PENGARUH PENATAAN TEMPAT TIDUR TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS DERAJAT I PADA PASIEN TIRAH BARING

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dekubitusmerupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan neurologis, penyakit kronis, penurunan status mental, pasien yang dirawat di ruang Intensive (ICU), onkologi, dan pasien dengan ortopedik (Potter & Perry, 2010). Dekubitus merupakan lesi atau kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang terjadi secara terus-menerus pada daerah yang ada penonjolan tulang sehingga merusak jaringan yang ada dibawahnya dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).

Dekubitus merupakan masalah yang sering terjadi di Rumah Sakit di Amerika Serikat yaitu berkisar 3 – 11 % pada unit perawatan akut dan 24 % pada unit perawatan jangka panjang (Ayello, 2007). Fasilitas perawatan akut di Amerika Serikat memperkirakan 2,5 juta dekubitus ditangani setiap tahunnya (Reddy et al, 2006). Insiden dekubitus sekitar 12-66% pada pasien bedah, 17-27% pada pasien bedah jantung dan 20-32% pada pasien yang usia lanjut (Schouchoff, 2002).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suriadi et al, (2007) menyatakan bahwa kejadian dekubitus pada pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Pontianak mencapai 33,3%. Penelitian yang dilakukan oleh Tarihoran, et al (2010) didapatkan angka kejadian dekubitus di Siloam Hospital ruang unit stroke (Neuroscience Unit)


(2)

sebesar 37,5%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Handayani, et al (2011) di ruang unit bedah RSUD Abdoel Moeloek Provinsi Lampung didapatkan angka kejadian dekubitus sebesar 26,67%. Ketiga penelitian diatas dilakukan dalam waktu 3 hari. Dekubitus dapat terjadi dalam waktu 3 hari sejak terpaparnya kulit oleh adanya tekanan (Vanderwee et al, 2006).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Februari 2016, jumlah tempat tidur Intensive Care Unit / Intensive Coronary Care Unit (ICU/ICCU) sebanyak 7 tempat tidur dan 7 di ruang Intermediate Care (IMC). Jumlah pasien yang masuk di ruang ICU/ICCU dan IMC setiap bulannya berdasarkan data dari rekam medis masing - masing 20 pasien. Angka kejadian dekubitus di ruang IMC pada bulan Desember 2015 1 pasien dan bulan Januari sampai Februari 2016 sebanyak 3 pasien, dan di ruang ICU/ICCU sebanyak 1 pasien yang terjadi dekubitus dan rata – rata sudah terjadi luka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada masing – masing kepala ruang, kejadian dekubitus ada ditemukan dengan tanda – tanda kemerahan terlihat pada saat memandikan pasien akan tetapi karena tidak adanya format untuk mengkaji derajat dekubitus di ruangan, sehingga menyebabkan tidak terdokumentasikan dengan baik.

Kejadian dekubitus akan menimbulkan komplikasi yang serius pada kesehatan pasien, kualitas hidup pasien, dan bisa menyebabkan sepsis, bahkan sampai menyebabkan kematian, oleh karena itu pencegahan harus menjadi fokus utama daripada penyembuhan, dekubitus sebenarnya bisa dicegah dan


(3)

biayanya lebih murah dibanding untuk pengobatan (Ayello, 2007 & Hopkin et al, 2000).

Apabila terjadi dekubitus sulit untuk disembuhkan dan memerlukan biaya yang tinggi, menyebabkan perawatan menjadi lebih lama di Rumah Sakit dan meningkatkan mortalitas (Ignatavicius & Workman, 2006). Biaya yang dibutuhkan untuk penyembuhan dekubitus sangat tinggi, dikarenakan perawatan di Rumah Sakit yang lama, yang tentunya memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi bagi seluruh keluarga pasien, kemungkinan terburuk adalah pasien dapat meninggal karena septikemia (Morison, 2004). Berdasarkan hasil survei di Amerika Serikat biaya yang dibutuhkan untuk perawatan pasien yang menderita dekubitus berkisar antara $ 500 – 400.000 (Rp. 6.587.500 – 5.270.000.000), jumlah ini bervariasi tergantung dari derajat dekubitus dan komplikasi yang dialami pasien, sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk tindakan pencegahan dekubitus tidak mencapai setengah dari biaya yang dipakai untuk mengobati dekubitus tersebut (Curtis, Allman, & Hill, 2007).

Pencegahan dekubitus merupakan prioritas pada pasien yang mengalami keterbatasan mobilisasi (Potter & Perry, 2006). Langkah utama pencegahan terjadinya dekubitus adalah keakuratan pengkajian resiko terjadinya dekubitus sehingga perawat dapat menetapkan dan melaksanakan intervensi untuk pencegahan (Kottner 2009). Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP, 2014) untuk mencegah kejadian dekubitus ada 5 (lima) point yang bisa digunakan untuk menilai faktor resiko dekubitus, diantaranya adalah


(4)

mengkaji pasien yang beresiko terkena dekubitus, melakukan perawatan pada kulit pasien, memperbaiki status nutrisi pasien, support surface, dan pemberian edukasi pada pasien dan keluarganya. Tujuan utama pencegahan dekubitus adalah mengurangi tekanan pada kulit sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke daerah tertentu, prinsipnya adalah dengan menyebarkan tekanan ke semua permukaan misalnya menggunakan alat yang bisa menurunkan tekanan permukaan (Coats & Bennett, 2002).

Tindakan keperawatan dalam upaya pencegahan secara dini terjadinya dekubitus di Rumah Sakit adalah menjaga tekanan permukaan tempat tidur tetap stabil (Elkin et al, 2003). Tekanan kapiler normal 12 – 32 mmHg, sehingga tekanan diatas 32 mmHg meningkatkan tekanan interstitial yang berdampak pada penurunan oksigenasi (Dini, et al., 2006). Salah satu tindakan untuk menjaga tekanan permukaan dengan metode penataan tempat tidur. Metode penataan tempat tidur merupakan salah satu kunci keterampilan keperawatan yang penting untuk memberikan kenyamanan, dan kebersihan tempat tidur bagi pasien (Elkin et al, 2003). Kekuatan gaya geser dan gesekan pada tempat tidur tidak bisa dipisahkan dari adanya tekanan, karena gaya tersebut merupakan komponen integral dari pengaruh tekanan pada pasien (Malone & McInnes, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Sumara (2013) penggunaan metode bed makingan occupied bed lipat sudut 90° mempunyai tekanan permukaan lebih rendah dibandingkan dengan metode tali sudut.

Dukungan permukaan (support surfaces), digunakan untuk mengelola tekanan eksternal pada tonjolan tulang, berdasarkan ketatnya (kencangnya)


(5)

lembar seprei atau linen dapat menyebabkan dekubitus (Matsuo et al, 2011). Kekuatan dari seprei ini bisa membuat kulit teriritasi (Bloomfield et al, 2008). Mekanisme timbulnya dekubitus ini berawal dari adanya tekanan permukaan yang intensif dan lama, sehingga toleransi jaringan berkurang (Bryant, 2000). Dengan adanya tekanan permukaan atau desakan pada kulit yang terus - menerus, sehingga menyebabkan suplai darah yang menuju kulit terputus dan jaringan akan mati (Bryant & Denise, 2007).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada masing – masing kepala ruang, yaitu ruang ICU/ICCU dan IMC di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, pencegahan terhadap dekubitus yang diterapkan di ruangan adalah dengan memandikan pasien setiap hari yaitu pagi hari, pemberian lotion, dan perubahan posisi setiap 2 jam. Penataan tempat tidur (bed making) yang diterapkan di ruang ICU/ICCU dan IMC adalah metode tali sudut dimana ujung ke empat sisi kasur diberikan ikatan kemudian ditarik dan dimasukkan kedalam kasur. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala ruang di ruangan tersebut metode ini diterapkan dengan pertimbangan praktis dan cepat dalam pelaksanaan serta seprei tampak lebih rapi. Pada pemasangan seprei yang tertalu kencang akan meningkatkan gaya gesekan (friction) pada pasien, dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada kepala bagian unit linen mengatakan kasur dan linen yang digunakan di ruangan ICU/ICCU dan IMC sudah sesuai standar.

Identifikasi pasien yang beresiko tinggi mengalami dekubitus sangat penting untuk efektifitas penatalaksanaan dekubitus, karena sangat


(6)

menentukan strategi dan tindakan yang akan digunakan dalam pencegahan terjadinya dekubitus dan untuk pengkajian resiko dekubitus diharapkan menggunakan instrumen pengkajian yang direkomendasikan yang dapat diaplikasikan pada praktik klinik (Kottner, 2009). Menurut Jaul (2010), instrumen yang paling banyak digunakan serta direkomendasikan dalam mengkaji resiko terjadinya dekubitus antara lain : Skala Norton, Braden, dan Skala Waterlow.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh antara penataan tempat tidur lipat sudut 90° terhadap kejadian dekubitus derajat I pada pasien tirah baring di ruang Intensive Care Unit / Intensive Coronary Care Unit (ICU/ICCU) dan Intermediate Care (IMC) Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh penataan tempat tidur lipat sudut 90° terhadap kejadian dekubitus derajat Ipada pasientirah baring.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.


(7)

b. Mengidentifikasi pengaruh penataan tempat tidur lipat sudut 90° dan metode tali sudut terhadap kejadian dekubitus derajat I pada pasien tirah baring.

c. Mengidentifikasi pengaruh faktor-faktor perancu dengan kejadian dekubitus derajat I.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Ilmu Pengetahuan / Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi di bidang ilmu keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah mengenai penataan tempat tidur lipat sudut 90° dalam menurunkan tingkat kejadian dekubitus derajat Ipada pasientirah baring.

2. Bagi Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan intervensi dan penatalaksanaan pada pasien tirah baring dalam menurunkan tingkat kejadian dekubitus derajat I.


(8)

E. Peneltian Terkait (Originilitas)

No Peneliti Judul Penelitian Jenis Peneltian Perbedaan Penelitian 1 Suriadi, et al

(2007)

Risk Factors In The Development Of Pressure Ulcers In An Intensive Care Unit In Pontianak, Indonesia

Prospective Cohort Design

Perbedaan

penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pada variabel yang di teliti dan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy-experiment post-test only with control group. 2 Fernandes &

Caliri, (2008)

Using The Braden And Glasgow Scales To Predict Pressure Ulcer Risk In Patient Hospitalized At Intensive Care Unit

Ekplorasi Deskriptip

Perbedaan

penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pada variabel yang di teliti dan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy-experiment post-test only with control group. 3 Shahin, et al

(2008)

Pressure Ulcer Prevalence In Intensive Care Patients : A Cross-Sectional Study

Cross Sectional Study

Perbedaan yang dilakukan oleh peneliti adalah pada variabel yang di teliti dan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy-experiment post-test only with control group. 4 Tarihoran, et

al (2010)

Pengaruh Posisi Miring 30 Derajat Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I

Quasi-Experimental Post-Test Only With Control

Perbedaan

penelitan yang dilakukan oleh peneliti adalah


(9)

(Non Blanchable Erythema) Pada Pasien Stroke Di Siloam Hospitals

Group pada variabel

bebas

(independent) yang di teliti. 5 Handayani,

et al (2011)

Efektifitas

Penggunaan Virgin Coconut Oil (Vco) Dengan Massage Untuk Pencegahan Luka Tekan Grade I Pada Pasien Yang Berisiko Mengalami Dekubitus Di Rsud Dr. Hi. Abdoel Moeloek Provinsi Lampung

Quasi- Experimental Dengan Post-Test Only

Perbedaan

penelitan yang dilakukan oleh peneliti adalah pada variabel bebas

(independent) yang di teliti.

6 Sumara, (2013)

Efektivitas Metode Bed Making : An

Occupied Bed

Terhadap Tekanan Interface

Quasi Eksperimen With Pre Post Test Design

Perbedaan yang dilakukan oleh peneliti adalah pada variabel terikat

(dependent) yang di teliti yaitu kejadian

dekubitus derajat I dan pendekatan

waktu yang

digunakan dalam penelitian ini adalah quasy-experiment post-test only with control group.


(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Dekubitus

a. Definisi Dekubitus

Dekubitus merupakan kerusakan kulit pada suatu area dan dasar jaringan yang disebabkan oleh tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan, pergeseran, gesekan atau kombinasi dari beberapa hal tersebut (NPUAP, 2014). Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan dari luar yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa, gangguan ini terjadi pada individu yang berada diatas kursi atau diatas tempat tidur, seringkali pada inkontinensia, malnutrisi, ataupun individu yang mengalami kesulitan makan sendiri, serta mengalami gangguan tingkat kesadaran (Potter & Perry, 2005). Sedangkan menurut Perry et al, (2012) dekubitus adalah luka pada kulit dan atau jaringan dibawahnya, biasanya disebabkan oleh adanya penonjolan tulang, sebagai akibat dari tekanan atau kombinasi tekanan dengan gaya geser dan atau gesekan.


(11)

b. Klasifikasi Dekubitus

National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) 2014 membagi derajat dekubitus menjadi enam dengan karakteristik sebagai berikut :

1) Derajat I : Nonblanchable Erythema

Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-tanda akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), dan perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih luka akan kelihatan sebagai kemerahan yang menetap, sedangkan pada orang kulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu. Cara untuk menentukan derajat I adalah dengan menekan daerah kulit yang merah (erytema) dengan jari selama tiga detik, apabila kulitnya tetap berwarna merah dan apabila jari diangkat juga kulitnya tetap berwarna merah.


(12)

2) Derajat II : Partial Thickness Skin Loss

Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka merah-pink, abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal. Derajat I dan II masih bersifat refersibel.

Gambar 2.2. Dekubitus derajat II (Sumber : NPUAP, 2014) 3) Derajat III : Full Thickness Skin Loss

Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam. Disebut sebagai “typical decubitus” yang ditunjukkan dengan adanya kehilangan bagian dalam kulit hingga subkutan, namun tidak termasuk tendon dan tulang. Slough mungkin tampak dan mungkin meliputi undermining dan tunneling.


(13)

4) Derajat IV : Full Thickness Tissue Loss

Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon atau otot. Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada beberapa bagian dasar luka (wound bed) dan sering juga ada undermining dan tunneling. Kedalaman derajat IVdekubitus bervariasi berdasarkan lokasi anatomi, rongga hidung, telinga, oksiput dan malleolar tidak memiliki jaringan subkutan dan lukanya dangkal. Derajat IV dapat meluas ke dalam otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia, tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis. Tulang dan tendon yang terkena bisa terlihat atau teraba langsung.

Gambar 2.4. Dekubitus derajat IV (Sumber : NPUAP, 2014) 5) Unstageable : Depth Unknown

Kehilangan jaringan secara penuh dimana dasar luka (wound bed) ditutupi oleh slough dengan warna kuning, cokelat, abu-abu, hijau, dan atau jaringan mati (eschar) yang berwarna coklat atau hitam didasar luka. slough dan atau eschar dihilangkan sampai cukup untuk melihat (mengexpose) dasar luka, kedalaman luka yang benar, dan oleh karena itu derajat ini tidak dapat ditentukan.


(14)

Gambar 2.5. Dekubitus unstageable / depth unknown (Sumber : NPUAP, 2014)

6) Suspected Deep Tissue Injury : Depth Unknown

Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang terkena luka secara terlokalisir atau kulit tetap utuh atau adanya blister (melepuh) yang berisi darah karena kerusakan yang mendasari jaringan lunak dari tekanan dan atau adanya gaya geser. Lokasi atau tempat luka mungkin didahului oleh jaringan yang terasa sakit, tegas, lembek, berisi cairan, hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan jaringan yang ada di dekatnya. Cidera pada jaringan dalam mungkin sulit untuk di deteksi pada individu dengan warna kulit gelap. Perkembangan dapat mencakup blister tipis diatas dasar luka (wound bed) yang berkulit gelap. Luka mungkin terus berkembang tertutup oleh eschar yang tipis. Dari derajat dekubitus diatas, dekubitus berkembang dari permukaan luar kulit ke lapisan dalam (top-down), namun menurut hasil penelitian saat ini, dekubitus juga dapat berkembang dari jaringan bagian dalam seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya adanya


(15)

kerusakan pada permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah injury jaringan bagian dalam (Deep Tissue Injury). Hal ini disebabkan karena jaringan otot dan jaringan subkutan lebih sensitif terhadap iskemia daripada permukaan kulit (Rijswijk & Braden, 1999).

Gambar 2.6. Dekubitus Suspected deep tissue injury : depth unknown (Sumber : NPUAP, 2014)

c. Tempat (Lokasi) Kejadian Dekubitus

Menurut Stephen & Haynes (2006), mengilustrasikan area-area yang beresiko untuk terjadinya dekubitus. Dekubitus terjadi dimana tonjolan tulang kontak dengan permukaan. Adapun lokasi yang paling sering adalah sakrum, tumit, dan panggul. Penelitian yang dilakukan oleh Suriadi, et al (2007) 33,3% pasien mengalami dekubitus dengan lokasi kejadian adalah pada bagian sakrum 73,3%, dan tumit 13,2%, 20 pasien yang mengalami dekubitus derajat I, dan 18 pasien mengalami derajat II, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fernandes & Caliri, (2008) pasien yang mengalami dekubitus sebanyak 62, 5% (40) dengan kriteria 57,1% (30) mengalami derajat I, dan 42,9% mengalami derajat II, lokasi kejadian dekubitus dalam


(16)

penelitian ini adalah pada tumit 35,7%, sakrum 22,9%, dan skapula 12,9%.

Gambar 2.7. Area yang paling beresiko terjadi dekubitus (Sumber: NPUAP, 2007).

d. Faktor Resiko Dekubitus

Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya dekubitus dibagi menjadi dua bagian, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik (Bansal, et al., 2005). Braden & Bergstorm (2000), mengembangkan sebuah skema untuk menggambarkan faktor-faktor resiko terjadinya dekubitus.


(17)

Skema 2.1. Faktor resiko dekubitus

Sumber : Braden dan Bergstorm, (2000)

Ada dua hal utama yang berhubungan dengan resiko terjadinya dekubitus, yaitu faktor tekanan dan toleransi jaringan. Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas tekanan diatas tulang yang menonjol adalah imobilitas, inaktifitas dan penurunan persepsi sensori. Sedangkan faktor yang mempengaruhi toleransi jaringan dibedakan

TEKANAN

TOLERANSI JARINGAN Mobilitas

Aktivitas

Persepsi Sensori

Extrinsic Factors : : Kelembaban : Friction : Shear

Intrinsic Factors : : Nutrisi

: Usia

: Tekanan Arteriolar Merokok

Suhu Kulit

PERKEMBANGAN PRESSURE ULCER


(18)

menjadi dua faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang berasal dari pasien, sedangkan yang dimaksud dengan faktor ekstrinsik yaitu faktor-faktor yang berhubungan dari luar yang mempunyai efek deteriorasi pada lapisan eksternal dari kulit (Braden dan Bergstorm, 2000).

Penjelasan dari masing-masing faktor yang mempengaruhi dekubitus diatas adalah sebagai berikut :

1. Faktor Tekanan

a. Mobilitas dan Aktivitas

Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktifitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien dengan berbaring terus-menerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena dekubitus. Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian dekubitus (Braden & Bergstorm, 2000). Sedangkan imobilitas pada lansia merupakan ketidakmampuan untuk merubah posisi tubuh tanpa bantuan yang disebabkan oleh depresi CNS (Jaul. 2010). Ada beberapa penelitian prospektif maupun retrospektif yang mengidentifikasi faktor spesifik penyebab imobilitas dan inaktifitas, diantaranya Spinal Cord Injury (SCI), stroke, multiple sclerosis, trauma (misalnya patah tulang), obesitas, diabetes, kerusakan kognitif, penggunaan obat (seperti sedatif,


(19)

hipnotik, dan analgesik), serta tindakan pembedahan (AWMA, 2012).

b. Penurunan Persepsi Sensori

Pasien dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan lebih beresiko mengalami gangguan integritas kulit daripada pasien dengan sensasi normal. Pasien dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan adalah pasien yang tidak mampu merasakan kapan sensasi pada bagian tubuh mereka meningkat, adanya tekanan yang lama, atau nyeri dan oleh karena itu pasien tanpa kemampuan untuk merasakan bahwa terdapat nyeri atau tekanan akan menyebabkan resiko berkembangnya dekubitus (Potter & Perry, 2010).

2. Faktor Toleransi Jaringan : a. Faktor Intrinsik :

1) Nutrisi

Hipoalbumin, kehilangan berat badan dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai faktor predisposisi terhadap terjadinya dekubitus, terutama pada lansia. Derajat III dan IV dari dekubitus pada orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi (Guenter, et al., 2000). Menurut Jaul (2010), ada korelasi yang kuat antara status nutrisi yang buruk dengan peningkatan resiko


(20)

dekubitus. Keller, (2002) juga menyebutkan bahwa 75% dari pasien dengan serum albumin dibawah 35 g/l beresiko terjadinya dekubitus dibandingkan dengan 16 % pasien dengan level serum albumin yang lebih tinggi. Pasien yang level serum albuminnya di bawah 3 g/100 ml lebih beresiko tinggi mengalami luka daripada pasien yang level albumin tinggi (Potter & Perry, 2010).

2) Umur / Usia

Pasien yang sudah tua memiliki resiko tinggi untuk terkena dekubitus karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan proses penuaan (Sussman & Jensen, 2007). 70% dekubitus terjadi pada orang yang berusia lebih dari 70 tahun. Seiring dengan meningkatnya usia akan berdampak pada perubahan kulit yang di indikasikan dengan penghubung dermis-epidermis yang rata (flat), penurunan jumlah sel, kehilangan elastisitas kulit, lapisan subkutan yang menipis, pengurangan massa otot, dan penurunan perfusi dan oksigenasi vaskular intradermal (Jaul, 2010) sedangkan menurut Potter & Perry, (2005) 60% - 90% dekubitus dialami oleh pasien dengan usia 65 tahun keatas.


(21)

3) Tekanan arteriolar

Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu mengakibatkan jaringan menjadi iskemia (Suriadi, et al., 2007). Studi yang dilakukan oleh Bergstrom & Braden (1992) menemukan bahwa tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada perkembangan dekubitus.

b. Faktor ekstrinsik : 1) Kelembaban

Adanya kelembaban dan durasi kelembaban pada kulit meningkatkan resiko pembentukan kejadian dekubitus. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, perspirasi yang berlebihan, serta inkontinensia fekal dan urine (Potter & Perry, 2010). Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain itu, kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan pergeseran (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka daripada inkontinensia urine karena adanya bakteri dan enzim pada feses yang dapat meningkatkan PH kulit sehingga dapat


(22)

merusak permukaan kulit (Sussman & Jansen, 2001., AWMA, 2012).

2) Gesekan

Gaya gesek (Friction) adalah tekanan pada dua permukaan bergerak melintasi satu dan yang lainnya seperti tekanan mekanik yang digunakan saat kulit ditarik melintasi permukaan kasar seperti seprei atau linen tempat tidur (WOCNS, 2003). Cidera akibat gesekan memengaruhi epidermis atau lapisan kulit yang paling atas. Kulit akan merah, nyeri dan terkadang disebut sebagai bagian yang terbakar. Cidera akibat gaya gesek terjadi pada pasien yang gelisah, yang memiliki pergerakan yang tidak terkontrol seperti keadaan spasme dan pada pasien yang kulitnya ditarik bukan diangkat dari permukaan tempat tidur selama perubahan posisi (Potter & Perry, 2010). Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan. Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada saat pergantian seprei pasien yang tidak berhati-hati (Dini, et al., 2006).

3) Pergeseran

Gaya geser adalah peningkatan tekanan yang sejajar pada kulit yang berasal dari gaya gravitasi, yang menekan


(23)

tubuh dan tahanan (gesekan) diantara pasien dan permukaan (Potter & Perry, 2010). Contoh yang paling sering adalah ketika pasien diposisikan pada posisi semi fowler yang melebihi 30°. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Jaul (2010) bahwa pada lansia akan cenderung merosot kebawah ketika duduk pada kursi atau posisi berbaring dengan kepala tempat tidur dinaikkan lebih dari 30°. Pada posisi ini pasien bisa merosot kebawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak kebawah namun kulitnya masih tertinggal. Hal ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit (WOCNS, 2005).

Ada hipotesis lain mengenai faktor pencetus terjadinya dekubitus, antara lain sebagai berikut :

1. Merokok

Merokok mungkin sebuah prediktor terbentuknya dekubitus. Insiden dekubitus lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. afinitas hemoglobin dengan nikotin dan meningkatnya radikal bebas diduga sebagai penyebab resiko terbentuknya dekubitus pada perokok (Bryant, 2007). Menurut hasil penelitian Suriadi (2007) ada hubungaan


(24)

yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap dekubitus.

2. Temperatur kulit

Setiap terjadi peningkatan metabolisme akan menaikkan 1 derajat celcius dalam temperatur jaringan. Dengan adanya peningkatan temperatur ini akan beresiko terhadap iskemik jaringan. Selain itu dengan menurunnya elastisitas kulit, akan tidak toleran terhadap adanya gaya gesekan dan pergerakan sehingga akan mudah mengalami kerusakan kulit (AWMA, 2012). Hasil penelitian didapatkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara peningkatan temperatur tubuh dengan resiko terjadinya dekubitus (Bergstrom and Braden 1992, Suriadi dkk, 2007).

3. Penyakit Kronis

Selain beberapa faktor diatas, Australian Wound Management Association (AWMA, 2012) juga menyebutkan penyakit kronis sebagai salah satu faktor ekstrinsik terjadinya dekubitus. Penyakit kronis dapat mempengaruhi perfusi jaringan, dimana penyakit dan kondisi tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pengiriman oksigen ke jaringan. Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan resiko terjadinya dekubitus, diantaranya adalah diabetes mellitus, kanker, penyakit pada pembuluh darah arteri, penyakit kardiopulmonar,


(25)

lymphoedema, gagal ginjal, tekanan darah rendah, abnormalitas sirkulasi serta anemia.

e. Pengkajian Resiko Terjadinya Dekubitus

Ada 5 (lima) instrumen yang digunakan dalam mengkaji resiko terjadinya dekubitus (Kozier, 2010). Sedangkan menurut Jaul (2010), instrumen yang paling banyak digunakan serta direkomendasikan dalam mengkaji resiko terjadinya dekubitus antara lain : Skala Norton, Braden, dan Skala Waterlow.

1) Skala Norton

Skala Norton pertama kali ditemukan pada tahun 1962, dan skala ini menilai lima faktor resiko terhadap kejadian dekubitus diantaranya adalah : kondisi fisik, kondisi mental, aktivitas, mobilisasi, dan inkontinensia. Total nilai berada diantara 5 sampai 20. Nilai 16 di anggap sebagai nilai yang beresiko (Norton, 1989), sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Carville, (2007), apabila mencapai skor 14 sudah dinyatakan diambang resiko dekubitus dan bila skor ≤ 12, dinyatakan beresiko tinggi terjadinya dekubitus.

2) Skala Braden

Pada Skala Braden terdiri dari 6 sub skala faktor resiko terhadap kejadian dekubitus diantaranya adalah : persepsi sensori, kelembaban, aktivitas, mobilitas, nutrisi, pergeseran dan gesekan. Nilai total berada pada rentang 6 sampai 23, nilai rendah


(26)

menunjukkan resiko tinggi terhadap kejadian dekubitus (Braden dan Bergstrom, 1989). Apabila skor yang didapat mencapai ≤ 16, maka dianggap resiko tinggi mengalami dekubitus (Jaul, 2010). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang validitas instrumen pengkajian resiko dekubitus antara lain untuk skala Braden di ruang ICU mempunyai sensitivitas 83% dan spesifitas 90% dan di nursing home mempunyai sensitivitas 46% dan spesifitas 88%, sedangkan diunit orthopedic mempunyai sensitivitas 64% dan spesifitas 87%, dan diunit Cardiotorasic mempunyai sensitivitas 73% dan spesifitas 91% (Bell J, 2005).

3) Skala Waterlow

Hasil revisi pada tahun 2005, pada skala Waterlow terdapat sembilan kategori klinis yang meliputi : tinggi badan dan peningkatan berat badan, tipe kulit dan area resiko yang tampak, jenis kelamin dan usia, skrining malnutrisi, mobilitas, malnutrisi jaringan, defisit neurologis, riwayat pembedahan atau trauma, serta riwayat pengobatan (AWMA,2012). Semakin tinggi skor, semakin tinggi resiko terjadinya dekubitus. Skor ≥ 20 diprediksi memiliki resiko sangat tinggi terjadinya dekubitus(Carville, 2007).

4) Skala Gosnell

Skala Gossnell pertama kali ditemukan pada tahun 1973. Pada skala ini mengacu pada skala Norton, namun pada skala ini juga ada beberapa point penilaian yang digantikan seperti : kondisi


(27)

fisik menjadi nutrisi, dan inkontinensia dirubah menjadi kontinensia. Skala ini menilai lima faktor diantaranya adalah : status mental, kontinensia, mobilisasi, aktivitas, dan nutrisi, total nilai berada pada rentang antara 5 sampai 20 dimana total nilai tinggi mengidentifikasi resiko kejadian dekubitus (Gosnell, 1987). Sedangkan menurut Carville (2007), lima parameter tersebut digolongkan lagi menjadi 3 – 5 sub kategori, dimana skor yang lebih tinggi mempunyai resiko lebih besar terhadap kejadian dekubitus.

5) Skala Knoll

Skala ini dikembangkan berdasarkan faktor resiko pasien yang berada di ruang perawatan akut Rumah Sakit Besar. Pada skala ini ada delapan faktor resiko terhadap kejadian dekubitus diantaranya adalah : status kesehatan umum, status mental, aktivitas, mobilisasi, inkontinensia, asupan nutrisi melalui oral, asupan cairan melalui oral, dan penyakit yang menjadi faktor predisposisi. Total nilai berada pada rentang 0 sampai 33, nilai tinggi menunjukkan resiko tinggi terjadi dekubitus, nilai resiko berada pada nilai 12 atau lebih (Kozier, 2010).

Berdasarkan hasil meta analisis Australian Wound Management Association (AWMA, 2012) yang mengindikasikan bahwa skala braden mempunyai reliabilitas paling kuat. Scoonhoven, et al (2002) melalui penelitian dengan desain cohort prospective menyatakan


(28)

braden’s scale instrument terbaik untuk prediksi dekubitus diunit bedah, interne, neurologi, dan geriatri jika dibandingkan Norton’s scale dan Waterlow. Skala Braden mempunyai validitas yang paling tinggi dibandingkan dengan skala yang lainnya (Satekoa & Ziakova, 2014). Skala braden lebih efektif dibandingkan dengan skala Norton dalam memprediksi risiko dekubitus di ruang ICU (Bhoki, 2014). Sedangkan menurut Mufarika (2013) skala Braden mempunyai validitas prediksi yang baik dalam memprediksi kejadian dekubitus. f. Pencegahan Dekubitus

Pencegahan dekubitus merupakan prioritas dalam perawatan pasien dan tidak terbatas pada pasien yang mengalami keterbatasan mobilisasi (Potter & Perry, 2006). Untuk mengurangi kemungkinan perkembangan dekubitus pada semua pasien, perawat harus melakukan berbagai macam tindakan pencegahan, seperti perawat menjaga kebersihan kulit pasien, untuk mempertahankan integritas kulit, mengajarkan pasien dan keluarga untuk pencegahan dan memberikan asuhan keperawatan mengenai cara mencegah dekubitus (Kozier, 2010).

Berdasarkan National Pressure Ulcer Advisory Panel (2007), untuk mencegah kejadian terhadap dekubitus ada 5 (lima) point yang bisa digunakan untuk menilai faktor resiko dekubitus, antara lain sebagai berikut :


(29)

1) Mengkaji faktor resiko

Pengkajian resiko dekubitus seharusnya dilakukan pada saat pasien masuk Rumah Sakit dan diulang dengan pola yang teratur atau ketika ada perubahan yang signifikan pada pasien, seperti pembedahan atau penurunan status kesehatan (Potter & Perry, 2010). Berdasarkan National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP, 2014) mempertimbangkan semua pasien yang berbaring ditempat tidur dan dikursi roda, atau pasien yang kemampuannya terganggu untuk memposisikan dirinya, dengan menggunakan metode yang tepat dan valid yang dapat diandalkan untuk menilai pasien yang beresiko terhadap kejadian dekubitus, mengidentifikasi semua faktor resiko setiap pasien (penurunan status mental , paparan kelembaban, inkontinensia, yang berkaitan dengan tekanan, gesekan, geser, imobilitas, tidak aktif, defisit gizi) sebagai panduan pencegahan terhadap pasien yang beresiko, serta memodifikasi perawatan yang sesuai dengan faktor resiko setiap pasien.

2) Perawatan pada kulit

Perawatan kulit yang dimaksud disini adalah dengan cara menjaga kebersihan kulit dan kelembaban kulit dengan memberikan lotion atau creams. Mengontrol kelembaban terhadap urine, feses, keringat, saliva, cairan luka, atau tumpahan air atau makanan, melakukan inspeksi setiap hari terhadap kulit. Kaji


(30)

adanya tanda-tanda kerusakan integritas kulit (Carville, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Handayani, et al (2011) pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) dengan massage efektif untuk digunakan dalam pencegahan dekubitus derajat I pada pasien yang berisiko mengalami dekubitus. Penelitian yang dilakukan oleh Utomo, et al (2014) Nigella Sativa Oil efektif untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus pada pasien tirah baring lama.

3) Memperbaiki status nutrisi

Australian Wound Management Association (AWMA, 2012) memberikan rekomendasi untuk standar pemberian makanan untuk pasien dengan dekubitus antara lain intake energi/kalori 30 – 35 kal/kg per kgBB/hari, 1 – 1,5 g protein/kg per kg BB/hari dan 30 ml cairan/kg per kg BB/hari.

4) Support surface

Support surface yang bertujuan untuk mengurangi tekanan (pressure), gesekan (friction) dan pergeseran (shear) (Carville, 2007). Support surface ini terdiri dari tempat tidur, dan matras meja operasi, termasuk pelengkap tempat tidur dan bantal (AWMA, 2012).

5) Memberikan edukasi

Pendidikan kesehatan kepada keluarga dilakukan secara terprogram dan komprehensif sehingga keluarga diharapkan berperan serta secara aktif dalam perawatan pasien, topik


(31)

pendidikan kesehatan yang dianjurkan adalah sebagai berikut : etiologi dan faktor resiko dekubitus, aplikasi penggunaan tool pengkajian resiko, pengkajian kulit, memilih dan atau gunakan dukungan permukaan, perawatan kulit individual, demonstrasi posisi yang tepat untuk mengurangi resiko dekubitus, dokumentasi yang akurat dari data yang berhubungan, demonstrasi posisi untuk mengurangi resiko kerusakan jaringan, dan sertakan mekanisme untuk mengevaluasi program efektifitas dalam mencegah dekubitus (NPUAP, 2014).

2. Menyiapkan / Penataan Tempat Tidur (Bed Making) a. DefinisiTempat Tidur

Tempat tidur merupakan suatu alat yang diperlukan pasien, jika pasien tersebut masuk ke Rumah Sakit dan menjalani rawat inap (Ely, 2011). Penataan tempat tidur (bed making) adalah keterampilan utama perawat yang sangat penting dan harus dimiliki oleh perawat untuk memberikan kenyamanan, kebersihan dan kesejahteraan bagi pasien. Penataan tempat tidur (bed making) membutuhkan keterampilan teknis dan praktis dan pertimbangan harus diberikan untuk masalah keamanan, bergerak, penanganan dan praktik pengendalian infeksi (Bloomfield, 2008). Keamanan dan kenyamanan pasien adalah yang utama pentingnya ketika menata tempat tidur, dalam beberapa pengaturan seprei tidak akan diganti setiap hari, namun setiap seprei


(32)

basah atau kotor harus diganti segera dan apabila diperlukan (Elkin et al, 2003). Ukuran seprei yang sering digunakan di Rumah Sakit 160 x 270 cm. Perencanaan sangat penting ketika menyiapkan tempat tidur dan memastikan bahwa seprei dan peralatan lainnya yang diperlukan berada di ruangan sebelum memulai melakukan tindakan dan akan membantu dalam manajemen waktu yang lebih efisien (Elkin et al, 2003). Adapun peralatannya mencakup : seprei bersih, selimut, seprei penutup, sarung bantal, celemek plastik, dan seprei melintang.

b. Jenis – Jenis Penataan Tempat Tidur (bed making)

Menurut Bloomfield (2008), jenis penataan tempat tidur (bed making) yang direkomendasikan di Rumah Sakit adalah :

1) An Unoccupied Bed

Teknik untuk membuat tempat tidur an unoccupied bed digunakan ketika pasien mampu pindah dari tempat tidur. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :

a) Siapkan lingkungan, periksa tempat tidur dalam keadaan terkunci untuk mencegah gerakan yang tidak terduga dan menyesuaikan tinggi tempat tidur. Bagian kepala tempat tidur harus direndahkan dan menurunkan pengaman samping tempat tidur. Hambatan lingkungan seperti lemari samping tempat tidur dan perabotan lainnya harus dipindahkan untuk memungkinkan akses yang mudah ke tempat tidur (Elkin et al 2003).


(33)

b) Setelah mencuci tangan selanjutnya mengenakan celemek plastik untuk mencegah penyebaran mikroorganisme dari seprei ke pakaian. Hal ini akan mengurangi resiko infeksi silang (Bloomfield, 2008).

c) Ambil bantal dari tempat tidur dan mengganti sarung bantal yang membutuhkan pergantian. Sarung bantal yang kotor letakkan ditempat seprei atau linen kotor yang kosong.

d) Dua perawat harus bekerjasama diseberang sisi tempat tidur, melonggarkan seprei dari kasur dan membuka dari tempat tidur, membuka seprei, dan selimut satu per satu secara teratur. e) Tempatkan dan bentangkan seprei bersih ditengah, atas dan sampai melebihi panjang kasur sehingga bisa ditarik sampai ke bawah kasur. Sebelum menyelipkan sisi lembar seprei, buat sudut dapat dengan cara menyelipkan seprei sampai berbentuk 90°. Pastikan lembaran bawah pada seprei tidak berkerut dan tetap kencang untuk mencegah timbulnya dekubitusdan pasien yang dalam kondisi tidak nyaman(Elkin et al 2003).

f) Tempatkan bantal yang bersih dibagian kepala tempat tidur. Menyesuaikan ketinggian tempat tidur yang tepat bagi pasien untuk menjamin keamanan dan kenyamanan (Elkin et al, 2003).


(34)

g) Lepaskan celemek plastik, mencuci tangan menggunakan teknik yang direkomendasikan untuk meminimalkan resiko infeksi silang.

2) An Occupied Bed

Mengganti alat tenun yang kotor pada tempat tidur pasien tanpa memindahkan pasien yang bertujuan untuk memberikan perasaan senang kepada pasien, untuk mencegah terjadinya dekubitus, dan memelihara kebersihan dan kerapian (Ely, 2011). Adapun prosedurnya sebagai berikut :

a) Jelaskan prosedur tindakan kepada pasien untuk mendapatkan persetujuan dari pasien, ini akan membantu mengurangi kecemasan dan memfasilitasi pasien untuk kerjasama selama prosedur.

b) Tutup pintu atau menarik pengaman tirai sekitar ruang tidur pasien, ini akan membantu menjaga privasi pasien.

c) Siapkan lingkungan, periksa kunci roda tempat tidur untuk mencegah gerakan yang tidak terduga dan menyesuaikan tinggi tempat tidur yang tepat untuk menjamin keamanan dan kendala lingkungan seperti tempat loker atau perabotan lainnya harus dipindahkan ketempat yang lain untuk mempermudah dalam melakukan tindakan.

d) Mencuci tangan dan selanjutnya mengenakan celemek plastik untuk mencegah infeksi silang (Bloomfield, 2008).


(35)

e) Pindahkan semua bantal kecuali yang dipakai pasien, untuk meningkatkan kenyamanan dan mempertahankan dukungan. Sarung bantal diganti dan ditempatkan pada keranjang kotor. Keranjang diposisikan dekat tempat tidur untuk mengurangi potensi penularan mikroorganisme dari seprei atau linen. Letakkan bantal pada dekat tempat tidur.

f) Dengan dua perawat bekerjasama berlawanan sisi tempat tidur, melonggarkan semua seprei dari kasur dan mengganti seprei. Ini harus rapi dilipat, sisanya seprei dan selimut harus dibiarkan dipakai pasien dan diambil dengan hati-hati untuk memastikan bahwa pasien tetap tertutup sepanjang waktu untuk menjaga privasi dan kenyamana pasien (Elkin et al, 2003).

g) Minta pasien untuk memiringkan badan ke salah satu sisi dengan dibantu oleh perawat. Perhatikan adanya alat medis terpasang pada pasien seperti kateter, infus, drainase luka, untuk mencegah terjadinya atau terlepasnya alat tersebut. h) Menggulung seprei yang terpasang atau yang akan diganti dari

satu sisi memanjang ketengah tempat tidur menuju pasien. Tempatkan seprei bersih di kasur dan gulung lagi memanjang kearah pasien.

i) Minta pasien untuk miring ke sisi berlawanan. Hal ini akan memungkinkan menarik seprei yang kotor dan segera menarik seprei yang bersih.


(36)

j) Tempatkan lembaran dalam seprei kotor pada keranjang kotor untuk mencegah kontak dengan pakaian dan resiko infeksi silang.

k) Tarik seprei yang bersih, sebelum menyelipkan sisi seprei pada bagian bawah tempat tidur dan setelah itu buat sudut 90°. Hal ini untuk memastikan bahwa lembaran bawah seprei tetap kencang dan bebas dari kerutan dan akan membantu untuk mencegah pengembangan dekubitus dan mengurangi ketidaknyamanan pasien (Elkin, et al, 2003).

l) Pastikan pasien memakai selimut untuk menjaga kenyamanan dan privasi pasien.

m) Selipkan bagian sisi atas seprei ke bawah matras begitu juga dengan bagian kaki. Untuk memudahkan pergerakan pasien dan kenyamanan bagian bawah tidak terlalu kencang.

n) Pastikan selimut bagian bawah pada kaki diselipkan dibawah kasur bersamaan dengan seprei.

o) Bagian atas seprei, selimut dilipat sekitar 30 cm dari atas tempat tidur untuk kenyamanan pasien.

p) Pasang sarung bantal bersih dan letakkan dibawah kepala pasien.

q) Bantu pasien untuk menentukan posisi yang nyaman termasuk tempat tidur, perangkat medis yang terpasang dengan menempatkan bel untuk memanggil perawat disisi tempat tidur.


(37)

Bantal tambahan mungkin diperlukan untuk membantu posisi pasien atau untuk mencegah perkembangan dekubitus.

r) Pastikan ketinggian tempat tidur dan pastikan kenyamanan dan keselamatan pasien. Letakkan kembali barang seperti kursi, meja disamping tempat tidur harus diatur kembali sesuai dengan kenyamanan pasien.

s) Lepaskan celemek plastik, cuci tangan atau dekontaminasi menggunakan tekhnik yang direkomendasikan untuk meminimalkan resiko infeksi silang.

c. Metode Penataan Tempat Tidur (Bed Making) Di Rumah Sakit Metode pemasangan seprei (bed making) telah diterapkan demi menjamin kenyamanan pasien khususnya di Rumah Sakit. Berbagai jenis metode pemasangan seprei yang digunakan diberbagai Rumah Sakit khususnya di Yogyakarta berdasarkan Sumara (2013) adalah sebagai berikut :

1) Metode sudut 90°

Pemasangan seprei dengan membuat sudut 90° pada setiap sudut seprei terhadap matras/kasur. Tempatkan dan bentangkan seprei bersih ditengah, atas dan sampai melebihi panjang kasur sehingga bisa ditarik sampai bawah kasur. Sebelum menyelipkan sisi lembar seprei, buat sudut dapat dengan cara menyelipkan seprei sampai terbentuk sudut 90°. Pastikan lembaran bawah pada seprei tetap tidak berkerut. Hal ini untuk memastikan bahwa


(38)

lembaran bawah seprei bebas kerut akan membantu untuk mencegah pengembangan dekubitus dan mengurangi ketidaknyamanan pasien (Bloomfield, 2008). Metode ini sama dengan prosedur pemasangan prosedur pemasngan seprei atau linen pada an occupied bed. Metode ini mempunyai ketegangan permukaan yang fleksibel untuk menahan berat badan.

2) Metode tali sudut

Metode tali sudut adalah pemasangan seprei dengan membuat tali pada setiap sudut seprei kemudian ditali dan ditarik kencang sehingga bisa dimasukkan dalam matras/kasur, metode ini mempunyai regangan yang lebih kuat sehingga dapat mengurangi kerutan ataupun lipatan pada seprei. Menurut Matsuo, et al (2011) tentang effect on air matress pressure redistributtion caused by different in bed making menyimpulkan bahwa metode “corner” atau sudut pojok menurunkan area kontak menjadi 0,6 dibandingkan dengan “No Treatment” yang meningkat 1,8 kali dari MIP (Maximum Interface Pressure) dan mengganggu tekanan redistribusi fungsi dari kasur, sedangkan metode “Tie” atau tali sudut bisa menghambat redistribusi fungsi tekanan dengan cara yang sama dengan metode “No Treatment”. Kesimpulan : disarankan menggunakan metode “Corner” karena yang memiliki efek redistribusi tekanan pada kasur udara.


(39)

Pada saat berbaring di matras busa permukaan matras ikut melengkung mengikuti lengkungan tubuh kita. Bagian tubuh yang bersentuhan dengan seprei dan kasur sangat luas sehingga tekanan yang dilakukan tubuh kecil. Apabila berbaring diatas papan keras, maka papan tidak bisa mengikuti lengkungan tubuh sehingga permukaan yang bersentuhan dengan tubuh kecil sehingga tekanan yang dilakukan tubuh terhadap papan lebih besar (Abdullah, 2004). Hal tersebut sama pada penerapan metode pemasangan seprei tali sudut yang mempunyai regangan yang kuat sehingga menciptakan suatu tahanan yang berefek pada tekanan yang meningkat. Sedangkan pada metode pemasangan seprei an occupied bed mempunyai gaya tarikan yang minimal sehingga tekanan yang diciptakan lebih kecil.

3) Metode karet

Metode karet adalah pemasangan seprei dengan menggunakan jenis seprei yang sudah terpasang karet disetiap sudutnya. Biasanya jenis ini sudah model dari perusahaan atau model dari pabrik seprei tersebut. Pada jenis ini diharapkan pemasangan seprei menjadi lebih mudah, cepat dan sangat praktis di tatanan Rumah Sakit. Ketegangan metode ini kurang dapat dikontrol apabila karet pada seprei telah aus, sehingga kurang mampu menahan berat badan pasien.


(40)

d. Hubungan Penataan Tempat Tidur Dengan Dekubitus

Penataan tempat tidur (bed making) berkaitan dengan tekanan, gaya geser dan gesek (shear dan friction). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumara (2013) tekanan permukaan (interface pressure) pada metode bed making an occupied bed lipat sudut 90° lebih rendah dan stabil dibandingkan dengan metode bed making tali sudut. Gaya geser terjadi saat memindahkan pasien dari tempat tidur ke usungan dan kulit pasien ditarik melalui tempat tidur, saat geseran terjadi kulit dan lapisan subkutan yang melekat pada permukaan tempat tidur serta lapisan otot dan tulang meluncur searah dengan pergerakan tubuh. Kapiler yang berada dibawah jaringan teregang dan terjepit oleh gaya geser yang mengakibatkan terjadi nekrosis diantara jaringan. Kerusakan jaringan terjadi di jaringan dalam sehingga meyebabkan kerusakan dermis (Potter & Perry, 2010). Gesekan juga dapat menyebabkan cidera pada kulit pasien yang disebabkan oleh pergerakan kulit pasien pada seprei. Luka gesekan juga dapat terjadi pada pasien yang sakit tetapi tidak dapat merasakan sensasi nyeri, misalnya pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran (Langemo & Black, 2010).

Gaya geser adalah tekanan pada permukaan melintasi satu dan yang lainnya seperti tekanan mekanik yang digunakan saat kulit ditarik melintasi permukaan kasar seperti seprei atau linen tempat tidur (WOCN, 2003). Berbeda dengan cidera akibat gaya geser, cidera


(41)

akibat gesekan memengaruhi epidermis atau lapisan kulit yang paling luar. Gaya gesek ini terjadi pada pasien yang pada saat diubah posisinya atau dikembalikan ke posisi semula ditarik bukan diangkat dari permukaan tempat tidur (Potter & Perry, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Lahmann, et al (2011) menyatakan gaya geser dan gesek sebagai penyebab yang paling tinggi untuk terjadinya Dekubitus.


(42)

B. Kerangka Teori

Skema 2.2. Kerangka Teori (Sumber : Braden dan Bergstorm, 2000) TEKANAN

TOLERANSI JARINGAN Aktivitas

Persepsi Sensori

Extrinsic Factors : : Kelembaban : Friction : Shear

Intrinsic Factors : : Nutrisi

: Usia

: Tekanan Arteriolar Merokok

Suhu Kulit

PERKEMBANGAN

DEKUBITUS Mobilitas

Penataan tempat tidur Lipat Sudut 90°

Reposisi Setiap 2 - 4 jam


(43)

C. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Skema 2.3. Kerangka Konsep Keterangan :

: diteliti

D. Hipotesis

Premise mayor : Tekanan permukaan (interface pressure) yang tinggi bisa menyebabkan kejadian dekubitus, standar ukuran tekanan permukaan normal adalah < 35 mmHg (Suriadi, et al.,

Intervensi yang

diberikan pada

responden : Perawatan Rumah Sakit + penataan tempat tidur lipat sudut 90°

Variabel Perancu : 1. Usia

2. Diagnosa medis 3. Riwayat Merokok

4. Tingkat resiko

dekubitus

5. Temperatur kulit Penataan tempat tidur

Lipat Sudut 90°

Kejadian


(44)

2007). Potter & Perry (2006) menyatakan dekubitus terjadi sebagai hubungan antara waktu dan tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar insiden terbentuknya kejadian dekubitus.

Premise minor : Penataan tempat tidur lipat sudut 90° lebih rendah tekanan permukaannya (interface pressure) dibandingkan dengan metode tali sudut (Sumara, 2013)

Hipotesis : Penataan tempat tidur lipat sudut 90° lebih baik dari metode tali sudut dalam menurunkan tingkat kejadian dekubitus derajat I.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy-experiment post-test only with control group. Rancangan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimental (Nursalam, 2014). Pada penelitian ini terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan yang diberikan penataan tempat tidur lipat sudut 90° dan kelompok kontrol diberikan rutinitas Rumah Sakit yaitu penataan tempat tidur dengan metode tali sudut dan akan dilihat kejadian dekubitus derjat I dari kedua perlakuan tersebut. Adapun skema dari desain penelitian ini adalah sebagai berikut :

Kelompok Perlakuan (KP)

X 01

Kelompok Kontrol (KK)

(-) 02

Keterangan :

X : Perlakuan penataan tempat tidur (bed making) lipat sudut 90° pada kelompok perlakuan.

(-) : Perlakuan penataan tempat tidur (bed making) rutinitas Rumah Sakit metode tali sudut pada kelompok kontrol.

O1 : Hasil yang diamati pada kelompok perlakuan. O2 : Hasil yang diamati pada kelompok kontrol.


(46)

B. Populasi Dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek / subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang dirawat di ruang Intermediate Care (IMC) Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang berjumlah 235 pasien dalam 1 tahun terakhir yaitu tahun 2015. 2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2009). Sampel pada penelitian ini adalah pasien bedrest yang dirawat di ruang Intensive Care Unit / Intensive Coronary Care Unit (ICU/ICCU) dan Intermediate Care (IMC) Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi. Tekhnik pengambilan sampel menggunakan non probability sampling : accidental sampling yaitu mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia disuatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2012).

Sampel dalam penelitian ini adalah dengan mengambil jumlah rata-rata kunjungan pasien pada masing-masing ruangan sebanyak 20 pasien setiap bulannya. Dengan demikian, jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 20 responden pada masing-masing kelompok. Selama proses penelitian 5 responden pada kelompok perlakuan dan 4 responden pada


(47)

kelompok kontrol mengalami drop out sehingga jumlah responden menjadi 17 responden pada masing-masing kelompok sampai waktu yang telah ditentukan dalam penelitian ini, bahkan peneliti menambah waktu 2 minggu dalam proses penelitian. Jumlah keseluruhan responden pada penelitian ini sebanyak 34 responden.

Kriteria inklusi dan eksklusi responden pada penelitian ini adalah : Kriteria Inklusi :

a. Pasien yang baru masuk ruang ICU/ICCU dan IMC b. Pasien tirah baring/bedridden

c. Tidak terjadi dekubitus d. Skor skala braden ≤ 18 Kriteria Eksklusi :

a. Pasien yang dipindah ruangan atau keluar rumah sakit sebelum 5 hari perlakuan

b. Pasien yang menggunakan kasur dekubitus c. Pasien yang gelisah

C. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang Intensive Care Unit / Intensive Coronary Care Unit (ICU/ICCU) dan Intermediate Care (IMC) Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan April – Juni 2016.


(48)

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah karakteristik atau atribut seorang individu atau suatu organisasi dan lainnya yang dapat diukur atau diobservasi (Creswell, 2014). Adapun variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variabelbebas(independent) adalah variabel-variabel yang menyebabkan, mempengaruhi, atau berefek pada outcome / variabel dependent (Creswell, 2014). Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu penataan tempat tidur. 2. Variabel terikat (dependent) adalah variabel-variabel yang bergantung

pada variabel bebas (Creswell, 2014). Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu kejadian dekubitus derajat I.

E. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Bebas dan Terikat Variabel Definisi

Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala (variabel

bebas) Penataan tempat tidur

Metode atau

cara yang

digunakan dalam pemasangan seprei pada tempat tidur pasien di Rumah Sakit yang dilakukan

selama 5 hari.

1. Penataan tempat tidur lipat sudut 90° 2. Penataan

tempat tidur metode tali sudut - - (variabel terikat) Kejadian Dekubitus derajat I Kemerahan pada

area yang

tertekan (sakrum, skapula,

trokanter, dan tumit) yang tidak hilang saat

Derajat dekubitus menurut sistem klasifikasi yang ditetapkan oleh EPUAP-NPUAP 2014

1 : Terjadi dekubitus derajat I (Non Blanchable Erythema) jika terdapat

kemerahan yang menetap


(49)

Variabel Definisi

Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

diberikan ringan selama 3 detik dan kemerahan menetap setelah tekanan

dilepaskan.

pada area

setelah diberikan tekanan ringan. 2 : Tidak terjadi

dekubitus derajat I (Non Blanchable Erythema) jika tidak ditemukan tanda-tanda kemerahan yang menetap setelah

diberikan tekanan ringan pada area yang dilakukan pemeriksaan. F. Instrumen Penelitian

Arikunto (2010), menyatakan instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Braden untuk menilai tingkat resiko dekubitus dan derajat dekubitus untuk menilai derajat dekubitus berdasarkan Europen Pressure Ulcer Advisory Panel dan National Pressure Ulcer Advisory Panel (EPUAP & NPUAP, 2014).

G. Uji Validitas Dan Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas instrumen dalam penelitian ini sudah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya dan merupakan instrumen


(50)

yang sudah baku, oleh sebab itu peneliti tidak melakukan uji validitas kembali. Skala Braden memiliki nilai reliabilitas antara 0.83 dan 0.99. Sensitivitas berkisar 83-100% dan spesifisitas 64 -90% (Braden, et al, 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Kale, (2009) dengan hasil penelitian menunjukan bahwa skala Braden mempunyai validitas prediksi yang baik pada cut of point 15, memiliki nilai sensitifitas 88.2%, spesifitas 72.7%. Penelitian yang dilakukan oleh Defloor & Scoonhoven (2004) tentang klasifikasi dekubitus oleh EPUAP, hasilnya adalah inter-raterreliability kriteria klasifikasi ini baik dengan nilai uji Kappa : 0.08 (p < 0.001).

Pada penelitian ini masing-masing ruangan menggunakan asisten peneliti sebanyak 3 orang dengan jumlah keseluruhan 6 orang, sebelum penelitian dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan uji Kappa terhadap peneliti dan asisten peneliti untuk menyamakan persepsi antara peneliti dan asisten peneliti agar data yang dihasilkan valid. Berdasarkan uji Kappa yang dilakukan antara peneliti dan asisten peneliti pada instrumen skala Braden di ruang IMC diperoleh hasil nilai koefisiensi signifikansinya 0.022 untukasisten peneliti 1 dan 2, 0.016 untuk asisten peneliti 3, hasil ini (< 0.05) berarti uji Kappa signifikan/bermakna dengan demikian tidak ada perbedaan persepsi mengenai karakteristik skala Braden yang diamati antara peneliti dengan ketiga asisten peneliti. Sedangkan uji Kappa pada instrumen skala Braden pada ruang ICU/ICCU antara penelitia dan ketiga asisten peneliti didapatkan hasil 0.022 pada ketiga asisten peneliti, hasil ini (< 0.05) berarti hasilnya signifikan/bermakna dengan demikian tidak ada perbedaan persepsi antara


(51)

peneliti dengan ketiga asisten peneliti. Hasil uji Kappa pada instrumen derajat dekubitus di ruang IMC dan ICU/ICCU diperoleh hasil pada masing-masing asisten peneliti pada kedua ruangan 0.025 (< 0.05) berarti hasilnya signifikan/bermakna dengan demikian tidak ada perbedaan persepsi antara peneliti dengan asisten peneliti pada kedua ruangan tersebut.

H. Cara Pengumpulan Data 1. Tahap Persiapan

a. Memperoleh persetujuan pelaksanaan penelitian oleh pembimbing tesis.

b. Memperoleh surat keterangan kelayakan etika penelitian dari komisi etika Penelitian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan No.159/EP-FKIK-UMY/IV/2016. c. Memperoleh izin penelitian dari Program Studi Magister Keperawatan

Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

d. Memperoleh izin penelitian dari Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

e. Melakukan sosialisasi kegiatan penelitian yang akan dilakukan kepada masing-masing kepala ruang, dan perawat yang ada di ruangan. Sosialisasi yang dilakukan berupa penjelasan tentang tujuan penelitian, lama penelitian, dan pelaksanaan penelitian secara umum. Sosialisasi ini dilakukan dengan cara mendatangi setiap ruangan pada kedua ruangan. Pada kegiatan sosialisasi peneliti sekaligus melakukan


(52)

perekrutan asisten peneliti yang akan bertugas mengumpulkan data sebanyak 3 orang pada masing-masing ruangan.

f. Setelah asisten peneliti terpilih, kemudian diberikan pelatihan selama 2 hari dengan rincian hari pertama penyamaan persepsi tentang tujuan dan instrumen penelitian, khusus di ruang IMC dilakukan demonstrasi penataan tempat tidur lipat sudut 90°, dan hari kedua peneliti bersama asisten peneliti melakukan uji coba instrumen terhadap pasien tentang cara menggunakan instrumen pengumpulan data yang mencakup cara mengisi lembar pengumpulan data, mengisi dokumentasi keperawatan, mengkaji resiko dekubitus dengan menggunakan skala braden, dan cara mengidentifikasi karakteristik derajat dekubitus. Hasil uji coba instrumen dengan menggunakan uji Kappa untuk menganalisis konsisten penilaian (interater reliability) instrumen penelitian sehingga ada kesamaan persepsi antara peneliti dan asisten peneliti agar data yang dihasilkan valid.

g. Pada akhir pelatihan, asisten peneliti diberikan panduan tentang rincian tugas sebagai asisten peneliti selama penelitian. Adapun rincian tugas asisten penelitian yakni mulai dari melakukan perekrutan responden sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, melakukan pengumpulan data sesuai dengan format pengkajian, mengkaji tingkat resiko pasien dengan menggunakan skala braden, menilai derajat dekubitus, memberikan perlakuan lipat sudut 90° dan tali sudut, serta mendokumentasikan tindakan keperawatan yang dilakukan.


(53)

2. Tahap Pelaksanaaan

a. Responden dipilih berdasarkan kriteria inklusi, dan setelah pasien terpilih kemudian mengumpulkan data identitas dan data lainnya yang dibutuhkan selama penelitian oleh peneliti dan atau aisten peneliti dengan menanyakan kepada pasien dan keluarganya.

b. Peneliti kemudian menjelaskan kepada pasien dan atau keluarga mengenai tujuan, manfaat, prosedur penelitian, hak untuk menolak serta jaminan kerahasiaan sebagai responden penelitian.

c. Setelah menjelaskan prosedur penelitian, peneliti menawarkan kepada pasien, keluarga dan penanggung jawab pasien untuk menjadi responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan sebagai responden (informed consent) penelitian sebagai pernyataan setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian.

d. Sebelum diberikan perlakuan, peneliti atau asisten peneliti kemudian mengisi format yang telah didesain oleh peneliti sebagai lembar pengkajian terhadap tingkat resiko dekubitus, dan karakteristik derajat dekubitus.

e. Setelah responden di tentukan, kelompok perlakuan diberikan penataan tempat tidur lipat sudut 90°, sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan penataan tempat tidur yang menjadi rutinitas di Rumah Sakit yaitu metode tali sudut.

f. Pencegahan dekubitus terhadap pasien yang diterapkan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta berdasarkan Standar Operasionaal


(54)

Prosedur (SOP) yaitu memandikan pasien, memberikan lotion, dan merubah posisi pasien. Namun yang berbeda pada kedua kelompok tersebut yaitu kelompok perlakuan dilakukan penataan tempat tidur lipat sudut 90°, sedangkan kelompok kontrol diberikan metode tali sudut yang merupakan rutinitas Rumah Sakit.

g. Evaluasi terhadap kondisi kulit responden pada kelompok perlakuan dan kontrol diobservasi pada hari ke-5 oleh peneliti dan atau asisten peneliti.

h. Setiap pelaksanaan prosedur didokumentasikan didalam format pengkajian selama penelitian.


(55)

Skema 3.1. Alur Pengumpulan Data Responden yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi

Meminta persetujuan pasien dan atau keluarga untuk menjadi responden penelitian

Pasien yang masuk ruangan IMC dan ICU/ICCU pada hari ke – 0, kemudian dilakukan pengkajian kejadian

dekubitus

Kelompok perlakuan N = 22 responden, diberikan penataan tempat tidur lipat sudut 90°

Kelompok kontrol N = 21 responden, diberikan penataan tempat tidur tali sudut yang merupakan rutinitas Rumah Sakit

Evaluasi kejadian dekubitus derajat I terhadap 34 responden (post-test) pada kedua kelompok diobservasi pada hari ke-5 oleh peneliti dan atau asisten peneliti

Accidental sampling

Drop out 5 responden dikarenakan pindah ruangan sebelum selesai evaluasi

Drop out 4 responden dikarenakan pindah ruangan sebelum selesai evaluasi

Sampel akhir pada penelitan ini adalah 17 responden

Sampel akhir pada penelitan ini adalah 17 responden


(56)

I. Pengolahan Dan Metode Analisa Data 1. Pengolahan data

Menurut Notoatmodjo (2012) proses dalam melakukan pengolahan dan analisa data adalah sebagai berikut :

a. Editing

Peneliti melakukan langkah-langkah editing data yaitu memeriksa kelengkapan data, memeriksa kesinambungan dan keseragaman data, pada tahap ini dilakukan pengecekan kelengkapan isian, hasil pengkajian dan evaluasi kejadian dekubitus derajat I selama 5 hari penelitian.

b. Coding

Peneliti memberikan simbol-simbol tertentu dalam bentuk angka untuk setiap jawaban, kegiatan pada tahapan ini adalah pengkodean data untuk mempermudah pengolahan data sesuai dengan definisi dan kategori yang telah ditetapkan oleh peneliti. Coding dilakukan terhadap variabel kejadian dekubitus. Kejadian dekubitus derajat I ; 1 : terjadi dekubitus derajat I, 2 : tidak terjadi dekubitus derajat I.

c. Memasukkan data (Data Entry) atau Processing

Pada tahap ini, peneliti memasukkan data untuk keperluan analisis dan selanjutnya diproses dengan memasukkan ke paket program komputer.


(57)

d. Pembersihan data (Cleaning)

Proses membersihkan data untuk memastikan data telah benar dengan cara mengecek kembali apakah ada kesalahan atau tidak, untuk selanjutnya dianalisis menggunakan komputer.

2. Analisa data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik masing- masing variabel yang diteliti (Hastono, 2011). Pada penelitian ini analisis univariat digunakan untuk menjelaskan karakteristik dari responden penelitian yang ditampilkan dalam bentuk nilai distribusi dan frekuensi.

b. Uji Homogenitas

Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut perlu dilakukan uji homogenitas. Uji homogenitas adalah untuk mengetahui kesetaraan variasi antar kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (Hastono, 2006). Apabila pada uji kesetaraan nilai (p > 0.05), berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok sehingga dikatakan kelompok tersebut setara atau homogen. Uji homogenitas dalam penelitian ini dengan menggunakan levene’s test. Berdasarkan tabel 4.1 halaman 61 didapatkan hasil uji homogenitas karakteristik responden antara responden kelompok perlakuan dan kontrol didapatkan hasil untuk semua variabel nilai p-value (> 0.05), artinya responden kelompok perlakuan dan kontrol adalah homogen.


(58)

c. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel, yaitu variabel independen dan dependen (Hastono, 2011). Kedua variabel yang ingin dibuktikan yaitu penataan tempat tidur lipat sudut 90° dan tali sudut berpengaruh terhadap kejadian dekubitus derajat I. Dalam menganalisa hubungan antara variabel yang bersifat kategorik, maka digunakan analisa bivariat fisher’s exact. Tingkat kemaknaan ditetapkan sebesar 95% artinya bila nilai (p < 005), maka disimpulkan ada pengaruh perlakuan terhadap variabel terikat (dependent), dan apabila nilai (p > 0.05) maka disimpulkan tidak ada pengaruh perlakuan terhadap variabel terikat (dependent).

d. Analisis Multivariat

Analisis multivariat bertujuan untuk melihat atau mempelajari hubungan antara beberapa variabel bebas dengan satu atau beberapa variabel terikat (Hastono, 2011). Dalam penelitian ini analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel- variabel perancu (confounding) dengan variabel terikat. Analisis multivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi logistik berganda dengan alasan variabel bebas dan variabel terikat yang akan dianalisis berupa data kategorik.


(59)

J. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka dari segi etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat, 2007).

1. Informed Consent

Peneliti sebelumnya menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian kepada responden dan atau keluarga responden. Setelah menerima penjelasan, responden dan atau keluarga sudah mengerti kemudian diberikan lembar persetujuan (Informed consent) untuk menjadi responden, jika pasien bersedia menjadi responden, maka pasien dan atau keluarganya harus menandatangani lembar persetujuan, jika pasien tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien. Beberapa informasi yang ada dalam informed consent tersebut antara lain : partisipasi pasien, tujuan dilakukannya tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial masalah yang akan terjadi, manfaat, kerahasiaan, informasi yang mudah dihubungi.

2. Anomity (tanpa nama)

Pada tahap ini, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada instrumen atau lembar observasi dan hanya menuliskan kode pada instrumen atau lembar observasi dan hasil penelitian yang akan disajikan.


(60)

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Semua informasi dan data yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.


(61)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas

Pada bagian ini akan diuraikan karakteristik responden dan uji homogenitas penelitian kelompok perlakuan dan kontrol yang terdiri dari usia, jenis penyakit (diagnosa medis), riwayat merokok, tingkat resiko dekubitus, dan temperatur / suhu tubuh.

Tabel 4.1.Karakteristik responden dan uji homogenitas kelompok perlakuan dan kontrol di ruang ICU/ICCU dan IMC Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2016 (N = 34).

No Variabel Perlakuan Kontrol Total P-value

f % f % f %

1 Usia

≥ 60 tahun 7 41.2 10 58.8 17 50

1.000

60 tahun 10 58.8 7 41.2 17 50

2 Jenis penyakit

Kronis 8 47.1 9 52.9 17 50

1.000

Akut 9 52.9 8 47.1 17 50

3 Riwayat merokok

Merokok 9 52.9 9 52.9 18 52.9

1.000 Tidak merokok 8 47.1 8 47.1 16 47.1

4 Tingkat resiko dekubitus

Resiko tinggi 11 64.7 14 82.4 25 73.5

0.228 Resiko menengah 5 29.4 2 11.8 7 20.6

Resiko rendah 1 5.9 1 5.9 2 5.9

5 Suhu tubuh

37.5° C 1 5.9 1 5.9 2 5.9

1.000

≤ 37.5° C 16 94.1 16 94.1 32 94.1

*) Levene’s Test

Sebelum dilakukan analisa data, telah dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan levene’s test untuk melihat kesetaraan atau homogenitas antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.


(62)

Berdasarkan tabel 4.1 diatas didapatkan hasil p-value untuk semua variabel karakteristik responden menunjukkan nilai (p > 0.05), maka dapat disimpulkan antara variabel kelompok perlakuan dan kontrol homogen. 2. Analisis Bivariat

Pengaruh Penataan Tempat Tidur Lipat Sudut 90° Terhadap Kejadian Dekubitus Derajat I Pada Pasien Tirah Baring

Tabel 4.2.Pengaruh penataan tempat tidur terhadap kejadian dekubitus derajat I di ruang ICU/ICCU dan IMC Rumah Sakit PKU Muhammadiyah I Yogyakarta Tahun 2016 (N = 34).

Variabel terikat No Variabel bebas Terjadi dekubitus Tidak terjadi dekubitus

Total OR 95% CI p-value

f % f % f %

1 Lipat sudut 90°

1 5.9 16 94.1 17 100

11.200

(1.193-105.132) 0,039 2 Tali sudut 7 41.2 10 58.8 17 100

*) Fisher’s Exact

Hasil analisis pengaruh penataan tempat tidur lipat sudut 90° dengan kejadian dekubitus didapatkan sebanyak 7 (41.2%) responden pada kelompok kontrol mengalami dekubitus derajat I, sedangkan pada kelompok perlakuan terdapat 1 (5.9%) responden yang terjadi dekubitus derajat I. Hasil uji statistik dengan menggunakan fisher’s exact diperoleh nilai p = 0.039 (< 0.05) maka Ho ditolak, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara penataan tempat tidur lipat sudut 90° dengan kejadian dekubitus derajat I pada pasien tirah baring. Didapatkan juga nilai OR=11.200 (1.193 - 105.132), artinya responden yang diberikan perlakuan penataan tempat tidur lipat sudut 90° dapat menurunkan 11 kali


(63)

kejadian dekubitus derajat I dibandingkan dengan responden yang diberikan metode tali sudut.

3. Analisis Multivariat

Pengaruh Faktor Perancu (Confounding) Terhadap Kejadian Dekubitus Derajat I Pada Pasien Tirah Baring

Tabel 4.3. Pengaruh faktor perancu (confounding) terhadap kejadian dekubitus derajat I pada pasien tirah baring

Kejadian dekubitus derajat I Variabel Terjadi dekubitu s Tidak terjadi dekubitus

Total OR

(95% CI) p-value

f % f % f %

Usia

1. ≥ 60 5 29.4 12 70.6 17 100 0.349

(0.028 – 4.290) 0.411 2. 60 3 17.7 14 82.4 17 100

Jenis penyakit

1. Kronis 5 29.4 12 70.6 17 100 0.374

(0.054 – 2.574) 0.318 2. Akut 3 17.6 14 82.4 17 100

Riwayat merokok

1. Merokok 4 22.2 14 77.8 18 100

0.465

(0.035 – 6.110) 0.560 2. Tidak

merokok

4 25.5 12 75.0 16 100 Tingkat resiko

dekubitus 1 Resiko

tinggi

7 28.8 18 72.0 25 100

0.431 2 Resiko

menengah

0 0 7 100 7 100 4.080 (0.123 – 135.100) 3 Resiko

rendah

1 50 1 50 2 100 Suhu tubuh

1. > 37.5 1 50.0 1 50.0 2 100 0.263

(0.006 – 11.432) 0.488

2. ≤ 37.5 7 21.9 25 78.1 32 100

*) Regresi Logistik berganda

1) Usia

Hasil analisis pengaruh antara usia dengan kejadian dekubitus diperoleh sebanyak 5 (29.4%) dari usia responden ≥ 60 tahun mengalami dekubitus derajat I dan 12 (70.6%) tidak mengalami


(64)

dekubitus. Pada usia < 60 tahun 3 (17.7%) yang mengalami dekubitus derajat I dan 14 (82.4%) tidak mengalami dekubitus derajat I. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.411 (> 0.05), dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang usianya ≥ 60 tahun dengan yang usianya < 60 tahun. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR=0.349 (0.028 – 4.290) artinya adalah responden yang usianya ≥ 60 tahun memiliki tingkat insidensi 0.349 kali untuk terjadi dekubitus derajat I dibandingkan dengan responden yang usianya < 60 tahun.

2) Jenis Penyakit

Hasil analisis pengaruh antara jenis penyakit dengan kejadian dekubitus derajat I, diperoleh data sebanyak 5 (29.4%) responden yang menderita penyakit kronis mengalami dekubitus, dan 12 (70,6%) tidak mengalami dekubitus derajat I. Responden dengan penyakit akut mengalami kejadian dekubitus sebanyak 3 (17.6%), dan tidak terjadi dekubitus sebanyak 14 (82.4%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0.318 (> 0.05), dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang mengalami penyakit kronis dan akut. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR=0.374 (0.054 – 2.574), artinya adalah responden yang mengalami penyakit kronis memiliki tingkat insidensi 0.374 kali untuk terjadi dekubitus derajat I dibandingkan dengan yang mengalami penyakit akut.


(1)

Pergeseran dan gesekan

1. Bermasalah

Memerlukan bantuan sedang sampai maksimal untuk bergerak. Tidak mungkin memindahkan badan tanpa pergesekan dengan alas tempat tidur. Sering merosot kebawah di atas tempat tidur atau kursi, dan sering sekali memerlukan bantuan yang maksimal untuk pengembalian posisi semula. Kekakuan pada otot, kontraktur atau gelisah yang sering menimbulkan terjadinya gesekan yang terus menerus.

2. Potensi Bermasalah

Bergerak lemah atau memerlukan bantuan minimal. Selama bergerak kulit kemungkinan bergesekan dengan alas tempat tidur, kursi, sabuk pengekangan atau alat bantu lain. Hampir selalu menjaga badan dengan cukup baik di kursi ataupun di tempat tidur, namun kadang-kadang merosot kebawah.

3. Keterbatasan Ringan

Dapat merubah posisi badan atau ekstremitas secara mandiri meskipun dengan gerakan ringan.

Total Score


(2)

Lampiran 8

SKALA BRADEN UNTUK MEMPREDIKSI RESIKO DEKUBITUS

Nama Responden : ... Nama Evaluator : ... Tanggal Pengkajian : ...

Kategori Nilai Skore

1 2 3 4

Persepsi Sensori Keterbatasan Penuh Sangat Terbatas Keterbatasan Ringan Tidak Ada Gangguan

Kelembaban Selalu Lembab Umumnya Lembab Kadang- Kadang Lembab Jarang Lembab

Mobilitas Tidak Mampu Bergerak Sama Sekali

Sangat Terbatas Tidak Ada Masalah / Keterbatasan Ringan

Tanpa Keterbatasan

Aktivitas Total Di Tempat Tidur Dapat Duduk Berjalan kadang-kadang Dapat Berjalan

Nutrisi Sangat Buruk Kurang Mencukupi Mencukupi Sangat Baik

Gesekan Bermasalah Potensi Bermasalah Keterbatasan Ringan

Total skore Keterangan :

< 9 : resiko sangat tinggi 10 – 12 : resiko tinggi 13 – 14 : resiko menengah 15 – 18 : resiko rendah


(3)

Lampiran 9

PETUNJUK PENGISIAN LEMBAR OBSERVASI KEJADIAN DEKUBITUS DERAJAT I

Definisi Dekubitus

Dekubitus merupakan kerusakan kulit pada suatu area dan dasar jaringan yang disebabkan oleh tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan, pergeseran, gesekan atau kombinasi dari beberapa hal tersebut (NPUAP, 2014).

Klasifikasi Dekubitus

Klasifikasi dekubitus derajat I berdasarkan National Pressure ulcer Advisory Panel (NPUAP) Tahun 2014 adalah sebagai berikut :

Derajat I : Nonblanchable Erythema

Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-tanda akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), dan perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap, sedangkan pada orang kulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu.


(4)

Gambar 2.1. Dekubitus derajat I (Sumber : NPUAP, 2014)

Cara Mengidentifikasi Dekubitus Derajat I

Mengetahui cara mengidentifikasi dekubitus derajat I penting diketahui oleh perawat karena dekubitus derajat I adalah prediktor untuk berkembangnya dekubitus derajat berikutnya. Cara mengidentifikasi dekubitus derajat I :

1. Dengan menekan area yang kemerahan dengan jari pemeriksa, jika area yang ditekan tetap merah adalah tanda dekubitus derajat I, tetapi jika pucat dan ketika dilepaskan kembali merah berarti adalah kemerahan atau erytema biasa.

2. Dengan menggunakan transparent disk/kaca, jika area kemerahan yang ditekan tetap tampak merah dibawah transparent disk/kaca maka hal tersebut adalah tanda dekubitus derajat I, tetapi jika pucat dan ketika dilepaskan kembali merah berarti adalah kemerahan atau erytema biasa. Tempat (Lokasi) Kejadian Dekubitus

Menurut Stephen & Haynes (2006), mengilustrasikan area-area yang beresiko untuk terjadinya dekubitus. Dekubitus terjadi dimana tonjolan tulang


(5)

kontak dengan permukaan. Adapun lokasi yang paling sering adalah sakrum, tumit, dan panggul. Penelitian yang dilakukan oleh Suriadi, et al (2007) 33,3% pasien mengalami dekubitus dengan lokasi kejadian adalah pada bagian sakrum 73,3%, dan tumit 13,2%, 20 pasien yang mengalami dekubitus derajat I, dan 18 pasien mengalami derajat II, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fernandes & Caliri, (2008) pasien yang mengalami dekubitus sebanyak 62, 5% (40) dengan kriteria 57,1% (30) mengalami derajat I, dan 42,9% mengalami derajat II, lokasi kejadian dekubitus dalam penelitian ini adalah pada tumit 35,7%, sakrum 22,9%, dan skapula 12,9%.

Gambar 2.7. Area yang paling beresiko terjadi dekubitus (Sumber : NPUAP, 2007).


(6)

Lampiran 10

IDENTITAS RESPONDEN DAN LEMBAR OBSERVASI KEJADIAN DEKUBITUS DERAJAT I A. IDENTITAS RESPONDEN

Petunjuk Pengisian : isilah data responden sesuai dengan kolomnya

1. Kode responden : ... 2. Tanggal masuk : ... 3. Tanggal pulang : ... 4. Umur : ...th 5. Diagnosa Medis : ... 6. Skor Skala Braden : ... 7. Jenis kelamin :

Laki – laki Perempuan 8. Ya Tidak Riwayat Merokok :

9. TD : .../... mmHg 10. Kadar Albumin : ... g/dL 11. Suhu : ...°C 12. GCS : ...

B. OBSERVASI

Berikan tanda (√) pada tanda dan gejala yang tampak saat observasi dan tanda strip (-) bila tidak tampak tanda dan gejala setiap pergantian shift (pagi (1), sore (2), malam (3) ).

Tanda Hari

Warna

Nyeri

Konsistensi Suhu Terlokalisir

Kemerahan Biru Ungu pucat Keras Lunak Hangat Dingin Sakrum Trokanter ka/ki Tumit ka/ki Skapula

I

II 1 2 3 III 1 2 3 IV 1 2 3 V


Dokumen yang terkait

Pengaruh Persepsi Pasien Tentang Mutu Pelayanan Keperawatan Tirah Baring Terhadap Kepuasan Pasien di RSU Pematang Siantar Tahun 2004

2 39 90

Peran Perawat dalam Pencegahan Luka Tekan pada Pasien Tirah Baring di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

12 100 104

Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Keterlibatan Keluarga dalam Pencegahan Dekubitus pada Pasien Tirah Baring | Sulastri | Jurnal Ilmu Keperawatan 10309 19331 1 PB

0 0 9

PENGARUH PENATAAN TEMPAT DUDUK TERHADAP

2 5 5

PENGARUH ALIH BARING 2 JAM TERHADAP RESIKO DEKUBITUS DENGAN VARIAN BERAT BADAN PADA PASIEN BEDREST TOTAL DI SMC RS TELOGOREJO Zulaikah

0 1 8

PENGARUH MICROFIBER TRIANGLE PILLOW TERHADAP KEJADIAN ULKUS DEKUBITUS PADA PASIEN IMMOBILISASI DI RUANG PERAWATAN RSUD SUKOHARJO

0 0 6

PENGARUH PEMBERIAN POSISI ALIH BARING TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE (Studi di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Jombang) - STIKES Insan Cendekia Medika Repository

1 3 96

PENGARUH PEMBERIAN POSISI ALIH BARING TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE (Studi di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Jombang) - STIKES Insan Cendekia Medika Repository

0 0 7

DAMPAK ALIH BARING DALAM PENCEGAHAN RISIKO DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI RSUD BANYUMAS

0 1 15

PENERAPAN TEKNIK ALIH BARING 300 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DENGAN HEMIPARESIS DIRUANG YUDISTIRA RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

0 0 7