Visi Kemanusiaan Kader

Visi Kemanusiaan Kader

Berbicara mengenai kader, (Perancis: cadre) atau les cadres (Latin: quadrum), maksudnya adalah anggota inti yang menjadi bagian terpilih, berarti pula sebagai jantung suatu organisasi. Kader berarti pula pasukan inti Jadi, jelas

Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2009, h. 197- 198 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2009, h. 197- 198

globa l. 16 Dari rumusan tersebut terdapat kata kunci arah

tujuan perkaderan Muhammadiyah, yakni membentuk, “kader peryarikatan, kader umat, dan kader bangsa”. Sebuah rumusan tersebut merupakan hasil pemikiran manusia pasti terikat ruang dan waktu. Situasi dan tantangan masa lampau pasti berbeda dengan situasi dan tantangan saat ini, seperti halnya pemikiran tentang konsep kader persyarikatan, umat, dan bangsa. Pemikiran ini adalah terdahulu yang bukan untuk diberhalakan, tetapi untuk dikritik, sehingga kita yang datang belakangan harus punya tekad untuk lebih baik dari pendahulu kita. Tanpa kebaranian berpikir semacam ini, Muhammadiyah dan umat islam akan sulit bangkit dari buritan peradaban yang menyesakkan nafas, menuju peradaban utama yang dicita- citakan oleh Muhammadiyah menuju kebudayaan utama.

Kebudayaan sebuah bangsa akan jatuh menjadi “kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau”, jika kader inti pemikirnya tidak mampu menjawab beraneka

Sistem Perkaderan Muhammadiyah. 2007. Edisi 2, h. 43-50 Sistem Perkaderan Muhammadiyah. 2007. Edisi 2, h. 43-50

Menurut Buya Syafi’i Ma’arif, 17 dengan pemikiran- nya bahwa di kalangan Muhammadiyah sering terdengar

slogan bahwa kader yang hendak dibentuk adalah kader peryarikatan, kader umat, dan kader bangsa. Urutan ini harus dibalik secara radikal menjadi, “kader kemanusiaan, keder bangsa, kader ummat, dan kader persyarikatan. Kader kemanusiaan harus menjadi perioritas. Mengapa harus dibalik? Posisi kemanusiaan ditempatkan sebagai yang pertama dengan beberapa pertimbangan, yaitu:

Pertama, misi Islam adalah “rahmat bagi alam semesta”, dengan menjadikan kemanusiaan sebagai pintu masuk pertama, pasukan intelektual akan didorong untuk

berpikir mondial, artinya seluruh umat manusia, siapapun mereka, pada hakikatnya ialah bersahabat dalam bingkai kemanusiaan. Gerak roda peradaban harus mengarah kepada terciptanya sebuah persaudaraan universal umat manusia.

Kedua, posisi kader kemanusiaan, kita turunkan setapak menjadi kader bangsa, karena kita hidup dalam teritorial Negara-bangsa Indonesia. Pelajar Muslim dan ummat secara keseluruhan tidak boleh mengurung diri dalam lingkungan keumatan dalam makna terbatas.

Ahmad Syafii Maarif , Islam dalam Bingkai Kemanusiaan, h.199

Namun konsep keumatan ditempatkan dalam bingkai kemanusiaan universal. Perumahan kebangsaan adalah pelabuhan awal umat Islam untuk tampil sebagai gerda depan membela dan merawat kepnetingan bangsa bersama umat lain.

Ketiga , kebaragamam sosio-kultural dengan ciri khas masing-masing adalah pertanda bahwa Allah Maha Pencipta, anti-keseragaman, sebab keseragama akan membuat manusia miskin wawasan dan kaku pergaulan. Keimanan kepada Allah tidak menghalani untuk meluaskan radius pergaulan ( lita’arofu), saling menyapa dan bertukar peradaban. Oleh karena itu, biarkan masing- masing umat untuk mencetak kader-kadernya untuk kepentingan berbeda, namun dibawah tenda kebangsaan dan di atasnya terrbentang tenda kemanusiaan.

Keempat, Muhammadiyah membutuhkan kader persyariikatan untuk melangsungkan gerakan dan misinya secara kreatif. Yakni kader Muhammadiyah wajib memi- liki wawasan dan jangkuan pemikiran yang melampaui radius kemuhammadiyahan. Itu semua adalah bagian yang menyatu dengan tiga ranah pergaulan, “kemanusiaan, kebangsaan, dan keummatan”. Semua ini memerlukan mindset dan sikap mental secara berani dan radikal.

Titik tekan Perjuangan kemanusiaan dikatakan mendesak dalam menghadapi era globalisasi zaman modern kali ini. Yaitu, zaman yang menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia Titik tekan Perjuangan kemanusiaan dikatakan mendesak dalam menghadapi era globalisasi zaman modern kali ini. Yaitu, zaman yang menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia

semua mati, kacuali para ulama (kaum terpelajar yang selalu memikirkan kondisi sekitar dan takut kepada Allah). Dan para ulama itu semuanya bingung (takut disiksa kalau nanti masuk neraka), kecuali orang yang beramal (kemanusiaan). Tetapi orang telah beramal (masih takut), kecuali orang berramal

dengan niat ihlas karana Allah Swt. 18 Dalam pesan ini dapat dipetik bahwa gerakan amal kemanusiaan harus dibimbing atau dilandasi dengan pondasi ketuhanan yang kokoh.

Da lam bahasa Kuntowijoyo, “Humanisme-Teosentris” 19 , dan Amien Rais menyebutnya dengan istilah “Tauhid-

Sosial”. Pemahaman ini penting bahwa Manusia harus

menyatupadukan “keimanan” dalam pandangan hidup dengan “kemanusaan” dalam kehidupan. Sebagai mana

dalam pemikiran Nurcholis Madjid, 20 buah atau hasil dari ibadah itu bukan untuk Tuhan, tetapi untuk kemanu- siaan. Karena itu, iman kepada Allah Swt membawa akibat emansipasi kemanusiaan pribadi sendiri, juga membawa akibat pola hidup saling menghormati sesama manusia. Jika tuhan memuliyaan manusia, maka apalagi manusia

Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Ayat Pokok Ayat

al-Qur‟an, Malang, LPI PPM, 2008, h. 97 19

Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan 20 Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, h.

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 101-102 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 101-102

Sebagaimana pandangan Syaria’ti tentang tauhid adalah kesatuan antara Allah, alam, dan manusia. Ia mengatakan “Jadi, tauhid tidak terbagi-bagi atas dunia kini

dan akhirat nanti, atas yang alamiah dengan supra-alamiah, atas substansi dan arti, atas jiwa dan raga. Jasi kita memandang seluruh eksistensi sebagai suatu bentuk tunggal, suatu oaganisme tunggal, yang hidup memiliki kesadaran cipta rasa dan karsa ” tauhid harus ditafsirkan sebagai kesatuan antara alam dengan meta-alam, antara manusia dengan alam, antara manusia dengan manusia, atara Allah, manusia dan dunia.

Kesemuanya terpadu dalam totalitas ajaran tauhid. 21 Inilah bentuk penafsiran tauhid yang memiliki fungsi rahmatan lil alamin atau kemanusiaan universal.

Transformasi Gerakan Ideologis menuju Gerakan Ilmu

Tema gerakan ilmu, telah disinggung oleh Din Syamsuddin dalam sambutannya pada Rapat Kerja

Eko Supriadi, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h.165.

Nasional (Rakernas), 29-31 Maret 2013. IPM, menurut- nya, perlu segera mendeklarasikan sebuah gerakan ilmu dan gagasan peradaban. Gerakan itu, adalah gerakan pencerahan (tanwir, enlightment) atau pencerdasan, sebagai manifestasi agen pencerahan. Hakikat dan esensi gerakan Muhammadiyah adalah gerakan pencerahan (al-harakah at- tanwiriyah) yang sangat dekat dengan ilmu dan upaya pencerdasan. Salah satu sumbangsih Muhammadiyah terhadap bangsa adalah selain Muhammadiyah menghi- langkan ‘tujuh kata’ pada sila pertama pancasila, Muhammadiyah juga memiliki sumbangsih pada rumusan falsafah bangsa Indonesia pada kalimat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.

Dengan kesediaan IPM tampil sebagai gerakan ilmu, diharapkan muncul kelompok yang dapat diandal- kan sebagai rujukan dalam memahami masalah besar, yang menyangkut pemahaman agama, ilmu pengetahuan, kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban di masa yang akan datang. Sebagaimana Buya Syafi’i mengingatkan, kini zaman sedang bergulir dan berubah dengan cepat karena ditopang perkembangan teknologi informasi. Semua itu tak dapat dielakkan. Menurutnya, dalam melintasi zaman tersebut, diperlukan sebuah fondasi ilmu yang kokoh dan iman yang tulus. Dengan begitu, IPM bersama Muhammadiyah bisa membangun sebuah tonggak sejarah yang bergerak lebih jauh secara strategis dalam memasuki abad selanjutnya.

Meminjam pendapat Buya Syafi ’i, “umat Islam masih belum berdaya ntuk mengawal gerak peradaban karena persyaratan untuk itu belum dimiliki, umat Islam masih kurang ilmu dan wawasannya terbatas,” Begitu juga, IPM tidak sekedar menjadi pelopor, pelangsung, penyem- purna AUM, tatapi lebih dari sekedar itu, yakni menjadi pengawal gerakan pencerahan (tajdid, tanwir) atau gerakan ilmu menuju peradaban utama (masyarakat utama). Dengan demikian, IPM tak sekedar m enjadi ‘laskar pelangi’ maupun ‘laskar matahari’, namun menjadi ‘laskar zaman’ dengan gerakan Ilmu. Karena, hanya dengan gerakan ilmu lah peradaban unggul (utama) akan terwujud.