Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelayanan Publik Bidang Perijinan Di Kabupaten Deli Serdang

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP

PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERIJINAN

DI KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

OLEH

NUFARIS ELISA

107005043/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP

PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERIJINAN

DI KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NUFARIS ELISA

107005043/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERIJINAN DI KABUPATEN DELI SERDANG

Nama Mahasiswa : Nufaris Elisa Nomor Pokok : 107005043 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 26 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Dr. Agusmida, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Implementasi kebijakan publik desentralisasi ke depan harus menekankan prinsip-prinsip good governance pada fungsi-fungsi regulasi, pelayanan publik dan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman masyarakat tentang dasar hukum atau kebijakan publik yang ditetapkan menjadi salah satu faktor penting untuk menjamin standar layanan publik yang berkualitas. Salah satu bidang layanan publik yang krusial adalah masalah Perijinan. Perijinan merupakan aspek regulasi dan legalitas dari berbagai bidang kegiatan masyarakat yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara melalui prosedur tertentu. Secara umum ada tiga persoalan berkait dengan izin untuk kegiatan usaha yaitu: prosedur yang berbelit, tingginya biaya dan ketidakpastian hukum.

Adapun masalah yang dibahas dalam tesis ini menyangkut pelaksanaan pelayanan publik bidang Perizinan sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah, kepuasan pelayanan publik bidang perizinan dan cara mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang. Pengumpulan data didasarkan pada literatur dan peraturan perundang-undangan yang relevan guna memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah dan bahan-bahan yang bersifat yuridis normatif sebagai perbandingan dan pedoman menguraikan permasalahan yang dibahas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pelayanan publik di Kabupaten Deli Serdang meliputi (a) pelaksanaan pelayanan yang bersifat teknis, meliputi: izin mendirikan bangunan (IMB), izin reklame, izin usaha rumah makan, caffe dan coffe shop, izin usaha angkutan, (b) pelaksanaan pelayanan yang bersifat umum, meliputi: surat izin tempat usaha/HO, surat izin usaha perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Tanda Daftar Industri (TDI), Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK), izin pemakaian alat-alat berat. Berdasarkan hasil kuesioner terhadap masyarakat terhadap kepuasan pelayanan publik di Kabupaten Deli Serdang diperoleh nilai kumulatif indeks sebesar 21,7 berada pada kisaran 17 – 23 (sedang), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik di Kabuapten Deli Serdang termasuk dalam tingkat sedang. Kelemahan utama pelayanan di Kabupaten Deli Serdang yaitu proses perijinan yang masih terpisah. Idealnya, jarak antara kantor pelayanan perizinan dan dinas teknis terkait tidak terpisah.

Untuk mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang dapat dilakukan dengan menyusun format perizinan usaha. Pada prinsipnya, dengan direlokasikannya dinas-dinas teknis pendukung untuk pelayanan perizinan usaha ke dalam satu areal (kompleks), maka proses koordinasi dan rentang kendali dapat dilakukan dengan lebih efisien.


(6)

ABSTRACT

Decentralization of public policy implementation in the future should emphasize the principles of good governance in regulatory functions, public services and welfare development. Public's understanding of the basic law or public policy is set to be one important factor to ensure the quality standards of public service. One of the crucial areas of public services is a matter of licensing. Licensing is a regulatory and legal aspects of various fields of public activity set by the state administration authorities through a specific procedure. In general there are three issues related to the license for business activities, namely: the complicated procedures, high costs and legal uncertainty.

The issues discussed in this thesis concerns the implementation of the public service field as an implementation of the licensing policy of regional autonomy, satisfaction of public service areas of licensing and how to overcome obstacles in the implementation of licensing in the field of Deli Serdang regency. Data collection was based on literature and legislation relevant to obtain the materials science and theoretical materials juridical normative comparisons and guidelines outlining the issues discussed.

The results showed that the implementation of public services in the district of Deli Serdang include (a) the implementation of technical services, including: building permit, billboard permit, business license restaurants, caffe and coffee shops, transport license, (b) implementation of the services of a general nature, including: business premises license/HO, trade licenses (business License), Company Registration, Industrial Registration, permit Construction business Services, permits the use of tools weight. Based on the results of the questionnaire to the public to the satisfaction of public service in Deli Serdang Regency obtained a cumulative index value of 21.7 in the range of 17-23 (medium), so it can be concluded that the public service in Deli Serdang Kabuapten included in the medium level. The main weakness of service in Deli Serdang regency is still a separate permitting process. Ideally, the distance between the office of the licensing service and associated technical services are not separate.

To overcome the obstacles in the implementation of licensing in the field of Deli Serdang Regency can be done by preparing a business licensing format. In principle, the direlokasikannya technical agencies to support the business license services into one area (complex), then the process of coordination and control range can be done more efficiently.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulilah kepada Allah atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis Hukum Administrasi Negara yang berjudul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERIJINAN DI KABUPATEN DELI SERDANG”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTH&H, M.Sc (CTM), SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister. 2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung

Sitepu, SH, M.Hum. atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH, selaku Ketua


(8)

Komisi Pembimbing dan Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, serta Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M. Hum. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide serta saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

5. Dr. Agusmida, SH, M.Hum dan Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum selaku penguji tesis penulis.

6. Seluruh Guru Besar dan Dosen pada Program Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU yang telah memberikan ilmu dan motivasi dalam setiap perkuliahan.

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala dan Staf serta Pegawai Kantor Penanaman Modal Kabupaten Deli Serdang dan para responden yang membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

8. Semua pihak yang telah berpartisipasi membantu penulis dalam menjalani pendidikan maupun dalam penyusunan tesis ini yang tidap daat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga kiranya tesis ini dapat memberi manfaat dan berguna bagi kita semua. Amin.

Medan, Juli 2012 Penulis

Nufaris Elisa NIM 107005043


(9)

RIWAHAT HIDUP

Nama : Nufaris Elisa

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 3 Oktober 1962 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Pantai Labu, Skip No. 1, Lubuk Pakam.

Pendidikan :

• Sekolah Dasar Kesatria Medan (Lulus tahun 1975) • SMP Satya Budi Perdagangan (Lulus tahun 1977) • SMA Negeri 223 Lubuk Pakam (Lulus tahun 1981)

• Strata Satu (S1) Universitas Darma Agung (Lulus tahun 1986)

• Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Lulus tahun 2012)


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

G. Metode Penelitian ... 29

BAB II. PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERIZINAN SEBAGAI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN DELI SERDANG A. Pelayanan Publik ... 33

B. Standar Pelayanan Publik ... 37

C. Permasalahan Pelayanan Publik ... 40

D. Pemecahan Masalah Pelayanan Publik ... 42

E. Hubungan Kebijakan Publik dan Hukum dalam Konteks Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ... 45


(11)

F. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Kabupaten Deli

Serdang ... 54 G. Kajian Hukum terhadap Perizinan ... 57 H. Pelayanan Publik Bidang Perizinan di Kabupaten Deli

Serdang ... 62 I. Peraturan Daerah Kabuapten Deli Serdang yang

Berhubungan dengan Sistem Perizinan ... 64 J. Mekanisme Perizinan dalam Kaitan dengan Kegiatan Usaha

di Kabupaten Deli Serdang ... 69 K. Prosedur Pengurusan Izin Usaha di Kabupaten Deli Serdang 73 BAB III. KEPUASAN PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERIZINAN

DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Penetapan Standar Pelayanan Publik ... 87 B. Kepuasan Pelayanan Publik Bidang Perizinan di Kabupaten

Deli Serdang ... 90 BAB IV. KENDALA-KENDALA DALAM PELAKSANAAN

PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERIZINAN DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Kendala yang Ditemui dalam Pelayanan Perizinan di

Kabupaten Deli Serdang ... 104 B. Cara Mengatasi Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan

Pelayanan Publik di Bidang Perizinan di Kabupaten Deli

Serdang ... 106 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 110 B. Saran ... 111 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Beberapa Perda yang Diterbitkan Pemerintah Daerah Kabupaten

Deli Serdang ... 67 2. Rekapitulasi Perizinan di Kabupaten Deli Serdang pada tahun

2011 ... 70 3. Karakteristik Responden ... 90 4. Tanggapan Responden terhadap Indikator Kesederhanaan dalam

Pelayanan yang telah Diberikan Oleh Kantor Instansi Teknis

Kabupaten Deli Serdang ... 92 5. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan yang Diberikan Oleh

Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari

Kejelasan Prosedur/Tata Cara Pelayanan ... 94 6. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan yang Diberikan Oleh

Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari

Kepastian Waktu dalam Memberikan Pelayanan ... 95 7. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan yang Diberikan Oleh

Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari

Akurasi dalam Memberikan Pelayanan ... 96 8. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan yang Diberikan Oleh

Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari

Keamanan dalam Memberikan Pelayanan ... 97 9. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan yang Diberikan Oleh

Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari

Tanggungjawab dalam Memberikan Pelayanan ... 98 10. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan yang Diberikan Oleh

Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari Kelengkapan Sarana dan Prasarana dalam Memberikan


(13)

11. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan yang Diberikan Oleh Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari

Kemudahan Akses Pelayanan ... 99 12. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan yang Diberikan Oleh

Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari

Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan Pelayanan ... 100 13. Tanggapan Responden terhadap Pelayanan yang Diberikan Oleh

Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari

Kenyamanan Pelayanan ... 101 14. Kepuasan Pelayanan Publik di Kabupaten Deli Serdang

Berdasarkan Kesederhanaan, Kejelasan, Kepastian Waktu, Akurasi, Keamanan, Tanggungjawab, Kemudahan Akses, serta


(14)

ABSTRAK

Implementasi kebijakan publik desentralisasi ke depan harus menekankan prinsip-prinsip good governance pada fungsi-fungsi regulasi, pelayanan publik dan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman masyarakat tentang dasar hukum atau kebijakan publik yang ditetapkan menjadi salah satu faktor penting untuk menjamin standar layanan publik yang berkualitas. Salah satu bidang layanan publik yang krusial adalah masalah Perijinan. Perijinan merupakan aspek regulasi dan legalitas dari berbagai bidang kegiatan masyarakat yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara melalui prosedur tertentu. Secara umum ada tiga persoalan berkait dengan izin untuk kegiatan usaha yaitu: prosedur yang berbelit, tingginya biaya dan ketidakpastian hukum.

Adapun masalah yang dibahas dalam tesis ini menyangkut pelaksanaan pelayanan publik bidang Perizinan sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah, kepuasan pelayanan publik bidang perizinan dan cara mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang. Pengumpulan data didasarkan pada literatur dan peraturan perundang-undangan yang relevan guna memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah dan bahan-bahan yang bersifat yuridis normatif sebagai perbandingan dan pedoman menguraikan permasalahan yang dibahas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pelayanan publik di Kabupaten Deli Serdang meliputi (a) pelaksanaan pelayanan yang bersifat teknis, meliputi: izin mendirikan bangunan (IMB), izin reklame, izin usaha rumah makan, caffe dan coffe shop, izin usaha angkutan, (b) pelaksanaan pelayanan yang bersifat umum, meliputi: surat izin tempat usaha/HO, surat izin usaha perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Tanda Daftar Industri (TDI), Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK), izin pemakaian alat-alat berat. Berdasarkan hasil kuesioner terhadap masyarakat terhadap kepuasan pelayanan publik di Kabupaten Deli Serdang diperoleh nilai kumulatif indeks sebesar 21,7 berada pada kisaran 17 – 23 (sedang), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik di Kabuapten Deli Serdang termasuk dalam tingkat sedang. Kelemahan utama pelayanan di Kabupaten Deli Serdang yaitu proses perijinan yang masih terpisah. Idealnya, jarak antara kantor pelayanan perizinan dan dinas teknis terkait tidak terpisah.

Untuk mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang dapat dilakukan dengan menyusun format perizinan usaha. Pada prinsipnya, dengan direlokasikannya dinas-dinas teknis pendukung untuk pelayanan perizinan usaha ke dalam satu areal (kompleks), maka proses koordinasi dan rentang kendali dapat dilakukan dengan lebih efisien.


(15)

ABSTRACT

Decentralization of public policy implementation in the future should emphasize the principles of good governance in regulatory functions, public services and welfare development. Public's understanding of the basic law or public policy is set to be one important factor to ensure the quality standards of public service. One of the crucial areas of public services is a matter of licensing. Licensing is a regulatory and legal aspects of various fields of public activity set by the state administration authorities through a specific procedure. In general there are three issues related to the license for business activities, namely: the complicated procedures, high costs and legal uncertainty.

The issues discussed in this thesis concerns the implementation of the public service field as an implementation of the licensing policy of regional autonomy, satisfaction of public service areas of licensing and how to overcome obstacles in the implementation of licensing in the field of Deli Serdang regency. Data collection was based on literature and legislation relevant to obtain the materials science and theoretical materials juridical normative comparisons and guidelines outlining the issues discussed.

The results showed that the implementation of public services in the district of Deli Serdang include (a) the implementation of technical services, including: building permit, billboard permit, business license restaurants, caffe and coffee shops, transport license, (b) implementation of the services of a general nature, including: business premises license/HO, trade licenses (business License), Company Registration, Industrial Registration, permit Construction business Services, permits the use of tools weight. Based on the results of the questionnaire to the public to the satisfaction of public service in Deli Serdang Regency obtained a cumulative index value of 21.7 in the range of 17-23 (medium), so it can be concluded that the public service in Deli Serdang Kabuapten included in the medium level. The main weakness of service in Deli Serdang regency is still a separate permitting process. Ideally, the distance between the office of the licensing service and associated technical services are not separate.

To overcome the obstacles in the implementation of licensing in the field of Deli Serdang Regency can be done by preparing a business licensing format. In principle, the direlokasikannya technical agencies to support the business license services into one area (complex), then the process of coordination and control range can be done more efficiently.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asas desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi adalah memberikan keleluasaan organ daerah otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi.1

Rekonstruksi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan pasca terselenggaranya otonomi daerah. Instrumen desentralisasi turut mengubah pengelolaan sumber daya lokal sebagai bentuk pendelegasian wewenang dari pusat pada daerah otonom untuk lebih mandiri. Pelayanan pendukung dari aktivitas usaha seperti izin usaha, kepastian hukum, dan iklim usaha yang kondusif pun peranannya tidak lagi terfragmentasi pada pemerintah pusat semata. Pemerintah daerah kini diharapkan menjadi aktor lokal dalam Dalam asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintahan daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya, baik yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan agar menjadi urusan rumah tangganya sendiri.

1

P. Rosodjatmiko, Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaannya, Kumpulan Karangan Dr. Ateng Syafrudin SH., (Bandung: Tarsito, 2002), hal.22-23. Asas desentralisasi merupakan salah satu dari 3 (tiga) asas dalam kerangka hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam suatu negara kesatuan. Asas yang lainnya adalah asas dekonsentrasi dan asas pembantuan.


(17)

menciptakan sistem perizinan yang mendukung mekanisme kegiatan usaha dan pengelolaan sumber daya daerah bagi kemaslahatan masyarakat lokal.2

Era globalisasi menghadapkan Indonesia pada suatu tuntutan untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang secara merata, termasuk juga menuntut kesiapan setiap daerah untuk mampu berpengawasan serta di dalamnya.3 Antisipasi terhadap arus globalisasi ini diperlukan setiap daerah, terutama berkaitan dengan peluang dan tantangan penanaman modal asing di daerah dan persaingan global di daerah. Dalam otonomi daerah, daerah menjadi lebih leluasa dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya, dan memberi kesempatan tumbuhnya iklim yang lebih demokratis di daerah.4

2

Tirta Nugraha Mursitama dkk, Reformasi Pelayanan Perizinan dan Pembangunan Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga, Makassar, dan Banjarbaru), Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, 2010, halaman 10.

3

Alvin Tofler, dalam Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Pengawasanan dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), halaman 66.

4

Muchan, Otonomi yang Seluas-luasnya dan Ketidakadilan Daerah, dalam M.Arif Nasution dkk., Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, (Bandung : Mandar Maju, 2005), halaman 78.

Pemerintahan daerah yang diamanfaatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah semacam keleluasaan daerah dalam mewajudkan otonomi yang luas dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, prakarsa dan aspirasi masyarakat, atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman daerah. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mempunyai kemauan sungguh-sungguh dan kesiapan untuk mampu melaksanakan kebijakan otonomi daerah untuk kepentingan rakyat daerahnya.


(18)

Kebijakan publik yang telah diadopsi dan dilegitimasikan oleh pemerintah dan lembaga legislatif, sudah semestinya diimplementasikan melalui sistem administrasi publiknya, tak terkecuali mengenai kebijakan desentralisasi. Masalah ini dikemukakan oleh Heaphey bahwa:5

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 14 telah ditegaskan secara terperinci urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang meliputi 16 urusan wajib yaitu:

keputusan-keputusan seringkali tidak dibuat di lapangan dan segala petunjuk pelaksanaan (juklak) serta petunjuk teknis (juknis) selalu berasal dari kantor-kantor pusat departemen. Administrator di lapangan hanya menerima sedikit tanggung jawab mengenai apa yang harus mereka kerjakan.

Kebijakan desentralisasi yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah diimplementasikan dalam sistem administrasi publik baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Implementasi kebijakan publik tersebut dalam kurun waktu 2001 - 2004 telah dievaluasi kembali dan kedua Undang-Undang tersebut kemudian direvisi dengan Undang-Undang Otonomi Daerah yang baru yaitu Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Melihat substansi undang-undang yang baru, nampak terjadinya perubahan dan improvisasi sehingga otomatis akan membawa perubahan pada tahapan implementasi kebijakan publik dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

6

5

Deddy S Brata Kusumah, Dadang S, Otonomi Peneyelenggara Pemerintah Daerah, (Jakarta: PT. Sun , 2003), halaman. 10-13

6


(19)

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;

l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Di samping urusan wajib tersebut, di dalam ayat (2) Pasal yang sama dijelaskan pula menganai urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Apabila dibandingkan dengan kewenangan daerah kabupaten/kota yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota menjadi lebih komprehensif bukan saja mencakup kewenangan penyelenggaraan pemerintahan pada sektor-sektor tertentu, namun lebih mengarah pada fungsi pelayanan publik dalam bidang-bidang kewenangan yang telah di desentralisasikan.

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya kabupaten/kota lebih mengarah pada dimensi regulasi, fasilitasi dan pelayanan publik. Hal ini sesuai dengan jiwa


(20)

konsep otonomi daerah itu sendiri yaitu demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Otonomi daerah seharusnya dipandang sebagai suatu tuntutan yang berupaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, menurut James W. Fesler sebagaimana dikutip J. Kaloh, otonomi daerah bukanlah tujuan tetapi suatu instrumen untuk mencapai tujuan.7

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga diadopsi kembali asas umum penyelenggaraan negara yaitu: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaran negara. asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektivitas. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraan negara di dalam Undang-Undang ini tidak lain ingin mereduksi konsep good governance dalam kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonomi daerah.8

7

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan tantangan Global, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), halaman .6-7.

8

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah dalam perspektif lingkungan, Nilai dan Sumber Daya , (Jakarta : Djambatan ,2004), halaman.107 -110

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka implementasi kebijakan publik desentralisasi ke depan harus menekankan prinsip-prinsip good governance pada fungsi-fungsi regulasi, pelayanan publik dan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berarti kebijakan publik yang di implementasikan dalam sistem administrasi publik di daerah kabupaten/kota benar-benar menerapkan prinsip good governance


(21)

Desentralisasi harus mampu mendorong terjadinya layanan publik yang lebih dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Kebijakan publik yang dihasilkan, diharapkan dapat memangkas rentang birokrasi yang panjang untuk menghindari penundaan dan penurunan kualitas dari layanan publik yang menjadi kewajiban negara kepada warganya. Keberhasilan proses desentralisasi dapat diukur dari kualitas layanan publik yang semakin baik. Kebijakan desentralisasi yang hanya dimaksudkan untuk menggantikan peran pemerintah pusat di daerah tanpa melakukan perubahan pada transaksi sosial yang terjadi, maka sangat sulit diharapkan terjadinya efek positif dari kebijakan publik tersebut oleh sebab itu perbaikan kualitas layanan publik menjadi faktor yang determinan dalam implementasi kebijakan desentralisasi.

Pelayanan publik juga merupakan bagian yang krusial dalam praktek negara demokrasi, bahkan banyak ahli mengatakan bahwa pelayanan publik sebagai demokrasi dalam artian yang sebenarnya karena demokrasi sebagai konsep hanya dapat dirasakan dalam kualitas layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Dengan tingkat heterogenitas dan penyebaran yang luas, maka sangatlah rentan bagi suatu pemerintahan dapat memenuhi kebutuhan layanan masyarakat sesuai dengan tingkat kebutuhan apalagi tingkat kepuasan rakyat. Dalam konteks ini layanan menjadi tolok ukur penting untuk melihat perjalanan demokrasi dan desentralisasi. Dengan demikian demokrasi dan desentralisasi harus dilihat dari kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan transaksi sosial yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari yaitu layanan publik.


(22)

Marsh dan Ian mengemukakan 2 (dua) perspektif yang penting diamati dalam layanan publik yaitu:9

Pemahaman masyarakat tentang dasar hukum atau kebijakan publik yang ditetapkan menjadi salah satu faktor penting untuk menjamin standar layanan publik yang berkualitas. Pemahaman masyarakat tentang formulasi kebijakan publik yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme pemberian layanan publik dapat diukur dari kemudahan masyarakat untuk memahami prosedur tersebut, kesiapan birokrasi untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat, informasi yang transparan tentang standar pelayanan publik dimaksud serta perilaku petugas pelayanan publik terhadap Pertama, dimensi service delivery agent (dinas atau unit kerja pemerintah) dan Kedua, dimensi customer atau user (masyarakat yang memanfaatkan). Berdasarkan dimensi pemberi layanan perlu diperhatikan tingkat pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil (dimensi ruang dan klas sosial), kesiapan kerja dan mekanisme kerja (readiness), harga terjangkau (affordable price), prosedur sederhana dan dapat dipastikan waktu penyelesaiannya. Sementara itu dari dimensi penerima layanan publik harus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap penyimpangan atau layanan tak berkualitas yang muncul dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Keterlibatan aktif masyarakat baik dalam mengawasi dan menyampaikan keluhan terhadap praktik penyelenggaraan layanan publik menjadi faktor penting umpan balik bagi perbaikan kualitas layanan publik dan memenuhi standar yang telah ditetapkan.

9


(23)

masyarakat dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Formulasi kebijakan tersebut tentunya berada pada tahapan implementasi kebijakan publik yang telah ditetapkan sebelumnya.

Salah satu bidang layanan publik yang krusial adalah masalah Perizinan. Perizinan merupakan aspek regulasi dan legalitas dari berbagai bidang kegiatan masyarakat yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara melalui prosedur tertentu. Masalah perizinan menyangkut dua sisi kepentingan yaitu, kepentingan pemerintah daerah untuk melakukan regulasi terhadap kegiatan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat agar sesuai dengan perencanaan, kondisi dan kebutuhan pemerintah daerah, di sisi lain adalah kepentingan kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam melakukan usaha dan kegiatan yang mempunyai efek di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.

Kegiatan pembangunan dan investasi di daerah terkait erat dengan pemberian perizinan kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Pemerintahan Daerah, dimana DPRD merupakan salah satu unsurnya, mempunyai kewenangan untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon perizinan untuk memperoleh suatu izin yang diperlukannya. Penetapan syarat-syarat ini tentu saja dimaksudkan untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintahan Daerah yang bersangkutan yang diwujudkan dalam bentuk Perda.

Keseluruhan permasalahan yang muncul dalam pelayanan Perizinan menjadi semakin krusial ketika prosedur pemberian Perizinan tersebut tidak dibakukan secara komprehensif dan tidak ditetapkan dalam suatu standar pelayanan yang baik.


(24)

Pelayanan Perizinan akan tidak memberikan kepuasan kepada masyarakat apabila dalam pelaksanaannya tidak terkoordinasi dan berjalan sendiri-sendiri dalam sektornya masing-masing. Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke depan salah satunya adalah bagaimana dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara dan sekaligus merupakan perwujudan dari prinsip utama kebijakan desentralisasi yaitu demokratisasi, akuntabilitas publik daan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis hendak melakukan penelitian ini dalam suatu penulisan tesis yang berjudul “Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelayanan Publik Bidang Perizinan di Kabupaten Deli Serdang”.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan pelayanan publik bidang Perizinan sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Deli Serdang?

2. Bagaimana kepuasan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang?

3. Bagaimana cara mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diajukan dalam penelitian maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


(25)

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Deli Serdang.

2. Untuk mengetahui kepuasan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang.

3. Untuk mengetahui cara mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum perizinan.

2. Secara Praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat luas.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan ilmu hukum.

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan hukum perizinan di daerah.


(26)

E. Keaslian Penelitian

Beberapa mahasiswa pasca sarjana USU yang pernah menulis tentang perizinan dan otonomi daerah seperti H.M. Yusuf/057005051, dengan judul “Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan di Kota Binjai”, Nurdin Sipayung/067005057 dengan judul “Pengawasan DPRD terhadap Implementasi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati di Kabupaten Serdang Bedagai”.

Berdasarkan permasalahan terhadap penelitian tersebut diatas berbeda dengan permasalahan penulis teliti maka penulis menyatakan tesis berjudul ” Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelayanan Publik Bidang Perizinan Di Kabupaten Deli Serdang” belum pernah disusun oleh peneliti lain sehingga dengan demikian keaslian penelitian ini dapat penulis pertanggung jawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jenis nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.10 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekotruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.11

10

Sacipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), halaman. 254.

11


(27)

Berdasarkan hal tersebut di atas, kerangka teori bagi suatu penelitian mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut:12

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina stuktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena

telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan menurut prinsip dasar keadilan sehingga terikat secara konstitusional pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu, dasar cara dan tindakan pemerintah serta segala instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan warganegara. Atas dasar hukum pula negara hukum menyelenggarakan apa yang menjadi tujuan negara. Jadi tidak masuk akal jika negara hukum diwujudkan dengan cara yang melawan hukum.13

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia" menyebutkan bahwa unsur-unsur Negara hukum dapat dilihat pada Negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti sempit, pada negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu :

2. Pemisahan/pembagian kekuasaan.

Sedangkan negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain :

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia. 2. Pembagian/pemisahan kekuasaan.

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986. Holman. 121.

13


(28)

3. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan.

4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.14

Berdasarkan uraian konsep tentang negara hukum tersebut, ada 2 (dua) substansi dasar, yaitu:15

1. Adanya paham konstitusi.

2. Sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.

Paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar (konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme). Konsekuensi logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur), berarti bahwa kekuasaan pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, presiden berhak memajukan undang-undang kepada lembaga perwakilan rakyat, presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Dengan prinsip ini pula presiden mengeluarkan peraturan.

Paham konstitusionalisme menghendaki eksistensi 2 (dua) elemen penting sekaligus; pertama, hukum yang menjadi pembatas bagi kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan. dan kedua akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah (government) kepada yang diperintah (governed). Melalui sistem konstitusi dalam pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara serta perlindungan didalatn hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa)

14

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), halaman 156.

15

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), halaman. 120.


(29)

dalam menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan kekuasaan yang dimiliki.

Konsep welfare state atau social service state, yaitu negara yang pemerintahannya bertanggungjawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal.16

Sebagai konsekuensi dari melekatnya fungsi pelayanan publik, maka administrasi negara dituntut untuk menerima tanggungjawab positif dalam hal menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun kekayaan serta menyediakan program kesejahteraan rakyat. Apabila tanggungjawab positif tersebut

Konsep welfare state ini merupakan ciri khas dari suatu pemerintahan modern atau negara hukum modern dimana terdapat pengakuan dan penerimaan terhadap peranan administrasi negara sebagai kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk atau menciptakan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan.

Pemerintah Negara selaku integritas kekuasaan massa harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan masyarakat atau sistem sosialnya sehingga dapat mempertahankan keseimbangan antara peranan atau penyelenggaraan fungsinya dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Dalam upaya mencapai hal tersebut, tidak raja diperlukan keselarasan atas tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh kelompok-kelompok sosial maupun kelompok ekonomi yang terdapat pada negara, akan tetapi juga kreativitas untuk menciptakan secara terarah berbagai kondisi kesejahteraan sosial yang dikehendaki masyarakat.

16

Prajudi Atmosudirdjo,Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986) ,halaman.45


(30)

sudah dapat dilakukan, maka eksistensi pemerintah akan tumbuh menjadi suatu pemerintah yang besar dan kuat, baik itu dalam ruang lingkup fungsi maupun jumlah personil yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.17

Perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara membawa dampak terjadinya setidak-tidaknya dua masalah penting yaitu,18

Untuk menghindari dampak negatif dari perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara tersebut, maka konsep negara hukum modem menjadi suatu keharusan sebagaimana dikatakan oleh FJ. Stahl dalam konsepsinya mengenai negara hukum yaitu:

“Pertama, dengan makin pesatnya pertambahan jumlah personal penyelenggara fungsi pelayanan publik, maka diasumsikan akan terjadi peningkatan jumlah korban sebagai akibat penekanan rezim pemerintahan. Hubungan asumsi seperti itu mungkin tercermin dari kecenderungan semakin tingginya penyelewengan dan tindakan yang merugikan rakyat dalam mencapai atau mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kedua, adalah masalah yang lebih krusial yaitu kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan pada administrasi negara. Kemungkinan tersebut lebih terbuka dengan diberikannya suatu "kebebasan" untuk bertindak atas inisiatif sendiri freies Ermussen; pauvoir discretionare) guna menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dan perlu segera diselesaikan.

19

17

Ibid, halaman. 65.

18

Ridwan HR,, Hu/cum Administrasi Negara, (Jogyakarta : Ull Press, 2002), halaman. 156- 160.

19

SF Marbun dkk (ed), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Jogyakarta: UII Press, 2000) , halaman.7

Negara harus menjadi negara hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga menjadi daya pendorong perkembangan pada zaman baru ini.


(31)

Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya sebagaimana lingkungan (suasana) kebebasan warga negara menurut hukum itu dan harus menjamin suasana kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga

langsung tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut suasana hukum.

Konsep ini kiranya sangat relevan dengan konsep welfare state dimana pengertian negara hukum modern, bukan saja menjaga keamanan semata-mata tetapi secara aktif turut serta dalam urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Negara Indonesia jelas merupakan negara yang menerapkan konsep welfare state ini, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat yang dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yakni: Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan Imam, mencerdasakan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Konsep negara kesejahteraan sebagaimana tersurat pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat tersebut di atas diperkuat dengan pernyataan dalam Pasal I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ke IV tahun 2002 bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Konsekuensi logis yang harus dihadapi sebagai negara hukum dan negara kesejahteraan menurut Sjachran Basah, dalam menemukan


(32)

pilihan hukum mana yang harus dipakai dalam kehidupan masyarakat terutama di Indonesia, maka conditio sine qua non hukum harus berpanca fungsi secara:20

a) Direktif, yaitu sebagai pengarah dalam pembangunan untuk membentuk

masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. b) Integratif, yaitu sebagai pembina kesatuan bangsa.

c) Stabilitatif, yaitu sebagai pemelihara (termasuk kedalamnya hasil-hasil

pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

d) Perfektif, yaitu sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi

negara maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

e) Korektif, yaitu terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam

mendapatkan keadilan.

Sejalan dengan panca fungsi hukum tersebut, maka hukum harus dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul akibat terjadinya perubahan-perubahan yang mendasar di dalam masyarakat terutama pada era globalisasi atau era perdagangan bebas pada saat ini melalui proses industrialisasi dan transformasi di bidang teknologi informasi. Pembangunan bidang ekonomi yang akan membawa perubahan dan kemajuan dalam peradaban dan kesejahteraan masyarakat perlu diikuti pembangunan dalam bidang hukum sebagai faktor determinan.

Menurut Sunaryati Hartono makna dari pembangunan dalam bidang hukum akan meliputi:21

a. Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik), b. Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern,

c. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada, atau

d. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru.

20

Sjachran Basah, Tiga Tulisan Tentang Hukum ,(Bandung, : Armik, 1986), halaman..24.

21

Sunaryati Hartono ,Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung :Bina Cipta, 1982), halaman.2


(33)

Pembangunan hukum yang meliputi keempat usaha tersebut merupakan suatu proses dinamis yang harus dilakukan terus menerus dan bahkan merupakan proses yang tidak akan pernah selesai (never ending process) karena setiap kemajuan akan menuntut perubahan-perubahan yang lebih maju dalam masyarakat yang terus berubah. Satjipto Rahardjo menengarai hal ini dengan menyatakan bahwa apabila berbicara menganai hukum, sasaran pembicaraan bukan hanya berkisar pada hukum sebagai suatu sistem yang konsisten, logis dan tertutup melainkan sebagai sarana untuk menyalurkan kebijakan-kebijakan di dalam pembangunan atau perubahan masyarakat.

Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa “hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat”.22 Berdasarkan suatu anggapan bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk mencapai ketertiban dan keadilan saja, akan tetapi dapat pula berfungsi sebagai sarana untuk merubah atau memperbaharui masyarakat. Hukum sebagaimana tersebut di atas, dapat didekati dari fungsi-fungsi dasar yang dapat dikerjakan hukum di dalam masyarakat yang menunjukkan bahwa hukum memperoleh fungsi yang sesuai dalam pembagian tugas di dalam keseluruhan struktur sosial. Menurut E.A. Goebel, di dalam masyarakat, hukum mempunyai fungsi:23

a. Menetapkan pola hubungan angata anggota-anggota masyarakat dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku yang mana yang diperbolehkan dan 22

Mochtar Kusurnaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung :Binacipta, 1 970), halaman.11.

23

Ronny Hanitijo Soemitro, Permasalahan Hukum Dalam Masyarakat, (Bandung: Alumni,1984), halaman.2


(34)

yang mana yang dilarang;

b. Menentukan alokasi wewenang memerinci siapa yang boleh melakukan paksaan, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan efektif;

c. Menyelesaikan sengketa;

d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, Achmad Ali berpendapat bahwa:24

1. Fungsi hukum sebagai alat pengendali sosial, dapat dijalankan oleh sesuatu kekuasaan terpusat yang dewasa ini berujud kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh "the rulling class" atau suatu "elit". Hukumnya biasanya berwujud hukum tertulis atau perundang-undangan.

2. Fungsi hukum sebagai alat pengendali sosial, dapat juga dijalankan sendiri "dari bawah" oleh masyarakat itu sendiri. Hukumnya biasanya berwujud tidak tertulis atau hukum kekuasaan.

Terlaksana atau tidaknya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, menurut Achmad Ali ditentukan oleh dua hal, yaitu:25

1. Faktor aturan hukurnnya sendiri;

2. Faktor pelaksana (orangnya) hukumnya.

Beberapa fungsi hukum dalam perubahan sosial dan dalam kehidupan masyarakat sebagaimana diuraikan di atas apabila dikaitkan dengan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai respon dari tuntutan perubahan dalam masyarakat dengan pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan kemudian lima tahun berikutnya disempurnakan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang -Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004,

24

Achmad Ali , Menguak Tabir Hukum. (Jakarta : Gunung Agung,2000), halaman..87

25


(35)

mengharuskan munculnya paradigma baru dalam penetapan kebijakan publik dalam rangka pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan dalam rangka otonomi daerah.

Penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Maksud otonomi luas adalah daerah mempunyai tugas, wewenang, hak dan kewajiban untuk menangani urusan pernerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat dengan leluasa untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah. Otonomi nyata berarti menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah. Otonomi yang bertanggungjawab berarti penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi, yaitu pemberdayaan daerah dan peningkatan kesejahteraan rakyat.26

Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 lebih berorientasi kepada masyarakat daerah (lebih bersifat kerakyatan) daripada kepada pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat melalui pengawasan serta dan pemberdayaan masyarakat.27

26

Rozali Abdullah, Op.Cit., halaman.4-6.

27


(36)

Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, yang praktis dalam segala urusan, perizinan dan sejenisnya yang sekarang bisa diselesaikan di daerah.28

Otonomi bukanlah sekedar penyerahan begitu saja kekuasaan kepada daerah, melainkan daerah memiliki kewenangan, keleluasaan mengambil keputusan, untuk mengatur dirinya sendiri. Otoritas untuk mengatur dirinya sendiri sangat penting bagi kemajuan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah harus membentuk Perda guna memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat daerahnya.29

Sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan peraturan perundang- undangan, Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

30

Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh DPRD bersama sama dengan pemerintah daerah. Prakarsa suatu Perda dapat berasal dari DPRD atau dari pemerintah daerah.31

28

Pasal 1 angka 5 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

29

Ryaas Rasyid, Pererintah Serius Laksanakan Desentralisasi, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, Nomor 85, 2000, halaman.7.

30

Ketetapan MPR RI No. III/MPR12000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, perda telah secara resmi menjadi sumber hukum dan masuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

31

Pasal 136 ayat (1) UU No.32 tahun 2004.

Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas


(37)

masing-masing daerah. Kewenangan membuat Perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah, dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat. Untuk melaksanakan suatu perda, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala daerah. Suatu perda akan berfungsi secara efektif apabila didukung oleh adanya upaya penegakan hukum terhadapnya.

Perda merupakan kebijakan daerah yang dibuat untuk melaksanakan otonomi daerah. Kebijakan daerah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain.32 UU Nomor 32 Tahun 2004 menciptakan konteks politik yang memberi peluang bagi penciptaan kelembagaan politik antara pemerintah daerah dan DPRD yang seimbang dalam membentuk kebijakan publik yang menentukan.33 Dengan konteks ini, pelaksanaan otonomi daerah harus dilandasi prinsip yang mengarah pada lebih meningkatnya pengawasanan dan fungsi DPRD, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran.34

Berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan perda adalah seluruh materi muatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan

perundang-32

Penjelasan UU No.32 Tahun 2004, Bagian I Poin 7.

33

Ni'matul Ruda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), halaman 232.

34

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), halaman 263.


(38)

undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disingkat dengan UU No.34 Tahun 2000), perda dapat mengatur berbagai jenis pajak dan retribusi yang sudah dilimpahkan ke daerah.

Pasal 18 ayat (1) UU No.34 Tahun 2000 mengatur mengenai objek retribusi yang terdiri dari (a) Jasa Umum, (b) Jasa Usaha, dan (c) Perizinan Tertentu. Ayat (2) pasal tersebut menegaskan, retribusi dibagi atas tiga golongan, yakni (a) Retribusi Jasa Umum, (b) Retribusi Jasa Usaha, dan (c) Retribusi Perizinan Tertentu. Dari ketentuan ini terlihat, bahwa perizinan merupakan kewenangan legislasi daerah untuk membuat pengaturannya dalam bentuk Perda. Perizinan yang diatur di dalam Perda merupakan suatu instrumen hukum untuk mengatur perbuatan hukum para warga. Perizinan dapat diartikan sebagai berikut:35

Dengan demikian, izin merupakan sesuatu keputusan yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk memperkenankan seseorang atau suatu badan usaha yang memohon untuk dapat melakukan suatu tindakan atau kegiatan tertentu sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berarti, legislatif memegang pengawasan penting dalam menetapkan kebijakan perizinan yang berlaku di daerah.

”izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.”

35

N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Barge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, (Utrecht : Desember 1991), halaman 3.


(39)

Perda mengenai perizinan tidak hanya terkait dengan pembangunan daerah, tetapi juga sebenarnya terkait erat dengan iklim usaha di daerah dan kesiapan daerah menghadapi globalisasi. Pada tahun 2001, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia merekomendasikan adanya 1.006 Perda bermasalah di seluruh Indonesia yang memberatkan dunia usaha. Pemerintah kemudian melakukan evaluasi pelaksanaan otonomi daerah agar tidak membebani para pengusaha di daerah.36 Hasil kajian pemerintah (cq. Depdagri), ternyata ditemukan adanya 105 Perda mengenai retribusi dan pajak daerah yang bermasalah.37 Dana Moneter Internasional sampai memberikan sorotan terhadap Perda “bermasalah” ini dengan meminta pemerintah mencabut perda-perda tersebut. IMF dalam permintaannya itu memberikan alasan bahwa perda-perda tersebut dinilai tidak menciptakan iklim usaha dan mengganggu perekonomian, karena banyak ketentuan yang mengharuskan pelaku bisnis membayar berbagai jenis pungutan dan retribusi. Akhirnya pemerintah pusat (cq. Mendagri) telah membatalkan 68 perda bermasalah tersebut.38 Adapun yang menjadi alasan pembatalan perda bermasalah tersebut adalah:39

1. tumpang tindih dengan pajak pusat,

2. pungutan retribusi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip retribusi, 3. menimbulkan duplikasi dengan pungutan daerah,

4. menghambat arus lalu lintas barang, 5. menimbulkan ekonomi biaya tinggi,

6. berakibat pada peningkatan beban subsidi pemerintah.

36

Kompas, 6 September 2001.

37

Kompas, 10 September 2001

38

Kompas, 26 September 2001.

39

Tjip Ismail, Kebijakan Pengawasan atas Perda Pajak dan Retribusi Daerah dalam Menunjang Iklim Investasi yang Kondusif, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22 Nomor 5 Tahun 2003, halaman.31-32.


(40)

Dengan adanya perizinan, terjadi pengikatan aktivitas-aktivitas para warga yang memohonkan pada suatu peraturan atau persyaratan-persyaratan tertentu berdasarkan maksud pembuat undang-undang guna mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi terciptanya suatu kondisi yang buruk yang tidak diinginkan. Secara politik, kedudukan Perda tidak lain merupakan produk hukum lembaga legislatif daerah. Perda, sebagaimana produk hukum pada umumnya, akan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.40

Dalam kaitannya dengan pelayanan publik, maka dalam rangka implementasi kebijakan desentralisasi, maka pemerintah daerah perlu menetapkan kebijakan-kebijakan publik yang mengarah pada kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Pemerintah dalam hal ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah menerbitkan berbagai landasan peraturan perundang-undangan, pedoman dan surat edaran di bidang pelayanan publik antara lain: Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang

Perda dalam hidang sistem perizinan juga tidak terlepas dari proses interaksi kepentingan-kepentingan politik dalam pembentukannya. Tentu saja tidak diinginkan adanya perda yang rnenunjukkan fungsi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa daripada fungsi-fungsi lainnya, yang akan mengakibatkan perda yang dilahirkan semakin tidak otonom dari pengaruh politik. Untuk itu, pelaksanaan fungsi kontrol (pengawasan) oleh DPRD terhadap pengaturan sistem perizinan yang telah diatur menjadi penting diperhatikan.

40


(41)

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan Menteri PAN Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petuniuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang optimal menjadi sangat penting untuk dilakukan. Pelayanan publik harus memperoleh perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh, karena merupakan tugas dan fungsi yang melekat pada setiap aparatur pemerintahan. Tingkat kualitas kinerja pelayanan publik memiliki implikasi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan, terutama untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu upaya penyempurnaan pelayanan publik harus dilakukan secara terus menerus, berkelanjutan dan dilaksanakan oleh jajaran aparatur pemerintah daerah.

Kabupaten Deli Serdang merupakan sebuah kabupaten yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi di bidang ekonomi khususnya industri dan perdagangan. Oleh sebab itu pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah akan terus meningkat. Hal ini sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola semua urusan pemerintahan yang diserahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance) yang telah diadopsi dalam Undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu


(42)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sudah selayaknya dapat di implementasikan dalam pelayanan publik baik yang berupa pelayanan administratif, pelayanan barang pemerintah maupun pelayanan jasa yang dibutuhkan oleh publik.

Khusus pelayanan publik dalam bidang perizinan Pemerintah Daerah Deli Serdang sampai saat ini masih dalam tahap melakukan upaya yang sistematis untuk mencari formulasi kebijakan publik yang tepat agar penyelenggaraan pelayanan publik bidang perizinan dapat mencapai tingkat kepuasan masyarakat sesuai dengan perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat Deli Serdang. Pelayanan publik bidang Perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Deli Serdang dalam penyelenggaraan otonomi daerah selama ini masih belum sesuai dengan semangat demokratisasi dan desentralisasi yang mengharuskan pentingnya partisipasi masyarakat, transparasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pelayanan.

Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, maka penyelenggaraan pelayanan publik harus didukung oleh sistem dan mekanisme kerja serta kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia yang memadai sehingga akan dapat diciptakan suatu pelayanan prima yang memiliki standar pelayanan yang baku dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

2. Kerangka Konsepsi

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan tersebut di atas, maka perlu diuraikan definisi operasional untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:


(43)

a. Otonomi daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 5 UU No.32 Tahun 2004, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan.

b. Daerah otonom, atau sering disingkat dengan daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 UU No.32 Tahun 2004, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

c. Perizinan adalah hal pemberian izin, yaitu suatu persetujuan dari pemerintah untuk memperkenankan seseorang yang memohon untuk dapat melakukan suatu tindakan tertentu sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Sistem perizinan merupakan suatu tata pengaturan normatif yang harus dipatuhi sebagai pedoman dalam mengajukan permohonan, mengabulkan, tidak melarang, atau memberi persetujuan untuk melakukan suatu kegiatan tertentu dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Perda, dalam rangka menunjang pembangunan daerah secara efektif.


(44)

G. Metode Penelitian

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Sesuai dengan karakteristik rumusan permasalahan dalam penelitian ini, jenis penelitian ini tergolong pada penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang berlaku dalam pemerintahan daerah. Yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah melakukan pendekatan terhadap norma-norma hukum dalam menganalisa permasalahan yang ada. Penelitian ini merupakan penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di buku (law in written in book) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process).41

Dimaksud bersifat deskriptif analitis karena penelitian ini tidak hanya bertujuan mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum terkait dengan penerapan sistem perizinan di kabupaten Deli Serdang akan tetapi ditujukan pula untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut. Jadi, penelitian ini tidak secara langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori, melainkan secara langsung berusaha untuk menggambarkan dan memaparkan kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang dalam penerapan sistem perizinan di daerah Deli Serdang serta kendala dan solusi yang dihadapi Pemerintah Daerah Deli Serdang.

41

Ronald Dworlin, dalam Bismar Nasution, "Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum", makalah pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Medan, tanggal 18 Pebruari 2003, hal.1.


(45)

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder sebagai sumber data utama, yang dilengkapi dengan sumber data primer sebagai pendukung. Sumber data terutama diperoleh dari Dinas P2KPM (Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan Penanaman Modal) dan Dinas Trantib dan Kanwil Perdagangan Kabupaten Deli Serdang. Selain itu sumber data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan (library

research), baik dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun

bahan hukum tertier sebagai data utama atau data pokok penelitian. Bahan-bahan hukum tersebut diperoleh dari perpustakaan, yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Revisi tahun 2012, Undang-undang No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta beberapa Perda Kabupaten Deli Serdang yang terkait, seperti misalnya Peraturan Daerah Deli Serdang Tentang Izin Tempat Usaha, Retribusi Izin Gangguan, Peraturan Daerah Deli Serdang Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan serta tentang Retribusi Izin Pengelolaan & Pengusahaan Burung Walet.

b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku-buku teks dari para ahli hukum, jurnal jurnal ilmiah, artikel-artikel ilmiah. hasil-hasil penelitian, majalah, surat kabar, situs internet dan lain-lain.


(46)

c. Bahan hukum tertier, terdiri dari kamus-kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia, ensiklopedi, dan lain-lain.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di daerah Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena Kabupaten Deli Serdang pada saat ini sedang bergiat melaksanakan pembangunan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat daerahnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Seluruh data sekunder yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan berdasarkan studi dokumen sebagai teknik pengumpulan data terhadap bahan pustaka yang ada, arsip pada Pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, kuesioner dan wawancara secara langsung dengan petugas pelayanan dan masyarakat yang mengurus perizinan di Kabupaten Deli Serdang. Kuesioner diberikan untuk mengukur tingkat kepuasan pelayanan publik dengan sampel sebanyak 30 responden yaitu pelaku usaha yang mengurus perizinan di wilayah Kabupaten Deli Serdang.

5. Analisis Data

Data utama yang dikumpulkan melalui studi dokumen, dan didukung oleh data primer, dianalisis dengan metode analisis kualitatif berdasarkan logika berpikir deduktif. Penggunaan metode analisis kualitatif didasarkan pada berbagai


(47)

pertimbangan, yakni: pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan, kedua, data yang dianalisis beraneka ragam serta memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), yang menuntut tersedianya informasi yang mendalam (indepth information).42

Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, dan kemudian dianalisis secara deskriptif, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan permasalahan yang terjadi, sekaligus diharapkan akan dapat memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

42

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 29.


(48)

BAB II

PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERIZINAN SEBAGAI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN

DELI SERDANG

A. Pelayanan Publik

Dalam konteks ke-Indonesia-an, penggunaan istilah pelayanan publik (public

service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan umum atau

pelayanan masyarakat. Oleh karenanya ketiga istilah tersebut dipergunakan secara

interchangeable, dan dianggap tidak memiliki perbedaan mendasar.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian pelayanan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something that the public needs,

organized by the government or a private company”. Oleh karenanya, pelayanan

berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian umum atau masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering (penawaran umum), public ownership (milik umum), dan public utility (perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), public interest (kepentingan umum) dan lain-lain.


(49)

Sedangkan dalam pengertian negara salah satunya adalah public authorities

(otoritas negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan negara) dan public sector (sektor negara). Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish (2005: 178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang mempunyai kebersamaa berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan layanan jasa dan atau barang publik

Dalam konsep pelayanan, dikenal dua jenis pelaku pelayanan, yaitu penyedia layanan dan penerima layanan. Penyedia layanan atau service provider adalah pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan da penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa


(50)

(services). Penerima layanan atau service receiver adalah pelanggan (customer) atau konsumen (consumer) yang menerima layanan dari para penyedia layanan.43

43

Barata, A. A. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta (Gramedia, 2003), hal. 11.

Adapun berdasarkan status keterlibatannya dengan pihak yang melayani terdapat 2 (dua) golongan pelanggan, yaitu: (a) pelanggan internal, yaitu orang-orang yang terlibat dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan, pencitaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran barang, penjualan dan pengadministrasiannya, serta (b) pelanggan eksternal, yaitu semua orang yang berada di luar organisasi yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa.

Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta. Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu:

a. Keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan kepercayaannya;

b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi. Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakannya dari pelayanan swasta adalah:

a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata. Misalnya perizinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan, ketertiban, kebersihan, transportasi dan lain sebagainya.

b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk sebuah jalinan sistem pelayanan yang bersaka regional, atau bahkan nasional.


(51)

c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.

d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi masyarakat, maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta masyarakat dalam kegiatan pelayanan.

e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung, yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan. Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.

f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia, antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya


(52)

penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif.

Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidakpastian untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia diharapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi dan perdagangan.44

Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang baik, diperlukan penyusunan standar pelayanan publik yang dapat menjadi tolok ukur pelayanan yang berkualitas. Penetapan standar pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan. Upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan, diantaranya adalah UU RI No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang B. Standar Pelayanan Publik

44


(1)

Huda, Ni'matul, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik, Jakarta: Bayumedia, 2008.

Kaloh, Mencari Bentuk Otanomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Kiw Kian Gie, Analisis Ekonomi Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Kunarjo, Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan. Jakarta: UI Press, 1992. Kusnardi, Moh. dan Ibrahim ,Hermaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983.

Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan flukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta, 1970.

Lay, Cornelis, “Lembaga Kepresidenan di Indonesia”, dalam Tidak Tak Terbatas Kajian atas Lembaga Kepresidenan RI, Yogyakata : Pandega Media dengan BEM UGM, 1997.

Lembaga Administrasi Negara. Penyusunan Standar Pelayanan Publik. Jakarta : LAN, 2003.

LP3ES disunting oleh Arselan Harahap dan Maruto MD, Petunjuk Mengurus Izin dan Rekomendasi Sektor Industri dan Perdagangan, Jakarta: Pustaka LP3ES, Jakarta, 2000.

Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam, Pengawasanan dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997.

Mahfud, M.D, Moh.., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2001.

Marbun, SF, dkk (ed), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Jogyakarta: UII Press, 2000.

Miftah Thoha, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: PT. Grafindo Persada,1992.


(2)

N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Barge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Utrecht: Desember 1991.

Nugraha Mursitama, Tirta dkk, Reformasi Pelayanan Perizinan Dan Pembangunan Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga, Makassar, Dan Banfarbaru), Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, 2010.

Rahardjo, Sacipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991. Rianto Nugroho, Public Policy, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009.

Rosodjatmiko, P, Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaannya, Kumpulan Karangan Dr. Ateng Syafrudin SH , Bandung: Tarsito, 2002.

Samodra Wibawa, Yuyun Purbokusumo, dan Agus Pramusinto, Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994.

Setyawan Salam Dharma, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya ,Jakarta: Djambatan, 2004.

Sigler, Jay A., Beede and Rutgers, The Legal Sources of Public Policy, Toronto: Lexington, Massaehusetts, 1977.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986.

Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Spelt, Mr. NM. & JBJM Ten Berge disunting Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Yuridika, 1993.

Sri Rejeki Hartono, Perspektif Hukum Bisnis pada Era Teknologi. Pidato Pengukuhan Peresmian Jabatan Guru Besar di dalam Hukum Dagang pada Fakultas Hukum Diponegoro, Semarang, 1995.

Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta: Sinar Grafika 1994. Syafrudin, A., “Asas-asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian

Kepala Daerah”, dalam Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (A.A.U.P.B), penyusun : Paulus Effendie Lotulung, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Thomas R. Dye, Understanding Public Polic, Engelewood Chief, New Jersey Prentince-Hall Inc,1987.


(3)

Triwulan Tutik, Titik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.

Wibowo, Eddi, Hukum dan Kebijakan Publik, Yogyakarta : Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2004.

William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.

Yunas, Didi Nazmi, Konsepsi Negara Hukum, Padang : Angkasa Raya, 1992.

Peraturan Perundang-Undangan

Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.

Keputusan Menteri Negeri Nomor Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tabun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Produk Hukum Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang Penanaman Modal.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


(4)

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Makalah, Artikel , Jurnal dan Tesis serta Disertasi

Ateng Syafrudin, Butir-butir Bahan Telaahan Tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak Untuk Indonesia, dalam Paulus Efendi Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Citra Aditya Bhakti, Bandung. 1994.

Bismar Nasution, "Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum", Makalah pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Medan, tanggal 18 Pebruari 2003 hal. 1.

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), halaman. 29.


(5)

KUISIONER

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP

PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERIJINAN

DI KABUPATEN DELI SERDANG

Responden yang terhormat,

Saya memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk meluangkan waktu sejenak guna mengisi angket ini. Saya berharap Bapak/Ibu menjawab dengan leluasa, sesuai dengan pandangan Bapak/Ibu. Diharapkan menjawab dengan jujur dan terbuka, sebab tidak ada jawaban yang benar dan salah. Sesuai dengan kode etik penelitian, saya menjamin kerahasiaan semua data. Kesediaan Bapak/Ibu mengisi angket ini adalah bantuan yang tak bernilai bagi saya. Akhirnya, saya sampaikan terima kasih atas kerjasamanya.

Medan, Maret 2012 Peneliti,

PETUNJUK PENGISIAN

- Berilah tanda silang ( √ ) pada salah satu pilihan jawaban yang tersedia pada masing -masing pernyataan.

IDENTITAS RESPONDEN

- Nama Responden : ... - Pekerjaan : ... - Jenis Kelamin : ... - Umur : ...

No Pernyataan

Tanggapan Baik Cukup

Baik

Kurang Baik

1

Bagaimana tanggapan anda mengenai kesederhanaan dalam pelayanan publik yang diberikan oleh Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang ?

2

Bagaimana tanggapan anda mengenai kejelasan prosedur/ tata cara pelayanan di Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang ?


(6)

3

Bagaimana menurut anda pelayanan yang

diberikan Kantor Instansi Tekniks Kabupaten Deli Serdang ditinjau dari kepastian waktu dan

memberikan pelayanan

4

Bagaimana menurut anda pelayanan yang

diberikan oleh Kantor Instansi Tekniks Kabupaten Deli Serdang ditinjau dari akurasi dalam

memberikan pelayanan? 5

Bagaimana menurut anda pelayanan yang

diberikan oleh Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang ditinjau dari keamanan dalam memberikan pelayanan?

6

Bagaimana menurut anda pelayanan yang

diberikan oleh Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang ditinjau dari tanggungjawab dalam memberikan pelayanan?

7

Bagaimana menurut anda pelayanan yang

diberikan oleh Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang Ditinjau dari kelengkapan sarana dan prasarana dalam memberikan pelayanan?

8

Bagaimana menurut anda pelayanan yang diberikan oleh kantor instansi teknis Kabupaten Deli Serdang ditinjau dari kemudahan akses pelayanan?

9

Bagaimana menurut anda pelayanan yang

diberikan oleh Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang ditinjau dari kedisiplinan, kesopanan dan keramahan pelayanan?

10

Bagaimana menurut anda pelayanan yang

diberikan oleh Kantor Instansi Teknis Kabupaten Deli Serdang ditinjau dari kenyamanan pelayanan?