Keunggulan Kecerdasan Emosi Kajian Teori

2.1.5. Keunggulan Kecerdasan Emosi

Banyak dari masyarakat yang berpandangan bahwa kualitas intelegensi atau kecerdasan yang tinggi dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan individu dalam belajar atau meraih kesuksesan dalam hidupnya. Namun baru-baru ini, telah berkembang pandangan lain yang menyatakan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan kesuksesan individu dalam hidupnya bukan semata-mata ditentukan oleh tingginya kecerdasan intelektual, tetapi oleh faktor kemantapan emosional yang oleh ahlinya, yaitu Daniel Goleman disebut Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional. Menurut Goleman dalam Agus, 2005:193 dorongan pertama dalam situasi emosional adalah dorongan hati heart’s impulse, bukan dorongan kepala head’s impulse. Alasannya, karena pikiran rasional membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mendata dan menanggapi daripada waktu yang dibutuhkan oleh pikiran emosional. Keunggulan pikiran emosional adalah dapat membaca realitas emosi dalam sekejap. Goleman dalam Agus, 2005:192-194 menyebutkan beberapa ciri pikiran emosional sebagai berikut: a. Pertama, respons pikiran emosional emotional mind jauh lebih cepat dari pikiran rasional rational mind. Pikiran emosional dapat membuat penilaian singkat secara naluriah, sehingga bisa menunjukan apa yang perlu dicurigai, siapa yang harus dipercaya, siapa yang menderita. Dengan begitu, pikiran emosional dapat menjadi radar terhadap bahaya radar for danger. b. Kedua, emosi itu mendahului pikiran. Reaksi emosional gerak cepat ini lebih menonjol dalam situasi-situasi mendesak yang mendahulukan tindakan penyelamatan diri. Pikiran emosional dapat membuat individu mengambil keputusan-keputusan cepat sehingga dalam sekejap dapat siap siaga menghadapi keadaan darurat. c. Ketiga, logika emosinal bersifat asosiatif. Ciri ini menggambarkan bahwa logika pikiran emosional yang menganggap bahwa unsur-unsur yang melambangkan suatu realitas, atau memicu kenangan terhadap realitas tersebut, merupakan hal yang sama dengan realitas tersebut. d. Keempat, memposisikan masa lampau sebagai masa sekarang. Ciri pikiran emosional ini bisa berdampak negatif bagi seorang individu jika peristiwa masa lampau dinilai secara cepat dan masih terbawa secara emosional di masa sekarang. Tetapi bisa menjadi positif bagi seorang individu yang mempelajari pengalaman dari masa lampau untuk masa sekarang dengan tetap berpegang pada akal emosional tanpa mengesampingkan akal rasional. Dari uraian tersebut dapat diketahui betapa pentingnya kesadaran pikiran emosional, karena kebanyakan dari masyarakat memiliki sedikit kesadaran tentang bagaimana kuatnya emosi dan sedikit sekali yang mengetahui apa emosi yang mereka rasakan. Kebiasaan pengelolaan emosi yang berulang-ulang selama masa kanak-kanak dan masa remaja dengan sendirinya akan membantu mencetak jaringan sirkuit otak emosional. Untuk hal demikian maka masyarakat harus mempertimbangkan pentingnya kecerdasan emosional dan memahami mendalamnya makna kecerdasan emosional tersebut. Menurut Goleman dalam Agus 2008:97, kecerdasan intelektual IQ hanya menyumbang 20 bagi kesuksesan, sedangkan 80 adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient EQ. Riset mengatakan bahwa EQ sama pentingnya dengan IQ dalam menentukan efektivitas. EQ dapat membantu menjadi lebih perspektif terhadap peluang tersembunyi dan tantangan antarpribadi Aloysius Rudi Purwanta, 2007:63. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik academic intelligence, yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Meskipun IQ tinggi tetapi bila kecerdasan emosi rendah tidak banyak membantu. Banyak orang cerdas dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang IQ-nya unggul dalam keterampilan kecerdasan Agus, 2008: 98-99. Kecerdasan emosional yang baik haruslah dimiliki oleh siswa. Hal tersebut perlu menjadi perhatian karena faktor-faktor yang mempengaruhi belajar adalah kondisi internal dan eksternal siswa. Kondisi internal mencakup kondisi fisik, seperti kesehatan organ tubuh, kondisi psikis, seperti kemampuan intelektual, emosional, dan kondisi sosial, seperti kemampuan bersosialisai dengan lingkungan Achmad Rifa‟i dan Catharina Tri Anni, 2012:80.

2.1.6. Pengertian Belajar