UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN M

UNIVERSITAS INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MANDATORY SENTENCING LAW DALAM SENTENCING ACT 1995 DI NORTHERN TERRITORY

AUSTRALIA TERHADAP MASYARAKAT ABORIGIN PADA TAHUN 1997 – 2001 TUGAS KARYA AKHIR STEPHANIE APSARI SUHARTO FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK ILMU POLITIK DEPOK JULI 2015

UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MANDATORY SENTENCING LAW DALAM SENTENCING ACT 1995 DI NORTHERN TERRITORY AUSTRALIA TERHADAP MASYARAKAT ABORIGIN PADA TAHUN 1997 – 2001 TUGAS KARYA AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Ilmu Politik (S.IP) STEPHANIE APSARI SUHARTO

(1106058300)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK ILMU POLITIK PERBANDINGAN POLITIK DEPOK JULI 2015

KATA PENGANTAR

Ketertarikan penulis terhadap tema Aborigin bermula sejak penulis bertemu dengan salah satu orang Aborigin pada saat penulis berada di Melbourne, Australia untuk mengunjungi kakak pada tahun 2009. Pada saat berada di Melbourne, penulis menggunakan transportasi publik tram dan bertemu salah satu orang Aborigin di dalam tram yang direspon negatif oleh orang kulit putih dengan memberikan tatapan sinis. Hal ini yang kemudian membuat penulis mencari tahu mengenai keberadaan orang Aborigin di Australia.

Sejak awal masuk menjadi mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia, penulis sudah megetahui bahwa penulis akan menulis mengenai masyarakat Aborigin pada Tugas Karya Akhir (TKA). Penulis mengikuti perkuliahan Politik di Australia dan menemukan isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat Aborigin yang sangat menarik bagi penulis. Pencarian mengenai HAM masyarakat Aborigin di Australia ini kemudian menuntun penulis sampai akhirnya penulis menemukan isu mengenai kebijakan Mandatory Sentencing Law yang masih diperdebatkan sampai pada saat ini karena memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat Aborigin.

TKA ini tidak akan terselesaikan tanpa berkat dan bimbingan dari Tuhan Yesus Kristus. Terima kasih kepada Tuhan yang telah membuat penulis berhasil melakukan berbagai hal yang tidak pernah penulis bayangkan sebelumnya. Tanpa berkat dan perlindungan Tuhan Yesus Kristus, penulis tidak akan bisa menjadi seperti sekarang ini. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis sampai penulis dapat menyelesaikan TKA ini. Terima kasih kepada kakak-kakak penulis, Mas Radityo Ardi Nugraha dan Mba Laksmi Anindya, serta kakak ipar saya Mas Dimaz Muktiarto, yang selalu mendukung penulis untuk terus melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya positif.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Mba Dra. Reni Chandriachsja Suwarso, MPP., selaku dosen pembimbing. Mba Reni telah sangat membantu penulis dengan memberikan ibimbingan, ide, dan dukungan yang membuat penulis menjadi lebih

iv

ABSTRAK

Nama : Stephanie Apsari Suharto Study Program: Ilmu Politik Judul

: Dampak Kebijakan Mandatory Sentencing Law dalam Sentencing Act 1995 di Northern Territory Australia Terhadap Masyarakat Aborigin Pada Tahun 1997 – 2001

Tugas Karya Akhir ini membahas mengenai kebijakan Mandatory Sentencing Law yang diberlakukan di Northern Territory, Australia dengan memberikan hukuman wajib atau hukuman minimal bagi pelaku tindak kejahatan properti dengan melihat dampaknya terhadap masyarakat Aborigin. Melalui model penelitian kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari sebuah kebijakan terhadap kelompok minoritas di Australia. Teori kebijakan publik oleh James E. Anderson digunakan untuk menjelaskan dampak kebijakan publik terhadap kelompok minoritas.

Kata kunci: Australia, Northern Territory, Mandatory Sentencing, kejahatan properti, Aborigin

ABSTRACT

Name : Stephanie Apsari Suharto Major

: Political Science Title

: Impact of Mandatory Sentencing Law in Sentencing Act 1995 on Indigenous People in Northern Territory Australia in 1997 – 2001

This thesis scrutinizes Mandatory Sentencing Law as public policy that enforced in Northern Territory, Australia by giving fixed or minimum penalty to the property offenders and see how its impact on indigenous people of Australia. Through a qualitative research, this study aims to discover impact of public policy on minority group in Australia. The public policy theory by James E. Anderson is the theory which used in this thesis to explain the impact of public policy to minority group.

Key words: Australia, Northern Territory, Mandatory Sentencing, property crimes, Aborigin

GLOSARIUM

Agenda Setting : Perencanaan mengenai suatu hal dengan menargetkan tujuan tertentu.

Crimes Act : Tindakan pemerintah dalam mengatasi tingginya tingkat kriminalitas di negaranya.

Criminal Code : Hukum pidana yang mengatur mengenai tindak kriminal di negaranya dan hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak kriminal ini.

Criminal Law : Tindakan preventif yang diambil pemerintah dalam usaha menanggulangi terjadinya tindak pelanggaran atau kejahatan di negaranya.

Gross Violence : Tindak kejahatan serius yang dilakukan secara disengaja ataupun tidak disengaja, yang mengakibatkan kerugian fisik terhadap orang lain.

Juvenile Justice Act : Tindakan pemerintah dalam mengatasi ketidakadilan yang terjadi terhadap remaja di negaranya.

Mandatory Sentencing Law : Kebijakan yang memberikan hukuman wajib atau hukuman minimum kepada pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan tertentu, yang peraturannya ditentukan oleh negara yang bersangkutan.

Non-parole Periode : Periode diterapkannya kebijakan mengenai hukuman wajib atau hukuman minimal, dimana hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan ini sifatnya kaku dan tidak dapat diganggu gugat dengan alasan apapun. Hakim yang memiliki peran besar di Non-parole Periode : Periode diterapkannya kebijakan mengenai hukuman wajib atau hukuman minimal, dimana hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan ini sifatnya kaku dan tidak dapat diganggu gugat dengan alasan apapun. Hakim yang memiliki peran besar di

One Punch Law : Hukuman wajib atau hukuman minimal yang diberikan kepada pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan tertentu dengan satu pemberian hukuman yang pasti dan tidak dapat diganggu gugat.

Sentencing Act : Tindakan pemerintah dalam mengatasi tingkat kriminalitas dengan memberikan hukuman- hukuman kepada pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan di negaranya.

Territory : Wilayah yang berada dibawah yurisdiksi otoritas pemerintah negara. Wilayah suatu negara menjadi tanggung jawab penuh negara tersebut dengan mengikuti peraturan yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Three Strikes Law : Hukuman wajib atau hukuman minimal yang diberikan kepada pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan tertentu secara bertahap. Semakin sering frekuensi seseorang dalam melakukan tindak pelanggaran atau kejahatan, maka orang tersebut akan mendapatkan hukuman yang semakin berat.

White-collar Crime : Jenis kejahatan yang dilakukan tanpa adanya kekerasan dan bermotif finansial. Tindak kejahatan ini biasanya dilakukan oleh orang yang berada di bidang bisnis dan pemerintahan.

Young Offenders Act : Tindakan pemerintah dalam mengatasi banyaknya pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan yang berusia muda. Hal ini dikarenakan pelaku akan ditahan dan membuat banyaknya tahanan berusia muda di dalam penjara.

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Australia merupakan negara yang biasa menerapkan hukuman maksimal

dalam hukum pidana di negaranya. Hukuman maksimal yang dimaksud adalah hukuman yang diberikan oleh pihak pengadilan mengenai perkiraan hukuman terberat yang didapatkan oleh pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan. Dalam hal ini, pelaku yang bersangkutan memiliki kemungkinan untuk mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari hukuman yang ditentukan, sesuai dengan peraturan yang

berlaku di negaranya. 1 Peraturan mengenai hukuman maksimal ini tercantum dalam Australian Criminal Code. 2

Sejak abad ke-20, pemerintah Australia mulai menerapkan kebijakan yang memberikan hukuman wajib atau hukuman minimal bagi pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan di beberapa negara bagian dan wilayah negaranya. Hukuman wajib atau hukuman minimal ini berbanding terbalik dengan hukuman maksimal yang biasa diterapkan oleh pengadilan di Australia. Apabila pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan mendapatkan hukuman ini, maka pihak pengadilan langsung memberikan waktu hukuman yang pasti didapatkan oleh pelaku atau justru lebih. Hal ini diberlakukan apabila pelaku melanggar ketentuan tertentu yang ditetapkan. Dengan ini, kemungkinan untuk mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari yang telah ditetapkan menjadi mustahil.

Kebijakan yang mengatur mengenai hukuman wajib atau hukuman minimal adalah kebijakan Mandatory Sentencing Law yang diatur dalam Sentencing Act. 3

Dalam kebijakan ini, hukuman wajib atau hukuman minimal diatur dengan memberikan hukuman yang lebih terfokus pada frekuensi pelaku dalam melakukan

1 B. O’Farrell. Lockouts & Mandatory Minimums to be Introduced to Tackle Drug and Alcohol

Violence. NSW: Minister for Western Sydney. 2014, hlm. 1. 2 Criminal Code 1900. Australia.

3 Adrian Hoel. Sentencing Matters: Mandatory Sentencing. Victoria: Sentencing Advisory Council. 2008, hlm. 1.

pelanggaran atau kejahatan. Hal ini berbeda dengan hukuman maksimal yang justru memberikan hukuman dengan menimbang berat pelanggaran atau kejahatan

yang dilakukan oleh pelaku. 4 Terdapat dua jenis hukuman ketika pengadilan Australia memberikan

hukuman wajib atau hukuman minimal terhadap pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan di negaranya. Jenis hukuman yang pertama adalah one strike law. One strike law diberikan kepada pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan tertentu dengan jangka waktu hukuman wajib yang telah ditentukan. Hukuman ini tidak dapat dikurangi maupun ditambahkan. Jenis hukuman One strike law ini

diberlakukan di New South Wales, Queensland, South Australia, dan Victoria. 5 Sedangkan, jenis hukuman yang kedua adalah three strikes law dengan

memberikan hukuman wajib atau hukuman minimal dengan bertahap. Hukuman wajib atau hukuman minimal yang didapatkan pelaku dalam hal ini terbagi dalam tiga tahap. Apabila pelaku melakukan tindak pelanggaran atau kejahatan tertentu untuk pertama kalinya, maka hukuman yang didapatkan akan lebih ringan daripada hukuman yang didapatkan ketika pelaku tersebut melakukan pelanggaran atau kejahatan untuk kedua atau ketiga kalinya. Semakin banyak frekuensi pelaku melakukan pelanggaran atau kejahatan, maka hukuman wajib atau hukuman minimal yang didapatkan menjadi semakin berat. Jenis hukuman three strikes law ini diberlakukan di Western Australia dan Northern Territory.

Penerapan hukuman wajib atau hukuman minimal dalam kebijakan Mandatory Sentencing Law pada masing-masing negara bagian dan wilayah di Australia diberlakukan untuk jenis pelanggaran atau kejahatan yang berbeda-

beda. 6 Hal ini dikarenakan perbedaan jenis pelanggaran atau kejahatan yang kerap terjadi di masing-masing negara bagian dan wilayah yang bersangkutan. Jenis

tindak kejahatan yang kerap terjadi di Western Australia adalah pembobolan dan perampokan rumah, sedangkan di New South Wales adalah pembunuhan terhadap aparat kepolisian, pemukulan yang dilakukan dengan sengaja, dan tindak

4 Ibid., hlm. 1.

5 Australian Government. State and Territory Government. Diakses dari: http://www.australia.gov.au/about-australia/our-government/state-and-territory-government pada

tanggal 2 Mei 2015 pukul 10.05 WIB. 6 Ibid.

pelanggaran atau kejahatan lainnya yang berkaitan dengan alkohol dan narkoba. 7 Negara bagian Queensland juga memberlakukan kebijakan ini.

Queensland menerapkan hukuman wajib atau hukuman minimal bagi pelaku tindak pelecehan seksual terhadap anak, pembunuhan, kepemilikan senjata api atau obat-obatan. Selain itu, hukuman ini juga diberikan kepada pihak yang terkait atau merupakan anggota dari geng motor. Negara bagian South Australia juga menerapkan hukuman ini bagi pelaku tindak kejahatan serius, seperti kekerasan, tindak kejahatan terorganisir, serta tindak kejahatan yang dilakukan terhadap aparat kepolisian. Selain itu, negara bagian Victoria juga menerapkan hukuman wajib atau hukuman minimal bagi pelaku tindak kejahatan yang secara disengaja ataupun tidak, telah menyebabkan cedera serius dikarenakan kekerasan yang dilakukan terhadap seseorang.

Terakhir, wilayah di Australia yang memberlakukan hukuman dalam kebijakan Mandatory Sentencing Law ini adalah Northern Territory. Northern

Territory menerapkan hukuman ini bagi pelaku tindak kejahatan properti. 8 Konteks properti yang dimaksud dalam hal ini berbeda dengan konteks properti

yang dipersepsikan di Indonesia, yaitu benda-benda tidak bergerak, seperti tanah, lahan, rumah, dan lain-lain. Properti yang dimaksudkan dalam hal ini adalah segala jenis benda yang dimiliki seseorang dalam bentuk apapun. Maka dari itu, mengambil benda kepemilikan orang lain dapat dikatakan sebagai tindak

kejahatan properti. 9 Tindak kejahatan properti yang mendapatkan hukuman wajib atau

hukuman minimal di Northern Territory adalah tindak kejahatan seperti pencurian, kerusakan, penggunaan yang tidak sah atas kendaraan, penerimaan

barang curian, serangan yang dimaksudkan untuk pencurian, dan perampokan. 10 Selain tindak kejahatan properti, terdapat tindak kejahatan lainnya yang juga

mendapatkan hukuman wajib atau hukuman minimal di Northern Territory, yaitu

7 Law Council of Australia. News from the Law Council of Australia: The Mandatory Sentencing Debate.

Diakses dari: http://www.lawcouncil.asn.au/lawcouncil/index.php/law-council- media/news/352-mandatory-sentencing-debate pada tanggal 2 Mei 2015 pukul 12.20 WIB.

8 Ibid. 9 NT Office of Crime Prevention. Northern Territory Quarterly Crime & Justice Statistics: 2002.

Australia: Northern Territory Office of Crime Prevention. 2002, hlm. 76. 10 NT Office of Crime Prevention. Fact Sheet: Recorded Crime – Offences Against The Person Australia: Northern Territory Office of Crime Prevention. 2002, hlm. 76. 10 NT Office of Crime Prevention. Fact Sheet: Recorded Crime – Offences Against The Person

wajib atau hukuman minimal di Northern Territory, yaitu white-collar crime. White-collar crime merupakan jenis tindak kejahatan yang dilakukan tanpa adanya kekerasan dan bermotif finansial, yang biasanya dilakukan oleh orang yang berada dalam bidang bisnis dan pemerintahan. Tindak kejahatan ini kerap dilakukan masyarakat kulit putih di Northern Territory, tetapi tidak dimasukkan untuk mendapat hukuman dalam kebijakan Mandatory Sentencing Law.

Hukuman wajib atau hukuman minimal di Northern Territory diberikan kepada setiap orang dewasa yang ditemukan bersalah dengan jenis kejahatan properti. Pelaku tindak kejahatan ini kemudian diberikan hukuman wajib atau hukuman minimal selama 14 hari pada tindak kejahatan yang dilakukan untuk pertama kalinya. Setelah itu, untuk pelaku yang melakukan pengulangan tindak kejahatan, atau tindak kejahatan yang kedua kalinya, hukuman wajib atau hukuman minimal ini bertambah menjadi 90 hari. Kemudian, pada tindak kejahatan ketiga atau lebih, pelaku mendapatkan hukuman wajib atau hukuman

minimal selama satu tahun penjara. 12 Berbeda dengan yang diberlakukan terhadap orang dewasa, hukuman

wajib atau hukuman minimal yang diberlakukan pada remaja cenderung lebih ringan. Pada tindak kejahatan pertama, remaja di Northern Territory tidak mendapatkan hukuman penjara. Kemudian, untuk tindak kejahatan kedua, hukuman wajib atau hukuman minimal yang diberikan adalah 28 hari penjara atau partisipasi terdakwa dalam suatu program yang telah ditentukan. Selain itu, untuk tindak kejahatan ketiga kalinya, pelaku diberikan hukuman selama 28 hari

penjara. 13 Kebijakan Mandatory Sentencing Law lebih terfokus dalam memberikan

hukuman kepada masyarakat yang melakukan pengulangan tindak kejahatan. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera terhadap terdakwa yang melakukan

11 NT Office of Crime Prevention. Mandatory Sentencing for Adult Property Offenders: The

Northern Territory Experience. Australia: Northern Territory Office of Crime Prevention. 2003, hlm. 2.

12 Gordon Hughes. The Mandatory Sentencing Debate. Australia: Law Council of Australia. 2011, hlm. 4.

13 Ibid., hlm. 4.

tindak kejahatan sebanyak dua kali atau lebih. 14 Selain itu, kebijakan Mandatory Sentencing Law pada awalnya diberlakukan sebagai hukuman pengganti bagi

hukuman mati yang ditiadakan pada abad ke dua puluh. Hukuman mati pernah diterapkan di Australia sebagai hukuman bagi masyarakat yang melakukan tindak kejahatan pembunuhan. Hukuman wajib atau hukuman minimal sebagai pengganti hukuman mati diterapkan di New South Wales pada tahun 1982, Victoria pada tahun 1986, Tasmania pada tahun 1995, dan Western Australia pada tahun 2008. Untuk Queensland, South Australia, dan Northern Territory

diberlakukan hukuman penjara seumur hidup sebagai pengganti hukuman mati. 15 Northern Territory merupakan wilayah dengan tingkat kriminalitas

tertinggi di Australia. Sedangkan, Darwin merupakan kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi di Northern Territory. Peta dari wilayah ini dapat dilihat

pada Gambar 1 dalam Lampiran. 16 Banyak masyarakat yang tinggal di Darwin mengeluhkan rasa ketidaknyamanannya karena kondisi keamanan yang kurang

baik. Hal ini membuat pemerintah Australia mengambil tindakan dengan menerapkan kebijakan Mandatory Sentencing Law ini. Selain Darwin, terdapat kota lainnya di Northern Territory, yaitu Alice Springs yang merupakan kota dengan tingkat kriminalitas kedua tertinggi dan kota dimana tingkat kejahatan

pembunuhan mencapai tingkat tertinggi di Australia. 17 Hal ini lah yang menjadi pertimbangan pemerintah Australia untuk memberikan efek jera kepada

masyarakatnya yang melakukan tindak kejahatan. Terdapat beberapa periode dalam pemberlakuan kebijakan Mandatory Sentencing Law di Northern Territory. Sejak awal diterapkannya kebijakan Mandatory Sentencing Law di Northern Territory, yaitu pada tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 merupakan non-parole periode. Pada non-parole periode ini, kebijakan Mandatory Sentencing Law diberlakukan kepada siapapun yang melakukan tindak kejahatan properti, dengan tidak memperdulikan bagaimana kondisi pelaku. Dalam periode ini, hakim tidak memiliki banyak peran karena

14 Anthony Morgan. Northern Territory Safe Streets Audit. Australia: Australian Institute of

Criminology. 2014, hlm. 5.

15 Lenny Roth. Mandatory Sentencing Laws. NSW: NSW Parliamentary Research Service. 2014, hlm. 2.

16 Anthony Morgan. Op.Cit, hlm. 5. 17 Ibid., Hlm. 5.

tidak dapat memutuskan terdakwa yang dalam kondisi seperti apa yang tidak mendapatkan hukuman ini. 18

Non-parole periode menyebabkan banyaknya kejadian dimana pihak yang melakukan kejahatan serius dijatuhkan hukuman yang sama dengan pihak yang melakukan kejahatan ringan. Hal ini terjadi dikarenakan kejahatan yang dimaksud

tidak diperjelas secara rinci. 19 Contohnya seperti tindak kejahatan pencurian, yang tidak diketahui dengan jelas jenis pencurian seperti apa yang dimaksud. Hal ini

membuat masyarakat yang mencuri satu permen dengan masyarakat yang mencuri sepuluh mobil dijatuhi hukuman yang sama. 20

Setelah itu, pada September 1999 non-parole periode pun berakhir dan hakim yang mengadili terdakwa dan dijatuhkan hukuman wajib atau hukuman minimal mulai memperhatikan alasan-alasan dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak peanggaran atau kejahatan. Dalam kondisi tertentu, hakim dapat meringankan hukuman yang dikenakan kepada pelaku. Hal ini terus berlangsung sampai pada saat dimana pemerintah yang baru terpilih pada pemilu tahun 2001. Pada tahun 2001 ini, Partai Liberal kehilangan kekuasaannya dan digantikan oleh Partai Buruh, yang menyatakan bahwa kebijakan Mandatory Sentencing Law tidak diberlakukan lagi di wilayah Northern Territory. Pemerintah Partai Buruh melihat bahwa kebijakan ini tidak berhasil mencapai tujuan awalnya untuk

mengurangi tingkat kriminalitas selama diterapkan di Northern Territory. 21 Masyarakat asli atau masyarakat Aborigin di Australia banyak menetap di

Northern Territory sejak 40.000 tahun yang lalu. Wilayah ini merupakan wilayah yang kaya akan Sumber Daya Alam. Meskipun tinggal di wilayah yang kaya akan Sumber Daya Alam, kehidupan masyarakat Aborigin di Northern Territory ini masih tradisional, dengan masyarakat Aborigin yang masih banyak tinggal dalam tenda, memakan makanan yang ada di sekitarnya, menggunakan pakaian yang

masih tradisional, dan sebagainya. 22 Kebijakan Mandatory Sentencing Law yang

18 Raji Mangat. More Than We Can Afford: The Costs of Mandatory Minimum Sentencing. Vancouver: British Columbia Civil Liberties Association. 2014, hlm. 5.

19 Ibid., hlm. 5. 20 Glen Cranny. Mandatory Sentencing: Where From, Where To and Why? Queensland:

International Society for The Reform of Criminal Law. 2006, hlm. 9. 21 Ibid., hlm. 9.

22 Megan Davis. Mandatory Sentencing and The Myth of The Fair-Go. Australia: Australian 22 Megan Davis. Mandatory Sentencing and The Myth of The Fair-Go. Australia: Australian

Dampak positif yang dimaksud adalah ketika tindakan pemerintah dalam pembuatan kebijakan menjadi solusi yang tepat bagi masyarakat dan membuat tujuan dari kebijakan tersebut tercapai. Sedangkan, dampak negatif yang dimaksud adalah ketika kebijakan yang dijalankan tidak mencapai tujuan dan justru memberikan dampak lain yang merugikan masyarakat. Dampak negatif ini dapat menimbulkan dampak-dampak lain seperti dampak politik, ekonomi, dan

sosial terhadap kehidupan masyarakat Aborigin di Australia. 23 Hal ini disebabkan oleh faktor masyarakat Aborigin yang hidup dengan keadaan sosial-ekonomi yang

rendah, yang membuat masyarakat Aborigin menjadi banyak melakukan tindak kriminal untuk memenuhi kebutuhannya. 24

Menurut Diana Henriss Anderssen, masyarakat Aborigin memiliki potensi untuk terkena hukuman dalam kebijakan Mandatory Sentencing Law dan masuk ke dalam penjara 10 kali lebih besar, dibandingkan dengan masyarakat kulit putih

di Australia. 25 Masyarakat Aborigin di Northern Territory yang masuk ke dalam penjara karena terkena hukuman wajib atau hukuman minimal pada tahun 1997 –

2001 dapat sekitar 1.460 orang per 100.000 orang, berbanding dengan masyarakat kulit putih yang masuk ke dalam penjara sekitar 169 orang per 100.000 orang. 26

Kemudian, jumlah masyarakat Aborigin yang berada di dalam penjara di Northern Territory meningkat dari 60 persen pada tahun 1995 menjadi 84 persen pada

tahun 1999. 27 Berikut terdapat grafik yang menggambarkan komposisi populasi penjara

di Australia pada tahun 1999 berdasarkan negara bagian dan wilayah, serta berdasarkan ras.

23 Ibid., hlm. 4. 24 Ibid., hlm. 4. 25 Diana Henriss Anderssen. Mandatory Sentencing: The Failure of the Australian Legal System to

Protect the Human Rights of Australians. Australia: James Cook University. 2000, hlm. 239. 26 Ibid., hlm. 239.

27 Creative Spirits. Aboriginal Prison Rates. Diakses dari: http://www.creativespirits.info/aboriginalculture/law/aboriginal-prison-rates#axzz3ehEnSbL4

Grafik I.1 Komposisi Masyarakat Kulit Putih dan Masyarakat Aborigin Dalam Penjara di Negara Bagian dan Wilayah di Australia Pada Tahun 1999

Sumber: Creative Spirits. Aboriginal Prison Rates. Diakses dari: http://www.creativespirits.info/aboriginalculture/law/aboriginal-prison-rates#axzz3ehEnSbL4 diakses pada tanggal 26 Juni 2015 pukul 08.10 WIB.

Kebijakan Mandatory Sentencing Law selain berdampak pada dewasa Indigenous atau Aborigin, juga berdampak pada remaja Aborigin. Hal ini dikarenakan penerapan kebijakan ini yang juga melibatkan remaja Aborigin, walaupun dalam hal ini hukuman wajib atau hukuman minimal yang diberikan kepada remaja lebih ringan daripada kepada dewasa. Sebelum diterapkannya kebijakan ini, yaitu pada tahun 1995, sebanyak 50 persen dari total 103.864 remaja Aborigin tidak dapat menyelesaikan Sekolah Menengah Atas. Setelah kebijakan ini diterapkan, yaitu pada tahun 1999, remaja Aborigin yang tidak dapat menyelesaikan Sekolah Menengah Atas ini meningkat dari 50 persen menjadi 75

persen dari total 106.233 remaja Aborigin. 28 Sampai pada tahun 2015 ini, hanya

10 persen dari total 110.492 generasi muda Aborigin yang berhasil tamat sekolah di Australia. Hal ini menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi bagi masyarakat Aborigin secara nasional, yaitu 35 persen dari total populasi

Thalia Anthony. Sentencing Indigenous Offenders. Australia: Indigenous Justice Clearinghouse.

masyarakat Aborigin sebanyak 669.881 orang. 29

I.2 Rumusan Permasalahan Kebijakan Mandatory Sentencing Law merupakan kebijakan yang

dicetuskan oleh pemerintah untuk memberikan hukuman wajib atau hukuman minimal kepada pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan tertentu. Kebijakan ini diterapkan oleh beberapa negara, seperti Kanada, Ceko, India, Jepang, Malaysia, Singapura, Taiwan, Inggris, Amerika, dan Australia. Hukuman wajib atau hukuman minimal diterapkan di beberapa negara bagian dan wilayah di Australia, seperti di Western Australia, New South Wales, Queensland, South Australia, Victoria, dan Northern Territory. Jenis pelanggaran atau kejahatan yang diberikan di negara-negara bagian dan wilayah untuk mendapatkan hukuman wajib atau hukuman minimal di Australia ini berbeda-beda.

Kebijakan Mandatory Sentencing Law diberlakukan di Northern Territory bagi pelaku tindak kejahatan properti. Properti yang dimaksudkan dalam hal ini adalah segala jenis benda yang dimiliki seseorang dalam bentuk apapun. Maka dari itu, mengambil benda kepemilikan orang lain dapat dikatakan sebagai tindak

kejahatan properti. 30 Jenis-jenis tindak kejahatan properti yang mendapatkan hukuman wajib atau hukuman minimal di Northern Territory adalah tindak

kejahatan seperti pencurian, kerusakan, penggunaan yang tidak sah atas kendaraan, penerimaan barang curian, serangan yang dimaksudkan untuk pencurian, dan perampokan.

Tindak kejahatan properti cenderung dilakukan oleh kelompok masyarakat dengan kondisi sosial-ekonomi rendah, seperti masyarakat Aborigin. Hal ini kemudian yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Aborigin terkena hukuman wajib atau hukuman minimal di Northern Territory. Sehingga, dari latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, rumusan masalah yang akan dikaji adalah Bagaimana dampak yang timbul akibat diberlakukannya kebijakan

Mandatory Sentencing Law dalam Sentencing Act 1995 di Northern Territory, Australia terhadap masyarakat Aborigin pada tahun 1997 – 2001?

29 Ibid., hlm. 5. 30 NT Office of Crime Prevention. Northern Territory Quarterly Crime & Justice Statistics: 2002.

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian deskriptif analitis ini berusaha untuk menjelaskan alasan terjadinya suatu hal dan bagaimana dampaknya. Maka dari itu, tujuan dari penelitian ini antara lain untuk mengkaji dasar dari kebijakan pemerintah Australia pada masa kepemimpinan John Howard dengan menjalankan kebijakan, yang berdampak negatif terhadap kelompok minoritas di negaranya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memahami dampak yang timbul akibat berlakunya kebijakan mengenai hukuman wajib atau hukuman minimal terhadap masyarakat Aborigin.

I.4 Signifikansi Penelitian

Signifikansi penelitian yang pertama, yaitu signifikansi praktis. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan alternatif kepada masyarakat dalam melihat bagaimana pembuatan kebijakan yang dapat bersifat adil terhadap seluruh masyarakat di segala jajaran. Kemudian, signifikansi penelitian yang kedua adalah signifikansi sosial. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pula untuk memberikan masukan kepada masyarakat, terlebih yang bergerak dalam LSM agar dapat mengutamakan keadilan, terutama dalam hal kebijakan dengan melihat dampaknya terhadap kelompok minoritas.

I.5 Kerangka Teori

I.5.1 Teori Kebijakan Publik James E. Anderson

Definisi kebijakan publik menurut James E. Anderson dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses proses yang didalamnya terdapat fase serangkaian kerja para pejabat publik ketika pemerintah benar-benar bertindak

untuk dapat menyelesaikan persoalan masyarakat. 31 Menurut James E. Anderson, kebijakan publik dapat memberikan dampak yang besar terhadap

kehidupan masyarakat di negara dimana kebijakan publik tersebut diterapkan. Dampak yang dihasilkan dapat berupa dampak positif, dengan kebijakan yang dapat memberikan solusi yang tepat bagi masyarakat dan berhasil mencapai

31 James E. Anderson. Public Policymaking. Boston: Cengage Learning. 2014, hlm 1.

tujuannya. Selain itu, kebijakan publik juga dapat memberikan dampak negatif dengan kebijakan yang tidak berhasil mencapai tujuan dan justru memberikan dampak lain yang merugikan masyarakat. Dampak negatif ini dapat terlihat

dalam aspek politik, ekonomi, dan sosial. 32 James E. Anderson menetapkan proses kebijakan publik, dimana hal

yang terpenting pada tahapan adalah identifikasi suatu masalah dan juga agenda setting. Agenda setting yang dimaksudkan adalah perencanaan mengenai suatu hal dengan menargetkan tujuan tertentu. Pada tahap pertama ini, aktor dari kebijakan publik atau pemerintah harus lebih terfokus pada masalah yang menjadi target dari kebijakan publik. Masalah yang ada harus spesifik, sehingga pemerintah dapat benar-benar mengetahui bagaimana permasalahan yang ada dalam suatu kondisi tertentu, mengapa masalah harus diselesaikan dengan pembuatan kebijakan publik, dan sebagainya. Pemerintah harus benar-benar mengetahui seperti apa tindakan yang diambil untuk

mengatasi permasalahan yang ada. 33 Kemudian, tahapan kedua dari proses kebijakan publik adalah

formulasi kebijakan publik. Pada tahap ini, pemerintah harus mempersiapkan hal-hal apa saja yang diperlukan dalam menangani permasalahan yang ada. Jalan alternatif harus dipersiapkan untuk mengantisipasi berjalannya kebijakan publik ini. Pihak pemerintah harus mengetahui kesulitan-kesulitan apa saja yang akan didapatkan ketika menjalankan kebijakan yang bersangkutan. Kemudian, tahapan ketiga adalah pengadopsian kebijakan publik. Pada tahap ketiga ini, alternatif dari permasalahan harus benar-benar dipikirkan, termasuk bagaimana apabila pihak pemerintah tidak mengambil tindakan apapun untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Harus ada alternatif dari suatu permasalahan dan bagaimana kebijakan hendak diadopsi sebagai langkah

penyelesaian masalah. 34 Pada tahap keempat, hal yang harus diperhatikan adalah implementasi

berjalannya kebijakan publik. Dalam tahap ini, pemerintah berusaha untuk

32 Hessel Nogi S. Tangkilisan. Kebijakan Publik yang Membumi: Konsep, Strategi dan Kasus. Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI. 2003, hlm. 2. 33 James E. Anderson. Op.Cit, hlm 3. 34 Ibid., hlm. 3.

mengaplikasikan kebijakan publik di negaranya demi mengatasi permasalahan. Pemerintah berusaha memperhatikan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam penerapan kebijakan publik ini. Dalam hal ini, aktor dari kebijakan publik menjadi hal yang penting dan patut untuk diperhatikan karena memiliki dampak yang besar atas berjalannya kebijakan publik dan seperti apa dampak yang dihasilkan dari kebijakan yang telah dibuatnya. Implementasi dari kebijakan publik ini harus sungguh diperhatikan untuk dapat melihat apakah kebijakan publik berhasil untuk mengatasi permasalahan

atau tidak. 35 Terakhir, tahap kelima yaitu evaluasi. Pada tahap ini, hal yang penting

untuk diperhatikan adalah bagaimana kebijakan publik yang dijalankan oleh pemerintah mengatasi permasalahan. Tujuan dari kebijakan publik harus sangat diperhatikan sebelum kebijakan publik dijalankan, kemudian mengaitkannya pada penerapan kebijakan publik ini sendiri, dan apakah kebijakan publik berhasil mencapai tujuannya dan melihat konsekuensi yang harus dihadapi dari penerapan kebijakan publik di negaranya. Hal ini dikarenakan kebijakan publik dapat mengatasi suatu masalah apabila kebijakan ini berjalan secara positif dan dapat membentuk permasalahan yang baru apabila berjalan secara negatif. Selain itu, terdapat pula dampak politik, ekonomi, dan sosial yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Teori kebijakan publik yang dikemukakan oleh James E. Anderson digunakan untuk melihat dampak dari kebijakan publik Mandatory Sentencing Law yang dicetuskan oleh pemerintah Australia di Northern Territory pada tahun 1997 – 2001. Hal ini dikarenakan teori kebijakan publik ini yang menjelaskan mengenai proses kebijakan publik, dari proses pencetusan dan pembuatan sampai implementasi dan evaluasi. Tahap evaluasi digunakan untuk melihat dampak dari kebijakan publik terhadap masyarakat dari aspek

politik, ekonomi, dan sosial. 36 Dampak politik yang terjadi adalah dengan menurunnya tingkat

partisipasi politik masyarakat Aborigin, yang dikarenakan menurunnya tingkat

35 Ibid., hlm. 5. 36 Ibid., hlm. 148.

13

kepercayaan masyarakat Aborigin terhadap pemerintah. Kemudian, dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Aborigin adalah menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat Aborigin, yang disebabkan oleh banyaknya kepala keluarga Aborigin yang tertangkap dan dipenjara. Hal ini membuat anggota keluarga yang bersangkutan tidak memiliki sumber penghasilan dan menjadi semakin menderita. Terakhir, dampak sosial yang terjadi adalah dengan justru meningkatnya kriminalitas dan populasi masyarakat Aborigin di penjara Northern Territory, serta meningkatnya angka kematian masyarakat Aborigin dan menurunnya tingkat pendidikan.

I.6 Skema Alur Berpikir

Dampak Politik:

Tingkat Partisipasi

Politik Masyarakat Aborigin Menurun

Faktor

Implementasi

Dampak Ekonomi: Diterapkan

Pendorong

Kebijakan

Tingkat Kebijakan

Mandatory

Kesejahteraan Mandatory

Sentencing Law

Masyarakat Sentencing Law:

di Northern

Territory,

Aborigin Menurun

di Australia Dampak Sosial:

• Tingkat Kriminalitas • Sistem

Meningkat Hukum

• Tingkat Populasi • Sistem

Longgar

Penjara Meningkat Hukum

• Tingkat Kematian

Tidak Adil Meningkat

• Tingkat Pendidikan

Menurun

Terdapat beberapa faktor pendorong diterapkannya kebijakan Mandatory Sentencing Law di Australia. Pada awalnya, kebijakan Mandatory Sentencing Law diberlakukan di Australia sebagai pengganti hukuman mati. Hal ini dikarenakan hukuman mati yang diberikan pada pelaku pembunuhan sudah dihapuskan sejak abad ke dua puluh. Penggantian hukuman mati dengan hukuman wajib atau hukuman minimal di Australia ini membuat pelaku tindak kejahatan pembunuhan diberikan hukuman wajib atau hukuman minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah Australia.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu hukuman yang ditetapkan melalui kebijakan Mandatory Sentencing Law tidak hanya diberikan sebagai pengganti

dari hukuman mati. Penerapan kebijakan Mandatory Sentencing Law di Australia juga disebabkan karena tingginya tingkat kriminalitas di negara ini. 37 Hal ini

membuat pemerintah menerapkan hukuman wajib atau hukuman minimal ini untuk kejahatan yang berbeda-beda di setiap negara bagian dan wilayah di Australia yang bersangkutan, sesuai dengan tingkat kriminalitas yang tertinggi di masing-masing negara bagian dan wilayah. Hal ini dilakukan dengan harapan

memberikan efek jera kepada pelaku tindak kejahatan di Australia. 38 Penerapan kebijakan Mandatory Sentencing Law dilakukan di setiap

negara bagian dan wilayah di Australia untuk tindak pelanggaran atau tindak kejahatan yang berbeda-beda. Terdapat negara bagian atau wilayah yang sudah menetapkan waktu hukuman yang tetap untuk suatu tindak pelanggaran atau kejahatan. Terdapat pula negara bagian atau wilayah yang memberlakukan three strikes law. Maksud dari three strikes law adalah dimana tindak pelanggaran atau kejahatan diberikan hukuman yang semakin berat ketika pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan ini melakukan pengulangan tindak kriminal. Semakin sering terdakwa melakukan tindak pelanggaran atau kejahatan, maka hukuman

wajib atau hukuman minimal yang diterima untuk menjadi semakin berat. 39 Kebijakan Mandatory Sentencing Law diberlakukan di Northern Territory

dengan memberikan hukuman wajib atau hukuman minimal kepada pelaku tindak kejahatan properti. Properti yang dimaksud adalah barang bergerak dan tidak

bergerak, yang menjadi kepemilikan seseorang. 40 Jenis tindak kejahatan properti yang mendapatkan hukuman wajib atau hukuman minimal ini antara lain seperti

pencurian, kerusakan, penggunaan yang tidak sah atas kendaraan, penerimaan barang curian, serangan yang dimaksudkan untuk pencurian, dan perampokan. Pelaku tindak pelecehan seksual dan kekerasan terhadap seseorang juga

mendapatkan hukuman wajib atau hukuman minimal ini. 41 Kebijakan yang diterapkan di Northern Territory ini memiliki dampak

37 Declan Roche. Mandatory Sentencing. Australia: Australian Institute of Criminology. 1999, hlm. 2.

38 Ibid., hlm. 2. 39 Ibid., hlm. 3. 40 NT Office of Crime Prevention. Northern Territory Quarterly Crime & Justice Statistics: 2002.

Op.Cit, hlm. 76. 41 NT Office of Crime Prevention. Fact Sheet: Recorded Crime – Offences Against The Person

yang besar terhadap masyarakat Aborigin. Dampak yang ada dapat dilihat melalui aspek politik, ekonomi, dan sosial. Dari aspek politik, setelah dijalankannya kebijakan Mandatory Sentencing Law ini di Northern Territory, tingkat partisipasi politik masyarakat Aborigin menjadi menurun. Hal ini disebabkan karena masyarakat Aborigin yang menjadi kurang memiliki rasa kepedulian terhadap

pemerintah. 42 Tingkat partisipasi politik masyarakat Aborigin sudah rendah sejak terjadinya pembunuhan Aborigin secara masal pada tahun 1930-an. Akan tetapi,

sejak diterapkannya kebijakan Mandatory Sentencing Law ini, tingkat partisipasi politik masyarakat Aborigin di Northern Territory menjadi semakin rendah. Hal ini disebabkan rasa kecewa masyarakat Aborigin yang merasa banyak dirugikan

oleh kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Australia. 43 Selain itu, kebijakan Mandatory Sentencing Law juga memberikan

dampak terhadap masyarakat Aborigin dalam aspek ekonomi. Kesejahteraan masyarakat Aborigin semakin menurun sejak diterapkannya kebijakan ini di

Northern Territory. Hal ini dipengaruhi dengan masyarakat Aborigin yang biasa mendapatkan penghasilan dari kepala keluarga, tidak mendapatkan penghasilan setelah kepala keluarga nya mendapatkan hukuman wajib atau hukuman minimal

karena melakukan tindak kejahatan properti. 44 Kebijakan Mandatory Sentencing Law juga memiliki dampak dalam aspek

sosial terhadap masuarakat Aborigin. Setelah diterapkan kebijakan wajib atau kebijakan minimal ini di Northern Territory, populasi penjara di negara bagian ini

menjadi meningkat. 45 Hal ini disebabkan karena pemberlakuan kebijakan Mandatory Sentencing Law yang membuat masyarakat berpikir untuk mencuri

lebih banyak, karena hukuman yang diberikan berdasarkan frekuensi, bukan berdasarkan seberapa berat kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. 46 Selain itu,

pendidikan bagi remaja Aborigin juga semakin menurun. Hal ini dikarenakan

42 Law Council of Australia. Policy Discussion Paper on Mandatory Sentencing. Australia: Law Council of Australia. 2014, hlm. 21.

43 Dirk Moses. Genocide and Settler Society in Australian History. Inggris: Berghahn Books. 2004, hlm. 24.

44 James Bonta. The Effects of Punishment on Recidivism. Canada: Solicitor General Canada. 2002, hlm. 3.

45 Rosemary Miller. Mandatory Sentencing Senate Inquiry. Australia: Uniting Church in Australia National Social Responsibility and Justice. 2001, hlm. 4.

46 Smart Justice. Mandatory Sentencing. Australia: Federation of Community Legal Centres. 2013,

banyaknya remaja Aborigin yang harus dipenjara karena melakukan tindak kejahatan properti. Hal ini membuat penjara di Northern Territory sebagian besar

dipenuhi oleh masyarakat Aborigin dibawah 25 tahun. 47

I.7 Metodelogi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analisis, dengan memaparkan dan menafsirkan data yang ada. Dengan ini, data-data mengenai situasi yang dialami pada masa itu, hubungan, kegiatan yang terjadi, pandangan, ataupun proses yang

sedang berlangsung dipaparkan dalam penelitian ini. 48 Kemudian, teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah menggunakan penelitian pustaka. Hal

ini berarti data diperoleh berasal dari kepustakaan-kepustakaan yang relevan dengan pokok permasalahan yang ada. Contohnya adalah literatur-literatur seperti buku dan buletin, jurnal, dokumen, surat kabar, dan sebagainya, yang termasuk sebagai penerbitan berkala, yang diterbitkan oleh badan usaha maupun lembaga-

lembaga penelitian. 49 Data yang telah didapatkan dari literatur dan terkumpul kemudian diolah.

Cara pengolahannya adalah dengan menggunakan klarifikasi dan pengelompokan data-data sesuai dengan jenisnya. Pengolahan data ini dilakukan demi mendapatkan permasalahan yang hendak dikemukakan. Dengan data yang diolah untuk dicari kebenarannya, maka terbentuklah suatu masalah yang hendak dikemukakan. Maka dari itu, data yang dikumpulkan akan menjadi data yang relevan dan dapat diinterpretasikan untuk diambil kesimpulannya.

I.8 Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan, yang direncanakan untuk ditulis dalam penelitian ini adalah dengan bab satu yang berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kerangka teori, kerangka alur berpikir, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Kemudian, bab dua berjudul “Implementasi Kebijakan Mandatory Sentencing

John Sheldon. Dollars Without Sense: A Review of Northern Territory’s Mandatory Sentencing Laws. Australia: Northern Australian Aboriginal Legal Aid. 2000, hlm. 3.

48 Winarno Surachmad. Metode Dasar dan Tehnik Riset. Bandung: CV. Remaja Karya. 1980, hlm. 139.

49 Led J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Remaja Karya. 1989, hlm. 74.

18

Law di Australia.” Bab dua ini berisi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kebijakan Mandatory Sentencing Law, implementasi kebijakan Mandatory Sentencing Law di negara bagian dan wilayah di Australia, dan dampak kebijakan Mandatory Sentencing Law terhadap seluruh masyarakat Australia.

Selain itu, terdapat bab tiga yang berjudul “Dampak Kebijakan Mandatory Sentencing Law Terhadap Masyarakat Australia di Northern Territory.” Bab ini tiga berisi mengenai dampak kebijakan Mandatory Sentencing Law di Northern Territory terhadap masyarakat Aborigin dalam aspek politik, ekonomi, dan sosial. Terakhir, terdapat bab empat yang merupakan bab penutup dan berisi kesimpulan.

BAB II IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MANDATORY SENTENCING LAW DI AUSTRALIA

Pemerintah Australia berusaha untuk mengatasi permasalahan kriminalitas di negaranya dengan cara menerapkan kebijakan publik di negaranya. 50 Pada tahun

1995, tingkat kriminalitas di Australia apabila dibandingkan dengan negara lain, berdasarkan survey dari Nation Master International Statistics meningkat dari

sebelumnya menduduki urutan 63 turun menjadi urutan 69. 51 Berikut disajikan data yang memperlihatkan tingkat kriminalitas di Australia pada tahun 1995-2007.

Grafik 2.1 Tingkat Tindak Kejahatan Secara Umum di Australia Pada Tahun 1995 – 2007

Sumber: Australian Institute of Criminology. Recorded Crime. Australia: Australian Institute of Criminology. 2007, hlm. 1.

Dapat dilihat dalam grafik diatas bahwa tingkat kriminalitas di Australia semakin meningkat sejak tahun 1995 sampai pada tahun 2007. Jenis kriminalitas

50 Andrew Trotter. Mandatory Sentencing for People Smuggling: Issues of Law and Policy. Australia: Melbourne University Law Review. 2012, hlm. 553.

51 Nation Master. Crime Levels: Countries Compared. Diakses dari: http://www.nationmaster.com/country-info/stats/Crime/Crime-levels pada tanggal 4 Mei 2015 pukul

14.30 WIB.

yang membuat meningkatnya kriminalitas di Australia ini yaitu seperti kejahatan properti, perampokan rumah, pembunuhan, pemukulan, pelecehan seksual, kekerasan terorganisir pelanggaran alkohol dan narkoba, kepemilikian senjata api, dan tindak

kejahatan terhadap aparat kepolisian. 52 Peningkatan kriminalitas di negara ini membuat pemerintah Australia mengambil langkah dengan menerapkan kebijakan

Mandatory Sentencing Law untuk memberikan hukuman wajib atau hukuman minimal terhadap pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan yang bersangkutan. Tindak kriminal yang kerap terjadi di negara bagian dan wilayah di Australia berbeda-beda. Maka dari itu, pemberlakuan kebijakan Mandatory Sentencing Law di setiap negara bagian dan wilayah pun diberikan untuk tindak kejahatan atau

pelanggaran yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. 53 Hukuman wajib atau hukuman minimal diberlakukan untuk membuat

masyarakat Australia jera dan tidak melakukan tindak kriminal ataupun mengulanginya. Hal ini dikarenakan hukuman wajib atau hukuman minimal merupakan jenis hukuman yang lebih keras dibandingkan dengan hukuman maksimal

yang diberikan kepada tindak pelanggaran atau kejahatan pada umumnya. 54 Maka dari itu, pemerintah Australia menerapkan hukuman ini pada jenis pelanggaran atau

kejahatan tertentu yang paling sering dilakukan oleh masyarakat yang berada di negara bagian atau wilayahnya masing-masing. 55

Penerapan kebijakan Mandatory Sentencing Law di Australia memberikan dampak yang positif, dengan keberhasilan untuk mencapai tujuannya dalam mengurangi kejahatan di Western Australia dan dampak negatif yang kemudian

terbagi dalam aspek politik, ekonomi, dan sosial. 56 Dampak negatif dari kebijakan Mandatory Sentencing Law dirasakan oleh masyarakat dengan kebijakan ini yang

52 Law Council of Australia. Loc.Cit.

53 Andrew Trotter. Mandatory Sentencing for People Smuggling: Issues of Law and Policy. Australia: Melbourne University Law Review. 2012, hlm. 553.

54 R v Radich. NZLR 86. New Zealand: New Zealand Law Reports (NZLR). 1994, hlm. 87. 55 Kate Warner. Mandatory Sentencing and the Role of the Academic. Brisbane: International Society

for the Reform of the Criminal Law. 2006, hlm. 2.

56 Rob Johnson. Assault Against Police Plummet Under Mandatory Sentencing Laws. Diakses dari: http://www.mediastatements.wa.gov.au/pages/StatementDetails.aspx?listName=StatementsBarnett&St

atId=3115 pada tanggal 4 Mei 2015 pukul 18.20 WIB.

justru menimbulkan residivis. 57 Kebijakan ini juga memiliki dampak negatif yang berpengaruh terhadap kelompok masyarakat tertentu, seperti masyarakat Aborigin

yang banyak masuk ke dalam penjara, remaja yang tidak mengikuti sekolah selama mendapat hukuman dan mempengaruhi masa depan remaja tersebut, dan kelompok masyarakat dengan mental yang terbelakang yang mendapat hukuman yang terlalu

keras dengan diberlakukannya kebijakan Mandatory Sentencing Law ini. 58

II.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Diterapkannya Kebijakan Mandatory Sentencing Law

Pemerintah Australia memberlakukan kebijakan mengenai hukuman dengan tujuan tertentu, yaitu untuk melindungi masyarakat dari tindak kejahatan, dengan membuat pelaku tindak kejahatan tersebut mendapat hukuman yang dapat