Peranan Post Traumatic Amnesia (PTA) Dan Parameter laboratorium Sebagai Prediktor Terhadap outcome Pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang

(1)

PERANAN POST TRAUMATIC AMNESIA (PTA) DAN

PARAMETER LABORATORIUM SEBAGAI

PREDIKTOR TERHADAP OUTCOME PADA

PENDERITA

TRAUMA KAPITIS AKUT RINGAN-SEDANG

T E S I S

Oleh

Silvana Asrini

Nomor Register CHS : 15432

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP. H. ADAM

MALIK


(2)

MEDAN

2008

PERANAN POST TRAUMATIC AMNESIA (PTA) DAN

PARAMETER LABORATORIUM SEBAGAI

PREDIKTOR TERHADAP OUTCOME PADA

PENDERITA

TRAUMA KAPITIS AKUT RINGAN-SEDANG

T E S I S

Untuk memperoleh gelar spesialis dalam program studi Ilmu Penyakit Saraf pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

Oleh Silvana Asrini

Nomor Register CHS : 15432


(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP. H. ADAM

MALIK

MEDAN

2008

Judul Tesis : PERANAN POST TRAUMATIC AMNESIA (PTA) DAN PARAMETER LABORATORIUM SEBAGAI PREDIKTOR TERHADAP OUTCOME PADA PENDERITA TRAUMA KAPITIS AKUT RINGAN - SEDANG

Nama : Silvana Asrini Nomor register CHS : 15432

Program studi : lmu Penyakit Saraf

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K)

NIP. 131 124 054 NIP. 130 702 008

Mengetahui/Mengesahkan

Ketua Program Studi Ketua Departemen/SMF Departemen Neurologi FK – USU/ Neurologi FK – USU/

RSUP. H. Adam Malik Medan RSUP. H. Adam Malik Medan


(4)

Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, SpS (K)

NIP. 131 124 054 NIP. 130 702 008

Tanggal lulus : Telah diuji pada : Selasa, 3 Juni 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) 2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K) 3. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S

4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) 5. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)

6. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S 7. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S


(5)

8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S 9. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S 10. Dr. Cut Aria Arina, Sp.S

ABSTRAK

Latar belakang : Trauma kapitis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak, dewasa dan pada usia produktif. Trauma kapitis juga dapat menyebabkan berbagai sequalae jangka pendek maupun jangka panjang meliputi gangguan kognitif, behavioral dan keterbatasan fisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Post Traumatic Amnesia (PTA) dan parameter laboratorium saat masuk dapat menjadi prediktor terhadap outcome pada penderita trauma kapitis akut ringan-sedang.

Metode : Seluruh pasien konsekutif yang dirawat di bangsal Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan dengan diagnosa trauma kapitis akut ringan-sedang ikut dalam penelitian. Karakteristik demografi turut dicatat dalam penelitian ini. Pada seluruh pasien dilakukan perhitungan nilai SKG dan dilakukan pemeriksaan computed tomography (CT), parameter laboratorium termasuk Hemoglobin (Hb), Trombosit, Kadar Gula Darah (KGD) ad random, pH, Natrium (Na+), Kalium (K+) dan fungsi homeostasis Prothrombine Time (PT), Thrombine Time (TT) dan activated Partial Thromboplastin Time (aPTT). Setelah penderita sadar dilakukan pemeriksaan terhadap Post Traumatic Amnesia (PTA) dengan menggunakan Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG). Penilaian

outcome dengan Glasgow Outcome Scale (GOS) dan Neurobehavioral Rating Scale (NRS) dilakukan saat os keluar rumah sakit.

Hasil : Lima puluh sembilan pasien trauma kapitis ringan-sedang, yang terdiri dari 42 orang laki-laki (71,2%) dan 17 orang perempuan (28,8%) ikut dalam penelitian ini. Jenis kelamin merupakan prediktor hanya terhadap outcome neurobehavior (p=0,038). Sedangkan SKG (p<0,05), gambaran CT (p=0,000), lokasi lesi (p=0,000) dan gambaran hematom (p=0,000) merupakan prediktor terhadap outcome fungsional maupun neurobehavior (p<0,05). Durasi PTA yang lebih dari 24 jam terbukti memiliki outcome jelek pada GOS (p=0,001) dan rerata skor NRS tertinggi dijumpai pada kelompok dengan durasi PTA lebih dari 7 hari (p=0,000). Kadar pH, PT, TT dan aPTT berkorelasi dengan outcome NRS (ρ=0,365;0,402; 0,335; 0,342 secara berurutan) dan outcome GOS


(6)

(ρ=0,324; 0,450; 0,478; 0,492 secara berurutan) pada trauma kapitis ringan-sedang dengan p<0,05.

Kesimpulan : Durasi PTA dan parameter laboratorium pH, PT, TT, aPTT merupakan prediktor terhadap outcome pada penderita trauma kapitis akut ringan-sedang.

Kata kunci : Trauma kapitis, Post Traumatic Amnesia (PTA),


(7)

ABSTRACT

Background : Head injury is the main cause of death and handicap in children, adults and age of productivity. Head injury can also cause various short term and long term sequele that covers cognitive disturbance, behavioural disturbance and physical limitation. This study was intended to determine whether Traumatic Amnesia (PTA) and laboratory parameters on admission can be predictors toward outcome in acute mild-moderate head injury patients.

Methods: All consecutive patients admitted in neurology department Adam Malik hospital with acute mild-moderate head injuries were included in thus study. Demographic characteristics was also noted in thus study. SKG was evaluated on all patients, computed tomography (CT) and laboratory parameters included Hemoglobin (Hb), Trombosit, ad random blood sugar level (KGD), pH, sodium (Na+), potassium (K+) and homeostatic function Prothrombine Time (PT), Thrombine Time (TT) and activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) were performed. After the patients got conscious, Post Traumatic Amnesia (PTA) was done by using Galveston Orientation and Amnesia Test (GOAT). Evaluation of the outcome by using Glasgow Outcome Scale (GOS) and Neurobehavioral Rating Scale (NRS) was done when patient discharged.

Results : Fifty nine patients with acute mild-moderate head injury, consist of 42 men (71.2%) and 17 women (28.8% were included in thus study. Sex was predictor only on neurobehavioral outcome (p=0.038). While SKG (p<0.05), CT images (p=0.000), location of the lesion (p=0.000), and haematoma feature (p=0.000) as predictor for both functional and neurobehavioral outcome (p<0.05). PTA duration more than 24 hours showed worse outcome on GOS (p=0.001) and the mean of the highest NRS score was found on group with PTA duration more than 7 days (p=0.000). pH, PT, TT and aPTT level correlated with NRS outcome (ρ=0.365;0.402; 0.335; 0.342, respectively) and GOS outcome (ρ=0,324; 0,450; 0,478; 0,492, respectively) on acute mild-moderate head injury with p<0.05.

Conclusions : PTA duration and laboratory parameters pH, PT, TT, aPTT as a predictor of outcome in patients with acute mild-moderate head injury.


(8)

KATA PENGANTAR

Assalamualaiku Wr.Wb.

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan hidayahNya yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Shalawat dan salam bagi junjungan Rasulullah Muhammad SAW., keluarga dan sahabatnya yang telah menunjuki kita dari alam kesesatan kealam yang penuh ilmu pengetahuan.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir dalam Program Pendidikan spesialisasi di Bidang Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K) (Dekan Fakultas Kedokteran Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS ), yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan Dokter Spesialis Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(9)

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K) (Kepala Bagian Neurologi saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah menerima saya untuk menjadi peserta didik serta memberikan bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Ilmu Penyakit Saraf FK USU, Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat dr. H. Hasanuddin Rambe, Sp.S(K), (Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah bersedia menerima penulis menjadi peserta didik serta banyak memberi bimbingan dalam menjalankan proses pendidikan.

Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. H. Rusli Dhanu, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan, banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) dan Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku pembimbing yang dengan sepenuh hati telah


(10)

mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

Kepada guru-guru saya, dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K), almarhum., dr. Ahmad Syukri Batubara, Sp.S(K) almarhum., dr. LBM Sitorus, Sp.S., dr. Darlan Djali Chan, Sp.S., dr. Yuneldi Anwar, SP.S(K)., dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S., dr. Dadan Hamdani, Sp.S., dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S., dr. Aldy S. Rambe, Sp.S., dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S., dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S dan dr. Cut Aria Arina, Sp.S dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Neurologi maupun Departemen / SMF lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP H. Adam Malik Medan, terimakasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.

Kepada Drs. Abdul Jalil A A, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktunya dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Kepada Direktur Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasillitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.

Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh teman sejawat PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang terus memberi dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Bapak Amran Sitorus, Sukirman Aribowo dan seluruh perawat di SMF


(11)

Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan yang membantu penulis dalam pelayanan pasien sehari-hari.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kepada kedua orang tua saya, Ir. H. Nizwar Hakim Harahap dan Hj. Hanisyah Fahmi, S.S. yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, membekali saya dengan pendidikan, kebiasaan hidup disiplin, jujur, kerja keras dan bertanggungjawab, memberikan bimbingan, dorongan, semangat dan nasehat serta do’a yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

Teristimewa kepada suamiku tercinta Dr. H. Rakhmad Arief Siregar, ST, M. Eng., dan putraku Rayyan Hakim Siregar yang dengan sabar dan penuh pengertian, mendampingi dengan penuh cinta dan kasih sayang dalam suka dan duka, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.

Kepada saudara-saudaraku beserta seluruh keluarga yang senatiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan do’a dalam menyelesaikan pendidikan ini penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Kepada semua rekan dan sahabat yang tak mungkin saya sebut satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah tuhan semesta alam selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu


(12)

dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang. Akhirnya penulis mengaharapkan semoga penelitaian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Medan, Juni 2008


(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : dr. Silvana Asrini

Tempat/Tanggal lahir : Jakarta, 08 Desember 1977

Agama : Islam

Pekerjaan : -

NIP : -

Pangkat/Golongan : -

Nama Ayah : Ir. H. Nizwar Hakim Harahap Nama Ibu : Hj. Hanisyah Fahmi Nasution, SS

Nama Suami : Dr. H. Rakhmad Arief Siregar, ST, M.Eng Nama Anak : Rayyan Hakim Siregar

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar di SD Harapan 1 Medan tamat tahun 1990.

2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Medan tamat tahun 1993.

3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Medan tamat tahun 1996. 4. Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2002.

Riwayat Pekerjaan


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii - vii DAFTAR RIWAYAT HIDUP... viii DAFTAR ISI... ix - xiv DAFTAR SINGKATAN... xv -xvi DAFTAR LAMBANG... xvii DAFTAR TABEL... ... .... xviii – xx DAFTAR GAMBAR ... xxi DAFTAR LAMPIRAN... xxii BAB I. PENDAHULUAN ... 1–15

I.1. Latar Belakang ... 1–13 I.2. Perumusan Masalah ... 13–14 I.3. Tujuan Penelitian ... 14–15

I.3.1. Tujuan Umum ... 14 I.3.2. Tujuan Khusus ... 14–15 I.4. Hipotesis ... 15 I.5. Manfaat Penelitian ... 15


(15)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16– 36

II.1. TRAUMA KAPITIS ... 16–21 II.1.1. Definisi ... 16 II.1.2. Epidemiologi ... 16 – 17

II.1.3. Klasifikasi ... 17 – 19 II.1.4. Patofisiologi ... 20 – 21

II.1.4.1. Cedera kepala primer (Primary

Brain Injury)... 20 – 21

II.1.4.2. Cedera kepala sekunder

(Secondary Brain Injury) ... 21 II.2. POSTTRAUMATIC AMNESIA ... 21–24

II.2.1. Definisi dan Deskripsi ... 21–22 II.2.2. Patofisiologi ... ... 22–24 II.2.3. Klasifikasi ... 24 II.3. OUTCOME ... 24–25 II.4. INSTRUMEN ... 25–35

II.4.1. Test Orientasi dan Amnesia Galveston 25–26 II.4.2. Parameter Laboratorium... 26–31

II.4.2.1. Glukosa ... 26–27 II.4.2.2. Natrium (Na+) dan Kalium (K+). 27–29 II.4.2.3. pH ... 29–30

II.4.2.4. Hemoglobin (Hb) ……… 30 II.4.2.5. Koagulopati ………. 30–31 II.4.3. CT Scan Kepala ……….…… 31–32 II.4.4. Glasgow Outcome Scale (GOS) ……… 32–34


(16)

II.4.5. Neurobehavioral Rating Scale (NRS) .. 34–35 II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL ... 36

BAB III. METODE PENELITIAN ... 37–52 III.1. TEMPAT DAN WAKTU ... 37 III.2. SUBJEK PENELITIAN ... 37–39 III.3. BATASAN OPERASIONAL ... 39–47

III.3.1. Trauma Kapitis ... 39 III.3.2. Trauma kapitis ringan ... 39 III.3.3. Trauma kapitis sedang ... 40

III.3.4. Skala Koma Glasgow (SKG) ... 40–41 III.3.5. CT – Scan otak ... 42 III.3.6. Lokasi lesi ... 43 III.3.7. Post Traumatic Amnesia (PTA) ... 43–44

III.3.8. Test Orientasi dan Amnesia Galveston . 44 III.3.9. Parameter Laboratorium ... 44–46 III.3.10. Glasgow Outcome Scale (GOS) ... 46

III.3.11. Neurobehavioral Rating Scale (NRS) . 46–47

III.4. RANCANGAN PENELITIAN ... 47 III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN ... 47–52

III.5.1. Instrumen ... 47 III.5.2. Pengambilan Sampel ... 47–48 III.5.3. Kerangka Operasional ... 49 III.5.4. Variabel yang diamati ... 50 III.5.5. Analisa Statistik ... 50–52


(17)

BAB IV . HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53–107 IV.1. HASIL PENELITIAN ... 53–86

IV.1.1. Karakteristik peneltian ... 53 IV.1.2. Karakteristik demografi subjek penelitian 53–55

IV.1.3. Distribusi sampel berdasarkan nilai SKG 55 IV.1.4. Distribusi sampel berdasarkan gambaran

Head CT-Scan... 55–56 IV.1.5. Distribusi sampel berdasarkan nilai

parameter laboratorium ... 56–57 IV.1.6. Distribusi sampel berdasarkan TOAG... 58 IV.1.7. Hubungan antara gambaran Head CT

Scan dengan parameter laboratorium... 58–59 IV.1.8. Hubungan antara adanya hematom pada

Gambaran Head CT-Scan dengan para-

Meter laboratorium ... 59–60 IV.1.9. Hubungan antara lokasi lesi dengan para-

Meter laboratorium ... 60–61 IV.1.10. Distribusi gambaran Head CT scan

menurut TOAG ... 61–62 IV.1.11. Distribusi lokasi lesi pada hemisfer yang

Berbeda menurut TOAG ... 62 IV.1.12. Distribusi rerata skor NRS menurut suku

bangsa... 63 IV.1.13. Distribusi rerata skor NRS menurut tingkat

pendidikan ... ... 63 – 64

IV.1.14. Distribusi rerata skor NRS menurut umur 64 IV.1.15. Distribusi rerata skor NRS menurut jenis

kelamin... 65


(18)

IV.1.16. Distribusi rerata skor NRS menurut nilai

SKG ... 65–66

IV.1.17. Distribusi rerata skor NRS menurut

gambaran Head CT- Scan ……… 66–67

IV.1.18. Distribusi rerata skor NRS dengan adanya

hematom pada gambaran Head CT-Scan 67–68 IV.1.19. Distribusi rerata skor NRS berdasarkan

lokasi lesi ... 68–69 IV.1.20. Distribusi rerata skor NRS berdasarkan

lokasi lesi pada hemisfer yang berbeda 69–70

IV.1.21. Distribusi GOS menurut suku bangsa ... 70 IV.1.22. Distribusi GOS menurut tingkat pendidikan 71

IV.1.23. Distribusi GOS menurut jenis kelamin ... 71–72 IV.1.24. Distribusi GOS menurut umur ... ... 72 IV.1.25. Distribusi GOS menurut SKG... 73

IV.1.26. Distribusi GOS menurut gambaran Head

CT Scan ………..………. 73–74

IV.1.27. Distribusi GOS berdasarkan lokasi lesi ... 74–75 IV.1.28. Distribusi GOS berdasarkan adanya

hematom pada gambaran Head CT- scan 75–76

IV.1.29. Distribusi GOS berdasarkan lokasi lesi

Pada hemisfer yang berbeda ... 76 IV.1.30. Hubungan antara TOAG dengan GOS

dan NRS ... 77-79 IV.1.31. Hubungan antara parameter laboratorium

dengan GOS ... 79–82

IV.1.32. Hubungan antara parameter laboratorium


(19)

IV.1.33. Frekuensi distribusi gejala gangguan neurobehaviour pada penderita trauma

kapitis akut ringan-sedang berdasarkan

NRS ... 85-86

IV.2. PEMBAHASAN ……….. 87–107 IV.2.1. Karakteristik demografi subjek penelitian. 88–89 IV.2.2. Hubungan antara variabel demografi

dengan outcome ... 89–98 IV.2.3. Durasi PTA sebagai prediktor terhadap

outcome... 98–104 IV.2.4. Parameter laboratorium sebagai prediktor

terhadap outcome ………. 104–107

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 108–110 V.1. KESIMPULAN ... . 108–110 V.2. SARAN ……….. 110

DAFTAR PUSTAKA ………. 111–116 LAMPIRAN ………. 117–129


(20)

DAFTAR SINGKATAN

ABI : Acquired Brain Injury

ADH : Anti-Diuretic Hormone

aPTT : activated Partial Thromboplastin Time

ARAS : Ascending reticular activating system

CBF : CerebralBlood Flow

CSF : Cerebrospinal fluid

CT : Computed Tomography

DAI : Diffuse Axonal Injury

DIC : Disseminated Intravascular Coagulation

FDP : Fibrin-Fibrinogen Degradation Product

FIM : Functional Independence Measure

FK : Fakultas Kedokteran

GOAT : Galveston Orientation and Amnesia Test

GOS : Glasgow Outcome Scale

GOSE : Glasgow Outcome Scale Extended

H : Haji

Hb : Hemoglobin

KGD : Kadar Glukosa Darah LOC : Length of Coma

MCI : Mild Cognitive Impairment

MRI : Magnetic Resonance Imaging


(21)

NRS-R : Neurobehavioral Rating Scale-Revised

PSA : Perdarahan Subarakhnoid

PT : Prothrombine Time

PTA : Post Traumatic Amnesia

PTSD : Posttraumatic Stress Disorder

PTT : Partial Thromboplastin Time

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SIADH : Syndrome of Inappropriate ADH

SKG : Skala Koma Glasgow

SPSS : Statistical Product and Science Service

TBIMS : Traumatic Brain Injury System

TIK : Tekanan Intrakranial

TOAG : Test Orientasi dan Amnesia Galveston

TT : Thrombine Time


(22)

DAFTAR LAMBANG

n : Besar sampel

Zα : Nilai baku normal berdasarkan nilai (0,01) yang telah ditentukan

å 1,96

d : Besarnya penyimpangan yang masih bisa ditolerir % : Persen

p : Tingkat kemaknaan Na+ : Natrium


(23)

DAFTAR TABEL

HALAMAN Tabel 1. Stratifikasi resiko pada penderita dengan

cedera

kepala... 19 Tabel 2. Skala Koma Glasgow... 41

Tabel 3. Karakteristik subjek

penelitian... 54 Tabel 4. Distribusi sampel berdasarkan nilai SKG... 55

Tabel 5. Distribusi sampel berdasarkan gambaran

Head CT-Scan ... 56 Tabel 6. Distribusi sampel berdasarkan nilai parameter

laboratorium... 57 Tabel 7. Distribusi sampel berdasarkan durasi TOAG..… 58 Tabel 8. Hubungan antara gambaran Head CT

Scan dengan parameter aboratorium ... 59 Tabel 9. Hubungan antara adanya Hematom pada gambaran

Head CT-Scan dengan parameter laboratorium.... 60 Tabel 10. Hubungan antara lokasi lesi dengan parameter

laboratorium... 61 Tabel 11. Distribusi Head CT-Scan menurut TOAG……….. 62 Tabel 12. Distribusi lokasi lesi pada hemisfer yang berbeda

menurut TOAG ... 62 Tabel 13. Distribusi rerata skor NRS menurut suku bangsa 63 Tabel 14. Distribusi rerata skor NRS menurut tingkat

pendidikan ... 64 Tabel 15. Distribusi rerata skor NRS menurut umur ... 64 Tabel 16. Distribusi rerata skor NRS menurut jenis kelamin 65


(24)

Tabel 17. Distribusi rerata skor NRS dengan nilai SKG ... 66 Tabel 18. Distribusi rerata skor NRS menurut gambaran

Head CT-Scan ... 67 Tabel 19. Distribusi rerata skor NRS dengan adanya

hematom pada gambaran Head CT-Scan ... 68 Tabel 20. Distribusi rerata skor NRS berdasarkan lokasi lesi. 69 Tabel 21. Distribusi rerata skor NRS berdasarkan

lokasi lesi pada hemisfer yang berbeda ... 70

Tabel 22. Distribusi GOS menurut suku bangsa ... 70 Tabel 23. Distribusi GOS menurut tingkat pendidikan... 71

Tabel 24. Distribusi GOS menurut jenis kelamin ... 72 Tabel 25. Distribusi GOS menurut umur……….….. 72 Tabel 26. Distribusi GOS menurut SKG ... 73

Tabel 27. Distribusi GOS berdasarkan gambaran HeadCT-

scan... 74 Tabel 28. Distribusi GOS berdasarkan lokasi lesi ... 75

Tabel 29. Distribusi GOS berdasarkan adanya hematom

pada HeadCT-scan... 76 Tabel 30. Distribusi GOS berdasarkan lokasi lesi pada

hemisfer yang berbeda... 76 Tabel 31. Distribusi GOS berdasarkan TOAG ... 77 Tabel 32. Distribusi rerata skor NRS berdasarkan TOAG... 78 Tabel 33. Distribusi GOS berdasarkan nilai parameter

laboratorium ... 80 Tabel 34. Hubungan antara Laboratorium dengan GOS... 81 Tabel 35. Distribusi rerata skor NRS berdasarkan parameter

laboratorium... 83 Tabel 36. Hubungan antara laboratorium dengan rerata


(25)

skor NRS ... 84 Tabel 37. Frekuensi distribusi gejala gangguan neuro-

behaviour pada penderita trauma kapitis akut


(26)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN Gambar 1. Grafik distribusi penyebab trauma kapitis ... 55 Gambar 2. Grafik distribusi GOS berdasarkan TOAG... 77 Gambar 3. Grafik distribusi rerata skor NRS berdasarkan TOAG 78 Gambar 4. Grafik distribusi parameter laboratorium

berdasarkan GOS ... 82 Gambar 5. Grafik distribusi NRS berdasarkan parameter


(27)

DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN Lampiran 1. Suratpersetujuan ikut dalam penelitian... 117 Lampiran 2. Lembar pengumpulan data penelitian ... 118 – 120 Lampiran 3. Kuesioner Test Orientasi dan Amnesia Galveston

(TOAG)………. 121 – 122 Lampiran 4. Kuesioner Glasgow Outcome Scale (GOS) ……. 123

Lampiran 5. Kuesioner Neurobehavioral Rating Scale (NRS).. 124– 127 Lampiran 6. Surat komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan

FK-USU………... 128


(28)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Trauma kapitis yang merupakan suatu momok modern di kelompok industrial, adalah penyebab utama kematian, terutama pada orang dewasa usia muda, dan penyebab terbesar kecacatan (Mayer dan Rowland, 2000). Defisit kognitif, behavioural dan kepribadian biasanya lebih menimbulkan kecacatan dibanding defisit fisik. Penyembuhan dari trauma kapitis dapat berlangsung paling sedikit 5 tahun setelah trauma kapitis (Khan dkk, 2003).

Trauma kapitis mengenai hampir 1.5 juta orang di Amerika Serikat setiap tahunnya, dan 240.000 dari mereka membutuhkan rawat inap untuk pengobatan trauma mereka (Frey dkk, 2007). Dari keseluruhannya, 60.000 orang meninggal dan 70.000 sampai 90.000 orang mengalami cacat neurologis permanen. Kerugian finansial karena kehilangan produktifitas dan biaya perawatan medis sekitar 100 milyar dolar Amerika pertahunnya (Marik dkk, 2002).

Kebanyakan pasien yang mengalami trauma kapitis ringan atau sedang pulih setelah beberapa minggu sampai dengan bulan tanpa terapi spesifik. Akan tetapi, sekelompok pasien akan terus mengalami gejala kecacatan setelah periode ini, yang mengganggu pekerjaan atau aktifitas sosial. Masih terdapat kontroversi terhadap tingkat morbiditas yang


(29)

menetap ketika dibandingkan dengan outcome pada pasien dengan trauma kapitis berat (Naalt dkk, 1999).

Memprediksi outcome jangka panjang segera saat pasien tiba di ruang gawat darurat dapat dilakukan dengan menggunakan imaging atau tanpa imaging yaitu secara klinikal, untuk kepentingan komunikasi bagi dokter dan paramedis profesional kerja yang menangani. Sehingga dapat dipersiapkan strategi yang tepat untuk pengambilan keputusan dan penatalaksanaan yang terbaik bagi pasien (Signorini dkk, 1999; Musridharta dkk, 2006).

Pertanyaan tentang perkiraan yang akurat dari outcome telah lama diikuti oleh berbagai peneliti. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada satu pun keseragaman indikator dalam memprediksi outcome pasien (Kraus dan McArthur, 1996).

Banyak penelitian menyatakan perkiraan outcome sudah dapat diketahui dalam 3 hari masa perawatan paska trauma kapitis. Penilaian awal yang akurat diperlukan sebagai dasar menilai outcome. Tidak semua fasilitas memiliki sarana diagnostik yang canggih, sehingga membutuhkan pedoman praktis untuk memprediksi resiko kematian dalam 3 hari pertama pasien dewasa trauma kapitis derajat sedang dan berat (Musridharta dkk, 2006).

Tompkins dkk telah menemukan bahwa Skala Koma Glasgow (SKG), marker psikologi dan fisik lain atau gangguan kognitif telah berhasil memprediksi cognitive performance setelah trauma. Lewin dkk juga menemukan bahwa umur, posttraumatic amnesia (PTA) dan skor respon


(30)

neurologi terburuk yang diperoleh segera setelah trauma merupakan prediktor terbaik dari kapasitas kognitif pasien sampai 24 jam setelah trauma ( cit Kraus and McArthur, 1996).

Brown dkk (2005) melakukan suatu studi yang datanya diambil dari

Traumatic Brain Injury System (TBIMS) untuk menilai seluruh elemen klinis yang dimiliki penderita trauma kapitis setelah masuk ke rehabilitasi rawat inap, dan mengidentifikasi faktor itu untuk memprediksi disabilitas, kebutuhan pengawasan dan aktifitas produktif 1 tahun setelah trauma. Dari studi ini diperoleh hasil bahwa durasi PTA, umur, dan seluruh elemen pemeriksaan fisik adalah prediktif untuk disabilitas dini. Sedangkan durasi PTA, umur, keseimbangan duduk, dan kekuatan otot terpilih untuk memprediksi aktifitas produktifitas pada satu tahun. Tetapi hanya durasi PTA saja yang terpilih untuk memprediksi disabilitas akhir dan ketidaktergantungan hidup.

Posttraumatic amnesia dipertimbangkan sebagai suatu marker yang sensitif untuk tingkat keparahan trauma kapitis, dan sebagai suatu prediktor outcome yang berguna. Meskipun keakuratan PTA secara retrospektif telah dicela, suatu studi design yang secara khusus membandingkan metodelogi retrospektif dan prospektif telah melaporkan adanya hubungan yang kuat diantara mereka dan menyimpulkan bahwa pemeriksaan retrospektif adalah valid. Dalam menilai PTA sering dijumpai kesulitan, yang disebabkan oleh kekompleksan memori, konfabulasi, memori yang salah, atau rekonstruksi kejadian dari orang lain yang menganggap remeh (Feinstein dkk, 2002; Greenwood, 1997). Sebagai


(31)

respon terhadap kesulitan ini, metodelogi spesifik telah dikemukakan untuk menilai PTA, salah satunya adalah Test Orientasi dan Amnesia Galveston(TOAG) (King dkk, 1997).

Russel dan Smith telah membuat suatu taksonomi keparahan trauma kapitis berdasarkan PTA sebagai berikut : trauma kapitis ringan jika PTA kurang dari 1 jam; trauma kapitis sedang jika PTA antara 1 dan 24 jam; trauma kapitis berat jika PTA 1 dan 7 hari; dan trauma kapitis sangat berat jika PTA lebih dari 7 hari. Dengan menggunakan suatu penilaian yang luas dari tingkat keparahan trauma kapitis, PTA menunjukkan suatu kemampuan untuk memprediksi outcome. Kemampuan hidup sehari-hari (yang dinilai dengan instrumen seperti

Glasgow Outcome Scale (GOS)) telah menunjukkan korelasi yang baik dengan lamanya amnesia (King dkk, 1997).

Pada trauma kapitis berat, skor SKG dan durasi PTA telah dipertimbangkan secara luas sebagai prediktor outcome yang dapat dipercaya. Kebanyakan dari penelitian menjelaskan bahwa skor SKG adalah prediktor outcome yang paling berguna. Akan tetapi, diantara sedikit penelitian yang meneliti PTA sebagai prediktor outcome, menunjukkan kalau PTA memiliki kekuatan prediktif yang sama dengan SKG. Pada outcome kognitif, telah ditemukan suatu nilai prognostik PTA yang lebih tinggi dibanding SKG. Akan tetapi, pada cedera kepala ringan telah diketahui bahwa durasi PTA dan SKG tidak berguna dalam menilai dampak serebral. Kegagalan untuk memprediksi outcome pada kelompok pasien dengan trauma yang sangat ringan ini dihubungkan dengan relatif


(32)

singkatnya periode tidak sadar dan amnesia. Pada cedera kepala ringan sampai sedang, penilaian PTA diperkirakan akan menjadi prediktor

outcome yang lebih baik dibanding skor SKG (Naalt dkk, 1999).

Penciptaan suatu alat penilai outcome setelah trauma kapitis adalah sangat sulit. Studi yang baru telah menggunakan GOS secara tradisional (Khan dkk, 2003). Glasgow outcome Scale adalah suatu skala penilaian yang telah dipergunakan dalam penelitian pada outcome trauma kapitis kronik dan berdasarkan penilaian subjektif dari fungsi sosial dan pekerjaan (Jones dan Rizzo, 2004).

Naalt dkk (1999) melakukan suatu studi prospektif terhadap 67 pasien. Studi ini melakukan analisa terhadap nilai prognostik dari karakteristik trauma akut dan PTA untuk outcome jangka panjang pada pasien cedera kepala ringan sampai dengan berat dalam hal keluhan dan kembali bekerja. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa satu tahun setelah trauma, 73% pasien telah kembali bekerja meskipun kebanyakan (84%) masih ada keluhan. Outcome yang dinilai dengan GOS-5 menunjukkan outcome yang baik pada 82% dan disabilitas sedang pada 18% pasien 1 tahun setelah trauma. Ketika outcome pasien dipertimbangkan sehubungan dengan kaitannya terhadap durasi PTA, telah ditemukan bahwa durasi yang lebih dari 14 hari memprediksi

outcome yang kurang baik, disabilitas sedang terlihat pada durasi PTA lebih dari 7 hari. Kebanyakan pasien dengan good recovery memiliki durasi PTA antara 1 dan 7 hari dan kebanyakan pasien dengan disabilitas sedang memiliki durasi PTA lebih dari 14 hari. Pada akhirnya penelitian ini


(33)

mengambil kesimpulan bahwa outcome pada cedera kepala ringan dan sedang ditentukan oleh durasi PTA dan bukan oleh SKG pada saat masuk.

Levin dkk telah menemukan bahwa PTA yang berlangsung kurang dari 14 hari adalah prediktif dari good recovery, sedangkan PTA yang berlangsung lebih dari 14 hari adalah prediktif untuk disabilitas sedang sampai berat. Penemuan ini juga terlihat pada pengamatan yang dilakukan oleh Jennett, Snoek, dan kawan-kawan. Dia juga menemukan bahwa lamanya PTA dihubungkan dengan adanya lesi massa bilateral dan diffuse injury pada computed tomography (CT) (cit Capruso dan Levin, 1996).

Oddy, Humphrey, dan Uttley telah menemukan bahwa 71% pasien dengan PTA kurang dari 7 hari telah kembali bekerja dalam 6 bulan setelah cedera kepala, dibandingkan dengan 27% kembali bekerja pada mereka dengan durasi PTA lebih dari 7 hari (cit Capruso dan Levin, 1996).

Wilson dkk telah menemukan 8 dari 38 pasien yang dirawat inap setelah mengalami trauma kapitis dengan berbagai tingkat keparahan, berada pada PTA lebih dari 1 minggu meskipun periode koma kurang dari 6 jam. Penderita yang PTA-nya tidak sesuai dengan periode koma yang singkat akan memiliki lebih banyak jumlah lesi hemisfer pada magnetic resonance imaging (MRI) dibanding pasien trauma kapitis dengan PTA sepadan dengan lamanya koma. Secara keseluruhan durasi PTA berkorelasi positif dengan jumlah lesi otak di daerah hemisfer dan otak sentral (r = 0.57) (cit Ellenberg dkk, 1996).


(34)

Ellenberg dkk (1996) melakukan studi terhadap 314 penderita trauma kapitis tertutup berat yang diberikan obat fenitoin, deksametason, dan morfin sulfat. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan durasi PTA dalam memprediksi outcome pda saat keluar rumah sakit dan 6 bulan setelah trauma. Dari studi ini diperoleh usia lebih tua, skor SKG yang rendah pada saat awal, pupil yang nonreaktif, lama koma dan penggunaan fenitoin dihubungkan dengan durasi PTA yang lebih panjang. Sedangkan respon pupil yang jelek, waktu saat koma, dan durasi PTA dan penggunaan fenitoin adalah prediktif untuk outcome saat 6 bulan.

Hubungan antara PTA dan outcome juga terlihat pada anak-anak.

Posttraumatic amnesia yang berlangsung 1 minggu atau lebih dikaitkan dengan verbal memory performance yang lebih jelek pada saat 6 dan 12 bulan, meskipun tidak pada saat resolusi PTA. Good recovery ditemukan pada 67% anak dengan PTA kurang dari 1 minggu, pada 43% anak-anak dengan lama PTA 1 sampai 2 minggu, dan pada 11% anak-anak-anak-anak dengan PTA lebih dari 2 minggu. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Rutter. Gejala sisa psikiatrik definit yang disebabkan oleh trauma kapitis hanya dikaitkan dengan PTA yang berlangsung paling sedikit 7 hari (cit Capruso dan Levin, 1996).

Trauma kapitis sering memiliki kaitan dengan terganggunya

pervasive dari behavior, kognitif, dan fungsi komunikasi serta interaksi yang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dari aktifitas sehari-hari dan dalam kehidupan sosial (Hammond, 2004). Saat ini telah jelas diketahui bahwa gejala sisa dari trauma kapitis yang paling menimbulkan masalah


(35)

bagi keluarga adalah yang berhubungan dengan gejala psikiatri yaitu kehilangan memori, konfusion, gangguan kognitif, iritabilitas, mood labil, gangguan behavior, serta perubahan kepribadian (Urbach dan Culbert, 1991).

Feinstein dkk (2002) meneliti hubungan antara PTA dengan simtom

posttraumatic stress disorder (PTSD) pada 282 pasien rawat jalan dengan cedera kepala mendapatkan hasil bahwa ketika pasien dikelompokkan ke dalam mereka dengan PTA < 1 jam atau > 1 jam, pasien dengan PTA > 1 jam cenderung lebih banyak melaporkan simtom PTSD. Pada pasien trauma kapiris dengan PTA yang singkat akan lebih cenderung untuk mengalami PTSD- reaction type.

Machamer dkk (2003) melakukan suatu penelitian terhadap penderita violent dan non-violent trauma kapitis untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi outcome neurobehavioral, dari penelitian ini diperoleh; SKG, tingkat pendidikan, usia tua, jenis kelamin laki-laki dan ras kulit putih sebagai prediktor yang signifikan terhadap outcome neurobehavioral.

McCauley dkk (2001) yang melakukan studi untuk menguji sensitivitas dan validitas dari Neurobehavioral Rating Scale-Revised

(NRS-R) pada 11 senter trauma di Amerika Utara melaporkan bahwa NRS-R dapat digunakan dengan baik untuk mengukur outcome sekunder untuk uji klinik, karena dapat memberikan informasi penting mengenai neurobehavior sebagai tambahan terhadap global outcome dan pemeriksaan neuropsikologikal.


(36)

Goldstein dkk (1999) yang melakukan pemeriksaan neurobehavior pada penderita usia tua yang mengalami trauma kapitis mendapatkan hasil dijumpainya penurunan fungsi kognitif dan mood dibandingkan kontrol dan keadaan sebelum penderita mengalami trauma.

Lippert-Gruner dkk (2006) melakukan studi untuk melihat gangguan neurobehavior terhadap 41 penderita trauma kapitis, mendapatkan penderita dengan trauma kapitis berat (SKG<9) secara keseluruhan memperlihatkan tingginya skor dari NRS yang menggambarkan tingginya disfungsi neurobehavior.

Banyak studi telah melaporkan nilai prognostik dari parameter klinis dan radiologi pada trauma kapitis, tetapi relatif sedikit yang telah menginvestigasi hubungan antara parameter laboratorium pada saat masuk dengan final outcome. Sejumlah penelitian menyatakan kesignifikanan prognostik dari parameter koagulasi, hemoglobin (Hb), dan glukosa pada trauma kapitis (Van Beek dkk, 2007).

Murray dkk (2007) telah melakukan suatu studi untuk melihat nilai prognostik dari berbagai faktor prognostik konvensional dan baru pada saat masuk setelah trauma kapitis dengan menggunakan analisis multivariat dan univariat dimana outcome dinilai menggunakan GOS pada saat 6 bulan setelah trauma. Pada parameter laboratorium, glukosa adalah prediktor outcome independen yang kuat, begitu juga dengan Hb dan trombosit dalam tingkat yang lebih sedikit. Akhirnya studi ini berkesimpulan bahwa faktor prognostik terpenting telah terlihat pada


(37)

umur, SKG skor motorik, respon pupil, karakteristik CT, hipotensi, hipoksia dan glukosa.

Abraham dkk (2000) juga telah melakukan suatu studi pengalaman selama 11 tahun pada 61 anak-anak dengan trauma kapitis dan epidural hematom untuk menilai prognosis dari marker klinis dan metabolik pada era Imaging CT pada anak-anak dengan epidural hematom akut. Hasil studi memperlihatkan prediktor tunggal terbaik untuk outcome setelah epidural hematom adalah SKG dan defisit neurologi. Dari hasil laboratorium yang diperoleh pada saat masuk, hasil tes kalium (K+) darah, pH dan glukosa berkorelasi secara signifikan dengan prognosis.

Chiaretti dkk (2001) telah melakukan suatu studi pengaruh gangguan koagulasi pada outcome anak-anak dengan trauma kapitis. Penelitian ini melibatkan 60 anak dengan trauma kapitis dimana tingkat keparahan trauma dinilai dengan berbagai variabel, sedangkan outcome

setelah 2 bulan paska trauma dinilai dengan GOS. Hasilnya adalah Nilai GOS yang rendah secara signifikan dan independen berkaitan dengan SKG yang rendah, multipel trauma, activated partial thromboplastin time

(aPTT) yang memanjang, kadar fibrinogen yang rendah, peningkatan

fibrin-fibrinogen degradation product (FDP) dan rendahnya jumlah trombosit. Jadi studi ini menyimpulkan bahwa selain SKG; tipe trauma, tipe lesi otak dan abnormalitas koagulasi adalah prediktor GOS.

Bayir dkk (2006) melakukan studi pada 62 pasien konsekutif dengan trauma kapitis pada tiga jam pertama untuk menilai SKG, jumlah trombosit, prothrombine time (PT), partial thromboplastin time (PTT),


(38)

fibrinogen, FDP dan D-dimer. Dari hasil studi ditemukan bahwa mortalitas sangat kuat berhubungan dengan SKG, kadar PT, FDP dan D-dimer (p< 0.001, p<0.001,p<0.001 dan p<0.001, secara respektif). Sehingga diambil kesimpulan bahwa SKG dan marker fibrinolitik yang dinilai pada 3 jam pertama berguna dalam menentukan prognosis pasien dengan isolated

head trauma. Jumlah trombosit yang menurun, PT dan PTT yang

memanjang, penurunan fibrinogen dan peningkatan kadar D-dimer terlihat pada pasien pada 3 jam pertama setelah acute isolated head trauma.

Pada penelitian yang dilakukan Sanchez didapati bahwa penurunan Hb juga telah menunjukkan hubungan dengan outcome yang lebih jelek. Adanya hipotensi merupakan suatu akibat sekunder yang penting, dan berhubungan kuat dengan outcome yang jelek, meskipun nilai prognostik relatif dari penurunan kadar Hb dan trombosit dalam hubungannya dengan hipotensi atau dengan tekanan sistolik sebenarnya belum pernah dilaporkan (Van Beek dkk, 1997).

Pentingnya hiperglikemi iskemik telah dibuktikan dengan baik pada klinis dan percobaan. Bukti yang paling kuat dari nilai prognostik dari parameter laboratorium terdapat pada glukosa, dengan kadar yang tinggi dikaitkan dengan outcome yang jelek. Peranan kadar glukosa darah pada patofisiologi kerusakan neuronal setelah trauma kapitis belum jelas (Kinoshita dkk, 2002).

Jeremitsky dkk pada suatu studi dari 81 pasien yang didiagnosa dengan trauma kapitis, telah ditemukan bahwa hiperglikemi dihubungkan


(39)

dengan peningkatan mortalitas dan keberadaan di rumah sakit yang lebih lama (cit Paolino dan Garner, 2005).

Pada penelitian lain dari pasien trauma kapitis, kadar glukosa yang tinggi pada saat masuk dikaitkan dengan outcome neurologi yang lebih buruk (Paolino dan Garner, 2005).

Young dkk (1989) melakukan studi pada 59 pasien trauma kapitis secara konsekutif untuk menilai hubungan hiperglikemi pada saat masuk dengan outcome neurologi pada pasien trauma kapitis berat. Studi ini memberikan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

outcome saat 3 bulan dan 1 tahun dan kadar glukosa darah puncak 24 jam saat masuk rumah sakit. Pasien dengan kadar glukosa darah puncak 24 jam kurang dari atau sama dengan 200 mg/dL memiliki persentase yang lebih baik untuk outcome baik pada hari ke 18, 3 bulan dan 1 tahun dibanding dengan pasien yang kadar glukosa darah puncak 24 jam waktu masuknya lebih dari 200 mg/dL.

Van Beek dkk (2007) melakukan suatu studi IMPACT yang mengambil data dari IMPACT database. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan mengkuantifikasi hubungan antara parameter yang rutin dilakukan pada saat masuk dan final outcome setelah trauma kapitis. Studi berhasil menunjukkan bahwa seluruh parameter secara konsisten berhubungan dengan outcome dimana glukosa dan prothrombine time menunjukkan hubungan linear yang positif dengan outcome (yakni nilai yang meningkat dikaitkan dengan outcome yang jelek) dan Hb, trombosit sedang pH memiliki hubungan linear yang terbalik (yakni nilai yang rendah


(40)

dikaitkan dengan outcome yang jelek). Natrium (Na+) menunjukkan suatu

U-shaped dalam hubungannya dengan outcome, dan pada kadar yang rendah kaitannya dengan outcome lebih kuat. Efek yang paling kuat ada pada kadar glukosa yang meningkat (odds ratio 1.7; CI 95%) dan penurunan kadar Hb (odds ratio 0.7; CI 0.60-0.78).

I.2. PERUMUSAN MASALAH

1. Apakah PTA dan parameter laboratorium dapat menjadi prediktor terhadap outcome [Glasgow Outcome Scale (GOS) dan

(Neurobehavioral Rating Scale (NRS)] pada penderita trauma kapitis akut ringan-sedang di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP). Haji (H). Adam Malik Medan.

2. Bagaimana hubungan karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, suku, tingkat pendidikan) dengan outcome [Glasgow Outcome Scale (GOS) dan (Neurobehavioral Rating Scale (NRS)] pada penderita trauma kapitis akut ringan-sedang.

I.3. TUJUAN PENELITIAN


(41)

1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui peranan PTA dan parameter laboratorium sebagai prediktor terhadap outcome (GOS dan NRS) pada penderita trauma kapitis akut ringan-sedang.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui PTA dan parameter laboratorium sebagai prediktor terhadap outcome (GOS dan NRS) pada penderita trauma kapitis akut ringan-sedang di RSUP. H. Adam Malik Medan.

2. Untuk mengetahui hubungan karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, suku, tingkat pendidikan) dengan outcome (GOS dan NRS) pada penderita trauma kapitis akut ringan-sedang. 3. Untuk mengetahui hubungan antara nilai SKG dan gambaran

Head CT-Scan (gambaran, adanya hematom, lokasi lesi, lokasi lesi berdasarkan perbedaan hemisfer) dengan outcome (GOS dan NRS) pada trauma kapitis ringan-sedang.

4. Untuk mengetahui hubungan PTA, parameter laboratorium, dan karakteristik CT pada penderita trauma kapitis akut ringan-sedang.

I.4. HIPOTESIS

Posttraumatic amnesia dan parameter laboratorium dapat menjadi prediktor bagi outcome (GOS dan NRS) pada penderita trauma kapitis.


(42)

I.5. MANFAAT PENELITIAN

Dengan mengetahui peranan PTA dan parameter laboratorium sebagai prediktor bagi outcome, maka dapat dijadikan pegangan khususnya bagi para dokter untuk perencanaan rehabilitasi sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup penderita yang mengalami trauma kapitis dan umumnya bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai perencanaan biaya apakah akan sesuai dengan outcome yang didapat.


(43)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. TRAUMA KAPITIS II.1.1. Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006).

II.1.2. Epidemiologi

Insiden trauma kapitis di negara-negara berkembang adalah 200/100.000 populasi per tahun. Dalam satu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa insiden dari trauma kapitis sekitar 180-250/100.000 populasi per tahun di Amerika Serikat. Insiden lebih tinggi di Eropa dari 91/100.000 populasi per tahun di Spanyol hingga 546 /100.000 di Swedia, di Southern Australia 322/100.000 dan di Afrika Selatan 316/100.000 (Bondanelli dkk, 2005).

Di Indonesia data epidemiologi secara nasional belum ada. Di ruang rawat neurologi RSCM Jakarta, dari tahun ketahun terdapat peningkatan. Pada tahun 1994 jumlah penderita dirawat 1002 orang. (Musridharta dkk, 2006)

Insiden tertinggi penderita trauma kapitis ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun atau 75 tahun lebih, sedangkan pada anak insiden


(44)

puncaknya pada usia kurang dari 5 tahun. Angka insiden untuk pria dua kali lebih sering dibanding wanita dengan ratio tertinggi pada remaja dan dewasa muda, dan range dari 1,2 :1 sampai 4,4 :1 dalam populasi yang berbeda (Bondanelli dkk , 2005).

II.1.3. Klasifikasi

Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan berbagai pertimbangan dari berbagai aspek maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut : (PERDOSSI, 2006)

1. Patologi :

1.1. Komosio serebri 1.2. Kontusio serebri 1.3. Laserasio serebri 2. Lokasi lesi

2.1. Lesi diffus

2.2. Lesi kerusakan vaskuler otak 2.3. Lesi fokal

2.3.1. Kontusio dan laserasi serebri 2.3.2.Hematoma intrakranial

2.3.2.1. Hematoma ekstradural (hematoma epidural) 2.3.2.2. Hematoma subdural

2.3.2.3. Hematoma intraparenkhimal 2.3.2.3.1. Hematoma subarakhnoid 2.3.2.3.2. Hematoma intraserebral


(45)

2.3.2.3.3. Hematoma intraserebellar

3. Derajat kesadaran berdasarkan SKG :

Kategori SKG Gambaran Klinik CT Scan

otak Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologi (-) Normal Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit, defisit neurologi (-) Normal Sedang 9-12 Pingsan > 10 menit s/d 6 jam, defisit neurologi (+) Abnormal Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit neurologi (+) Abnormal

Beratnya trauma kapitis secara klinis juga didefenisikan dengan lamanya kehilangan kesadaran, kehilangan memori segera sesudah kejadian, atau sesudah cedera (PTA) dan identifikasi lesi intrakranial (Bondanelli dkk, 2005).

Trauma kapitis dapat juga digolongkan sebagai resiko rendah, sedang atau resiko tinggi berdasarkan faktor resiko dan perkembangan penilaian awal neurologis (tabel 1) (Mayer dan Rowland, 2000)


(46)

Tabel 1. Stratifikasi resiko pada penderita dengan cedera kepala Kategori resiko Karakteristik

Ringan Pemeriksaan neurologi normal Tidak ada contusio

Tidak ada intoksikasi obat atau alkohol Dapat mengeluh nyeri kepala dan dizziness

Dapat dijumpai abrasi scalp, laserasi atau hematoma

Tidak ada kriteria trauma sedang atau berat Sedang SKG 9-14 (bingung, lethargi, stupor)

Concussion

Posttraumatic amnesia

Muntah

Seizure

Kemungkinan tanda basiler atau fraktur tengkorak yang menekan atau cedera wajah serius

Intoksikasi obat atau alkohol

Tidak ada riwayat cedera atau riwayat tidak jelas Usia < 2 tahun atau kemungkinan child abuse Berat SKG 3-8 (koma)

Penurunan progresif tingkat kesadaran Tanda neurologik fokal

Cedera penetrasi tengkorak atau fraktur tengkorak

Dikutip dari : Mayer SA, Rowland LP. Head Injury. In: Rowland LP, editor. Merritt’s Neurology. 10th ed.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p.401-6.


(47)

II.1.4. Patofisiologi

Patologi kerusakan otak akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan atas dua stadium yaitu cedera primer dan sekunder (Gilroy, 2000; Marik dkk, 2002; Hemphill, 2005).

II.1.4.1. Cedera kepala primer (

Primary Brain Injury

)

Cedera kepala primer merupakan hasil dari kerusakan mekanikal langsung yang terjadi pada saat kejadian trauma (Marik dkk, 2002). Cedera primer dihasilkan oleh tekanan akselerasi dan deselerasi yang merusak kandungan intrakranial oleh karena pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak (Gilroy, 2000 ; Rizzo, 2002). Patofisiologi cedera kepala primer dapat dibedakan menjadi lesi fokal dan lesi difus. Cedera kepala fokal (focal brain injury) khas berhubungan dengan pukulan terhadap kepala yang menimbulkan kontusio serebral dan hematoma. Cedera fokal mempengaruhi morbiditas dan mortalitas berdasarkan lokasi, ukuran dan progresifitasnya (Marik dkk, 2002).

Cedera aksonal difus (diffuse axonal injury) disebabkan oleh tekanan inersial yang sering berasal dari kecelakaan sepeda motor. Pada praktisnya, diffuse axonal injury dan focal brain lesions sering terjadi bersamaan (Marik dkk, 2002; Ropper dan Brown, 2005).

Yang termasuk tipe dari cedera kepala primer ini diantaranya fraktur tengkorak, epidural hematoma, subdural hematoma, intraserebral hematoma dan diffuse axonal injury (DAI) (Marik dkk, 2002).


(48)

II.1.4.2. Cedera kepala sekunder (Secondary Brain Injury)

Cedera kepala sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal (Marik dkk, 2002).

Faktor sekunder akan memperberat cedera kepala dikarenakan hasil shearing pada laserasi otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi intrakranial, pengurangan cerebral blood flow (CBF), iskemik, hipoksia dan lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron (Gilroy, 2000).

Sejumlah substans biokemikal telah terbukti memiliki peranan dalam perkembangan cedera neural setelah cedera kranioserebral. Substan ini meliputi asam amino eksitatori glutamat dan aspartat, sitokin dan radikal bekas (Marik dkk, 2002).

II.2. POSTTRAUMATIC AMNESIA II.2.1. Definisi dan Deskripsi

Post traumatic amnesia didefinisikan pertama kali oleh Russell dan Smith sebagai periode setelah trauma kapitis dimana informasi tentang kejadian yang berlangsung tidak tersimpan (Levin,1997; Ellenberg dkk,1996) Russel dan Smith kemudian memperhalus konsep PTA untuk memfokuskan pada gangguan penyimpanan informasi kejadian yang berlangsung (Levin,1997).

Dalam istilah neuropsikologi kognitif, PTA adalah suatu gangguan pada memori episodik yang digambarkan sebagai ketidakmampuan


(49)

pasien untuk menyimpan informasi kejadian yang terjadi dalam konteks temporospatial yang spesifik. Akan tetapi, fase penyembuhan dini setelah gangguan kesadaran juga dikarakteristikkan oleh gangguan atensi dan perubahan behavioral yang bervariasi dari mulai letargi sampai dengan agitasi (Levin,1997 ; Ellenberg dkk,1996).

Posttraumatic Amnesia adalah suatu gangguan mental yang dikarakteristikkan oleh disorientasi, gangguan atensi, kegagalan memori kejadian dari hari ke hari, ilusi, dan salah dalam mengenali keluarga, teman dan staf medis (May dkk, 1992).

II.2.2. Patofisiologi

Dasar patologi dari PTA masih tidak jelas, meskipun korelasinya terhadap MRI terlihat mengindikasikan sesuatu yang berasal dari hemisfer dibanding dengan diencephalic (Greenwood, 1997).

Memori dan new learning dipercaya melibatkan korteks serebral, proyeksi subkortikal, hippocampal formation (gyrus dentatus, hipokampus, gyrus parahippocampal), dan diensefalon, terutama bagian medial dari dorsomedial dan adjacent midline nuclei of thalamus. Sebagai tambahan, lesi pada lobus frontalis juga dapat menyebabkan perubahan pada

behavior, termasuk iritabilitas, aggresiveness, dan hilangnya inhibisi dan

judgment. Sekarang ini, telah didapati bukti adanya keterlibatan lobus frontalis kanan pada atensi (Cantu, 2001).

Trauma kapitis dapat bersifat primer maupun sekunder. Cedera primer dihasilkan oleh tekanan akselerasi dan deselerasi yang merusak


(50)

kandungan intrakranial oleh karena pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak. Akan tetapi, faktor yang paling penting pada cedera otak traumatik adalah shearing yang berupa tekanan rotasi yang cepat dan berulang terhadap otak segera setelah trauma kapitis. Concussion

mengakibatkan tekanan shearing yang singkat dan penyembuhan komplet. Jika tekanan shearing lebih banyak dan berulang, kerusakan akson pun menjadi lebih banyak, durasi hilangnya kesadaran lebih panjang dan penyembuhan melambat. Dalam praktek, gambaran klinisnya adalah koma yang diikuti dengan PTA. Oleh karena itu tingkat keparahan trauma kapitis tertutup dapat dinilai dengan durasi koma dan PTA. Sedangkan suatu contusion adalah suatu trauma yang lebih luas terhadap otak dimana robekan jaringan yang memperlihatkan tekanan shearing

dengan gangguan akson yang disebabkan oleh axonal shearing dan injury

terhadap otak dengan dampak ke permukaan tulang : bagian medial, ujung dan dasar lobus frontalis dan bagian anterior dari lobus temporalis paling sering terlibat. Area yang rusak adalah berbentuk kerucut dengan dasar pada permukaan otak, terutama mengenai lapisan pertama dari korteks (Gilroy, 2000).

II.2.3. Klasifikasi

Posttraumatic amnesia dapat dibagi dalam 2 tipe. Tipe yang pertama adalah retrograde, yang didefinisikan oleh Cartlidge dan Shaw, sebagai hilangnya kemampuan secara total atau parsial untuk mengingat kejadian yang telah terjadi dalam jangka waktu sesaat sebelum trauma


(51)

kapitis. Lamanya amnesia retrograde biasanya akan menurun secara progresif. Tipe yang kedua dari PTA adalah amnesia anterograde, suatu defisit dalam membentuk memori baru setelah kecelakaan, yang menyebabkan penurunan atensi dan persepsi yang tidak akurat. Memori anterograde merupakan fungsi terakhir yang paling sering kembali setelah sembuh dari hilangnya kesadaran (Cantu, 2001).

II.3. OUTCOME

Perkiraan outcome setelah terjadinya trauma kapitis merupakan suatu masalah yang sangat besar, terutama pada pasien dengan trauma yang serius (Mayer dan Rowland, 2000). Evaluasi outcome fungsional setelah keluar dari rumah sakit pada individu dengan acquired brain injury

(ABI) menjadi bagian penting suatu program rehabilitasi. Evaluasi merupakan jalan terbaik untuk mengukur keefektifan pengobatan sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk rehabilitasi. Banyak faktor yang telah mempengaruhi outcome. Terlepas dari tehnik dan metode yang digunakan pada rehabilitasi akut dan post-akut, outcome

pasien pada saat masuk ditentukan oleh variabel: skor SKG pada saat masuk, length of coma (LOC), lamanya PTA, dukungan keluarga dan tingkat sosio-ekonomi (Leon-Carrion, 2006). Dalamnya koma, penemuan CT, dan umur merupakan variabel demografi dan medis yang paling prediktif untuk late outcome (Wartenberg dan Mayer, 2007; Mayer dan Rowland, 2000). Faktor prognostik yang lain adalah respon pupil,


(52)

hipotensi atau hipoksemia pada saat masuk, dan peninggian tekanan intrakanial yang menetap (Mayer dan Rowland, 2000).

II.4. INSTRUMEN

II.4.1. Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG)

Di antara beberapa penilaian PTA yang tersedia sekarang, TOAG adalah yang paling banyak digunakan (Frey dkk, 2007). Penilaian ini pendek dan mudah digunakan. Penilaiannya terdiri dari sejumlah poin yang ditambahkan ketika menjawab dengan benar atau jumlah kesalahan. Skor yang mendekati angka 100 , berarti fungsi masih terjaga. Tes ini dapat diberikan beberapa kali dalam sehari, meskipun pada hari yang berturut-turut. Sehingga dapat dibuat grafik untuk menggambarkan perjalanan kapasitas dari mulai waktu tertentu sampai orientasi total tercapai. Pengarang dari test ini percaya bahwa tes ini sesuai bagi seorang pasien untuk memulai pemeriksaan kognitif ketika skor 75 atau lebih dicapai pada tes ini yang mengindikasikan pasien tidak konfusion dan disorientasi lagi (Leon-Carrion dkk, 2006).

Akan tetapi validitas dan reabilitas TOAG dan statusnya sebagai ”gold standard” dalam penilaian PTA masih suatu subjek yang diperdebatkan (Frey dkk, 2007).


(53)

II.4.2. Parameter Laboratorium II.4.2.1. Glukosa

Bukti yang paling kuat dari nilai prognostik dari parameter laboratorium terdapat pada glukosa, dengan kadar yang tinggi dikaitkan dengan outcome yang jelek. Peranan kadar glukosa darah pada patofisiologi kerusakan neuronal setelah trauma kapitis belum jelas (Kinoshita dkk, 2002).

Mekanisme yang mendasari perburukan kerusakan adalah multifaktorial. Peningkatan pembentukan laktat dan H+ mengakitbatkan penurunan pH intraseluler dan ekstraseluler sebagai konsekuensi dari iskemia. Kadar laktat yang meningkat juga akan mempengaruhi glial dan endotel kapiler, menyebabkan gangguan vaskular (Kinoshita dkk, 2002). Hiperglikemi dikaitkan dengan laktat serebral yang meningkat dan mengakibatkan asidosis pada jaringan otak lokal. Asidosis jaringan otak memperburuk fungsi mitokondria pada penumbra, jaringan otak yang mengalami iskemi sedang yang terletak di sekitar pusat trauma, dan meningkatkan ukuran infark serebral (Paolino dan Garner, 2005)

Rosner dkk telah berspekulasi bahwa hiperglikemi dan peningkatan katekolamin darah dikaitkan secara sebab-akibat. Katekolamin dan glukagon menstimulasi pecahnya glikogen yang tersimpan di hati menjadi glukosa. Bessey dkk telah menunjukkan pada manusia normal terdapat tiga hormon infus (glukagon, katekolamin, dan kortisol) yang menyebabkan hiperglikemi seperti yang terlihat pada stres sedang atau


(54)

berat. Katekolamin meningkatkan sekresi glukagon dan menginhibisi sekresi insulin setelah trauma dan stres (cit. Young dkk, 1989).

Proses inflamasi dipercaya berperan dalam patogenesis trauma kepala melalui mekanisme sekunder (Kinoshita dkk, 2002).

Charian dkk dengan yakin menunjukkan pada hewan percobaan bahwa dampak trauma pada kortikal diikuti oleh iskemik dengan adanya hiperglikemi yang secara signifikan meningkatkan volume otak iskemik, volume kontusio dan mortalitas dan penurunan outcome fungsonal pada penderita (cit Atkinson, 2000).

II.4.2.2. Natrium (Na+) dan Kalium (K+)

Pick dkk menemukan bahwa gangguan elektrolit sering terjadi pada pasien trauma kapitis yang dirawat di unit perawatan intensif (59.3%), tetapi tidak ditemukan hubungan secara independen dengan

outcome yang tidak memuaskan (cit Van Beek dkk, 2007).

Van Beek dkk (2007) telah menemukan bahwa hiponatremi adalah kejadian yang relatif jarang pada saat masuk setelah trauma kapitis, tetapi hiponatremi dikaitkan dengan outcome yang jelek.

Hiponatremi dapat berkembang pada stadium yang berbeda melalui mekanisme yang berbeda. Pada periode awal post trauma, dalam 2 hari pertama setelah trauma, kadar Na+ yang rendah mungkin disebabkan intake cairan hipotonis yang berlebihan. Pada stadium lanjut, hiponatremi dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar anti-diuretic hormone (ADH) dan retensi cairan sebagai respon terhadap stress


(55)

[syndrome of inappropriate ADH secretion (SIADH)] (Selladurai dan Reilly, 2007).

Hiponatremi dapat menyebabkan cellular swelling, peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan brain shift. Data percobaan menyatakan bahwa hiponatremi dapat mempotensiasi cedera otak sekunder pada kontusio fokal dan DAI. Selain itu dapat menyebabkan resiko vasospasm simptomatik pada pasien dengan perdarahan subarakhnoid (PSA) (Selladurai dan Reilly, 2007).

Pada pasien trauma kapitis, banyak faktor yang dapat menyebabkan hipernatremi, termasuk central diabetes insipidus,

dehidrasi, demam, dan diuresis osmotik, terutama dengan penggunaan

osmotic agents untuk menurunkan TIK. Insiden central diabetes insipidus

setelah trauma kapitis berat telah dilaporkan sebesar 3%. Hal ini berkaitan erat dengan fraktur basis kranii dan mungkin faktor penyebab outcome

jelek (Selladurai dan Reilly, 2007).

Selain itu, Abraham dkk (2000) juga telah melakukan suatu studi dimana pada hasil laboratorium yang diperoleh pada saat masuk, hasil tes K+ darah, pH dan glukosa berkorelasi secara signifikan dengan prognosis.

Hipokalemi sering terjadi pada pasien dengan trauma kapitis berat di ruang perawatan intensif dan disebabkan oleh peningkatan hilangnya urin, terutama dengan penggunaan osmoterapi, intake harian yang tidak adekuat atau ekspansi volume plasma. Pasien dengan hipokalemi ringan (3-3,4 mmol/L) dapat asimptomatik. Hipokalemi yang lebih berat dapat


(56)

disebabkan oleh nausea, muntah, kelemahan, konstipasi, paralisa otot, pernafasan, dan rhabdomyolysis (Selladurai dan Reilly, 2007).

II.4.2.3. pH

pH arteri yang rendah pada saat masuk pada trauma kapitis terlihat sebagai suatu marker akibat sekunder, mencerminkan baik hipoventilasi saat ini maupun sesungguhnya berbarengan dengan hipoksia atau asidosis sistemik yang mengikuti hipotensi (Van Beek dkk, 2007).

Van Beek dkk (2007) menganggap pH kurang sensitif untuk mengakibatkan resusitasi dan stabilisasi dini dibanding pO2 atau pCO2 arterial. Prioritas pertama pasien trauma kapitis pada saat masuk adalah untuk memastikan respirasi yang adekuat dan mendapatkan stabilitas hemodinamik. Olehkarena itu, arterial blood gasses hanya diambil setelah stabilisasi primer. Akan tetapi, pH juga dihubungkan dengan outcome

yang jelek jika melewati nilai normal.

Hubungan antara pH arterial dan outcome belum pernah menjadi subjek penelitian sebelumnya, tetapi hubungan yang pernah dilaporkan berkaitan dengan pH jaringan otak, pH pada darah vena jugular, dan

outcome (Van Beek dkk, 2007).

II.4.2.4. Hemoglobin (Hb)

Pada trauma kapitis akut, Hb yang rendah dapat diakibatkan oleh hilangnya darah atau pemberian cairan yang berlebihan. Sebagai konsekuensinya, kapasitas pembawa oksigen dari darah menurun, yang


(57)

berpotensi meningkatkan resiko untuk kerusakan iskemik sekunder pada waktu cerebral blood flow telah terganggu. Akan tetapi Hb yang tinggi akan meningkatkan viskositas dan membahayakan perfusi (Van Beek dkk, 2007).

II.4.2.5. Koagulopati

Kepentingan koagulopati pada trauma kapitis telah semakin dikenal. Bagaimanapun patofisiologinya adalah kompleks: hilangnya darah disebabkan oleh trauma kranial atau sistemik yang menginduksi diatesis perdarahan oleh deplesi trombosit dan faktor pembekuan. Sebaliknya, trauma kapitis dapat menginduksi suatu keadaan hiperkoagulasi, baik secara sistemik maupun lokal pada penumbra dari suatu kontusio dengan mengeluarkan suatu pro-coagulant tissue factor. Peningkatan konsentrasi plasma dari FDP dan plasmin-g-2-plasmin inhibitor dan penurunan kadar fibrinogen dihubungkan dengan suatu persentase outcome tidak memuaskan yang lebih tinggi setelah trauma. Berbagai studi telah menunjukkan suatu hubungan antara koagulopati dan

outcome yang jelek pada trauma kapitis (Van Beek dkk, 2007).

II.4.3. CT scan kepala

CT scan kepala merupakan pemeriksaan yang mendasar dalam

mengevaluasi penderita trauma kapitis. Literatur secara umum menyarankan pemeriksaan CT scan pada semua kasus trauma kapitis termasuk derajat ringan yang paling kurang dijumpai minimal satu kriteria


(58)

berikut : kehilangan kesadaran, PTA, confusion, atau gangguan kewaspadaan (alertness) (Cushman dkk, 2001).

Marshall dkk telah mengembangkan klasifikasi trauma kapitis berdasarkan tingkat keparahan dari trauma kapitis berdasarkan gambaran

CT-Scan dan MRI (Lovasik dkk, 2001). Klasifikasi ini berdasarkan adanya lesi fokal atau diffuse pada gambaran CT-Scan (Tateno dkk, 2003).

Beberapa studi terdahulu melaporkan bahwa gambaran Head CT-Scan merupakan salah satu prediktor terpenting pada penderita trauma kapitis (Wardlaw dkk, 2002; Srinivasan, 2006).

Levin dkk juga melaporkan semakin dalam letak lesi maka semakin buruk outcome yang diperiksa dengan Glasgow Outcome Scale dan

Vineland Adaptive Behavioral Scale (Blackman dkk, 2003).

II.4.4. Glasgow Outcome Scale (GOS)

Glasgow Outcome Scale adalah skala tertua yang digunakan untuk mengukur outcome setelah trauma kapitis dan juga digunakan secara luas sebelum timbul skala baru. Glasgow Outcome Scale diciptakan oleh Jennet dkk pada tahun 1975 dan extended version diperkenalkan pada tahun 1998 oleh Wilson dkk. Glasgow Outcome Scale dan Glasgow Outcome Scale Extended (GOSE) dipakai untuk mengalokasikan orang-orang yang menderita cedera otak akut dari cedera otak traumatik dan non-traumatik ke dalam kategori outcome yang lebih luas. Skala ini menggambarkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan; yang difokuskan pada bagaimana trauma


(59)

mempengaruhi fungsi pada kehidupan dibanding hanya defisit dan gejala yang ditimbulkan oleh trauma (Leon-Carrion, 2006).

Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut: (Leon-Carrion, 2006; Capruso dan Levin, 1996)

1. Meninggal

2. Vegetative state: tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognitif yang ditunjukkan oleh hilangnya komunikasi total; yang menyatakan bahwa korteks serebral tidak berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien pada vegetative state memiliki respon buka mata, gerakan bola mata, dan siklus tidur/bangun. Meskipun pasien pada vegetative state dapat menunjukkan berbagai aksi motorik yang yang refleksif, kebiasaan ini tidak dapat menunjukkan kesadaran. Meskipun pasien bangun, tetapi mereka tidak waspada.

3. Disabilitas berat: sadar tetapi pasien yang membutuhkan pertolongan termasuk dalam kategori ini. Meskipun tingkat ketergantungan bervariasi, yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien yang tergantung pada seorang caregiver pada seluruh aktifitas sepanjang hari. Pada beberapa pasien, fungsi kognitif dan fisik masik relatif utuh, tetapi pasien sangat disinhibisi atau apatis sehingga mereka tidak meninggalkan perlengkapan pribadi mereka. Pasien yang tidak dapat ditinggal sendiri dan merawat diri mereka sendiri selama interval 24 jam termasuk dalam kategori ini.

4. Disabilitas sedang: pasien yang tidak membutuhkan pertolongan tetapi tidak mampu termasuk dalam kategori ini. Meskipun mereka dapat


(60)

tinggal sendiri, tetapi pasien ini memiliki tingkat kecacatan fisik dan kognitif yang membatasi mereka dibandingkan tingkat kehidupan sebelum trauma. Banyak pasien pada kategori ini kembali bekerja, meskipun dalam pekerjaan mereka diberikan kelonggaran khusus dan asisten untuk mereka, dan mereka tidak dapat memikul perkerjaan sebesar tanggung jawab mereka sebelum sakit.

5. Perbaikan baik : pasien tidak bergantung dimana mereka dapat kembali ke pekerjaan atau aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya keterbatasan mayor masuk dalam kategori ini. Pasien ini dapat memiliki defisit neurologi atau kognitif yang menetap sampat tingkat ringan, tetapi defisit ini tidak mengganggu keseluruhan fungsi mereka. Pasien ini kompeten bersosialisasi dan mampu membawa diri mereka secara adekuat dan tanpa perubahan kepribadian yang berarti.

Tingkatan ini dapat dikelompokkan menjadi outcome jelek (GOS 1-3) dan outcome baik (GOS 4-5) (Leon-Carrion, 2006).

II.4.5. Neurobehavioral Rating Scale (NRS)

Neurobehavioral Rating Scale pada awalnya dikembangkan untuk memeriksa perubahan behavior akibat trauma. Berdasarkan ”suatu wawancara yang berstruktur” yang menitikberatkan pada laporan pasien sendiri terhadap simtom dan gejala, self-appraisal, planning, dan beberapa aspek tertentu dari fungsi kognitif, meliputi orientasi, memori,

reasoning, dan atensi, pemeriksa mengevaluasi respon spesifik dan penggabungan dengan observasi behavioral untuk menentukan level


(61)

pasien dari tiap-tiap 27 subskala, dengan memilih 1 dari 7 tingkatan, berkisar dari 1 = tidak ada sampai dengan 7 = sangat berat. Total skor dari NRS merupakan penjumlahan dari skor 27 subskala (Desmond, 2000; Masur dkk, 2004).

Suatu studi telah menguji reability dan validity dari NRS, baik pada awal maupun tahap lanjut dari trauma kapitis terhadap 101 penderita dengan trauma kapitis tertutup. Neurobehavioral Rating Scale telah memperlihatkan interrater reliability yang memuaskan pada studi ini. Pemeriksaan NRS memiliki korelasi baik terhadap tingkat keparahan trauma maupun tingkat kronisitas dari trauma kapitis. Peneliti menyebutkan sampai saat ini hanya NRS yang telah divalidasi untuk pemeriksaan neurobehavior pada penderita trauma kapitis tertutup (Masur dkk, 2004).


(62)

II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL

Trauma Kapitis Parameter Laboratorium

Cedera otak primer Cedera otak sekunder Axonal shearing Kerusakan komponen kortikal / subkortikal

Posttraumatic amnesia (PTA)

Outcome

Murray dkk (2007) umur, SKG (M), respon pupil, CT, hipotensi, hipoksia & glukosa å prediktor penting

Abraham dkk (2000) potassium darah, pH, KGD å prognosis signifikan Chiaretti dkk (2001)

SKG, tipe trauma & lesi otak, koagulasi abnormal å prediktor GOS

Bayir dkk (2006)

SKG ,marker fibrinolitik 3 jam pertama åprognosis

Paolino & Garner (2005) KGD saat masuk åoutcome

neurologi buruk

Van Beek dkk (1997) Hb åoutcome jelek

Umur

Naalt dkk (1999) PTA åoutcome Cedera kepala ringan

CT scan

Ellenberg dkk (1996) PTA å jumlah lesi otak di hemisfer & jumlah daerah otak sentral dengan lesi Cantu (2001)

Memori & new learningå

korteks serebral, proyeksi subkortikal, hippocampal formation & diensefalon

Glasgow Outcome Scale Neurobehavioral Rating Scale

sex pendidikan

Machamer dkk (2003)

SKG, pendidikan, usia tua, sex, ras å prediktor signifikan outcome

behavior Feinstein dkk (2002)

PTA >>åPTSD reaction type >>


(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan mulai tanggal 28 Nopember 2007 – 16 Maret 2008.

III.2. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien yang dirawat di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode non random sampling secara konsekutif.

Populasi sasaran

Semua penderita trauma kapitis yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan Head CT-Scan.

Populasi terjangkau

Semua penderita trauma kapitis ringan-sedang yang dirawat di ruang rawat inap terpadu (Rindu) A4 Departemen Neurologi RSUP H.Adam Malik Medan.


(64)

Besar Sampel

Ukuran sampel dihitung menurut rumus (Madiyono dkk,2002) :

2 2

. d

q p Z

n = α

zα = nilai baku normal berdasarkan nilai α yang telah ditentukan =1,96 p = proporsi å 0.84(Proporsi di RSHAM tahun 2006)

q = 1 – p = 0.16 d = 10 %

n ≥ (1.96)2 (0.84) (0.16) (0.10)2 n ≥ 51.6 ≈ 52

Jumlah sampel minimal 52 kasus.

Kriteria inklusi :

1. Semua penderita trauma kapitis akut ringan-sedang yang datang dalam 48 jam setelah trauma dan dirawat di Bangsal Neurologi Rindu A4 RSUP. H. Adam Malik Medan

2. Usia 15-65 tahun

3. Memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian ini


(65)

1. Penderita dengan riwayat masuk ke rumah sakit dengan trauma kapitis sebelumnya

2. Penderita dengan adiksi alkohol atau obat-obatan

3. Penderita dengan penyakit psikiatri atau mental retardasi 4. Penderita dengan afasia

5. Penderita yang menggunakan obat kortikosteroid dan fenitoin 6. Penderita dengan riwayat stroke, demensia, dan mild cognitive

impairment (MCI)

III.3. BATASAN OPERASIONAL III.3.1. Trauma kapitis

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006).

III.3.2. Trauma kapitis ringan

Trauma kapitis ringan adalah SKG 13 – 15, CT Scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi operatif, rawat rumah sakit < 48 jam, amnesia pasca trauma (APT) < 1 jam (PERDOSSI, 2006).


(66)

III.3.3. Trauma kapitis sedang

Trauma kapitis sedang adalah SKG 9 – 12 dan dirawat > 48 jam, atau SKG > 12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau abnormal CT-

Scan, pingsan > 30 menit – 24 jam, APT 1 – 24 jam (PERDOSSI, 2006).

III.3.4. Skala Koma Glasgow (SKG)

Skala Koma Glasgow adalah suatu skala yang digunakan secara luas sebagai pengukuran klinis semikuantitatif dari tingkat kesadaran berdasarkan keadaan buka mata dan respon verbal dan motorik penderita (Mayer dan Rowland, 2000).

Skala Koma Glasgow yang digunakan pada penelitian ini adalah nilai SKG orang dewasa (PERDOSSI, 2006) :

Penjumlahan dari komponen Mata + Verbal + Motorik - Jumlah minimal 1 + 1 + 1 = 3 å koma dalam


(67)

Tabel 2 . Skala Koma Glasgow Buka Mata

Nilai > 1 tahun

4 Spontan 3 Dengan perintah verbal 2 Dengan nyeri 1 Tidak ada respon Respon Motorik Terbaik Nilai > 1 tahun

6 Menurut perintah 5 Dapat melokalisasi nyeri 4 Fleksi terhadap nyeri

3 Fleksi abnormal (dekortikasi) 2 Ekstensi (deserebrasi) 1 Tidak ada respon

Respon Verbal Terbaik Nilai > 5 tahun

5 Orientasi baik dan berbicara

4 Disorientasi dan berbicara 3 Kata-kata yang tidak tepat;

menangis

2 Suara yang tidak berarti 1 Tidak ada respon

Dikutip dari : PERDOSSI. 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal . PERDOSSI. Jakarta.

Berdasarkan nilai SKG, trauma kapitis dibedakan atas : (Sjahrir, 1994; Marik dkk,2002).

1. Trauma Kapitis Ringan (mild head injury). Skor SKG : 13-15. 2. Trauma Kapitis Sedang (moderate head injury). Skor SKG : 9-12. 3. Trauma Kapitis Berat (severe head injury). Skor SKG : ≤ 8.

III.3.5. CT – Scan otak

CT-Scan yang akan digunakan adalah X-ray CT system, merk Hitachi seri W450. Pengukuran mean volume ditentukan dengan metode


(68)

estimator volume dari software computer analisa, dengan ketebalan pemotongan/slice 5 – 10 mm. Hasilnya akan dibaca oleh Dokter Spesialis Radiologi.

Penilaian gambaran CT-Scan otak dikelompokkan menjadi (Wardlaw dkk, 2002) :

- Normal.

- Mild focal injury (misalnya dijumpai adanya kontusio kecil pada hanya satu area di otak).

- Medium focal injury (dijumpai beberapa kontusio pada 1 atau 2 area yang berdekatan di otak, atau dijumpai subdural hematom/epidural hematom kecil.

- Mild/moderate diffuse (beberapa kontusio kecil atau hematom tapi tidak pada daerah yang berdekatan, tapi sebagian besar otak kelihatannya normal.

- Massive focal injury (epidural/subdural hematom besar atau kontusio berat atau parenchymal hematomas).

- Massive diffuse injury (dijumpai edema otak menyeluruh atau banyak kontusio di beberapa area.

III.3.6. Lokasi lesi

Lokasi lesi pada gambaran CT-Scan otak dikelompokkan menjadi (Tateno dkk, 2003) :


(69)

Diffuse lesion

Left hemisphere

Frontal lobe lesion

Setelah itu lokasi lesi juga dikelompok berdasarkan perbedaan hemisfer menjadi: hemisfer kiri, hemisfer kanan, hemisfer kanan/kiri dan tidak ada lesi.

III.3.7. Post Traumatic Amnesia (PTA)

Posttraumatic amnesia adalah periode setelah trauma kapitis dimana informasi kejadian yang sedang berlangsung tidak tersimpan (Ellenberg dkk, 1996).

Dalam istilah neuropsikologi kognitif, PTA adalah suatu gangguan pada memori episodik yang digambarkan sebagai ketidakmampuan pasien untuk menyimpan informasi kejadian yang terjadi dalam konteks temporospatial yang spesifik (Levin,1997 ; Ellenberg dkk,1996).

Periode PTA adalah waktu antara mendapat trauma kapitis dan permulaan memori kembali normal (King dkk, 1997).

Periode PTA adalah jumlah hari dimulai dari saat berakhirnya koma sampai dengan saat pasien 2 kali sukses mencapai skor TOAG di atas atau sama dengan 75 (0-100) selama di rumah sakit (Ellenberg dkk, 1996).


(70)

Registrasi PTA dimulai sesegera mungkin setelah pasien sadar kembali dan mampu berkomunikasi (dengan skor verbal 4 pada SKG) (Naalt dkk, 1999).

III.3.8. Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG)

Test Orientasi dan Amnesia Galveston adalah instrumen yang dipakai secara serial untuk menilai durasi PTA, terdiri dari orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu, mengingat kembali keadaan pada saat dirawat, dan memori pertama setelah trauma dan terakhir sebelum trauma. Test Orientasi dan Amnesia Galveston diberikan setiap hari selama 7 hari pertama setelah sadar kembali dan kira-kira 2 sampai 3 kali perminggu (Ellenberg dkk, 1996).

Berdasarkan data TOAG, PTA kemudian dikelompokkan menurut kriteria Russel dan Smith sebagai berikut : ringan :< 1 jam, sedang : ≥ 1 - < 24 jam,berat : ≥ 24 jam - ≤ 7 hari, sangat berat : > 7 hari (Greenwood, 1997).

III.3.9. Parameter Laboratorium

Parameter laboratorium yang termasuk dalam analisis penelitian ini adalah kadar hemoglobin, kadar glukosa darah (KGD) ad random, trombosit, elektrolit termasuk Na+ dan K+, analisa gas darah (pH), dan PT, TT dan aPTT, yang diperiksa saat masuk rumah sakit (Bayir, 2006).

Pemeriksaan parameter laboratorium seperti hemoglobin, trombosit, KGD ad random, sodium, potassium, pH, dan PT, TT dan aPTT


(71)

pada penderita trauma kapitis dilakukan di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran – Universitas Sumatera Utara (FK-USU) / RSUP H.Adam Malik Medan.

̇ Kadar hemoglobin dan trombosit diperiksa dengan menggunakan alat

Cell Dyn 3700, merk Abboth.

̇ Kadar glukosa darah adrandom diperiksa dengan menggunakan alat

Cobas Integra 400 plus, merk Roche dan Automatic analyzer 902, merk Hitachi.

̇ Kadar Na+ dan K+ diperiksa dengan menggunakan alat 9180

Electrolyte Analyzer, merk Roche.

̇ pH diukur dengan alat Rapid Lab, merk Bayer dan Nova biomedical.

̇ Faal koagulasi yang meliputi PT, TT, dan aPTT diperiksa dengan alat

Organon Teknika dan Coag-A-Mate MTX.

Batas atas dan bawah masing-masing variabel ditentukan berdasarkan kriteria berikut : Hb ( nilai normal : 13-18 gr/dL, 12-16 gr/dL), KGD ad random (nilai normal: < 200 mg/dL), elektrolit ; Na+ (nilai normal : 136-145 mEq/L), K+ (nilai normal : 3-4.5 mEq/L), pH (nilai normal : 7.38-7.44 ), trombosit (nlai normal : 130.000 – 400.000/mm3), PT,TT, aPTT (nilai normal : dibandingkan dengan kontrol yang sesuai dengan regensia) (Braunwald dkk, 2001).


(72)

III.3.10. Glasgow Outcome Scale (GOS)

Glasgow Outcome Scale adalah skala tertua yang digunakan untuk mengukur outcome setelah trauma kapitis dan juga digunakan secara luas sebelum timbul skala baru (Leon-Carrion, 2006).

Glasgow Outcome Scale dari Jennet dan Bond yang terdiri dari

good recovery, moderate disability, severe disability, persistent vegetatif state, atau death (Ellenberg dkk,1996).

Tingkatan ini dapat dikelompokkan menjadi outcome jelek (GOS 1-3) dan outcome baik (GOS 4-5) (Leon-Carrion, 2006).

III.3.11. Neurobehavioral Rating Scale (NRS)

Neurobehavioral Rating Scale adalah instrumen “a multi-dimensional clinical” yang dirancang dan telah divalidasi untuk pemeriksaan gangguan neurobehavior akibat trauma kapitis (Levin dkk, 1992 ; Lippert-Gruner dkk, 2006).

Neurobehavioral Rating Scale terdiri dari 4 komponen dasar yaitu

cognition/energy meliputi cognitive processing behavioral slowing dan

emotional withdrawal; metacognition meliputi inaccurate self-appraisal,

unrealistic planning dan disinhibition; somatic concern/anxiety meliputi keluhan fisik, ansietas, depresi dan iritabilitas; dan bahasa meliputi fungsi bahasa reseptif dan ekspresif (Desmond, 2000).


(1)

8. Disinhibisi

Komentar dan atau tindakan sosial yang tidak tepat, atau tidak sesuai dengan situasi, gejolak amarah.

9. Rasa bersalah

Menyalahkan diri sendiri, rasa malu, menyalahkan tindakan di masa lampau.

10. Defisit memori

Kesulitan untuk mempelajari informasi baru, cepat melupakan kejadian yang baru saja terjadi, walaupun ingata segera (urutan deret angka ke depan) mungkin baik.

11. Agitasi

Manifestasi gerakan dari aktifitas yang berlebihan (contohnya menendang, mengayunkan lengan, mengambil, menjelajah, gelisah, cerewet).

12. Tilikan yang akurat

Pendapat pribadi yang berlebihan, penilaian diri sendiri yang tidak sesuai dengan penilaian dari pemeriksa dan keluarga.

13. Mood depresive

Kesedihan, murung, pesimis.

14. Sikap permusuhan / tidak kooperatif

Rasa permusuhan, mudah tersinggung, suka berkelahi, meremehkan, melawan tidak berwenang.

15. Penurunan inisiatif / motivasi

Kurangnya inisiatif normal pada pekerjaan normal atau waktu luang, tidak dapat menyelesaikan tugas, enggan menerima tantangan baru.

16. Kecurigaan

Tidak percaya, menganggap bahwa orang lain mempunyai maksud jahat atau tujuan diskriminasi.


(2)

Cepat merasa lelah saat melakukan tugas-tugas kognitif atau kegiatan kompleks.

18. Tingkah laku halusinasi

Persepsi tanpa rangsangan normal dari luar. 19. Kemunduran motorik

Gerakan atau berbicara yang melambat (diluar kelemahan primer). 20. Isi pikiran yang tidak biasa

Isi pikiran yang tidak lazim, aneh, ganjil. 21. Afek tumpul

Nada emosi yang menurun, penurunan intensitas perasaan, datar. 22. Kegairahan

Nada emosional yang berlebihan, peningkatan reaktifitas. 23. Rencana yang tidak baik

Cita-cita yang tidak realitis, rencana yang tidak baik untuk masa depan, tidak dapat menyadari kekurangan.

24. Mood yang labil

Perubahan yang mendadak dari mood yang tidak sesuai dengan situasi.

25. Ketegangan

Ekspresi tubuh dan wajah yang tegang, tanpa adanya keperluan untuk beraktifitas berlebihan dari anggota gerak.

26. Kekurangan pemahaman

Kesulitan untuk mengerti instruksi oral pada perintah tunggal dan banyak tahap.

27. Gangguan artikulasi berbicara

Gangguan artikulasi, berubahnya bunyi yang mempengaruhi kecerdasan (pengukuran terlepas dari isi tata bahasa).

TOTAL SKOR :

Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia (PTA) Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.


(3)

(4)

Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia (PTA) Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.


(5)

(6)

Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia (PTA) Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.