34
Oleh karena itu Umar menyusun kebijakan penambahan jenis barang yang wajib dizakati, menghilangkannya sewaktu-waktu, jika dianggap sudah
tidak relevan dalam struktur perpajakan dan pendapatan Negara sewaktu- waktu.
19
4. Masa Utsman bin Affan
Pada periode ini penerimaan zakat meningkat, sehingga gudang Baitul Mal
penuh dengan harta zakat. Khalifah kadang memberi wewenang kepada para wajib zakat untuk atas nama khalifah
menyerahkan secara langsung kepada yang berhak. Bahkan khalifah mengeluarkan hartanya sendiri untuk memperbesar penerimaan zakat
untuk kepentingan Negara. Khalifah sangat popular sebagai orang yang dermawan dan memiliki kekayaan yang pribadi dalam jumlah besar
sebelum menjabat sebagai khalifah. Dana zakat yang terkumpul segera didistribusikan kepada yang
berhak. Jika terdapat sisa di Baitul Mal, maka beliau menginstruksikan untuk menyalurkannya ke lembaga-lembaga social yang memberi manfaat
bagi kemashlahatan ummat, terutama membiayai pembangunan dan ta’mir Masjid Rasulullah
19
Ibid, 30
35
5. Masa Ali bin Abi Thalib
Meskipun dalam suasana politik yang tidak stabil, Ali tetap menangani persoalan zakat bahkan terlibat langsung secara intensif
melakukan pendistribusian. Kebijakannya mengikuti khalifah-khalifah terdahulu.
b. Zakat Dalam Kebijakan dan Pemikiran Tokoh-tokoh Penting Pada Masa Daulah Islamiyyah
1. Umar bin Abdul Aziz 99-101 H
Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, kerajaan mengalami kemajuan karena ditangani dengan system dan manajemen fungsional.
Jenis-jenis harta kekayaan yang dikenakan zakat mengalami pertambahan. Dalam hal ini Yusuf Qardhawi
20
menuturkan bahwa, khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang pertama yang
mewajibkan zakat atas harta kekayaan yang diperoleh dari penghasilan usaha atau hasil jasa baik termasuk gaji, honorium, penghasilan
prifesi, dan Maal al-Mustafad lainnya.
2. Abu ‘Ubayd al-Qasim Ibn Sallam W. 838 M
Pendapatnya dalam kitab Al-Amwal tentang keuangan negara diantaranya berkenaan dengan zakat :
20
Ibid, 31
36
a. Zakat merupakan salah satu jenis harta yang dikumpulkan dan disalurkan.
b. Tidak ada batas tertinggi pembayaran zakat dan penyalurannya.
3. Al-Ghazali 1055-1111
Al-Ghazali
21
dalam beberapa buku seperti Ihya ‘Ulumuddin dan Mizan al-‘amal mengemukakan pendapatnya tentang norma-
norma kehidupan social diantaranya berkaitan dengan pengelolaan harta dan kewajiban zakat :
a. Penimbunan kekayaan berlebihan adalah penindasan b. Kewajiban untuk membantu rakyat yang kekurangan melalui
bendahara publik. Dana bendahara publik diantaranya berasala dari pemungutan zakat.
4. Ibnu Taimiyah 1263-1328 M
Menurut Ibnu Taimiyah,
22
zakat merupakan salah satu bentuk penerimaan publik yang menjadi sumber utama dari pendapatan
Negara. Zakat merupakan tonggak dari system perpajakan dalam Negara Islam. Zakat merupakan kewajiban dari setiap penduduk
seperti halnya juga shalat yang menjadi hak Allah. Dari 8 asnaf penerimaan zakat, menurut Ibnu Taimiyah
merupakan kewajiban untuk mengeluarkan zakat kepada seluruh
21
Ibid, 32
22
Ibid, 33
37
penerima zakat itu secara merata. Pembagian ditentukan berdasarkan tingkat kebutuhan dan kepentingannya.
Jika pengauasa tidak adil dan dalam pendistribusian dana zakat kepada yang berhak, setiap orang boleh menolak membayar zakat
kepada mereka dan diperkenakan secara langsung menyalurkan zakat kepada mereka yang berhak. Hal ini tidak berlaku untuk jenis
kewajiban lain yang menjadi sumber penerimaan nrgara, kendati penguasaanya tidak adil, tetap harus dibayar.
Pemikiran tokoh-tokoh di atas menunjukan betapa pentingnya peranan zakat dalam perkembangan ekonomi di masyarakat.
c. Zakat Pada Era Kontemporer
zakat sebagai instrument social ekonomi memiliki aspek histories tersendiri pada masa kejayaan Islam. Zakat sebagai elemen perekonomian
memiliki peranan penting dalam struktur perekonomian Negara. Aspek inilah yang digambarkan dalam sejarah peradaban Islam mulai khalifah
Abu Bakar yang telah meletakkan aturan dasar pelaksanaan, regulasi, dan system dalam pemungutan zakat, sampai pada khalifah Umar bi Abdul
Aziz yang telah melengkapi aspek-aspek pengelolaan zakat. Dalam penghimpunan dan pengelolaan zakat tidak lepas dari
empat aspek yang terkait, yakni : mustahik, ashnaf zakat yang delapan, amilin,
individu dan institusi dan manajemen zakat pemungutan dan penyalurannya. Idealnya keempat aspek tersebut bersinergi membentuk
38
sebuah system yang transparan, akuntabel, dan efektif. Dalam sebuah Negara Islam, zakat harus dikelola oleh Negara, pada saat Negara tidak
melakukan pengelolaan, maka kewajiban itu jatuh ke tangan masyarakat yang memiliki kemampuan dan berkesempatan.
Beberapa hal berikut, mesti mendapat perhatian dalam pengelolaan zakat :
1. zakat merupakan investasi social 2. Investasi zakat harus memperhatikan pada aspek :
a. Halal dan Thoyyib
b. Local Source
c. Bottom Up
d. Ramah Lingkungan e. Kebutuhan Pasar
3. Pengelolaan zakat harus memiliki karakter socialwirausaha 4. Karakter manajemen, yaitu manajemen by process
Pemanfaatan dan pendayagunaan alokasi dana zakat dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Konsumtif tradisional, zakat dimanfaatkan dan digunakan langsung oleh mustahik, untuk pemenuhan kebutuhan hidup
2. Konsumti kreatif, zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain dan jenis barang semula, misalnya beasiswa
39
3. produktif tradisional, yaitu zakat yang diberikan dalam bentuk barang- barang produksi, seperti sapi, mesin jahit dan lain-lain
4. produktif kreatif, yaitu pendayagunaan zakat diwujudkan dalam bentuk modal, baik untuk membangun suatu proyek social maupun
menambah modal pedagang untuk berwirausaha.
4. Yang Berhak Menerima Zakat Mustahik
Sesuai dengan firman Allah QS. At-Taubah ayat 60, bahwa zakat diberikan kepada delapan ashnaf, diantaranya yaitu :
23
☺ ☺
☺ ⌧
⌧ ☺
ﺔ۸ﻮﺘﻟا :
60
Artinya : ”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang- orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk
hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
23
Lili Bariadi, Muhammad Zen, M. Hudri, Zakat dan Wirausaha, Jakarta : CV. Pustaka Amri, 2005, hlm 11.
40
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. QS. At-Taubah : 60
1. Golongan Fakir