Analisis Sensitivitas Pengaruhnya Terhadap Urutan Prioritas Dalam Metode Analytic Hierarchy Process (AHP)

(1)

PROCESS (AHP)

SKRIPSI

MINDO MORA

050803071

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISIS SENSITIVITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP URUTAN PRIORITAS DALAM METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

MINDO MORA 050803071

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

PERSETUJUAN

Judul : ANALISIS SENSITIVITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP URUTAN PRIORITAS DALAM

METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

Kategori : SKRIPSI

Nama : MINDO MORA

Nomor Induk Mahasiswa : 050803071

Program Studi : SARJANA (S1) MATEMATIKA

Deparetemen : MATEMATIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan , Agustus 2009 Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing I

Prof. DR. Iryanto, M.Si Drs. Marwan Harahap, M.Eng

NIP 130 353 140 NIP 130 422 443

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Matematika FMIPA USU Ketua.

Dr. Saib Suwilo, M.Sc NIP 19640109 198803 1004


(4)

PERNYATAAN

ANALISIS SENSITIVITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP URUTAN PRIORITAS DALAM METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2009

MINDO MORA 050803071


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia – Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini dalam waktu yang telah ditetapkan.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada :

1. Bapak Drs. Marwan Harahap, M.Eng. selaku pembimbing I dan Prof. DR. Iryanto, M.Si. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada saya sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan. 2. Bapak Drs. Suwarno Ariswoyo, M.Si. dan Drs. Djakaria Sebayang selaku

dosen penguji.

3. Bapak Dr. Saib Suwilo, M.Sc. dan Drs. Henri Rani Sitepu, M.Si. selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Matematika.

4. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

5. Semua dosen pada Departemen Matematika FMIPA USU, pegawai di FMIPA USU.

6. Seluruh teman – teman kuliah dan junior Matematika khususnya stambuk 2005 dan juga teman saya Irpan Apandi, Muhammad Huda Firdaus, Kiki Winarti, Fitriyanti dan Muhammad Amin yang telah memberikan semangat, dorongan dan saran dalam pengerjaan skripsi ini.

7. Ayahanda Komis Siregar, Ibunda Nur Cahaya Hasibuan dan semua ahli keluarga yang selama ini memberikan bantuan dan dorongan yang diperlukan.

Semoga segala bentuk bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT.


(6)

ABSTRAK

Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu metode yang digunakan dalam pengambilan keputusan terhadap masalah penentuan prioritas pilihan dari berbagai alternatif. Metode ini diawali dengan membentuk struktur hirarki dari pernasalahan yang ingin dipecahkan, struktur hirarki ini terdiri dari tujuan yang ingin dicapai atau goal, kriteria dan alternatif pilihan dari kriteria tersebut. Kemudian membuat matriks perbandingan berpasangan (pair-wise comparison matrix) untuk mengetahui hubungan tingkat kepentingan antara elemen yang satu dengan yang lain. Pada matriks tersebut akan dicari bobot dari tiap kriteria dan alternatif dengan cara menormalkan rata – rata geometrik dari penilaian decision maker. Bobot prioritas global diperoleh dengan mengalikan bobot prioritas lokal dari kriteria dengan bobot prioritas lokal dari alternatif keputusan. Analisis sensitivitas dalam AHP dengan mengubah bobot prioritas dari kriteria keputusan. Bobot prioritas kriteria tersebut diubah lebih kecil dan lebih besar dari bobot sebelumnya, sehingga diperoleh hasil terjadinya perubahan urutan prioritas.


(7)

SENSITIVITY ANALYSIS AND EFFECT TO-WARD ORDER OF PRIORITY IN ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP) METHOD

ABSTRACT

Analytic Hierarchy Process (AHP) method is a decision making method on determining the priority alternative of any alternative. This method is begin by making the hierarchy structure of the studied problem to solve, this hierarchy structur consist of goal, criteria, alternative. Then making pair wise comparison matrix to know how importance element with others. In this matrix, the weight of each criteria is determined by normalization of geometric mean from decision maker opinion. Weight global priority determined of cross weight local priority criteria with weight local priority alternative. Sensitivity analysis in AHP with change weight priority of criteria. Weight priority changed less and more from weight priority before, then result determined the global priority will change.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Bab I Pendahuluan 1

1.1Latar Belakang 1

1.2Perumusan Masalah 3

1.3Tinjauan Pustaka 3

1.4Tujuan Penelitian 6

1.5Kontribusi Penelitian 6

1.6Metodologi Penelitian 7

Bab II Landasan Teori 8

2.1 Analytic Hierarchy Process 8

2.2 Prinsip Dasar Analytic Hierarchy Process 10 2.2.1 Penyusunan Prioritas 12 2.2.2 Eigen Value dan Eigen Vektor 16 2.2.3 Uji Konsistensi Indeks dan Rasio 21 2.3 Analisis Sensitivitas pada Analytic Hierarchy Process (AHP) 23

2.3.1 Analisis Sensitivitas pada Bobot Prioritas dari

Kriteria Keputusan 28

BAB III Pembahasan 29

3.1 Perhitungan Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria 29 3.2 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses

Belajar Mengajar 31

3.3 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan 33 3.4 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah

Secara Umum 35

3.5 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta

Sekolah 37

3.6 Perhitungan Total Rangking/Prioritas Global 40

3.6.1 Faktor Evaluasi Total 40


(9)

3.7 Analisis Sensitivitas AHP Pada Bobot Prioritas Kriteria Keputusan 41 3.7.1 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Proses

Belajar Mengajar 41 3.7.2 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Lingkungan

Pergaulan 43

3.7.3 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Kehidupan

Sekolah Secara Umum 46 3.7.4 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Kualifikasi

yang diminta Sekolah 48

BAB IV Kesimpulan dan Saran 52

4.1 Kesimpulan 52

4.2 Saran 55

Daftar Pustaka Lampiran


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Matriks Perbandingan Berpasangan 13

Tabel 2.2. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan 14

Tabel 2.3. Nilai Random Indeks (RI) 23

Tabel 2.4 Matriks perbandingan berpasangan pada level dua 24 Tabel 2.5 Matriks perbandingan berpasangan terhadap PBM 25 Tabel 2.6 Matriks perbandingan berpasangan terhadap LP 25 Tabel 2.7 Matriks perbandingan berpasangan terhadap KS 26 Tabel 2.8 Matriks perbandingan berpasangan terhadap KUA 26

Tabel 2.9 Prioritas Global 27

Tabel 3.1 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria 29 Tabel 3.2 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria

yang disederhanakan 30

Tabel 3.3 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria

yang dinormalkan 30

Tabel 3.4 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar 32 Tabel 3.5 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar

yang disederhanakan 32

Tabel 3.6 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar

yang dinormalkan 32

Tabel 3.7 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan 33 Tabel 3.8 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan

yang disederhanakan 34

Tabel 3.9 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan

yang dinormalkan 34

Tabel 3.10 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan

Sekolah Secara Umum 35

Tabel 3.11 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah

Secara umum yang disederhanakan 36 Tabel 3.12 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah

Secara Umum yang dinormalkan 36 Tabel 3.13 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang

diminta Sekolah 37

Tabel 3.14 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang

diminta Sekolah yang disederhanakan 38 Tabel 3.15 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang

diminta Sekolah yang dinormalkan 38

Tabel 3.16 Matriks Faktor Evaluasi Total 40


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Hirarki 8


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya dikarenakan faktor ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi saja. Namun masih terdapat penyebab lainnya seperti banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan – pilihan yang ada, dengan beragamnya kriteria pemilihan dan jika pembuat keputusan yang lebih dari satu merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah yang sangat kompleks. Adapun metode yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan multikriteria tersebut dikenal dengan metode proses analisis hirarki (Analytical Hierarchy Process – AHP)

Untuk pertama kali metode AHP diperkenalkan oleh Thomas L Saaty pada periode 1971 – 1975 ketika di Warston School. Pengembangannnya mendasarkan pada kemampuan “judgment” manusia untuk mengkontruksi persepsi secara hirarkis dari sebuah persoalan keputusan multikriteria. Struktur yang hirarkis ini merepresentasikan tipe hubungan ketergantungan fungsional yang paling sederhana dan berurutan sehingga mempermudah mendekomposisikan persoalan multikriteria yang kompleks menjadi elemen – elemen keputusannya. Hirarki bersifat linear dan distrukturkan mulai dari elemen keputusan yang bersifat umum (misalnya goals, objektif, kriteria dan subkriteria) sampai ke variabel atau faktor yang paling konkrit dan mudah terkontrol pada level hirarki terbawah yaitu alternatif keputusan.


(13)

Dalam suatu hirarki yang lengkap, setiap elemen keputusan dihubungkan dengan elemen lain pada level yang lebih atas atau level yang dibawahnya. Pada level hirarki pertama adalah objektif (goal) keputusan yang ingin dicapai. Elemen keputusan pada hirarki di level kedua adalah sejumlah atribut atau kriteria untuk evaluasi preferensi keputusan. Pada level ini kita membuat “judgment” perbandingan “preferensi” mana yang lebih besar tingkat kepentingannya antara kriteria yang satu dengan yang lain untuk mencapai goal yang sudah ditetapkan. Skala perbandingan “judgment” yang berpasangan (pairwise comparison matrix) untuk masing – masing elemen dapat diproleh. Pada level hirarki terbawah alternatif keputusan mengacu pada kriteria pada level di atasnya, pengambil keputusan diminta lagi menetapkan perbandingan “judgment”- nya dan preferensi untuk alternatif keseluruhan secara berpasangan. Objektif dari penggunaan metode multikriteria AHP adalah untuk menetapkan bobot kepentingan relatif masing – masing kriteria, kemudian kriteria ini akan digunakan sebagai dasar acuan untuk evaluasi penetapan prioritas relatif pada level hirarki di bawahnya (alternatif keputusan).

Umumnya pada saat pengambil keputusan menetapkan pembobotan relatif antar elemen keputusan dalam metode AHP dilakukan dalam evaluasi lingkungan keputusan yang samar dan subyektif, misalnya saat harus menetapkan intensitas pembobotan kualitatif kriteria seperti “sama” penting, “cukup” penting, “lebih” dan “sangat” penting.

Terdapat banyak usulan pendekatan untuk melakukan estimasi bobot prioritas relatif dalam metode AHP. Pendekatan “least square” diusulkan oleh Jensen (1984), metode “logarithmic least square” diusulkan oleh de Jong (1984), juga penggunaan teknik linear programming dikemukaan oleh Korhonen dan Wallenius (1990). Pada praktiknya metode yang paling umum dipakai untuk melakukan estimasi bobot prioritas relatif dalam AHP adalah pendekatan eigenvector seperti yang dikembangkan pertama kali oleh Saaty (Saaty 1977; Vargas 1990; Saaty 1990).


(14)

Analisisis sensitivitas dapat dipakai untuk memprediksi keadaan apabila terjadi perubahan yang cukup besar, misalnya terjadi perubahan bobot prioritas atau urutan prioritas dan kriteria karena adanya perubahan kebijaksanaan. Berubahnya bobot prioritas menyebabkan berubahnya urutan prioritas yang baru dan tindakan apa yang perlu dilakukan.

Dengan latar belakang inilah penulis memilih judul “Analisis Sensitivitas dan Pengaruhnya Terhadap Urutan Prioritas Dalam Metode Analytic Hierarchy Process (AHP)”.

1.2 Perumusan Masalah

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah menganalisis perubahan bobot prioritas kriteria keputusan dan pengaruhnya terhadap urutan prioritas

1.3 Tinjauan Pustaka

Thomas L. Saaty [6] menguraikan metode AHP dan menjelaskan penggunaan metode AHP ini bagi para pemimpin dan pengambil keputusan dalam situasi yang kompleks. Masalah kompleks dapat diartikan bahwa pemimpin dihadapkan pada situasi untuk secepatnya mengambil keputusan dan kriteria yang begitu banyak.

Udisubakti Ciptomulyono dan DOU Henry [1] menggunakan model Fuzzy Goal Programming untuk menetapkan pembobotan prioritas dalam metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Penggunaan pendekatan fuzzy goal programming sebagai alternatif estimasi pembobotan prioritas dari metode AHP yang lazimnya dipakai, seperti metode eigenvector atau metode lain. Model ini mengambil asumsi dan memperhatikan aspek fuzzy yang hanya pada penetapan level aspirasi toleransi pencapain goal, bukan pada penentuan prioritas fungsi goal – nya.


(15)

Darwin Trisna [11] menguraikan tentang pengambilan keputusan investasi jalan tol kota Bandung dengan metode AHP. Hasil analisis menunjukkan bahwa kriteria jaringan merupakan kriteria yang paling dominan dengan bobot 48, 8%, selanjutnya kriteria lalu Lintas 17%, Lingkungan 12,7%, aspek Finansial dan Bisnis 11, 6% dan aspek Manajerial dan kontruksi 9, 9%.

Siti Latifah [5] menjelaskan tentang keputusan dan prinsip – prinsipnya yang terdiri dari : Decomposition, Comporative judgment, Synthesis of Priority, Local Consistency

Kardi Teknomo, Hendro Siswanto dan Sebastinus Ari Yudhanto [10] menggunakan AHP dalam menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi pemilihan moda ke kampus. Hasil analisa menunjukkan bahwa alternatif Jalan Kaki dari Pondokan merupakan alternatif terbaik dan yang paling diminati oleh responden yaitu sebesar 33, 2 %, kemudian Mobil Pribadi (18, 6%), Carpool (16, 2%), Angkutan Kampus (12, 4%), dan yang terakhir adalah Angkutan Umum (4, 5%).

Haryono Sukarto [7] menguraikan tentang pemilihan transportasi di DKI Jakarta dengan metode AHP. Hasil analisa menunjukkan bahwa pembenahan angkutan umum (biskota) menjadi prioritas utama dalam upaya menurunkan tingkat kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor (22%), kemudian Sistem Angkutan Umum Massal(SAUM) (18, 1%), Pembatasan Mobil Pribadi (16, 7%), Konsep Pembatasan Penumpang 3 in 1 (13, 5%), Penambahan Jaringan Jalan, Fly Over dan underpass (10,6%), dan Pembatasan Kendaraan Umum (5, 9%).

Joko Agus Hariyono dan Udisubakti Ciptomulyono [2] melakukan analisis terhadap pemilihan mitra LSM dan optimasi budgeting dengan menggunakan metode AHP dan Goal Programming. Hasil analisa dengan menggunakan metode AHP yang diintegrasikan dengan Goal Programming diperoleh suatu model keputusan multikriteria. Digunakan untuk menyelesaikan problema dan optimasi dalam memilih mitra yang paling baik untuk diajak bekerja sama.


(16)

Supiyono, Wisnu Arya Wardhana dan Sudaryo [8] menggunakan AHP dalam sistem pemilihan Pejabat Struktural. Hasil simulasi menunjukkan bahwa untuk pemilihan calon pejabat struktural Kepala Sub bagian Perlengkapan, urutannya adalah : Semar, SST nilai 0.357741801, Srikandi, SE skor 0.342234743 dan Gareng, A.Md skor 0.342234743. Pemilihan calon pejabat struktural Kepala Sub Bagian Persuratan dan Kepegawaian, urutannya adalah : Gareng, A.Md skor 0.400834260, Dewi, SH skor 0.303295196 dan Srikandi, SE skor 0.295870544. Pemilihan calon pejabat struktural Kepala Sub Keuangan, urutannya adalah : Srikandi, SE skor 0.379755402, Bimo, SE skor 0.368120130 dan Dewi, SH skor 0.252124468.

Wayan R. Susila dan Ernawati Munadi [9] menggunakan AHP untuk penyusunan Prioritas proposal penelitian. Dari dekomposisi masalah disusun prioritasnya, diperoleh gambaran bahwa ada lima proposal penelitian yang akan dipilih atau disusun prioritasnya. Ada lima kriteria yang digunakan yaitu waktu, biaya, efektivitas, kemudahan dan urgensi. Melalui suatu analisis dengan teknik AHP, maka dapat disusun prioritas untuk kelima proposal tersebut dengan urutan: Kajian dampak peraturan perijinan perdagangan dalam negeri terhadap keinginan untuk melakukan bisnis di Indonesia (Perijinan); Dampak penurunan tarif impor di sektor perikanan, kehutanan, dan produk-produk kimia (Tarif), Kajian pengembangan pasar distribusi regional untuk produk agro (Ditribusi Regional), Kajian minuman beralkohol asal import (Alkohol), Kajian tentang strategi yang kompetitif dalam pemasaran hasil industri kerajinan tangan di Indonesia (Kerajinan Tangan).

Sandy Kosasi [3] menguraikan masalah pemilihan sekolah dengan menggunakan metode AHP. Hasil simulasi menunjukkan bahwa yang menjadi prioritas pertama pada level dua adalah Proses Belajar Mengajar sebesar 0, 32 disusul Kualifikasi yang diminta sekolah sebesar 0, 24, Lingkungan Pergaulan sebesar 0, 14 dan Mutu Pendidikan Musik 0, 14, Pendidikan Kejuruan 0, 13 dan Pendidikan Sekolah Secara Umum 0, 03. Secara umum urutan prioritas sekolah B merupakan sekolah yang paling tinggi prioritas globalnya dan disusul sekolah A dengan bobot prioritas 0, 37, sedangkan sekolah C sebesar 0, 25. Kemudian dilakukan analisis sensitivitas pada kriteria proses belajar


(17)

mengajar dari 0, 32 diturunkan ke 0,2 dan keadaan berubah dimana A mempunyai prioritas global tertinggi menggeser B, sebaliknya apabila prioritas PBM dinaikkan maka perbedaan bobot prioritas B dengan A akan semakin besar dengan B tetap menjadi prioritas global tertinggi.

Mudrajad Koncoro [4] menguraikan tentang daya tarik investasi di DIY dengan metode AHP. Hasil analisis menunjukkan bahwa investasi daerah untuk DIY dipengaruhi oleh faktor non ekonominya terutama Kelembagaan (25%), kemudian Infrastruktur Fisik (24%), Sosial Politik (23%), Ekonomi Daerah (12%), dan Tenaga Kerja (12%).

1.4 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini untuk menyelesaikan promblema analisis sensitivitas terhadap perubahan bobot prioritas kriteria keputusan serta pengaruhnya pada urutan prioritas dalam metode AHP.

1.5 Kontribusi Penelitian

Dengan mengadakan penulisan ini, penulis berharap dapat menambah referensi, menambah pengetahuan dan pemahaman bagi penulis, pembaca dan pengambil keputusan baik pemerintah maupun perusahaan swasta atau instansi yang lain yang menggunakan metode AHP dalam memecahkan masalah pembangunan atau pengembangan kelembagaan.


(18)

1.6 Metode Penelitian

Secara umum, penelitian dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut :

1. Menguraikan masalah AHP dan menjelaskan landasan aksiomatik, tahapan – tahapan dalam pengambilan keputusan dan prinsip – prinsip dasar AHP

2. Menjelaskan analisis sensitivitas pada AHP dan pengaruhnya terhadap urutan prioritas.

3. Menyelesaikan contoh permasalahan pengambilan keputusan AHP dan melakukan analisis sensitivitas pada keputusan sementara.


(19)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP)

Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 70 – an ketika di Warston School. Metode AHP merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam sistem pengambilan keputusan dengan memperhatikan faktor – faktor persepsi, preferensi, pengalaman dan intuisi. AHP menggabungkan penilaian – penilaian dan nilai – nilai pribadi ke dalam satu cara yang logis.

Analytic Hierarchy Process (AHP) dapat menyederhanakan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagiannya, serta menjadikan variabel dalam suatu hirarki (tingkatan). Masalah yang kompleks dapat di artikan bahwa kriteria dari suatu masalah yang begitu banyak (multikriteria), struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian pendapat dari pengambil keputusan, pengambil keputusan lebih dari satu orang, serta ketidak akuratan data yang tersedia.

Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki


(20)

kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat.

Analytic Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari :

(1) Resiprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A adalah k kali lebih penting dari pada B maka B adalah 1/k kali lebih penting dari A.

(2) Homogenity, yaitu mengandung arti kesamaan dalam melakukan perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan bola tenis dalam hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika membandingkan dalam hal berat.

(3) Dependence, yang berarti setiap level mempunyai kaitan (complete hierarchy) walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy).

(4) Expectation, yang berarti menonjolkon penilaian yang bersifat ekspektasi dan preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif

Tahapan – tahapan pengambilan keputusan dalam metode AHP pada dasarnya adalah sebagai berikut :

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteria – kriteria dan alternaif – alternatif pilihan yang ingin di rangking.


(21)

3. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing – masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.

4. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom. 5. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak

konsisten maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vector yang dimaksud adalah nilai eigen vector maximum yang diperoleh dengan menggunakan matlab maupun dengan manual.

6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.

7. Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai eigen vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis pilihan dalam penentuan prioritas elemen – elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan.

8. Menguji konsistensi hirarki. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0, 100 maka penilaian harus diulang kembali.

2.2 Prinsip Dasar Analytic Hierarchy Process (AHP)

Dalam menyelesaikan persoalan dengan metode AHP ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain :

1. Decomposition

Pengertian decomposition adalah memecahkan atau membagi problema yang utuh menjadi unsur – unsurnya ke bentuk hirarki proses pengambilan keputusan, dimana setiap unsur atau elemen saling berhubungan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan dilakukan terhadap unsur – unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan yang hendak dipecahkan. Struktur hirarki keputusan tersebut dapat


(22)

dikategorikan sebagai complete dan incomplete. Suatu hirarki keputusan disebut complete jika semua elemen pada suatu tingkat memiliki hubungan terhadap semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya, sementara hirarki keputusan incomplete kebalikan dari hirarki yang complete. Bentuk struktur dekomposisi yakni :

Tingkat pertama : Tujuan keputusan (Goal) Tingkata kedua : Kriteria – kriteria

Tingkat ketiga : Alternatif – alternatif

Gambar 2.1 Struktur Hirarki

Hirarki masalah disusun untuk membantu proses pengambilan keputusan dengan memperhatikan seluruh elemen keputusan yang terlibat dalam system. Sebagian besar masalah menjadi sulit untuk diselesaikan karena proses pemecahannya dilakukan tanpa memandang masalah sebagai suatu sistem dengan suatu struktur tertentu.

2. Comparative Judgement

Comparative Judgement dilakukan dengan penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap urutan prioritas dari elemen – elemennya.

Tujuan

Kriteria I Kriteria II Kriteria III Kriteria N


(23)

Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparisons yaitu matriks perbandingan berpasangan memuat tingkat preferensi beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang digunakan yaitu skala 1 yang menunjukkkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sampai dengan skala 9 yang menunjukkan tingkatan yang paling tinggi (extreme importance).

3. Synthesis of Priority

Synthesis of Priority dilakukan dengan menggunakan eigen vektor method untuk mendapatkan bobot relatif bagi unsur – unsur pengambilan keputusan.

4. Logical Consistency

Logical Consistency merupakan karakteristik penting AHP. Hal ini dicapai dengan mengagresikan seluruh eigen vektor yang diperoleh dari berbagai tingkatan hirarki dan selanjutnya diperoleh suatu vektor composite tertimbang yang menghasilkan urutan pengambilan keputusan.

2.2.1 Penyusunan Prioritas

Setiap elemen yang terdapat dalam hirarki harus diketahui bobot relatifnya satu sama lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kepentingan pihak – pihak yang berkepentingan dalam permasalahan terhadap kriteria dan struktur hirarki atau sistem secara keseluruhan.

Langkah pertama dilakukan dalam menentukan prioritas kriteria adalah menyusun perbandingan berpasangan, yaitu membandingkan dalam bentuk berpasangan seluruh kriteria untuk setiap sub sistem hirarki. Perbandingan tersebut kemudian ditransformasikan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan untuk analisis numerik.


(24)

Misalkan terdapat sub sistem hirarki dengan kriteria C dan sejumlah n alternatif dibawahnya, Aisampai An. Perbandingan antar alternatif untuk sub sistem hirarki itu dapat

dibuat dalam bentuk matriks n x n, seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. 1 Matriks Perbandingan Berpasangan

Nilai a11 adalah nilai perbandingan elemen A1 (baris) terhadap A1 (kolom)

yang menyatakan hubungan :

a. Seberapa jauh tingkat kepentingan A1(baris) terhadap kriteria C dibandingkan

dengan A1 (kolom) atau

b. Seberapa jauh dominasi Ai (baris) terhadap Ai (kolom) atau

c. Seberapa banyak sifat kriteria C terdapat pada A1 (baris) dibandingkan dengan

A1 (kolom).

Nilai numerik yang dikenakan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari skala perbandingan 1 sampai 9 yang telah ditetapkan oleh Saaty, seperti pada tabel berikut ini.

1 A

C

1

A AA22 ⋯ An

2 A

1 1

a a12 a1n

⋯ ⋯

⋯ 1

2

a a22 a2n

1 m

a am2 amn

⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮

m A


(25)

Tabel 2. 2 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Tingkat

Kepentingan

Definisi Keterangan

1 Sama

pentingnya

Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama.

3 Sedikit lebih penting

Pengalaman dan penilaian sangat memihak satu elemen dibandingkan dengan pasangannya.

5 Lebih penting Satu elemen sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat nyata, debandingkan dengan elemen pasangannya.

7 Sangat penting Satu elemen terbukti sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat , dibandingkan dengan elemen pasangannya. 9 Mutlak lebih

penting

Satu elemen mutlak lebih disukai dibandingkan dengan pasangannya, pada tingkat keyakinan tertinggi

Resiprokal Kebalikan Jika elemen i memiliki salah satu angka diatas ketika dibandingkan elemen j, maka j memiliki kebalikannya ketika dibanding elemen i

Seorang decision maker akan memberikan penilaian, mempersepsikan ataupun memperkirakan kemungkinan dari sesuatu hal/peristiwa yang dihadapi. Penilaian tersebut akan dibentuk ke dalam matriks berpasangan pada setiap level hirarki.


(26)

Contoh Pair – Wise Comparison Matrix pada suatu level of hierarchy, yaitu : K L M N

    

 

    

 

=

1 5 1 4 9 1

5 1 6 7 1

4 1 6 1 1 3 1

9 7 3 1

N M L K A

Baris 1 kolom 2 : jika K dibandingkan L, maka K sedikit lebih penting/cukup penting dari L yaitu sebesar 3, artinya : K moderat pentingnya daripada L, dan seterusnya.

Angka 3 bukan berarti bahwa K tiga kali lebih besar dari L, tetapi K moderat importance dibandingkan dengan L, sebagai ilustrasi perhatikan matriks resiprokal berikut ini :

K L M

  

 

  

  =

1 4 1 9 1

4 1 7

9 7 1 1 M

L K A

Membacanya/membandingkannya, dari kiri ke kanan. Jika K dibandingkan dengan L, maka L very strong importance daripada K dengan nilai judgement sebesar 7. Dengan demikian pada baris 1 kolom 2 diisi dengan kebalikan dari 7 yakni 1/7. Artinya,

K dibanding L L lebih kuat dari K

Jika K dibandingkan dengan M, maka K extreme importance daripada G dengan nilai judgement sebesar 9. Jadi baris 1 kolom 3 diisi dengan 9, dan seterusnya.


(27)

2.2.2 Eigen value dan Eigen vector

Apabila decision maker sudah memasukkan persepsinya atau penilaian untuk setiap perbandingan antara kriteria – kriteria yang berada dalam satu level (tingkatan) atau yang dapat diperbandingkan maka untuk mengetahui kriteria mana yang paling disukai atau paling penting, disusun sebuah matriks perbandingan di setiap level (tingkatan).

Untuk melengkapi pembahasan tentang eigen value dan eigen vector maka akan diberikan definisi – definisi mengenai matriks dan vector.

1. Matriks

Matriks adalah sekumpulan himpunan objek (bilangan riil atau kompleks, variabel – variabel) yang disusun secara persegi panjang (yang terdiri dari baris dan kolom) yang biasanya dibatasi dengan kurung siku atau biasa. Jika sebuah matriks memiliki m baris dan n kolom maka matriks tersebut berukuran (ordo) m x n. Matriks dikatakan bujur sangkar (square matrix) jika m = n. Dan skalar – skalarnya berada di baris ke-i dan kolom ke-j yang disebut (ij) matriks entri.

2. Vektor dari n dimensi

Suatu vektor dengan n dimensi merupakan suatu susunan elemen – elemen yang teratur berupa angka – angka sebanyak n buah, yang disusun baik menurut baris, dari kiri ke kanan (disebut vector baris atau Row Vektor dengan ordo 1 x n ) maupun menurut kolom , dari atas ke bawah (disebut vector kolom atau Colomn Vector dengan ordo n x 1). Himpunan semua vector dengan n komponen dengan entri riil dinotasikan dengan Rn.


(28)

Untuk vector kolom dirumuskan sebagai berikut :

3. Eigen value dan eigen vector

Definisi : JIka A adalah matriks n x n maka vektor tak nol x di dalam dinamakan eigen vektor dari A jika Ax kelipatan skalar x, yakni

Skalar dinamakan eigen value dari A dan x dikatakan eigen vector yang Bersesuaian dengan . Untuk mencari eigen value dari matriks A yang berukuran n x n maka dapat ditulis pada persamaan berikut :

Atau secara ekivalen

Agar menjadi eigen value, maka harus ada pemecahan tak nol dari persamaan ini. Akan tetapi, persamaan diatas akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya jika :

Ini dinamakan persamaan karakteristik A, skalar yang memenuhi persamaan ini adalah eigen value dari A.

n R U

u n

R

u n

n R a a a

∈    

 

   

  =

2 1

λ

λ

x Ax

x Ax

n R

0 ) (λIA x= λ

0 ) det(λIA = u


(29)

Bila diketahui bahwa nilai perbandingan elemen Ai terhadap elemen Aj adalah a ij , maka secara teoritis matriks tersebut berciri positif berkebalikan, yakni a ij=1/aij Bobot yang dicari dinyatakan dalam vector .

Nilai menyatakan bobot kriteria An terhadap keseluruhan set kriteria pada sub sistem tersebut.

Jika mewakili derajat kepentingan i terhadap faktor j dan menyatakan kepentingan dari factor j terhadap factor k, maka agar keputusan menjadi konsisten, kepentingan i terhadap factor k harus sama dengan atau jika

untuk semua i, j, k maka matriks tersebut konsisten .

Untuk suatu matriks konsisten dengan vektor , maka elemen dapat ditulis menjadi :

(1)

Jadi matriks konsisten adalah :

(2)

Seperti yang di uraikan diatas, maka untuk pair-wisecomparison matrix diuraikan seperti berikut ini :

(3)

Dari persamaan tersebut di atas dapat dilihat bahwa :

(4) )

, ,

1 ω2 ω3,...,ωn ω =

n

ω

j i

a ajk

k j j

i a

a . aij.ajk =aik

ω

j i a

; j i j i a

ω

ω

= i, j=1,2,3,...,n

k i k i k

j

j i k j j

i a a

a = = =

ω ω ω ω ω ω

. .

j i j i i j i j

a

a = = 1 = 1

ω ω ω ω

1

. =

j i i j a

ω ω

n j

i, =1,2,3,..., ∀


(30)

Dengan demikian untuk pair-wise comparison matrix yang konsisten menjadi : ; (5) (6)

Persamaan diatas ekivalen dengan bentuk persamaan matriks dibawah ini : (7)

Dalam teori matriks, formulasi ini diekspresikan bahwa adalah eigen vektor dari matriks A dengan eigen value n. Perlu diketahui bahwa n merupakan dimensi matriks itu sendiri. Dalam bentuk persamaan matriks dapat ditulis sebagai berikut :

(8)

Pada prakteknya, tidak dapat dijamin bahwa ;

(9)

Salah satu faktor penyebabnya yaitu karena unsur manusia (decision maker) tidak selalu dapat konsisten mutlak (absolte consistent) dalam mengekspresikan preferensinya terhadap elemen-elemen yang dibandingkan. Dengan kata lain, bahwa judgement yang diberikan untuk setiap elemen persoalan pada suatu level hierarchy dapat saja inconsistent. n a j i j i n j j i =

= ω

ω . 1 . 1

n j

i, =1,2,3,..., ∀ j i j i n j j i n

a

ω

=

ω

= . 1 n j

i, =1,2,3,..., ∀ ω ω . . n A =

ω

            =             ⋅                     = n n m n n n n n n A

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

⋮ ⋮ ⋯ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋯ ⋯ 2 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 1 2 1 1 1 k j k i j i a a a =


(31)

Jika :

1). Jika adalah bilangan- bilangan yang memenuhi persamaan :

(10) Dengan eigen value dari matriks A dan jika aii = 1; I = 1,2,…,n; maka dapat ditulis

(11)

Misalkan kalau suatu pair-wise comparison matrix bersifat ataupun memenuhi kaidah konsistensi seperti pada persamaan (2), maka perkalian elemen matriks sama dengan 1.

maka (12)

Eigen value dari matriks A,

(13)

Kalau diuraikan lebih jauh untuk persamaan (13), hasilnya menjadi :

(14)

Dari persamaan (14) kalau diuraikan untuk mencari harga eigen value maximum yaitu :

;

n λ λ λ1, 2,...,

x x A. =λ

n i =

λ

   

  =

2 2 1 2

2 1 1 1

A A

A A A

2 1 1 2

1 A

A =

0 0 ) (

0

= −

= −

= −

I A

x I A

x Ax

λ

λ

λ

0 2 2 1 2

2 1 1

1

= −

A A

A A

λ

(

λ

−max

)

(

)

0 ) 2 (

0 2

0 1 2

1

0 1 1

2

2 2

= −

= −

= − + −

= − −

λ

λ

λ

λ

λ

λ

λ

0 1 =


(32)

Dengan demikian matriks pada persamaan (12) merupakan matriks yang konsisten, dimana nilai sama dengan harga dimensi matriksnya.

Jadi untuk n > 2 , maka semua harga eigen velue-nya sama dengan nol dan hanya ada satu eigen value yang sama dengan n (konstan dalam kondisi matriks konsisten). 2). Bila ada perubahan kecil dari elemen matriks maka eigen value-nya akan Berubah menjadi semakin kecil pula.

Dengan menggabungkan kedua sifat matriks (aljabar linier ), jika :

a. Elemen diagonal matriks A

b. Dan untuk matriks A yang konsisten, maka variasi kecil dari

akan membuat harga eigen value yang lain mendekati nol.

2.2.3 Uji Konsistensi Indeks dan Rasio

Salah satu utama model AHP yang membedakannya dengan model – model pengambilan keputusan yang lainnya adalah tidak adanya syarat konsistensi mutlak. Dengan model AHP yang memakai persepsi decision maker sebagai inputnya maka ketidakkonsistenan mungkin terjadi karena manusia memiliki keterbatasan dalam menyatakan persepsinya secara konsisten terutama kalau harus mambandingkan banyak kriteria. Berdasarkan kondisi ini maka decision maker dapat menyatakan persepsinya dengan bebas tanpa ia harus berfikir apakah persepsinya tersebut akan konsisten nantinya atau tidak.

max − λ

) 1

(aii = ∀ i=1,2,...,n

n j

i

aij∀, =1,2,...,

j i a


(33)

Pengukuran konsistensi dari suatu matriks itu sendiri didasarkan atas eigenvalue maksimum. Thomas L. Saaty telah membuktikan bahwa Indeks konsistensi dari matriks berordo n dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

(15)

CI = Rasio penyimpangan (deviasi) konsistensi (consistency indeks) = Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n

n = Orde matriks

Apabila CI bernilai nol, maka matriks pair wise comparison tersebut konsisten. Batas ketidakkonsistenan (inconsistency) yang telah ditetapkan oleh Thomas L. Saaty ditentukan dengan menggunakan Rasio Konsistensi (CR), yaitu perbandingan indeks konsistensi dengan nilai random indeks (RI) yang didapatkan dari suatu eksperimen oleh Oak Ridge National Laboratory kemudian dikembangkan oleh Wharton School dan diperlihatkan seperti tabel 2.3. Nilai ini bergantung pada ordo matriks n. Dengan demikian, Rasio Konsistensi dapat dirumuskan sebagai berikut :

(16)

CR = Rasio konsistensi

RI = Indeks Random

(

)

(

1

)

max

− − =

n

n

CI

λ

max

λ

RI CI CR=


(34)

Tabel 2.3 Nilai Random Indeks (RI)

n

1 2 3 4 5 6 7 8 9

RI 0, 00 0, 00 0, 58 0, 90 1, 12 1, 24 1, 32 1, 41 1, 45

n 10 11 12 13 14 15

RI 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59

Bila matriks pair – wise comparison dengan nilai CR lebih kecil dari 0, 100 maka ketidakkonsistenan pendapat dari decision maker masih dapat diterima jika tidak maka penilaian perlu diulang.

2.3 Analisis Sensitivitas pada Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analisis sensitivitas pada AHP dapat terjadi untuk memprediksi keadaan apabila terjadi perubahan yang cukup besar, misalnya terjadi perubahan bobot prioritas karena adanya perubahan kebijaksanan sehingga muncul usulan pertanyaan bagaimana urutan prioritas alternatif yang baru dan tindakan apa yang perlu dilakukan.

.

Analisa sensitivitas adalah unsur dinamis dari sebuah hirarki. Artinya penilaian yang dilakukan pertama kali dipertahankan untuk suatu jangka waktu tertentu dan adanya perubahan kebijaksanaan atau tindakan yang cukup dilakukan dengan analisa sensitivitas untuk melihat efek yang terjadi.

Sebagai contoh, seorang siswa sekolah menengah pertama diterima di tiga sekolah menengah atas. Anak tersebut akan mengalami kesulitan dalam memilih satu dari tiga sekolah yang menerimanya sebagai siswa. Untuk membantu menemukan jalan keluar maka masalah tersebut dapat dipecahkan dengan membuat suatu hirarki. Pada level pertama berupa tujuan memilih sekolah terbaik dan level kedua berupa kriteria yang terdiri dari proses belajar mengajar (PBM), lingkungan pergaulan (LK), kehidupan


(35)

sekolah secara umum (KS), dan kualifikasi yang diminta sekolah (KUA). Pada level ketiga berupa alternatif yang terdiri dari sekolah A, B dan C.

Permasalahan tersebut diatas memiliki struktur hirarki sebagai berikut :

Gambar 2.2 Struktur Hirarki Pemilihan Sekolah Terbaik

Dari struktur hirarki tersebut dibentuk matriks perbandingan berpasangan pada setiap level hirarki. Matriks Perbandingan berpasangan pada level kedua adalah sebagai berikut :

Tabel 2.4 Matriks perbandingan berpasangan pada level dua

Tujuan PBM LP KS KUA Bobot

Prioritas PBM

2 1

ω

ω

2 1

ω

ω

3 1

ω

ω

4 1

ω

ω

x1

LP

1 2

ω

ω

2 2

ω

ω

3 2

ω

ω

4 2

ω

ω

x2

KS

1 3

ω

ω

2 3

ω

ω

3 3

ω

ω

4 3

ω

ω

x3

KUA

1 4

ω

ω

2 4

ω

ω

3 4

ω

ω

4 4

ω

ω

x4

Tujuan

PBM LP KS KUA


(36)

Dimana :

x1 = bobot prioritas PBM x3= bobot prioritas KS

x2 = bobot prioritas LP x4 = bobot prioritas KUA

Matriks Perbandingan berpasangan pada level ketiga adalah sebagai berikut :

a). Matriks perbandingan berpasangan terhadap PBM

Tabel 2.5 Matriks perbandingan berpasangan terhadap PBM

Dimana :

a1 = bobot prioritas alternatif A terhadap PBM

b1 = bobot prioritas alternatif B terhadap PBM

c1= bobot prioritas alternatif C terhadap PBM

b). Matriks perbandingan berpasangan terhadap LP

Tabel 2.6 Matriks perbandingan berpasangan terhadap LP

PBM A B C Bobot prioritas

A

2 1

ω

ω

2 1

ω

ω

3 1

ω

ω

a1

B

1 2

ω

ω

2 2

ω

ω

3 2

ω

ω

b1

C

1 3

ω

ω

2 3

ω

ω

3 3

ω

ω

c1

LP A B C Bobot prioritas

A

2 1

ω

ω

2 1

ω

ω

3 1

ω

ω

a2

B

1 2

ω

ω

2 2

ω

ω

3 2

ω

ω

b2

C

1 3

ω

ω

2 3

ω

ω

3 3

ω


(37)

Dimana :

a2= bobot prioritas alternatif A terhadap LP

b2= bobot prioritas alternatif B terhadap LP

c2 = bobot prioritas alternatif C terhadap LP

c). Matriks perbandingan berpasangan terhadap KS

Tabel 2.7 Matriks perbandingan berpasangan terhadap KS

Dimana :

a3 = bobot prioritas alternatif A terhadap KS

b3 = bobot prioritas alternatif B terhadap KS

c3= bobot prioritas alternatif C terhadap KS

d). Matriks perbandingan berpasangan terhadap KUA

Tabel 2.8 Matriks perbandingan berpasangan terhadap KUA

KS A B C Bobot prioritas

A

2 1

ω

ω

2 1

ω

ω

3 1

ω

ω

a3

B

1 2

ω

ω

2 2

ω

ω

3 2

ω

ω

b3

C

1 3

ω

ω

2 3

ω

ω

3 3

ω

ω

c3

KUA A B C Bobot prioritas

A

2 1

ω

ω

2 1

ω

ω

3 1

ω

ω

a4

B

1 2

ω

ω

2 2

ω

ω

3 2

ω

ω

b4

C

1 3

ω

ω

2 3

ω

ω

3 3

ω


(38)

Dimana :

a4= bobot prioritas alternatif A terhadap KUA

b4= bobot prioritas alternatif B terhadap KUA

c4 = bobot prioritas alternatif C terhadap KUA

Untuk menentukan bobot prioritas global dapat diperoleh dengan melakukan perkalian bobot prioritas lokal pada level dua dan level tiga seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.9 Prioritas Global

Kriteria K1 K2 K3 K4 Prioritas global

Bobot x1 x2 x3 x4

A a1 a2 a3 a4 X

B b1 b2 b3 b4 Y

C c1 c2 c3 c4 Z

Dimana :

X = prioritas global sekolah A Y = prioritas global sekolah B Z = prioritas global sekolah C

Dari tabel tersebut prioritas global dapat dirumuskan sebagai berikut :

(17)

4 4 3 3 2 2 1 1

4 4 3 3 2 2 1 1

4 4 3 3 2 2 1 1

x c x c x c x c Z

x b x b x b x b Y

x a x a x a x a X

+ + + =

+ + + =

+ + + =


(39)

2.3.1 Analisis Sensitivitas pada Bobot Prioritas dari Kriteria Keputusan

Analisis sensitivitas pada kriteria keputusan dapat terjadi karena ada informasi tambahan sehingga decision maker mengubah penilaiannya. Akibat terjadinya perubahan penilaian menyebabkan berubahnya urutan prioritas.

Dari persoalan di atas dituliskan persamaan urutan prioritas global sebagai berikut :

(18)

Apabila dilakukan perubahan terhadap penilaian dimana bobot prioritas kriteria x1

Maka urutan prioritas berubah. Bobot prioritas kriteria x1 dapat diubah lebih kecil dari x1

atau lebih besar dari x1. Analisis sensitivitas ini juga dapat dilakukan terhadap kriteria –

kriteria lainnya yaitu kriteria x2, x3, dan x4. Sehingga analisis ini menunjukkan perubahan

terhadap urutan prioritas.

4 4 3 3 2 2 1 1

4 4 3 3 2 2 1 1

4 4 3 3 2 2 1 1

x c x c x c x c Z

x b x b x b x b Y

x a x a x a x a X

+ + + =

+ + + =

+ + +


(40)

BAB 3 PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas secara khusus tentang penetapan prioritas menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan analisis sensitivitas serta pengaruhnya terhadap urutan prioritas.

3.1 Perhitungan Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria

Pada gambar 2.2 mengilustrasikan struktur hirarki permasalahan pemilihan sekolah terbaik. Setelah penyusunan hirarki, maka langkah selanjutnya adalah melakukan perbandingan antara elemen dengan memperhatikan pengaruh elemen pada level diatasnya. Pembagian pertama dilakukan untuk elemen – elemen pada level kriteria dengan memperhatikan level diatasnya yaitu goal atau tujuan utama. Pada level dua terdiri dari kriteria proses belajar mengajar (PBM), lingkungan pergaulan (LP), kehidupan sekolah secara umum (KS), dan kualifikasi yang diminta sekolah (KUA). Pembandingan dilakukan dengan menggunakan skala satu sampai sembilan dan memenuhi aksioma – aksioma pada metode AHP. Matriks perbandingan berpasangan dari level dua dengan memperhatikan level satu adalah :

Tabel 3.1 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria

PBM LP KS KUA

PBM 1 2 8 4

LP 1/2 1 7 3

KS 1/8 1/7 1 1/5


(41)

Perhitungan matriks untuk semua kriteria :

Tabel 3.2 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria yang disederhanakan

Dengan unsur – unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen dihasilkan dari rata – rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 3.3 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria yang dinormalkan

Selanjutnya nilai eigen maksimum diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah sebagai berikut :

PBM LP KS KUA

PBM 1, 000 2, 000 8, 000 4, 000

LP 0, 500 1, 000 7, 000 3, 000

KS 0, 125 0, 142 1, 000 0, 200

KUA 0, 250 0, 333 5, 000 1, 000

1, 875 3, 475 21, 000 8, 200

PBM LP KS KUA Vektor Eigen (yang

dinormalkan)

PBM 0, 533 0, 575 0, 380 0, 487 0, 493

LP 0, 266 0, 287 0, 333 0, 365 0, 312

KS 0, 066 0, 047 0, 047 0, 024 0, 046

KUA 0, 133 0, 095 0, 238 0, 121 0, 146

) (

λ

maksimum


(42)

(1, 875 x 0, 493) + (3, 475 x 0, 312) + (21 x 0, 046) + (8, 200 x 0, 146) = 4, 171

Karena matriks berordo 4 (yakni terdiri dari 4 kriteria), nilai indeks konsistensi yang diperoleh :

Untuk n = 4, RI = 0, 900 (tabel Saaty), maka :

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas menunjukkan kriteria Proses Belajar Mengajar (PBM) merupakan kriteria yang paling penting dalam menentukan sekolah terbaik dengan nilai bobot 0, 493 atau 49, 3%, berikutnya kriteria Lingkungan Pergaulan (LP) dengan nilai bobot 0, 312 atau 31, 2%, kriteria kualifikasi yang diminta sekolah dengan nilai bobot 0, 146 atau 14, 6% dan kriteria kehidupan sekolah secara umum dengan nilai bobot 0, 046 atau 4, 6%.

3.2 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar

Perbandingan berpasangan untuk kriteria proses belajar mengajar pada tiga sekolah menengah atas yaitu perbandingan berpasangan antara sekolah A dengan sekolah B, sekolah A dengan sekolah C. Perbandingan sekolah B dengan sekolah A, sekolah B dengan sekolah C. Perbandingan sekolah C dengan sekolah A, sekolah C dengan sekolah B. Maka matriks perbandingan berpasangan preferensi diatas adalah sebagai berikut :

= maksimum

λ

057 , 0 1 4

4 171 , 4 1

max =

− − =

− − =

n n

CI

λ

063 , 0 900 , 0

057 , 0

= =

= RI CI CR


(43)

Tabel 3.4 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar

Perhitungan matriks untuk kriteria Proses Belajar Mengajar

Tabel 3.5 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar yang disederhanakan

Dengan unsur – unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen dihasilkan dari rata – rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.6 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar yang dinormalkan

PBM A B C

A 1 1/3 1/2

B 3 1 3

C 2 1/3 1

PBM A B C

A 1, 000 0, 333 0, 500 B 3, 000 1, 000 3, 000 C 2, 000 0, 333 1, 000 6, 000 1, 666 4, 500

PBM A B C

Vektor Eigen (yang dinormalkan)

A 0, 161 0, 199 0, 111 0, 158

B 0. 500 0,600 0, 666 0, 588

C 0, 333 0, 199 0, 222 0, 251


(44)

Selanjutnya nilai eigen maksimum diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah sebagai berikut :

(6, 000 x 0, 158) + (1, 666 x 0, 588) + (4, 500 x 0, 251) = 3, 056

Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks konsistensi yang diperoleh adalah :

Untuk n = 3, RI = 0, 580 (tabel skala saaty), maka ;

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk kriteria Proses Belajar Mengajar yaitu sekolah B menjadi prioritas pertama dengan nilai bobot 0, 588 atau 58, 4%, kemudian sekolah C menjadi prioritas ke-2 dengan nilai bobot 0, 251 atau 25, 1%, sekolah A menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 158 atau 15, 8%.

3.3 Perhitungan Faktor Evaluasi untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan

Tabel 3.7 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan

LP A B C

A 1 2 2

B 1/2 1 1/2

C 1/2 2 1

) (

λ

maksimum

= maksimum

λ

028 , 0 1 3

3 056 , 3 1 max

= −

− =

− − =

n n

CI

λ

048 , 0 580 , 0

028 , 0

= =

= RI CI CR


(45)

Perhitungan matriks untuk kriteria Lingkungan Pergaulan :

Tabel 3.8 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan yang disederhanakan

Dengan unsur – unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen dihasilkan dari rata – rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.9 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan yang dinormalkan

Selanjutnya nilai eigen maksimum diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah sebagai berikut :

(2, 000 x 0, 490) + (5, 000 x 0, 197) + (3, 500 x 0, 311) = 3, 053

LP A B C

A 1, 000 2, 000 2, 000 B 0, 500 1, 000 0, 500 C 0, 500 2, 000 1, 000 2, 000 5, 000 3, 500

LP A B C

Vektor Eigen (yang dinormalkan)

A 0, 500 0, 400 0, 571 0, 490

B 0. 250 0, 200 0, 142 0, 197

C 0, 250 0, 400 0, 285 0, 311

) (

λ

maksimum

= maksimum

λ


(46)

Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks konsistensi yang diperoleh adalah :

Untuk n = 3, RI = 0, 580 (tabel skala saaty), maka ;

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk kriteria Lingkungan Pergaulan yaitu sekolah A menjadi prioritas pertama dengan nilai bobot 0, 490 atau 49%, kemudian sekolah C menjadi prioritas ke-2 dengan nilai bobot 0, 311 atau 31, 1%, sekolah B menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 197 atau 19, 7%.

3.4 Perhitungan Faktor Evaluasi untuk Kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum Tabel 3.10 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah Secara

Umum

KS A B C

A 1 1/2 1/4

B 2 1 1/4

C 4 4 1

026 , 0 1 3

3 053 , 3 1

max =

− − =

− − =

n n

CI

λ

044 , 0 580 , 0

026 , 0

= =

= RI CI CR


(47)

Perhitungan matriks untuk kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum :

Tabel 3.11 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah Secara umum yang disederhanakan

Dengan unsur – unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen dihasilkan dari rata – rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.12 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum yang dinormalkan

Selanjutnya nilai eigen maksimum diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah sebagai berikut :

(7, 000 x 0, 132) + (5, 500 x 0, 210) + (1, 500 x 0, 654) = 3, 060

KS A B C

A 1, 000 0, 500 0, 250 B 2, 000 1, 000 0, 250 C 4, 000 4, 000 1, 000 7, 000 5, 500 1, 500

KS A B C

Vektor Eigen (yang dinormalkan)

A 0, 142 0, 090 0, 166 0, 132

B 0. 285 0, 181 0, 166 0, 210

C 0, 570 0, 727 0, 666 0, 654

) (

λ

maksimum

= maksimum

λ


(48)

Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks konsistensi yang diperoleh adalah :

Untuk n = 3, RI = 0, 580 (tabel skala saaty), maka ;

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum yaitu sekolah C menjadi prioritas pertama dengan nilai bobot 0, 654 atau 65, 4%, kemudian sekolah B menjadi prioritas ke-2 dengan nilai bobot 0, 210 atau 21%, sekolah A menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 132 atau 13, 2%.

3.5 Perhitungan Faktor Evaluasi untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah Tabel 3.13 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta

Sekolah

KUA A B C

A 1 2 4

B 1/2 1 3

C 1/4 1/3 1

030 , 0 1 3

3 060 , 3 1

max =

− − =

− − =

n n

CI

λ

050 , 0 580 , 0

030 , 0

= =

= RI CI CR


(49)

Perhitungan matriks untuk kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum :

Tabel 3.14 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah yang disederhanakan

Dengan unsur – unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen dihasilkan dari rata – rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.15 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah yang dinormalkan

Selanjutnya nilai eigen maksimum diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah sebagai berikut :

KUA A B C

A 1, 000 2, 000 4, 000 B 0, 500 1, 000 3, 000 C 0, 250 0, 333 1, 000 1, 750 3, 300 9, 000

KUA A B C

Vektor Eigen (yang dinormalkan)

A 0, 571 0, 600 0, 444 0, 538

B 0. 285 0, 300 0, 333 0, 306

C 0, 142 0, 099 0, 111 0, 117

) (

λ

maksimum


(50)

(1, 750 x 0, 538) + (3, 333 x 0, 306) + (9, 000 x 0, 117) = 3, 092

Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks konsistensi yang diperoleh adalah :

Untuk n = 3, RI = 0, 580 (tabel skala saaty), maka ;

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah yaitu sekolah A menjadi prioritas pertama dengan nilai bobot 0, 538 atau 53, 8%, kemudian sekolah B menjadi prioritas ke-2 dengan nilai bobot 0, 306 atau 30, 6%, sekolah C menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 117 atau 11, 7%.

= maksimum

λ

046 , 0 1 3

3 092 , 3 1

max =

− − =

− − =

n n

CI

λ

079 , 0 580 , 0

046 , 0

= =

= RI CI CR


(51)

3.6 Perhitungan Total Rangking/Prioritas Global 3.6.1 Faktor Evaluasi Total

Dari seluruh evaluasi yang dilakukan terhadap faktor – faktor proses balajar mengajar, lingkungan pergaulan, kehidupan sekolah secara umum dan kualifikasi yang diminta sekolah diperoleh factor evaluasi total sebagai berikut :

Tabel 3.16 Matriks Faktor Evaluasi Total

Faktor PBM LP KS KUA

A 0, 158 0, 490 0, 132 0, 538

B 0, 588 0,197 0, 210 0, 306

C 0, 251 0. 311 0, 654 0, 117

3.6.2 Total Rangking/Prioritas Global

Total rangking/prioritas global diperoleh dengan mengalikan matriks faktor evaluasi total dengan matriks pembobotan hirarki, yaitu :

Dari hasil perhitungan diatas diperoleh urutan prioritas global yaitu sekolah B menjadi prioritas utama (40, 3%), kemudian sekolah A (31, 3%) dan sekolah C (26, 7%).

    

     =    

 

   

  ×     

    

267 , 0

403 , 0

313 , 0

146 , 0

046 . 0

312 , 0

493 , 0

117 , 0 654 , 0 311 , 0 251 , 0

306 , 0 210 , 0 196 , 0 588 , 0

538 , 0 132 , 0 490 , 0 158 , 0


(52)

3.7 Analisis Sensitivitas AHP Pada Bobot Prioritas Kriteria Keputusan

Untuk menentukan total rangking/prioritas global, matriks diatas dapat juga ditunjukkan seperti tabel berikut :

Tabel 3.17 Prioritas Global Pemilihan Sekolah Terbaik

Kriteria PBM LP KS KUA

Bobot 0, 493 0, 312 0, 046 0, 146

Prioritas Global

A 0, 158 0, 490 0, 132 0, 538 0, 313

B 0, 588 0,197 0, 210 0, 306 0, 403

C 0, 251 0. 311 0, 654 0, 117 0, 267

3.7.1 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Proses Belajar Mengajar

Model prioritas global sekolah A, B dan C dinyatakan pada persamaan 17, sehingga prioritas global tersebut diperoleh sebagai berikut:

Dari kondisi diatas, terlihat bobot prioritas PBM adalah 0, 493 dan pada kondisi tersebut prioritas global sekolah B adalah prioritas yang paling utama yaitu 0, 403, kemudian prioritas global sekolah A adalah 0, 313 dan sekolah C dengan bobot prioritas global 0, 267.

Apabila bobot prioritas PBM diturunkan ke 0, 300, maka urutan prioritas global adalah sebagai berikut :

267 , 0 ) 117 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 654 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 311 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 251 , 0 ( ) 493 , 0 ( 403 , 0 ) 306 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 210 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 197 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 588 , 0 ( ) 493 , 0 ( 313 , 0 ) 538 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 132 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 490 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 158 , 0 ( ) 493 , 0 ( = × + × + × + × = = × + × + × + × = = × + × + × + × = C B A 219 , 0 ) 117 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 654 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 311 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 251 , 0 ( ) 300 , 0 ( 290 , 0 ) 306 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 210 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 197 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 588 , 0 ( ) 300 , 0 ( 283 , 0 ) 538 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 132 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 490 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 158 , 0 ( ) 300 , 0 ( = × + × + × + × = = × + × + × + × = = × + × + × + × = C B A


(53)

Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 290 atau 29% disusul A dengan bobot 0, 283 atau 28, 3% dan C dengan bobot 0, 219 atau 21, 9%.

Apabila bobot prioritas PBM diturunkan ke 0, 200, maka urutan prioritas global adalah sebagai berikut :

Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi dengan bobot 0, 267 atau 26, 7% menggeser B dengan bobot 0, 231 atau 23, 1% dan C tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 194 atau 19, 4%.

Apabila bobot prioritas PBM diturunkan ke 0, 100, maka urutan prioritas global adalah sebagai berikut :

Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi dengan bobot 0, 251 atau 25, 1% menggeser B dengan bobot 0, 172 atau 17, 2% dan C tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 169 atau 16, 9%.

Apabila bobot prioritas PBM naik menjadi 0, 500, urutan prioritas global adalah sebagai berikut :

194 , 0 ) 117 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 654 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 311 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 251 , 0 ( ) 200 , 0 ( 231 , 0 ) 306 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 210 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 197 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 588 , 0 ( ) 200 , 0 ( 267 , 0 ) 538 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 132 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 490 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 158 , 0 ( ) 200 , 0 ( = × + × + × + × = = × + × + × + × = = × + × + × + × = C B A 169 , 0 ) 117 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 654 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 311 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 251 , 0 ( ) 100 , 0 ( 172 , 0 ) 306 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 210 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 197 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 588 , 0 ( ) 100 , 0 ( 251 , 0 ) 538 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 132 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 490 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 158 , 0 ( ) 100 , 0 ( = × + × + × + × = = × + × + × + × = = × + × + × + × = C B A 269 , 0 ) 117 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 654 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 311 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 251 , 0 ( ) 500 , 0 ( 408 , 0 ) 306 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 210 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 197 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 588 , 0 ( ) 500 , 0 ( 315 , 0 ) 538 , 0 ( ) 146 , 0 ( ) 132 , 0 ( ) 046 , 0 ( ) 490 , 0 ( ) 312 , 0 ( ) 158 , 0 ( ) 500 , 0 ( = × + × + × + × = = × + × + × + × = = × + × + × + × = C B A


(1)

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dalam menentukan urutan prioritas

dengan menggunakan metode

Analytic Hierarchy Process

(AHP) dan analisis sensitivitas

terhadap kriteria keputusan, maka diperoleh :

4.1

Kesimpulan

1.

Secara global, sekolah B merupakan prioritas pertama dengan bobot 0, 403 atau 40,

3%, kemudian sekolah A dengan bobot 0, 313 atau 31, 3% dan prioritas terakhir

adalah sekolah C dengan bobot 0, 267 atau 26, 7%.

2.

Analisis sensitivitas pada kriteria Proses Belajar Mengajar dengan menurunkan bobot

prioritas dari 0, 493 menjadi 0, 300 maka diperoleh keadaan dimana urutan prioritas

tidak berubah. Apabila bobot prioritas diturunkan menjadi 0, 200 maka keadaan

berubah dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 267

atau 26, 7% menggeser B dengan bobot 0, 231 atau 23, 1% kemudian C dengan bobot

0, 149 atau 14, 9%. Apabila bobot prioritas diturunkan menjadi 0, 100 maka keadaan

berubah dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 251

atau 25, 1% menggeser B dengan bobot 0, 172 atau 17, 2% kemudian C dengan bobot

0, 169 atau 16, 9%.Apabila bobot prioritas Proses Belajar Mengajar dinaikkan dari 0,

493 menjadi 0, 500 dan 0, 600 maka diperoleh keadaan dimana urutan prioritas tidak

berubah.


(2)

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas PBM sensitif

ketika diubah dari 0, 493 menjadi 0, 200.

3.

Analisis sensitivitas pada kriteria Lingkungan Pergaulan dengan menurunkan bobot

prioritas dari 0, 312 menjadi 0, 200 dan 0, 100 maka diperoleh hasil urutan prioritas

tidak berubah. Apabila bobot proritas dinaikkan menjadi 0, 400, 0, 500 dan 0, 600

diperoleh hasil urutan prioritas tidak berubah. Apabila bobot prioritas Lingkungan

Pergaulan dinaikkan dari 0, 312 menjadi 0, 700 maka diperoleh keadaan A

mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 504 atau 50, 4%

menggeser B dengan bobot 0, 479 atau 47, 9% kemudian C dengan bobot 0, 387 atau

38, 7%. Apabila bobot prioritas dinaikkan menjadi 0, 800 maka diperoleh keadaan

dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 553 atau 55, 3%

menggeser B dengan bobot 0, 499 atau 49, 9% kemudian C dengan bobot 0, 418 atau

41, 8%.

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas LP sensitif

ketika diubah dari 0, 312 menjadi 0, 700.

4.

Analisis sensitivitas pada kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum dengan

menurunkan bobot prioritas dari 0, 046 menjadi 0, 030 dan 0, 020 maka diperoleh

hasil urutan prioritas tidak berubah. Apabila bobot prioritas Kehidupan Sekolah

Secara Umum dinaikkan dari 0, 046 menjadi 0, 100 maka diperoleh hasil urutan

prioritas tidak berubah. Apabila bobot proritas dinaikkan menjadi 0, 200 diperoleh

hasil B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 436 atau 43,

6% tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 367 atau 36, 7%

menggeser A dengan bobot 0, 333 atau 33, 3%. Apabila bobot prioritas naik menjadi

0, 400 maka urutan priritas berubah dimana C menjadi prioritas global tertinggi

dengan bobot 0, 498 atau 49, 8% menggeser B dengan bobot 0, 478 atau 47, 8%

kemudian A dengan bobot 0, 359 atau 35, 9%. Apabila bobot prioritas naik menjadi 0,

800 maka diperoleh keadaan dimana C mempunyai prioritas global tertinggi dengan

nilai bobot 0, 760 atau 76% menggeser B dengan bobot 0, 562 atau 56, 2% kemudian

A dengan bobot 0, 412 atau 41, 2%.


(3)

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas KS sensitif ketika

diubah dari 0, 046 menjadi 0, 200 dan 0, 400

5.

Analisis sensitivitas pada kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah dengan

menurunkan bobot prioritas dari 0, 146 menjadi 0, 040 maka diperoleh keadaan

dimana urutan prioritas tidak berubah. Apabila bobot prioritas menjadi 0, 030

diperoleh hasil B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 368

atau 36, 8% tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 253 atau 25, 3%

menggeser A dengan bobot 0, 251 atau 25, 1%. menjadi 0, 020 maka diperoleh

keadaan dimana B mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 365

atau 36, 5% kemudian C dengan bobot 0, 252 atau 25, 2% menggeser A dengan bobot

0, 245 atau 24, 5%. Apabila bobot prioritas naik menjadi 0, 300 dan , 0, 500 maka

diperoleh hasil urutan prioritas tidak berubah. Apabila bobot prioritas dinaikkan

menjadi 0, 600 maka urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan

prioritas tertinggi dengan bobot 0, 557 atau 55, 7% menggeser B dengan bobot 0, 542

atau 54, 2% dan C tetap diurutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 320 atau 32% Apabila

bobot prioritas Kualifikasi yang diminta sekolah dinaikkan dari 0, 146 menjadi 0, 800

maka diperoleh keadaan dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai

bobot 0, 665 atau 66,5% menggeser B dengan bobot 0, 603 atau 60, 3% kemudian C

dengan bobot 0, 343 atau 34, 3%.

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas KUA sensitif ketika

diubah dari 0, 146 menjadi 0, 030 dan 0, 600.

Berdasarkan hasil tersebut, diperoleh kesimpulan umum bahwa analisis sensitivitas

pada bobot prioritas kriteria keputusan dengan mengubah bobot prioritas lebih besar atau

lebih kecil dapat mengubah urutan prioritas.


(4)

4.2

Saran

1.

Disarankan kepada pembaca agar mengembangkan analisis sensitivitas terhadap

bobot prioritas alternatif keputusan.

2. Diharapkan kepada pembaca agar kajian perlu dikembangkan lebih lanjut untuk

menetapkan model interval atau batasan seberapa jauh bobot prioritas dari kriteria

diturunkan dan dinaikkan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan urutan

prioritas.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

[1]

Ciptomulyono, Udisubakti dan Henry, DOU. 2000. “

Model Fuzzy Goal

Programming untuk Penetapan Pembobotan Prioritas dalam Metode Analisis

Hirarki Proses

(AHP)”, Jurnal IPTEK, Februari, pp.19 – 29

[2]

Hariyono, Joko Agus dan Ciptomulyono. 2006. “

Analisis Pemilihan Mitra LSM

dan Optimasi Budgeting dengan menggunakan metode AHP dan Goal

Programming

”, Jurnal Teknik Industri dan MMT – ITS.

[3]

Kosasi, Sandy. 2002. “

Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System

)”.

Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

[4]

Kuncoro, Mudrajad. 2005. “

Daya Tarik Investasi dan Pungli di DIY

”, Jurnal

Ekonomi Pembangunan, Vol. 10, No. 2, Agustus 2005. Universitas Gajah Mada,

Yogyakarta.

[5]

Latifah, Siti. “

Prinsip – prinsip dasar Analytical Hierarchy Process

”. Jurnal Studi

Kasus Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

[6]

Saaty, T. Lorie. 1993. “

Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses

Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks

”,

Pustaka Binama Pressindo.

[7]

Sukarto, Haryono. 2006. “

Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta dengan

Analisis Kebijakan Proses Hirarki Analitik

”, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3, No. 1,

Januari 2006, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang.

[8]

Supriyono, Wardhana, Aryu Wusnu dan Sudaryo. 2007. “

Sistem Pemilihan

Pejabat Struktural dengan Metode AHP

”, Jurnal STTN BATAN, Yoyakarta.

[9]

Susila, W dan Munadi, Ernawati. 2007. “

Penggunaan Analytic Hierarchy Process

Untuk Penyusunan Prioritas Proposal Penelitian

”, Jurnal Informatika Pertanian

Vol. 16, No. 2. Departemen Pertanian.

[10] Teknomo, K., Siswanto, H., dan Yudhanto, A. 1999. “

Penggunaan Metode

Analytic Hierarchy Process (AHP) dalam Menganalisa Faktor – faktor yang

Mempengaruhi Pemilihan Moda ke Kampus

”, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 1, No. 1

Maret 1999, Universitas Kristen Petra, Surabaya.

[11]

Trisna, Darwin. 2001. “

Penerapan Proses Hirarki Analisis dalam Pembuatan

Keputuswan Investasi Jalan Tol Dalam Kota Bandung

”, Jurnal S2 – Highway

System Engineering, Institut Teknologi Bandung, Bandung.


(6)

[12]

http://getuk.wordpress.com/2006/11/30/analisa–sensitivitas-ahp/. Diakses pada

tanggal 4 Maret 2009.