BAB V FAKTOR PENYEBAB PEREMPUAN DESA
MELAKUKAN MIGRASI INTERNASIONAL
Lee 1984 dalam teorinya “Dorong-Tarik” Push-Pull Theory berpendapat bahwa migrasi dari desa ke kota disebabkan oleh faktor pendorong di
desa dan faktor penarik di kota. Faktor di daerah asal merupakan keadaan-keadaan di daerah asal yang dirasakan responden dan memungkinkan untuk mendorong
mereka melakukan migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Umumnya faktor ekonomi merupakan faktor utama masyarakat desa menjadi TKW. Hasil studi di Desa
Bantala menemukan bahwa alasan ekonomi ini juga dipengaruhi oleh kurangnya kesempatan kerja yang sangat berkaitan erat dengan kondisi geografi di daerah
asal Raharto 1999. Kemudian adanya kesempatan untuk bekerja ke luar negeri dengan upah yang lebih tinggi, mampu mengatasi hal tersebut. Dalam bab ini
akan dijelaskan bagaimana kondisi di daerah asal dan daerah tujuan yang menjadi alasan bagi perempuan desa untuk melakukan migrasi tenaga kerja internasional.
5.1 Faktor di Daerah Asal
Ada berbagai motif yang menjadi dasar seseorang melakukan migrasi. Berdasarkan data yang diperoleh di lapang, ada beberapa alasan responden
melakukan migrasi, Tabel 4 menunjukkan alasan responden melakukan migrasi
internasional.
Tabel 4 Alasan Responden Melakukan Migrasi Internasional di Daerah Asal, Desa Pusakajaya Tahun 2011
No Alasan
Jumlah N
1 Kemiskinan
4 12,1
2 Lapangan kerja minim
26 78,8
3 Upah rendah
33 100,0
4 Tidak mempunyai lahan pertanian
33 100,0
Ket: responden dapat memberikan lebih dari satu alasan.
Berdasarkan Tabel 4, alasan responden melakukan migrasi adalah karena tidak mempunyai lahan pertanian sebesar 100 persen. Responden merasa
penghasilan suami sebagai buruh pertanian yang tidak mempunyai lahan pertanian dirasa kurang dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang minim bagi perempuan
di Desa Pusakajaya pun menjadi alasan bagi perempuan di Desa Pusakajaya untuk bekerja ke luar negeri. Sebanyak 78,8 persen responden merasa Desa Pusakajaya
sebagai daerah asalnya tidak menyediakan cukup pekerjaan bagi mereka. Kebanyakan dari mereka jika tidak mempunyai keterampilan yang cukup, sangat
sulit untuk mendapat pekerjaan. Beberapa responden ada yang bekerja sebelum berangkat menjadi TKW, beberapa diantaranya bekerja sebagai penjahit dan
pedagang, namun mereka merasa upah yang diperoleh masih rendah, sebanyak 100 persen responden mengatakan upah yang diterimanya bekerja di desa, rendah.
Keadaan perekonomian Desa Pusakajaya yang tidak menyediakan cukup pekerjaan dan upah yang tinggi bagi masyarakatnya kemudian mendorong
masyarakatnya keluar desa untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Hal lain yang mendorong mereka melakukan migrasi internasional sebagai TKW adalah
karena keberhasilan tetangga yang sebelumnya berangkat menjadi TKW. Mereka juga mengatakan bahwa menjadi TKW akan memiliki pengalaman yang berbeda
dengan hanya tinggal di desa. Menjadi TKW berarti mampu menghasilkan pendapatan dan membantu suami dalam mencari nafkah bagi keluarga, dan ini
merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka, karena mereka mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
Dilihat dari ketersediaan sumberdaya alam di Desa Pusakajaya untuk memenuhi kebutuhan penduduknya, sebanyak 80 persen responden beranggapan
bahwa sumberdaya alam di Desa Pusakajaya cukup memenuhi kebutuhan mereka. Ketersediaan air yang melimpah, buah-buahan dan sayuran yang tumbuh subur di
lahan perkebunan ataupun pekarangan. Tidak jarang warga mengolah hasil pekarangannya berupa sayur-sayuran untuk dijadikan bahan baku untuk memasak.
Di desa ini juga masih terdapat pengajian-pengajian yang sangat aktif dan memungkinkan
perempuan bersosialisasi
dengan perempuan
lainnya. Pembangunan gedung-gedung sekolah dan pasar desa menjadi suatu kemajuan
desa yang penting bagi para penduduknya. Hal tersebut merupakan faktor
penahan yang mampu menahan perempuan desa bermigrasi, namun faktor-faktor di daerah asal yang dinilai bisa menjadi faktor penahan bagi terjadinya migrasi
internasional perempuan desa memiliki kekuatan yang lemah. Penduduk Desa Pusakajaya mempunyai mata pencaharian di sektor
pertanian. Mereka kebanyakan bekerja sebagai buruh tani, sedangkan istrinya ikut membantu suami menandur sawah. Penduduk di desa ini tidak banyak yang
memiliki lahan pertanian. Kebanyakan lahan mereka sudah dijual kepada pihak luar seperti orang Jakarta, Pamanukan, dan Indramayu, atau lahan pertanian
tersebut dibeli oleh orang desa yang memang memiliki status sosial yang tinggi atau termasuk dalam golongan petani kalangan atas yang sudah memiliki banyak
lahan pertanian, seperti H.RS yang memiliki 16 bahu sawah, DR dengan 20 bahu sawahnya, dan H.TM yang memiliki 52 bahu
3
sawah. Seiring pesatnya pertumbuhan penduduk menyebabkan berlebihnya tenaga
kerja pertanian, terjadi perubahan struktur pemilikan lahan. Persaingan ketat antar buruh kerja, namun tidak disertai kenaikan upah, ditambah peningkatan teknologi,
turut menggeser peran tenaga kerja. Semakin terbukanya peluang bekerja di luar sektor pertanian dan adanya usaha lain yang dilakukan petani dalam
mempertahankan kehidupan diversifikasi usaha kemudian menimbulkan kecendrungan semakin menurunnya jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di
sektor pertanian Yusdja, et al. 2003 dalam Elizabeth 2007. Berdasarkan hasil studi di lapang, mayoritas jenis pekerjaan suami migran bekerja pada sektor di
luar pertanian. Bagi mereka yang memang tidak mempunyai lahan pertanian, bekerja pada sektor di luar pertanian dinilai lebih menjamin dan menguntungkan.
Pekerjaan tersebut seperti sektor formal satpam dan guru, berdagang, jasa transportasi ojeg dan becak, dan kuli atau tukang bangunan. Bekerja sebagai
buruh tani dan mengandalkan sektor lain di luar pertanian pun banyak dilakukan oleh suami migran. Pekerjaan tersebut misalnya menjadi buruh tani dan bekerja
juga sebagai tukang ojeg ataupun berdagang. Peralihan pekerjaan dari sektor pertanian ke luar sektor pertanian disebabkan karena tidak mencukupinya
3
Bahu atau bau dari bouw, kata bahasa Belanda, berarti “garapan” dalam istilah agraria adalah
satuan luas lahan yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia, terutama di Jawa. Padmo 2007 dijelaskan dalam Wikipedia http:id.wikipedia.orgwikiBahu_28agraria29, ukuran bahu
agak bervariasi, namun kebanyakan adalah 0,70 hingga 0,74 ha dan ada pula yang menyamakannya dengan 0,8 ha.
pendapatan di sektor pertanian, usaha tani tersebut umumnya musiman, dan banyak mengandung resiko serta ketidakpastian Mubyarto 1985 dalam Mukbar
2009. Tingkat upah yang diterima dari penghasilan bekerja sebagai buruh tani
termasuk rendah. Mereka yang bekerja sebagai buruh perorangan mendapat upah yang lebih tinggi dibanding mereka yang bekerja secara borongan. Upah buruh
tani perorangan berkisar antara Rp 40.000,00 per hari, bekerja seharian dan tanpa biaya makan. Jika mereka bekerja borongan, seperti menandur, perbaikan lahan,
dan upah buruh panen, mendapat upah sebesar Rp 400.000,00 – Rp 500.000,00
per bahu. Hasil ini akan dibagi sesuai jumlah orang yang bekerja. Rata-rata upah yang mereka terima dengan bekerja secara borongan yaitu Rp 20.000,00
– Rp 30.000,00. Berbeda dengan petani yang menyewa lahanmenggarap lahan orang
lain, mereka memperoleh hasil bagian setelah panen terkumpul dan dibagi dua dengan pemilik setelah dikurangi dengan modal. Kemudian jika ditambah dengan
bekerja sebagai buruh bangunan, rata-rata per hari memperoleh penghasilan Rp 50.000,00
– Rp 60.000,00. Bagi perempuan, bekerja membantu suami merupakan suatu kebanggaan,
namun pekerjaan yang tersedia bagi perempuan di Desa Pusakajaya memang terbatas. Di Kabupaten Subang dan Purwakarta terdapat banyak pabrik, namun
tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah tidak memungkinkan mereka memasuki sektor tersebut. Menurut beberapa responden yang ditanyakan
pendapatnya, untuk mendapatkan pekerjaan di pabrik harus membayar sejumlah uang agar diterima di perusahaan tersebut, sehingga mereka lebih memilih
melakukan migrasi tenaga kerja ke luar negeri yang dinilai tidak terlalu membutuhkan keterampilan dan tingkat pendidikan yang tinggi. Bagi mereka,
menjadi TKI merupakan keputusan yang tepat, yang dipicu faktaberita bahwa bekerja ke luar negeri memberi prospek dan gaji yang lebih baik. Fakta demikian
dapat menjadi penarik bagi pekerja migran sebagai upaya memperoleh pendapatan dalam ketidakberdayaan di negara asal. Terlihat bahwa telah terjadi
perubahan sumber penghidupan di Desa Pusakajaya. Masyarakat yang awal mulanya bertani kini mulai beralih pada sektor di luar pertanian yang dinilai lebih
menghasilkan. Para istri dan anak-anak mereka pun ikut membantu sebagai buruh
migran perempuan ke luar negeri untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
5.2 Faktor di Daerah Tujuan