Efek analgesik infusa bunga srigading [Nyctanthes arbor-tritis L.] pada mencit putih betina.
INTISARI
Srigading (Nyctanthes arbor-tritis L.) merupakan salah satu tanaman yang dikembangkan sebagai obat tradisional. Srigading sering digunakan masyarakat untuk mengobati batuk, wasir, encok, eksema, demam, demam nifas (demam sehabis bersalin), perawatan setelah bersalin, haid tidak lancar, rematik, ruam kulit, kusta, dan cacingan pada anak. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui efek analgesik dari infusa bunga srigading terhadap mencit putih betina.
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subyek penelitian sejumlah 36 ekor mencit putih betina dikelompokkan dalam 6 kelompok. Kelompok I adalah kontrol negatif menggunakan akuades. Kelompok II adalah kontrol positif menggunakan suspensi asetosal dalam natrium carboksimetilselulose 1% dengan dosis 91 mg/KgBB. Kelompok III-VI adalah subyek infusa bunga srigading dengan dosis 1333,33 mg/KgBB; 2000 mg/KgBB; 2666,67 mg/KgBB; and 3333,33 mg/KgBB. Senyawa uji dan kontrol diberikan secara peroral. Setelah 10 menit, subyek diberi rangsang asam asetat sebesar 1%v/v secara intraperitonial, kemudian respon geliat mencit diamati dan dicatat setiap 5 menit selama 1 jam. Jumlah respon geliat dianalisis menggunakan Anova satu arah dengan taraf kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji Schefe.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa infusa bunga srigading memiliki efek analgesik terhadap mencit putih betina. Efek analgesik yang dihasilkan infusa bunga srigading dosis 1333,33 mg/KgBB; 2000 mg/KgBB; 2666,67 mg/KgBB; and 3333,33 mg/KgBB adalah 45,033%; 49,413%; 65,158%; dan 60,642%. Kata kunci : efek analgesik, infusa bunga srigading, rangsang kimia, mencit putih
betina.
(2)
ABSTRACT
Coral jasmine (Nyctanthes arbor-tritis L.) is one of plants that used to be developed as a traditional medicine. Coral jasmine is often used by people to cure cough, haemorrhoids, eczema, fever, unfluent menstruation, and rheumatic. the purpose of this study was to know the analgesic effect of coral jasmine infusion forward white female mice.
The research was done including research on pure experiment with complete randomize one divided one way statistic. The subject of the research were 36 white female mices divided into 6 groups. Group I was the negative control used aquadest. Group II was the positif control used asetosal suspension in 1% natrium carboksimetilselulose with dose of 91 mg/KgBW. Group III-VI were the the subjects of the coral jasmine flower infusion with dose of 1333,33 mg/KgBW; 2000 mg/KgBW; 2666,67 mg/KgBW; and 3333,33 mg/KgBW. The testing substances and the control’s were given peroral. After 10 minutes, the subject were given acetic acid stimulation about 1% v/v in a intraperitonial way, then the mice’s writhing responses were observed and recorded every 5 minutes in 1 hour. The quantity of writhing responses were analyzed using one way Anova with 95% significance level and were continued with Schefe method.
The result of the study shown that the coral jasmine flower infusion have an analgesic effect on white female mice. The analgesic effect produced by 1333,33 mg/KgBW; 2000 mg/KgBW; 2666,67 mg/KgBW; and 3333,33 mg/KgBW of coral jasmine flower infusion were 45,033%; 49,413%; 65,158%; dan 60,642%.
Keyword : analgesic effect, coral jasmine infusion, chemical stimulation, female white mice.
(3)
EFEK ANALGESIK INFUSA BUNGA SRIGADING (Nyctanthes arbor-tritis L.) PADA MENCIT PUTIH BETINA
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Eunike Sandjaja NIM : 038114030
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
EFEK ANALGESIK INFUSA BUNGA SRIGADING (Nyctanthes arbor-tritis L.) PADA MENCIT PUTIH BETINA
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Eunike Sandjaja NIM : 038114030
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(5)
(6)
(7)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Aku tid a k m e n d a p a t s e s u a tu p u n ya n g a ku m in ta Te ta p i m e n d a p a t s e m u a ya n g a ku b u tu h ka n .
B e rte n ta n ga n d e n ga n ke in gin a n ku , d o a -d o a ku ya n g ta k te ru ca p ka n te rja w a b
Banyak perkara yang tak dapat kumengerti... mengapakah harus terjadi di dalam dunia ini.
Satu perkara yang kusimpan dalam hati... tiada sesuatu akan terjadi tanpa Allah perduli.
Allah mengerti..Allah perduli.. segala persoalan yang Nike hadapi..
Tak akan pernah dibiarkanNya kubergumul sendiri s’bab allah mengerti..
DibukaNya jalanku.. s’bab Allah mengerti...
Segala perkara dapat Nike tanggung di dalam Yesus yang memberi kekuatan kepada Eunike Rebecca Sandjaja
Filipi 4:13
Kupersembahkan skripsi ini kepada
Bapa di Sorga yang selalu mengasihiku...
Tuhan Yesus yang selalu memberi segalanya indah pada waktuNya… Roh Kudus... penghiburku yang selalu setia menyertaiku…
Keluargaku yang kucintai... Gi dan Ndari yang kusayangi… Almamaterku....
(8)
PRAKATA
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena kasih setiaNya lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Analgesik Infusa Bunga Srigading (Nyctanthes arbor-tritis L.) pada Mencit Putih Betina“ ini dengan baik.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt selaku pembimbing akademik dan pembimbing utama skripsi ini atas segala dukungan, bimbingan, kritik dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
3. Drs. Mulyono, Apt., selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
4. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
5. Ign. Kristio Budiasmoro, M.Si., Mas Sigit, dan Mas Andre, atas bantuan determinasi dan pembuatan herbarium tanaman srigading.
(9)
6. Mas Parjiman, Mas Heru dan Mas Kayat selaku laboran bagian Farmakologi-Toksikologi, serta Mas Wagiran selaku laboran bagian Farmakognosi-Fitokimia atas segala bantuan dan dinamika selama di laboratorium.
7. Papa, Mama dan Ciciku yang selalu mendukung terutama dukungan moral, biaya, semangat dan kasih sayang selama ini.
8. Gi yang selalu memberi kepercayaan, semangat dan bantuan selama ini, Nesz dan Ndari yang membantu selama penyusunan skripsi ini, serta Jenny atas persahabatan yang indah.
9. Teman-teman Amakusa Family : Ayu, Tyas beru, Nova, Linda tomat, C’monchan, Cendutz, Dechi, Chipino, Inchan, Hennotz, Mira, Tata, Ita, Yemi, Dewi, Uut, Dian, dan Putri atas persahabatan dan kehebohan yang menyenangkan.
10.Tokol Family dan seluruh PMK Apostolos Family atas persaudaraan dan persahabatan yang indah dalam Tuhan Yesus Kristus.
11.Fen-Fen, Mike, Kezia, Fery, Owen, Ping, Shiang, dan Ricky atas dukungan moril, doa dan persahabatan yang luar biasa.
12.Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Farmakologi atas kebersamaan dan keceriaan bersama selama ini.
13.Kelas kuliah A, terlebih kelompok Praktikum B angkatan 2003 atas kebersamaan, suka, dan duka selama ini.
14.Pihak-pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini dan tidak dapat disebutkan satu-persatu.
(10)
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
(11)
(12)
INTISARI
Srigading (Nyctanthes arbor-tritis L.) merupakan salah satu tanaman yang dikembangkan sebagai obat tradisional. Srigading sering digunakan masyarakat untuk mengobati batuk, wasir, encok, eksema, demam, demam nifas (demam sehabis bersalin), perawatan setelah bersalin, haid tidak lancar, rematik, ruam kulit, kusta, dan cacingan pada anak. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui efek analgesik dari infusa bunga srigading terhadap mencit putih betina.
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subyek penelitian sejumlah 36 ekor mencit putih betina dikelompokkan dalam 6 kelompok. Kelompok I adalah kontrol negatif menggunakan akuades. Kelompok II adalah kontrol positif menggunakan suspensi asetosal dalam natrium carboksimetilselulose 1% dengan dosis 91 mg/KgBB. Kelompok III-VI adalah subyek infusa bunga srigading dengan dosis 1333,33 mg/KgBB; 2000 mg/KgBB; 2666,67 mg/KgBB; and 3333,33 mg/KgBB. Senyawa uji dan kontrol diberikan secara peroral. Setelah 10 menit, subyek diberi rangsang asam asetat sebesar 1%v/v secara intraperitonial, kemudian respon geliat mencit diamati dan dicatat setiap 5 menit selama 1 jam. Jumlah respon geliat dianalisis menggunakan Anova satu arah dengan taraf kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji Schefe.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa infusa bunga srigading memiliki efek analgesik terhadap mencit putih betina. Efek analgesik yang dihasilkan infusa bunga srigading dosis 1333,33 mg/KgBB; 2000 mg/KgBB; 2666,67 mg/KgBB; and 3333,33 mg/KgBB adalah 45,033%; 49,413%; 65,158%; dan 60,642%. Kata kunci : efek analgesik, infusa bunga srigading, rangsang kimia, mencit putih
(13)
ABSTRACT
Coral jasmine (Nyctanthes arbor-tritis L.) is one of plants that used to be developed as a traditional medicine. Coral jasmine is often used by people to cure cough, haemorrhoids, eczema, fever, unfluent menstruation, and rheumatic. the purpose of this study was to know the analgesic effect of coral jasmine infusion forward white female mice.
The research was done including research on pure experiment with complete randomize one divided one way statistic. The subject of the research were 36 white female mices divided into 6 groups. Group I was the negative control used aquadest. Group II was the positif control used asetosal suspension in 1% natrium carboksimetilselulose with dose of 91 mg/KgBW. Group III-VI were the the subjects of the coral jasmine flower infusion with dose of 1333,33 mg/KgBW; 2000 mg/KgBW; 2666,67 mg/KgBW; and 3333,33 mg/KgBW. The testing substances and the control’s were given peroral. After 10 minutes, the subject were given acetic acid stimulation about 1% v/v in a intraperitonial way, then the mice’s writhing responses were observed and recorded every 5 minutes in 1 hour. The quantity of writhing responses were analyzed using one way Anova with 95% significance level and were continued with Schefe method.
The result of the study shown that the coral jasmine flower infusion have an analgesic effect on white female mice. The analgesic effect produced by 1333,33 mg/KgBW; 2000 mg/KgBW; 2666,67 mg/KgBW; and 3333,33 mg/KgBW of coral jasmine flower infusion were 45,033%; 49,413%; 65,158%; dan 60,642%.
Keyword : analgesic effect, coral jasmine infusion, chemical stimulation, female white mice.
(14)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PRAKATA... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix
INTISARI... x
ABSTRACT... xi
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN... xx
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 3
C. Keaslian Penelitian... 3
D. Manfaat Penelitian ... 3
E. Tujuan Penelitian ... 4
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 5
A. Tanaman Srigading ... 5
(15)
C. Nyeri... 8
D. Analgetika ... 17
E. Asetosal ... 18
F. Metode Pengujian Efek Analgesik... 19
G. Keterangan Empiris... 25
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 26
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 26
B. Metode Penelitian ... 26
C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 27
1. Variabel Penelitian ... 27
2. Definisi Operasional ... 28
D. Bahan dan Alat Penelitian... 28
1. Bahan Penelitian... 28
2. Alat Penelitian... 29
E. Tata Cara Penelitian ... 30
1. Determinasi Tanaman ... 30
2. Pengumpulan Bahan ... 30
3. Pembuatan simplisia bunga srigading... 30
4. Penyiapan Hewan Uji... 31
5. Pembuatan Sediaan ... 31
6. Penentuan Kriteria Geliat Mencit... 32
7. Penentuan Dosis Infusa Bunga Srigading ... 32
8. Penentuan Dosis Asam Asetat ... 33
(16)
9. Penentuan Selang Waktu Pemberian Asam Asetat... 33
10.Penentuan Dosis Asetosal ... 34
11.Penentuan Kontrol Negatif... 34
12.Perlakuan Hewan Uji ... 35
13.Pengujian Efek Analgesik ... 35
14.Tatacara Analisis Hasil ... 36
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 37
A. Determinasi Tanaman ... 37
B. Uji Pendahuluan ... 38
1. Penentuan Dosis Asam Asetat ... 38
2. Penentuan Selang Waktu Pemberian Asam Asetat... 41
3. Penentuan Dosis Asetosal ... 44
4. Penentuan Kontrol Negatif... 47
C. Pengujian Efek Analgesik ... 49
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 59
A. Kesimpulan ... 59
B. Saran... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
LAMPIRAN... 62
(17)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel I. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada penentuan
dosis asam asetat ... 38 Tabel II. Hasil analisis variansi satu arah rata-rata jumlah kumulatif
geliat penentuan dosis asam asetat... 39 Tabel III. Hasil uji Scheffe rata-rata jumlah kumulatif geliat
penentuan dosis asam asetat... 40 Tabel IV. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada penentuan
selang waktu pemberian asam asetat dengan dosis 50
mg/kgBB ... 41 Tabel V. Hasil analisis variansi satu arah rata-rata jumlah kumulatif
geliat pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat. 42 Tabel VI. Hasil uji Scheffe rata-rata jumlah kumulatif geliat
penentuan selang waktu pemberian asam asetat ... 43 Tabel VII. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit dan persen
proteksi pada penentuan dosis asetosal ... 45 Tabel VIII. Hasil analisis variansi satu arah persen proteksi pada
penentuan dosis asetosal ... 46 Tabel IX. Hasil uji Scheffe persen proteksi pada penentuan dosis
asetosal ... 46 Tabel X. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada penentuan
kontrol negatif ... 48
(18)
Tabel XI. Data rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit dan persen proteksi pada pengujian efek analgesik seluruh kelompok... 49 Tabel XII. Analisis variansi satu arah persen proteksi pada pengujian
efek analgesik seluruh kelompok ... 51 Tabel XIII. Hasil uji Scheffe persen persen proteksi pada pengujian
efek analgesik seluruh kelompok ... 51 Tabel XIV. Data rata-rata persen perubahan efek analgesik kelompok
perlakuan terhadap kontrol positif (asetosal 91 mg/KgBB) pada pengujian efek analgesik seluruh kelompok... 54 Tabel XV. Ringkasan analisis variansi satu arah rata-rata persen
perubahan efek analgesik terhadap kontrol positif (asetosal dosis 91 mg/kgBB) pada pengujian efek analgesik seluruh
kelompok... 55 Tabel XVI. Hasil uji Scheffe persen perubahan efek analgesik terhadap
kontrol positif (asetosal dosis 91 mg/kgBB) pada pengujian efek analgesik seluruh kelompok ... 56 Tabel XVII. Data jumlah geliat mencit pada penentuan dosis asam asetat 65 Tabel XVIII. Data jumlah geliat mencit pada penentuan selang waktu
pemberian asam asetat... 67 Tabel XIX. Data jumlah geliat mencit pada penentuan dosis asetosal .... 69 Tabel XX. Data persen proteksi pada penentuan dosis asetosal ... 71 Tabel XXI. Data jumlah geliat mencit pada penentuan kontrol negatif... 73
(19)
Tabel XXII. Data jumlah geliat mencit pada pengujian efek analgesik seluruh kelompok ... 74 Tabel XXIII. Data rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit dan persen
proteksi pada pengujian efek analgesik seluruh kelompok... 75 Tabel XXIV. Data persen proteksi pada pengujian efek analgesik seluruh
kelompok... 79 Tabel XXV. Data rata-rata persen perubahan efek analgesik kelompok
perlakuan terhadap kontrol positif (asetosal 91 mg/KgBB) pada pengujian efek analgesik seluruh kelompok... 83
(20)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Pembentukkan mediator-mediator nyeri ... 10
Gambar 2. Tempat berakhirnya serabut aferen pada 6 lapisan dari sumsum tulang belakang ... 12
Gambar 3. Mekanisme Nyeri ... 14
Gambar 4. Skema diagram dari gate control system... 15
Gambar 5. Struktur molekul Asetosal... 18
Gambar 6. Diagram batang rata-rata jumlah kumulatif geliat pada penentuan dosis asam asetat... 39
Gambar 7. Grafik rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit selama 1 jam pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat.... 42
Gambar 8. (a) Diagram batang rata-rata jumlah kumulatif geliat... 45
(b) Diagram batang rata-rata persen proteksi pada penentuan dosis asetosal ... 45
Gambar 9. Diagram batang rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada penentuan kontrol negatif ... 48
Gambar 10. (a) Diagram batang rata-rata jumlah kumulatif geliat pada pengujian efek analgesik ... 50
(b) Diagram batang rata-rata persen proteksi pada pengujian efek analgesik ... 50
(21)
Gambar 11 Diagram batang rata-rata persen perubahan efek analgesik terhadap kontrol positif (asetosal dosis 91 mg/kgBB) pada
pengujian efek analgesik seluruh kelompok ... 55
Gambar 12. Foto Tanaman Srigading ... 63
Gambar 13. Foto Bunga Srigading ... 63
Gambar 14. Foto Serbuk Simplisia ... 64
Gambar 15. Foto Infusa Bunga Srigading ... 64
Gambar 16. Foto Geliat mencit... 64
(22)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Surat Pengesahan Determinasi... 62 Lampiran 2. Foto Tanaman Srigading, Bunga Srigading, Serbuk
Simplisia, Infusa Bunga Srigading, dan Geliat mencit ... 62 Lampiran 3. Data jumlah kumulatif geliat mencit dan hasil analisis
statistik pada penentuan dosis asam asetat... 65 Lampiran 4. Data jumlah kumulatif geliat mencit dan hasil analisis
statistik pada penentuan selang waktu pemberian asam
asetat... 67 Lampiran 5. Data jumlah kumulatif geliat mencit dan hasil analisis
statistik pada penentuan dosis asetosal ... 69 Lampiran 6. Data persen proteksi dan hasil analisis statistik pada
penentuan dosis asetosal ... 71 Lampiran 7. Data jumlah kumulatif geliat mencit dan hasil analisis
statistik pada penentuan kontrol negatif... 73 Lampiran 8. Data rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit dan hasil
analisis statistik pada pengujian efek analgesik seluruh
kelompok... 74 Lampiran 9. Data persen proteksi dan hasil analisis statistik pada
pengujian efek analgesik seluruh kelompok ... 79 Lampiran 10. Data persen proteksi dan hasil analisis statistik pada
(23)
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia telah mengenal dan menggunakan obat tradisional sejak dahulu kala. Obat tradisional digunakan sebagai sarana perawatan kesehatan dan untuk menanggulangi berbagai macam penyakit. Budaya bangsa Indonesia yang berkaitan dengan pemanfaatan alam, khususnya untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit dilaksanakan berdasarkan pengalaman secara turun-temurun. Dari pengalaman tersebut ternyata banyak tumbuhan di alam sekitar memberi manfaat kesehatan bagi penggunanya. Pengalaman tersebut secara turun-temurun dikembangkan dan diwariskan, sehingga obat tradisional dapat dimanfaatkan sampai sekarang sebagai salah satu sarana perawatan kesehatan masyarakat (Soedibyo, 1998).
Nyeri merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih perlu ditanggulangi karena nyeri merupakan gejala dari hampir semua penyakit yang keberadaannya kadang-kadang sangat menyiksa. Hal ini menyebabkan penderitanya berusaha untuk bebas dari rasa nyeri tersebut. Walaupun kadang-kadang sangat menyiksa, nyeri sangat berharga sebagai petunjuk dan peringatan tentang adanya sesuatu yang tidak beres dalam tubuh. Salah satu solusi untuk mengatasi rasa nyeri tersebut dengan mengembangkan berbagai upaya pengobatan. (Soedibyo, 1998).
(24)
Salah satu bahan alam yang berguna sebagai obat tradisional dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengobati rasa nyeri adalah srigading (Soedibyo, 1998). Bagian yang sering dimanfaatkan adalah bunga, daun, kulit kayu, dan bijinya. Bunga srigading biasanya digunakan untuk demam habis bersalin, haid tidak teratur, rematik, radang kulit bernanah, dan tonik (Soedibyo, 1998). Masyarakat di daerah Cirebon ternyata juga biasa memanfaatkan bunga srigading untuk mengobati nyeri haid dimana bunga srigading segar atau yang telah dikeringkan tersebut diseduh dengan air panas seperti halnya pada pembuatan teh. Akan tetapi, efek analgesik bunga srigading belum diteliti sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi tentang efek analgesik bunga srigading.
Pengujian efek analgesik yang dilakukan terhadap bunga srigading ini menggunakan metode uji rangsang kimia. Hal ini dikarenakan metode rangsang kimia dapat digunakan sebagai langkah pengujian awal untuk mengetahui apakah suatu senyawa memiliki efek analgesik atau tidak, selain itu metode ini sederhana dan mudah dilakukan. Hewan uji yang digunakan dalam metode uji rangsang kimia adalah mencit sebagaimana tercantum dalam acuan (Turner, 1965). Mencit yang dapat digunakan adalah Swiss Webster dan BAPSI. Pada penelitian ini digunakan mencit dengan galur Swiss Webster karena karakternya yang lebih mudah beradaptasi dan tidak mudah stress dibandingkan dengan BAPSI. Selain itu dipilih jenis kelamin betina dengan asumsi lebih peka terhadap rangsang nyeri dibandingkan jenis kelamin jantan.
(25)
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang timbul antara lain adalah sebagai berikut :
a. Apakah infusa bunga srigadingmemiliki efek analgesik terhadap mencit putih
betina melalui metode rangsang kimia?
b. Berapa besar efek analgesik infusa bunga srigading terhadap mencit putih
betina melalui metode rangsang kimia?
C. Keaslian
Penelitian yang pernah dilakukan terhadap tanaman srigading diantaranya adalah penelitian Saikhu Akhmad Husen (1987) tentang pengaruh infus daun srigading 5% dan 10% serta infus bunga srigading 0,5% dan 1% terhadap amplitudo kontraksi otot rahim kelinci terpisah. Akan tetapi sejauh pengetahuan penulis, penelitian efek analgesik infusa bunga srigading belum pernah dilakukan.
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu sebagai berikut :
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang obat tradisional dalam hal obat analgesik.
(26)
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat bunga srigading sebagai obat analgesik.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut :
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang tanaman obat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat analgesik.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui kemampuan bunga srigading sebagai analgetika
terhadap mencit putih betina.
b. Untuk mengetahui besar efek analgesik bunga srigading terhadap mencit
(27)
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tanaman Srigading 1. Sistematika
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledonae
Ordo : Contortae
Familia : Oleaceae
Subfamilia : Oleoideae
Genus : Nyctanthes
Spesies : Nyctanthes arbor-tritis L. (Backer dan Bakhuizen, 1965)
(Lawrence, 1951)
2. Sinonim : Nyctanthes arbodica-charantia L.; Nyctanthes dentate, BI. (Anonim, 2006)
3. Nama daerah
Srigading, suruh gading, sarigading, sirih gading, kembang pengantin,
daun karangan (Jawa); coral jasmine, sorrowful tree (Inggris); harsinghar,
patijataka (India/Pakistan) (Anonim, 2006 ).
4. Morfologi
Perdu atau pohon kecil, tinggi ± 9 m. Batang berkayu, bulat, bercabang, berambut, kasap, putih kotor. Daun tunggal, bulat telur, pangkal
(28)
membulat, ujung runcing, tepi rata, permukaan kasap, tulang menyirip, panjang 4-11cm, lebar 2-8 cm, duduk berhadapan, hijau. Bunga majemuk bentuk malai, harum, kelopak bentuk corong, berambut, panjang ± 7mm, tabung mahkota silindris, jingga, mahkota 3-5, putih, mekar waktu malam hari dan berjatuhan pada pagi hari. Buah kotak, bulat telur, pipih, panjang ± 1,5m, cokelat. Biji keras, cokelat (Anonim, 2006)
5. Kandungan kimia
Bunga srigading mengandung minyak atsiri, dan alkaloid niktantina (Anonim, 2006). Selain itu, bunga srigading juga memiliki kandungan sterol/terpen, dan flavonoid (Anonim, 1995a).
6. Kegunaan
Bunga srigading berguna untuk mengatasi demam, demam nifas (demam sehabis bersalin), haid tidak lancar, rematik, dan cacingan pada anak (Anonim, 2006). Selain itu, bunga srigading juga berguna untuk mengobati batuk, wasir, dan eksema (Anonim, 1995a).
B. Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia
nabati dengan air pada suhu 90˚C selama 15 menit. Penyarian dengan cara
infundasi menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh tidak bisa disimpan lebih dari 24 jam (Anonim, 1995b).
(29)
Pembuatan infusa sebagai berikut :
1. Simplisia dengan derajat halus yang sesuai (diayak menggunakan ayakan
dengan jumlah lubang tiap inchi adalah 35) dicampur dengan air secukupnya, panaskan diatas tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai
90˚C, sambil sesekali diaduk.
2. Pada saat masih panas campuran tersebut diserkai melalui kain katun.
Selanjutnya ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas sampai diperoleh volume infus yang dikehendaki. Apabila simplisia mengandung minyak atsiri maka campuran tersebut diserkai dalam keadaan dingin (Anonim, 1995b).
3. Kecuali dinyatakan lain, dan kecuali untuk simplisia yang tertera dibawah,
infus yang mengandung bukan bahan berkhasiat keras dibuat dengan menggunakan 10% simplisia. Untuk pembuatan 100 bagian infus berikut digunakan sejumlah yang tertera :
a. Kulit kina : 6 bagian.
b. Daun digitalis : ½ bagian.
c. Akar ipeka : ½ bagian.
d. Daun kumis kucing : ½ bagian.
e. Sekale kornutum : 3 bagian.
f. Daun sena : 4 bagian.
g. Rimpang temulawak : 4 bagian.
(30)
C. Nyeri
Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian/peristiwa yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti, luka, inflamasi, atau kanker (Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2003).
Nyeri dapat dibedakan berdasarkan waktu timbulnya nyeri yaitu: nyeri akut dan nyeri kronik (Anonim, 2001). Nyeri akut dengan kecepatan penjalaran antara 6-30 meter per detik biasanya memiliki sebuah penyebab yang dapat ditegaskan dan sering kali berfungsi sebagai perlindungan yang bertindak sebagai peringatan dari ancaman luar atau kegagalan dalam tubuh. Nyeri kronik dengan kecepatan penjalaran antara 0,5-2 meter per detik sering kali tidak menandakan bahaya yang segera menimbulkan pencegahan dan pasien mungkin tidak mengartikan nyeri tersebut sebagai penyakit serius (Greene dan Harris, 2000).
Nyeri berdasarkan sumbernya dapat dikategorikan menjadi nyeri somatik dan nyeri viseral. Jika nyeri somatik muncul dari kulit, dinamakan nyeri
superfisial. Jika nyeri itu berasal dari otot, sendi, atau jaringan connective, disebut
nyeri dalam. Nyeri viseral muncul dari organ dalam dan berbeda bermakna dengan nyeri somatik (Anonim, 2001).
Dalam kondisi normal, nyeri berkaitan dengan aktivitas listrik pada serabut saraf aferen utama dengan diameter kecil sari saraf perifer. Ujung saraf sensoris pada jaringan perifer diaktifkan oleh berbagai macam rangsangan (mekanik, suhu, kimia). Berdasarkan rekaman aktivitas pada serabut aferen menun jukkan bahwa rangsang yang cukup untuk merangsang serabut aferen tersebut menumbulkan sensasi nyeri. Banyak dari serabut ini adalah serabut C tak
(31)
bemielin dengan kecepatan konduksi yang rendah dimana grup ini dikenal sebagai
nosiseptor C-polimodal. Lainnya adalah serabut bermielin (Aδ) yang
mengonduksi lebih cepat tetapi merespon rangsang perifer yang hampir sama. Nosiseptor polimodal (PMN) merupakan saraf sensorik utama di perifer yang memberikan respon terhadap rangsang bahaya. Sebagian besar adalah serabut C tak bermielin dengan ujung-ujungnya yang merespon terhadap rangsang suhu, mekanik, dan kimia. Zat-zat kimia yang memiliki aksi di PMN dan menimbulkan nyeri meliputi bradikinin, proton, adenosin tripfosfat (ATP) dan vanilloid. Polimoidal nosiseptor (PMN) sendiri disensitisasi oleh prostaglandin, dimana hal ini dapat menjelaskan mengenai aktivitas analgesik dari obat-obat mirip aspirin (Rang dkk, 2003).
Berbagai metabolit dan senyawa dilepaskan dari sel-sel yang terluka, atau terinflamasi, termasuk 5-HT, histamin, asam laktat, ATP dan K+ dimana banyak yang mempengaruhi terminal-terminal saraf nosiseptik. Eikosanoid merupakan hasil pembentukkan dari fosfolipid. Mereka termasuk dalam kontrol dari berbagai proses fisiologis serta merupakan mediator dan modulator utama dari reaksi inflamasi. Asam arakidonat ditemukan teresterifikasi dalam fosfolipid. Eikosanoid yang terpenting adalah prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien, walau derivat lain seperti lipoksin juga dihasilkan (Rang dkk., 2003). Pembentukkan mediator derivat fosfolipid dapat dilihat pada Gambar 1.
Prostaglandin merupakan mediator yang dihasilkan dari perombakan asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase. Prostaglandin tidak menyebabkan nyeri secara langsung tetapi meningkatkan efek penyebab nyeri dari agen lain secara
(32)
kuat seperti bradikinin atau 5-HT. Bradikinin merupakan senyawa penyebab nyeri yang poten, beraksi sebagian dikarenakan lepasnya prostaglandin yang sangat kuat meningkatkan aksi langsung bradikinin pada terminal-terminal saraf (Rang dkk., 2003).
Gangguan membran sel
Fosfolipida
Asam arakhidonat
Lyso-glyseril fosforilkolin
PAF
leukotrien prostaglandin tromboksan
prostasiklin Vasodilatasi,
kemotaksis Penghambat
lipoksigenase Contoh: zileutin
NSAID
Rangsangan
Antagonis PAF Contoh: lexipafant Glukokortikoid
(menginduksi terbentuknya lipocortin)
Gambar 1. Pembentukkan mediator-mediator nyeri (Rang dkk, 2003)
Keterangan : = menghambat
= membentuk
NSAID = Non Steroid Anti Inflammatory Drug
PAF = Platelet Activating Factor
Badan sel dari serabut aferen nosiseptik berada di belakang serabut ganglia. Serabut ini memasuki sumsum tulang belakang melalui serabut ganglia
dan berakhir di daerah abu-abu pada dorsal horn. Kebanyakan dari serabut aferen
Lipooksigenase
siklooksigenase Fosfolipase A2
mediator nyeri
(33)
nosiseptik berakhir pada permukaan dari tulang belakang. Serabut C dan beberapa serabut A masuk ke dalam badan sel pada lamina I dan II. Sementara serabut A lainnya masuk lebih dalam ke dalam tulang (lamina V). Serabut saraf aferen tak bermielin mengandung beberapa neuropeptida terutama substansi P dan
Calcitonin gene-related peptide (CGRP). Zat-zat ini dilepaskan sebagai mediator di pusat dan perifer dan berperan penting dalam mekanisme nyeri (Rang dkk., 2003).
Tiga kelompok utama reseptor kulit yang telah diidentifikasi adalah :
1. Mekanoreseptor (mendeteksi sentuhan ringan)
2. Termoreseptor (mendeteksi panas)
3. Nosiseptor (mendeteksi luka dan rangsang bahaya) (Greene dan Harris, 2000).
Sebagian besar reseptor pada kulit memiliki struktur khusus yang merupakan ujung saraf bebas yang sederhana di perifer. Tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam transmisi nyeri :
1. Serabut A- : berukuran besar, bermielin, cepat dalam menyalurkan impuls
(30-100 m/detik), memiliki ambang nyeri yang rendah dan merespon terhadap sentuhan ringan.
2. Serabut A-δ : berukuran kecil, bermielin tipis, dan memiliki kecapatan
konduksi yang lebih rendah (6-30 m/detik). Serabut ini merespon terhadap tekanan, panas, zat kimia, dan memberi reaksi terhadap nyeri yang tajam, serta menimbulkan refleks penarikan diri atau gerakan cepat lainnya.
(34)
3. Serabut C : berukuran kecil, tidak bermielin, dan memiliki kecepatan konduksi yang lambat (1-1,25 m/detik). Serabut ini merespon terhadap seluruh jenis rangsang bahaya dan mentransmisikan nyeri yang lambat dan tumpul (Greene dan Harris, 2000).
Mechanoreceptor Mechanoreceptor
Nociceptor
Nociceptor Thermoreceptor Mechanoreceptor
Gambar 2.Tempat berakhirnya serabut aferen pada 6 lapisan dari sumsum tulang
belakang (Rang dkk, 2003)
Langkah pertama untuk mencapai sensasi nyeri adalah rangsangan pada ujung-ujung saraf bebas yang dikenal sebagai nosiseptor. Mekanisme rangsang
tersebut melepaskan bradikinin, K+, prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin,
dan substansi P (diantara yang lainnya) yang mensensitisasi/mengaktivasi nosiseptor. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi potensial yang ditransmisikan sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang. Transmisi
nociceptive terjadi pada serabut saraf Aδ dan C aferen. Rangsangan pada serabut
Aδ yang bermielin dan berdiameter luas membawa nyeri yang tajam dan
(35)
berdiameter kecil menghasilkan nyeri yang lemah dan tidak terlokalisasi (Dipiro, Tabert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2005).
Pada inflamasi yang akut, sebagai respon terhadap terjadinya kerusakan jaringan maka terjadi proteksi terhadap jaringan yang luka dan meningkatkan penyembuhannya. Sejumlah mediator inflamasi dilepaskan, seperti bradikinin, prostaglandin, serotonin, histamin, sitokin, eikosanoid, neuropeptida dan proton. Bradikinin di percaya sebagai mediator pertama yang menyebabkan aktivasi
second messenger, menghasilkan peningkatan konduktansi dan sensitisasi channel natrium. Prostaglandin meningkatkan aktivitas bradikinin; oleh sebab itu keduanya berpengaruh besar pada proses inflamasi dan perlu waktu lama sebagai target pada penggunaan terapi farmakologis (Galler, Bradley, Gammaitoni, Arnold, dan Alvarez, 2003).
Noksius atau rangsang bahaya yang melewati ambang batas nyeri menimbulkan aktivasi dalam serabut nosiseptor. Nosiseptor banyak terdapat dalam serabut C. Aktivitas yang berupa impuls diteruskan menuju sistem saraf pusat dan menyebabkan eksitasi neuron sehingga menimbulkan nyeri. Aktivasi
serabut C memicu pelepasan Calcitonin gene-related peptide (CGRP). Pada
jaringan inflamasi akan dilepaskan Neuron Growth Factor (NGF) dan mediator
lain seperti bradikinin, serotonin, prostaglandin, dan lain-lain. Penghambatan pada tahap eksitasi oleh analgetika opioid, enkefalin, GABA, aktivasi jalur penghambatan menurun menyebabkan aktivitas analgesik pusat. Analgetika perifer dan NSAID bekerja menghambat pada pelepasan mediator (Rang dkk., 2003).
(36)
Faktor pertumbuhan neuron atau neuron growth factor (NGF) merupakan mediator mirip sitokinin yang dihasilkan oleh jaringan di perifer terutama pada jaringan yang mengalami peradangan dan beraksi secara spesifik pada serabut saraf aferen serta meningkatkan kemosensitifitas dan kandungan senyawa peptida. Senyawa peptida dilepaskan di pusat dan di perifer sebagai mediator yang berperan penting dalam terjadinya nyeri (Rang dkk, 2003).
Gambar 3.Mekanisme Nyeri (Rang dkk, 2003)
Keterangan : = menginduksi
= menghambat
BK = Bradikinin
+ __
5-HT = 5-Hidroksi triptamin (serotonin)
SP = Substansi P
PG = Prostaglandin
NGF = Neuron Growth Factor (faktor pertumbuhan neuron)
CGRP = Calcitonin gene-related peptide
NA = Nor Adrenalin
(37)
Serabut aferen yang disebut serabut nyeri nosiseptik membentuk sinapsis
dalam dorsal horn dari sumsum tulang belakang bersama banyak neuron non-pain
transmitting atau neuron non-nociceptive. Sinapsis terjadi pada pain transmission neurons (PTN) atau interconnecting neurons (ICN) yang mengeksitasi PTN. Sebagai tambahan, serabut non-nosiseptik berdiameter besar pada perifer atau neuron yang menurun dari sumsum tulang belakang dapat menghambat baik PTN
maupun ICN dalam dorsal horn. Ketika serabut bermielin berdiameter besar
terangsang maka mereka memiliki efek menghambat transmisi nyeri. Secara fungsional, pentingnya peristiwa antara serabut-serabut yang berbeda tersebut merupakan suatu bukti respon analgesik yang dihasilkan oleh pengobatan yang merangsang neuron non-nosiseptik berdiameter besar, sebagai contoh, iritasi
topikal, dan akupuntur. Teori ini disebut sebagai gate control theory dari transmisi
nyeri (Dipiro, Tabert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 1997).
Small-diameter afferents
Pain transmission neurons
Descending inhibitory
systems
Interconnecting neurons
(38)
Penghilangan rasa nyeri dapat berpengaruh dimana saja sepanjang jalur nyeri, yaitu pad jalur yang melibatkan persepsi atau reaksi terhadap nyeri. Persepsi merupakan kesadaran terhadap adanya nyeri. Hal ini tidak tergantung pada kondisi kesadaran tetapi tergantung pada jalur aferen yang sempurna pada reseptor, saraf sensori yang menghantarkan impuls ke otak dan talamus dimana persepsi terjadi. Jika sebuah obat bertindak pada poin manapun sepanjang jalur ini dan menghambat tranfer informasi ke otak maka nyeri tidak teramati. Reaksi terhadap nyeri merupakan pengalaman nyeri dan merupakan fenomena yang lebih kompleks yang membutuhkan kesadaran dan kejadian tingkat tinggi pada otak yaitu korteks. Obat dapat menghilangkan nyeri dengan mengubah respon terhadap nyeri. Penggunaan agen-agen penghilang kegelisahan, disebut obat penenang, dapat menurunkan tingkat reaksi terhadap nyeri (Levine, 1978).
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan rasa nyeri, diantaranya :
1. Menghilangkan penyebabnya : perbaikan atau pencabutan gigi yang sakit,
netralisasi asam lambung pada peptic ulcer.
2. Menggunakan pengukuran fisik : penggunaan panas, dingin, atau tekanan
pada bagian yang sakit.
3. Mengalihkan perhatian dari rangsangan nyeri : penggunaan rangsang
audiovisual seperti musik, suara aliran air terjun pada proses operasi gigi.
4. Hipnotis.
5. Menggunakan obat-obatan termasuk senyawa farmakologi inaktif seperti
(39)
D. Analgetika
Analgetika adalah obat atau senyawa yang bertujuan untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Secara umum
analgetika dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu analgetika opioid (narkotik) dan
analgetika non-opioid (non-narkotik) (Anonim, 2000).
Obat-obat non-opioid seperti parasetamol dan asetosal (dan NSAID
lainnya), khususnya cocok untuk nyeri musculoskeletal, sedangkan analgetika
opioid lebih cocok untuk nyeri visceral yang berat (Anonim, 2000). Efek analgesik dari NSAID merupakan hasil penghambatan dari sintesis prostaglandin (Rang dkk., 2003).
Analgetika narkotik
Efek farmakologi analgetika narkotik relatif selektif, dan pada konsentrasi terapi yang normal, agen-agen ini tidak mempengaruhi indera sensori seperti sensitifitas sentuhan, penglihatan dan pendengaran: tetapi seiring bertambahnya dosis maka meningkat pula efek sampingnya (Dipiro dkk, 2005).
Analgetika non narkotika
Obat ini merupakan analgetika yang paling efektif dengan efek samping paling sedikit. Asetaminofen dan NSAID sering dipilih untuk mengobati nyeri akut yang ringan sampai sedang. Obat-obat ini (kecuali asetaminofen) mencegah pembentukkan prostaglandin yang muncul akibat rangsang nyeri, sehingga mengurangi jumlah impuls nyeri yang diterima oleh SSP (Dipiro dkk, 2005).
(40)
E. Asetosal (Asam Asetilsalisilat)
COOH
OCOCH3
Gambar 5.Struktur molekul Asetosal (Asam Asetilsalisilat)
Asam asetilsalisilat memiliki pemerian hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau berbau lemah. Asam asetilsalisilat stabil di udara kering, di dalam udara lembab secara bertahap terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat. Asam asetilsalisilat sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, larut dalam kloroform dan eter, agak sukar larut dalam eter mutlak (Anonim, 1995b). Kerja obat ini adalah menghambat prostaglandin G/H synthase secara ireversibel dan merupakan salah satu dari obat-obat yang paling sering dipakai untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang yang sebabnya beragam, tetapi tidak efektif untuk nyeri organ
dalam (viceral pain) (Katzung, 2002).
Asam asetilsalisilat tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan 500 mg. Dosis 300-900 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan dengan dosis maksimum 4 gram per hari, sedangkan untuk anak tidak dianjurkan (Anonim, 2000). Pada dosis yang biasa, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan gangguan lambung. Dosis yang lebih tinggi menyebabkan pasien dapat mengalami muntah-muntah, tinitus, pendengaran yang berkurang. Dosis lebih tinggi lagi menyebabkan hyperpnea melalui efek langsung pada batang otak (Katzung, 2002).
(41)
Indikasi lain dari asam asetilsalisilat adalah sebagai :
a. Antipiretika : asam asetilsalisilat menurunkan suhu yang meningkat,
sedangkan suhu badan normal hanya terpengaruh sedikit. Turunnya suhu dikaitkan dengan meningkatnya panas yang hilang karena vasodilatasi dari pembuluh darah permukaan dan disertai keluarnya keringat yang banyak.
b. Efek antitrombosit : asam asetilsalisilat mempengaruhi hemostasis. Dosis
rendah tunggal asam asetilsalisilat (kira-kira 80 mg sehari) menyebabkan sedikit perpanjangan waktu pendarahan, yang menjadi dua kali lipat bila pemberiannya dilanjutkan selama seminggu.
c. Efek antiinflamasi : asam asetilsalisilat menghambat siklooksigenase secara
irreversibel dan bahkan dosis rendah dapat efektif dalam keadaan tertentu, misalnya penghambatan agregasi platelet (Katzung, 2002).
F. Metode Pengujian Efek Analgesik
Pengujian analgetika dapat dilakukan secara in vivo maupun secara in
vitro. Pengujian analgetika secara in vitro secara umum dikaitkan dengan ikatan
senyawa dengan reseptor yang berhubungan dengan rangsang nyeri sedangkan
pengujian secara in vivo berkaitan dengan kemampuan suatu senyawa dalam
menurunkan reaksi hewan uji terhadap rangsang nyeri.
Metode-metode pengujian aktivitas analgetika secara in vivo dilakukan
dengan menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan uji (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara mekanik, termik, elektrik dan secara kimia (Anonim, 1991).
(42)
Turner (1965) membagi metode pengujian daya analgesik menjadi dua, yaitu berdasarkan jenis analgesiknya. Masing-masing metode tersebut antara lain :
1. Golongan analgetika narkotika
Analgetika narkotika adalah analgetika dengan mekanisme kerja sentral. Metode penapisan aktivitas analgesik untuk analgetika narkotika anatara lain sebagai berikut:
a. Metode jepitan ekor
Sekelompok mencit disuntik dengan senyawa uji dengan dosis tertentu secara subkutan (s.c.) atau intravena (i.v.). tiga puluh menit kemudian, jepitan dipasang pada pangkal ekor mencit selama 30 detik. Mencit yang tidak diberi senyawa uji akan berusaha melepaskan diri dari kekangan tersebut, tetapi mencit yang diberi analgetika akan mengabaikan kekangan tersebut. Dalam rentang waktu tertentu jepitan dipasang kembali. Respon positif yang menunjukkan adanya efek analgesik apabila tidak ada usaha untuk melepaskan jepitan selama 15 detik pada tiga kali pengamatan.
b. Metode rangsang panas
Hewan percobaan ditempatkan diatas lempeng panas dengan suhu
50oC sampai 55oC sebagai rangsang nyeri. Alat untuk uji ini dilengkapi
dengan penangas yang berisi campuran sama banyak aseton dan etil format yang mendidih. Mencit yang sudah diberi senyawa uji secara
subkutan atau peroral, diletakkan pada hot plate yang sudah dipersiapkan.
(43)
Selang waktu antara pemberian rangsang nyeri dan terjadinya respon, disebut waktu reaksi. Waktu reaksi dapat diperpanjang oleh obat-obat analgetika. Perpanjangan waktu reaksi selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas analgesik.
c. Metode pengukuran tekanan
Metode ini menggunakan suatu alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada ekor tikus secara seragam. Alat tersebut terdiri dari 2
syringe yang dihubungkan ujung dengan ujungnya yang bersifat elastis, fleksibel, dan pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisa pipa dihubungkan
dengan manometer. Syringe yang pertama diletakkan secara vertikal
dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah
penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari syringe
yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan sistem hidrolik pada
syringe yang pertama kemudian dengan ekor tikus. Tekanan yang sama
pada syringe yang kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus.
Manometer akan membaca ketika tikus memberikan respon. Respon tikus yang pertama adalah meronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) tanda kesakitan.
d. Metode potensi petidin
Metode ini kurang baik, karena dibutuhkan hewan uji dalam jumlah besar, tetapi dapat digunakan untuk uji sedatif. Tiap kelompok tikus terdiri dari 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 kelompok kecil dan diberi petidin dengan dosis berturut-turut yaitu 2, 4, dan 8
(44)
mg/kg. Setengah kelompok dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
petidin dan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen proteksi
dihitung dengan bantuan metode rangsang panas. e. Metode antagonis nalorfin
Uji analgesik dengan metode ini bertujuan untuk menunjukkan aksi obat-obat seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan untuk meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji yang biasa digunakan dalam metode ini adalah tikus, mencit, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diikuti pemberian nalorfin (0,5-10,0 mg/KgBB) secara intravena. Sebuah obat yaitu piritramid dapat menyebabkan respon seperti hilangnya refleks korneal dan refleks bradipnea. Efek tersebut dapat dilawan setelah 1 menit pemberian nalorfin 1,25 mg/KgBB yang disuntikkan secara intravena. Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya. f. Metode kejang oksitosin.
Oksitosin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari posterior, dapat menyebabkan kontraksi uterus sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Respon kejang meliputi kontraksi abdominal sehingga menarik pinggang dan kaki belakang. Respon kejang dapat diatasi dengan pemberian morfin atau turunannya. Tikus betina diberi estrogen dengan menanam atau memasukkan 15 mg pelet dietilstilbestrol secara subkutan pada paha tikus. Setelah 10 minggu hewan uji siap diuji analgesik. Senyawa yang akan diuji diberikan 15 menit secara subkutan sebelum
(45)
diberi oksitosin secara intraperitoneal. Penurunan kejang dapat teramati
dan ED50 dapat diperkirakan. Selain morfin senyawa analgetika yang bisa
diuji dengan metode ini adalah heroin, metadon, kodein, meperidin.
g. Metode pencelupan air panas.
Sepuluh tikus disuntik intraperitoneal dengan senyawa uji,
kemudian ekor tikus dicelupkan dalam air panas (suhu 58oC). respon tikus
dilihat dari hentakan ekornya dari air panas.
2. Golongan analgetika nonnarkotika
Analgetika nonnarkotika yang mekanisme kerjanya secara perifer. Metode penapisan analgesik untuk anagetika nonnarkotika antara lain sebagai berikut :
a. Metode rangsang kimia.
Didalam metode ini, rasa nyeri yang timbul berasal dari rangsang kimia yang disebabkan oleh zat kimia yaitu fenilbenzokuinon dan asam asetat yang disuntikkan pada hewan uji secara peritoneal. Metode ini cukup peka untuk pengujian senyawa-senyawa analgetika yang mempunyai efek analgesik lemah. Selain peka metode ini juga sederhana, dan reprodusibel. Akan tetapi metode ini memiliki kekurangan yaitu hasilnya tidak spesifik karena senyawa-senyawa selain analgesik seperti obat antihistamin juga memberikan reaksi positif. Pemberian analgetika akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi berkurang sampai tidak terjadi geliat sama sekali. Hal ini tergantung pada efek analgesik dari senyawa yang digunakan.
(46)
Untuk uji efek analgesik jenis ini senyawa pembanding yang digunakan biasanya adalah analgetika nonnarkotika seperti asetosal, parasetamol, dan sebagainya. Perhitungan persen proteksi mengikuti persamaan sebagai berikut:
% Proteksi = 100 – [(P/K) x 100%]
Keterangan: P = jumlah geliat kumulatif mencit setelah perlakuan
K = jumlah rata-rata geliat mencit kelompok kontrol negatif. Jumlah mencit yang digunakan untuk satu kelompok adalah 6 ekor. Penentuan efek analgesik dengan metode geliat dapat dilakukan dengan bermacam-macam hewan uji antara lain: anjing, marmot, tikus, merpati, dan mencit. Hewan uji mencit yang lebih sering digunakan ialah mencit betina, karena betina lebih peka terhadap rangsang dari pada mencit jantan. Respon mencit yang biasa diamati adalah lompatan dan kontraksi perut dengan disertai tarikan kaki belakang (rentangan) yang disebut geliat (Dewi, 2002).
b. Metode pedodolometer
Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya efek analgesik. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang bisa mengalirkan listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut kemudian dialiri listrik. Respon ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam.
(47)
c. Metode rektodolometer.
Tikus diletakkan dalam kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut kemudian dihubung dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan dengan konduktor yang berada di atas gulungan. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 sampai 2 volt.
G. Keterangan Empiris
Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui dan membuktikan apakah infusa bunga srigading memiliki efek analgesik bila diuji dengan metode induksi nyeri dengan rangsang kimia pada mencit putih betina.
(48)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian efek analgesik infusa bunga srigading pada mencit putih betina termasuk penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.
B. Metode penelitian
Metode pengujian efek analgesik yang digunakan pada penelitian ini adalah metode rangsang kimia. Pada metode ini rasa nyeri yang timbul berasal dari rangsang kimia yang disebabkan oleh zat kimia yaitu fenilbenzokuinon dan asam asetat yang disuntikkan pada hewan uji secara peritoneal.
Penelitian ini menggunakan asam asetat sebagai rangsang kimia yang diberikan secara intraperitoneal pada mencit yang telah dipuasakan 18-24 jam sebelumnya dan diberi senyawa uji secara per oral pada 10 menit sebelumnya. Respon nyeri pada mencit yang diamati adalah geliat berupa kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel pada lantai. Geliat diamati dan dihitung setiap 5 menit selama 1 jam. Pemberian senyawa analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi berkurang. Efek analgesik dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Handershot dan Forsaith, yaitu:
(49)
% Proteksi = 100 – [(P/K) x 100%]
Keterangan: P = jumlah geliat kumulatif mencit setelah perlakuan
K = jumlah rata-rata geliat mencit kelompok kontrol negatif. Metode ini dipilih karena metode ini sederhana, mudah dilakukan, serta peka untuk pengujian senyawa-senyawa yang memiliki daya analgesik lemah. Akan tetapi metode ini tidak spesifik dimana senyawa-senyawa selain analgesik juga memberikan reaksi positif seperti obat antihistamin. Kriteria yang menentukan senyawa tersebut memiliki efek analgesik atau tidak adalah apabila senyawa tersebut mampu menurunkan jumlah geliat ≥50% dari jumlah geliat pada kontrol negatif (Anonim, 1991).
C. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian
a. Variabel utama
1) Variabel bebas : infusa bunga srigading.
2) Variabel tergantung : efek analgesik pada mencit putih betina dengan tolok ukur jumlah geliat mencit yang terjadi selama 60 menit.
b. Variabel pengacau terkendali : umur mencit 2-3 bulan, berat badan mencit 20-30 gram, galur Swiss, jenis kelamin putih betina, tempat tumbuh/pemanenan bunga srigading, umur bunga srigading, dan waktu pemanenan bunga srigading.
c. Variabel pengacau tak terkendali : keadaan patofisiologi dan ketahanan mencit.
(50)
2. Definisi operasional
a. Bunga srigading adalah bunga yang diambil dari tanaman srigading, memiliki kelopak berwarna putih dengan tube agak panjang dan berwarna orange. Bunga ini mekar pada malam hari dan gugur pada pagi hari.
b. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari 10 gram serbuk bunga srigading dengan 100 ml air pada suhu 90˚C selama 15 menit kemudian diserkai setelah dingin, bila siperoleh volume kurang dari 100 ml maka ditambahkan akuades melalui ampas sampai diperoleh volume 100 ml.
c. Efek analgesik adalah kemampuan suatu zat untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan/tanpa menghilangkan kesadaran.
d. Metode induksi secara rangsang kimia adalah metode yang digunakan untuk mengukur efek analgesik zat uji terhadap subyek uji dengan cara memberi rangsang nyeri dengan pemberian zat kimia tertentu.
D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian
a. Hewan uji, yaitu mencit putih betina, galur Swiss Webster, usia 2-3 bulan, dan memiliki berat badan 20-30 gram yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
b. Bahan senyawa uji, yaitu bunga dari tanaman srigading yang diperoleh
(51)
Dharma, Yogyakarta. Bunga yang dikumpulkan adalah bunga yang telah gugur dan keadaannya masih segar.
c. Asam asetat glasial diproduksi oleh Merck dan diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
d. Akuades diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
e. Asetosal (diperoleh dari Brataco Chemika) diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
f. CMCNa (diperoleh dari Brataco Chemika) diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Alat penelitian a. Oven (Memmert).
b. Mesin penyerbuk (Retsch). c. Ayakan.
d. Panci infusa dan kain mori. e. Penangas air (Thermolyne).
f. Spuit injeksi ukuran 1 ml (Terumo).
g. Spuit injeksi peroral ukuran 1 ml (Terumo).
h. Seperangkat alat gelas (labu ukur, beker glass, pengaduk, pipet tetes, pipet ukur) (Iwaki/Pyrex).
(52)
i. Kotak kaca tempat pengamatan mencit. j. Stopwatch dengan (Alba).
k. Neraca gram/milligram balance (Mettler PM 600). l. Neraca analitik (Mettler Toledo).
m. Kamera digital (Ennyah tech).
E. Tatacara Penelitian 1. Determinasi Tanaman.
Determinasi tanaman srigading dilakukan dengan menggunakan bagian cabang, daun, biji dan bunga menggunakan acuan (Backer and van den Brink, 1965).
2. Pengumpulan Bahan.
Bunga srigading yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tanaman srigading yang diperoleh dari Kebun Obat Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Bunga yang dikumpulkan adalah bunga yang tepat mekar dan gugur di pagi hari dengan keadaan masih segar. Pengumpulan bunga srigading dilakukan pada pagi hari selama bulan Mei-Juni 2006.
3. Pembuatan simplisia bunga srigading.
Bunga srigading yang telah terkumpul kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 40°- 45°C dan diserbuk menggunakan mesin penyerbuk di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia. Serbuk simplisia
(53)
kemudian diayak menggunakan ayakan dengan jumlah lubang tiap inchi adalah 35 lubang.
4. Penyiapan Hewan Uji.
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih betina galur Swiss-Webster, usia 2-3 bulan, dan memiliki berat badan 20-30 gram. Mencit yang digunakan sebanyak 36 mencit yang terbagi dalam 6 kelompok. Kelompok I adalah kontrol negatif akuades, Kelompok II adalah kontrol positif asetosal, dan kelompok III-VI adalah kelompok perlakuan infusa bunga srigading yang diberikan secara peroral dengan peringkat dosis tertentu. Sebelum digunakan, mencit dipuasakan dulu selama 20-24 jam dengan tetap diberi minum.
5. Pembuatan Sediaan
a. Larutan asam asetat 1% v/vsebanyak 50 ml
Larutan asam asetat 1% v/v sebanyak 50 ml dibuat dengan menambahkan 0,476 ml asam asetat glasial dalam akuades sampai 50 ml.
b. Larutan CMCNa 1% sebanyak 100 ml
Larutan CMCNa 1% dibuat dengan melarutkan 1 gram CMCNa dalam akuades sampai 100 ml.
c. Suspensi asetosal 1%, 25 ml dalam CMCNa 1%
Suspensi asetosal 1% dibuat dengan mensuspensikan 250 mg asetosal dalam CMCNa 1% sampai 25 ml.
(54)
d. Infusa bunga srigading 10%
Infusa bunga srigading dibuat dengan memanaskan 10 gram serbuk simplisia yang telah dicampur akuades 100 ml dalam panci infusa diatas penangas air pada suhu 90˚C selama 15 menit kemudian diserkai setelah dingin sampai 100 ml menggunakan kain katun yang terdapat pada Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia. Penyerkaian infusa dilakukan dalam keadaan dingin dikarenakan bunga srigading mengandung minyak atsiri.
6. Penentuan Kriteria Geliat Mencit
Respon hewan uji dalam pengujian efek analgesik sangat bervariasi. Respon mencit pada metode uji efek analgesik dengan rangsang kimia adalah berupa geliat. Kriteria geliat mencit yang diamati dan dihitung adalah gerakan menggeliat dengan menarik kedua kaki ke belakang serta menempelkan perut ke lantai.
7. Penentuan Dosis Infusa Bunga Srigading Dasar penetapan peringkat :
a. Bobot tertinggi Mencit
b. Pemberian cairan secara per oral maksimal yaitu 1 ml.
c. Konsentrasi infusa bunga srigading mengikuti ketentuan konsentrasi infusa menurut Farmakope Indonesia IV
(55)
Penetapan dosis tertinggi infusa bunga srigading: V x C = BB x D
Volume Pemberian x Konsentrasi = Berat Badan x Dosis 1ml x 100 mg/ml = 0,03 kgBB x Dosis
Dosis =
KgBB ml x ml mg
03 , 0
1 / 100
= 3333,33 mg/kgBB
Tiga dosis lainnya diperoleh dengan menurunkan dosis 1/5 kali; 2/5 kali;
dan 3/5 kali sehingga didapatkan dosis 2666,67 mg/kgBB; 2000 mg/kgBB; dan
1333,33 mg/kgBB.
Peringkat dosis infusa bunga srigading yang digunakan adalah 1333,33 mg/KgBB; 2000 mg/KgBB; 2666,67 mg/KgBB; dan 3333,33 mg/KgBB. 8. Penentuan Dosis Asam Asetat 1%
Larutan asam asetat 1% digunakan sebagai senyawa penginduksi rasa nyeri pada mencit. Larutan asam asetat glasial 1% diberikan pada 3 kelompok mencit dengan 3 dosis yang berbeda yaitu 25 mg/KgBB, 50 mg/KgBB, dan 100 mg/KgBB. Dari ketiga dosis tersebut dicari dosis yang dapat menimbulkan respon nyeri berupa geliat yang tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit.
9. Penentuan Selang Waktu Pemberian Asam Asetat
Selang waktu pemberian asam asetat ditentukan untuk mengetahui waktu dimana senyawa uji telah terabsorbsi dengan optimal sehingga dapat segera menimbulkan efek. Penentuan selang waktu pemberian asam asetat ini dilakukan dengan menggunakan asetosal dosis 500 mg yang merupakan dosis
(56)
yang paling banyak digunakan pada obat-obat bebas dengan variasi selang waktu yang dilakukan adalah 5 menit, 10 menit, dan 15 menit. Dosis tersebut kemudian dikonversikan pada mencit putih betina dan diperoleh dosis 91 mg/KgBB. Dari ketiga selang waktu tersebut dicari selang waktu yang dapat menimbulkan respon nyeri berupa geliat yang tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit.
10.Penentuan Dosis Asetosal 1%
Dalam penelitian ini, asetosal digunakan sebagai kontrol positif. Dosis yang lazim digunakan adalah 500 mg. Jika dikonversikan ke manusia dengan berat badan 70 kg : 500
50 70×
mg = 700 mg
Konversi dosis ke mencit dengan berat badan 20 gram dengan faktor konversi manusia dengan berat badan 70 kg ke mencit 20 gram adalah 0,0026 (Tim Lab. Farmakologi USD, 2005)
Dosis = 700 mg x 0,0026 = 1,82 mg / 20 gramBB
= 91 mg/KgBB
Dosis asetosal yang akan diujikan yaitu 68,25 mg/KgBB, 91 mg/KgBB, dan 113,75 mg/KgBB.
11.Penentuan Kontrol Negatif
Kontrol negatif adalah zat yang tidak memiliki efek analgesik sehingga dapat digunakan sebagai pembanding terhadap kontrol positif (asetosal) dan zat yang diuji (infusa bunga srigading). Kontrol negatif yang diuji dalam penelitian ini adalah akuades dan CMC Na 1%.
(57)
12.Perlakuan Hewan Uji
Sebelum perlakuan dilakukan, mencit terlebih dahulu dipuasakan selama 20-24 jam dengan tetap diberi minum. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh makanan terhadap hasil uji. Mencit sebanyak 36 ekor dikelompokkan menjadi 6 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor yang dipilih secara acak. Kelompok I adalah kontrol negatif hasil orientasi, Kelompok II adalah kontrol positif dengan pemberian suspensi asetosal 1% dalam CMC Na 1% dengan dosis hasil orientasi, dan kelompok III-VI adalah kelompok perlakuan dengan pemberian infusa bunga srigading secara peroral dengan dosis 1333,33 mg/KgBB; 2000 mg/KgBB; 2666,67 mg/KgBB; dan 3333,33 mg/KgBB
Mencit diberikan senyawa uji (kontol negatif,kontrol positif, dan infusa bunga srigading) secara peroral. Setelah selang waktu tertentu, mencit diberikan rangsang kimia berupa asam asetat 1% secara intraperitonial dengan dosis hasil orientasi kemudian respon geliat diamati dam dicatat tiap selang waktu 5 menit selama 1 jam.
13.Penentuan Efek Analgesik
Efek analgesik dihitung dengan menggunakan persamaan Handershot dan Forsaith, yaitu:
% Proteksi = 100 – [(P/K) x 100%]
Keterangan: P = jumlah geliat kumulatif mencit setelah perlakuan
(58)
Untuk melihat perbedaan persen proteksi masing-masing perlakuan terhadap asetosal (kontrol positif) dapat dihitung dengan persamaan:
Perubahan persen proteksi = [(A –B) / B] x 100% Keterangan: A = persen efek analgesik setiap kelompok perlakuan.
B = persen efek analgesik rata-rata kontrol positif. 14.Tatacara Analisis Hasil
Data pengamatan geliat selama 1 jam pada masing-masing kelompok dianalisis dengan Kolmogorov–Smirnov untuk melihat distribusi data. Analisis dilanjutkan dengan analisis variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antar kelompok. Selanjutnya dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan tersebut bermakna atau tidak.
(59)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Determinasi Tanaman
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bunga dari tanaman srigading. Oleh karena itu, determinasi tanaman dilakukan untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar-benar merupakan tanaman srigading
dengan nama ilmiah Nyctanthes arbor tritis L.. Bagian tanaman yang digunakan
dalam determinasi adalah bagian cabang, daun, biji, dan bunga. Determinasi
dilakukan dengan mengunakan acuan (Backer and Bakhuizen, 1965). Kunci determinasi tanaman srigading adalah sebagai berikut:
1b-2b-3b-4b-12b-13b-14b-17b-18b-19b-20b-21b-22b-23b-24b-25b-26b-27a-28b- 29b-30b-31a-32a-33a-34a-35a-36d-37b-38b-39b-41b-42b-44b-45b-46e-50b-51b- 53b-54b-56b-57b-58b-59d-72b-73b-74a-75b-76a-77a-78b-103c-104b-106b-107a-108b-109a-110b-115b-119a-120a-121a- (159………...Oleaceae) 1a-2a-3a- (7... ……….….Nyctanthes)
(1...………...Nyctanthes arbor tritis L.)
(60)
B. Uji Pendahuluan 1. Penentuan Dosis Asam Asetat
Penentuan dosis asam asetat dilakukan untuk mencari dosis asam asetat yang dapat menimbulkan geliat yang tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak. Dalam penelitian ini diberikan 3 variasi dosis asam asetat pada 3 kelompok yang masing-masing terdiri dari 3 ekor mencit putih betina, yaitu dosis 25 mg/KgBB, 50 mg/KgBB, dan 100 mg/KgBB. Pemberian asam asetat dilakukan secara intra peritoneal (i.p) kemudian respon geliat mencit diamati setiap 5 menit dan dicatat jumlahnya selama 1 jam. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit selama 1 jam pada penentuan dosis asam asetat dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada penentuan dosis asam asetat
Kelompok perlakuan asam asetat
Subyek Uji Rata–rata jumlah kumulatif geliat
(X ± SE)
Dosis 25 mg/KgBB 3 71,00 ± 4,933
Dosis 50 mg/KgBB 3 108,00 ± 5,292
Dosis 100 mg/KgBB 3 113,67 ± 2,186
Keterangan :
X = Mean (Rata–rata)
SE = standard error (SD/√n)
Rata-rata jumlah kumulatif geliat yang muncul pada penentuan dosis asam asetat dapat pula disajikan dalam bentuk diagram batang pada gambar 6.
(61)
71
1 08 1 1 3.67
0 20 40 60 80 100 120
25 50 100
do sis asam asetat (mg/KgB B )
Gambar 6. Diagram batang rata-rata jumlah kumulatif geliat pada penentuan dosis asam asetat
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa semakin bertambah dosis asam asetat maka geliat yang terjadi juga semakin bertambah banyak. Untuk melihat adanya perbedaan pada ketiga kelompok tersebut dilakukan analisis variansi satu arah. Hasil analisis variansi satu arah rata-rata jumlah kumulatif geliat penentuan dosis asam asetat dapat dilihat pada Tabel II.
Tabel II. Hasil analisis variansi satu arah rata-rata jumlah kumulatif geliat penentuan dosis asam asetat
Sumber Variansi
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Rata–rata kuadrat
F hitung Probabilitas Antar
kelompok
3221,556 2 1610,778 41,899 0,000
Dalam kelompok
230,667 6 38,444
Berdasarkan hasil analisis variansi satu arah diperoleh probabilitasnya adalah 0,000 (<0,05), hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga kelompok dosis
tersebut terdapat perbedaan. Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk
(62)
jumlah kumulatif geliat penentuan dosis asam asetat dapat dilihat pada Tabel III.
Tabel III. Hasil uji Scheffe rata-rata jumlah kumulatif geliat penentuan dosis
asam asetat Kelompok Dosis
asam asetat
25 mg/KgBB 50 mg/KgBB 100 mg/KgBB
25 mg/KgBB - B B
50 mg/KgBB B - TB
100 mg/KgBB B TB -
Keterangan :
B = Berbeda bermakna (p≤0,05)
TB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)
Hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa pemberian asam asetat dosis 25
mg/KgBB berbeda bermakna dengan dosis 50 mg/KgBB maupun dosis 100 mg/KgBB. Dosis 50 mg/KgBB berbeda bermakna dengan dosis 25 mg/KgBB dan berbeda tidak bermakna dengan dosis 100 mg/KgBB, sedangkan untuk dosis 100 mg/KgBB berbeda bermakna dengan dosis 25 mg/KgBB dan berbeda tidak bermakna dengan dosis 50 mg/KgBB. Pada dosis 50 mg/KgBB dan dosis 100 mg/KgBB terdapat perbedaan jumlah geliat yang tidak bermakna sehingga dapat dikatakan bahwa dosis 50 mg/KgBB dan dosis 100 mg/KgBB memberikan hasil yang sama. Penelitian ini menggunakan asam asetat dosis 50 mg/KgBB karena telah dapat memberikan geliat yang tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit.
(63)
2. Penentuan Selang Waktu Pemberian Asam Asetat
Penentuan selang waktu pemberian asam asetat dilakukan untuk mengetahui waktu yang tepat agar asetosal (kontrol positif) dan infusa bunga srigading (senyawa uji) dapat memberikan efek yang optimal. Aksi kerja senyawa tersebut ditunjukkan dengan adanya penurunan pada jumlah geliat yang diamati.
Pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat ini digunakan asetosal dosis 500 mg yaitu dosis yang lazim digunakan. Dosis ini kemudian dikonversikan pada mencit menjadi sebesar 91 mg/KgBB. Asam asetat yang digunakan adalah dosis hasil orientasi yaitu 50 mg/KgBB. Variasi selang waktu yang diuji adalah 5 menit, 10 menit, dan 15 menit. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit selama 1 jam pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat dapat dilihat pada Tabel IV.
Tabel IV. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat dengan dosis 50 mg/KgBB.
Kelompok perlakuan selang waktu pemberian
Subyek Uji Rata–rata jumlah kumulatif
geliat (X ± SE)
5 menit 3 119,67 ± 8,452
10 menit 3 62,00 ± 2,082
15 menit 3 42,67 ± 3,844
Keterangan :
X = Mean (Rata–rata)
SE = standard error (SD/√n)
Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit selama 1 jam pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat dapat pula disajikan dalam grafik pada gambar 7.
(64)
0 20 40 60 80 100 120 140
5 10 15
s elang wakt u p emb erian rang s ang nyeri (menit )
Gambar 7. Grafik rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit selama 1 jam pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa semakin lama selang waktu pemberian asam asetat dari saat pemberian asetosal maka jumlah geliat yang terjadi juga semakin berkurang. Untuk melihat adanya perbedaan pada ketiga kelompok tersebut dilakukan analisis variansi satu arah. Hasil analisis variansi satu arah rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit selama 1 jam pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat dapat dilihat pada Tabel V. Tabel V. Hasil analisis variansi satu arah rata-rata jumlah kumulatif geliat
pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat. Sumber
Variansi
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Rata–rata kuadrat
F hitung Probabilitas Antar
kelompok
9628,222 2 4814,111 53,162 0,000
Dalam kelompok
543,333 6 90,556
Berdasarkan hasil analisis variansi satu arah diperoleh probabilitasnya adalah 0,000 (<0,05), hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga kelompok dosis
tersebut terdapat perbedaan. Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk
(65)
jumlah kumulatif geliat penentuan selang waktu pemberian dosis asam asetat dapat dilihat pada Tabel VI.
Tabel VI. Hasil uji Scheffe rata-rata jumlah kumulatif geliat penentuan selang
waktu pemberian asam asetat. Kelompok perlakuan selang
waktu pemberian 5 menit 10 menit 15 menit
5 menit - B B
10 menit B - TB
15 menit B TB -
Keterangan :
B = Berbeda bermakna (p≤0,05)
TB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)
Hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa kelompok selang waktu
pemberian 5 menit berbeda bermakna dengan selang waktu pemberian 10 menit dan 15 menit. Kelompok selang waktu pemberian 10 menit berbeda bermakna dengan selang waktu pemberian 5 menit dan berbeda tidak bermakna dengan selang waktu pemberian 15 menit. Kelompok selang waktu pemberian 15 menit berbeda bermakna dengan selang waktu pemberian 5 menit dan berbeda tidak bermakna dengan selang waktu pemberian 10 menit.
Jumlah geliat pada selang waktu 5 menit masih terlalu banyak, hal ini mungkin disebabkan asetosal belum bekerja secara optimal. Sedangkan pada selang waktu 10 menit dan 15 menit, terdapat perbedaan jumlah geliat yang tidak bermakna sehingga dapat dikatakan bahwa selang waktu 10 menit dan selang waktu 15 menit memberikan hasil yang sama. Oleh karena itu dipilih selang waktu pemberian asam asetat 10 menit untuk efisiensi waktu pengamatan.
(66)
Pemilihan selang waktu 10 menit berarti asam asetat diberikan pada 10 menit setelah pemberian asetosal. Selang waktu pemberian asam asetat untuk kelompok kontrol negatif dan kelompok infusa bunga srigading mengikuti selang waktu pemberian dengan senyawa asetosal yaitu 10 menit.
3. Penentuan Dosis Asetosal
Pada penelitian ini, asetosal berfungsi sebagai kontrol positif yang digunakan sebagai pembanding terhadap infusa bunga srigading maupun akuades. Kontrol positif artinya senyawa tersebut telah terbukti dapat mengurangi secara signifikan jumlah geliat dibandingkan kontrol negatif tetapi masih memberikan sedikit geliat untuk dibandingkan dengan senyawa uji (infusa bunga srigading). Penentuan dosis asetosal dilakukan untuk mendapatkan dosis yang optimal, yaitu memberikan penurunan geliat yang tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit.
Dosis asetosal yang diujikan pada penelitian ini adalah 68,25 mg/KgBB, 91 mg/KgBB, dan 113,75 mg/KgBB yang diberikan secara peroral. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit selama 1 jam dan persen proteksi pada penentuan dosis asetosal dapat dilihat pada Tabel VII.
(67)
Tabel VII. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit dan persen proteksi pada penentuan dosis asetosal
Keterangan : Kelompok perlakuan asetosal Subyek Uji Rata–rata jumlah kumulatif geliat (X ±
SE)
Rata-rata % proteksi (X ± SE) Dosis 68,25
mg/KgBB 3 76,67 ± 5,364 32,940 ± 4,692
Dosis 91
mg/KgBB 3 52,00 ± 1,000 54,483 ± 0,857
Dosis 113,75
mg/KgBB 3 50,00 ± 4,933 56,250 ± 4,317
X = Mean (Rata–rata)
SE = standard error (SD/√n)
Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit dan persen proteksi pada penentuan dosis asetosal dapat pula disajikan dalam bentuk diagram batang
seperti padagambar 8.
76.67 52 50 0 10 20 30 40 50 60 70 80
68.25 91 113.8
do sis aseto sal (mg/KgB B )
33 54 56 0 10 20 30 40 50 60
68.25 91 113.8
do sis aseto sal (mg/KgB B )
(a) (b) Gambar 8. (a) Diagram batang rata-rata jumlah kumulatif geliat,
(b) Diagram batang rata-rata persen proteksi pada penentuan dosis asetosal.
Data diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis asetosal maka geliat yang muncul semakin sedikit dan semakin besar persen proteksi yang dihasilkan. Selanjutnya dilakukan analisis variansi satu arah terhadap data persen proteksi untuk melihat perbedaan pada ketiga kelompok tersebut. Hasil
(68)
analisis variansi satu arah persen proteksi penentuan dosis asetosal dapat dilihat pada Tabell VIII.
Tabel VIII. Hasil analisis variansi satu arah persen proteksi pada penentuan dosis asetosal
Sumber Variansi
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Rata–rata kuadrat
Fhit Probabilitas Antar
kelompok
1323,556 2 661,778 12,230 0,008 Dalam
kelompok
324,667 6 54,111
Hasil analisis variansi satu arah menunjukkan probabilitasnya adalah 0,008 (<0,05), hal ini berarti pada ketiga kelompok dosis tersebut terdapat
perbedaan. Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan
tersebut bermakna atau tidak. Hasil uji Scheffe persen proteksi pada penentuan
dosis asetosal dapat dilihat pada Tabel IX.
Tabel IX. Hasil uji Scheffe persen proteksi pada penentuan dosis asetosal
Kelompok perlakuan asetosal
68,25 mg/KgBB 91 mg/KgBB 113,75
mg/KgBB
68,25 mg/KgBB - B B
91 mg/KgBB B - TB
113,75 mg/KgBB B TB -
Keterangan :
B = Berbeda bermakna (p≤0,05)
TB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)
Hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa pemberian asetosal dosis 68,25
mg/KgBB berbeda bermakna dengan dosis 91 mg/KgBB maupun dosis 113,75 mg/KgBB. Dosis 91 mg/KgBB berbeda bermakna dengan dosis 68,25 mg/KgBB dan berbeda tidak bermakna dengan dosis 113,75 mg/KgBB,
(69)
sedangkan untuk dosis 113,75 mg/KgBB berbeda bermakna dengan dosis 68,25 mg/KgBB dan berbeda tidak bermakna dengan dosis 91 mg/KgBB.
Pada dosis 91 mg/KgBB dan dosis 113,75 mg/KgBB terdapat perbedaan jumlah geliat dan persen proteksi yang tidak bermakna sehingga dapat dikatakan bahwa dosis 91 mg/KgBB dan dosis 113,75 mg/KgBB memberikan hasil yang sama. Penelitian ini menggunakan asetosal dosis 91 mg/KgBB yang sudah dapat menurunkan jumlah geliat yang tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit dengan persen proteksi sebesar 54,483 %. Persen proteksi pada dosis ini juga memenuhi syarat aktivitas analgesik menurut Anonim (1991) yaitu adanya aktivitas analgesik dinyatakan oleh
jumlah terjadinya geliat pada hewan uji lebih sedikitnya ≥ 50% dari kelompok
kontrol negatif.
4. Penentuan Kontrol Negatif
Pada penelitian ini terdapat dua kontrol negatif yaitu akuades dan CMCNa dimana dari keduanya akan dipilih salah satu untuk digunakan dalam perhitungan persen proteksi dari asetosal sebagai kontrol positif dan infusa bunga srigading sebagai senyawa uji yang diteliti.
Analisis dilakukan menggunakan T-test dengan taraf kepercayaan 95% untuk melihat signifikansi diantara keduanya. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada penentuan kontrol negatif dapat dilihat pada Tabel X.
(1)
Homogeneous Subsets
% proteksi
Scheffe
a6
-.1317
6
45.0333
6
49.4133
49.4133
6
50.7100
50.7100
6
60.6417
60.6417
6
65.1583
1.000
.054
.051
perlakuan
aquadest
dosis infusa bunga
srigading 1333.
33mg/kgBB
dosis infusa bunga
srigading 2000mg/kgBB
asetosal 91mg/kgBB
dosis infusa bunga
srigading 3333.
33mg/kgBB
dosis infusa bunga
srigading 2666.
67mg/kgBB
Sig.
N
1
2
3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
a.
(2)
Lampiran 10. Data perubahan persen proteksi dan hasil analisis statistik pada
pengujian efek analgesik seluruh kelompok
Tabel XXV. Data rata-rata persen perubahan efek analgesik kelompok perlakuan
terhadap kontrol positif (asetosal 91 mg/KgBB) pada pengujian
efek analgesik seluruh kelompok.
Subyek Uji
Akuades
Asetosal
91
mg/KgBB
Infusa
1333,33
mg/KgBB
Infusa
2000
mg/KgBB
Infusa
2666,67
mg/KgBB
Infusa
3333,33
mg/KgBB
S1 -109,56
0,00 9,13
1,12
26,48
17,87
S2 -106,33
0,00
-18,36
24,75
24,75
24,75
S3 -97,71
0,00
-2,84
-20,10
5,78
26,48
S4 -58,04
0,00
-20,10
-2,84
38,55
12,68
S5 -116,68
0,00
-1,12
-28,71
36,84
17,87
S6 -113,23
0,00
-33,88
12,68
38,55
17,87
Rata-rata %
Perubahan
efek
analgesik
(X ± SE)
-100,258
± 8,851
0,000 ±
0,000
-11,195
± 6,402
-2,557 ±
8,107
28,492±
5,183
19,587 ±
2,087
NPar Tests
Descriptive Statistics
36 -10.9886 44.85382 -116.68 38.55 perubhan % proteksi
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
36
-10.9886
44.85382
.267
.135
-.267
N
Mean
Std. Deviation
Normal Parameters
a,bAbsolute
Positive
Negative
Most Extreme
Differences
perubhan
% proteksi
(3)
Oneway
Descriptives
perubhan % proteksi
6 -100.2583 21.68042 8.85099 -123.0105 -77.5061 -116.68 -58.04 6 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00 6 -11.1950 15.68224 6.40225 -27.6525 5.2625 -33.88 9.13
6 -2.5567 19.85810 8.10703 -23.3965 18.2831 -28.71 24.75
6 28.4917 12.69568 5.18299 15.1684 41.8150 5.78 38.55
6 19.5867 5.11314 2.08743 14.2208 24.9526 12.68 26.48 36 -10.9886 44.85382 7.47564 -26.1650 4.1877 -116.68 38.55
aquadest
asetosal 91mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 1333,33mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 2000mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 2666,67mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 3333,33mg/kgBB Total
N Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound 95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum
Test of Homogeneity of Variances
perubhan % proteksi
3.040 5 30 .025
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
ANOVA
perubhan % proteksi
63927.079
5
12785.416
59.117
.000
6488.208
30
216.274
70415.287
35
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
(4)
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable: perubhan % proteksi
Scheffe
-100.25833* 8.49065 .000 -130.4781 -70.0386 -89.06333* 8.49065 .000 -119.2831 -58.8436 -97.70167* 8.49065 .000 -127.9214 -67.4819 -128.75000* 8.49065 .000 -158.9698 -98.5302 -119.84500* 8.49065 .000 -150.0648 -89.6252 100.25833* 8.49065 .000 70.0386 130.4781 11.19500 8.49065 .880 -19.0248 41.4148 2.55667 8.49065 1.000 -27.6631 32.7764 -28.49167 8.49065 .075 -58.7114 1.7281 -19.58667 8.49065 .400 -49.8064 10.6331 89.06333* 8.49065 .000 58.8436 119.2831 -11.19500 8.49065 .880 -41.4148 19.0248 -8.63833 8.49065 .957 -38.8581 21.5814 -39.68667* 8.49065 .004 -69.9064 -9.4669 -30.78167* 8.49065 .044 -61.0014 -.5619 97.70167* 8.49065 .000 67.4819 127.9214 -2.55667 8.49065 1.000 -32.7764 27.6631 8.63833 8.49065 .957 -21.5814 38.8581 -31.04833* 8.49065 .041 -61.2681 -.8286 -22.14333 8.49065 .267 -52.3631 8.0764 128.75000* 8.49065 .000 98.5302 158.9698 28.49167 8.49065 .075 -1.7281 58.7114 39.68667* 8.49065 .004 9.4669 69.9064 31.04833* 8.49065 .041 .8286 61.2681
8.90500 8.49065 .951 -21.3148 39.1248 (J) perlakuan
asetosal 91mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 1333,33mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 2000mg/kgBB
infusa bunga srigading dosis 2666,67mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 3333,33mg/kgBB aquadest
infusa bunga srigading dosis 1333,33mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 2000mg/kgBB
infusa bunga srigading dosis 2666,67mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 3333,33mg/kgBB aquadest
asetosal 91mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 2000mg/kgBB
infusa bunga srigading dosis 2666,67mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 3333,33mg/kgBB aquadest
asetosal 91mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 1333,33mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 2666,67mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 3333,33mg/kgBB aquadest
asetosal 91mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 1333,33mg/kgBB infusa bunga srigading dosis 2000mg/kgBB
infusa bunga srigading dosis 3333,33mg/kgBB (I) perlakuan
aquadest
asetosal 91mg/kgBB
infusa bunga srigading dosis
1333,33mg/kgBB
infusa bunga srigading dosis 2000mg/kgBB
infusa bunga srigading dosis
2666,67mg/kgBB
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
Lower Bound
Upper Bound 95% Confidence Interval
(5)
Homogeneous Subsets
perubhan % proteksi
Scheffe
a6
-100.2583
6
-11.1950
6
-2.5567
-2.5567
6
.0000
.0000
.0000
6
19.5867
19.5867
6
28.4917
1.000
.880
.267
.075
perlakuan
aquadest
infusa bunga srigading
dosis 1333,33mg/kgBB
infusa bunga srigading
dosis 2000mg/kgBB
asetosal 91mg/kgBB
infusa bunga srigading
dosis 3333,33mg/kgBB
infusa bunga srigading
dosis 2666,67mg/kgBB
Sig.
N
1
2
3
4
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
a.
(6)