Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

G. Latar Belakang Masalah

Dakwah awalnya hanya dapat dilakukan secara tradisional saja, yaitu ceramah dari mimbar ke mimbar di dalam mesjid, mushalla, atau tabligh akbar di lapangan. Namun kini, “perkembangan masyarakat yang semakin meningkat, tuntutan yang sudah semakin beragam, membuat dakwah tidak bisa lagi dilakukan secara tradisional.” 1 Perkembangan dakwah pun semakin maju, dakwah di era modern dapat dilakukan melalui media cetak seperti koran dan majalah, serta media elektronik seperti televisi, radio, internet, bahkan telepon genggam. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai program dakwah, khusunya melalui ranah elektronik yang memiliki kelebihan dapat menjangkau khalayak luas secara bersamaan. Misalnya di televisi, berapa banyak rumah produksi yang memproduksi judul sinetron yang bertemakan Islam. Walaupun tujuan awalnya hanya sekedar untuk mengejar rating misalnya, namun tak dapat dipungkiri bahwa kegiatan yang mereka lakukan adalah berdakwah. Sebab secara etimologi dakwah artinya menyampaikan, dan mereka telah menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui sinetronnya. Belum lagi meledaknya film Ayat-ayat Cinta yang turut mempopulerkan kepada masyarakat tentang ajaran Islam. Dakwah yang disampaikan melalui media film ini, tentu dapat menghipnotis jutaan pasang 1 Said Agil Husin Al Munawar, sambutan di dalam buku: Tim Penulis Rahmat Semesta, ed., Metode Dakwah Jakarta: Kencana, 2003, h. xii. 1 mata yang menyaksikan film tersebut. Baik menonton melalui VCDDVD player di rumah, melalui internet, apalagi yang menonton di bioskop. Efek yang di dapat setelah menyaksikan film tersebut membuat pemahaman orang Islam tentang agamanya menjadi bertambah, sedangkan bagi yang beragama non Islam, mereka menjadi tahu bagaimana ajaran-ajaran dalam Islam. Hal ini tentunya merupakan salah satu dari tujuan berdakwah, seperti yang diungkapkan oleh Said Agil Husin Al Munawar “Dakwah hendaklah dikemas agar selalu mampu menyentuh dan menyejukkan hati umat manusia sehingga dakwah Islam selalu up to date sepanjang masa, kapan pun dan di mana pun.” 2 Perkembangan dakwah yang marak melalui media audio visual seperti televisi dan bioskop, ternyata tidak menyurutkan perkembangan dakwah melalui media auditif, salah satunya adalah radio. Dakwah melalui media radio ternyata tidak langsung surut ataupun kehilangan pamornya karena tersisih oleh media audio visual. Hal ini tentu tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan masing-masing media, yang turut mempengaruhi eksistensi media tersebut. Televisi dan film sebagai media audio visual memiliki kelebihan antara lain dapat dilihat dan didengar, sedangkan kelemahannya adalah harganya relatif mahal dibanding radio. Selain itu, terkadang masyarakat dalam menonton baik televisi maupun film hanya bertujuan sebagai hiburan, sehingga selain untuk hiburan mereka tidak senang. 3 Kemudian radio juga memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri. Kelebihan radio sebagai media auditif antara lain, siarannya mudah dijangkau oleh masyarakat dan 2 Ibid., h. ix. 3 Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam Surabaya: Al-Ikhlas, 1983, h. 177-178. pesawatnya mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya adalah siarannya hanya sekali di dengar tidak dapat diulang. 4 Kelebihan dan kelemahan dari masing-masing media tersebut mengindikasikan bahwa meskipun media-media baru terus bermunculan, namun hal itu tidak membuat media lama terlupakan oleh masyarakat. Dapat dikatakan bahwa media telah mengalami mediamorphosis. 5 “Ries dan Ries mengatakan, buku tidak digantikan surat kabar, surat kabar tidak digantikan majalah, majalah tidak digantikan radio, radio tidak digantikan televisi. Media baru berada pada lapis atas media sebelumnya.” 6 Radio telah mendapat julukan sebagai kekuasaan kelima atau “the fifth estate,” setelah pers baca surat kabar dianggap sebagai kekuasaan keempat atau “the fourth estate.” 7 Sedangkan kekuatan pertama sampai ketiga berturut- turut adalah pemerintah, rakyat, dan militer. Hal ini dikarenakan sifat radio yang dapat menembus jarak dan rintangan, selain itu harga pesawatnya relatif murah sehingga banyak masyarakat yang memilikinya, tidak memandang apakah ia berasal dari lapisan orang kaya atau orang miskin. ”... Bedanya, yang kaya mungkin memiliki seperangkat radio stereo yang canggih, 4 Ibid., h. 176-177. 5 Istilah mediamorphosis dikemukakan oleh Roger Fidler, sebagaimana dikutip oleh Sifak Masyhudi dalam diktat perkuliahannya, “Produksi Siaran Radio dan Televisi,” Diktat Perkuliahan S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005, t.h., bahwa “Media baru memang akan senantiasa lahir bahkan mengalami mediamorphosis. Media akan mengalami transformasi sebagai konsekuensi kebutuhan dan inovasi yang lahir di masyarakat akibat dari kompetisi yang berkembang di masyarakat. 6 Dani Vardiansyah, Pengantar Ilmu Komunikasi Pendekatan Taksonomi Konseptual Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, h. 132. 7 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003, Cet. 2, h. 137. sedangkan yang miskin hanya memiliki sebuah radio transistor kecil.” 8 Seperti yang dikatakan oleh John Vivian, radio is everywhere. 9 Masih bertahannya program dakwah melalui radio, dapat dibuktikan dengan masih banyaknya stasiun-stasiun radio yang tetap memproduksi dan menyiarkan program-program atau acara-acara yang bernafaskan Islam. Bahkan kini semakin baik perkembangannya dari masa ke masa, dengan berbagai macam format dari program dakwah yang telah ada di radio. Contohnya adalah program Manajemen Qalbu Pagi MQ Pagi yang disiarkan sejak tahun 2003 oleh Radio Republik Indonesia RRI. Program yang dalam proses penyiarannya bekerjasama dengan Daarut Tauhid Bandung ini, menghadirkan K.H. Abdullah Gymnastiar sebagai narasumber. Pendengarnya pun sampai saat ini masih cukup banyak, bahkan program ini menjadi salah satu program unggulan di radio RRI. Akhirnya sejak tahun 2005 sampai sekarang, program MQ Pagi telah di-relay disiarkan ulang pada waktu yang bersamaan oleh beberapa stasiun radio swasta di Jakarta. Hal ini tentu membuktikan bahwa “perangkat auditif seperti radio, pada umumnya adalah alat-alat yang dapat dioperasionalkan sebagai sarana penunjang kegiatan dakwah.” 10 Sebab “penyampaian materi dakwah melalui media auditif ini menyebabkan dapat terjangkaunya sasaran dakwah dalam 8 Amri Jahi, ed., Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar Jakarta: PT Gramedia, 1988, h. 127. 9 Masduki, Menjadi Broadcaster Profesional Yogyakarta: Pustaka Populer, 2004, Cet. 1, h. 17. 10 M. Bahri Ghazali, Da’wah Komunikatif; Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Da’wah Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997, Cet. 1, h. 36-37. jarak jauh. Alat-alat auditif ini sangat efektif untuk kepentingan penyebaran informasi atau penyampaian kegiatan dakwah yang cenderung persuasif.” 11 Selain program MQ Pagi tadi, masih banyak program lain yang disiarkan oleh stasiun radio di Indonesia yang bertemakan dakwah. Salah satunya adalah program Tazkia Qalbu yang disiarkan oleh radio Music City FM Jakarta, yang mengudara di gelombang 107,5 FM. Radio tersebut adalah radio yang memiliki segmentasi pendengar eksekutif muda, namun kendati segmentasinya adalah untuk eksekutif muda, radio ini tidak melupakan nilai agama dalam program siarannya, khususnya agama Islam. Nilai-nilai tersebut direalisasikan melalui berbagai macam program keseharian radio Music City yang bernafaskan religi. Program dakwah Tazkia Qalbu telah disiarkan sejak radio Music City pertama kali mengudara, yaitu sekitar tahun 1997. Acara ini masih disiarkan setiap hari Senin pukul lima sore sampai menjelang adzan maghrib secara live langsung, dengan pendengar yang cukup banyak dan mendapat sambutan yang hangat di masyarakat hingga kini. Sambutan hangat ini dapat dilihat dari “… banyaknya responden yang merespon positif akan materi yang ditawarkan, waktu siar, metode ceramah, serta personality da’i” 12 dari program Tazkia Qalbu. Sejak pertama kali siaran, program yang memiliki format dialog interaktif ini, menghadirkan Ustadz H.M. Arifin Ilham sebagai narasumber utama. Ustadz Arifin terkenal di masyarakat dengan metode dakwah 11 Ibid., h. 36-37. 12 Ana Sabhana Azmy, ”Respon Warga Depok Terhadap Program Tazkia Qalbu di Radio 107,5 FM Music City,” Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008, h. 90. dzikirnya, ia juga memiliki kekhasan tersendiri dengan suara yang serak-serak basah serta selalu mengenakan pakaian serba putih. Di samping itu, Ustadz Arifin juga mengasuh majelis dzikir bernama Majelis Az-Zikra, sehingga jika Ustadz berhalangan hadir, maka ia kerap mengutus Ustadz pengganti dari majelis Az-Zikra. Sehingga program Tazkia Qalbu masih dapat menguadara hingga kini. Atas dasar pemikiran di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai program dakwah yang disiarkan melalui radio terkait dengan eksistensinya hingga kini. Selain itu program yang akan diteliti merupakan satu-satunya program dakwah di radio, yang menghadirkan Ustadz H.M. Arifin Ilham sebagai narasumber. Sehingga peneliti akan mengadakan penelitian dengan judul Analisis Program Dakwah Tazkia Qalbu Bersama Ustadz H.M. Arifin Ilham di Radio Music City FM Jakarta.

H. Pembatasan dan Perumusan Masalah