Komposisi Resin Komposit Nanohybrid Kelebihan dan Kekurangan Resin Komposit Nanohybrid

Gambar 1. Bentuk partikel nano 17 Single nanomer adalah partikel individu yang pada umumnya berbentuk bulat. Ukuran bahan pengisi berukuran nano ini berkisar antara 5-75 nm dibandingkan dengan ukuran partikel bahan pengisi yang umumnya sebesar 1 µ m. Nanocluster merupakan kumpulan dari single nanomer yang memiliki ukuran berkisar antara 2-20 nm. 19 Pengenalan akan partikel berukuran nano ini meningkatkan beban dari bahan pengisi yang pada akhirnya dapat meningkatkan aplikasi klinis yang lebih baik meliputi: meningkatkan kemampuan polis, meningkatkan resistensi terhadap pemakaian, serta meningkatkan resistensi terhadap fraktur. Konsentrasi dari partikel tergantung dari viskositas. Partikel bahan pengisi dapat mencapai 69 volume dan 84 berat, menyebabkan penyusutan selama polimerisasi berkurang. Bahan coupling yang paling banyak digunakan adalah organosilane. 19 Farid dkk, pada tahun 2004 menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara immediate bond strength dan delayed bond strength pada resin komposit nanohybrid. 20 Menurut penelitian Bulem dkk, pada tahun 2006, bahwa nilai compressive strength dan diametral tensile strength resin komposit nanohybrid, resin komposit packable, organically-modified ceramic, lebih besar daripada bahan lainnya amalgam, dual-cure adhesive core, dan silver-reinforced glass ionomer cement. 21

2.1.1 Komposisi Resin Komposit Nanohybrid

Resin komposit nanohybrid terdiri dari ukuran partikel bahan pengisi yang berbeda-beda. Ukuran partikel yang bervariasi menyebabkan distribusi bahan pengisi Universitas Sumatera Utara yang homogen di dalam matriks, karena bahan pengisi berukuran nano mampu mengisi jarak antara partikel-partikel yang besar dengan sempurna dan dapat membantu menghasilkan resin komposit dengan muatan bahan pengisi yang dapat dibandingkan dengan komposit hibrid konvensional. Resin komposit nanohybrid memadukan sifat baik dari resin komposit makrofil seperti sifat fisik dan mekanis yang sangat baik dengan resin komposit mikrofil kualitas finishing dan polishing yang memuaskan. Dengan demikian, komposit ini dapat direkomendasikan sebagai bahan restorasi universal untuk gigi anterior dan posterior.Jenis matriks dari komposit ini masih terdiri dari monomer Bis-GMA konvensional yang dikembangkan oleh Bowen, meskipun jenis monomer yang baru telah diperkenalkan belakangan ini, misalnya dimer acid based dimethacrylate monomer dan urethane monomer yang khusus.Struktur inti dari monomer yang berbasis dimer acid ini disusun oleh struktur alifatik linear dan siklik.Dimer acid memiliki arti golongan dari asam karboksilat sikloalifatik yang merupakan dibasic acid dengan berat molekul yang tinggi, berupa cairan, dan dapat dipolimerisasi secara langsung dengan alkohol dan polyol untuk membentuk polyester. 22

2.1.2 Kelebihan dan Kekurangan Resin Komposit Nanohybrid

Kelebihan dari resin komposit nanohybrid yaitu: 1. Preparasi gigi yang dibutuhkan minimal, mengingat sifat adhesif yang mengijinkan adanya penambahan bahan pada area yang mengalami defek tanpa perlu preparasi tambahan. 2. Bahan restorasi yangdiproses di laboratorium berpotensi menghasilkan restorasi yang tahan lama. 3. Mengingat restorasi resin komposit nanohybrid dapat diselesaikan dalam satu kali kunjungan, pasien hanya membutuhkan satu kali anestesi. Hal ini dapat mempersingkat waktu dan mengurangi ketidaknyamanan bila harus dilakukan sementasi pada hari yang berbeda. 4. Resin komposit nanohybrid dapat dipolis dengan sangat baik dan dapat bertahan selama bertahun-tahun. Hal ini akan menjamin estetis yang optimum yang Universitas Sumatera Utara menyerupai gigi asli dengan akumulasi plak minimal. Kilau dari bahan ini dapat ditingkatkan dengan menyikat gigi, disebut juga “self-polishing effect.” 5. Penyesuaian warna mudah karena tampilan resin komposit nanohybrid yang alami memaksimalkan nilai estetis bahan. Komposit ini dapat menyatu dengan baik pada gigi yang direstorasi. 2 Sampai saat ini resin komposit nanohybrid merupakan bahan tambalan yang baik bila dilihat dari segi estetis, sifat fisis, sifat mekanis, maupun ketahanannya. Hanya saja, bila dibandingkan dengan resin komposit nanofilled yang semua partikel bahan pengisinya berukuran sama, sifat fisis resin komposit nanohybrid masih berada di bawah resin komposit nanofilled. 1 2.2Polimerisasi Resin Komposit Sejak diperkenalkan pertama kali pada sekitar tahun 1960, resin komposit terus mengalami perkembangan pada tiap aspek, termasuk estetik, ketahanan pemakaian, dan teknik manipulasi.Namun, pengerutan selama polimerisasi tetap menjadi masalah utama. 23 Polimerisasi komposit dapat dibagi menjadi fase pre gel dan post gel.Pada fase pre gel, spesimen yang reaktif mampu untuk kompensasi volume pengerutan tanpa menghasilkan stres internal dan stres interfasial dengan jumah yang signifikan.Setelah proses gelation post gel, pembentukkan jaringan polimer semi rigid menghalangi deformasi plastis.Ketika derajat konversi mencapai 10-20, sudah cukup untuk membentuk gel. Sebagai konsekuensinya, pengerutan polimerisasi terus berlanjut dihubungkan dengan perkembangan modulus elastisitas, sehingga menghasilkan stres pada bahan restorasi. 3 Polimerisasi resin komposit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Resin Komposit Aktivasi Kimia Pada awalnya, polimerisasi resin komposit terjadi dengan mencampurkan dua pasta. Salah satu pasta mengandung aktivator, misalnya amina tersier, yang digunakan untuk memisahkan inisiator, biasanya benzoyl peroxide, yang merupakan kandungan dari pasta yang lainnya. 24 Resin komposit aktivasi kimia didasarkan pada polimerisasi radikal yang diinisiasi oleh proses dekomposisi benzoyl peroxide. 25 Universitas Sumatera Utara 2. Resin Komposit Aktivasi Sinar Resin komposit aktivasi sinar merupakan bahan restorasi yang paling dominan baik untuk gigi anterior maupun posterior. Pada resin komposit ini menggunakan camphorquinone sebagai inisiator. 24 Komposit aktivasi sinar ini mengijinkan dokter gigi untuk secara aktif menginisiasi polimerisasi sehingga lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan resin komposit aktivasi kimia. Lebih jauh lagi, teknik inkremental yang dilakukan untuk mengurangi pengerutan selama polimerisasi menjadi dapat dilakukan pada kavitas yang besar. 26 Penyusutan selama polimerisasi dapat mempengaruhi kerapatan bagian tepi Hal ini dapat dilihat pada gambar 2, dimana setelah polimerisasi akan terbentuk gap yang dapat menyebabkan kurangnya kerapatan bagian tepi.Besarnya kontraksi yang terjadi bergantung pada ketebalan bahan yang digunakan, ukuran kavitas, serta teknik aplikasinya secara klinis.Sistem inkremental, yang umumnya digunakan pada resin komposit aktivasi kimia, bisa digunakan untuk membatasi kerusakan yang diakibatkan oleh penyusutan. Masalah lain yang dapat ditimbulkan oleh penyusutan adalah stres pada permukaan gigi. 19 Gambar 2.A. Gigi yang baru direstorasi, sebelum polimerisasi, B. Pembentukkan marginal gap setelah restorasi. 19 Akibat adanya kontraksi polimerisasi, perbedaan koefisien termal, dan perlekatan yang inadekuat antara bahan restorasi dan permukaan gigi, dapat terjadi A B Universitas Sumatera Utara celah mikro antara resin komposit dan permukaan gigi yg pada akhirnya menyebabkan kebocoran mikro.Kebocoran mikro adalah penetrasi mikroorganisme dan cairan rongga mulut ke dalam pulpa. Manifestasi klinis dari kebocoran mikro adalah diskolorisasi marginal, nyeri, berkembangnya karies sekunder, dan rusaknya kompleks dentin-pulpa. 27 2.3Sistem Adhesif 2.3.1 Klasifikasi Sistem Adhesif 1. Sistem Adhesif Total-Etch Sistem adhesif yang berkembang sekarang ini umumnya terdiri dari monomer fungsional, monomer berbasis resin, inisiator, pelarut, inhibitor, dan bahan pengisi anorganik. Monomer resin adalah penting karena polimerisasinya menghasilkan cross-linked matrix yang menghasilkan kekuatan mekanis pada adhesif. Pertimbangan pemilihan monomer resin mempengaruhi sifat dan daya tahan lapisan adhesif di dalam rongga mulut. 10 Monomer hidrofilik 2-hydroxy-ethyl methacrylate HEMA paling umum digunakan dalam adhesif.Adhesif yang mengandung HEMA dapat meningkatkan kekuatan perlekatan pada dentin yang mengalami demineralisasi.HEMA berfungsi sebagai agen yang dapat membasahi dan sebagai pelarut.Sifat ini dapat meningkatkan stabilitas bahan adhesif yang mengandung komponen hidrofilik dan hidrofobik dan mempertahankan bahan-bahan di dalam larutan tanpa harus mengalami fase separasi. Sifat hidrofilik HEMA menyebabkan penyerapan air dan pada akhirnya akan menyebabkan degradasi bahan adhesif di waktu yang akan datang. Ketika konsentrasi HEMA menurun di bawah level kritis, akan terjadi fase separasipemisahan antara air dan monomer adhesif, dan dibutuhkan udara yang cukup kuat untuk menghilangkan droplet yang mengandung air di dalam bahan adhesif. Konsentrasi HEMA yang optimal untuk mendapat perlekatan yang kuat di dalam bahan primeradhesif adalah antara 30-40, meskipun kegunaan HEMA masih kontroversial. 10 Peningkatan konsentrasi komponen hidrofilik dibutuhkan dalam adhesif untuk meningkatkan kemampuan penetrasi pada bahan yang porus, terutama pada jaringan Universitas Sumatera Utara kolagen dari dentin yang mengalami demineralisasi.Air, etanol, dan aseton adalah pelarut yang umum digunakan dan harus terevaporasi dari bahan adhesif; jika tetap berada dalam bahan adhesif, permeabilitas lapisan adhesif mungkin dapat meningkat. Jumlah pelarut yang terevaporasi dalam campuran resin adhesif sudah diteliti, dan hasilnya mengindikasikan bahwa waktu yang ditetapkan pabrik terlalu singkat untuk menghilangkan setengah dari pelarut. Setelah polimerisasi dari adhesif, sisa -sisa pelarut digantikan oleh air. Untuk mengoptimalkan eliminasi pelarut organik dan air, dibutuhkan pengeringan yang lebih lama dan sebaiknya waktu pengaplikasian juga lebih lama. 10 Air adalah pelarut senyawa organik yang buruk, sehingga pelarut sekunder seperti etanol atau aseton sebaiknya ditambahkan pada bahan adhesif. Karena tekanan uap air dari adhesif berbasis air lebih rendah, aplikasi sebaiknya dilakukan dengan cara digosok untuk membantu difusi monomer dan mendapatkan hasil yang baik secara klinis. Bahan yang berbasis aseton dapat bekerja dengan baik pada dentin yang lembab tapi dapat menjadi buruk apabila dilakukan pengeringan yang berlebihan pada permukaan dentin.Sebaliknya, bahan yang berbasis air tidak terlalu sensitif pada suasana lembab dari dentin tetapi membutuhkan waktu evaporasi pelarut yang lebih lama karena air memiliki tekanan uap air yang rendah.Aseton memadukan komponen hidrofobik dan hidrofilik untuk mencegah fase separasi. Bagaimanapun, penguapan yang tinggi dapat menyebabkan menurunnya usia penyimpanan adhesif berbasis aseton akibat evaporasi aseton selama pemakaian ulang di dalam botol. Namum beberapa penelitian meskipun masih sedikit telah mempelajari alternatif pelarut sepertitert-butanol 2-methyl-2-propanol. 10 Sistem adhesif total-etch dapat diklasifikasikan menjadi:  Three-step total-etch adhesive Ciri dari sistem ini adalah aplikasi bahan etsa, primer, dan bonding yang berada dalam larutan terpisah. Gel asam diaplikasikan pada enamel dan dentin untuk membuang smear layer dan mendemineralisasi kristal hidroksiapatit di permukaan.Hal ini menyebabkan terpaparnya serabut-serabut kolagen. Pembentukkan Universitas Sumatera Utara lapisan hibrid yang tebal terjadi akibat keterlibatan mikromekanis monomer resin dengan dentin yang sudah dietsa. 28  Two-step total-etch adhesive Ciri dari sistem ini adalah kombinasi bahan primer dan bonding dalam satu botol. Untuk menghasilkan perlekatan yang optimal, etsa pada permukaan enamel dan dentin sangat diperlukan. 28 Pada dentin, air dibutuhkan untuk mencegah runtuhnya serabut kolagen untuk pembentukkan lapisan hibrid yang sesuai. Terdapat dua teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh hibridisasi yang adekuat; teknikdry-bonding dan wet-bonding, dimana yang membedakan kedua teknik ini adalah pelarut yang digunakan pada bahan primeradhesif. Dengan sistem total-etch, monomer primer hidrofilik dilarutkan pada suatu pelarut yang mudah menguap, seperti aseton dan etanol, kemudian pelarut primer dievaporasi dengan gentle air-drying, menyisakan monomer primer yang aktif. 28 Saat mengaplikasikan teknik dry-bonding, substrat dikeringkan dengan udara.Jaringan kolagen pada dentin yang terdemineralisasi runtuh bersamaan dengan hilangnya jarak interfibrillar antara serabut kolagen yang terpapar. Sistem adhesif yang mengandung primer berbasis air terhidrasi kembali dan, oleh karena itu, menambah jaringan kolagen dentin yang runtuh. 28 Sebagai alternatif, permukaan dentin yang telah dietsa dapat dijaga kelembabannya dengan teknik wet-bonding, diperkenalkan oleh Kanca dan Gwinnett pada 1992. Teknik ini cocok untuk sistem adhesif total-etch yang menggunakan bahan adhesif berbahan aseton. Hal ini dapat meningkatkan perlekatan resin dengan dentin dan mengurangi terjadinya sensitivitas pasca perawatan. Bagaimanapun, besarnya tingkat kebasahan pemukaan gigi yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas kolagen tanpa mempengaruhi kekuatan perlekatan sulit dilakukan. 28 Universitas Sumatera Utara Gambar 3.Two-step total-etch adhesive. A. Etsa asam untuk membuang smearlayersmearplug, B. Aplikasi bahanadhesif 28 2. Sistem Adhesif Self-Etch Sistem ini merupakan sistem adhesif terbaru, memerlukan langkah yang sederhana, serta waktu yang dibutuhkan saat aplikasi klinis juga lebih singkat. Sistem self-etch tidak membutuhkan etsa yang terpisah, karena adhesif ini berisi monomer fungsional asam yang bekerja sebagai etsa dan primer sekaligus untuk perlekatan ke struktur gigi. Sistem self-etch lebih mudah digunakan dan aplikasinya tidak rumit, dengan demikian akan menghasilkan hasil yang memuaskan saat digunakan secara klinis. Monomer fungsional asam dalam sistem adhesif self-etch melarutkan smear layer dan mendemineralisasi substrat gigi di bawahnya untuk membentuk zona interdifusi yang tipis. Sistem adhesif self-etch mendemineralisasi sebagian dentin dan menyebabkan interaksi kimia dengan kristal hidroksiapatit, sehingga dapat meningkatkan kemampuan perlekatan dalam jangka waktu yang lama. Karena tidak ada korelasi antara ketebalan lapisan hibrid dengan kekuatan perlekatan, keberadaan lapisan hibrid yang tipis tidak mempengaruhi kekuatan perlekatan ketika monomer fungsional asam menyebabkan demineralisasi dentin. 10 Universitas Sumatera Utara Sistem adhesif self-etch telah terbukti tidak membutuhkan teknik yang rumit dan menghasilkan aplikasi klinis yang baik. Keuntungan lain yang penting adalah rendahnya insidensi pasien mengalami sensitivitas pasca perawatan. 10 Sistem adhesif self-etch dapat diklasifikasikan menurut pH nya, yaitu, strong pH 1, intermediate pH=1.5, dan mild pH2. Gambaran morfologi zona interaksi antara dentin dengan resin yang dihasilkan oleh sistem adhesif self-etch, tergantung pada kemampuan monomer fungsional asam untuk mendemineralisasi dentin. Strong self-etch adhesive pH1 melarutkan smear layer dengan sempurna dan membentuk lapisan transisi yang tebal. Gambaran morfologi interfasial yang dihasilkan sistem adhesif ini menyerupai yang dihasilkan oleh sistem adhesif total- etch.Mild self-etch adhesive pH sekitar 2 mendemineralisasi dentin di permukaan sampai kedalaman 1 µ m dan menghasilkan lapisan transisi yang lebih tipis. Mild self-etch adhesive hanya mendemineralisasi sebagian dentin, meninggalkan kristal hidroksiapatit di sekitar serat-serat kolagen. 10 Sistem adhesif self-etch dapat diklasifikasikan menjadi:  Two-step self-etch adhesive Sistem ini membutuhkan aplikasi bahan primer sistem adhesif self-etch pada enamel dan dentin, diikuti dengan aplikasi bahan bonding yang hidrofobik. Efek dari sistem adhesif self-etch berasal dari monomer dimana asam karboksilat atau asam fosfat ditambahkan. 28  One-step self-etch adhesive Bahan etsa, primer, dan bonding tersedia dalam satu botol. Sistem ini tidak memerlukan pencampuran, disebut juga all-in-one adhesives. 28 Universitas Sumatera Utara Gambar 4.Sistem adhesif self-etching primer. A. Smear layer sebagai substrat. B. Aplikasi bahan primer biru akan berpenetrasi ke dalam smear layer dan smear plug. C. Aplikasi bahan adhesif dan penyinaran. 29

2.3.2 Perlekatan terhadap Enamel

Dokumen yang terkait

Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) Sebagai Basis Restorasi Klas II dengan Sistem Adhesif Self-Etch One-Step Terhadap Tensile Bond Strength

2 58 76

Pengaruh Bahan Pemutih Gigi Hidrogen Peroksida 35% Terhadap Shear Bond Strength Resin Komposit dengan Bahan Adhesif Total Etch ( Penelitian In Vitro)

4 86 71

Perbandingan Tensile Bond Strength Antara Resin Komposit Berbasis Methacrylate Dan Silorane Dengan Menggunakan Sistem Adhesif Yang Berbeda Pada Restorasi Klas I Insisivus

4 53 74

Perbedaan Tensile Bond Strength Resin Komposit Berbasis Silorane dengan Menggunakan Sistem Adhesif yang Berbeda pada Restorasi Klas I

1 52 74

Perbedaan Kebocoran Mikro Resin Komposit Flowable dan Packable dengan Meggunakan Sistem Adhesif Total-Etch Two-Step dan Self-Etch One-Step pada Restorasi Klas V (PENELITIAN IN VITRO)

5 137 95

Penggunaan Bahan Tumpatan Resin Komposit Dengan Prosedur Etsa Asam

3 27 38

Kekuatan Tarik Perlekatan (Tensile Bond Strength) Antara Dentin Dan Komposit Resin Dengan Memakai Bahan Adhesif Yang Berbeda

0 38 76

Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) dan Resin Flowable sebagai Intermediate Layer pada Restorasi Klas V Resin Komposit Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 30 96

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbedaan Tensile Bond Strength pada Resin Komposit Nanohybrid Menggunakan Sistem Adhesif Total-Etch dan Self-Etch pada Restorasi Klas I (Penelitian In Vitro)

0 0 17

Perbedaan Tensile Bond Strength pada Resin Komposit Nanohybrid Menggunakan Sistem Adhesif Total-Etch dan Self-Etch pada Restorasi Klas I (Penelitian In Vitro)

1 1 13