5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Sapi Potong di Indonesia
Ternak sapi potong merupakan sumber daging bagi masyarakat Indonesia, di samping produk daging yang berasal dari ternak lain seperti kerbau, kambing, domba,
kuda, babi dan ternak unggas. Secara proporsional 66 daging ternak ruminansia dihasilkan oleh ternak sapi, 14 dari domba, dan 8 dari kerbau Makka 2004.
Data populasi dan jumlah pemotongan ternak sapi potong di Indonesia dalam lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-2006
No Tahun Populasi
ekor Perubahan Populasi
1 2
3 4
5 6
2001 2002
2003 2004
2005 2006
11.137.000 10.436.300
10.504.128 10.532.889
10.569.312 10.875.125
-- -6,29
0,65 0,27
0,35 2,89
Rataan -0,43
Sumber : Ditjen Peternakan 2007a
Rata-rata penurunan populasi sapi potong di Indonesia selama lima tahun ter- akhir 2001-2006 sebesar 0,43 persen per tahun, sementara pada periode yang sama
jumlah pemotongan meningkat sebesar 0,31 persen per tahun. Hal ini disebabkan masih rendahnya produktivitas ternak sapi dan terbatasnya ketersediaan bibit unggul
lokal, karena : 1 sumber-sumber perbibitan masih didominasi oleh peternak rakyat yang menyebar dengan kepemilikan rendah 1-4 ekor, 2 kelembagaan perbibitan
Tabel 2 Jumlah pemotongan ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-2006
No Tahun Pemotongan
ekor Perubahan jumlah
Pemotongan
1 2
3 4
5 6
2001 2002
2003 2004
2005 2006
1.784.036 1.692.833
1.735.776 1.733.360
1.653.770 1.799.781
-- - 5,11
2,54 - 0,14
- 4,59 8,83
Rataan 0,31
Sumber : Ditjen Peternakan 2007a
6 yang ada kelompok usaha perbibitan belum berkembang ke arah usaha yang
profesional, 3 lemahnya daya jangkau UPT perbibitan karena sebaran ternak yang luas, dan 4 tingginya pemotongan ternak betina produktif jumlahnya mencapai
28 sebagai akibat dari permintaan yang tinggi terhadap daging sapi Tawaf dan Kuswaryan 2006. Diperlukan impor sapi potong dalam jumlah yang cukup besar
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap daging, pada tahun 2006 impor sapi bakalan mencapai 265.700 ekor, sapi bibit 6.200 ekor dan daging 25.949,2 ton Ditjen
Peternakan 2007a. Salah satu penyebab menurunnya populasi ternak adalah menu- runnya daya dukung lahan untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian sehingga ketersediaan pakan terbatas Haryanto 2004. Manajemen reproduksi yang belum efisien dan jumlah pemotongan yang tidak ter-
kontrol di samping faktor pakan, juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap penurunan kuantitas dan kualitas sapi potong yang ada Soetirto 1997.
Pemerintah melalui Direktorat Jendral Peternakan telah menetapkan Program Kecukupan Daging 2010 PKD 2010, sebelumnya bernama program swa-sembada
daging, mengacu pada salah satu program Departemen Pertanian yaitu program Keta- hanan Pangan. Dalam PKD 2010 diharapkan produksi dalam negeri mampu
memberikan kontribusi kecukupan daging sebesar 90 – 95 persen dan sisanya 5 – 10 persen dari impor Tawaf dan Kuswaryan 2006. Tahun 2005 pemerintah telah
mencanangkan Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan RPPK yang meli- batkan unsur-unsur Pemerintah, Dunia Usaha, Perguruan Tinggi, Profesional, LSM,
dan masyarakat untuk : 1 meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi kemiskinan, 2 menciptakan kesempatan usaha dan kerja baru, 3 membangun
ketahanan pangan dan kebutuhan pokok lain, 4 meningkatkan daya saing, 5 melestarikan lingkungan, dan 6 membangun daerah Krisnamurti 2006.
Menurut Soedjana 2007, dalam rangka mewujudkan swa-sembada daging dipandang perlu melakukan revitalisasi atau restrukturisasi peternakan, yakni menata
ulang industri peternakan baik hulu, budidaya, dan hilir. Industri ternak potong di- harapkan akan berbasis sumberdaya lokal, dan tingkat swa-sembada akan tercapai
secara sustainable, untuk itu perlu langkah-langkah peningkatan populasi dan produk- tivitas serta perbaikan kelembagaan meliputi ; 1 memacu kegiatan IB melalui
optimalisasi akseptor, 2 penjaringan dan penyelamatan betina produktif, 3 peng- amanan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan, 4 perbaikan kawin alam
7 melalui distribusi pejantan unggul dan sertifikasi pejantan pemacek, 5 pengem-
bangan dan pemanfaatan pakan lokal, 6 pengembangan SDM dan kelembagaan, dan 7 penyediaan indukbibit.
Dalam buku pedoman Ditjen Peternakan 2007b, dijelaskan bahwa untuk mempercepat pencapaian swa-sembada daging sapi 2010, pemerintah menetapkan
program Percepatan Pencapaian Swa-sembada Daging Sapi 2010 PSDS 2010, yang dimulai pada tahun 2008-2010 melalui tujuh langkah operasional yakni ; 1 optima-
lisasi akseptor, dan kelahiran melalui Inseminasi Buatan IB dan kawin alam; 2 pengembangan Rumah Potong Hewan RPH dan pengendalian pemotongan sapi
betina produktif; 3 perbaikan mutu dan penyediaan bibit; 4 penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan; 5 Intensifikasi kawin alam; dan 6 pengembangan
pakan lokal, serta 7 pengembangan SDM dan kelembagaan. Pelaksanaan P2SDS difokuskan di 18 provinsi yang dikelompokkan dalam tiga daerah prioritas ber-
dasarkan potensi sumberdaya lahan, ternak, SDM, teknologi, sarana pendukung, pola budidaya, dan pasar yaitu : 1 daerah prioritas IB yaitu propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali; 2 daerah campuran Inseminasi Buatan IB dan Kawin Alam KA yaitu propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo; 3 daerah prioritas Kawin Alam
KA yaitu propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Program-program ini pada intinya mengupayakan peningkatan produksi daging dalam
negeri untuk mengatasi kesenjangan antara demand dan suplay. Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat tidak jauh berbeda
dengan perkembangan sapi potong secara nasional, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Rata-rata pertumbuhan ternak sapi potong di Sumatera Barat dalam lima tahun
terakhir menurun sebesar 1,31 per tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang dipotong meningkat sebesar 9,35 per tahun BPS Sumatera Barat 2007.
Rendahnya produksi dan produktivitas ternak sapi potong di Sumatera Barat disebabkan masih rendahnya tingkat kelahiran angka kelahiran di bawah 50,
tingginya angka kematian angka kematian anak di atas 2, pertambahan bobot badan yang belum optimal pertambahan bobot badan sapi lokal 0,4-0,5 kghr, dan
tingginya inseminasi berulang di daerah kawasan sentra ternak pembibitan Dinas Peternakan TK I Sumatera Barat 2007a. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya
8 dan bantuan pemerintah untuk mengembangkan sapi potong melalui program
peningkatan kapasitas reproduksi IB, penurunan angka kematian, dan peningkatan produktivitas sapi potong Soetirto 1997.
Tabel 3 Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat th 2001 - 2006
No Tahun Populasi ekor
Kenaikan Penurunan
Pemotongan ekor
Kenaikan Penurunan
1 2
3 4
5 6
2001 2002
2003 2004
2005 2006
501.356 546 862
583.850 597.294
419.352 440.461
-- 9,08
6,77 2,30
-29,79 5,03
58.300 58.134
57.274 63.889
66.108 88.062
- 0,28
-1,48 11,55
3,47 33,51
Rataan -1,31
9,35 Sumber :
BPS Sumatera Barat 2007
Menurut Dinas Peternakan TK I Sumatera Barat 2007b, untuk mendukung program P2SDS 2010 telah disusun langkah-langkah sebagai berikut ; 1 optimali-
sasi IB melalui penambahan akseptor dari 70.660 menjadi 124.795 akseptor, 2 penambahan ternak sapi betina produktif dari luar propinsi Sumatera Barat, sejumlah
3.876 ekor 2006, dan 5.636 ekor 2007, 3 penanggulangan penyakit reproduksi, telah dimulai semenjak tahun 2006 sebanyak 500 ekor, 4.000 ekor tahun 2007, tahun
2008, 2009, 2010 direncanakan dicapai 5.000, 6.000, 7.000 ekor, 4 pengawasan pemotongan ternak sapi betina produktif melalui optimalisasi penguatan modal usaha
kelompok, 5 intensifikasi kawin alam pada kawasan-kawasan yang sulit untuk penerapan IB melalui distribusi pejantan unggul. Disamping peran pemerintah, peran
swasta dan masyarakat juga penting dalam peningkatan populasi ternak sapi potong dengan mendatangkan investor baru dan memotivasi masyarakat untuk berinvestasi
dibidang usaha ternak sapi.
2.2 Usaha Sapi Potong sebagai Komponen Sistem Usahatani