale USIA Polimorfisme FGB -455 GA Modifikasi Goldstein 2011 STROKE ISKEMIK Universitas Sumatera Utara Penjelasan kerangka teori: Kadar fibrinogen plasma dipengaruhi oleh faktor genetik dan non- genetik antara lain usia. Secara genetik kadar fibrinogen plasma dikendalikan oleh gen, allel, dan polimorfisme. Polimorfisme genetik merupakan perbedaan dalam urutan DNA di antara individu, kelompok, dan populasi. Polimorfisme gen beta fibrinogen -455 GA menyebabkan peningkatan kadar fibrinogen dalam darah hiperfibrinogenemia. Lokus mutasi pada polimorfisme ini terjadi di daerah promoter. Kelainan di daerah ini menyebabkan gen tersebut kurang atau tidak aktif. Akibatnya, aktivitas gen fibrinogen menjadi tidak terkendali sehingga biosintesis fibrinogen meningkat dan menyebabkan peninggian kadar fibrinogen di dalam darah hiperfibrinogenemia. Keadaan hiperfibrinogenemia dipengaruhi oleh viskositas darah, aggregasi trombosit, modulasi fungsi endotel dan proliferasi sel otot polos vaskuler sehingga dapat menyebabkan status koagulasi darah terganggu. Keadaan ini menyebabkan status koagulasi darah lebih cenderung ke arah protrombotik. Ini menyebabkan viskositas darah meningkat, perlambatan aliran darah, memudahkan terjadi agregasi trombosit, dan adesi trombosit ke endotel. Hal ini mendorong terjadinya trombosis dan aterogenesis di dalam sistem vaskuler dan dapat menimbulkan terjadinya stroke iskemik Apabila proses ini didasari oleh kelainan yang bersifat genetik polimorfisme gen beta fibrinogen -455GA, stroke akan terjadi lebih dini atau pada usia lebih muda. Universitas Sumatera Utara Aspirin merupakan obat antiplatelet pertama yang digunakan untuk mencegah stroke. Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 di dalam trombosit dan prostasiklin di pembuluh darah sehingga obat aspirin dapat menghambat terjadinya thrombosis dan juga dapat menurunkan kadar fibrinogen di dalam darah. Penilaian disabilitas stroke dapat digunakan skala Barthel Indeks dan Modified Rankin Scale. Penilaian Modified Rankin Scale ini mengukur tingkat ketergantungan, baik mental maupun adaptasi fisik yang digabungkan dengan defisit neurologis. Sebaliknya penilaian skala Barthel Indeks ditujukan pada sepuluh aktivitas dasar dalam mengurus diri sendiri dan mobilitas penderita stroke. 2.6 Hipotesis Penelitian Dari pertanyaan penelitian di atas dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 2.6.1 Hipotesis Mayor Ada pengaruh polimorfisme gen beta fibrinogen -455 GA.pada pemberian aspirin dan efeknya terhadap skor Barthel Indeks dan modified Rankin Scale penderita stroke iskemik berdasarkan kelompok usia. 2.6.2 Hipotesis Minor 1. Terdapat perbedaan polimorfisme menurut usia 2. Terdapat perbedaan kadar fibrinogen menurut polimorfisme Universitas Sumatera Utara 3. Terdapat perbedaan kadar fibrinogen menurut usia. 4. Terdapat perbedaan nilai Barthel Indeks modified rankin scale pre dan pasca-aspirin menurut polimorfisme 5. Terdapat perbedaan nilai Barthel Indeks modified rankin scale pre dan pasca-aspirin menurut usia 6. Terdapat perbedaan nilai Barthel Indeks modified rankin scale pre dan pasca-aspirin menurut kadar fibrinogen Universitas Sumatera Utara 2.7 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan hipotesis minor dapat dibuat kerangka konsep penelitian sebagai berikut: Keterangan Yang diteliti Gambar 2.12 Kerangka Konsep Outcome Skor Barthel Indeks Skor Modified Rankin Scale Polimorfisme gen Beta Fibrinogen - 455 GA FIBRINOGEN USIA ASPIRIN Universitas Sumatera Utara 83

BAB III METODE PENELITIAN

Dokumen yang terkait

Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale

1 79 106

Hubungan Kadar Fibrinogen Dengan Hasil Pemeriksaan Transcranial Doppler (TCD) Pada Penderita Stroke Iskemik Akut

5 76 109

Hubungan Kadar Albumin Serum Dan Outcome Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes

4 89 131

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1. Definisi - Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale

0 0 24

Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale

0 1 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen-455 G ke A Pada Pemberian Aspirin Dan Efeknya Terhadap Skor Barthel Indeks Dan Modified Rankin Scale Penderita Stroke Iskemik Berdasarkan Kelompok Usia

0 0 67

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen-455 G ke A Pada Pemberian Aspirin Dan Efeknya Terhadap Skor Barthel Indeks Dan Modified Rankin Scale Penderita Stroke Iskemik Berdasarkan Kelompok Usia

0 0 15

Pengaruh Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen-455 G ke A Pada Pemberian Aspirin Dan Efeknya Terhadap Skor Barthel Indeks Dan Modified Rankin Scale Penderita Stroke Iskemik Berdasarkan Kelompok Usia

1 1 37

Pengaruh Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen-455 G ke A Pada Pemberian Aspirin Dan Efeknya Terhadap Skor Barthel Indeks Dan Modified Rankin Scale Penderita Stroke Iskemik Berdasarkan Kelompok Usia

0 0 8

Pengaruh Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen-455 G ke A Pada Pemberian Aspirin Dan Efeknya Terhadap Skor Barthel Indeks Dan Modified Rankin Scale Penderita Stroke Iskemik Berdasarkan Kelompok Usia

0 0 15