99 struktur rantai pasok Gambar 20 dan Gambar 23. Pada komoditas ekspor tuna
dan layur, pola distribusi produk sebagai berikut: 1 Nelayan layur - pemilik kapal pedagang pengumpul - perusahaan ekspor
- pelanggan luar negeri; 2 Nelayan tuna - pemilik kapal tonda - agen tuna Palabuhanratu - perusahaan
ekspor tuna Jakarta - pelanggan luar negeri; 3 Nelayan tuna - pemilik kapal tuna agen tuna Palabuhanratu - perusahaan
ekspor tuna Jakarta - pelanggan luar negeri; 4 Nelayan tuna - perwakilan perusahaan ekspor tuna Jakarta - perusahaan
ekspor tuna Jakarta - pelanggan luar negeri. Berdasarkan keempat pola distribusi tersebut, pola distribusi layur di PPN
Palabuhanratu lebih pendek dibandingkan pola distribusi tuna. Kondisi ini terjadi karena perusahaan ekspor layur di PPN Palabuhanratu dapat langsung ekspor ke
negara tujuan processing layur telah dilakukan oleh perusahaan eksportir di PPN Palabuhanratu.
Muninggar 2008 menganalisis supply chain di PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan jaringan supply chain ideal berdasarkan teori dari beberapa
literatur dan yang telah berhasil dijalankan di beberapa negara. Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil analisa supply chain kegiatan distribusi hasil tangkapan
di PPN Pelabuhanratu menyimpulkan bahwa pelabuhan belum menjalankan koordinasi supply chain yang efektif. Permasalahan yang terjadi pada aktivitas
distribusi rendahnya pasokan ikan untuk tujuan ekspor diduga belum adanya koordinasi yang baik antara PPN Palabuhanratu dengan nelayan dan pihak
eksportir. Pada kajian tersebut, Muninggar 2008 juga menjelaskan beberapa prioritas
kebijakan yang dapat diterapkan, yaitu 1 perbaikan sistem transportasi dengan cold chain system
sistem rantai dingin, 2 penerapan sistem informasi berkaitan dengan aliran produk, pasar dan teknologi oleh pengelola pelabuhan, 3 bekerja
sama dengan Pemerintah Pusat dalam program penelitian teknologi dalam meningkatkan mutu ikan, 4 penerapan kebijakan kontrol terhadap mutu ikan
harus dilakukan oleh pelabuhan bekerja sama dengan industri pengolah, dan instansi terkait, 5 menyediakan Sistem Informasi terpadu berkaitan dengan
100 informasi pasar produk perikanan untuk skala domestik dan dunia, serta 6 dibuat
unit atau seksi yang mengatur aliran informasi supply chain di pelabuhan. Tabel 6 Analisis gap supply chain di PPN Palabuhanratu dengan supply
chain ideal
Supply chain ideal Supply chain PPN
Palabuhanratu
Perbaikan yang dilakukan
Tujuan mereduksi berkurangnya mutu produk
dalam transportasi dan penyimpanan
Sistem transportasi yang ada belum mendukung upaya
menjaga mutu produk Perbaikan sistem transportasi
dengan cold chain sistem sistem rantai dingin
Sistem Informasi berkaitan dengan aliran supply produk,
pasar dan teknologi Belum ada koordinasi antara
pengelola pelabuhan dengan pihak nelayan, pedagang dan
industri perikanan terkait informasi pasar
Penerapan sistem informasi berkaitan dengan ketersediaan
supply produk, harga dan mutu
produk yang diinginkan konsumen oleh pengelola
pelabuhan Menerapkan teknologi,
meningkatkan modal Penerapan teknologi
penyimpanan dan pengolahan masih kurang
khususnya dalam menjaga mutu ikan
Bekerjasama dengan Pemerintah Pusat dalam
program penelitian berkaitan dengan teknologi dalam
meningkatkan mutu ikan
Kontrol terhadap keselamatan produk dan kualitasnya
Laboratorium Bina Mutu milik pelabuhan belum sempurna,
Pengemasan packing dan penyimpanan ikan belum
lengkap Penerapan kebijakan kontrol
terhadap mutu ikan harus dilakukan oleh pelabuhan
bekerjasama dengan industri pengolah, dan instansi terkait.
Kebijakan pemerintah terkait dengan informasi pasar dan
data statistik untuk menfasilitasi aktivitas pasar
dan memonitor perkembangan pasar.
Sudah ada data statistik namun belum meliputi informasi
pasar yang dibutuhkan. Menyediakan Sistem
Informasi terpadu berkaitan dengan informasi pasar produk
perikanan untuk skala domestik dan dunia.
Terdapat manajer atau unit pengelola khusus untuk
mengatur supply chain Unit pengelola pelabuhan yang
sudah ada belum memiliki tugas khusus mengatur supply
chain di pelabuhan
Dibuat unit atau seksi yang mengatur aliran informasi
supply chain di pelabuhan.
Sumber: Muninggar 2008
Dalam rangka meningkatkan daya saing produk perikanan, perlu adanya koordinasi jaringan supply chain perikanan melalui kebijakan pemasaran, sistem
informasi dan koordinasi dengan instansi terkait serta perlu adanya implementasi kebijakan penerapan supply chain melalui penjabaran fungsi pelabuhan
Muninggar 2008. Selanjutnya, Marimin dan Maghfiroh 2011 menjelaskan bahwa untuk mengatasi hambatan dalam pengembangan rantai pasok dapat
101 digunakan pendekatan kunci sukses key success factor yaitu trust building
kepercayaan, koordinasi dan kerja sama, kemudahan akses pembiayaan dan dukungan pemerintah yang baik. Kunci sukses tersebut merupakan praktek-
praktek penting yang apabila dijalankan dengan baik, dapat memperlancar aktivitas bisnis di sepanjang rantai pasok. Mengacu pada key success factor
tersebut, yang relevan dengan kondisi di PPN Palabuharatu adalah kepercayaan, serta koordinasi dan kerja sama.
4.2.3 Analisis integrasi kelembagaan minapolitan
Keberhasilan implementasi dan pengembangan minapolitan perikanan tangkap dalam prespektif agribisnis sangat tergantung keterpaduan antarprogram
dan kesiapan kelembagaannya. Tinjauan historis terhadap program minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu diketahui bahwa bentuk kelembagaan
minapolitan di tingkat kabupaten berupa Kelompok Kerja Pokja dengan ruang lingkup kegiatan mencakup perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pelaporan.
Pokja minapolitan ini diharapkan mampu mengintegrasikan kegiatan sektoral di daerah dengan kegiatan-kegiatan yang diprakarsai daerah.
Kelembagaan di tingkat propinsi juga berupa Pokja yang lebih ditekankan pada fungsi koordinasi untuk
memfasilitasi hubungan antara kabupatenkota dan antara daerah dengan pusat. Untuk mengintegrasikan seluruh kegiatan antar unit kerja teknis dan antara
Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan instansi sektoral terkait, dan para pihak berkepentingan dibentuk Tim Koordinasi Minapolitan dengan tugas pokok
dan fungsi yang bersifat koordinatif. Gambar 30 menunjukkan struktur kelembagaan Pokja Minapolitan dimana
ketua berperan bertanggung jawab penuh terhadap kinerja kelembagaan Pokja Minapolitan yang membawahi beberapa bidang pokok seperti perencanaan,
pemberdayaan, serta monitoring dan evaluasi dan kesekretariatan. Dinas Kelautan dan Perikanan selain sebagai sekretaris Pokja Minaplitan juga memiliki tugas
pokok sebagai penanggung jawab pengembangan minapolitan di zona penunjang yaitu kawasan kecamatan pesisir di luar zona inti PPN Palabuhanratu. Bappeda
memiliki peran penting dalam perencanaan program minapolitan karena Bappeda memiliki power untuk memberi instruksi kepada SKPD Satuan Kerja Perangkat
102 Daerah terkait agar berkontribusi dalam pengembangan kawasan minapolitan.
SKPD terkait dapat diinstruksikan untuk membuat usulan rencana kegiatan di kawasan minapolitan pada saat Musrenbang yang harus dituangkan dalam usulan
rencana anggaran dari SKPD yang bersangkutan. PPN Palabuhanratu berperan dalam pelayanan fasilitas PPN Palabuhanratu serta berperan dalam pemberdayaan
nelayan dan pembinaan industri di kawasan PPN Palabuhanratu. Bidang monitoring dan evaluasi dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk untuk mengevaluasi
kinerja program minapolitan. Tim monitoring dan evaluasi setidaknya mencakup 3 unsur yaitu Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan serta PPN Palabuhanratu.
Sumber: diadopsi dari KKP 2011
Gambar 30 Struktur kelembagaan Pokja minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
Berdasarkan struktur kelembagaan pada Gambar 30, kelembagaan minapolitan lebih menekankan pada kelembagaan struktural di tingkat
pemerintahan. Artinya, kelembagaan tersebut belum mengintegrasikan hubungan peran dan fungsi antar kelembagaan yang menjadi pelaku sistem minapolitan yang
mampu memperkuat ikatan-ikatan horizontal maupun vertikal. Keanggotaan yang
PENANGGUNG JAWAB Bupati
KETUA Sekretaris Daerah
PERENCANAAN Kepala Bappeda
PEMBERDAYAAN Kepala Pelabuhan Perikanan
SEKRETARIS
Kepala Dinas Kelautan Perikanan
MONITORING EVALUASI Pejabat lain yang ditunjuk
ANGGOTA Satker Perangkat Daerah terkait
103 terlibat dalam Pokja Minapolitan masih terbatas pada perwakilan SKPD terkait
dan belum melibatkan perwakilan dari pihak swastaindustri dan akademisi. Pokja merupakan kelembagaan minapolitan yang dibentuk pada saat inisiasi program.
Namun, jika dilihat dari perspektif kelembagaan agribisnis maupun perspektif klaster industri perikanan, beberapa kelembagaanpelaku telah terbentuk secara
alamiah sebelum program Gambar 31. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masing-masing pelaku tersebut belum memiliki visi yang sama dalam
pengembangan minapolitan merikanan tangkap di Palabuhanratu.
Gambar 31 Klaster industri perikanan tangkap di Palabuhanratu yang terbentuk secara alamiah sebelum program minapolitan.
Beberapa pelaku yang terlibat dalam rantai pasok telah membentuk pola kemitraan usaha dalam bentuk pinjaman modal dan contract farming. Kondisi ini
terjadi pada anggota primer rantai pasok komoditas layur. Berdasarkan pendapat Castales dan Catelo 2008 diacu dalam Riadi 2012 Contract farming CF
didefinisikan sebagai kesepakatan nelayan dan perusahaan pengolah dan atau pemasaran untuk menghasilkan dan memasok produk perikanan berdasarkan
kesepakatan, waktu dan harga yang telah ditentukan sebelumnya. Secara faktual, pelaku yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan CF ini terjadi antara pemilik
104 kapal dengan perusahaan pengolah layur eksportir. Pemilik kapal yang
dimaksud adalah pemilik kapal yang sekaligus berfungsi sebagai pembeli layur dari nelayan. Pemilik kapal yang tidak bertindak sebagai pembeli biasanya murni
sebagai nelayan dan penjualan hasil tangkapannya menginduk kepada pihak pembeli juragan atau dalam bahasa lokalnya ”tawe”. Tawe ini minimal memiliki
3 unit kapal kincang pancing ulur dan disewakan kepada nelayan dengan sistem bagi hasil usaha.
Aturan main yang disepakati antara nelayan dan tawe di Palabuhanratu biasanya didasarkan
atas kepercayaan dan bersifat informal. Tawe mempercayakan pengoperasian kapal kepada nahkoda fishing master dan jarang
sekali bersifat kekeluargaan tetapi lebih diutamakan atas pertimbangan keahlianpengalaman, kejujuran dan etos kerjanya. Jika ada ABK yang sudah
cukup lama bekerja pada tawe dan memiliki kemampuan sebagai nahkoda akan diberi prioritas utama menjadi nahkona jika tawe memiliki kapal baru. Nelayan
hanya diberi tugas menangkap ikan. Seluruh biaya operasional BBM, umpan, es, dan perbekalan nelayan ditanggung pemilik kapal tawe termasuk biaya
perbaikan kerusakan kapal dan alat tangkap. Sebagai konsekuensinya, hasil tangkapan dibeli tawe dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya. Di setiap
daerah PPITPI terdapat kesepakatan tidak tertulis bahwa harga yang dibeli di tingkat tawe harus sama dan jika ada kenaikan harga juga atas kesepakatan tawe
setempat. Biaya operasional per trip sekitar Rp 400.000,00. Jika nilai hasil tangkapan kurang dari Rp 400.000,00 mengalami kerugian tawe hanya memberi
uang lelah antar Rp 10.000,00 sampai Rp 50.000,00 tergantung pendapatan dari unit penangkapan lain yang dimilikinya. Namun jika pendapatan hasil tangkapan
nelayan melebihi biaya operasional maka aturan main sistem bagi hasil yang diterapkan umumnya sebagai berikut:
1. Pendapatan per trip kurangi biaya operasional dan dikurangi 10 dari pendapatan tersebut untuk biaya karyawan tawe yang membantu mencarikan
umpan dan membersihkan kapal; 2. Setiap nelayan nahkoda dan ABK diberi 1 bagian dan pemilik kapal 1
bagian. Pada umumnya 1 kapal terdapat 3 nelayan sehingga total bagian nelayan 3 bagian;
105 3. Pembagian hasil keuntungan dibagi rata, untuk kasus 3 nelayan dibagi 4
bagian 3 bagian nelayan dan 1 bagian pemilik kapal. Dalam rangka menjaga loyalitas nelayan, beberapa tawe memberikan bonus dan
fasilitasi pinjaman kebutuhan rumah tangganya. Aturan main antara tawe dan perusahaan eksportir juga bersifat informal.
Artinya, tidak memberlakukan sistem PO purchasing order terhadap tawe. Tawe diperbolehkan menjual ikannya ke eksportir manapun sesuai dengan keyakinan
dan kenyamanan tawe terhadap pelayanan pihak perusahaan. Masing-masing perusahaan eksportir bersaing untuk mendapatkan ikan dari tawe baik dari segi
harga maupun pelayanan. Namun ada juga tawe yang memiliki keyakinan keberuntungan dengan salah satu perusahaan tertentu. Pertimbangannya cukup
sederhana, berdasarkan perjalanan usahanya, tawe yang bersangkutan merasa mendapat keberuntungan hasil tangkapan nelayannya banyak ketika melakukan
kerja sama dengan perusahaan tersebut. Dalam hal aturan harga ikan layur, harga ditentukan secara sepihak oleh
pihak eksportir dan di antara eksportir tidak ada kesepakatan secara kolektif. Namun, beberapa perusahaan melakukan kerja sama kesepakatan harga PT. AGB
dan PT Duta maupun kerja sama pemantauan kinerja tawe yang memiliki ikatan kerja sama dengan perusahaan yang bersangkutan. Dalam rangka mengantisipasi
tawe memasok layur ke ekportir lain, pihak eksportir biasanya menerapkan strategi pemberian pinjaman modal kepada tawe. Pinjaman modal dari pihak
perusahaan kepada tawe dilakukan di atas materai dengan klausul utamanya adalah 1 sistem angsuran dilakukan dengan cara memotong setiap hasil
tangkapan Rp 1.000,00kg dari harga standar sampai pinjamannya lunas dan tanpa dibebani bunga, 2 tawe tidak boleh menjual ikannya ke perusahaan lain selama
harganya sama dengan perusahaan lain, 3 jika tawe bisa menunjukkan bukti bahwa harga ikan layur yang dibeli perusahaan lain lebih tinggi maka tawe bisa
menuntutnegosiasi kenaikan harga, 4 jika di kemudian pihak perusahaan mengetahui tawe menjual ikan ke perusahaan lain, perusahaan akan
memberlakukan sanksi berupa peringatan sampai pelunasan sisa hutang segera dan sanksi blacklist sebagai pemasok layur. Aturan besaran pinjaman modal yang
diberikan oleh perusahaan berdasarkan atas kepercayaan dan kinerja tawe dalam