Pengaruh Edukasi Dua Lintas terhadap Jumlah, Jenis, dan Jadwal Makan Penderita DMT2 Studi Dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat.

(1)

SKRIPSI

PENGARUH EDUKASI DUA LINTAS TERHADAP JUMLAH,

JENIS, DAN JADWAL MAKAN PENDERITA DM TIPE 2

Studi Dilakukan di Wilayah Kerja

Puskesmas II Denpasar Barat

OLEH :

I PUTU ARYA SEDANA NIM. 1102105041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

i

PENGARUH EDUKASI DUA LINTAS TERHADAP JUMLAH,

JENIS, DAN JADWAL MAKAN PENDERITA DM TIPE 2

Studi Dilakukan di Wilayah Kerja

Puskesmas II Denpasar Barat

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

I PUTU ARYA SEDANA NIM. 1102105041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

PENGARUH EDUKASI DUA LINTAS TERHADAP JUMLAH, JENIS,

DAN JADWAL MAKAN PENDERITA DM TIPE 2

Studi Dilakukan di Wilayah Kerja

Puskesmas II Denpasar Barat

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

I PUTU ARYA SEDANA NIM. 1102105041

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI

Pembimbing Utama

(Ns. Made Sukarja, S.Kep, M.Kep) NIP. 19681231 199203 1 020

Pembimbing Pendamping

(Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep, M.Kes) NIP. 19810510 201012 1 003


(4)

iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

PENG PENGARUH EDUKASI DUA LINTAS TERHADAP JUMLAH,

JENIS, DAN JADWAL MAKAN PENDERITA DM TIPE 2

Studi Dilakukan di Wilayah Kerja

Puskesmas II Denpasar Barat

OLEH

I PUTU ARYA SEDANA NIM. 1102105041

TELAH DIUJIKAN DIHADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI : KAMIS

TANGGAL : 18 JUNI 2015 TIM PENGUJI :

1. Ns. Made Sukarja, S.Kep, M.Kep (Ketua)

2. Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep, M.Kes (Sekretaris)

3. Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep, Sp.Kep.Kom (Pembahas)

MENGETAHUI :

DEKAN

FK UNIVERSITAS UDAYANA

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes NIP. 19530131 198003 1 004

KETUA

PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA

Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF NIP. 19501231 198003 1 015


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Edukasi Dua Lintas terhadap Jumlah, Jenis, dan Jadwal Makan Penderita DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF, sebagai ketua PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam pembuatan proposal penelitian.

3. Ns. Made Sukarja, S.Kep, M.Kep sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep, M.Kes sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. 5. Kepala Puskesmas II Denpasar Barat yang telah memberikan izin studi pendahuluan

dan izin melakukan penelitian kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana yang telah memberikan bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini. 7. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada


(6)

v

8. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Program A Angkatan Tahun 2011 atas dukungan yang telah diberikan selama menyelesaikan skripsi ini.

9. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Program A Angkatan 2012 atas dukungannya sebagai asisten dalam penelitian ini.

10.Seluruh responden penelitian yang telah bersedia menjadi sampel dalam penelitian. 11.Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini

yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan penulisan ini.

Denpasar, Juni 2015


(7)

vi ABSTRAK

Sedana, I Putu Arya. 2015. Pengaruh Edukasi Dua Lintas terhadap Jumlah, Jenis, dan Jadwal Makan Penderita DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar. Pembimbing (1) Ns. I Made Sukarja, S.Kep, M.Kep; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep, M.Kes

Kontrol glikemik penderita DMT2 masih kurang salah satunya pola makan yang tidak sehat sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan kontrol glikemik penderita. Edukasi yang dapat diberikan salah satunya edukasi dua lintas yang berupa edukasi gizi dan problem solving yang melibatkan penderita secara aktif dalam proses edukasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi dua lintas terhadap jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2. Penelitian ini merupakan studi quasi eksperimental dengan desain Nonequivalient Control Group. Jumlah sampel sebanyak 30 orang yang dibagi masing-masing 15 orang pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Sampel dipilih dengan metode Purposive Sampling. Instrumen yang digunakan adalah EFR 3x24 jam pada pretest dan posttest. Hasil uji pretest-posttest menujukkan ada perbedaan jumlah (p=0,008) dan jadwal makan (p=0,000) pada kelompok perlakuan. Uji hipotesis menunjukkan terdapat pengaruh edukasi dua lintas terhadap jumlah (p=0,001) dan jadwal makan (p=0,038) penderita DMT2 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat. Edukasi dua lintas penting diaplikasikan kepada penderita DMT2 untuk meningkatkan pengetahuan dan melatih teknik problem solving.


(8)

vii ABSTRACT

Sedana, I Putu Arya. 2015. Effect of Two Ways Education on Amount, Type, and Time of Eating People with Type 2 DM at Puskesmas II West Denpasar Working Area. Mini Thesis, Nursing Program, Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar. Supervisor (1) Ns. I Made Sukarja, S.Kep, M.Kep; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep, M.Kes

Bad glycemic control in people with T2DM shown with unhealthy eating behavior. It mean people with T2DM still need treatment to improve glycemic control. Two ways education is one of education which contain nutrition education and problem solving that improve knowledge and involve people with T2DM actively in education process. Aim of this study is to determine the effect of two ways education on amount, type, and schedule of eating people with T2DM. This study is a quasy experiment which use Nonequivalent Control Group Design. Number of sample in this study is 30 peoples which 15 peoples in each group which selected with Purposive Sampling metode. This study use EFR 3x24 hours as instrument for pretest and posttest. Pretest-posttest showed amount (p=0,008) and schedule (0,000) of eating in intervention group was significantly different. This study result also showed there is effect of two ways education on amount (p=0,001) and time (p=0,038) of eating people with T2DM at Puskesmas II West Denpasar Working Area. Two ways education needs to be delivered to people with T2DM to improve knowledge and problem solving.


(9)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Umum ... 7

1.3.2 Tujuan Khusus ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Teoritis... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Mellitus Tipe 2 ... 10

2.1.1 Definisi ... 10

2.1.2 Patofisiologi ... 10

2.1.3 Tanda dan Gejala ... 11

2.1.4 Kriteria Diagnosis ... 12

2.1.5 Penatalaksanaan ... 12

2.1.6 Komplikasi ... 14

2.2 Konsep Pola Makan Penderita DMT2 ... 16

2.2.1 Jenis Makanan ... 16

2.2.2 Jumlah Kebutuhan Kalori ... 19

2.2.3 Jadwal Makan ... 21

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Penderita DMT2 ... 21

2.2.5 Instrumen untuk Mengkaji Pola Makan ... 24

2.3 Konsep Edukasi Dua Lintas pada Penderita DMT2 ... 25

2.3.1 Pengertian ... 25

2.3.2 Metode ... 30

2.3.3 Media ... 31 2.3.4 Pengaruh Edukasi Dua Lintas terhadap Pola Makan Penderita DMT2 32


(10)

ix BAB III KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep ... 34

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 35

3.2.1 Variabel Penelitian ... 35

3.2.2 Definisi Operasional ... 36

3.3 Hipotesis Penelitian ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 38

4.2 Kerangka Kerja ... 39

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

4.4 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling Penelitian ... 40

4.4.1 Populasi ... 40

4.4.2 Sampel ... 40

4.4.3 Teknik Sampling ... 42

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 43

4.5.1 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 43

4.5.2 Cara Pengumpulan Data ... 44

4.5.3 Instrumen Pengumpulan Data ... 46

4.5.4 Etika Penelitian ... 47

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ... 48

4.6.1 Pengolahan Data ... 48

4.6.2 Analisa Data ... 50

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 51

5.1.1 Kondisi Lokasi Penelitian ... 51

5.1.2 Karakteristik Responden Penelitian ... 52

5.1.3 Hasil Pengamatan terhadap Responden Sesuai Variabel Penelitian .... 54

5.1.4 Hasil Analisis Data Pola Makan ... 58

5.2 Pembahasan ... 63

5.2.1 Karakteristik Responden Penelitian ... 63

5.2.2 Jumlah, Jenis, dan Jadwal Makan Pretest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 68

5.2.3 Jumlah, Jenis, dan Jadwal Makan Posttest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 70

5.2.4 Perbedaan Jumlah, Jenis, dan Jadwal Makan Pretest dan Posttest Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 72

5.2.5 Perbedaan Jumlah, Jenis, dan Jadwal Makan Posttest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 76


(11)

x BAB VI PENUTUP

6.1 Simpulan ... 82 6.2 Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Bahan Penukar Makanan

Tabel 2.2 Jadwal Makan Penderita DM ... 21

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 36

Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 52

Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 53

Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 53

Tabel 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 54

Tabel 5.5 Jumlah Makan Pretest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 55

Tabel 5.6 Jenis Makan Pretest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 55

Tabel 5.7 Jadwal Makan Pretest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 56

Tabel 5.8 Jumlah Makan Posttest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 56

Tabel 5.9 Jenis Makan Posttest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 57

Tabel 5.10 Jadwal Makan Posttest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 57

Tabel 5.11 Analisis Perbedaan Jumlah Makan Pretest dan Posttest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 58


(13)

xii

Tabel 5.12 Analisis Perbedaan Jenis Makan Pretest dan Posttest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 59 Tabel 5.13 Analisis Perbedaan Jadwal Makan Pretest dan Posttest pada

Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 60 Tabel 5.14 Analisis Perbedaan Jumlah Makan Posttest pada Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 61 Tabel 5.15 Analisis Perbedaan Jenis Makan Posttest pada Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja

Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 61 Tabel 5.16 Analisis Perbedaan Jadwal Makan Posttest pada Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2015 ... 62


(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran Pelaksanaan Edukasi Dua Lintas ... 30

Gambar 2. Kerangka Konsep ... 34

Gambar 3. Desain Penelitian ... 38


(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Lampiran 2 : PENJELASAN PENELITIAN

Lampiran 3 : SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN Lampiran 4 : JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN

Lampiran 5 : ANGGARAN PENELITIAN

Lampiran 6 : LEMBAR WAWANCARA KARAKTERISTIK RESPONDEN Lampiran 7 : FORM BUKU HARIAN POLA MAKAN

Lampiran 8 : FORM PERHITUNGAN KALORI UNTUK PENDERITA DMT2

Lampiran 9 : TABEL DAFTAR PENUKAR BAHAN MAKANAN Lampiran 10 : PROSEDUR EDUKASI DUA LINTAS

Lampiran 11 : SATUAN ACARA PENYULUHAN Lampiran 12 : MASTER TABEL

Lampiran 13 : HASIL ANALISIS DATA Lampiran 14 : DOKUMENTASI PENELITIAN Lampiran 15 : SURAT-SURAT


(16)

xv

DAFTAR SINGKATAN

AADE : American Association of Diabetes Educators ADA : American Diabetes Association

BB : Berat Badan

BBI : Berat Badan Ideal

CDC : Centre for Disease Control and Prevention Depkes : Departemen Kesehatan

DM : Diabetes Mellitus

DMT2 : Diabetes Mellitus Tipe 2

DPBM : Daftar Penukar Bahan Makanan EFR : Estimated Food Record

GDP : Gula Darah Puasa

GDS : Gula Darah Sewaktu

IDF : International Diabetes Federation IMT : Indeks Massa Tubuh

MUFA : Monounsaturated Fatty Acid

Perkeni : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

PG : Plasma Glucose

PTM : Penyakit Tidak Menular PUFA : Polyunsaturated Fat Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

TB : Tinggi Badan


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia termasuk dalam negara yang sedang berkembang dan mengalami transisi. Pola kehidupan yang semula agraris bergeser ke arah industrial, kehidupan tradisional ke arah kehidupan modern. Perubahan pola kehidupan menyebabkan pergeseran pola penyakit dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (PTM) atau degeneratif (Asmadi, 2008). Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu PTM yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia yang diakibatkan oleh sekresi insulin tidak adekuat, reaksi insulin tidak adekuat atau keduanya. Insulin merupakan hormon yang berfungsi untuk mengontrol kadar glukosa darah. (Goldenberg & Punthakee, 2013)

Jumlah penderita DMT2 diperkirakan 90-95% dari total penderita DM sedangkan jumlah penderita DMT1 diperkirakan hanya sekitar 5-10% (Smeltzer, Hinkle, & Cheever, 2014). Penderita DM di dunia mengalami peningkatan, International Diabetes Federation (IDF) menyatakan penderita DM pada tahun 2011 berjumlah 366 juta jiwa, meningkat sekitar 371 juta jiwa pada tahun 2012, sebanyak 382 juta jiwa pada tahun 2013, dan diperkirakan mencapai 552 juta jiwa pada tahun 2030 (1 dari 10 orang dewasa menderita DM) yang berarti 3 kasus baru per detik (IDF, 2013; Cheng, 2013). Centre for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan sekitar 26 juta penduduk Amerika menderita DM


(18)

2

pada tahun 2011 dan mencapai angka 40% dari penduduk dewasa Amerika akan menderita DM. Menurut National Diabetes Fact Sheet tahun 2011 sebanyak 8,3% penduduk dewasa Amerika menderita DM dengan 11,3% berumur 20 tahun ke atas dan 25% berumur 65 tahun ke atas. (Khardori, 2014)

Novo Nordisk (2013) menyatakan Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan penderita DM terbanyak di dunia. Pada tahun 2013 sebanyak 7,6 juta penduduk Indonesia menderita DM dan akan mencapai angka 11,8 juta pada tahun 2030. Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) juga menunjukkan peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia. Pada tahun 2007 tercacat 1,1% penduduk Indonesia menderita DM dan meningkat menjadi 2,4% pada tahun 2013. Prevalensi DM di Provinsi Bali pada tahun 2007 tercatat sebanyak 1% saja dan meningkat pada tahun 2013 sebanyak 1,5% berdasarkan diagnosis dokter atau gejala (Depkes, 2013).

Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali menunjukkan Kota Denpasar memiliki kunjungan DM cukup tinggi di Bali setelah Kabupaten Tabanan yaitu sebanyak 389 kunjungan pada bulan Juni 2014. Data Dinas Kesehatan Kota Denpasar menunjukkan kunjungan DM di Puskesmas II Denpasar Barat pada Bulan Agustus 2014 cukup tinggi yaitu sebanyak 75 kunjungan. Puskesmas II Denpasar Barat merupakan puskesmas yang memiliki kegiatan Peguyuban Diabetes. Peguyuban Diabetes merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan untuk anggota setiap dua minggu di Puskesmas II Denpasar Barat yang terdiri dari aktivitas fisik, pemeriksaan glukosa darah, dan edukasi/konseling gizi atau kesehatan lainnya.


(19)

3

Diabetes mellitus yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi pada penderita DMT2 disebabkan oleh kadar glukosa darah yang tinggi atau hiperglikemia. Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik, pengobatan, penyakit atau stres, hormon, berat badan, dan pola makan (Australian Diabetes Council, 2011). Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan mempengaruhi pembuluh darah, kardiovaskuler, ginjal, mata, saraf, dan meningkatkan resiko infeksi. Penyakit komplikasi pada kardiovaskuler merupakan komplikasi yang paling sering menyebabkan kematian dan kecacatan pada penderita. Diabetes mellitus juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya gagal ginjal akut, retinopati, dan neuropati yang umumnya terjadi pada ekstremitas terutama pada kaki yang dapat menyebabkan hilangnya sensasi pada kaki yang dapat berujung pada amputasi. (IDF, 2013)

Kontrol glikemik yang kurang baik oleh penderita DMT2 dapat dilihat dari ketidaktaatan terhadap pengobatan terkait dengan pengobatan kronik yang dijalani. World Health Organization (WHO) menyatakan ketaatan perawatan pada DMT2 sangat penting salah satunya adalah dengan melaksanakan diet yang direkomendasikan. Faktanya ketidaktaatan pada penderita DMT2 masih tinggi dan merupakan penyebab meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas akibat DMT2 (Blackburn, Swidrovich, & Lemstra, 2013). Angka komplikasi yang tinggi merupakan indikasi kontrol glikemik penderita DMT2 yang masih tergolong kurang baik. Pada penelitian yang dilakukan pada 28 negara termasuk Indonesia menyatakan bahwa dari 66.726 pasien DMT2, 17.806 pasien mengalami komplikasi makrovaskuler dan 35.078 pasien mengalami komplikasi


(20)

4

mikrovaskuler. Neuropati merupakan komplikasi mikrovaskuler yang paling banyak di setiap negara dengan total 25.179 pasien (Litwak et al., 2013). Tujuh dari sepuluh penderita DM di Indonesia mengalami komplikasi dan sebanyak 68% penderita mengalami neuropati. Tujuh dari delapan penderita yang membutuhkan terapi insulin tidak mendapatkan terapi sehingga sangat berpotensi mengakibatkan komplikasi. (Novo Nordisk, 2013)

Pencegahan komplikasi dapat dilakukan dengan strategi pengendalian DM. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) (2011) menyebutkan terdapat empat pilar dalam mengendalikan DM yaitu edukasi, terapi gizi, latihan jasmani, dan terapi farmakologis. World Health Organization menetapkan dalam Global Action Plan for Prevention and Control of NCDs tahun 2013-2020 salah satu rencana untuk mencegah dan mengontrol DM adalah dengan promosi gizi (WHO, 2013). Menurut ADA (2013) pendidikan kesehatan dapat membantu penderita DM dalam melakukan perawatan diri termasuk melakukan perubahan gaya hidup. Pemberian edukasi menunjukkan hasil yang positif terhadap tingkat pengetahuan, perilaku, termasuk psikologis penderita DMT2. Edukasi perawatan diri untuk penderita DMT2 bertujuan untuk memberikan pengetahuan, kemampuan, motivasi, dan meningkatkan kepercayaan diri serta keyakinan diri penderita untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Edukasi dapat diberikan dengan bervariasi dan metode kombinasi. (Jones et al., 2013)

Terapi gizi meningkatkan kontrol glikemik penderita DM sehingga terapi gizi menjadi salah satu topik edukasi utama untuk penderita DMT2 (Evert et al., 2013). Pemberian edukasi gizi diharapkan dapat mempengaruhi pola makan


(21)

5

penderita DM sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita (Mohebi et al., 2013; Wheeler et al., 2012). Penelitian yang dilakukan Malek dan Cakiroglu (2013) menunjukkan ada hubungan yang erat antara edukasi dengan tingkat pengetahuan dan konsumsi makanan pada penderita DMT2.

Pola makan pada penderita DMT2 berupa jumlah, jenis, dan jadwal makan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengetahuan, dukungan sosial, keyakinan diri, pendapatan, kebudayaan, dan hambatan yang dihadapi (Todd et al., 2011; Om et al., 2013; Tol et al., 2014; Didarloo et al., 2014). Ketidaktaatan terhadap pola makan sehat dapat disebabkan oleh hambatan yang ditemui dalam situasi dan konteks yang bervariasi (Mulvaney, 2009). Penelitian yang dilakukan terhadap 104 orang penderita DMT2 menemukan sebanyak 37% penderita tidak menaati pola makan yang dianjurkan dengan beberapa hambatan seperti kurangnya informasi mengenai makanan sehat, situasi rumah, dan disiplin diri yang buruk (Ganiyu et al., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Nariswari (2013) di Peguyuban Diabetes Puskesmas II Denpasar Barat menunjukkan dari 35 subjek yang diteliti sebanyak 17 orang tidak mematuhi diet yang disarankan. Ketidaktaatan terhadap pola makan menunjukkan bahwa edukasi gizi yang diberikan masih kurang efektif sehingga diperlukan edukasi yang dapat membantu dan melatih penderita DMT2 dalam menghadapi masalah terkait pola makan.

American Association of Diabetes Educators (AADE) menyatakan terdapat tujuh aspek yang harus dimiliki dan dikuasai oleh penderita DMT2 dan dua di antaranya adalah pola makan sehat dan problem-solving. Problem-solving merupakan proses seseorang dalam menemukan solusi yang efektif dan adaptif


(22)

6

bagi dirinya dari masalah spesifik yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Problem-solving merupakan intervensi yang efektif dalam meningkatkan perawatan diri atau kontrol penyakit (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013). Teknik problem-solving dapat juga diartikan sebagai teknik yang berfungsi untuk mengatasi atau mengurangi hambatan yang ditemui. Perilaku problem-solving pada penderita DMT2 dan keluarga sangat berhubungan dengan peningkatan dalam perawatan diri dan perbaikan kadar HbA1C. (Mulvaney, 2009) Kombinasi edukasi gizi dan teknik problem-solving yang selanjutnya disebut edukasi dua lintas dapat diberikan kepada penderita DMT2. Edukasi dua lintas dapat meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan sehat dan melatih penderita DMT2 dalam memecahkan masalah yang dihadapi khususnya dalam menjalani pola makan sehat. Kombinasi antara strategi meningkatkan pengetahuan dan intervensi perilaku-kognitif lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan, perilaku perawatan diri, dan keyakinan diri sehingga dapat meningkatkan kontrol metabolik dibandingkan strategi yang hanya berorientasi pada pengetahuan saja (Jones et al., 2013; Muchiri, 2013). Edukasi dua lintas merupakan salah satu bentuk dari kombinasi tersebut.

Studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas II Denpasar Barat, peneliti meninjau hasil gula darah sewaktu (GDS) dan gula darah puasa (GDP) anggota peguyuban yang hadir pada tanggal 17 Januari 2015. Peneliti menemukan lima dari enam orang yang diperiksa memiliki GDP ≥ 126 mg/dL dan delapan dari 12

orang memiliki GDS ≥ 200 mg/dL. Wawancara singkat yang dilakukan kepada 10


(23)

7

mengalami kesulitan menjalani pola makan yang sesuai. Hasil penelitian oleh Nariswari (2013) dan studi pendahuluan oleh peneliti menunjukkan masih perlu intervensi lain yang dapat meningkatkan pola makan penderita DMT2.

Berdasarkan uraian latar belakang maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh edukasi dua lintas terhadap pola makan berupa jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diangkat rumusan masalah sebagai berikut:

1. “Apakah ada pengaruh edukasi dua lintas terhadap jumlah makan penderita DMT2 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat?”

2. “Apakah ada pengaruh edukasi dua lintas terhadap jenis makan penderita DMT2 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat?”

3. “Apakah ada pengaruh edukasi dua lintas terhadap jadwal makan penderita DMT2 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat?”

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh edukasi dua lintas terhadap jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2.


(24)

8

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karakterisitik responden penderita DMT2 pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

b. Mengidentifikasi jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2 sebelum intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

c. Mengidentifikasi jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2 setelah intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

d. Menganalisa perbedaan jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2 sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

e. Menganalisa perbedaan jumlah, jenis, dan jadwal makan sesudah intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini dapat memberikan informasi dalam bidang keperawatan khususnya mengenai edukasi yang dapat diterapkan kepada penderita DMT2 untuk membantu meningkatkan pola makan berupa jumlah, jenis, dan jadwal makan.

2. Penelitian ini dapat dijadikan acuan teoritis untuk penelitian mengenai pemberian edukasi dua lintas dan metode pengkajian pola makan pada penderita DMT2.


(25)

9

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam memberikan edukasi kepada penderita DMT2 di instansi kesehatan khususnya Puskesmas untuk membantu penderita DMT2 meningkatkan pola makan sesuai prinsip 3J sehingga terhindar dari komplikasi.

2. Pemberian edukasi dua lintas dapat menjadi modal bagi penderita DMT2 dalam menjalani pola makan sehat sesuai prinsip 3J.


(26)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diabetes Mellitus Tipe 2 2.1.1 Definisi

Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan kekurangan produksi insulin oleh pankreas atau insulin yang diproduksi tidak efektif yang disebabkan oleh keturunan dan/atau didapat (WHO, 2014). Diabetes mellitus juga diartikan sebagai penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh defek produksi insulin, defek reaksi insulin, atau keduanya (Goldenberg & Punthakee, 2013). Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi DMT1, DMT2, dan DM gestasional. Diabetes mellitus tipe 1 merupakan DM yang disebabkan oleh kerusakan sel β pancreas yang diakibatkan oleh genetik, autoimun, dan faktor lingkungan (seperti virus). Diabetes meliitus tipe 2 merupakan DM yang disebabkan menurunnya sensitifitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau produksi insulin tidak adekuat. Diabetes mellitus gestasional merupakan intoleransi glukosa selama kehamilan yang biasanya pada trimester kedua atau ketiga. (Smeltzer, Hinkle, & Cheever, 2014)

2.1.2 Patofisiologi

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan DM yang disebabkan oleh penurunan sensitivitas insulin atau produksi insulin yang tidak adekuat. Insulin adalah hormon yang disekresikan sel β pankreas yang berfungsi dalam memindahkan glukosa ke otot, hati dan sel lemak. Insulin memiliki peran dalam proses


(27)

11

metabolisme dan transportasi glukosa menjadi energi, proses anabolisme glukosa menjadi glikogen pada hati, merangsang penyimpanan lemak pada jaringan adiposa, dan mempercepat proses transport asam amino ke dalam sel (Smeltzer, Hinkle, & Cheever, 2014). Pada fase awal (fase prediabetes) resistensi insulin dikompensasi dengan hipersekresi insulin oleh pankreas sehingga kadar glukosa darah tetap normal. Secara perlahan sel β pankreas gagal dalam mempertahankan hipersekresi diikuti dengan resistensi insulin menyebabkan timbulnya gejala klinis diabetes. Hiperglikemia kronis dapat menyebabkan penurunan sel β pankreas. Proses penuaan normal menyebabkan penurunan sebesar 1% per tahun berbanding 7% pada penderita DMT2 dewasa. (Mohan & Unnikrishnan, 2014)

2.1.3 Tanda dan Gejala

Penderita DMT2 akan mengalami tiga gejala klasik yaitu poliuri, poldipsi, dan polifagi. Poliuri merupakan gejala yang ditandai dengan peningkatan frekuensi berkemih. Poliuri disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah yang melewati kemampuan filtrasi ginjal dan menyebabkan terjadinya glukosuria. Glukosa pada urin meningkatkan tekanan osmotik urin dan menghambat reabsorpsi air oleh ginjal yang menyebabkan peningkatan produksi urin dan kehilangan cairan. Polidipsi merupakan gejala yang ditandai dengan rasa haus yang meningkat yang disebabkan oleh kehilangan cairan melalui urin akibat poliuri. Polifagi merupakan gejala dimana penderita DMT2 merasakan peningkatan rasa lapar (Chattophadhyay & Eddouks, 2012). Beberapa gejala klinis lain yang dapat ditemukan pada penderita DMT2 adalah kelemahan dan kelelahan, perubahan penglihatan, mati rasa atau kadang geli pada tangan atau


(28)

12

kaki, kulit kering, luka yang sulit sembuh, dan infeksi berulang. (Smeltzer, Hinkle, & Cheever, 2014)

2.1.4 Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis DM dilakukan melalui pemeriksaan glukosa darah vena dan ditentukan berdasarkan: 1) gula darah puasa (tidak ada asupan kalori dalam 8 jam atau lebih) ≥7 mmol/L (≥126 mg/dL); 2) kadar HbA1C ≥ 6,5% dan; 3) 2 hours plasma glucose (2hPG) dengan 75 g oral glucose tolerance test (OGTT) atau random PG ≥11,1 mmol/L (≥200 mg/dL) yang disertai oleh gejala klasik DM (poliuri, polifagia, dan polidipsi). Apabila dalam pemeriksaan laboratorium ditemukan hasil hiperglikemi namun tidak menunjukkan gejala maka perlu dilakukan pemeriksaan kembali (FPG, HbA1C, dan 2hPG dengan 75 g OGTT) pada hari yang berbeda. Pada pemeriksaan dengan random PG jika menemukan hasil hiperglikemia tanpa gejala maka perlu dilakukan pemeriksaan alternatif yang lain (Goldenberg & Punthakee, 2013; Perkeni, 2011).

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DMT2 memiliki tujuan untuk menjaga kadar glukosa darah dalam batas normal sehingga tidak menimbulkan gejala klasik dan mencegah atau memperlambat terjadinya komplikasi (Khardori, 2014). Diet dan aktivitas adalah penatalaksanaan non-farmakologis utama pada penderita DMT2 (WHO, 2014). Perkeni (2011) menyebutkan terdapat empat pilar utama dalam menanggulangi DMT2 yaitu edukasi, terapi gizi medis, aktivitas fisik, dan terapi farmakologi.


(29)

13

Edukasi adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan yang dimiliki penderita DMT2. Pengetahuan merupakan aspek yang penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Pengetahuan yang penting untuk dimiliki oleh seorang penderita DMT2 adalah mengenai pola makan yang sehat, aktivitas fisik, pengobatan medis yang dijalani, pencegahan dan penanganan komplikasi terutama penanganan hipo-/hiperglikemia. (Jones et al., 2013; Perkeni, 2011)

Terapi gizi medis adalah salah satu intervensi yang sangat penting pada DMT2. Berbagai organisasi menyarankan terapi gizi pada diabetes bertujuan untuk menurunkan atau menjaga berat badan melalui gaya hidup. Penurunan berat badan dapat menurunkan tingkat resistensi insulin (Hartono, 2006; Ley et al., 2014). Terapi gizi pada penderita DMT2 secara umum adalah makanan gizi seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan gizi masing-masing individu dengan menekankan keteraturan pada jadwal, jenis, dan jumlah makanan yang dikonsumsi. (Perkeni, 2011)

Latihan fisik merupakan kegiatan yang penting dalam penanganan DMT2. Latihan fisik disarankan dilakukan minimal 150 menit per minggu minimal dalam tiga hari per minggu berupa aktivitas fisik aerobik intensitas sedang hingga tinggi dan tidak melewatkan dua hari tanpa latihan (ADA, 2013). Latihan fisik bertujuan untuk menjaga kebugaran, menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah. (Perkeni, 2011)

Terapi farmakologi merupakan terapi obat-obatan antiglikemik yang diberikan seiring dengan gaya hidup sehat. Terapi farmakologis dapat berupa obat


(30)

14

oral dan injeksi. Obat oral metformin merupakan pilihan pertama untuk terapi awal DMT2. Obat oral lainnya selain metformin adalah tiazolidindion, glinid, dan DPP-IV inhibitor. Apabila obat oral monoterapi non-insulin dengan dosis toleransi tertinggi tidak dapat mencapai target atau mempertahankan kadar HbA1C selama 3-6 bulan, terapi oral ditambahkan dengan glucagon-like peptide-1 (GLP peptide-1) receptor agonist atau dengan insulin. Obat injeksi yang diindikasikan pada penderita DMT2 adalah insulin. (Perkeni, 2011; ADA, 2013)

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi pada DMT2 disebabkan oleh kerusakan akibat hiperglikemia yang tidak ditangani dengan baik. Secara garis besar komplikasi DMT2 dibagi menjadi komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. (Litwak et al., 2013) a. Komplikasi makrovaskuler

Penyebab utama terjadinya penyakit makrovaskuler adalah aterosklerosis sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah. Pada DMT2 terjadi peningkatan resiko terjadinya adesi platelet dan hiperkoagulasi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya aterosklerosis. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian baik pada DMT1 dan DMT2. Penyakit kardiovaskuler yang sering dikaitkan sebagai komplikasi DMT2 adalah penyakit jantung koroner. Komplikasi makrovaskuler lainnya adalah angina, infark miokard, gagal jantung kongestif, peripheral artery disease (PAD), dan stroke. (Fowler, 2008; IDF, 2013)


(31)

15

b. Komplikasi mikrovaskuler 1) Retinopati

Retinopati merupakan komplikasi mikrovaskuler yang paling sering terjadi pada DMT2. Retinopati pada DMT2 merupakan komplikasi yang disebabkan kerusakan pembuluh kapiler pada retina sehingga terjadinya penurunan kemampuan penglihatan. Glukosa darah yang tinggi menyebabkan banyak glukosa yang dikonversi menjadi sorbitol dan terakumulasi di dalam sel. Sorbitol menyebabkan stress osmotik pada sel dan berujung pada retinopati. (Fowler, 2008; WHO, 2014)

2) Gagal Ginjal

Gagal ginjal pada DMT2 disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada pembuluh kapiler pada ginjal yang berujung pada nefropati. Gejala klinis yang timbul bisa berupa mikroalbuminuria ataupun proteinuria. (Fowler, 2008; IDF, 2013)

3) Neuropati

Neuropati pada DMT2 berhubungan dengan lama dan tingkat hiperglikemia pada penderita. Mekanisme terjadinya neuropati bisa serupa seperti terjadinya retinopati yaitu akibat akumulasi poliol dan stress oksidatif. Neuropati yang paling sering terjadi adalah polineuropati simetris distal kronis atau disebut juga neuropati perifer. Gejala neuropati yang dirasakan seperti terbakar, geli, kesemutan, dan mati rasa. Neuropati yang berujung pada ulcer merupakan penyebab utama dilakukannya amputasi. (Fowler, 2008)


(32)

16

2.2 Konsep Pola Makan Penderita DMT2

Pola makan penderita DMT2 ditinjau dari jenis, jumlah, dan jadwal makan. Jenis makanan yang sesuai untuk dikonsumsi pada penderita DMT2 adalah makanan yang mengandung zat makro karbohidrat (45-65% dari total energi), protein (15-20% dari total energi), dan lemak (20-35% dari total energi) (Dworatzek, 2013; Ley et al., 2014). Jumlah makanan yang dikonsumsi adalah sesuai dengan kriteria kebutuhan tubuh ± 10% (Parajuli et al, 2014). Jadwal makan yang sesuai adalah tiga kali makan utama dan tiga kali selingan dengan rentang waktu tiga jam antara makan utama dan makan selingan. Sarapan dimulai sebaiknya pada pukul 07.00 pagi sehingga makan dan selingan malam tidak larut malam. Setiap jadwal makan diberi skor 1 dan jika tidak sesuai diberikan skol 0 sehingga jadwal makan dikatakan sesuai jika skor ≥75% (Waspadji, 2007; Parajuli et al, 2014)

2.2.1 Jenis Makanan

Pola makan pada penderita DMT2 merupakan bagian yang penting dalam perawatan diri. Pola makan penderita DMT2 dipengaruhi oleh nilai, kesukaan, dan kemampuan masing-masing individu (Dworatzek et al., 2013). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada pola makan yang bersifat “one-size-fits-all” pada individu dengan DMT2 (Georgoulis et al., 2014). Beberapa komposisi makanan yang dianjurkan kepada penderita DMT2 adalah sebagai berikut:

a. Karbohidrat

Asupan karbohidrat yang disarankan berkisar 45-65% dari total energi dan tidak boleh <130 g/hari untuk tetap menjaga suplai glukosa ke otak. Sumber


(33)

17

karbohidrat yang disarankan adalah karbohidrat dengan kandungan serat yang tinggi. Karbohidrat dengan indeks glikemik yang rendah dapat mengurangi respon glikemik saat konsumsi makanan. Konsumsi karbohidrat dengan indeks glikemik rendah menunjukkan penurunan HbA1C lebih baik daripada konsumsi karbohidrat dengan indeks glikemik tinggi. Contoh makanan dengan indeks glikemik rendah adalah roti gandum hitam, nasi setengah matang, buah apel, pir, dan jeruk (Perkeni, 2011; Dworatzek, 2013; Ley et al., 2014). Sumber karbohidrat lainnya adalah lontong, jagung, roti, ubi, singkong, kentang, bihun, dan makanan lain yang terbuat dari tepung-tepungan (Kariadi, 2009). Gula merupakan bentuk sederhana dari karbohidrat. Gula yang dapat dikonsumsi pada penderita DMT2 adalah sukrosa dan fruktosa. Sukrosa dapat dikonsumsi sebanyak ≤ 10% dari total energi yang dibutuhkan (sekitar 50-65 g/hari dalam kebutuhan energi 2.000-2.600 kkal/hari atau ±10 sendok teh). Fruktosa murni dari buah-buahan disarankan pada penderita DMT2 sebanyak ≤ 10% kebutuhan energi total atau ≤ 60 g/hari (Dworatzek, 2013).

b. Protein

Konsumsi protein pada penderita DMT2 penting untuk menjaga suplai asam amino dan mencegah kehilangan massa otot terutama pada diet penurunan berat badan. Asupan protein yang dibutuhkan sebanyak 10-20% dari total kebutuhan energi. Sumber protein yang baik adalah ikan, cumi-cumi, udang, daging tanpa lemak, daging ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, tempe, tahu, dan kacang-kacangan. Pada penderita DMT2 disertai CKD maka


(34)

18

protein yang dapat dikonsumsi sebesar 10% dari kebutuhan energi total (0,8 g/kg BB/hari). (Perkeni, 2011; Dworatzek, 2013; Ley et al., 2014)

c. Lemak

Konsumsi lemak yang dianjurkan pada penderita DMT2 adalah sebanyak 20-30% dari total kebutuhan energi total. Lemak yang dianjurkan adalah monounsaturated fatty acids (MUFAs) dan polyunsaturated fats (PUFAs). MUFAs dapat diperoleh dari minyak zaitun, minyak canola, minyak kacang, dan alpukat. Asam lemak omega-3 dan omega-6 termasuk PUFAs. Omega-3 dapat diperoleh dari minyak ikan laut dan omega-6 dapat diperoleh dari minyak jagung, minyak kacang tanah, biji-bijian, serta kacang-kacangan. DMT2 meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler sehingga konsumsi lemak harus diperhatikan. Konsumsi kolesterol dan lemak jenuh yang tinggi pada penderita diabetes meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Pada DMT2 asupan kolesterol dibatasi <200 mg/hari. (Perkeni, 2011; Dworatzek, 2013; Supariasa, 2013; Ley et al., 2014)

d. Serat

Serat yang dapat larut memperlambat pengosongan lambung dan memperpanjang waktu penyerapan glukosa pada usus halus sehingga dapat meningkatkan kontrol gula darah setelah makan. Asupan serat dianjurkan ±25 g/hari yang diperoleh dari kacang-kacangan, buah, sayuran, dan karbohidrat dengan kandungan serat yang tinggi. (Perkeni, 2011; Dworatzek, 2013)


(35)

19

e. Natrium dan zat gizi mikro lain

Asupan natrium yang dianjurkan tidak boleh lebih dari 3000 mg/hari atau sekitar satu sendok teh garam dapur. Natrium juga dapat terdapat dalam vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoate dan natrium nitrit (Perkeni, 2011). Diet Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) pada DMT2 dengan asupan natrium 2400 mg/hari menunjukkan hasil pada penurunan tekanan sistol dan diastol, gula darah puasa, BB, dan kadar HbA1C dalam delapan minggu (Dworatzek, 2013). Kebutuhan mineral selain natrium tetap harus terpenuhi seperti kalium, magnesium, kromium, dan seng. (Arisman, 2013)

f. Bahan Penukar

Daftar Penukar Bahan Makanan (DPBM) adalah daftar makanan yang dapat menjadi acuan penderita DMT2 dalam memvariasikan dan menentukan jumlah makanan untuk dijadikan menu harian. DPBM menyediakan jumlah makanan dalam gram dan ukuran rumah tangga (URT) yang ditampilkan pada Tabel 2.1 pada lampiran. DPBM menyediakan daftar makanan dengan nilai gizi yang sama sehingga satu sama lain dapat ditukar. (Kariadi, 2009)

2.2.2 Jumlah Kebutuhan Kalori

Berikut adalah metode dapat digunakan dalam menghitung kebutuhan kalori pada seseorang berdasarkan kg berat badan ideal (BBI) dan ditambah faktor koreksi/aktivitas. Pada penderita DM rumus yang sering digunakan adalah pada laki-laki 30 kkal/kg BB dan pada perempuan 25 kkal/kg BB. (Perkeni, 2011; Supariasa, 2013)


(36)

20

BBI dihitung dengan menggunakan rumus Brocca yang dimodifikasi yaitu: BBI = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg

Untuk laki-laki dengan TB dibawah 160 cm dan perempuan dengan TB dibawah 150 cm maka rumus yang dapat digunakan adalah:

BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kg

Indeks Massa Tubuh (IMT) digunakan untuk menentukan kategori BB seseorang. BB disebut normal jika IMT dalam rentang 18,5-22,9. BB dikategorikan sebagai kurang jika IMT <18,5; BB dengan resiko jika IMT dalam rentang 23,0-24,9; obesitas I jika IMT dalam rentang 25,0-29,9; dan obesitas II jika IMT >30. IMT dapat diukur dengan rumus: (Perkeni, 2011)

IMT = BB (kg) : TB (m2)

Kebutuhan kalori seseorang dipengaruhi oleh usia, aktivitas fisik atau pekerjaan, dan berat badan. (Perkeni, 2011; Supariasa, 2013)

a. Usia

Kebutuhan kalori rentang usia 40-59 tahun dikurangi 5% dari kebutuhan energi berdasarkan BBI. Rentang usia 60-69 dikurangi 10% dan rentang usia di atas 70 tahun dikurangi 20%.

b. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Kebutuhan energi meningkat sesuai dengan aktivitas fisik yang dilakukan. Aktivitas fisik digolongkan menjadi istirahat atau sangat ringan, aktivitas ringan, aktivitas sedang, berat, dan aktivitas sangat berat. Kebutuhan kalori pada aktivitas sangat ringan ditambah 10% dari kebutuhan kalori berdasarkan


(37)

21

BBI, aktivitas ringan ditambahkan 20%, aktivitas sedang ditambahkan 30%, aktivitas berat ditambahkan 40%, dan aktivitas sangat berat ditambahkan 50%. c. Berat Badan

Kalori pada pasien yang mengalami kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung pada tingkat kegemukan. Kebutuhan kalori pada pasien yang kurus ditambah sekitar 20-30% yang bertujuan untuk meningkatkan BB

2.2.3 Jadwal Makan

Jadwal makan pada penderita DM dianjurkan sebanyak tiga kali makan utama dan tiga kali makan selingan dengan interval tiga jam. Jadwal makan yang dianjurkan pada penderita DM disajikan dalam Tabel 2.2 berikut. (Waspadji, 2007)

Tabel 2.2 Jadwal Makan Penderita DM

Jenis Makan Waktu Total Kalori

Sarapan 07.00 20%

Selingan Pagi 10.00 10%

Makan Siang 13.00 30%

Selingan Sore 16.00 10%

Makan Malam 19.00 20%

Selingan Malam 21.00 10%

Sumber: Waspadji, S., 2007

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Penderita DMT2 a. Pengetahuan

Penelitian yang dilakukan Malek (2013) menunjukkan bahwa pemberian edukasi pada penderita DMT2 meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki pola makan. Penelitian yang dilakukan Tol et al, (2014) menunjukkan adanya


(38)

22

hubungan yang signifikan antara pola makan terhadap kehadiran dalam edukasi diabetes. Menurut Didarloo et al, (2014) pengetahuan sangat berhubungan dengan pola makan penderita DMT2. Pengetahuan tentang diabetes dan strategi penanganannya akan membantu penderita dalam merawat diri termasuk melakukan pola makan yang sehat.

b. Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang paling mempengaruhi pola makan penderita DMT2 adalah dukungan keluarga. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shamsi et al, (2013) dan Tol et al, (2014) menujukkan dukungan keluarga mempengaruhi pola makan. Keluarga mempengaruhi kebiasaan makan, kelezatan makanan, dan waktu makan dari penderita. Dukungan keluarga yang dapat ditemukan berupa dukungan dalam menaati diet yang dianjurkan, membantu dalam menjaga pola makan yang sehat, dan meningkatkan pengetahuan dalam perawatan diri. (Om et al., 2013)

c. Keyakinan Diri

Menurut Om et al, (2013), keyakinan diri penderita DMT2 sangat berhubungan dengan pola makan. Keyakinan diri adalah keadaan dimana seseorang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mewujudkan sesuatu. Keyakinan diri yang tinggi dapat mengurangi stress dan meningkatkan perilaku perawatan diri. Penelitian yang dilakukan di Iran menunjukkan keyakinan diri merupakan faktor yang paling mempengaruhi pola makan penderita DMT2. (Didarloo et al., 2014).


(39)

23

d. Pendapatan

Pendapatan dapat mempengaruhi pola makan penderita DMT2. Pendapatan bulanan yang rendah akan memicu penderita mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dan kalori, rendah protein, buah-buahan, dan sayuran sehingga berdampak pada peningkatan IMT. (Om et al., 2013; Tol et al., 2014; Didarloo et al., 2014)

e. Kebudayaan

Latar belakang budaya mempengaruhi pola makan penderita DMT2. Kebiasaan dalam mengonsumsi karbohidrat yang tinggi akan sangat sulit dikurangi. Kebiasaan makan yang menjadi makna dan simbol tertentu juga dapat mempengaruhi pola makan. Contoh kebudayaan yang memengaruhi adalah perayaan upacara seperti upacara pernikahan yang menyediakan berbagai makanan termasuk yang manis-manis. (Muchiri, 2013; Om et al., 2013)

f. Hambatan

Hambatan yang diperkirakan dan dialami penderita DMT2 dapat menghalangi ketaatan diet dan mempengaruhi pola makan. Hambatan yang sering ditemui adalah waktu dan upaya dalam mempersiapkan makanan, rekomendasi makanan tidak disukai oleh penderita, dan sumber makanan yang tidak tersedia dan terjangkau (Om et al., 2013). Penelitian yang dilakukan Todd et al, (2011) yang mengidentifikasi hambatan dalam melakukan pola makan yang sesuai pada pasien DMT2 dengan penghasilan rendah menunjukkan penderita DMT2 sangat mementingkan rasa makanan dan harga yang dibayar. Masalah yang


(40)

24

penting yang mungkin dihadapi adalah masalah karena diabetes dan masalah selain diabetes seperti kesulitan membeli makanan, masalah pada keuangan lain, masalah terhadap pengobatan yang dijalani, stress keluarga, dan kesulitan emosional.

2.2.5 Instrumen untuk Mengkaji Pola Makan

a. Food Recall 24 Hours

Metode food recall 24 hours adalah metode yang digunakan untuk mengkaji makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam periode waktu 24 jam sebelumnya. Makanan dan minuman yang biasanya dikaji adalah pada satu hari sebelumnya dan responden harus mengingat kembali semua makanan dan minuman yang dikonsumsi. Responden menyatakan jumlah yang dikonsumsi dalam perkiraan porsi. Food recall 24 hours akan lebih akurat bila digunakan untuk mengkaji lebih dari sehari (Wrieden et al., 2003; Lestari, 2012; Arisman, 2013). Menurut Yunsheng et al. (2009) frekuensi recall yang efektif dilakukan sebanyak dua sampai dengan tiga kali karena hasil rata-ratanya perkiraan intake energi mendekati energy expenditure (EE).

b. Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan Semi-Quantitative FFQ (SQ-FFQ)

FFQ digunakan untuk mengkaji kebiasaan pola makan dengan menanyakan daftar makanan yang tercantum dalam FFQ berhubungan dengan frekuensi (dalam kali per hari, minggu, atau bulan). FFQ biasa dipakai untuk mengkaji pola makan dalam rentang waktu 2-3 bulan atau lebih dari 1 tahun dan dapat digunakan dalam jumlah yang besar (100 orang atau lebih) dan mencangkup antara 50-150 jenis makanan. (Wrieden et al., 2003; Arisman, 2013). Semi-Quantitative FFQ adalah


(41)

25

FFQ yang dilengkapi dengan perkiraan porsi makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung dan diperkirakan rentang kebiasaan asupan makanan responden untuk menilai asupan gizi relatif ataupun mutlak. (Wrieden et al., 2003; Lestari, 2012; Arisman, 2013)

c. Estimated Food Record

Food Record adalah pendekatan monitoring konsumsi makanan dan minuman dalam sehari atau lebih. Food record baik dilakukan ketika setelah makan atau minum sehingga hasilnya akurat. Jumlah makanan atau minuman yang dikonsumsi diperkirakan dengan menggunakan URT atau jika ada food model yang telah diberlakukan (Thompson & Subar, 2013). Estimated food record (EFR) adalah sebuah buku harian terstruktur yang mengandung golongan makanan, waktu, tempat, dan kuantitas berupa perkiraan jumlah dalam URT, unit atau berat, spesifikasi tertentu dan jika ada dapat disebutkan merek dagangnya (Keyzer et al., 2011). Jumlah food record yang digunakan untuk memperkirakan jumlah intake energi dan nutrisi berbeda pada pria dan wanita. Jumlah food record yang diperlukan untuk pria sebanyak dua sampai dengan 28 hari dan untuk wanita sebanyak tiga sampai dengan delapan hari (Pereira et al., 2010).

2.3 Konsep Edukasi Dua Lintas pada Penderita DMT2 2.3.1 Pengertian

Edukasi pada penderita DMT2 adalah proses memberikan pengetahuan, melatih kemampuan, dan meningkatkan motivasi penderita dalam melaksanakan perawatan diri. Tujuan dari edukasi perawatan diri adalah mencapai keadaan


(42)

26

metabolik terkontrol, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup (Muchiri, 2013). Edukasi pada penderita DMT2 merupakan dasar pertama dalam penataksanaan DM. Edukasi dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan diri, dan motivasi penderita DMT2 untuk dapat melakukan perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari (Jones et al., 2013).

American Association of Diabetes Educators menyatakan terdapat tujuh aspek yang harus dikuasai oleh penderita DMT2 yaitu: 1) monitoring gula darah mandiri; 2) melakukan pengobatan; 3) pola makan sehat; 4) aktivitas fisik; 5) mengurangi resiko; 6) koping yang sehat; dan 7) problem-solving (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013). Edukasi dua lintas menyasarkan pada dua dari tujuh aspek yang ditetapkan oleh AADE.

Edukasi dua lintas merupakan perpaduan edukasi gizi dan edukasi teknik problem-solving. Lintas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti trayek atau jalan yang dilalui. Dua lintas bermakna dua jalan pendekatan yang digunakan yaitu edukasi gizi yang merupakan intervensi yang berorientasi pada kognitif dan edukasi problem-solving yang merupakan intervensi perilaku-kognitif. Menurut Jones et al, (2013) intervensi kombinasi antara strategi meningkatkan pengetahuan dan perilaku-kognitif lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan, keyakinan diri, dan perawatan diri sehingga kontrol metabolik dapat tercapai.

Edukasi dua lintas terdiri dari dua bagian utama yaitu edukasi gizi dan edukasi teknik problem-solving. Edukasi gizi dalam edukasi dua lintas mencangkup pola makan sehat bagi penderita DMT2 berdasarkan 3J yaitu jenis, jumlah, dan jadwal. Edukasi jenis makanan untuk penderita DMT2 yaitu berfokus


(43)

27

pada komposisi makanan berupa karbohidrat, protein, lemak, serat, gula, dan natrium. Penderita DMT2 juga diberikan edukasi tentang bahan makanan yang dapat dikonsumsi dengan bebas, terbatas, dan dihindari. Edukasi tentang jumlah makanan diberikan berupa ukuran makanan yang dapat dikonsumsi dalam URT. Jadwal makan penderita DMT2 dianjurkan memiliki interval tiga jam antara jadwal makan utama dengan camilan.

Penelitian yang dilakukan oleh Bayat et al, (2013) menunjukkan edukasi meningkatkan keyakinan diri penderita DMT2 untuk melaksanakan perawatan diri. Mengatur pola makan merupakan salah satu bagian perawatan diri oleh penderita DMT2. Malek dan Cakiroglu (2013) menyatakan edukasi gizi yang diberikan pada penderita DMT2 mempengaruhi asupan energi, karbohidrat, protein, dan lemak. Penelitian yang dilakukan oleh Sutiawati, Jafar, dan Yustini (2013) menunjukkan bahwa edukasi juga memiliki pengaruh terhadap pola makan penderita DMT2.

Bagian kedua dari edukasi dua lintas adalah edukasi teknik problem-solving. Problem-solving penting untuk dimiliki oleh penderita DMT2. Problem-solving merupakan proses seseorang dalam menemukan solusi yang efektif dan adaptif bagi dirinya dari masalah spesifik yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Problem-solving melibatkan kemampuan dan aktivitas penderita DMT2 untuk mengenali, menyebutkan, dan mengatasi masalah untuk meningkatkan efektivitas perawatan diri terkait DM. Edukasi teknik problem-solving menunjukkan perbaikan pada kadar HbA1C penderita DMT2. Edukasi teknik problem-solving tidak hanya berfokus pada mengajari teknik saja tapi juga bertujuan untuk


(44)

28

mengembangkan teknik dan membantu dalam memecahkan masalah yang dimiliki penderita DMT2 (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013; Jones et al., 2013).

Problem-solving memiliki 5 tahapan utama dan dapat dibagi menjadi 10 langkah yaitu: (Cruickshank, 2009)

a. Tahap 1 adalah mengidentifikasi masalah dan kepemilikan masalah yang terdiri dari 3 langkah:

1) Menyatakan masalah yang dihadapi.

2) Mengidentifikasi tujuan yang ingin diwujudkan.

3) Mengidentifikasi siapa pemilik masalah dan siapa yang ingin mewujudkan tujuan.

b. Tahap 2 adalah klarifikasi nilai. Masalah dan tujuan sudah diidentifikasi dilanjutkan dengan langkah berikut:

4) Memberikan nilai pada tujuan yang ingin dicapai seberapa ingin tujuan tersebut tercapai.

c. Tahap 3 adalah analisis situasi masalah yang terdiri dari tiga langkah:

5) Mengidentifikasi hambatan yang mencegah pemilik masalah untuk mencapai tujuan.

6) Membuat strategi untuk menghilangkan, menanggulangi, atau menghindari masalah tersebut.

7) Membuat efek samping yang negatif pada setiap solusi yang potensial. d. Tahap 4 adalah memberikan peringkat pada solusi potensial


(45)

29

8) Memberikan nilai pada setiap solusi yang potensial dan menemukan solusi yang terbaik. Solusi yang baik adalah solusi yang paling sedikit memiliki efek samping negatif dan dapat diimplementasikan.

e. Tahap 5 adalah mengimplementasikan dan mengevaluasi solusi terbaik. 9) Memutuskan bagaimana mengimplementasikan solusi terbaik.

10) Memutuskan perluasan terhadap solusi yang paling dekat terhadap tujuan dengan mengurangi masalah atau mengeliminasi masalah.

Menurut Mulvaney (2009) problem-solving yang dapat diterapkan oleh penderita DMT2 dalam perawatan diri terdiri dari tujuh langkah yaitu: 1) Mengidentifikasi masalah; 2) Mengidentifikasi hambatan atau penyebab yang menimbulkan masalah utama; 3) Menyusun solusi; 4) Menyusun rencana implementasi; 5) Implementasi; 6) Evaluasi; dan 7) Revisi. Menurut Stetson et al, (2010) terdapat delapan langkah dalam melakukan problem-solving yaitu: 1) Mengidentifikasi dan memahami masalah; 2) Menyusun tujuan; 3) Menyusun solusi alternatif; 4) Memilih solusi alternatif yang sudah disusun; 5) Mengkaji kemungkinan dari alternatif yang dipilih; 6) Mengimplementasikan; 7) memonitoring dan mengkaji efek dari rencana yang telah dilakukan; dan 8) Menggunakan problem-solving untuk meyusun rencana sampai tujuan dapat tercapai.

Menurut ketiga sumber mengenai langkah-langkah problem-solving, dapat disimpulkan terdapat lima langkah utama yaitu: 1) Identifikasi masalah dan penyebab; 2) Susun tujuan; 3) Susun solusi alternatif dan prioritaskan; 4) Implementasi; dan 5) Evaluasi.


(46)

30

2.3.2 Metode

Metode adalah cara atau pendekatan tertentu. Menurut Santoso Karo Karo dalam Supariasa (2013), metode pendidikan kesehatan adalah setiap cara, teknik, maupun media yang terencana yang diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut. Metode edukasi yang baik adalah metode yang disesuaikan dengan jenis sasaran, waktu, dan tempat. (Maulana, 2009; Supariasa, 2013)

Metode edukasi dua lintas yang digunakan adalah metode edukasi ceramah. Ceramah adalah metode menyampaikan informasi kepada sasaran sehingga sasaran dapat melakukan proses belajar. Ceramah cocok digunakan kepada berbagai jenis sasaran, mudah pengaturannya, dapat digunakan dalam sasaran jumlah besar, dan waktu yang digunakan efisien (Maulana, 2009; Supariasa, 2013). Setting edukasi dilakukan di rumah penderita dan dilakukan dengan cara tatap muka langsung karena edukasi dengan tatap muka langsung memiliki efek yang lebih luas dan edukasi di rumah dapat membantu responden dalam menentukan keputusan terutama kebebasan dalam melakukan problem-solving (Jones et al., 2013).

Dalam penelitian yang dilakukan Hill-Briggs et al, (2011) menyatakan pelatihan problem-solving dapat dilakukan dengan metode tradisional sebanyak delapan sesi atau dapat disingkat menjadi satu sesi. Dalam penelitian tersebut juga menjelaskan edukasi tentang diabetes dan CVD dilakukan dalam satu sesi. Intervensi kognitif-perilaku sejenis yaitu penelitian oleh Buhse et al, (2013) tentang shared decision making dilakukan sebanyak satu sesi dengan durasi 60-90 menit. Penelitian yang dilakukan Rurik et al, (2010) tentang konseling gizi


(47)

31

menerapkan dua jenis konseling yaitu konseling kelompok dan individu. Konseling individu dilakukan dengan tiga sesi masing-masing maksimal selama 60 menit namun hanya sesi ketiga yang berupa intervensi konseling gizi. Berdasarkan ketiga penelitian tersebut peneliti melakukan edukasi dua lintas dalam satu sesi dengan durasi 90 menit.

Berikut adalah gambaran pelaksanaan edukasi dua lintas:

Sumber: Pereira et al., 2010; Hill-Briggs et al., 2011

Gambar 1. Gambaran Pelaksanaan Edukasi Dua Lintas

2.3.3 Media

Media atau dapat disebut juga sebagai alat peraga merupakan komponen penting dalam proses edukasi. Media membantu edukator mencapai tujuan utama yaitu menyampaikan informasi kepada sasaran dan meningkatkan efektivitas proses edukasi. Media dapat menarik perhatian sasaran, mempermudah menyampaikan informasi, mengatasi banyak hambatan dalam penyampaian, mempermudah sasaran memahami apa yang disampaikan oleh edukator, dan dapat menstimulus sasaran menyebarkan informasi yang didapat. (Maulana, 2009; Supariasa, 2013)

Media yang digunakan dalam edukasi dua lintas adalah media visual berupa leaflet dan flipchart. Media yang digunakan adalah media cetak leaflet dan flipchart karena informasi paling banyak disalurkan melalui mata yaitu ± 75-87%.

Posttest EFR 3x24 jam Pretest

EFR 3x24 jam

Edukasi Dua Lintas


(48)

32

Leaflet merupakan media penyampaian informasi kesehatan dengan tulisan, gambar, ataupun kombinasi yang tercantum dalam kertas terlipat. Tulisan pada leaflet terdiri atas 200-400 kata dan dapat dimengerti isinya dengan sekali baca. Flipchart merupakan alat yang serupa lembar balik namun berukuran lebih kecil sekitar 21 x 28 cm. Flipchart mengandung gambar dan/atau tulisan pada lembar yang akan diperlihatkan pada sasaran dan juga pada lembar dibaliknya yang menghadap ke edukator sehingga mempermudah edukator dalam memberikan informasi (Maulana, 2009; Supariasa, 2013). Media lain yang digunakan adalah lembar problem-solving yaitu lembar yang diisi oleh penderita DMT2 mulai dari masalah sampai dengan solusi dan evaluasi.

2.3.4 Pengaruh Edukasi Dua Lintas terhadap Pola Makan Penderita DMT2 Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku yaitu: 1) Predisposing factor; 2) Enabling factor; dan 3) Reinforcing factor. Pengetahuan merupakan bagian dari predisposing factor atau faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku. Edukasi yang dilakukan pada penderita DMT2 bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan perilaku yang sesuai dalam perawatan diri. Edukasi gizi meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan sehat dan berpengaruh terhadap pola makan penderita DMT2. Edukasi gizi juga secara tidak langsung mempengaruhi glukosa darah dan kadar HbA1C penderita DMT2. (Muchiri, 2013; Malek & Cakiroglu, 2013)

Pendekatan edukasi yang dapat dilakukan adalah melibatkan penderita dalam proses edukasi dan pembuatan keputusan. Edukasi teknik problem-solving


(49)

33

melibatkan penderita secara langsung dalam pengambilan keputusan dalam menyelesaikan masalah yang ditemukan saat menjalani diet sehat DMT2 sehari-hari (Muchiri, 2013). Prinsip problem-solving sesuai dengan prinsip pembuatan keputusan pada orang dewasa. Orang dewasa cenderung akan melakukan perubahan perilaku jika perubahan tersebut berarti bagi dirinya dan bebas dipilih. (Jones et al., 2013)

Edukasi dua lintas yang mengandung teknik problem-solving memiliki pengaruh terhadap psikologis penderita DMT2. Kemampuan dalam menyelesaikan suatu masalah dapat meningkatkan kepercayaan diri penderita DMT2 dalam menjalani perawatan diri (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013). Kepercayaan diri berhubungan dengan pelaksanaan perawatan diri salah satunya pola makan sehat. Kepercayaan diri yang semakin tinggi menunjukkan peningkatan implementasi pola makan sehat. (Didarlo et al., 2014; King et al., 2010)

Edukasi dua lintas dapat meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan sehat dan melatih penderita DMT2 dalam memecahkan masalah yang dihadapi khususnya dalam menjalani pola makan sehat. Kombinasi strategi meningkatkan pengetahuan dan intervensi perilaku-kognitif lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan, perilaku perawatan diri, dan keyakinan diri sehingga dapat meningkatkan kontrol metabolik yang lebih baik dibandingkan strategi yang hanya berorientasi pada pengetahuan saja (Jones et al., 2013). Edukasi dua lintas merupakan salah satu bentuk dari kombinasi tersebut.


(1)

mengembangkan teknik dan membantu dalam memecahkan masalah yang dimiliki penderita DMT2 (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013; Jones et al., 2013).

Problem-solving memiliki 5 tahapan utama dan dapat dibagi menjadi 10 langkah yaitu: (Cruickshank, 2009)

a. Tahap 1 adalah mengidentifikasi masalah dan kepemilikan masalah yang terdiri dari 3 langkah:

1) Menyatakan masalah yang dihadapi.

2) Mengidentifikasi tujuan yang ingin diwujudkan.

3) Mengidentifikasi siapa pemilik masalah dan siapa yang ingin mewujudkan tujuan.

b. Tahap 2 adalah klarifikasi nilai. Masalah dan tujuan sudah diidentifikasi dilanjutkan dengan langkah berikut:

4) Memberikan nilai pada tujuan yang ingin dicapai seberapa ingin tujuan tersebut tercapai.

c. Tahap 3 adalah analisis situasi masalah yang terdiri dari tiga langkah:

5) Mengidentifikasi hambatan yang mencegah pemilik masalah untuk mencapai tujuan.

6) Membuat strategi untuk menghilangkan, menanggulangi, atau menghindari masalah tersebut.

7) Membuat efek samping yang negatif pada setiap solusi yang potensial. d. Tahap 4 adalah memberikan peringkat pada solusi potensial


(2)

8) Memberikan nilai pada setiap solusi yang potensial dan menemukan solusi yang terbaik. Solusi yang baik adalah solusi yang paling sedikit memiliki efek samping negatif dan dapat diimplementasikan.

e. Tahap 5 adalah mengimplementasikan dan mengevaluasi solusi terbaik. 9) Memutuskan bagaimana mengimplementasikan solusi terbaik.

10) Memutuskan perluasan terhadap solusi yang paling dekat terhadap tujuan dengan mengurangi masalah atau mengeliminasi masalah.

Menurut Mulvaney (2009) problem-solving yang dapat diterapkan oleh penderita DMT2 dalam perawatan diri terdiri dari tujuh langkah yaitu: 1) Mengidentifikasi masalah; 2) Mengidentifikasi hambatan atau penyebab yang menimbulkan masalah utama; 3) Menyusun solusi; 4) Menyusun rencana implementasi; 5) Implementasi; 6) Evaluasi; dan 7) Revisi. Menurut Stetson et al,

(2010) terdapat delapan langkah dalam melakukan problem-solving yaitu: 1) Mengidentifikasi dan memahami masalah; 2) Menyusun tujuan; 3) Menyusun solusi alternatif; 4) Memilih solusi alternatif yang sudah disusun; 5) Mengkaji kemungkinan dari alternatif yang dipilih; 6) Mengimplementasikan; 7) memonitoring dan mengkaji efek dari rencana yang telah dilakukan; dan 8) Menggunakan problem-solving untuk meyusun rencana sampai tujuan dapat tercapai.

Menurut ketiga sumber mengenai langkah-langkah problem-solving, dapat disimpulkan terdapat lima langkah utama yaitu: 1) Identifikasi masalah dan penyebab; 2) Susun tujuan; 3) Susun solusi alternatif dan prioritaskan; 4) Implementasi; dan 5) Evaluasi.


(3)

2.3.2 Metode

Metode adalah cara atau pendekatan tertentu. Menurut Santoso Karo Karo dalam Supariasa (2013), metode pendidikan kesehatan adalah setiap cara, teknik, maupun media yang terencana yang diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut. Metode edukasi yang baik adalah metode yang disesuaikan dengan jenis sasaran, waktu, dan tempat. (Maulana, 2009; Supariasa, 2013)

Metode edukasi dua lintas yang digunakan adalah metode edukasi ceramah. Ceramah adalah metode menyampaikan informasi kepada sasaran sehingga sasaran dapat melakukan proses belajar. Ceramah cocok digunakan kepada berbagai jenis sasaran, mudah pengaturannya, dapat digunakan dalam sasaran jumlah besar, dan waktu yang digunakan efisien (Maulana, 2009; Supariasa, 2013). Setting edukasi dilakukan di rumah penderita dan dilakukan dengan cara tatap muka langsung karena edukasi dengan tatap muka langsung memiliki efek yang lebih luas dan edukasi di rumah dapat membantu responden dalam menentukan keputusan terutama kebebasan dalam melakukan problem-solving

(Jones et al., 2013).

Dalam penelitian yang dilakukan Hill-Briggs et al, (2011) menyatakan pelatihan problem-solving dapat dilakukan dengan metode tradisional sebanyak delapan sesi atau dapat disingkat menjadi satu sesi. Dalam penelitian tersebut juga menjelaskan edukasi tentang diabetes dan CVD dilakukan dalam satu sesi. Intervensi kognitif-perilaku sejenis yaitu penelitian oleh Buhse et al, (2013) tentang shared decision making dilakukan sebanyak satu sesi dengan durasi 60-90 menit. Penelitian yang dilakukan Rurik et al, (2010) tentang konseling gizi


(4)

menerapkan dua jenis konseling yaitu konseling kelompok dan individu. Konseling individu dilakukan dengan tiga sesi masing-masing maksimal selama 60 menit namun hanya sesi ketiga yang berupa intervensi konseling gizi. Berdasarkan ketiga penelitian tersebut peneliti melakukan edukasi dua lintas dalam satu sesi dengan durasi 90 menit.

Berikut adalah gambaran pelaksanaan edukasi dua lintas:

Sumber: Pereira et al., 2010; Hill-Briggs et al., 2011

Gambar 1. Gambaran Pelaksanaan Edukasi Dua Lintas

2.3.3 Media

Media atau dapat disebut juga sebagai alat peraga merupakan komponen penting dalam proses edukasi. Media membantu edukator mencapai tujuan utama yaitu menyampaikan informasi kepada sasaran dan meningkatkan efektivitas proses edukasi. Media dapat menarik perhatian sasaran, mempermudah menyampaikan informasi, mengatasi banyak hambatan dalam penyampaian, mempermudah sasaran memahami apa yang disampaikan oleh edukator, dan dapat menstimulus sasaran menyebarkan informasi yang didapat. (Maulana, 2009; Supariasa, 2013)

Media yang digunakan dalam edukasi dua lintas adalah media visual berupa leaflet dan flipchart. Media yang digunakan adalah media cetak leaflet dan

flipchart karena informasi paling banyak disalurkan melalui mata yaitu ± 75-87%. Posttest

EFR 3x24 jam Pretest

EFR 3x24 jam

Edukasi Dua Lintas


(5)

Leaflet merupakan media penyampaian informasi kesehatan dengan tulisan, gambar, ataupun kombinasi yang tercantum dalam kertas terlipat. Tulisan pada leaflet terdiri atas 200-400 kata dan dapat dimengerti isinya dengan sekali baca. Flipchart merupakan alat yang serupa lembar balik namun berukuran lebih kecil sekitar 21 x 28 cm. Flipchart mengandung gambar dan/atau tulisan pada lembar yang akan diperlihatkan pada sasaran dan juga pada lembar dibaliknya yang menghadap ke edukator sehingga mempermudah edukator dalam memberikan informasi (Maulana, 2009; Supariasa, 2013). Media lain yang digunakan adalah lembar problem-solving yaitu lembar yang diisi oleh penderita DMT2 mulai dari masalah sampai dengan solusi dan evaluasi.

2.3.4 Pengaruh Edukasi Dua Lintas terhadap Pola Makan Penderita DMT2

Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku yaitu: 1) Predisposing factor; 2)

Enabling factor; dan 3) Reinforcing factor. Pengetahuan merupakan bagian dari

predisposing factor atau faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku. Edukasi yang dilakukan pada penderita DMT2 bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan perilaku yang sesuai dalam perawatan diri. Edukasi gizi meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan sehat dan berpengaruh terhadap pola makan penderita DMT2. Edukasi gizi juga secara tidak langsung mempengaruhi glukosa darah dan kadar HbA1C penderita DMT2. (Muchiri, 2013; Malek & Cakiroglu, 2013)

Pendekatan edukasi yang dapat dilakukan adalah melibatkan penderita dalam proses edukasi dan pembuatan keputusan. Edukasi teknik problem-solving


(6)

melibatkan penderita secara langsung dalam pengambilan keputusan dalam menyelesaikan masalah yang ditemukan saat menjalani diet sehat DMT2 sehari-hari (Muchiri, 2013). Prinsip problem-solving sesuai dengan prinsip pembuatan keputusan pada orang dewasa. Orang dewasa cenderung akan melakukan perubahan perilaku jika perubahan tersebut berarti bagi dirinya dan bebas dipilih. (Jones et al., 2013)

Edukasi dua lintas yang mengandung teknik problem-solving memiliki pengaruh terhadap psikologis penderita DMT2. Kemampuan dalam menyelesaikan suatu masalah dapat meningkatkan kepercayaan diri penderita DMT2 dalam menjalani perawatan diri (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013). Kepercayaan diri berhubungan dengan pelaksanaan perawatan diri salah satunya pola makan sehat. Kepercayaan diri yang semakin tinggi menunjukkan peningkatan implementasi pola makan sehat. (Didarlo et al., 2014; King et al., 2010)

Edukasi dua lintas dapat meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan sehat dan melatih penderita DMT2 dalam memecahkan masalah yang dihadapi khususnya dalam menjalani pola makan sehat. Kombinasi strategi meningkatkan pengetahuan dan intervensi perilaku-kognitif lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan, perilaku perawatan diri, dan keyakinan diri sehingga dapat meningkatkan kontrol metabolik yang lebih baik dibandingkan strategi yang hanya berorientasi pada pengetahuan saja (Jones et al., 2013). Edukasi dua lintas merupakan salah satu bentuk dari kombinasi tersebut.