BAGIAN 5 - Seselisia Ernawati
55
Warga Semalah tinggal di rumah-rumah panggung yang tiang tonggaknya sering terendam air. Tiap rumah dihubungkan ke sebuah jembatan panjang yang juga
berfungsi sebagai jalan dusun. Dusun ini berpenduduk 218 jiwa, mayoritas Suku Melayu. Perempuan hampir 50 dari penduduk dusun itu.
Meski perempuan memperoleh akses untuk memanfaatkan sumber daya alam, tidak demikian dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaannya. Perempuan
tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan kampung, rapat priau untuk madu, rapat nelayan maupun pemanfaatan lahan bersama, sekalipun ia adalah
perempuan kepala keluarga.
Padahal bukan saja bertanggung jawab pada urusan rumah tangga, perempuan turut berperan mendukung ekonomi keluarga. Perempuanlah pemeran utama di
ladang dan kebun. Membantu suami mencari dan memelihara ikan juga bagian mereka.
ANCAMAN MENGINTAI
Tahun 2004, bagian hutan lindung Semalah ditawar cukong kayu lokal. Dianggap sebagai sumber uang, melalui pertemuan kampung yang hanya dihadiri laki-laki,
warga desa sepakat menerima walau dengan perdebatan alot. Namun, belakangan mereka mengakui penebangan kayu ini tidak menambah kesejahteraan, hanya
memperkaya segelintir orang.
Awalnya, melalui banyak pertemuan antar kampung, Semalah dikenal sebagai kampung nelayan Melayu yang ingin mempertahankan keutuhan hutan mereka.
Namun maraknya penebangan hutan, kebutuhan akan uang tunai menjadi dorongan kuat bagi masyarakat Semalah untuk menebang hutan.
Setahun terakhir sebelum penebangan hutan dihentikan pemerintah tahun 2005, mereka akhirnya turut menebang hutan. Walau hasilnya tidak membantu
ekonomi keluarga secara menonjol.
Yang tersisa, bekas lahan penebangan. Ini menyebabkan bukan saja kerusakan alam, beresiko pula bagi keutuhan keanekaragaman hayati di hutan dan Danau
Sentarum. Akhirnya mengancam masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar Danau Sentarum.
56
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
BERLADANG, MATA PENCAHARIAN BARU
Setelah para cukong pergi, warga setempat memutuskan memanfaatkan lahan bekas penebangan hutan menjadi kebun karet. Lahan dibagi 66 kapling, masing-
masing selebar 30 tombak 1 tombak sekitar 1,5 m untuk tiap keluarga, memanjang ke arah kaki Bukit Semalah. Tiap keluarga dapat mengolah sesuai kemampuan.
Sementara menunggu waktu tanam dan pengumpulan bibit karet, para perempuan menggarapnya untuk ladang dan kebun dengan harapan menutupi belanja dapur
sehari-hari. Pada awalnya hanya tujuh keluarga yang membuka ladang, saat ini ada 70 keluarga turut menggarapnya.
Hanya sedikit perempuan Semalah yang pernah berladang. Mereka memang tidak mempunyai tradisi berladang selama ini. Untuk membuka ladang baru,
mereka harus belajar dari awal perihal berladang. Penambahan mata pencarian ini bahkan membuat beberapa dari mereka pergi mengunjungi kerabat Suku
Dayak Iban di kampung lain untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan menggarap lahan.
Jauhnya lahan ladang baru ini bukan halangan bagi mereka. Memerlukan satu jam bersampan mesin 15 pk, dilanjutkan berjalan kaki sekitar dua jam untuk
sampai di lokasi. Belum lagi jauhnya sumber air bersih dari ladang baru, sekitar dua jam berjalan ke kaki Bukit Menyukung. Sering mereka harus membawa bekal
air setiap kali ke ladang. Namun demi manfaat jangka panjang,
mereka mau melakukan pekerjaan
berat ini. “Jika menanam karet di tanah sendiri,” kata Ibu Salma salah
satu warga desa, “Hasilnya bukan
saja untuk kami, tapi juga untuk anak cucu. Nanti kami juga bisa lihat
hutan karet.”
Beberapa laki-laki
membantu keluarga menebang kayu untuk
persiapan membuka
ladang, menugal
dan merontokkan
padi. Namun secara keseluruhan perempuanlah yang paling banyak
mengurusi ladang.
Ladang Suku Dayak Iban di Taman Nasional Danau Sentarum
Foto oleh Yayan IndriatmokoCIFOR
BAGIAN 5 - Seselisia Ernawati