24
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ikan 4.1.1 Nilai Kepadatan Populasi Ikan Bilih
Mystacoleucus padangensis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada keempat stasiun di Danau Toba
Haranggaol diperoleh data kepadatan populasi K ikan dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.
Gambar 6. Data Kepadatan indm
2
ikan bilih pada setiap stasiun pengamatan. Gambar 6. menunjukkan bahwa ikan bilih Mystacoleucus padangensis
pada stasiun 1 daerah keramba jaring apung memiliki nilai kepadatan populasi tertinggi dibandingkan daerah stasiun lainnya dengan nilai 2,37 indm
2
, hal ini disebabkan karena adanya ketersediaan nutrisi di sekitar keramba sehingga
dengan mudah ikan berkembang biak dalam jumlah yang banyak dan faktor lingkungan Tabel 2 yang mempengaruhi yaitu suhu dengan nilai 27°C, TDS
dengan nilai 78,4, hal ini disebabkan karena adanya buangan sisa pakan ikan yang tidak habis dikonsumsi ikan keramba sehingga menghasilkan limbah yang masuk
ke badan perairan yang belum terurai dan akhirnya menambah jumlah partikel terlarut, dan amoniak dengan nilai 0,4 yang masih dalam batas normal. Adanya
amoniak di badan perairan disebabkan karena banyaknya organisme ikan dan proses kimiawi dari sisa pakan ikan yang tidak habis termakan terlepas ke kolom
2,37 1,44
1,55 2,01
0.5 1
1.5 2
2.5
KJA Dermaga
Pariwisata Bebas Aktivitas
In d
m
2
Stasiun Kepadatan Populasi K
25 perairan sehingga menambah nilai amoniak pada stasiun 1 menjadi tinggi.
Menurut Ginting 2002, agar supaya konsentrasi amoniak tidak terlalu tinggi, dapat dilakukan dengan mengoptimalkan laju nitifikasi dengan cara meningkatkan
konsentrasi oksigen terlarut di dalam air misalnya melalui areasi. Menurut Bruijne 2009, ikan bilih terkonsentrasi di sekitar keramba jaring
apung karena pelet yang tidak habis dikonsumsi oleh ikan keramba masuk ke kolom perairan dan dimanfaatkan sebagai nutrisi makanan oleh ikan bilih
sehingga akan berdampak pada populasi ikan bilih tersebut. Penambahan nutrisi dari pelet pada daerah keramba berdampak negatif pada kualitas badan perairan.
Ikan bilih mungkin tidak akan mengalami efek negatif apapun akibat pertambahan nutrisi dari keramba jaring apung Danau Toba tetapi bahkan akan
meningkatan pertumbuhan alga yang merupakan makanan alami ikan. Menurut Kartamihardja Purnomo 2006, pada 3 Januari 2003, ikan bilih diintroduksi ke
daerah Parapat dan Ajibata, Danau Toba. Karakteristik limnologis Danau Toba yang hampir sama dengan Danau Singkarak menjadikan Danau Toba sebagai
habitat baru yang disukai ikan bilih, yaitu berair jernih, memiliki dasar perairan berpasir dan suhu air relatif dingin 25,0-27,5°C. Distribusi ikan bilih meliputi
seluruh perairan Danau Toba, bahkan ditemukan di daerah pelagis dan limnetik danau yang sangat sedikit sekali dihuni jenis ikan lain
Nilai kepadatan populasi pada stasiun 4 merupakan daerah bebas aktivitas dengan nilai 2,01 indm
2
, hal ini disebabkan karena faktor fisik Tabel 2 yang mendukung yaitu penetrasi cahaya dengan nilai 425 cm yang menunjukkan
kondisi air yang jernih sehingga menguntungkan biota-biota yang hidup di dalam perairan untuk mendukung proses fotosintesis di dalam perairan pada fitoplankton
yang digunakan sebagai makanan ikan bilih, Kejenuhan oksigen dengan nilai 89,05 yang menunjukkan bahwa kejenuhan oksigen yang berasal dari laju
fotosintesis berlangsung dengan baik dan DO dengan nilai 7,0 mgL yang menunjukkan bahwa sumber oksigen dalam perairan yang dihasilkan dari proses
fotosintesis dalam keadaan baik sehingga bakteri tidak membutuhkan DO dalam jumlah banyak sehingga ikan bilih menyukai perairan dengan keadaan lingkungan
yang normal.
26 Menurut Sinurat 2009 dari penelitiannya di perairan Danau Toba
Pangururan kadar oksigen terlarut pada permukaan dengan nilai sebesar 7,0 mgL air dengan penetrasi cahaya 8 meter. Dikarenakan stasiun tersebut daerah kontrol
yang bebas dari aktivitas masyarakat sehingga kondisi perairan di daerah ini tidak terganggu dan masih baik. Oksigen terlarut berasal dari kontak langsung dari
udaradan hasil fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang ada dalam air. Nilai kepadatan populasi pada stasiun 3 merupakan daerah pariwisata
dengan nilai 2,01 indm
2
, hal ini disebabkan karena pengaruh faktor fisik yaitu intensitas cahaya dengan nilai 1846 candela, dan TSS dengan nilai 2 yang masih
dalam batas normal, radiasi cahaya matahari yang masuk ke permukaan perairan akan memberikan suatu panas pada badan perairan sehingga ikan berenang ke
dasar perairan untuk menghindari cahaya yang berlebih. Menurut Siagian 2009, dari pengukuran yang dilakukan di Lumban
Binanga intensitas cahaya diperoleh tertinggi adalah 915 Cd. Secara umum nilai parameter abiotik baik fisik maupun kimia di perairan Danau Toba, masih cukup
baik untuk kelangsungan hidup biota air yang terdapat di dalamnya. Menurut Barus 2004, faktor cahaya matahari yang masuk ke badan air akan
mempengaruhi sifat optis dari air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air, maka intensitas cahaya akan mengalami perbahan yang signifikan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Nilai kepadatan populasi terendah pada stasiun 2 dengan nilai 1,44 indm
2
. hal ini disebabkan adanya tumpahan minyak dari kapal di daerah dermaga yang di
buang langsung ke badan perairan yang menyebabkan terjadinya perubahan faktor fisik-kimia perairan yaitu TSS dengan nilai 2 mgL dan BOD dengan nilai 1,7
mgL Tabel 2, yang mengakibatkan kepadatan ikan pada stasiun tersebut rendah. Menurut Azhar 1993, Ikan bilih merupakan jenis ikan yang sangat sensitif
terhadap perubahan kondisi lingkungan perairan. Karakteristik lingkungan perairan yang ideal bagi kelangsungan hidup ikan bilih adalah perairan dengan
tingkat kekeruhan relatif rendah dan tingkat kesuburan sedang. Menurut Suin 2002, perubahan faktor lingkungan sangat berpengaruh
terhadap kepadatan populasi suatu jenis organisme pada suatu daerah. Menurut Siagian 2009, diperoleh nilai BOD
5
tertinggi sebesar 1,42 mgL yang
27 disebabkan oleh jumlah bahan organik yang berhubungan dengan defist oksigen
karena oksigen tersebut digunakan oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik sehingga mengakibatkan nilai BOD
5
meningkat.Tingginya nilai BOD
5
pada lokasi penelitian dikarenakan adanya berbagai aktivitas masyarakat yang terdapat pada lokasi tersebut.
Tabel 2. Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Danau Toba desa Haranggaol pada setiap stasiun.
No Parameter
Satuan Stasiun1
Stasiun 2 Stasiun 3
Stasiun 4 A
Fisika
1 Suhu
°C 27
26 26
25 2
Intensitas Cahaya Candela
1740 1585
1846 1135
3 Penetrasi Cahaya
cm 390
258 325
425 4
TDS mgL
78,4 77,4
77 76,7
5 TSS
mgL 1
2 2
1
B Kimia
6 Derajat Keasaman pH
- 7,2
7,1 7,2
7,2 7
Kejenuhan Oksigen 78,88
81,35 85,10
89,05 8
DO mgL
6,2 6,5
6,8 7,0
9 BOD
mgL 1,6
1,7 1,2
0,9 10
COD mgL
1,4 1,2
1,1 1,4
11 Amoniak
mgL 0,4
0,02 0,02
0,01 12
Fospat PO
4 3-
mgL 0,03
0,08 0,08
0,04 Ket:
Stasiun 1 : Keramba Jaring Apung Stasiun 2 : Dermaga
Stasiun 3 : Pariwisata Stasiun 4 : Bebas Aktivitas Kontrol
4.1.2 Rasio Kelamin Ikan Bilih Mystacoleucus padangensis
Rasio Kelamin ikan di Danau Toba Desa Haranggaol dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Rasio Kelamin ikan bilih di setiap stasiun perairan Danau Toba Desa Haranggaol
Stasiun Rasio Kelamin
Jantan : Betina
1 Keramba Jaring Apung 2:1,9
2 Dermaga 1,9:1,7
3 Pariwisata 1,8:2
4 Bebas Aktivitas 2,5:1,3
Tabel 3 menunjukkan rasio kelamin dari ikan bilih Mystacoleucus padangensis
yang diperoleh berbeda-beda untuk setiap stasiun. Pada stasiun 1, 2 dan 3 rasio kelamin jantan dan betina hampir seimbang 1:1, sehingga ikan bilih dapat
28 mempertahankan keberlangsungan populasi selanjutnya pada stasiun tersebut.
Menurut Effendie 1997, rasio kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan betina dalam suatu populasi dimana perbandingan 1:1
yaitu 50 jantan dan 50 betina merupakan kondisi ideal uktuk mempertahan kan spesies. Namun pada kenyataannya di alam perbandingan rasio kelamin
tidaklah mutlak, hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan.
Pada stasiun 4 di peroleh perbandingan jumlah jantan dan betina dengan perbandingan 2,5:1,3 , ikan jantan jauh lebih banyak dari pada ikan betina. Rasio
kelamin ikan bilih Mystacoleucus padangensis pada penelitian dipengaruhi oleh
faktor fisik kimia perairan pentrasi cahaya, kejenuhan oksigen, dan DO. Hal ini dikarenakan penetrasi cahaya, kejenuhan oksigen dan DO sangat disukai ikan
bilih yang akan mempengaruhi laju metabolisme ikan dan memudahkan ikan bilih jantan mencari makan dengan faktor lingkungan yang bisa ditolerir tersebut
karena ikan sensitif terhadap perubahan lingkungan. Menurut Wardana 1995, Oksigen diperlukan oleh ikan-ikan untuk
menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan, pemeliharaan keseimbangan osmotik dan aktivitas lainnya. Jika persediaan
oksigen di perairan sangat sedikit maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang hidup di air, karena akan mempengaruhi kecepatan
makan dan pertumbuhan ikan. Menurut Kham 1998, dari penelitian yang dilakukannya didapatkan
jumlah ikan jantan lebih banyak daripada ikan bilih betina. Secara keseluruhan nisbah kelamin ikan bilih jantan dan betina adalah 3,9:1, yang menunjukkan pada
habitatnya di Sungai Sumpur Danau Singkarak terdapat kemungkinan dalam melakukan pemijahan ikan betina dikawini oleh beberapa ekor ikan jantan. Hal ini
dinyatakan oleh Syandri 1996, bahwa nisbah kelamin ikan bilih jantan dan betina di Sungai Sumpur adalah 1,7:1. Dengan demikian dalam pengambilan
sampel lebih banyak tertangkap ikan bilih jantan dari pada ikan bilih betina.
29
4.1.3 Hubungan Panjang-Berat Ikan Bilih Mystacoleucus padangensis
Hubungan panjang-berat ikan digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan pada masing-masing stasiun. Hubungan panjang-berat ikan bilih
Mystacoleucus padangensis dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 7 berikut ini.
Tabel 4. Data hubungan panjang-berat ikan Bilih
Mystacoleucus padangensis
Stasiun b
Pola Pertumbuhan
1 Keramba Jaring Apung 2,687
Allometrik - 2 Dermaga
2,583 Allometrik -
3 Pariwisata 1,807
Allometrik - 4 Bebas Aktivitas
2,789 Allometrik -
Tabel 4 menunjukkan pola pertumbuhan ikan bilih Mystacoleucus padangensis
di setiap stasiun perairan Danau Toba desa Haranggaol adalah sama yaitu allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih dominan atau lebih
besar dibandingkan berat. Dilihat dari hasil pengukuran panjang total ikan bilih jantan berkisar 12,5-17 cm dengan berat berkisar antara 21,5 g-62,9 g dan ikan
bilih betina, dengan ukurannya 12,5-18 cm dengan berat berkisar antara 39,6-64,5 g. Hal ini disebabkan karena ikan bilih aktif bergerak dan mengeluarkan banyak
energi untuk berenang mencari makan dan beaktivitas, pola pertumbuhan populasi ikan bilih dipengaruhi oleh nutrisi, jenis kelamin, genetik yang di turunkan dari
induk dan faktor lingkungan yang mendukung kehidupan ikan dilihat dari faktor fisik yang mendukung diperoleh dari penelitian dengan suhu berkisar antara 25-
27°C. Menurut Effendi 1997, secara biologis nilai b berhubungan dengan kondisi ikan; sedangkan kondisi ikan bergantung pada makanan, umur, jenis
kelamin dan kematangan gonad.
Menurut Sulawesty et al 2002, dalam setahun musim ikan terjadi selama empat bulan. Menurut Welcomme 2001, pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh
perbedaan musim yang terjadi. Pada umumnya pertumbuhan ikan akan meningkat pada musim hujan air naik dan akan melambat pada musim kemarau. Hal ini
dikarenakan perubahan musim akan menyebabkan perubahan ketersediaan makanan, temperatur, aktivitas makanan, dan aktivitas memijah.
Menurut Raharjo et all., 2011, hubungan panjang bobot ini mempunyai beberapa manfaat, yaitu menduga bobot ikan dari panjang untuk individu ikan dan
untuk kelas panjang ikan, menduga biomassa ikan jika sebaran frekuensi panjang.
30
Hubungan panjang dan berat ikan bilih Mystacoleucus padangensis
dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Hubungan panjang-berat ikan bilih M. padangensis pada setiap
stasiun penelitian a. Stasiun 1 Keramba Jaring Apung, b. Stasiun 2 Dermaga, c. Stasiun 3 Parawisata, d. Staisiun 4 Bebas Aktivitas.
20 40
60 80
5 10
15 20
B e
r at
g
Panjang cm
a.
20 40
60
5 10
15 20
B e
r at
g
Panjang cm
b.
20 40
60 80
5 10
15 20
B er
at g
Panjang cm
c.
20 40
60 80
5 10
15 20
B er
at g
Panjang cm
d.
31
4.1.4 Data Tingkat Kematangan Gonad TKG
Tingkat kematangan gonad TKG ikan di Danau Toba Desa Haranggaol dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5 . Tingkat kematangan gonad TKG ikan bilih Mystacoleucus
padangensis pada masing-masing stasiun di Danau Toba Desa Haranggaol
Stasiun TKG
Panjang Total cm
Berat Tubuh gram
Berat Gonad gram
Jumlah Ekor
KJA I
14-16 29,5-50,4
0,5-1,9 8
II 14-15
31,4-33,4 1,2-1,4
2 III
16,5 49,4
3,8 1
IV 15-16,5
34,6-64,5 2,1-10,6
6 V
15,5 24,2-46,8
3,2-5,1 2
Dermaga I
13,5-16,5 28,3-56,4
0,5-1,1 6
II -
- -
- III
15 30,5-35,5
0,9-1,9 2
IV 14-16
29-40,5 2,5-4,0
7 V
14,5-16 32,8-48,6
3,2-4,3 2
Pariwisata I
12,5-16 24,6-50,3
1,1-2,2 12
II -
- -
- III
14 27,2-40,5
0,9-1,3 2
IV 14,5-16
31,8-41,2 1,9-4,8
3 V
16,5-18 52,5-67,4
3,7-7 3
Bebas I
13-17 29,9-48,1
0,4-1,6 7
Aktivitas II
17 60,4
2,2 1
III 14,5
30,3 2,5
1 IV
15,5 42,9
1,5 3
V 14
30,6 4,5
1
Tabel 5 menunjukkan hasil tingkat kematangan gonad TKG ikan bilih Mystacoleucus padangensis di Danau Toba Desa Haranggaol di seluruh stasiun
diperoleh TKG I-V, pada TKG II tidak dijumpai pada stasiun 2 Dermaga dan stasiun 3 Pariwisata. Hal ini dikarenakan pada stasiun 2 dan 3 tersebut memiliki
nilai kepadatan ikan bilih terendah dibandingkan dengan stasiun lainnya sehingga jumlah ikan bilih untuk setiap tingkatan TKG memiiki persentase yang kecil
bahkan untuk TKG 2 tidak ditemukan pada kedua stasiun tersebut. Adanya perbedaan kandungan nutrisi untuk setiap stasiun turut mempengaruhi tingkatan
TKG ikan bilih karena faktor makanan dan habitat hidup sangat berhubungan dengan tingkat TKG ikan bilih. Febriani 2010 juga menyatakan bahwa
perbedaan komposisi makanan pada tingkat kematangan gonad yang berbeda diduga akibat perbedaan habitat ikan pada tingkat kematangan gonad yang
berbeda.
32 Dengan tidak meratanya jumlah tingkat kematangan gonad tersebut di
setiap stasiun akan berdampak pada populasi selanjutnya dan akan mengancam keberadaan populasi ikan bilih yang tidak merata. Sehingga perlu diperhatikannya
keberadaan ikan bilih dan lingkungan habitat ikan supaya keberadaannya tidak terancam. Menurut Effendie 1997, tercapainya kematangan gonad untuk
pertama kali akan mempengaruhi pertumbuhan, yaitu kecepatan pertumbuhan menjadi sedikit terhambat, Karena sebagian makanan yang dikonsumsi digunakan
untuk perkembangan gonad. Menurut Effendie 1979, dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk
perkembangan gonad. Berat gonad akan mencapai maksimal sesaat ikan akan memijah, kemudian akan menurun dengan cepat selama pemijahan sedang
berlangsung sampai selesai. Menurut Kartamihardja dan sarnita 2008, perkembangan gonad ikan
betina lebih banyak diperhatikan dari pada ikan jantan karena perkembangan diameter telur yang terdapat dalam gonad lebih mudah dilihat dari pada sperma
yang terdapat di dalam testes Effendie, 2002. Di Danau Toba, ikan bilih dewasa matang gonad pada ukuran panjang antara 10,1-14,7 cm dengan rata-rata 11,9 cm
dan kisaran berat antara 7,9-28,7 gram dengan rata-rata 15,8 gram. Jumlah individu ikan bilih terbanyak terdapat di stasiun 1 Keramba Jaring
Apung dengan jumlah 19 ekor dan jumlah individu ikan bilih terendah terdapat di stasiun 4 Bebas Aktivitas dengan jumlah 13 ekor. Hal ini disebabkan pada
stasiun 1 Keramba Jaring Apung yang merupakan daerah keramba tersedia nutrisi yang dibutuhkan oleh ikan bilih dalam proses metabolisme dari sisa pakan
ikan keramba pada daerah tersebut. Selain itu dengan melimpahnya kandungan nutrisi menyebabkan tingginya kelimpahan plankton pada stasiun tersebut karena
ikan bilih tergolong ikan pemakan plankton. Berdasarkan jenis makanan yang dikonsumsi sehingga dapat disimpulkan ikan bilih termasuk jenis ikan plankton
feeder. Menurut Effendie 2002, ikan bilih termasuk ikan euryphagus karena memakan berbagai macam makanan atau campuran.
33
4.2 Nilai Analisis Korelasi Pearson