Penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi merek ``X`` dengan metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak.

(1)

INTISARI

Kafein merupakan salah satu zat aktif yang terdapat dalam minuman berenergi yang bersifat menstimulasi sistem saraf pusat, pernafasan, dan jantung. Penentuan kadar kafein dalam minuman berenergi dapat dilakukan dengan mengembangkan metode spektrofotometri ultraviolet menjadi spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak tanpa harus dilakukan pemisahan terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akurasi dan presisi dari metode yang digunakan langsung pada sampel.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif. Penelitian dilakukan dengan membuat spektra serapan, baik spektra normal maupun spektra derivatifnya. Spektra derivatif pertama merupakan plot dA/dλ vs λ, spektra derivatif kedua merupakan plot d A/dλ vs λ, spektra derivatif ketiga merupakan plot d A/dλ vs λ. Penentuan kadar kafein didasarkan pada jarak vertikal antara puncak maksimum pada panjang gelombang 271 nm dan puncak minimum pada panjang gelombang 273 nm yang dinyatakan sebagai nilai amplitudo peak-to-peak

2 2

3 3

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai recovery kafein berada pada rentang 96,24 – 107,12 % dan nilai CV sebesar 0,46 %. Dapat disimpulkan bahwa penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X” secara spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak memiliki akurasi dan presisi yang baik.

Kata kunci : kafein, minuman berenergi, spektrofotometri derivatif, peak-to-peak


(2)

ABSTRACT

Caffeine is one of the active subtance in energy drink that stimulate central nervous system, respiratory, and heart. Determination of caffeine conssentration in energy drink can be made by enlarge ultraviolet spectrophotometry method to derivative spectrophotometry peak-to-peak method application without extraction. The aim of this research is ti find out the accuracy and precision of the method used in sample.

This research is descriptive non experimental research. The research has been conduct by creating spectra absorbance, both normal absorbance spectra and derivative spectra. First derivative spectra is plot dA/dλ vs λ, second derivative spectra is plot d A/dλ vs λ, and third derivative spectra is plot d3A/dλ vs λ. Determination of caffeine concentration is based on the measurement of vertical distance between maximum peak at 271 nm and minimum peak at 273 nm which stated as peak-to-peak amplitude value.

2 2 3

The result of this research show that the caffeine recovery value is on 96,24 – 107,12 % and CV value is on 0,46 %. It can be concluded that determination of caffeine concentration using derivative spectrophotometry peak-to-peak method application has ood accuracy and precision.

Keywords : cafeine, energy drink, derivative spectrophotometry, peak-to-peak


(3)

PENETAPAN KADAR KAFEIN DALAM MINUMAN BERENERGI MEREK "X" DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF APLIKASI

PEAK-TO-PEAK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Veronica Suko Danasrayaningsih NIM : 038114015

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(4)

(5)

(6)

iv

Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai

Bukan tentang tempat tinggalmu atau sekolahmu

Bahkan, juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, uang, baju, dan

perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu

Hidup bukan tentang apakah kau memiliki banyak teman atau

apakah kau seorang diri.

Namun, hidup ini adalah tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan

welas asih.

Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang

dimilikinya.

Dan, yang terpenting, hidup ini adalah tentang memilih untuk

menggunakan hidupmu untuk menyentuh hidup orang lain dengan

cara yang tidak bisa digantikan dengan cara lain.

Hidup adalah tentang pilihan-pilihan itu.

( Chicken Soup)

Kupersembahkan karyaku ini

Untuk Bapak, Ibu, Leo, Orang-orang yang mencintaiku


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga, karena hanya berkat dan rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikannya, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan dorongan semangat selama

penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dra.M.M Yetty Tjandrawati, M.Si. yang telah memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.

4. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. yang telah memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.

5. Bapak Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. terima kasih untuk semua diskusi, nasehat dan semangatnya

6. Mr. “J” terima kasih untuk semua mukjizat yang setiap detik diberikan.


(8)

7. Pak Mukmin, Pak Prapto, Mas Parlan, Mas Kunto dan Mas Sarwanto, terima kasih atas semua bantuan dan cerita-ceritanya.

8. Bapak Ignatius Sadiarko dan Ibu Theresia Sri Suratmini, terima kasih untuk semua doa, peluh, dan semangat selama ini.

9. Leo Damar Kandela, terimakasih buat ejekan-ejekan penyemangatnya.

10.Keluarga Besar Soekohardjono terima kasih atas semua doa, perhatian dan cinta yang selalu diberikan.

11.Dita, Andi, Yohana, makasih sudah memberikan aku apa arti sahabat.

12.Henny, sahabat seperjuangan, makasih buat bantuan, diskusi, saran dan kritiknya. 13.Teman-teman kelas A angkatan 2003, terima kasih untuk empat tahun yang indah. 14.Teman-teman KKN angkatan XXXII Dusun Soka Kragilan, Aiu, Anis, Dedy,

Dessy, Ica, Ita, Yeye’, Arba, Prast, Adi, makasih dukungannya.

15.Teman-teman P3W Mrican, Cipluk, Eka, Leli, Lisa, Trisna, Rita, Paula, MM, Sandra, Uli, Nyoman, Qwhat, Yongkie, Yanu, Ziko, makasih sudah mau menjadi keluarga keduaku. Kejar satu juta!

16.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namun sangat berjasa terhadap skripsi ini. Terimakasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan perkembangan selanjutnya. Akhir kata semoga skripsi ini berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Penulis


(9)

(10)

INTISARI

Kafein merupakan salah satu zat aktif yang terdapat dalam minuman berenergi yang bersifat menstimulasi sistem saraf pusat, pernafasan, dan jantung. Penentuan kadar kafein dalam minuman berenergi dapat dilakukan dengan mengembangkan metode spektrofotometri ultraviolet menjadi spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak tanpa harus dilakukan pemisahan terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akurasi dan presisi dari metode yang digunakan langsung pada sampel.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif. Penelitian dilakukan dengan membuat spektra serapan, baik spektra normal maupun spektra derivatifnya. Spektra derivatif pertama merupakan plot dA/dλ vs λ, spektra derivatif kedua merupakan plot d A/dλ vs λ, spektra derivatif ketiga merupakan plot d A/dλ vs λ. Penentuan kadar kafein didasarkan pada jarak vertikal antara puncak maksimum pada panjang gelombang 271 nm dan puncak minimum pada panjang gelombang 273 nm yang dinyatakan sebagai nilai amplitudo peak-to-peak

2 2

3 3

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai recovery kafein berada pada rentang 96,24 – 107,12 % dan nilai CV sebesar 0,46 %. Dapat disimpulkan bahwa penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X” secara spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak memiliki akurasi dan presisi yang baik.

Kata kunci : kafein, minuman berenergi, spektrofotometri derivatif, peak-to-peak


(11)

ABSTRACT

Caffeine is one of the active subtance in energy drink that stimulate central nervous system, respiratory, and heart. Determination of caffeine conssentration in energy drink can be made by enlarge ultraviolet spectrophotometry method to derivative spectrophotometry peak-to-peak method application without extraction. The aim of this research is ti find out the accuracy and precision of the method used in sample.

This research is descriptive non experimental research. The research has been conduct by creating spectra absorbance, both normal absorbance spectra and derivative spectra. First derivative spectra is plot dA/dλ vs λ, second derivative spectra is plot d A/dλ vs λ, and third derivative spectra is plot d3A/dλ vs λ. Determination of caffeine concentration is based on the measurement of vertical distance between maximum peak at 271 nm and minimum peak at 273 nm which stated as peak-to-peak amplitude value.

2 2 3

The result of this research show that the caffeine recovery value is on 96,24 – 107,12 % and CV value is on 0,46 %. It can be concluded that determination of caffeine concentration using derivative spectrophotometry peak-to-peak method application has ood accuracy and precision.

Keywords : cafeine, energy drink, derivative spectrophotometry, peak-to-peak


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

KATA PENGANTAR... v

PENYATAAN KEASLIAN KARYA... vii

INTISARI………... viii

ABSTRACT………... ix

DAFTAR ISI………...… x

DAFTAR TABEL………... xiii

DAFTAR GAMBAR………... xiv

DAFTAR LAMPIRAN………...………...…. xvi

BAB I. PENGANTAR………...……. 1

A. Latar Belakang………...…… 1

1. Permasalahan ………...…. 2

2. Keaslian Penelitian ………...…… 3

3. Manfaat Penelitian ………...… 3

B. Tujuan Penelitian ………...….. 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ………...…… 5

A. Kafein ….………...…... 5


(13)

B. Minuman Berenergi ………...…... 6

C. Spektrofotometri Ultraviolet ………... 7

D. Spektrofotometri Derivatif ………...… 14

E. Validasi Metode Analisis dan Kategori Metode Analisis ………... 16

F. Keterangan Empiris ………...… 20

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………...….. 21

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………...…… 21

B. Definisi Operasional ………... 21

C. Bahan-bahan Penelitian ………...…. 21

D. Alat-alat penelitian ………...…… 22

E. Tata Cara Penelitian ………...…. 22

1. Pembuatan larutan HCl 0,1N ... 22

2. Pembuatan spektra tiap-tiap senyawa ... 22

3. Penentuan panjang gelombang peak to peak ... 23

4. Pembuatan kurva baku ... 23

5. Penetapan kadar kafein ... 23

6. Pembuatan larutan kafein baku yang akan ditambahkan pada sampel …... 24

7. Validasi Metode Analisis ………...…….. 24

F. Analisis Hasil ... 25

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 26

A. Pengambilan Sampel ... 26


(14)

B. Analisis Organoleptis ………...…… 27

C. Pembuatan Larutan Baku Kafein ………...….. 27

D. Pengamatan Spektra Kafein ………...……… 28

E. Pembuatan Larutan Sampel dan Pembacaan Serapan Sampel ………...……... 30

F. Penentuan Panjang Gelombang Peak-to-Peak ………...…... 32

G. Pembuatan Kurva Baku Kafein ………....….. 35

H. Penetapan Kadar Kafein dalam Minuman Berenergi Merek “X” ………...…. 36

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………...… 39

A. Kesimpulan ………...… 39

B. Saran ……….……... 39

DAFTAR PUSTAKA ……….…...…. 40

LAMPIRAN ……….……... 42

BIOGRAFI PENULIS... 59


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Parameter validasi yang dipersyaratkan untuk validasi metode …... 19

Tabel II. Kurva baku kafein ………...… 36

Tabel III. Data kafein terukur dalam sampel minuman berenergi merek “X”... 37 Tabel IV. Data kafein terukur pada sampel minuman berenergi yang telah

ditambah larutan kafein baku ………...…… 38 Tabel V. Data perhitungan recovery kafein dalam sampel minuman

Berenergi ………... 38


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Rumus bangun kafein ... 5

Gambar 2. Struktur taurin dan kafein sebagai zat aktif yang terkandung dalam minuman berenergi ... 7

Gambar 3. Tingkat energi elektron molekul ………….…………...……… 8

Gambar 4. Bagan spektrofotometer berkas ganda ………...….. 12

Gambar 5. Penurunan spektrum basal menjadi spektra derivatif satu sampai empat………...……. 15

Gambar 6. Metode analisis kuantitatif spektra derivatif ………..………...….. 15

Gambar 7. Reaksi antara kafein dengan HCl ... 28

Gambar 8. Gugus kromofor kafein... 29

Gambar 9. Spektra serapan normal kafein ……… ………...…. 29

Gambar 10. Spektra serapan normal sampel minuman berenergi merek “X” ………...…. 31

Gambar 11. Struktur niasinamida dan piridoksin ……… 31

Gambar 12. Spektra serapan normal kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X” ………... 32

Gambar 13. Spektra derivat pertama kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X” ... 33

Gambar 14. Spektra derivat kedua kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X”... 34


(17)

Gambar 15. Spektra derivat ketiga kafein dengan sampel minuman

berenergi merek “X” ... 35 Gambar 16. Minuman berenergi merek “X” ... 44


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sertifikat analisis kafein ………...………….. 42

Lampiran 2. Data sampel minuman berenergi ………...……….. 43

Lampiran 3. Data penimbangan kafein baku ………...…… 44

Lampiran 4. Spektra sampel minuman berenergi merek “X” ... 45

Lampiran 5. Contoh Perhitungan Konsentrasi Larutan Baku Kafein ………...… 46

Lampiran 6. Spektra kafein ………...… 47

Lampiran 7. Spektra derivatif kafein dengan sampel ( ∆λ 1 nm) ... 48

Lampiran 8. Spektra derivatif kafein dengan sampel ( ∆λ 2 nm) ... 50

Lampiran 9. Contoh Perhitungan amplitudo peak-to-peak (d3A/dλ3) …………... 52

Lampiran 10. Perhitungan kadar terukur kafein dalam sampel ………...…... 54

Lampiran 11. Perhitungan Recovery, CV kadar terukur kafein……..………...…..56


(19)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Konsumsi minuman energi menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat sejak tahun 1997. Banyak orang memilih untuk mengembalikan energi yang hilang selama aktifitasnya dengan minuman berenergi. Bahkan tidak sedikit orang yang mengkonsumsinya setiap hari.

Beberapa minuman energi mengandung kafein. Berdasarkan fungsinya dalam metabolisme, kafein lebih cocok bertindak sebagai stimulan daripada sumber energi (Anonim, 2006a).

Minuman berenergi yang beredar di Indonesia termasuk dalam golongan suplemen makanan dengan ijin edar SD (Suplemen yang diproduksi dalam negeri). Namun, sebelum ada Surat Keputusan Kepala Balai POM tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, minuman berenergi memiliki ijin edar MD (Makanan yang diproduksi dalam negeri).

Menurut Balai POM, minuman berenergi yang ada di Indonesia mengandung kafein sejumlah 50 mg per botol dan hanya diperbolehkan untuk mengkonsumsi sebanyak tiga botol per hari (Marlinda, 2001).

Saat ini, banyak metode analisis telah dikembangkan untuk menetapkan kadar kafein. Pada penetapan kadar kafein dalam minuman, berbagai macam metode analisis seperti titrimetri, spektrofotometri dan KCKT telah banyak dilaporkan. Namun masih banyak kekurangan pada metode analisis tersebut. Pada titrimetri penetapan kadar harus melalui isolasi terlebih dahulu. Keberadaan


(20)

senyawa lain akan mengganggu hasil titrasi sehingga hasil yang diperoleh tidak tepat. Metode KCKT merupakan metode yang sensitif dan dapat digunakan untuk penetapan kadar senyawa yang berupa campuran secara bersamaan. Metode ini membutuhkan biaya operasional yang cukup mahal untuk mengoperasikannya. Metode spektrofotometri merupakan metode yang cepat dan sederhana untuk menetapkan kadar kafein, namun metode ini tidak dapat digunakan untuk sampel yang kompleks sehingga harus dilakukan isolasi terlebih dahulu.

Saat ini spektrofotometri UV berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga dapat digunakan untuk menetapkan kadar campuran, salah satunya melalui derivatisasi. Karena adanya kebutuhan akan analisis yang cepat dan selektif, spektrofotometri derivatif dijadikan metode pilihan dalam penentuan kadar kafein. Hal ini dikarenakan metode ini dapat menetapkan kadar kafein dengan cepat dan selektif tanpa adanya isolasi terlebih dahulu. Metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak didasarkan pada pengukuran pada daerah panjang gelombang yang mempunyai nilai ekstremum ( amplitudo peak-to-peak ) pada derivat kafein baku dan sampel.


(21)

3

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, timbul masalah untuk diteliti, yaitu apakah metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak yang digunakan dalam penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X” memiliki akurasi dan presisi yang baik?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian terhadap penetapan kadar kafein secara spektrofotometri ultraviolet telah banyak dilakukan. Pada penelitian ini digunakan metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak sebagai metode pengembangan spektrofotometri ultraviolet dalam menetapkan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X”. Penelitian dengan menggunakan aplikasi peak-to-peak yang pernah dilakukan diantaranya adalah penetapan kadar kafein dalam minuman (Alpdogan et al, 2000), penetapan kadar asam askorbat dalam sayuran (Aydogmus and Cetin, 2001), penetapan kadar kafein dalam campuran parasetamol, kafein dan salisilamida (Friamita, 2006).

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah khususnya terhadap perkembangan metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak, khususnya terhadap kafein dalam minuman berenergi merek “X”.


(22)

b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan metode penetapan kadar yang lebih cepat dan praktis untuk menetapkan kadar kafein dalam minuman berenergi merek”X” karena tidak memerlukan pemisahan terlebih dahulu.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi dan presisi dari metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak pada penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X”.


(23)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Kafein

N N

N N H3C

O

O

CH3

CH3

(1,3,7 Trimetil Xantine; C8H10N4O2; BM 194,9)

Gambar 1. Rumus bangun kafein

Kafein berbentuk anhidrat atau hidrat yang mengandung satu molekul air. Kafein mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0% C8H10N4O2, dihitung terhadap zat anhidrat ( Anonim, 1995 ).

Pemerian. Serbuk putih atau bentuk jarum mengkilat putih, biasanya menggumpal; tidak berbau; rasa pahit. Titik lebur antara 235ºC - 237ºC ( Anonim, 1995 ). Kafein memiliki kelarutan 1:60 dengan air, 1:1 dengan air panas, 1:130 dengan etanol, 1:7 dengan kloroform. Sedikit larut dalam eter namun mudah larut dalam larutan asam encer. Dalam larutan asam encer, kafein memberikan serapan absorbsi maksimum pada 273 nm ( = 504 )( Clarke, 1986 ). sama artinya dengan serapan jenis (A1% 1cm) di dalam Farmakope Indonesia IV yaitu serapan dari larutan 1% zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm.

1 1

A A11

Kafein adalah zat kimia yang tergolong dalam jenis alkaloid. Selain pada kopi, kafein banyak ditemukan dalam minuman, teh, cola, coklat,


(24)

minuman berenergi, maupun obat-obatan. Kandungan kafein pada secangkir kopi sekitar 80-125 mg, sedangkan satu kaleng softdrink cola mengandung sekitar 23-37 mg, teh mengandung sekitar 40 mg, dan satu ons coklat mengandung sekitar 20 mg kafein ( Anonim, 2006b ).

Sebenarnya, jika dikonsumsi di bawah ambang batas, kafein tidak akan menimbulkan masalah. Akan tetapi jika dikonsumsi di atas 500 mg ( dalam satu kali minum ), akan mengakibatkan keracunan ( Marlinda, 2001 ).

B. Minuman Energi

Minuman berenergi termasuk dalam golongan food supplement atau makanan tambahan. Produk ini dimasukkan ke dalam kelompok “ produk berbatasan “ antara obat dan makanan / minuman. Meskipun termasuk makanan yang dijual bebas, produk minuman berenergi ini berisi zat-zat yang biasa terdapat dalam obat-obatan (Rafira, 2005).

Kandungan zat aktif yang umum dijumpai pada produk minuman berenergi ini antara lain kafein, taurin, vitamin B, guarana, ginseng dan vitamin C ( Anonim, 2006a).

Kelebihan produk minuman berenergi adalah manfaatnya yang cepat terasa karena mengandung zat pemanis buatan (sorbitol, aspartam, siklamat) yang mudah diserap tubuh. Sumber lain yang juga mempengaruhi kecepatan reaksi adalah kandungan kafein dan taurin di dalamnya (Marlinda, 2001).

Kombinasi taurin dan kafein dalam minuman berenergi akan merangsang sistem saraf pusat untuk memicu reaksi katabolisme di otot. Mekanismenya


(25)

7

melalui pengaktifan kerja saraf yang menghasilkan percepatan jantung untuk memompa darah dan oksigen, sembari menstimulasi peningkatan kadar gula darah (Anonim, 2006a).

HO S

O

O C H2

C H2

NH2

N N

N N H3C

O

O

CH3

CH3

Gambar 2. Struktur taurin dan kafein sebagai zat aktif yang terkandung dalam minuman berenergi

C. Spektrofotometri Ultraviolet

Serapan radiasi digunakan dalam analisis spektrofotometri UV-Vis dan infra merah. Spektrofotometri UV adalah anggota teknis analisis spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

Prinsip kerja spektrofotometri berdasarkan atas interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan materi (atom, ion, atau molekul). Interaksi yang menyebabkan adanya perpindahan energi dari sinar radiasi ke materi disebut absorbsi (Pecsok et al, 1976). Bila cahaya jatuh pada senyawa, maka sebagian dari cahaya diserap oleh molekul-molekul sesuai dengan struktur dari molekul. Setiap senyawa mempunyai tingkatan energi yang spesifik (Mulja dan Suharman, 1995).


(26)

Transisi elektronik senyawa organik yang dapat terjadi yaitu transisi dari orbital σ→σ*, π→π*, n→σ*, n→π* yang ditunjukkan oleh gambar berikut:

Gambar 3. Tingkat energi elektron molekul (Skoog et al, 1998)

1. Transisi elektron n→π*

Transisi jenis ini meliputi transisi elektron-elektron heteroatom tak berikatan ke orbital antibonding π* seperti Nitrogen, Sulfur, Oksigen, dan Halogen. Serapan ini terjadi pada panjang gelombang yang panjang dan intensitasnya rendah (Sastrohamidjojo, 2001). Hal ini disebabkan karena probabilitas terjadinya transisi energi yang diserap (P) kecil. Nilai harga P adalah 0,1 sampai 1 yang menunjukkan kekuatan pita absorbansi akibat transisi elektronik yang diperbolehkan. Sedangkan untuk harga P < 0,01 merupakan transisi yang terlarang (forbidden transition) ( Mulja dan Suharman, 1995).

2. Transisi elektron n→σ*

Senyawa-senyawa jenuh yang mengandung heteroatom seperti Nitrogen, Sulfur, Oksigen, dan Halogen memiliki elektron-elektron tak berikatan ( elektron n atau elektron nonbonding) disamping elektron σ. Elektron nonbonding ini dapat dipromosikan pada panjang gelombang yang pendek, ke keadaan antibonding σ*. Transisi ini terjadi pada panjang gelombang di bawah 200 nm (Christian, 2004).


(27)

9

3. Transisi elektron π→π*

Transisi ini terjadi pada elektron di orbital π, yaitu pada ikatan rangkap dua dan rangkap tiga. Eksitasi ini paling mudah terbaca dan bertanggung jawab terhadap spektra elektronik dalam daerah UV dan tampak (Christian, 2004). 4. Transisi elektron σ→σ*

Transisi ini terjadi pada elektron yang mempunyai ikatan tunggal kovalen dan menduduki orbital σ. Tingkat energi yang dibutuhkan untuk eksitasi ini sangat besar (Connors, 1982) dan absorpsi elektron σ untuk bertransisi yaitu pada panjang gelombang sekitar 150 nm yang jauh dari UV (Sastrohamidjojo, 2001).

Suatu molekul dapat menyerap radiasi elektromagnetik bila mempunyai kromofor yakni gugus penyerap dalam molekul. Molekul yang mengandung kromofor disebut kromogen. Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom yaitu gugus fungsional yang tidak menyerap radiasi namun bila terikat bersama kromofor dapat meningkatkan penyerapan oleh kromofor atau merubah panjang gelombang serapan dan intensitas ketika bergabung dengan kromofor. Auksokrom sedikitnya mempunyai sepasang elektron bebas yang dapat berinteraksi dengan elektron π pada kromofor (n- π konjugasi), misal –OCH3, -Cl,

-OH dan –NH3 (Christian, 2004).

Pergeseran serapan ada 4 macam yaitu pergeseran batokromik, pergeseran hipsokromik, hiperkromik, dan hipokromik. Pergeseran batokromik adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih panjang disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut. Pergeseran hipsokromik adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih pendek disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut,


(28)

misalnya dari pelarut nonpolar ke pelarut polar (Sastrohamidjojo, 2001). Efek hiperkromik adalah kenaikan intensitas serapan. Efek hipokromik adalah penurunan intensitas serapan (Connors, 1982).

Spektrofotometri dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif spektroskopik berdasarkan hubungan antara jumlah cahaya yang diabsorpsi dan jumlah molekul pengabsorpsi (konsentrasi senyawa pengabsorpsi). Banyaknya cahaya yang diserap pada frekuensi atau panjang gelombang tertentu sesuai dengan jumlah molekul yang ada. Hal ini menentukan banyaknya intensitas absorpsi yang merupakan dasar analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometri (Willard et al, 1988). Intensitas serapan dinyatakan sebagai transmitan (T) didefinisikan sebagai berikut:

T = Io

I

= 10-ε.b.c………. (1)

dimana Io adalah intensitas dari energi pancaran yang mengenai cuplikan, I adalah intensitas pancaran yang keluar dari cuplikan, c adalah konsentrasi, ε adalah absorptivitas molar dan b adalah panjang sel.

Rumusan tersebut disempurnakan dalam Hukum Lambert-Beer yang menyatakan hubungan antara transmisi dengan tebal cuplikan dan konsentrasi bahan penyerap. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai:

A = log T

1

= ε.c.b = a.b.c ……….. (2)

Keterangan:

T = persen transmitan Io = intensitas radiasi yang datang I = intensitas radiasi yang diteruskan

ε = daya serap molar, absorptivitas molar, (L. mol-1. cm-1) a = daya serap, absorptivitas (L. g-1. cm-1)


(29)

11

c = konsentrasi larutan (mol. L-1) (g. L-1) b = tebal kuvet (cm)

A = serapan ( Silverstein, 1981).

Harga ε didefinisikan sebagai daya serap molar atau koefisien extingsi molar. Harga ε adalah karakteristik untuk molekul atau ion penyerap dalam pelarut tertentu, pada panjang gelombang tertentu dan tidak bergantung pada konsentrasi dan panjang gelombang lintasan radiasi (Sastrohamidjojo, 2001).

Dalam produk farmasi, konsentrasi dan jumlah sampel biasa ditunjukkan dalam gram atau milligram daripada dalam satuan mol. Bila diketahui konsentrasi (c) larutan dalam gram per liter (g/L), maka persamaan Lambert-Beer dapat ditulis menjadi

A = A(1%,1cm).b.c ……… (3) A adalah absorbansi; A(1%,1cm) adalah absorbansi larutan konsentrasi 1% b/v dalam kuvet setebal 1 cm; b adalah tebal kuvet dalm cm (biasanya 1 cm); dan c adalah konsentrasi sampel dalam g/100ml (Watson, 1999).

Harga ε bergantung pada luas penampang senyawa yang terkena radiasi (A) dan probabilitas terjadinya transisi energi yang diserap (P). Hubungan ε dan variabel tersebut adalah sebagai berikut:

ε = 8,7 x 1019 P A………….……… (5) Secara umum dapat dikatakan bahwa harga ε sangat mempengaruhi puncak spektrum suatu zat. Rincian harga ε terhadap puncak spektrum adalah sebagai berikut: 1-10 : sangat lemah; 10-102 : lemah; 102-103 : sedang; 103-104 : kuat; 104 -105 : sangat kuat (Mulja dan Suharman, 1995).


(30)

Dalam penurunan hukum ini diasumsikan bahwa radiasi yang masuk adalah monokromatik, spesies penyerap tidak tergantung satu terhadap yang lainnya dalam proses penyerapan, absorpsi terjadi dalam volume yang mempunyai luas penampang yang sama, degradasi energi cepat (tidak terjadi flouresensi), indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi (tidak berlaku pada konsentrasi yang tinggi) (Pecsok et al, 1976).

Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut spektrofotometer. Bagian-bagian penting dari spektrofotometer meliputi :

Gambar 4. Bagan spektrofotometer berkas ganda (Skoog et al, 1998)

1. Sumber radiasi

Sumber radiasi ultraviolet yang kebanyakan digunakan adalah lampu hidrogen dan lampu deuterium. Lampu tersebut terdiri dari sepasang elektroda yang terselubung dalam tabung gelas dan diisi dengan gas hidrogen atau deuterium pada tekanan yang rendah. Bila tekanan yang tinggi dikenakan pada elektroda-elektroda, maka akan dihasilkan elektron-elektron yang mengeksitasi elektron-elektron lain dalam molekul gas ke tingkatan tenaga yang tinggi. Bila elektron-elektron kembali ke tingkat dasar mereka melepaskan radiasi yang kontinyu dalam daerah sekitar 180 dan 350 nm (Sastrohamidjojo, 2001).


(31)

13

2. Monokromator

Sumber radiasi yang digunakan biasanya memancarkan radiasi kontinyu pada daerah panjang gelombang yang lebar. Dalam spektrofotometer, radiasi yang polikromatis ini harus diubah menjadi radiasi monokromatis (Sastrohamidjojo, 2001).

Monokromator berfungsi untuk mendapatkan radiasi monokromatis dari sumber radiasi yang memancarkan radiasi polikromatis (Mulja dan Suharman, 1995). Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang menguraikan radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif atau panjang gelombang-panjang gelombang tunggalnya dan memisahkan gelombang-panjang gelombang tersebut menjadi jalur-jalur yang sangat sempit (Sastrohamidjojo, 2001).

3. Tempat cuplikan

Cuplikan yang akan dipelajari pada daerah ultraviolet yang biasanya berupa gas atau larutan ditempatkan pada sel atau kuvet. Untuk daerah ultraviolet biasanya digunakan kuarsa atau sel dari silika yang dilebur. Sel untuk larutan mempunyai panjang lintasan tertentu dari 1 sampai 10 cm (Sastrohamidjojo, 2001).

4. Detektor

Fungsi detektor dalam spektrofotometri adalah mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal elektronik (Mulja dan Suharman, 1995). Setiap detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah tenaga tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif. Detektor yang digunakan dalam ultraviolet disebut detektor fotolistrik (Sastrohamidjojo, 2001).


(32)

5. Alat pencatat

Fungsi alat pencatat adalah mengubah sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor menjadi bentuk yang dapat diinterpretasikan (Pecsok et al, 1976).

D. Spektrofotometri Derivatif

Spektrofotometri derivatif merupakan metode manipulasi terhadap spektra pada spektrofotometri ultraviolet dan tampak (Connors, 1982). Pada spektroskopi derivatif, derivaf pertama atau lebih dari absorbansi ditransformasikan sebagai fungsi panjang gelombang lawan panjang gelombang (dA/dλ vs λ). Pada spektra derivatif, kemampuan mendeteksi dan mengukur spektra minor dapat meningkat. Peningkatan karakteristik spektra ini dapat digunakan untuk membedakan antara dua spektra yang mirip. Lebih jauh, metode ini dapat digunakan pada analisis kuantitatif untuk mengukur konsentrasi analit. Dengan derivatisasi yang dibuat lebih tinggi maka spektrogram akan bertambah dengan sejumlah pemecahan puncak-puncak yang lebih terperinci dan puncak spektra yang melebar terpecah menjadi dua (Willard et.al, 1988).

Semua spektrum yang dihasilkan oleh semua spektrofotometer ultraviolet apapun dapat diturunkan spektra derivatifnya secara manual maupun otomatis. Analisis kuantitatif spektrum derivatif dilakukan dengan jalan menggambarkan selisih absorban (∆A) dua panjang gelombang (∆A = Aλ2-Aλ1) terhadap rata-rata

dua panjang gelombang tersebut yang berderet teratur, yaitu:

2 2 1 λ λ

λm= + ……… (6)


(33)

15

Gambar 5. Penurunan spektrum basal menjadi spektra derivatif satu sampai empat Keterangan : a = spektra normal, b = spektra derivatif satu, c = spektra derivatif dua, d =

spectra derivatif tiga, e = spektra derivatif empat (Mulja dan Suharman, 1995)

Kemungkinan metode analisis kuantitatif spektrofotometri ada beberapa jenis, yaitu : a) aplikasi tangent, b) aplikasi peak-peak, c) aplikasi peak-zero

(a) (b) (c)

Gambar 6. Metode analisis kuantitatif spektra derivatif (Anonim, 2006c) Keterangan : a = aplikasi tangent, b = aplikasi peak-to-peak, c = aplikasi peak-zero

Analisis kuantitatif mengunakan aplikasi peak to peak didasarkan pada pengukuran daerah antara dua nilai ekstrem (amplitudo peak to peak) pada orde pertama, kedua, ketiga bahkan keempat dari spektra derivatif (Alpdogan et.al, 2000).


(34)

E. Validasi Metode dan Kategori Metode Analisis

Validasi metode analisis merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk membuktikan bahwa metode analisis tersebut secara taat asas memberikan hasil seperti yang diharapkan dengan kecermatan dan ketelitian yang memadai. Persoalan analisis era modern ini yaitu sangat kecilnya kadar senyawa yang dianalisis dan kompleksnya matrik sampel yang dianalisis (Mulja dan Suharman, 1995).

Parameter-parameter yang digunakan sebagai pedoman kesahihan metode analisis antara lain :

1. Spesifitas

Spesifitas merupakan kemampuan untuk menilai dengan pasti analit atau komponen yang mungkin diharapkan untuk disajikan, seperti ketidakmurnian, degradasi produk dan komponen matriks (Anonim, 2005).

2. Linieritas

Linieritas suatu prosedur analisis merupakan kemampuan untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung atau secara matematis, proporsional dengan konsentrasi analit di dalam sampel dengan pemberian rentang. Rentang adalah jarak antara level terbawah dan teratas dari metode analisis yang telah dipakai untuk mendapatkan presisi, linieritas dan akurasi yang bisa diterima (Anonim, 2005). Untuk maksud analisis kuantitatif yang dipakai sebagai parameter yaitu bermacam-macam kadar sebagai absis pada sistem koordinat Cartesian. Sedangkan sebagai ordinat dapat dipakai tanggap detektor yang


(35)

17

merupakan serapan radiasi elektromagnetik pada metode spektrofotometri UV-Vis (Mulja dan Suharman, 1995).

3. Akurasi

Akurasi dari suatu metode analisis merupakan kedekatan hasil pengukuran yang diperoleh dengan metode tersebut dengan nilai yang sebenarnya. Akurasi dari suatu metode analisis sebaiknya disajikan dalam rentang (Anonim, 2005).

% ery

cov Re

% x 100

diketahui kadar

kur kadar teru

= ……… (7)

Akurasi untuk bahan obat dengan kadar kecil biasanya disepakati 90-110%, akurasi untuk kadar obat yang lebih besar biasanya disepakati 95-105%, akurasi untuk bahan baku biasanya disepakati 98-102% sedangkan untuk bioanalisis rentang akurasi 80-120% masih bisa diterima (Mulja dan Hanwar, 2003).

4. Presisi

Presisi dari suatu metode analisis adalah derajat kesesuaian antara hasil pengukuran ketika metode tersebut diaplikasikan secara berulang-ulang pada sampel yang homogen. Presisi biasanya ditunjukkan dengan standar deviasi atau koefisien variasi dari sebuah seri pengukuran (Anonim, 2005).

Presisi dalam USP dibagi menjadi tiga macam yaitu :

a. repeatability adalah derajat keterulangan metode analisis jika analisis dilakukan di laboratorium yang sama pada hari yang sama dengan alat yang sama pula.


(36)

b. intermediateprecision adalah derajat keterulangan metode analisis jika analisis dilakukan pada laboratorium yang sama dengan hari yang berbeda, analisis yang berbeda dan atau alat yang berbeda.

c. reproducibility adalah derajat keterulangan metode analisis jika analisis dilakukan pada laboratorium yang berbeda (Anonim, 2005).

Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada kondisi analit yang diperiksa, konsentrasi sampel dan kondisi laboratorium. Pada kadar 1 % atau lebih, standar deviasi relatif antara laboratorium adalah sekitar 2,5 %, untuk satu per seribu adalah 5 %. Pada kadar satu per sejuta (ppm) Relatif Standar Deviasinya adalah 16 % dan pada part per billion (ppb) adalah 32 % (Harmita, 2004).

SD = 1 ) ( 1 2 _ 1 − −

= n x x n i ………. (8)

Persamaan no.(7) digunakan untuk menghitung nilai SD

CV = _ x100%

x SD

………. (9)

Nilai CV dapat dihitung menggunakan persamaan no.(9)

5. LOD (Limit of detection) dan LOQ (Limit of Quantitation)

LOD (limit of detection) adalah jumlah terkecil analit di dalam sampel yang masih dapat terdeteksi. LOD besarnya 2-3 kali respon blanko. LOQ (limit of Quantitation) adalah jumlah terkecil analit di dalam sampel yang masih dapat


(37)

19

ditetapkan dalam kondisi percobaan tertentu dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima. LOQ besarnya 10 kali dari respon blanko (Anonim, 2005).

Metode analisis dapat dibedakan menjadi empat kategori berdasarkan jenis analit:

a. Kategori I.

Mencakup metode-metode analisis kualitatif untuk menetapkan kadar komponen utama dari bahan obat atau zat aktif (termasuk pengawet) dalam sediaan farmasi.

b. Kategori II.

Mencakup metode-metode analisis kualitatif dan kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis impurities (cemaran) ataupun degradation compound

dalam sediaan farmasi. c. Kategori III.

Mencakup metode-metode analisis yang digunakan untuk menentukan karakteristik penampilan sediaan farmasi (misal : kecepatan disolusi dan kecepatan pelepasan obat).

d. Kategori IV (tes identifikasi)

Tabel I. Parameter validasi yang dipersyaratkan untuk validasi metode Kategori II

Parameter

validasi Kategori I Kuantitatif Kualitatif Kategori III Kategori IV

Akurasi Ya Ya * * Tidak

Presisi Ya Ya Tidak Ya Tidak

Spesifitas Ya Ya Ya * Ya

LOD Tidak Tidak Ya * Tidak

LOQ Tidak Ya Tidak * Tidak

Linearitas Ya Ya Tidak * Tidak

Rentang Ya Ya * * Tidak

* mungkin harus dipenuhi, tergantung dari jenis ujinya


(38)

F. Keterangan Empiris

Sampel minuman berenergi merek “X” mengandung berbagai macam bahan salah satunya kafein yang bermanfaat sebagai stimulan. Adanya kebutuhan akan analisis yang cepat dan selektif maka penetapan kadar kafein dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri derivatif. Pada penelitian ini analisis kandungan kafein dalam minuman berenergi merek “X” dilakukan dengan metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak tanpa dilakukan pemisahan terlebih dahulu.


(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental deskriptif karena tidak ada subyek uji yang dimanipulasi atau dikenai perlakuan, dan hanya bertujuan melihat fakta yang ada.

B. Definisi operasional

1. Spektrofotometri derivatif merupakan metode manipulatif terhadap spektra pada spektrofotometri ultraviolet dan tampak. Pada metode derivatif, plot absorban lawan panjang gelombang ditransformasikan menjadi plot d A/dn λn vs λ.

2. Kafein adalah zat kimia yang tergolong dalam jenis alkaloid.

3. Amplitudo merupakan laju perubahan serapan terhadap panjang gelombang (d A/dλ ), diturunkan dari hukum Lambert-Beer, memiliki hubungan yang linear terhadap konsentrasi.

n n

4. Pengukuran kafein dilakukan pada amplitudo peak-to-peak kafein.

C. Bahan-bahan penelitian

Bahan yang digunakan adalah kafein (Brataco Chemica) kualitas working standart ( no sertifikat analisis J1439 / 04 (04035) ), HCl pro analisis (E.Merck)

,minuman energi merek “X”, aquades.


(40)

D. Alat-alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer UV

Lambda 20 merc Perkin Elmer dengan kuvet Quartz. Spektrum derivatif ditetapkan dengan Matlab software program. Neraca analitik Scaltec d = 0,01/0,1 mg, alat-alat gelas.

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan larutan HCl 0,1N

Pipet sebanyak 9,8 ml HCl pro analisis kemudian tambahkan aquades sampai sampai volumenya 1000 ml.

2. Pengamatan spektra tiap-tiap senyawa

a. Pengamatan spektra kafein. Timbang seksama lebih kurang 10 mg kafein kemudian dilarutkan dalam HCl 0,1 N 50,0 ml. Larutan kemudian dibuat konsentrasi 2,0 ; 3,0 ; 4,0 mg% b/v dengan volume 10,0 ml. Tiap-tiap konsentrasi dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 220 – 300 nm, kemudian dibuat spektra serapan normal (panjang gelombang vs absorbansi).

b. Pengamatan spektra sampel. Pipet sebanyak 1,0 ml sampel kemudian tambahkan aquades sampai 10,0 ml. Dari larutan ini, pipet sebanyak 4,0 ml kemudian tambahkan aquades sampai volumenya 10,0 ml dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 220 – 300 nm, kemudian dibuat spektra serapan normal ( panjang gelobang vs absorbansi ).


(41)

23

3.Penentuan panjang gelombangpeak to peak

Spektra serapan normal sampel dan salah satu konsentrasi dari kafein dibuat spektra derivat pertama, derivat kedua, dan derivat ketiga dengan menggambarkan selisih absorban dua panjang gelombang (∆A= Aλ2-Aλ1)

terhadap harga rata-rata dua panjang gelombang tersebut yang teratur berderet. Dari spektra derivat tersebut

4.Pembuatan kurva baku

a. Pembuatan larutan baku kafein. Timbang seksama lebih kurang 20 mg kafein dan dilarutkan dalam HCl 0,1 N hingga 100,0 ml. Dari larutan ini kemudian dibuat konsentrasi 2,0 ; 3,0 ; 4,0 ; 5,0 ; 6,0 mg% b/v dengan volume larutan 10,0 ml.

b. Pembuatan kurva baku kafein. Kurva baku dibuat dengan mengukur seri konsentrasi larutan baku kafein pada panjang gelombang peak to peak. Nilai d3A/dλ3 spektrum dan kadar dibuat dengan persamaan linier sehingga diperoleh persamaan y = bx + a (y = nilai d3A/dλ3 ; x = kadar senyawa ; b = slope persamaan ; a = derau).

5. Penetapan kadar kafein sampel

a. Pembuatan larutan sampel. Pipet sebanyak 1,0 ml sampel kemudian tambahkan aquades sampai 10,0 ml (larutan a). Dari larutan a diambil sebanyak 2,0 ml kemudian tambahkan aquades sampai 10,0 ml.

b. Penetapan kadar kafein. Sampel dibaca pada panjang gelombang peak to peak kafein. Nilai d3A/dλ3 spektrum sampel dimasukkan ke dalam persamaan


(42)

kurva baku kafein. Kurva baku y = bx + c, dimana y = nilai d3A/dλ3, b adalah koefisien regresi, x adalah konsentrasi (mg% b/v) dan c adalah konstanta.

6. Pembuatan larutan kafein baku yang akan ditambahkan pada sampel

Timbang seksama lebih kurang 10 mg kafein baku. Kemudian larutkan dalam HCl 0,1 N sampai volumenya 100,0 ml. Sehingga didapatkan larutan kafein baku konsentrasi 0,1 mg/ml.

7. Validasi Metode Analisis.

a. Recovery. Pipet sebanyak 1,0 ml sampel kemudian tambahkan aquades sampai 10,0 ml (larutan a). Dari larutan a diambil sebanyak 2,0 ml kemudian tambahkan 1,0 ml larutan kafein baku 0,1 mg/ml. Tambahkan aquades sampai 10,0 ml. Larutan ini kemudian dibaca pada panjang gelombang peak to peak

kafein. Nilai d3A/dλ3 spektrum sampel dimasukkan ke dalam persamaan kurva baku kafein. Konsentrasi larutan sampel yang telah ditambahkan kafein baku 0,1 mg/ml yang diperoleh kemudian dikurangi dengan konsentrasi kafein dalam sampel. Hasil pengurangan ini dianggap sebagai kadar kafein terukur, dan larutan kafein baku 0,1 mg/ml yang ditambahkan pada sampel dianggap sebagai kadar kafein terhitung. Sehingga recovery dapat dihitung dengan

% ery

cov Re

% x 100

diketahui kadar

kur kadar teru

=

b. Presisi. Konsentrasi kafein terukur setiap replikasi pada perlakuan triplo dicari rata-rata. Diperoleh rata-rata konsentrasi kafein 6 kali replikasi. Kemudian ditentukan nilai Coefficient of Variation (CV) yang dihitung dengan cara:

CV = _ x100%

x SD


(43)

25

F. Analisis Hasil

Validitas metode yang digunakan dalam penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi secara spektrofotometri derivatif aplikasi metode peak to peak dapat ditentukan berdasarkan parameter berikut :

1. Akurasi

Akurasi metode analisis dinyatakan dengan recovery atau perolehan kembali yang dihitung dari kadar terukur dibandingkan dengan kadar diketahui dikalikan 100%.

% ery

cov Re

% x 100

diketahui kadar

kur kadar teru

=

Jika metode tersebut memberikan nilai recovery berada pada rentang 90 – 110 % untuk obat dengan kadar kecil maka metode ini dinilai memiliki akurasi yang baik (Mulya dan Hanwar,2003).

2. Presisi

Presisi diukur dengan Coefficient of Variation (CV) yang dihitung dengan cara sebagai berikut:

CV = _ x100%

x SD

Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada kondisi analit yang diperiksa, konsentrasi sampel dan kondisi laboratorium (Harmita, 2004).


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengambilan Sampel

Sampel merupakan minuman berenergi yang dikemas dalam gelas plastik berwarna putih opaque dengan ijin edar MD (nomor registrasi makanan yang diproduksi industri dalam negeri). Sampel ini mencantumkan kafein pada komposisi di dalam labelnya. Sejauh pengamatan penulis terdapat 13 merek minuman berenergi yang mencantumkan kafein di dalam labelnya.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini hanya 1 merek saja dan tidak mengikuti aturan pengambilan sampel yaitu pengambilan sampel sebanyak 10% dari populasi untuk populasi besar dan pengambilan sampel sebanyak 20% dari populasi untuk populasi kecil. Hal ini disebabkan karena komposisi setiap sampel berbeda. Sehingga memberikan spektra sampel yang berbeda dan panjang gelombang peak-to-peak yang berbeda. Sampel dipilih yang memiliki nomor batch sama karena dalam satu nomor batch, produk minuman berenergi memperoleh perlakuan yang sama saat proses pembuatan di pabrik dan menjamin homogenitas.

Sampel yang akan diteliti diwakili oleh 6 kemasan yaitu replikasi 6 kali. Hal ini disebabkan karena replikasi 6 kali merupakan syarat minimal untuk analisis kuantitatif. Tiap-tiap kemasan diberi perlakuan triplo yaitu pengambilan sampel dilakukan 3 kali. Tujuan pengambilan triplo ini adalah untuk mendapatkan hasil yang benar-benar mencerminkan populasi.


(45)

27

B. Analisis Organoleptis

Analisis organoleptis meliputi pemeriksaan sifat fisik minuman berenergi yaitu warna, bau, dan rasa. Di dalam minuman berenergi merek “X” memiliki komposisi antara lain taurin 1000 mg, kafein 50 mg, vitamin B3 1,5 mg, vitamin B5 1mg, vitamin B6 1,3 mg, gula, air, asam sitrat, perisa tropical fruit, natrium siklamat 175 mg, asesulfam-K, kalium sorbat, natrium sitrat, kuning FCF CI 15985.

Hasil analisis organoleptis sampel minuman berenergi merek “X” yaitu warna kuning jingga, hal ini disebabkan karena adanya bahan pewarna kuning FCF CI 15985. Adanya bahan tambahan yaitu perisa tropical fruit, maka bau dari sampel minuman berenergi merek “X” adalah wangi buah. Rasa dari sampel minuman berenergi merek “X” adalah manis asam, karena adanya gula, natrium siklamat, asam sitrat dan asesulfam-K di dalam kandungannya.

C. Pembuatan Larutan Baku Kafein

Pada penelitian digunakan larutan HCl 0,1 N sebagai pelarut dari kafein baku. Hal ini disebabkan karena pelarut yang digunakan dalam sampel adalah air. Sedangkan kafein sukar larut dalam air, sehingga dapat dipastikan kafein dalam sampel minuman berenergi dalam bentuk garam kafein. Untuk menyamakan kondisi dalam penetapan kadar baik kafein baku dan kafein dalam sampel, maka kafein baku yang bersifat basa diubah dulu menjadi bentuk garam dengan bantuan larutan HCl 0,1 N. Reaksi yang terjadi antara kafein dengan HCl yaitu:


(46)

N N

N N H3C

O

O

C H3

C H3

+ H C l

N N

N N H3C

O

O

C H3

C H3

H

+ C l

-Kafein (sukar larut air) garam kafein (larut air)

Gambar 7. Reaksi antara kafein dengan HCl

Pada gambar diatas terlihat bahwa kafein yang sukar larut air bereaksi dengan HCl membentuk garam kafein yang mudah larut dalam air.

Untuk mengamati spektra serapan kafein, maka dibuat tiga seri konsentrasi yaitu 2,0; 3,0; dan 4,0 mg%. Kafein yang digunakan dalam pembuatan larutan baku ini berkualitas working standart sehingga ketiga spektrum serapan kafein dapat digunakan sebagai data sekunder dalam analisis kualitatif.

D. Pengamatan Spektra Kafein

Pada pembacaan serapan kafein digunakan rentang panjang gelombang 220-300 nm karena pada rentang panjang tersebut terdapat spektra serapan dan panjang gelombang serapan maksimum (λmaks) dari kafein.

Senyawa yang akan ditetapkan kadarnya secara spektrofotometri ultraviolet harus memiliki gugus kromofor pada strukturnya agar dapat menyerap radiasi elektromagnet. Gugus kromofor yang dimiliki kafein terdapat ikatan rangkap yang mengandung ikatan π. Ikatan π ini apabila dikenai radiasi elektromagnet akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi yaitu orbital π*.


(47)

29

N N

N N H3C

O

O

C H3

C H3

= G ugus Krom ofor kafein

Gambar 8. Gugus kromofor kafein

Spektrum serapan dari kafein dapat dilihat pada gambar berikut.

0 0.5 1 1.5 2 2.5

210 230 250 270 290 310

panjang gelombang (nm)

absorbansi

Gambar 9. Spektra serapan normal kafein (λmaks = 272)

Keterangan : konsentrasi 2 mg% (——), 3 mg% (——), 4 mg% (——)

Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa ketiga spektrum kafein dengan pelarut HCl 0,1 N memiliki bentuk yang sama yaitu menurun sampai panjang gelombang 244,9 nm dan kemudian naik membentuk puncak pada panjang gelombang 272 nm setelah itu kembali turun. Puncak yang terbentuk pada spektra merupakan puncak dimana kafein memberikan serapan maksimum. Panjang gelombang serapan maksimum ketiga spektra terletak pada λ yang sama yaitu 272 nm. Panjang gelombang serapan maksimum kafein dalam pelarut asam encer menurut literatur yaitu 273 nm (Clarke, 1986). Terdapat perbedaan sebesar


(48)

1 nm antara spektra absorbsi maksimum kafein hasil pengamatan dan literatur namun menurut Farmakope Indonesia IV toleransi yang diperbolehkan maksimum 2 nm. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa senyawa yang diamati benar-benar kafein.

E. Pembuatan Larutan Sampel dan Pembacaan Serapan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah minuman berenergi yang sudah dalam bentuk larutan maka dalam pembuatan larutan sampel hanya dilakukan pengenceran. Hal ini dilakukan agar kafein dapat memberikan serapan yang tidak terlalu tinggi sehingga dapat dianalisis. Pengenceran didasarkan pada optimasi pengenceran sehingga pada pengenceran 50 kali, kafein di dalam sampel akan memberikan serapan sebesar 1,9. Serapan yang digunakan memang besar, namun data ini akan diolah dengan derivatisasi sehingga amplitudo kafein hasil derivatisasi tidak terlalu rendah.

Pembacaan serapan sampel digunakan rentang panjang gelombang 220-300 nm karena pada rentang panjang gelombang tersebut terdapat serapan dari kafein. Spektrum serapan sampel dapat dilihat pada gambar berikut.

0 0,5 1 1,5 2 2,5

210 230 250 270 290 310

panjang gelom bang (nm )

absorbansi

Gambar 10. Spektra serapan normal sampel minuman berenergi merek “X” (λmaks = 265,1 nm)


(49)

31

Pada gambar terlihat bahwa spektra larutan sampel memiliki bentuk yang menurun landai membentuk lembah sampai panjang gelombang 241,7 nm kemudian naik tidak terlalu tinggi membentuk puncak lalu turun agak curam. Puncak yang terbentuk memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 265,1 nm. Terdapat perbedaan antara spektra kafein baku dengan sampel, hal ini disebabkan karena di dalam sampel terdapat banyak bahan yang memberikan serapan pada rentang panjang gelombang yang sama antara lain vitamin B3 (niasinamid) yang mempunyai serapan maksimal pada panjang gelombang 261 nm dan vitamin B6 (piridoksin) yang mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 291 nm.

= Gugus Kromofor kafein = auksokrom

N C 3

OH

H2C

C H2

OH HO

N

C O

NH2

H

niasinamida piridoksin

Gambar 11. Struktur niasinamida dan piridoksin

Sedangkan, untuk bahan-bahan lain seperti taurin, vitamin B5 ( Asam pantotenat), asam sitrat, natrium silkamat, asesulfam-K, kalium sorbat dan natrium sitrat tidak memberikan serapan pada rentang panjang gelombang 220-300 nm karena bahan-bahan tersebut tidak memiliki kromofor yang bertanggung jawab terhadap penyerapan sinar ultraviolet.


(50)

-0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5

220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320

panjang gelombang

absorbansi

Gambar 12. Spektra serapan normal kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X”. Keterangan : kafein (——), sampel (——)

Pada gambar 12, terlihat bahwa spektra kafein baku berbeda dengan spektra sampel. Spektra kafein baku lembah yang terbentuk lebih curam daripada spektra sampel. Dan puncak yang terbentuk pada spektra kafein dan spektra sampel berbeda. Terjadi pergeseran puncak spektra, dimana puncak spektra sampel berada pada panjang gelombang yang lebih pendek daripada spektra kafein. Hal ini disebabkan karena di dalam sampel terdapat banyak bahan tambahan yang memberikan serapan pada rentang 220-300 nm.

F. Penentuan Panjang Gelombang Peak-to-Peak

Spektra serapan normal larutan baku kafein dan sampel minuman berenergi dibuat spektra derivat pertama, kedua dan ketiga. Spektra derivat pertama dibuat dengan memplotkan dA/dλ terhadap panjang gelombang (λ). Spektra derivat kedua dibuat dengan memplotkan d2A/dλ2 terhadap panjang gelombang. Spektra derivat ketiga dibuat dengan memplotkan d3A/dλ3 terhadap panjang gelombang. Amplitudo diperoleh dari selisih 2 panjang gelombang


(51)

33

(∆A=Aλ1-Aλ2) yang berderet teratur dibagi dengan ∆λ, dalam hal ini ∆λ adalah 2

nm. Digunakan ∆λ 2 nm karena ∆λ ini merupakan ∆λ optimal hasil optimasi. Pada ∆λ ini pengaruh derau atau noise terhadap spektrum tidak terlalu besar dan dapat menunjukkan ketajaman spektrum yang jelas.

Panjang gelombang peak-to-peak ditentukan dari penggabungan spektra derivatif larutan baku dan larutan sampel. Dari hasil penggabungan spektra derivatif ini kemudian dicari panjang gelombang dimana terdapat spektra yang secara total saling berhimpit menghasilkan puncak maksimum dan puncak minimum. Pada penentuan panjang gelombang peak-to-peak ini rentang panjang gelombang yang diamati pada 260 nm sampai 290 nm karena kafein memberikan serapan pada panjang gelombang ini.

Spektra derivat pertama larutan baku kafein dan larutan sampel dapat dilihat pada gambar berikut.

-0.15 -0.1 -0.05 0 0.05 0.1

220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320

panjang gelombang

dA/dx

Gambar 13. Spektra derivat pertama kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X”. Kafein (——), sampel (——)

Pada gambar tersebut belum ditemukan adanya spektra yang secara total saling berhimpit. Oleh karena itu dibuat derivat yang lebih tinggi untuk memperoleh spektra yang saling berhimpit. Derivatisasi lebih tinggi


(52)

mengakibatkan pemecahan puncak-puncak yang lebih rinci dan menghasilkan spektra yang jelas. Spektra derivat kedua larutan baku kafein dan larutan sampel dapat dilihat pada gambar berikut.

-0.025 -0.02 -0.015 -0.01 -0.005 0 0.005 0.01 0.015 26 0 26 2 26 4 26 6 26 8 27 0 27 2 27 4 27 6 27 8 28 0 28 2 28 4 28 6 28 8 29 0 panjang gelombang d2A/dx 2

Gambar 14. Spektra derivat kedua kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X”. Keterangan: kafein (——), sampel (——)

Pada spektra derivat kedua terlihat pemecahan puncak yang lebih terperinci namun masih belum ditemukan adanya spektra yang secara total saling berhimpit. Oleh karena itu dibuat spektra derivat ketiga untuk menentukan panjang gelombang peak-to-peak. Spektra derivat ketiga larutan baku kafein dan larutan sampel dapat dilihat pada gambar berikut.


(53)

35

-0.01 -0.008 -0.006 -0.004 -0.002 0 0.002 0.004 0.006 0.008 0.01

260 262 264 266 268 270 272 274 276 278 280 282 284 286 288 290

panjang gelombang

d3A/dx3

Gambar 15. Spektra derivat ketiga kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X”. Keterangan : kafein (——), sampel (——)

Pada spektra derivat ketiga terlihat spektra yang secara total saling berhimpit sehingga menghasilkan puncak maksimum dan puncak minimum, yaitu puncak maksimum pada 271 nm dan puncak minimum pada 273 nm. Panjang gelombang ini merupakan panjang gelombang peak-to-peak. Nantinya panjang gelombang peak-to-peak ini akan digunakan untuk pengukuran amplitudo pada pembuatan kurva baku dan penetapan kadar sampel.

G. Pembuatan Kurva Baku Kafein

Kurva baku kafein dibuat pada panjang gelombang peak-to-peak. Nilai amplitudo peak-to-peak ditentukan dengan jarak antara puncak maksimum pada 271 nm dengan puncak minimum pada 273 nm spektra derivat ketiga dari seri konsentrasi larutan baku.

Persamaan kurva baku merupakan hubungan linier antara konsentrasi larutan baku dengan amplitudo peak-to-peak (d3A/dλ3) dimana linieritasnya dibuktikan dengan koefisien korelasi (r). Dalam penelitian ini, nilai r yang


(54)

digunakan adalah nilai r yang lebih besar dari nilai r tabel untuk 5 data dengan derajat bebas (db) = 3 yaitu 0,878 untuk taraf kepercayaan 95%.

Tabel II. Kurva baku kafein

Replikasi 1 Replikasi 2* Replikasi 3

C (mg/ml) d3A/dλ3 C (mg/ml) d3A/dλ3 C (mg/ml) d3A/dλ3

0,02034 0,00075 0,01882 0,00075 0,01994 0,00075

0,03051 0,0017 0,02823 0,0010 0,02991 0,0014

0,04068 0,0036 0,03764 0,0028 0,03988 0,0026

0,05085 0,0045 0,04705 0,0041 0,04985 0,0100

0,06102 0,0087 0,05645 0,0065 0,05982 0,0140

A = -3,63 . 10-3 B = 0,1839 r = 0,9523 SE = 1,044 x 10-3

A = -2,811.10-3 B = 0,1552 r = 0,9720 SE = 6,44 x 10-4

A = -8,29.10-3 B = 0,3521 r = 0,9382 SE = 2,364 x 10-3 * = persamaan kurva baku yang digunakan

Replikasi dilakukan sebanyak 3 kali, dan nilai r dari ketiga replikasi tersebut lebih besar dari nilai r tabel. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang baik antara konsentrasi larutan kafein baku dengan amplitudo peak-to-peak

sehingga persamaan kurva baku dapat digunakan untuk menentukan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X”. Persamaan kurva baku yang kedua menunjukkan nilai r yang terbesar dan nilai standar error yang terkecil, sehingga persamaan itulah yang digunakan untuk menghitung kadar kafein. Persamaan kurva baku yang diperoleh Y = 0,1552 X – 2,811.10-3

H. Penetapan Kadar Kafein dalam Minuman Berenergi Merek “X”

Pada penetapan kadar kafein dalam sampel minuman berenergi, amplitudo diukur dengan cara menghitung jarak vertikal antara puncak maksimum 271 nm dengan puncak minimum 273 nm pada spektrum derivat ketiga. Dari 6 kali replikasi dan setiap replikasi diberikan perlakuan triplo diperoleh hasil sebagai berikut.


(55)

37

Tabel III. Data kafein terukur dalam sampel minuman berenergi merek “X” (dikalikan faktor pengenceran)

I II III

Replikasi

d3A/dλ3 C (mg/ml) d

3

A/dλ3 C (mg/ml) d

3

A/dλ3 C (mg/ml)

Rata C (mg/ml) 1 0,00137 1,3469 0,0015 1,3887 0,0016 1,4211 1,3856 2 0,0014 1,3566 0,0015 1,3887 0,00162 1,4275 1,3909 3 0,0015 1,3887 0,0015 1,3887 0,00162 1,4275 1,4016 4 0,0015 1,3887 0,0015 1,3887 0,0015 1,3887 1,3887 5 0,0016 1,4211 0,00137 1,3469 0,00162 1,4275 1,3985 6 0,00137 1,3469 0,00162 1,4275 0,0015 1,3887 1,3877 Rata-rata kafein terukur = 1,3922 mg/ml

SD = 6,4155.10-3 CV = 0,46 %

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kadar kafein terukur dalam sampel minuman berenergi merek “X” adalah 1,3922 mg/ml atau sebesar 0,139% b/v dari komposisi per kemasan . Kadar kafein ini jelas sangat besar mengingat dalam setiap sampel hanya mengandung 50 mg kafein atau 0,029% b/v dari total komposisi per kemasan. Untuk mengetahui apakah konsentrasi kafein dalam sampel benar-benar 1,3922 mg/ml , dilakukan validasi metode analisis. Validitas metode yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan parameter akurasi dan presisi. Parameter akurasi dinyatakan dengan nilai recovery atau perolehan kembali. Oleh karena itu dilakukan pengukuran sampel yang telah ditambah dengan larutan kafein baku konsentrasi 0,0983 mg/ml. Pengurangan kadar kafein dalam sampel yang telah ditambah dengan larutan kafein baku dengan kadar kafein dalam sampel ditetapkan sebagai kadar kafein terukur. Recovery dihitung dengan membagi kadar kafein terukur dengan kadar kafein sebenarnya dikalikan 100%.


(56)

Tabel IV. Data kafein terukur pada sampel minuman berenergi yang telah ditambah larutan kafein baku (dikalikan faktor pengenceran)

I II III

Replikasi

d3A/dλ3 C (mg/ml) d

3

A/dλ3 C (mg/ml) d

3

A/dλ3 C (mg/ml)

Rata C (mg/ml) 1 0,0016 1,4211 0,0017 1,4533 0,0021 1,5821 1,4855 2 0,0019 1,5177 0,0019 1,5177 0,0017 1,4533 1,4962 3 0,0019 1,5177 0,0019 1,5177 0,0017 1,4533 1,4962 4 0,0019 1,5177 0,0016 1,4211 0,0019 1,5177 1,4855 5 0,0017 1,4533 0,0018 1,4855 0,0020 1,5499 1,4962 6 0,0018 1,4833 0,0017 1,4533 0,0019 1,5177 1,4855

Tabel V. Data perhitungan recovery kafein dalam sampel minuman berenergi

Replikasi Sampel (mg/ml) Sampel + kafein baku (mg/ml) Kafein sebenarnya (mg/ml) Kafein terukur (mg/ml) Recovery (%)

1 1,3856 1,4855 0,0983 0,0999 101,63

2 1,3909 1,4962 0,0983 0,1053 107,12

3 1,4016 1,4962 0,0983 0,0946 96,24

4 1,3887 1,4855 0,0983 0,0968 98,47

5 1,3985 1,4962 0,0983 0,0977 99,39

6 1,3877 1,4855 0,0983 0,0978 99,49

Rentang recovery yang diperoleh adalah 96,24 – 107,12%. Nilai recovery

ini memenuhi rentang recovery untuk sampel dengan kadar kecil yaitu 90-110% (Mulja dan Hanwar, 2003). Parameter presisi dinyatakan dengan nilai CV (Coefficient of Variation). NIlai CV yang diperoleh adalah 0,46 %. Nilai ini memenuhi syarat presisi yang baik yaitu CV < 2% untuk sampel dengan kadar analit kecil (Harmita, 2004). Hasil ini menunjukkan bahwa spektrofotometri derivatif aplikasi metode peak-to-peak memiliki akurasi dan presisi yang baik.


(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X” dengan metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak memiliki akurasi dan presisi yang baik.

B. Saran

Kadar kafein dalam minuman berenergi merek ”X” sebesar 0,139% b/v. Jauh lebih besar daripada kadar kafein maksimal yang diperkenankan oleh Balai POM yaitu sebesar 50 mg/kemasan atau 0,029% b/v. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis ulang terhadap minuman berenergi merek “X” ini. Dan dilakukan penarikan produk apabila terbukti kadar kafein melampaui ambang batas yang disarankan oleh Balai POM yaitu sebesar 50 mg.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Alpdogan,G., Karabina, K., Sungur, S., 2000, Derivative Spectrophotometric Determination of Caffeine in Some Beverages, Turk J Chem, 26, 295-302

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2005, The United States of Pharmacopeia 28, Vol II, 2440-2442, United States Pharmacopeia Convention Inc., Rockville

Anonim, 2006a, Benarkah Minuman Energi Selalu Berenergi?, http://www.info-sehat.com/content.php?s_sid=794. Diakses pada 5 April 2006

Anonim, 2006b, Wanita dan Pengaruh Kafein, http://www.info-sehat.com/content.php?s_sid=840. Diakses pada 5 April 2006

Anonim,2006c,http://www.iupac.org/publications/analytical_compedium/Cha10se c352.pdf, Diakses 27 Maret 2006

Aydogmus, Z., and Cetin, S.M., 2001, Determination of Ascorbic Acid in Vegetables by Derivative Spectrophotometry, Turk. J. Chem. 26, 697-704

Christian, G.D., 2004, Analytical Chemistry, 464-479, John Willey & Sons Inc., New York

Clarke, E.G.C., 1986, Isolation and Identification of Drugs in Pharmaceutical Body Fluids and Post Mortem Material, 420-421, The Pharmaceutical Press, London

Connors, K.A., 1982, A Textbook of Pharmaceutical Analysis, 3rd edition, 180-208, John Willey & Sons Inc., New York

Friamita, R.D., 2006, Penetapan Kadar Kafein dalam Campuran Parasetamol, Salisilamida dan Kafein Secara Spektrofotometri Derivatif dengan Aplikasi Metode Peak-to-Peak, Skripsi, Univeritas Sanata Dharma, Yogyakarta

Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya, 5-7, 8, Departemen Farmasi FMIPA UI, Depok, Jakarta


(59)

41

Marlinda, I, 2001, Bahaya Minuman Berenergi,

http://www.indomedia.com/Intisari/online/kesehatan/410kes1.htm

diakses 5 april 2006

Mulja & Suharman, 1995, Analisis Instrumental, Universitas Airlangga Press, Surabaya

Mulja,M., dan Hanwar, D., 2003, Prinsip-Prinsip Cara Berlaboratorium yang Baik (Good Laboratory Practice), Majalah Farmasi Airlangga, Vol. III, No.2, 71-76

Pecsok, R.L., Shields, L.D., Cairns, T., and Mc. William, I.G., 1976, Modern Methods of Chemical Analysis, 2nd Ed., 148, 150, 153, 154, 158, Jhon Wiley and Sons, New York

Rafira, 2005, Di Balik Manfaat Minuman Berenergi & Minuman Ringan,

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/31/hikmah/lainnya04.htm. Diakses 5 April 2006

Rohdiana, D., 2005, Serbuan Pangan Instan Berenergi, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/25/cakrawala/utama02.htm. Diakses pada 5 April 2006

Sastrohamidjojo, H., 2001, Spektroskopi, Edisi kedua, 1-43, Liberty, Yogyakarta Skoog, D.A., 1985, Principles of Instrumental Analysis, 3rd edition, 213-215,

Saunders College Publishing, Philadelphia

Skoog, D.A., Holler, F.J., and Nieman, T.A., 1998, Principles of Instrumental Analysis, 5th Ed., 11-14, 314-316, 329-332, Harcourt Brace College, Philadelphia

Willard, et.al., 1988, Instrumental Methods of Analysis, 7th edition, 177-178, Wadsworth Publishing, California

Watson, D.G., 1999, Pharmaceutical Analysis A Textbook for Pharmacy Student and Pharmaceutical Chemists, 79, Churcill Livingstone, Edinburg.


(60)

LAMPIRAN


(61)

43


(62)

Lampiran 2. Data sampel minuman berenergi

1. Komposisi :

Taurin, Kafein, Vitamin B3, Vitamin B5, Vitamin B6, Gula, Air, Asam Sitrat, Perisa tropical fruit, Natrium Siklamat, Asesulfam-K, Kalium Sorbat, Natrium Sitrat, Kuning FCF CI 15985.

2. Analisis Organoleptis Warna : jingga

Bau : wangi buah Rasa : manis asam


(63)

45

Lampiran 3. Data penimbangan kafein baku

I. Berat kertas kosong : 0.2249 gram Berat kertas + kafein : 0.23523 gram Berat kertas + sisa : 0,22582 gram

———————— -

Berat kafein : 0,00941 gram

: 9,41 mgram

II Berat kertas kosong : 0.2240 gram Berat kertas + kafein : 0.23425 gram Berat kertas + sisa : 0,22408 gram

———————— -

Berat kafein : 0,01017 gram

: 10,17 mgram

III Berat kertas kosong : 0.2231 gram Berat kertas + kafein : 0.23323 gram Berat kertas + sisa : 0,22326 gram

———————— -

Berat kafein : 0,00997 gram


(64)

(65)

47

Lampiran 5. Contoh Perhitungan Konsentrasi Larutan Baku Kafein a. Skema pembuatan

Timbang seksama ± 10,0 mg kafein ↓

Larutkan dalam HCl 0,1 N ad 50,0 ml (larutan A) ↓

Pipet larutan A sebanyak 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; dan 3,0 ml ↓

Encerkan dengan HCl 0,1 N ad 10,0 ml

b. Perhitungan seri konsentrasi kafein

• Bobot kafein hasil penimbangan = 0,00941 gram = 9,41 mg

• Konsentrasi kafein dalam larutan A =

ml 50 gram 41 , 9

= 0,1882 mg/ml

• Seri larutan baku kafein :

Konsentrasi kafein : x konsentrasilarutan A larutan

vol

n pengambila vol

Seri konsentrasi Perhitungan konsentrasi kafein

1 x 0,1882mg/ml 0,01882mg/ml ml 10 ml 1 = 2 ml 10 ml 1,5

x 0,1882 mg/ml = 0,02823 mg/ml 3

ml 10

ml 2

x 0,1882 mg/ml = 0,03764 mg/ml 4

ml 10

ml 2,5

x 0,1882 mg/ml = 0,04705 mg/ml 5

ml 10

ml 3


(66)

(67)

49

Lampiran 7. Spektra derivatif kafein dengan sampel ( ∆λ 1 nm)

Spektra derivat pertama kafein baku dengan sampel

-0.15 -0.1 -0.05 0 0.05 0.1 0.15

220 240 260 280 300 320

λ

dA

/d

λ

Spektra derivat kedua kafein baku dengan sampel

-0.06 -0.05 -0.04 -0.03 -0.02 -0.01 0 0.01 0.02 0.03

260 262 264 266 268 270 272 274 276 278 280 282 284 286 288 290

λ

d2

A

/d

λ


(68)

Spektra derivat ketiga kafein baku dengan sampel

-0.08 -0.06 -0.04 -0.02 0 0.02 0.04 0.06

260 262 264 266 268 270 272 274 276 278 280 282 284 286 288 290

λ

d3

A

/d

λ


(69)

51

Lampiran 8. Spektra derivatif kafein dengan sampel ( ∆λ 2 nm)

Spektra derivat pertama kafein baku dengan sampel

-0.15 -0.1 -0.05 0 0.05 0.1

220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320

panjang gelombang (nm)

dA

/d

λ

Spektra derivat pertama kafein baku dengan sampel

-0.025 -0.02 -0.015 -0.01 -0.005 0 0.005 0.01 0.015 26 0 26 2 26 4 26 6 26 8 27 0 27 2 27 4 27 6 27 8 28 0 28 2 28 4 28 6 28 8 29 0

panjang gelombang (nm)

d2

A

/d

λ


(70)

Spektra derivat pertama kafein baku dengan sampel -0.01 -0.005 0 0.005 0.01 26 0 26 2 26 4 26 6 26 8 27 0 27 2 27 4 27 6 27 8 28 0 28 2 28 4 28 6 28 8 29 0

panjang gelombang (nm)

d3

A

/d

λ


(71)

53

Lampiran 9. Contoh Perhitungan amplitudo peak-to-peak (d3A/dλ3)

1 2 1 2 A A d dA λ λ λ − − =

Derivat 1 (dA/dλ)

λ A λ = 2

2 1 λ

λ +

(dA/dλ)

260 1.393 261 0.07

262 1.533 263 0.064

264 1.661 265 0.058

266 1.777 267 0.046

268 1.869 269 0.0325

270 1.934 271 0.0045

272 1.943 273 -0.008

274 1.927 275 -0.045

276 1.837 277 -0.0525

278 1.732 279 -0.086

280 1.560 281 -0.1

282 1.360 283 -0.105

284 1.150 285 -0.113

286 0.924

Derivat 2 (d2A/dλ2)

λ = (dA/dλ) λ =

2 2 1 λ λ + 2 2 1 λ λ +

(d2A/dλ2)

261 0.07 262 -0.003

263 0.064 264 -0.003

265 0.058 266 -0.006

267 0.046 268 -0.0068

269 0.0325 270 -0.014

271 0.0045 272 -0.0063

273 -0.008 274 -0.0185

275 -0.045 276 -0.0037

277 -0.0525 278 -0.0167

279 -0.086 280 -0.007

281 -0.1 282 -0.0025

283 -0.105 284 -0.004


(72)

Derivat 3 (d3A/dλ3)

λ = (d2A/dλ2) λ =

2 2

1 λ

λ +

2 2

1 λ

λ +

(d3A/dλ3)

262 -0.003 263 0

264 -0.003 265 -0.0015

266 -0.006 267 -0.0004

268 -0.0068 269 -0.0036

270 -0.014 271 0.0039

272 -0.0063 273 -0.0061

274 -0.0185 275 0.0074

276 -0.0037 277 -0.0065

278 -0.0167 279 0.0049

280 -0.007 281 0.0022

282 -0.0025 283 -0.0007

284 -0.004

Amplitudo pada 271 nm = 0,0039 Amplitudo pada 273 nm = -0,0061


(73)

55

Lampiran 10. Perhitungan kadar terukur kafein dalam sampel a. Skema Pembuatan

Pipet 1,0 ml sampel minuman berenergi

Tambahkan aquades sampai 10,0 ml (larutan A)

Pipet 2,0 ml larutan A, tambahkan aquades sampai 10,0 ml

b. Data amplitudo peak-to-peak (d3A/dλ3)

(d3A/dλ3) Sampel

I II III

1 0.00137 0.0015 0.0016

2 0.0014 0.0015 0.00162

3 0.0015 0.0015 0.00162

4 0.0015 0.0015 0.0015

5 0.0016 0.00137 0.00162

6 0.00137 0.00162 0.0015

Amplitudo peak-to-peak = 0.00137

Persamaan kurva baku kafein Y = 0,1552 x – 2.811.10-3

Kadar kafein =

0,1552 2,811.10

0.00137+ -3

= 0,0269 mg/ml x faktor pengenceran

= 0,0269 mg/ml x 50 = 1,3469 mg/ml

Kadar terukur kafein per kemasan = 1,3469 mg/ml x 175 ml = 235,7075 mg/kemasan


(74)

c. Data kadar terukur kafein

I II III

Replikasi

d3A/dλ3 C

(mg/ml) d

3

A/dλ3 C

(mg/ml) d

3

A/dλ3 C (mg/ml) 1 0,00137 1,3469 0,0015 1,3887 0,0016 1,4211 2 0,0014 1,3566 0,0015 1,3887 0,00162 1,4275 3 0,0015 1,3887 0,0015 1,3887 0,00162 1,4275

4 0,0015 1,3887 0,0015 1,3887 0,0015 1,3887

5 0,0016 1,4211 0,00137 1,3469 0,00162 1,4275 6 0,00137 1,3469 0,00162 1,4275 0,0015 1,3887


(75)

57

Lampiran 10. Perhitungan Recovery, CV kadar terukur kafein

a. Data kafein terukur dalam sampel minuman berenergi merek “X” yang telah ditambah kafein baku.

I II III

Replikasi

d3A/dλ3 C (mg/ml) d

3

A/dλ3 C (mg/ml) d

3

A/dλ3 C (mg/ml)

Rata C (mg/ml) 1 0,0016 1,4211 0,0017 1,4533 0,0021 1,5821 1,4855 2 0,0019 1,5177 0,0019 1,5177 0,0017 1,4533 1,4962 3 0,0019 1,5177 0,0019 1,5177 0,0017 1,4533 1,4962 4 0,0019 1,5177 0,0016 1,4211 0,0019 1,5177 1,4855 5 0,0017 1,4533 0,0018 1,4855 0,0020 1,5499 1,4962 6 0,0018 1,4833 0,0017 1,4533 0,0019 1,5177 1,4855

b. Data kadar kafein sebenarnya dan kafein terukur dalam sampel

Replikasi

Kafein sebenarnya

(mg/ml)

Kafein terukur (m

g/ml)

1 0,0983 0,0999

2 0,0983 0,1053

3 0,0983 0,0946

4 0,0983 0,0968

5 0,0983 0,0977


(76)

Recovery = sebenarnya kadar kur kadar teru x 100%

Data perhitungan recovery kafein

sampel Perhitungan recovery recovery

1 mg/ml 0983 , 0 mg/ml 0999 , 0

x 100% 101,63 %

2 mg/ml 0983 , 0 mg/ml 1053 , 0

x 100 % 107,12 %

3 mg/ml 0,0983 mg/ml 0946 , 0

x 100% 96,24 %

4 mg/ml 0,0983 mg/ml 0968 , 0

x100% 98,47 %

5 mg/ml 0,0983 mg/ml 0977 , 0

x100% 99,39 %

6 mg/ml 0,0983 mg/ml 0978 , 0

x100% 99,49 %

Rentang recovery 96,24 – 107,12 %

Data perhitungan CV dari kadar kafein terukur

sampel Kadar kafein terukur (mg/ml)

1 1,3856

2 1,3909

3 1,4016

4 1,3887

5 1,3985

6 1,3877

rerata 1.3922

SD = 6,4155.10-3 CV = kur kadar teru rerata SD x100 % = 3922 , 1 10 . 4155 ,

6 −3


(77)

59

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi berjudul Penetapan Kadar Kafein Dalam Minuman Berenergi Merek “X” dengan Spektrofotometri Derivatif Aplikasi metode Peak-to-Peak memiliki nama lengkap Veronica Suko Danasrayaningsih. Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 April 1985 sebagai anak sulung dari dua bersaudara pasangan Ignatius Sadiarko dan Theresia Sri Suratmini. Pendidikan formal yang pernah ditempuh yaitu TK Kanisius Kotabaru I Yogyakarta (1989-1991), SD Kanisius Kotabaru I Yogyakarta (1991-1997), SLTP Negeri 5 Yogyakarta (1997-2000), SMU Negeri 6 Yogyakarta (2000-2003). Pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan sebagai anggota Paduan Suara Fakultas “Veronika”. Saat ini penulis masih bergabung sebagai Petugas Perpustakaan Paruh Waktu (P3W) Mrican.


(1)

Derivat 3 (d3A/dλ3)

λ = (d2A/dλ2) λ = 2

2

1 λ

λ +

2

2

1 λ

λ +

(d3A/dλ3)

262 -0.003 263 0

264 -0.003 265 -0.0015

266 -0.006 267 -0.0004

268 -0.0068 269 -0.0036

270 -0.014 271 0.0039

272 -0.0063 273 -0.0061

274 -0.0185 275 0.0074

276 -0.0037 277 -0.0065

278 -0.0167 279 0.0049

280 -0.007 281 0.0022

282 -0.0025 283 -0.0007

284 -0.004

Amplitudo pada 271 nm = 0,0039 Amplitudo pada 273 nm = -0,0061


(2)

Lampiran 10. Perhitungan kadar terukur kafein dalam sampel a. Skema Pembuatan

Pipet 1,0 ml sampel minuman berenergi ↓

Tambahkan aquades sampai 10,0 ml (larutan A) ↓

Pipet 2,0 ml larutan A, tambahkan aquades sampai 10,0 ml

b. Data amplitudo peak-to-peak (d3A/dλ3)

(d3A/dλ3) Sampel

I II III

1 0.00137 0.0015 0.0016

2 0.0014 0.0015 0.00162

3 0.0015 0.0015 0.00162

4 0.0015 0.0015 0.0015

5 0.0016 0.00137 0.00162

6 0.00137 0.00162 0.0015

Amplitudo peak-to-peak = 0.00137

Persamaan kurva baku kafein Y = 0,1552 x – 2.811.10-3 Kadar kafein =

0,1552 2,811.10 0.00137+ -3

= 0,0269 mg/ml x faktor pengenceran = 0,0269 mg/ml x 50 = 1,3469 mg/ml

Kadar terukur kafein per kemasan = 1,3469 mg/ml x 175 ml = 235,7075 mg/kemasan


(3)

c. Data kadar terukur kafein

I II III

Replikasi

d3A/dλ3 C

(mg/ml) d 3

A/dλ3 C

(mg/ml) d 3

A/dλ3 C (mg/ml) 1 0,00137 1,3469 0,0015 1,3887 0,0016 1,4211 2 0,0014 1,3566 0,0015 1,3887 0,00162 1,4275 3 0,0015 1,3887 0,0015 1,3887 0,00162 1,4275 4 0,0015 1,3887 0,0015 1,3887 0,0015 1,3887 5 0,0016 1,4211 0,00137 1,3469 0,00162 1,4275 6 0,00137 1,3469 0,00162 1,4275 0,0015 1,3887


(4)

Lampiran 10. Perhitungan Recovery, CV kadar terukur kafein

a. Data kafein terukur dalam sampel minuman berenergi merek “X” yang telah ditambah kafein baku.

I II III

Replikasi

d3A/dλ3 C (mg/ml) d

3

A/dλ3 C (mg/ml) d

3

A/dλ3 C (mg/ml)

Rata C (mg/ml) 1 0,0016 1,4211 0,0017 1,4533 0,0021 1,5821 1,4855 2 0,0019 1,5177 0,0019 1,5177 0,0017 1,4533 1,4962 3 0,0019 1,5177 0,0019 1,5177 0,0017 1,4533 1,4962 4 0,0019 1,5177 0,0016 1,4211 0,0019 1,5177 1,4855 5 0,0017 1,4533 0,0018 1,4855 0,0020 1,5499 1,4962 6 0,0018 1,4833 0,0017 1,4533 0,0019 1,5177 1,4855

b. Data kadar kafein sebenarnya dan kafein terukur dalam sampel

Replikasi

Kafein sebenarnya

(mg/ml)

Kafein terukur (m

g/ml)

1 0,0983 0,0999

2 0,0983 0,1053

3 0,0983 0,0946

4 0,0983 0,0968

5 0,0983 0,0977


(5)

Recovery = sebenarnya kadar kur kadar teru x 100% Data perhitungan recovery kafein

sampel Perhitungan recovery recovery

1 mg/ml 0983 , 0 mg/ml 0999 , 0

x 100% 101,63 %

2 mg/ml 0983 , 0 mg/ml 1053 , 0

x 100 % 107,12 %

3 mg/ml 0,0983 mg/ml 0946 , 0

x 100% 96,24 %

4 mg/ml 0,0983 mg/ml 0968 , 0

x100% 98,47 %

5 mg/ml 0,0983 mg/ml 0977 , 0

x100% 99,39 %

6 mg/ml 0,0983 mg/ml 0978 , 0

x100% 99,49 %

Rentang recovery 96,24 – 107,12 %

Data perhitungan CV dari kadar kafein terukur

sampel Kadar kafein terukur (mg/ml)

1 1,3856

2 1,3909

3 1,4016

4 1,3887

5 1,3985

6 1,3877

rerata 1.3922

SD = 6,4155.10-3 CV = kur kadar teru rerata SD x100 % = 3922 , 1 10 . 4155 ,

6 −3


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi berjudul Penetapan Kadar Kafein Dalam Minuman Berenergi Merek “X” dengan Spektrofotometri Derivatif Aplikasi metode Peak-to-Peak memiliki nama lengkap Veronica Suko Danasrayaningsih. Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 April 1985 sebagai anak sulung dari dua bersaudara pasangan Ignatius Sadiarko dan Theresia Sri Suratmini. Pendidikan formal yang pernah ditempuh yaitu TK Kanisius Kotabaru I Yogyakarta (1989-1991), SD Kanisius Kotabaru I Yogyakarta (1991-1997), SLTP Negeri 5 Yogyakarta (1997-2000), SMU Negeri 6 Yogyakarta (2000-2003). Pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan sebagai anggota Paduan Suara Fakultas “Veronika”. Saat ini penulis masih bergabung sebagai Petugas Perpustakaan Paruh Waktu (P3W) Mrican.