difusi oksigen lebih mudah pada sel darah merah. Dengan mikroskop elektron, eritrosit dapat memiliki berbagai macam bentuk, yaitu normal discocyte.,
crenated, echinocyte, codocyte, oat, bulan sabit, helmet, pinched, pointed, berlekuk, poikilocyte, dan sebagainya. Paruh hidup eritrosit sendiri adalah sekitar
120 hari. Eritrosit sendiri memiliki beberapa sistem membran yang dapat
melindungi dirinya dari kerusakan oksidatif dan hemolisis, antara lain superoksida dismutase SOD, glutation peroksidase, dan katalase. Juga terdapat asam
askorbat dan asam urat yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut air berada di plasma dan
α-tokoferol yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut lemak yang terdapat di membran eritrosit Qin Yan Zhu et.al., 2002.
Gambar 6. Sel eritrosit Sumber : Buhler 2000
G. Hemolisis eritrosit
Hemolisis yang terjadi pada eritrosit disebabkan oleh kehadiran tiba-tiba larutan merah cerah yang berasal dari hemoglobin keluar dari eritrosit, dan sering
digunakan untuk mengukur kecepatan penetrasi suatu komponen masuk ke dalam eritrosit Girrese, 1979. Parameter-parameter yang penting dan dapat digunakan
untuk mendeteksi kerusakan akibat toksik pada membran eritrosit antara lain adalah hemolisis, kehilangan ion potasium, autooksidasi membran lipid,
perubahan fluiditas eritrosit, perubahan bentuk membran, pengendapan protein
Gambar 7. Perbandingan eritrosit 1, trombosit 2, dan leukosit 3
Sumber :Buhler 2000
1 2
3
membran, dan perubahan rasio volume terhadap luas permukaan membran sel Luke et.al., 1987.
Eritrosit sangat mudah mengalami lipid peroksidasi dikarenakan kandungan lemak tidak jenuh ganda yang sangat tinggi, kandungan oksigen yang
tinggi, dan keberadaan logam transisi. PUFA, fosfolipid, dan kolesterol bebas adalah dasar dan konstituen permanen bagi membran seluler. Membran-membran
seluler ini terbentuk dalam lapisan bilayer dimana senyawa makromolekul protein seperti reseptor, pembawa spesifik, dan enzim dimasukkan. Pada sistem biologis,
PUFA merupakan komponen esensial dari biomembran, yang bersifat sangat rentan terhadap peroksidasi Bermond, 1990.
Oleh sebab itu, eritrosit merupakan media yang tepat untuk menganalisa kapasitas antioksidan ataupun daya toksik suatu zat tertentu secara in vitro,
terutama terhadap stabilitas biomembrannya. Reactive oxygen species ROS yang terbentuk pada fase air atau lipid dapat menyerang membran eritrosit yang
mengakibatkan oksidasi lipid dan protein, memicu kerusakan membran yang berakibat pada terjadinya hemolisis Qin Yan Zhu et.al.,, 2002.
Pada fungsi fisiologis normal, mayoritas ROS diproduksi pada rantai transport elektron di dalam mitokondria, karena sebanyak 90 konsumsi oksigen
oleh tubuh direduksi menjadi air terjadi di mitokondria. Walaupun begitu, ROS juga dihasilkan di jalur biokimia lain pada tubuh. Contohnya, proses
penghancuran oleh neutrofil terhadap bakteri, virus, dan senyawa xenobiotik, β-
oksidasi dari lemak, aktivasi sitokrom P
450
dan lainnya Ji, 1999 Oksigen merupakan elektron penerima yang sifatnya universal berfungsi
menghasilkan energi bagi organisme aerobik dari dalam bahan pangan seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Proses katabolisme dapat menghasilkan radikal
bebas oksigen dan reactive oxygen species ROS seperti superoksida °O
2 -
, radikal hidroksil OH°, dan hidrogen peroksida H
2
O
2
Ji, 1999. H
2
O
2
dapat dihasilkan dari proses pengubahan °O
2 -
superoksida yang dihasilkan dari hasil kerja enzim superoksida dismutase SOD yang terdapat pada
membran eritrosit. H
2
O
2
yang terbentuk nantinya akan diubah menjadi air H
2
O oleh enzim katalase dan glutation peroksidasi. Hidrogen peroksida sendiri
merupakan oksidator yang tidak terlalu berbahaya, akan tetapi kehadiran ion
logam transisi seperti besi, yang diubah dari bentuk ferric menjadi ferrous oleh °O
2 -
, dapat bereaksi dengan H
2
O
2
untuk menghasilkan radikal hidroksil °OH yang sangat reaktif Yoshikawa et.al., 1997. Reaksi H
2
O
2
dan Fe
2+
digambarkan sebagai berikut ; H
2
O
2
+ Fe
2+
→ Fe
3+
+ OHº + OH
-
. Kekurangan pada sistem antioksidan, terjadinya proses oksidasi yang
tinggi, atau terjadinya beberapa kelainan pada darah seperti β-thalasemia, sickle
cell anemia, dan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase dapat meningkatkan kecenderungan eritrosit terhadap peroksidasi Qin Yan Zhu et.al., 2002.
Penggunaan eritrosit sebagai media uji kapasitas antioksidan alami dapat menentukan kekuatan aktivitas antioksidan tersebut, interaksinya dengan sel
hidup, dan kemungkinan sinergisme dengan keberadaan komponen lain dalam sistem seluler.
Pengujian aktivitas anti hemolisis pada sel darah merah banyak dilakukan dengan penambahan larutan pengoksidasi seperti H
2
O
2
atau senyawa-senyawa aldehid asetaldehid, formaldehid, dan glutaraldehid. Senyawa-senyawa aldehid
dapat bereaksi mengakibatkan hemolisis dengan banyak cara. Formaldehid bereaksi dengan protein dan asam nukleat, yang dapat mengakibatkan kerusakan
membran. Dalam sistem tubuh manusia, terdapat beberapa enzim yang dapat mengkatalisis oksidasi formaldehid menjadi asam format. Salah satu enzim
terpenting adalah NAD-dependent formaldehyde-dehydrogenase, yang membutuhkan GSH reduced glutathione sebagai kofaktor Andel et.al., 2002.
Sedikitnya ada 7 enzim berfungsi sebagai katalisator oksidasi formaldehid pada jaringan mahluk hidup, antara lain ; aldehid dehidrogenase, xantinoksidase,
katalase, peroksidase, gliserinaldehid-3-fosfat dehidrogenase, aldehid oksidase, dan DPN-dependent formaldehyde dehydrogenase. Proses oksidasi tersebut terjadi
sebagian besar di hati, tetapi juga terjadi di eritrosit, otak, ginjal, dan otot Andel et.al., 2002.
Hasil penelitian oleh Horwitt 1956, menunjukkan bahwa persentase hemolisis pada panelis dengan suplai tokoferol dan tidak disuplai tokoferol
mengalami kenaikan dan penurunan selama selang waktu pengamatan. Pengujian dilakukan dengan metode absorbansi pada panjang gelombang 540 nm dari
suspensi eritrosit yang telah didiamkan selama 3 jam dan diagitasi pada selang waktu 15 menit agar sel eritrosit tetap tersuspensi pada larutan balanced salt.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Qin Yan Zhu 2002, terhadap aktivitas penghambatan hemolisis eritrosit menggunakan ekstrak kokoa yang
diinduksi dengan AAPH 2,2’-azo-bis 2-amidinopropane dihidroklorid. Ekstrak kokoa dihilangkan kandungan lemaknya dengan menggunakan aseton dan
dibandingkan dengan aktivitas penghambatan hemolisis dari asam askorbat pada konsentrasi 2, 4, 6, dan 8 mgml. Ekstrak kokoa memberikan nilai aktivitas
penghambatan hemolisis lebih tinggi dibandingkan dengan asam askorbat pada masing-masing konsentrasi. Nilai aktivitas penghambatan hemolisis dengan
ekstrak kokoa mencapai 60 , dan asam askorbat mencapai 40 pada konsentrasi 8 mgml.
Penelitian yang dilakukan oleh Lanping 2000, menunjukkan aktivitas penghambatan hemolisis menggunakan komponen polifenol ekstrak teh hijau
epikatekin, epikatekin galat, epigalokatekin, dan epigalokatekin galat. Pada penelitian ini, hemolisis eritrosit diinduksi secara in vitro dengan menggunakan
berbagai konsentrasi AAPH 2,2’-azo-bis 2-amidinopropane. Hasil penelitian ini dinyatakan sebagai persentase hemolisis sel eritrosit pada rentang waktu
pengamatan 60 hingga 240 menit. Persentase hemolisis terendah terdapat pada sel eritrosit yang ditambahkan epigalokatekin galat 30.0 mmolL konsentrasi
tertinggi yaitu 20 . Pada penelitian ini juga dilakukan perbandingan interaksi komponen polifenol 30.0 mmolL secara langsung terhadap sel eritrosit yang
diinduksi oleh AAPH. Penambahan epikatekin menyebabkan hemolisis sel eritrosit hingga 80 , lebih tinggi bila dibandingkan kontrol sel eritrosit tanpa
penambahan komponen polifenol yaitu 65 . H. Antioksidan
Antioksidan merupakan jenis senyawa yang digunakan untuk menangkap radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dengan menstabilkan
radikal tersebut. Senyawa ini berfungsi untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan karena terjadinya reaksi oksidasi lemak yang menjadikan bahan pangan
yang berasa dan beraroma tengik Andarwulan, 1995.
Menurut Kochar dan Rossell 1990, antioksidan pangan biasa diterapkan
untuk zat yang menghambat reaksi rantai radikal bebas yang terdapat di dalam oksida lipida, tetapi istilah tersebut digunakan tidak hanya untuk pengertian
sempit di atas karena kompleksitas dalam sistem pangan. Antioksidan dapat menghambat dan mencegah proses oksidasi walaupun terdapat dalam jumlah yang
sedikit dan tubuh juga memiliki sistem antioksidan alami yang dapat di produksi sendiri.
Komponen antioksidan alami dalam pangan dapat berupa : 1
Komponen endogenous dalam satu atau lebih komponen makanan tersebut 2
Merupakan komponen yang terbentuk dari berbagai reaksi selama proses 3
Zat tambahan pangan yang diisolasi dari sumber alami Antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan primer dan sekunder
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu ; antioksidan primer atau antioksidan pemecah rantai chain breaking antioxidant dapat bereaksi dengan radikal lemak
dan mengubahnya menjadi produk yang stabil dengan melepas hidrogen, seperti tokoferol lesitin, asam askorbat. Antioksidan sekunder mencegah prooksidator
sehingga dapat digolongkan sebagai sinergis, seperti asam sitrat dan EDTA Bender, 1982.
Menurut Kochar dan Russell 1990, antioksidan diklasifikasikan menjadi lima jenis yaitu :
1 Antioksidan primer, utamanya senyawa fenolik yang dapat menghentikan
rantai radikal bebas oksidasi lemak. Yang termasuk kelompok ini antara lain tokoferol, alkil galat, BHA, BHT dan TBHQ.
2 Perangkap oksigen , seperti asam askorbat vitamin C, askorbil palmitat,
asam eritrobat dan garam natriumnya, yang bereaksi dengan oksigen dan dapat menghilangkan dalam sistem tertutup.
3 Antioksidan sekunder, seperti dilauril tiodipropionat yang bekerja dengan
memecah hidroperoksida lemak menjadi produk akhir yang stabil. 4
Antioksidan enzimatik, seperti glukosa oksidse, superoksidase dismutase, katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan ini bekerja dengan
melenyapkan pelarut oksigen.
5 Chelating agent atau sekustran, seperti asam sitrat, asam amino, EDTA,
yang mengkelat ion logam seperti tembaga Cu dan besi Fe yang mengkatalisis oksidasi lemak.
Sedangkan menurut Ranney 1979, antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan prinsip kerja dalam mencegah oksidasi, yaitu :
1 Antioksidan gugus fenol dan amin aromatik yang akan bereaksi dengan
radikal bebas dari sistem membentuk produk substrat non-radikal dan radikal antioksidan
2 Antioksidan yang dapat menghilangkan molekul-molekul hidroperoksida
dari substrat tetapi tanpa melibatkan radikal bebas 3
Antioksidan menginaktifkan logam yang digunakan untuk mempercepat reaksi oksidasi.
Komponen antioksidan yang ada pada alam mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda. Pada umumnya senyawa tersebut adalah asam amino, asam
askorbat, karotenoid, asam sinamat, flavanoid, melanoidin, asam organik tertentu, zat pereduksi, peptida, fosfatida, polifenol, tanin, dan tokoferol Dugan, 1985
Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa cara.. DPPH 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil
merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol dan berwarna ungu tua. Pada metode DPPH, pencegahan radikal DPPH biasanya
diikuti dengan pengamatan terhadap penurunan nilai absorbansi pada 515 nm yang terjadi akibat reaksi antara antioksidan AH atau reaksi dengan radikal.
DPPH° + AH → DPPH-H +A°
DPPH° + R → DPPH-R
Gambar 8. Mekanisme reaksi antioksidan pada DPPH
NO
2
NO
2
NO
2
N NH
+ AOH NO
2
NO
2
NO
2
N N•
Reaksi yang cepat dari radikal DPPH terjadi dengan beberapa polifenol, termasuk tokoferol, tetapi reaksi sekunder yang lambat dapat menyebabkan
penurunan yang progresif pada nilai absorbansi, oleh sebab itu keadaan tetap steady state mungkin tidak tercapai pada beberapa saat lamanya. Beberapa
laporan mengatakan bahwa aktivitas pencegahan terjadi setelah 15 hingga 30 menit. Gordon, 1992
I. Komponen fenolik