Sekali proses terjadi pada tahap cognitive menurut Festinger Kasali, 2001, adjustment akan terus berlangsung kepada proses selanjutnya yatu affective dan
cognitive. Namun demikian Berkman Gilson 1936 lebih pragmatis dalam mengkaji kembali praktek dissonance ini. Dalam telaahnya dikatakan bahwa
kebanyakan intra-attitude dissonance yang terjadi, terutama disebabkan adanya konflik antara komponen-komponen cognitive dan affective. Masalahnya para pesaing
memang mengkonsentrasikan komunikasi persuasifnya pada kedua tahap ini. Pada tahap cognitive, pesaing berusaha meyakinkan konsumen dengan menonjolkan
kekhasan dan keunggulannya dan menyesalkan konsumen yang tidak mencoba produk dari dulu.
Pada tahap affective, pesaing mencoba mempengaruhi alam emosi konsumen menjadi suka atau tidak suka. Ketidakseimbangan antara rasio dan emosi adalah
prasyaratutama bagi keberhasilan kampanye dissonance. Bagi produk atau jasa tertentu yang pasar sasarannya sangat labil dan emosional, dissonance dimulai
dengan mengacaukan alam emosi Surip, 2011: 70,72.
2.1.3 Teori S-O-R
Dimulai pada tahun 1930-an, lahir suatu model klasik komunikasi yang banyak mendapat pengaruh teori psikologi. S-O-R sebagai singkatan dari Stimulus-
Organism-Response ini semula berasal dari psikologi. Kalau kemudian menjadi juga teori komunikasi, tidak mengherankan, karena objek material dari psikologi dan ilmu
komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen: sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi dan konasi.
Asumsi dasar dari model ini adalah: media massa menimbulkan efek yang terarah, segera dan langsung terhadap komunikan. Teori S-O-R ini menunjukkan
bahwa komunikasi merupakan proses aksi-reaksi. Artinya model ini mengasumsikan bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-simbol tertentu akan merangsang
orang lain memberikan respons dengan cara tertentu. Pola S-O-R ini dapat berlangsung secara positif atau negatif; misal: jika orang tersenyum akan dibalas
dengan senyuman ini merupakan reaksi positif, namun jika orang tersenyum dibalas
Universitas Sumatera Utara
dengan palingan muka maka ini merupakan reaksi negatif. Model inilah yang kemudian mempengaruhi suatu teori klasik komunikasi yaitu teori jarum suntik
Hypodermic Needle. Asumsi dari teori inipun tidak jauh berbeda dengan teori S-O- R, yakni bahwa media secara langsung dan cepat memiliki efek yang kuat terhadap
komunikan. Artinya media diibaratkan sebagai jarum suntik besar yang memiliki kapasitas sebagai perangsang S dan menghasilkan tanggapan R yang kuat pula.
Menurut teori S-O-R, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan
kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikasi. Jadi unsur-unsur dalam model ini adalah:
• Pesan Stimulus, S • Komunikan Organism, O
• Efek Response, R
Hovland, et al 1953 mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut
menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri atas: • Stimulus rangsang yang diberikan pada organisme dapat diterima atau
ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi
bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.
• Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme diterima maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
• Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya bersikap.
• Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut perubahan
individu
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus rangsang yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula.
Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor
reinforcement memegang peranan penting. Dalam proses komunikasi berkenaan dengan sikap adalah aspek “how” bukan
“what” dan “why”. Jelasnya how to communicate, dalam hal ini how to change attitude, bagaimana mengubah sikap komunikan. Dalam proses perubahan sikap
tampak bahwa sikap dapat berubah, hanya jika stimulus yang menerpa benar-benar melebihi semula. Prof. Dr. Mar’at dalam bukunya “Sikap Manusia, Perubahan serta
Pengukurannya, mengutip pendapat Hovland, Janis, dan Kelley yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap yang baru ada tiga variabel penting, yaitu:
• Perhatian • Pengertian
• Penerimaan
Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian dari
komunikan. Proses berikutnya komunikan mengerti. Kemampuan komunikan inilah yang melanjutkan proses berikutnya. Setelah komunikan mengolahnya dan
menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap Effendy, 2003: 256.
Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang stimulus yang berkomunikasi dengan
organisme. Artinya kualitas dari sumber komunikasi sources misalnya kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku
seseorang, kelompok atau masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Proses komunikasi dalam model S-O-R dapat dirumuskan sebagai berikut: Gambar 2.1
Model S-O-R Stimulus Organisme Perhatian, Pengertian, Penerimaan
Respon Perubahan Sikap
Jika substansi teori diatas dihubungkan dengan penelitian pengaruh pesan peringatan kesehatan terhadap kesadaran perokok di Kelurahan Sei Rengas II,
Kecamatan Medan Area, maka hubungannya dengan teori S-O-R dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Stimulus Pesan yang dimaksud adalah isi atau informasi pesan peringatan kesehatan yang terletak di bagian bawah belakang bungkus rokok.
2. Organisme Komunikan yang menjadi sasaran adalah masyarakat perokok yang dalam penelitian ini adalah masyarakat perokok aktif berusia 21 sampai
61 tahun di Kelurahan Sei Rengas II, Kecamatan Medan Area. 3. Respon Efek yang dimaksud adalah apabila masyarakat menjadi sadar
terhadap bahaya merokok dari pesan peringatan kesehatan tersebut.
2.1.4 Kesadaran