Ranah Afektif Paradigma Pembelajaran Bahasa Reorientasi Teori, Pendekatan, dan Metode Pengajaran

54 pembagian dan katagorisasi faktor-faktor wilayah afektif. Kita sering tergoda untuk menggunakan istilah-istilah yang agak disama ratakan seolah-olah istilah-istilah itu telah didefinisikan secara cermat. Misalnya, cukup mudah mengatakan bahwa konflik budaya menimbulkan banyak problem pembelajaran bahasa, atau bahwa motivasi adalah kunci suskes dalam sebuah bahasa asing, tetapi sama sekali lain persoalannya ketika harus merumuskan semua istilah itu setepat-tepamya. Para psikolog juga mengalami kesulitan dalam mendefinisikan berbagai istilah. Konsep-konsep abstrak seperti empati, agresi, ekstroversi, dan label-label umum lain sukar didefinisikan secara empiris. Tes-tes psikologi baku sering membentuk sebuah definisi operasional konsep-konsep semacam itu, tetapi revisi terus menerus adalah bukti bagi upaya tanpa henti untuk mencari kesahihan. Kendati demikian, sulitnya merumuskan konsep-konsep afektif dan kognitif jangan sampai menghalangi kita mencari jawaban. Studi cermat dan sistematis tentang peran kepribadian dalam pemerolehan bahasa kedua sudah menimbulkan suatu pemahaman yang lebih besar tentang proses pembelajaran bahasa dan desain pengajaran bahasa yang disempurnakan.

A. Ranah Afektif

Afeksi merujuk pada emosi atau perasaan. Ranah afektif adalah perilaku rnanusia, dan bisa disandingkan dengan sisi kognitif. Perkembangan keadaan afektif atau perasaan melibatkan beragam faktor kepribadian, perasaan tentang diri kita maupun tentang orang lain yang berhubungan dengan kita. Benjamin Bloom dan koleganya dalam sebuah teori tentang wilayah afektif yang masih banyak dipakai sampai sekarang 1. Pada tataran pertama dan fundamental, perkembangan afektif dimulai dengan menerirna, setiap orang harus mengerti lingkungan sekitar mereka dan menyadari situasi, fenomena, 55 orang-orang, benda-benda, mereka harus bersedia menerima - tenggang rasa sebuah stimulus bukan menghindarinya dan memberikan perhatian pada yang mereka pilih dan kehendaki kepada sebuah stimulus 2. Kemudian, setiap orang harus sampai pada tahap menerima untuk menanggapi dan melakukan setidak-tidaknya suatu langkah kecil terhadap sebuah fenomena atau seeorang. Tanggapan semacam itu pada satu tataran mungkin diIakukan dengan sikap pasif, tetapi pada tataran yang lebih tinggi, orang itu bersedia menanggapi secara sukarela tanpa paksaan, dan kemudian mendapatkan kepuasaan dari tanggapan itu. 3. Tataran ketiga, afektifitas melibatkan penilaian, memberi harga pada sesuatu, sebuah perilaku atau seseorang. Penilaian memperlihatan keyakinan atau sikap sebagaimana nilai-nilai itu ditanamkan. Tiap individu tidak semata-mata menerima sebuah nilai dan bersedia diidentifikasi dengan itu, tetapi mereka mengupayakannya, mencarinya, dan menginginkannya sampai akhirnya menjadikannya keyakinan. 4. Tataran keempat wilayah afektif adalah pengorganisasian nilai- nilai ke dalam system kepercayaan, menentukan hubungan timbal balik diantara mereka dan membangun sebuah hierarki nilai dalam system itu. 5. Akhirnya individu-individu dicirikan oleh dan memahami diri selaras dengan system nilai-nilai yang mereka tanamkan dan menyatukan keyakinan, ide dan sikap ke dalam sebuah folosofi total atau pandangan hidup. 14 Pemetaan Bloom sebetulnya dirancang bagi tujuan-tujuan pembelajaran; tetapi dipakai juga bagi pemahaman umum tentang wilayah afektif dalam perilaku manusia. Gagasan-gagasan dasar tentang menerima, menanggapi, dan menilai adalah universal. Para 14 Krathwohl, Bloom, Masia, 1964 56 pembelajar bahasa kedua harus reseptif terhadap orang-orang yang berkomunikasi dengan mereka dan terhadap bahasa itu sendiri, responsif terhadap orang-otang dan terhadap konteks komunikasi, dan bersedia serta mampu menempatkan nilai tertentu dalam aksi komunikatif timbal balik antarpribadi. Sekiranya pada titik ini Anda merasa bahwa wilayah afektif sebagaimana dipaparkan Bloom terlalu jauh dari hakikat bahasa, perlu diingat bahwa bahasa terjalin kuat dalam setiap aspek perilaku manusia. Bahasa adalah sebuah fenomena yang serba hadir dalam kemanusiaan kita hingga tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan yang lebih besar-dari keseluruhan orang-orang yang hidup dan bernapas dan berpikir dan merasakan. Kenneth Pike mengatakan bahwa bahasa adalah perilaku, yakni sebuah fase aktivitas manusia yang pada dasarnya tidak boleh diperlakukan sebagat hal yang terpisah dari struktur aktivitas non verbal manusia. Aktivitas manusia membangun sebuah keseluruhan struktural demikian rupa hingga tidak bisa dibagi-bagi lagi ke dalam bagian atautataran atau kompartemen dengan bahasa berada di dalam kompartemen behavioristik yang terpisah secara karakrer, isi, dan organisasi dari perilaku lain. 15

B. Faktor Afektif Dalam Pemerolehan Bahasa Kedua