Sifat keagamaan Pada Anak
pengalaman anak, baik melalui ucapan yang didengarnya, tindakan, perbuatan dan sikap yang dilihatnya, maupun perlakuan yang dirasakannya. Oleh karena
itu keadaan orang tua dalam kehidupan mereka sehari-hari mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembinaan kepribadian anak.
Si anak mulai mengenal Tuhan dan agama melalui orang-orang dalam lingkungan tempat mereka hidup. Jika mereka lahir dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang beragama, mereka akan mendapat pengalaman beragama itu melalui ucapan, tindakan dan perlakuan. Daradjat, 1970:110
Mengenai rasa keberagamaan pada anak, semakin besar anak tersebut semakin bertambah pula fungsi agama baginya. Misalnya pada usia 10 tahun
ke atas, agama mempunyai fungsi moral dan sosial bagi anak. ia mulai menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau
keluarga. Sedangkan ketika masih umur 0-7 perasaan agama masih bersifat emosional. Misalnya: pada masa permulaan sekolah, kepercayaan anak pada
Tuhan bukan lah berupa keyakinan hasil pemikiran akan tetapi merupakan sikap emosi yang masih membutuhkan pelindung. Hubungan dengan Tuhan
bersifat individual dan emosional. Oleh karena itu, perlu ditonjolkan sifat Pengasih dan Penyayang Tuhan
kepada anak dan jangan dulu dibicarakan sifat-sifat Tuhan yang menghukum dan membalas dengan azab neraka dan sebagainya. Daradjat, 1970:113
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pertumbuhan rasa agama pada anak telah mulai sejak si anak lahir. Bekal itulah yang dibawanya ketika ia
masuk sekolah pertama kali. Ketika si anak masuk sekolah dasar, dalam
jiwanya telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya, dari orang tuany dan dari gurunya di Taman Kanak-kanak. Oleh karena itu
setiap guru agama pada sekolah dasar harus menyadari betul-betul bahwa anak didik yang dihadapinya telah membawa bekal agama pada masing-masing
pribadinya, sesuai pengalaman hidup yang dilaluinya. Suatu anggapan yang salah sering terjadi baik dari pihak orang tua atau
keluarga, orang umum bahkan guru-guru pada umumnya, atau guru agama yang tidak mengerti. Yaitu persangkaan bahwa pendidikan agama untuk
sekolah dasar itu mudah, hanya sekedar mengajar anak untuk pandai sembahyang, berdoa, berpuasa, dan beberapa prinsip-prinsip pokok agama.
Anggapan itulah yang menyebabkan kurang berhasilnya pendidikan masa lalu. Pendidikan agama sesungguhnya jauh lebih berat dari pengajaran
pengetahuan umum apapun. Beratnya tidak terletak pada ilmiahnya tetapi terletak pada isi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama
ditujukan pada pembentukan sikap, pembinaan kepercayaan agam dan pembinaan akhlak. Daradjat, 1970:112