ANALISIS RESEPSI PENGGUNA HUKUM TERHADAP CITRA KEPOLISIAN MENGENAI KASUS SUAP PASCA PEMBERITAAN MARKUS OLEH MANTAN KABARESKRIM SUSNO DUADJI DI MEDIA TELEVISI.
MARKUS OLEH MANTAN KABARESKRIM SUSNO DUADJI DI MEDIA TELEVISI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN ”Veteran” Jawa Timur
Oleh:
EVIAN NUR UTAMI
0643210046
YAYASAN KEJUANGAN PANGLIMA BESAR SUDIRMAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI SURABAYA
(2)
MARKUS OLEH MANTAN KABARESKRIM SUSNO DUADJI DI MEDIA TELEVISI
Oleh:
EVIAN NUR UTAMI 0643210046
Telah Dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 11 Juni 2010
Menyetujui,
Tim Penguji: Pembimbing Utama 1. Ketua
Dra. Dyva Claretta, M.Si Dra. Sumardjiati, M.Si NPT. 3 6601 94 0025 1 NIP. 19620323 199309 2001
2. Sekretaris
Drs. Kusnarto, M.Si
NIP. 19580801 198402 1001 3. Anggota
Dra. Dyva Claretta, M.Si NPT. 3 6601 94 0025 1 Mengetahui,
DEKAN
Dra. Ec. Suparwati, M.Si NIP. 19550718 198302 2001
(3)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’allamin ...
Segala puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan-Nya, maka Skripsi dengan judul ”Analisis Resepsi Pengguna Hukum Terhadap Citra Kepolisian Tentang Kasus Suap Pasca Pemberitaan Mantan Kabareskrim Susno Duadji di Media Televisi” ini tidak dapat terselesaikan.
Skripsi ini disusun dengan maksud sebagai salah satu syarat kelulusan untuk menempuh studi Strata 1 (S1), di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur. Sejak awal hingga terselesainya skripsi ini, peneliti mengakui banyak sekali menerima bantuan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Disadari bahwa penulis tidak dapat melakukan sendiri tanpa bantuan beberapa pihak lain, ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada
1. Bpk. Juwito S.Sos, Msi., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
2. Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 3. Dra. Dyva Claretta, Msi., Dosen Pembimbing
(4)
4. Bapak dan Ibu Dosen, Program Diklat Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat bagi peneliti
5. Untuk orang tua dan keluarga peneliti, terimakasih buat kepercayaan yang diberikan dan selalu memberikan doa-doa yang suci untuk mendukung segala aktifitas kegiatan peneliti.
6. Teman-teman d’BaseCamp: Farida, Dini, Tuffah, Rosi, Feta, Rina, Dion, Rere dan Farhan. Juga teman sejawat peneliti, Atika, Teddy dan kawan-kawan lainnya, Keep Fight Guys .. God Always with us!!
7. Untuk Gischa Restiana, yang telah memberi semangat dan membuat peneliti berfikir untuk tidak mudah menyerah dengan keadaan.
8. Specialy for PsikopatLife, yang sudah memancing peneliti untuk menemukan
ide permasalahan yang diambil untuk skripsi.
9. Untuk para informan, yang bersedia untuk meluangkan waktu buat wawancara.
10.Serta semua pihak yang telah ikut serta untuk membantu hingga Proposal Skripsi ini dapat diselesaikan dengan segera.
Dalam kehidupan di dunia tidak ada yang sempurna, seperti halnya manusia yang selalu melakukan kesalahan. Oleh karena itu dalam kerendahan hati, dengan seluruh kemampuan dan kekurangan, peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi siapa saja serta memperluas wawasan untuk selalu kritis dalam setiap kehidupan yang dilalui. Amin.
Surabaya, Mei 2010 Peneliti
(5)
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN .………. ii
KATA PENGANTAR ……… iii
DAFTAR ISI ………... v
DAFTAR LAMPIRAN ………. vii
ABSTRAKSI ……….. viii
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ………. 1
1.2 Perumusan Masalah ………. 10
1.3 Tujuan Penelitian ………. 10
1.4 Kegunaan Penelitian ……… 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………. 11
2.1 Landasan Teori ………... 11
2.1.1 Reception Analysis ………... 11
2.1.2 Pengertian Suap ……… 16
2.1.3 Pengertian Markus ……… 18
2.1.4 Komunikasi Massa ………... 20
2.1.5 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa ……… 23
2.1.6 Pengertian Berita ……….. 25
(6)
2.1.8 Pengguna Hukum di Surabaya Sebagai Pemirsa Televisi 32
2.1.9 Cultural Studies ……… 34
2.1.9.1 Pengaruh Budaya dalam Proses Pemaknaan Teks 34 2.2 Kerangka Berpikir ………... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……..……… 38
3.1 Metode Penelitian …….……… 38
3.2 Subjek Penelitian ……….. 39
3.3 Unit Analisis ………. 39
3.4 Sasaran penelitian ………. 40
3.5 Teknik Pengumpulan Data ……… 40
3.5.1 Wawancara Mendalam (Dept Interview) ………. 40
3.6 Teknik Analisis Data ………. 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 45
4.1 Gambaran Objek Penelitian ………. 45
4.1.1 Pengguna Hukum ……….. 45
4.2 Analisis Data ……… 46
4.2.1 Analisis Data ………. 46
4.2.2 Analisis Data Wawancara……….. 48
4.3 Interpretasi ……… 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 68
5.1 Kesimpulan ……….. 68
5.2 Saran ………. 70
(7)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Wawancara ……… 73
Lampiran 2. Hasil Wawancara ……… 75
Informan 1 ………... 75
Informan 2 ………. 89
Informan 3 ………. 95
Informan 4 ……….. 99
Informan 5 ……….. 103
(8)
EVIAN NUR UTAMI. ANALISIS RESEPSI PENGGUNA HUKUM TERHADAP CITRA KEPOLISIAN MENGENAI KASUS SUAP PASCA PEMBERITAAN MARKUS OLEH MANTAN KABARESKRIM SUSNO DUADJI DI MEDIA TELEVISI
Penelitian ini didasarkan pada fenomena yang terjadi pada citra yang dimiliki oleh kepolisian. Citra merupakan suatu hal yang mendasar yang harus dimiliki oleh suatu institusi atau organisasi, untuk mendapatkan perhatian dan kepercayaan dari publik atau khalayaknya.
Penelitian ini menaruh pada perhatian pada masalah suap yang terjadi dalam tubuh kepolisian, terlebih setelah terbongkarnya kasus Makelar Kasus (Markus) dalam tubuh kepolisian pasca pemberitaan yang dilakukan oleh Mantan salah satu pejabat tinggi di Polri, yaitu Kepala Badan Reserse dan Kriminal Susno Duadji. Pada pemberitaan tersebut, Mantan Kabareskrim Susno Duadji menyatakan bahwa dalam tubuh Polri terdapat Makelar Kasus. Dalam pengungkapan yang dilakukan, mantan Kabareskrim tersebut, juga menunjuk tiga jendral kepolisian yang terlibat didalam Markus. Selain itu juga membuka kebenaran bahwa salah satu staff dari Dirjen Pajak Gayus Tambunan sebagai penerima aliran dana suap Rp. 24,6 Milyar. Ramainya pemberitaan tersebut di televisi, dapat mempengaruhi pandangan masyarakat pengguna hukum terhadap citra kepolisian saat ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis resepsi yang termasuk dalam penelitian kualitatif.
Data yang dianalisis adalah hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap pengguna hukum di Surabaya. Hal ini dikarenakan selain Surabaya, adalah salah satu kota dengan penduduk terbesar kedua, di Surabaya terdapat Markas Kepolisian terbesar setelah Jakarta yaitu POLDA Jatim. yang memiliki pengalaman dalam berurusan hukum dan melakukan suap dan juga memiliki usia 21 tahun sampai 45 tahun. Wawancara tersebut dilakukan untuk semua golongan, tidak memandang jenis kelamin dan golongan tertentu.
Dalam penelitian ini menggunakan cultural studies dalam membentuk pemikiran individunya. Cultural studies terkait dengan semua praktek, institusi dan system klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai, kepercayaan, kompetensi, rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku masyarakat. Sehingga menciptakan suatu pemikiran-pemikiran sendiri dalam satu individu, dalam mengartikan sebuah informasi yang didapatnya melalui media.
Dari data yang dianalisis, menyimpulkan bahwa citra kepolisian saat ini tidak pernah berubah dari dulu, yaitu tetap buruk di mata masyarakatnya. Terlebih dengan adanya kasus Markus yang terbongkar, hal membuktikan bahwa kepolisian belum mampu dalam meningkatkan citranya meskipun telah melakukan berbagai perbaikan di segala bidang yang ada didalamnya.
(9)
1.1 Latar Belakang Masalah
Citra perusahaan atau sebuah instansi merupakan suatu hal yang sangat sensitive untuk dibicarakan, karena dengan citra yang dimiliki, perusahaan atau instansi tersebut dapat merangkul maupun menjauhkan publiknya.
Pengertian citra saat ini masih sangat abstrak, akan tetapi wujudnya dapat dirasakan melalui penilaian baik atau buruk. Seperti penerimaan dan tanggapan baik atau positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas pada umumnya (Ruslan, 2002:74).
Apabila citra yang dimiliki perusahaan ataupun instansi baik dimata khalayak publiknya, baik internal public maupun eksternal public, maka perusahaan atau instansi tersebut dapat dengan mudah merangkul dan mengajak khalayaknya untuk mengembangkan peusahaan ataupun instansi tersebut. Dengan citra yang baik itulah maka khalayak memberikan tanggapan atau opini positif untuk perusahaan atau instansi terkait.
Namun apabila citra yang dimiliki buruk di mata khalayaknya, maka perusahaan atau instansi tersebut tidak mendapatkan dukungan yang positif dari khalayaknya. Dukungan yang tidak positif tersebut bisa
1
(10)
dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah terjadinya demo atau mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja maupun masyarakat sekitar karena tidak setuju dengan satu atau lebih dengan kebijakan yang dimiliki oleh perusahaan atau instansi untuk diterapkan.
Dalam hal ini, membina hubungan baik dengan khalayak public sangat diperlukan. Ini juga berkaitan dengan tanggung jawab social kepada publiknya, demi mewujudkan visi perusahaan. Berbagai macam cara membina hubungan baik tidak lah terlalu sulit untuk saat ini, karena banyak media yang mampu menyediakan fasilitas tersebut.
Namun membina hubungan baik dengan khalayak, tidak dapat dengan mudah dipraktekkan. Ini dikarenakan khalayak sasaran yang kita tuju adalah masyarakat luas. Yaitu yang terdiri dari sekelompok manusia yang selalu ber-evolusi dalam pemikiran setiap waktunya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang diketahuinya. Bahkan dapat di bilang bahwa masyarakat saat ini tidak dapat dibodohi lagi oleh informasi-informasi yang di berikan melalui media.
Saat ini, pertumbuhan media semakin mencolok di negara-negara berkembang, seperti yang terjadi di Indonesia. Diawali pada saat era reformasi, media semakin gencar dalam memberikan informasi untuk sebuah berita dan tergolong bebas.
Hal ini menimbulkan banyak pihak ingin membuka lahan keberuntungan di bidang media tersebut, sehingga baik dari media cetak maupun elektronik banyak yang bermunculan di Indonesia untuk
(11)
menjangkau khalayak sasarannya. Terlebih lagi saat ini masyarakat mampu memilih medianya sendiri untuk kebutuhan wawasannya.
Sebagai manusia yang berevolusi, masyarakat harus mampu mengikuti suatu perkembangan tertentu untuk dapat mengembangkan potensi diri. Perkembangan media di Indonesia telah membuat banyak terbentuk stasiun-stasiun televisi baru. Dapat dicontohkan di Surabaya, masyarakat dapat menemui kurang lebih 15 (lima belas) stasiun televisi di Surabaya
Perkembangan media yang bisa di bilang pesat, merupakan salah satu usaha yang dapat diterapkan untuk membina hubungan tersebut. Sehingga khalayak masyarakat dapat mengetahui segala perkembangan informasi yang terjadi melalui media. Baik melalui media cetak maupun media elektronik.
Dengan berkembangnya stasiun televisi di Indonesia, hal ini dijadikan suatu ajang kesempatan juga bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Polri melakukan pemberitaan informasi mengenai dirinya di media televisi. Media elektronik seperti televisi adalah media yang paling update dalam penyampaian informasi. Dengan media Televisi, Kepolisian mampu menyampaikan informasi-informasi yang ada dalam instansinya untuk diberitakan atau diberitahukan kepada masyarakatnya. Antara lain dapat ditemui salah satu program yang dimiliki oleh Kepolisian, untuk melayani pertanyaan masyarakat secara langsung dengan pembahasan tema tertentu, yaitu Hallo Polisi yang disiarkan oleh Indosiar.
(12)
Selain itu kepolisian juga sering melakukan sosialisasi programnya dalam media televisi, seperti adanya sosialisi tentang kebijakan baru dari Kepolisian yang bekerja sama dengan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ). yaitu sosialisasi Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang pernah disiarkan di Trans 7 dan JTV salah satu TV Local di Jawa Timur.
Citra yang melekat di mata masyarakat mengenai Instansi Kepolisian di nilai buruk. Baik dari segi perorangan (anggota Polisi), pelayanan kepada masyarakat bahkan sampai ke birokrasi hukumnya yang rumit.
Namun sejak 1 April 1999, yang secara kelembagaan Polri keluar dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), pihak kepolisian-pun mulai merubah fungsinya sebagai alat Negara untuk menegakkan hukum, melindungi dan mengayomi masyarakat. Dengan semangat itulah, instansi kepolisian melakukan berbagai perubahan dalam meningkatkan kepercayaan publiknya.
Secara perlahan kepolisian berupaya meningkatkan citranya, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat. Dalam peningkatan citra inilah, upaya-upaya peningkatan citra kepolisian digalakkan. Dengan memanfaatkan perkembangan media, pihak kepolisian sering melakukan pemberitaan mengenai kegiatan-kegiatanya melalui media elektronik maupun media cetak.
Berdasarkan laporan akhir tahun yang dirilis Ombudsman, pada tahun 2008, sebanyak 30,73% kinerja kepolisian menduduki peringkat
(13)
pertama yang paling dikeluhkan oleh masyarakat.
(http://www.ombudsman-asahan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=845&Itemid =1). Meskipun hal ini merupakan salah satu bukti bahwa citra kepolisian dinilai buruk oleh masyarakat Indonesia, Reformasi yang dilakukan oleh polisi dalam tubuh Instansi Kepolisian, masih terus menerus dilakukan. Dengan semakin meyakinkan publiknya, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memuat statement kepolisian. Pada saat itu statement yang di utarakan oleh Kapolwiltabes Surabaya dimuat oleh salah satu media cetak di Surabaya. Pada 28 April 2008, Kapowiltabes Surabaya menyatakan bahwa kepolisian menerapkan gerakan anti suap. Sejak saat itu pula kegiatan-kegiatan polisi sering di beritakan di media cetak tersebut.
Begitu banyak pemberitaan yang muncul mengenai kepolisian, adalah salah satu terpaan bagi masyarakat pengguna hukum untuk dapat mengubah pandangannya mengenai kepolisian yang lebih baik. Sebagai pandangan masyarakat awam, mengenai pemberitaan Polri, saat ini polisi benar-benar sudah melakukan reformasi yang dapat di bilang bagus.
Namun kenyataan yang ditemui dilapangan, tidak sepenuhnya gerakan anti suap itu dilaksanakan. Masih banyak masyarakat yang menganggap Polisi masih mudah untuk disuap dalam pelayanannya, karena dalam kenyataannya terdapat kasus suap yang dijumpai dijalan.
(14)
Selain itu juga, pada beberapa waktu lalu telah terjadi beberapa kasus yang dapat dikatakan melibatkan pihak Polri, yaitu kasus Bank Century. Kasus tersebut melibatkan Kabareskrim Komisaris Jenderal (Pol) Susno Duadji sebagai salah satu yang terlibat dalam penyelewengan dana Century. Hal ini memaksa Kabareskrim Susno Duadji untuk mundur dari jabatannya sementara dan pada 24 November 2009, Kapolri resmi memberhentikan Komjen Susno Duadji dari jabatan Kapala Badan Reserse
dan Kriminal (Kabareskrim).
(http://news.okezone.com/read/2010/03/25/339/315877/susno-jadi-tersangka-polri-dinilai-kontraproduktif)
Namun ketika kasus Bank Century belum selesai secara keseluruhan, muncul satu kasus yang merupakan pernyataan dari Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji sendiri.
Kepada media, Mantan Kabareskrim Susno Duadji menyatakan bahwa dalam tubuh Polri terdapat Makelar Kasus atau yang lebih dikenal dengan sebutan Markus. Dalam pengungkapan yang dilakukan, mantan Kabareskrim tersebut, juga menunjuk tiga jendral yang terlibat didalam Markus. Selain itu juga membuka kebenaran bahwa salah satu staff dari Dirjen Pajak Gayus Tambunan sebagai penerima aliran dana suap Rp. 24,6 Milyar.
(15)
Setelah melakukan pengakuan tersebut, Mantan kabareskrim tersebut, mendapatkan perlawanan dari pihak Polri. Yang menyatakan bahwa dalam tubuh Polri tidak ada praktek Markus atau Jenderal markus.
Dengan pertentangan itu, mantan salah satu petinggi Polri tersebut tidak diam. Namun seiring kasus tersebut diungkap oleh beliau ke media, Mantan kabareskrim tersebut merasa terancam dengan seringnya mendapat pesan ancaman terhadap dirinya melalui handphone. Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Komisaris Jenderal Susno Duadji, mendatangi Komisi III (Komisi Hukum) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditemani empat pengacaranya untuk meminta perlindungan hukum ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal ini juga dikarenakan pada Jumat 26 Maret yang lalu Susno menolak untuk diperiksa Propam. Susno beralasan Propam menggunakan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2006 dan Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2006. Menurut Susno, kedua Peraturan Kapolri itu tidak sah digunakan untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik profesi dan
disiplin kepada dirinya
.
http://nasional.tvone.co.id/berita/view/35510/2010/03/30/susno_datangi_k omisi_iii_dpr_minta_perlindungan_hukum/
Sampai saat ini, kasus yang bermula dari pernyataan Mantan Kabareskrim tersebut masih terus ditindak lanjuti. Dalam kasus ini melibatkan banyak pihak lembaga hukum Negara termasuk perpajakan didalamnya.
(16)
Apa yang dilakukan oleh Mantan Kabareskrim tersebut, dapat menimbulkan berbagai dugaan mengenai kepolisian dari masyarakat. Padahal seperti yang diketahui, bahwa Susno Duadji adalah salah seorang yang pernah menjadi pejabat tinggi di Polri sebagai Kabareskrim.
Ramainya pemberitaan mengenai markus tersebut di televisi, membuat masyarakat sebagai pengguna hukum yang berkaitan dengan pelayanan polisi setiap saatnya, dapat mengubah pandangannya kembali tentang kepolisian. Sehingga membuat pembangunan citra yang dilakukan oleh kepolisian yang telah dilaksanakan secara bertahap selama ini, bisa mendapatkan tanggapan negatif.
Dengan adanya pemberitaan ini pula, sikap masyarakat sebagai pengguna hukum pastilah bermacam-macam. Apalagi setelah pengakuan yang dilakukan oleh Susno Duadji, Instansi Kepolisian tidak fokus dalam mengusut kasus Markus yang terjadi didalamnya. Malah memutuskan Susno Duadji sebagai tersangka pencemaran nama baik Instansi Polri.
Keputusan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian ini, pastilah juga mendapatkan sikap yang berbeda-beda dari masyarakatnya. Karena menganggap polisi tidak mampu dalam memisahkan antara permasalahan intern dari anggotanya dengan masalah yang telah di ungkap dalam tubuh kepolisian sendiri, yang juga menyangkut kepentingan publik. (Dialog Today, Metro TV)
(17)
Dengan alasan tersebut, maka penulis membuat penelitian ini dengan judul “Analisis Resepsi Pengguna Hukum Terhadap Citra Kepolisian Tentang Kasus Markus Pasca Pemberitaan Mantan Kabareskrim Susno Duadji di media Televisi”.
Penelitian ini melibatkan pengguna hukum di Surabaya. Selain karena Surabaya adalah salah satu kota dengan penduduk terbesar kedua setelah Jakarta, di Surabaya terdapat pusat dari hukum kepolisian di Jawa Timur yaitu POLDA Jatim.
Peneliti juga menggunakan pengguna hukum yang hanya dibatasi oleh usia 21 – 45 tahun. Dalam undang-undang menentukan bahwa untuk dapat bertindak dalam hukum adalah seseorang yang telah dewasa. Menurut pasal 330 KUH. Perdata seorang dikatakan dewasa apabila telah berusia 21 tahun keatas atau telah kawin sebelum mencapai umur tersebut dan jika terjadi pembubaranperwakilan sebelum mereka berusia 21 tahun mereka tepat diakui dewasa.
Dalam psikologi pada usia 21 – 24 tahun sekarang sering disebut sebagai masa dewasa muda atau masa dewasa awal. Dalam dewasa awal ini individu mendapatkan hak dan tanggung jawabnya terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Dalam penelitian ini penulis akan melakukan wawancara mendalam mengenai pemberitaan makelar kasus yang berkaitan kepolisian dalam pemberitaan di media massa, khususnya Televisi.
(18)
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Analisis Resepsi Pengguna Hukum Terhadap Citra Kepolisian Tentang Kasus Markus Pasca Pemberitaan Mantan Kabareskrim Susno Duadji di Media Televisi?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui analisis resepsi pengguna hukum di Surabaya, mengenai citra Kepolisian setelah adanya pengakuan dari Mantan Kabareskrim Susni Duadji, megenai makelar kasus yang sudah lama terjadi dalam tubuh Polri di Media Massa Televisi.
1.4 Kegunaan Penelitian a. Teoritis
Menjadikan bahan informasi untuk dimanfaatkan dan dipertimbangkan dalam penelitian lebih lanjut
b. Praktisi
- Menambah khasanah referensi bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
- Menambah wawasan bagi masyarakat pengguna hukum di Surabaya, untuk kritis dalam mendapatkan informasi yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat.
(19)
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Reception Analysis
Reception Analysis merupakan pendekatan baru dalam meneliti khalayak media (New Audience Research). Menurut Fiske dan de Certeu, dalam reception analysis khalayak merupakan pihak yang berupaya mencari makna pesan teks media. Khalayak tidak pasif dan berdiam diri saat menerima terpaan media dari segala penjuru.
Para perintis studi resepsi atau studi konsumsi menyatakan bahwa apapun yang dilakukan analisis makna tekstual sebagai kritik masih jauh dari kepastian tentang makna yang teridentifikasi yang akan diaktifkan oleh audience. Yang dimaksudkan adalah bahwa audience merupakan pencipta aktif makna dalam kaitannya tentang teks. Sebelumnya mereka membawa kompetensi budaya yang telah mereka dapatkan untuk dikemukakan dalam teks sehingga audience yang terbentuk dengan cara yang berbeda akan mengerjakan makna yang berlainan (Barker, 2006:34).
Pada dataran teoritis dua wilayah studi terbukti memiliki pengaruh tertentu: model encoding-decoding yang di kemukakan Hall (1981) dan studi resepsi literer.hall menyatakan bahwa produksi makna tidak menjamin konsumsi makna sebagaimana yang dimaksudkan pengode karena pesan-pesan (dalam televisi), yang dikonstruksi sebagai sistem
11
(20)
tanda dengan komponen multi-accentuated, bersifat polisemis, jadi mereka memiliki lebih dari sekedar serangkaian makna potensial. Ketika audience berpartisipasi dalam kerangka kerja kultural dengan produser, maka decoding audience dan encoding tekstual akan serupa. Namun, ketika anggota audience ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda dari pengode yang memiliki sumber daya kultural yang sama sekali berbeda, mereka akan mampu menkode program secara alternative. (Barker, 2006:34)
Reception analysis merupakan studi modern dari cultural studies. Karakteristiknya adalah :
- The media has to be ”read” through the perception of its
audience, which construct meaning and pleasure from the media text (and these are never fixel or predictable)
- The very process of media use and the way in which it unfold in
a particular context are central objects of interest
- Media use a tipycalli situation-specific and oriented to social
takes that evolve out of participation in ”interpretatives communities”
- Audience for particural media genres often comprise separate
”interpretative communities” that share much the same form of discourse and framework for making sense of media
- Audience are never passive, not are all their member aquel,
since some will be more experienced or more active fans than other
- Method have to be ”qualitative and deep, even etnographic,
taking account of content, act of reception and the context together ”
(Lindlof dalam Mc Quail, 1991:19)
Dalam hal ini karakteristik dari Reception Analisis adalah :
- Media yang ”dibaca” melalui persepsi/ pengertian dari audiens, dimana telah membangun arti dan sebuah kesenangan dari teks media (dan ini tidak pernah dapat dipastikan atau diprediksikan).
(21)
- Setiap proses media yang digunakan dan cara yang ditempuh dengan membentangkan konteks tertentu dengan pusat objek yang menarik. - Media menggunakan situasi yang pasti dan diorientasikan ke sosial
untuk menarik partisipan ke dalam ”pernyataan masyarakat”
- Audiens untuk gaya media particural sering terpisah yang meliputi "interpretative masyarakat" dengan berbagi format kerangka dan ungkapan yang hampir sama untuk membuat pengertian media.
- Audiens tidak pernah pasif, tidak semua dari mereka mampu memandang semenjak beberapa dari mereka menemukan pengalaman lebih atau lebih dari mereka.
- Memiliki metode ”kualitatif dan mendalam, termasuk gaya penulisan, memperhatikan isi, rindakan dari resepsi dan konteks bersama”
(Lindlof dalam Mc Quail, 1991:19)
Reception Analysis menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan produksi (Mc Quail, 1997:21)
Jensen (2003) mengatakan salah satu pikiran utama dalam reception analysis adalah para informan dari penelitian itu sendiri, untuk membangun sebuah laporan penelitian yang valid dari resepsi tersebut, penggunaan, dan pengaruh kuat dari media, harus menjadi analisa yang menanalisis baik informan maupun isi dari penelitian yang dilakukan. Reception analysis mengumpulkan data-data tersebut dan penerimanya
(22)
adalah elemen pelengkap dari satu wilayah penyelidikan yang ditujukan untuk aspek-aspek yang saling tidak berhubungan maupun aspek-aspek komunikasi sosial. Pada intinya,”Reception analysis berpendapat bahwa tidak akan pernah ada pengaruh tanpa makna.”(Jensen, 2003:135)
”Reception analysis adalah metode yang merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain”. ”Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa” (McQuail, 1997:19, dalam Priyana Hadi, 2007:16).
Sejarah dari munculnya Reception analysis ini menurut Achmad (2008) berakar pada tradisi studi media yang berbeda dari premis yang mendasari pendekatan Uses and Gratification. Analisis Resepsi khususnya dikembangkan dari teori kritis, semiologi, dan analisis diskursus. Analisis resepsi mempertanyakan metodologi penelitian sosial ilmiah empiris dan juga studi humanistik isi media karena keduanya tidak mampu atau tidak mengindahkan kemampuan khalayak dalam memberikan makna pada pesan pesan media. Inti dari pendekatan resepsi ini terletak pada atribusi dan konstruksi makna (yang didapat dari media) oleh khalayak. Pesan media senantiasa polisemik dan harus ditafsirkan.
(23)
Tradisi study khalayak dalam komunikasi massa mempunya dua pandangan arus besar (mainstream), pertama khalayak sebagai audience yang pasif. Sebagai audience yang pasif orang hanya bereaksi pada apa yang mereka lihat dan dengar dalam media. Khlayak tidak diambil bagian dalam diskusi-diskusi public. Khalaak merupakan sasaran media masa. Sementara pandangan kedua khalayak merupakan partisipan aktif dalam public. Public merupakan kelompok orang yang terbentuk atas isu tertentu dan aktif mengambil bagian dalam diskusi atas isu-isu yang mengenuka (Mc Quail, 1997:33)
Model ini menjelmakan beberapa prinsip yaitu keragaman beberapa prinsip yaitu keragaman pemaknaan, keberadaan interpretive community (komunitas penafsir), keutamaan penerima dalam menentukan makna. Analisis resepsi terutama dikembangkan untuk memberikan suatu pesan dan menyuarakan kepentingan ” receiver ” untuk menyatakan pendapatnya (Morley, 1980 dalam Achmad, 2008)
Jensen (2003) mengatakan munculnya Reception analysis dikelompokkan sesuai dengan konteks bentuk lain dari para informan penelitian tersebut, dan beberapa permulaan biasanya dimulai dengan mencoba untuk menemukan solusi dari masalah yang diajukan , untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul akibat dari gaya berbicara yang berbeda-beda dari informan, juga harus dilaporkan.
(24)
Disamping beberapa paparan peneliti tentang reception analysis, ternyata model ini juga memiliki beberapa kelemahan seperti yang disampaikan Achmad (2008), antara lain :
1. Teori resepsi seringkali didasarkan pada interpretasi subjektif dari laporan khalayak atau individu. Teori resepsi terlalu berorientasi pada level mikro.
2. Tidak dapat memberikan arahan tentang kehadiran atau ketidakhadiranefek media
3. Metode riset kualitatif mencegah atau tidak memungkinkan (preclude) penjelasan sebab akibat.
4. Analisis resepsi menghasilkan temuan-temuan yang kaya secara kualitatif, tetapi temuan-temuan tersebut tidak terlalu mudah untuk diteliti ulang (replicable) dan jarang dapat digeneralisir diluar kelompok kecil individu individu yang secara khusus diteliti.
5. Analisis resepsi juga dikatakan tidak jelas baik relevan secara sosial, socially relevan atau banyak berguna bagi praktisioner, or much use to practitioners.
(Jensen and Rosengren, 1990 dalam Achmad, 2008:46)
2.1.2 Pengertian Suap
Akhir-akhir ini masalah suap semakin sering diperbincangkan seiring semakin bertambahnya kasus suap yang terjadi. Dalam praktik sehari-hari, suap-menyuap sudah begitu menyebar ke berbagai sendi
(25)
kehidupan. Suap-menyuap tidak hanya dilakukan rakyat kepada pejabat negara (pegawai negeri) dan para penegak hukum, tetapi juga terjadi sebaliknya. Pihak penguasa atau calon penguasa tidak jarang melakukan sedekah politik (suap) kepada tokoh-tokoh masyarakat dan rakyat agar memilihnya, mendukung keputusan politik, dan kebijakan-kebijakannya.
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah adalah memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan.
Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi “Memahami untuk Membasmi” yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Dalam Undang-Undang No. 11 Th. 1980 tentang tindak pidana suap dijelaskan bahwa tindak pidana suap memiliki dua pengertian, yaitu: 1. Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud membujuk agar
seseorang berlawanan dengan kewenangan/kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.
2. Menerima sesuatu atau janji yang diketahui dimaksudkan agar si penerima melawan kewenangan/kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum
(26)
Adapun pemberian suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu : 1. Uang dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati
senang, tanpa penundaan pemalsuan, penambahan atau pengurangan, atau pengutamaan seseorang atas yang lainnya.
2. Uang dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa si pemberi menginginkan sesuatu.
3. Uang dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang ditentukan si pemberi uang.
2.1.3 Pengertian Markus
Makelar, seperti halnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, berarti: "perantara perdagangan (antara pembeli dan penjual). Orang yang menjualkan barang dan mencarikan pembeli; pialang". Sedangkan, menurut Kamus Bahasa Indonesia, susunan WJS Poerwadarminta, makelar adalah: "pengantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli)"
Makelar kasus (markus) merupakan sebuah istilah yang berasal dari dua kata yang digabungkan menjadi satu, yaitu kata makelar dan kasus. Dari pengertian kata makelar sendiri berarti merupakan perantara antara penjual dan pembeli. Makelar yang sudah mengenal baik si penjual dan si pembeli, maka keberhasilan akan terjadinya sebuah transaksi akan semakin besar.
(27)
(http://www.infogue.com/viewstory/2009/11/22/pengertian_makelar_kasu s_atau_markus/?url=http://karodalnet.blogspot.com/2009/11/makelar-kasus-atau-markus.html)
Bagi masyarakat umum, perantara lebih dikenal dengan istilah calo. Calo, dalam beberapa kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai "orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah", tidak ada bedanya dengan makelar. Calo lebih dikenal dalam pekerjaan yang lebih sederhana, seperti calo tiket pesawat terbang, kapal laut, dan bus. Calo juga berkeliaran di tempat pelayanan publik, dengan birokrasinya yang dikenal berbelit, seperti urusan di pemda, kepolisian, imigrasi dan yang lainnya. Untuk mempermudah dan memperlancar berbagai urusan di kantor publik banyak warga menggunakan jasa calo. Sebab itu muncul istilah uang sogok, uang pelicin, sampai uang pengertian. Baik makelar maupun calo, selain mendapatkan komisi dan upah, sering berusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak dengan cara menaikkan harga atau melakukan mark up.
(http://www.suarapembaruan.com/News/2009/12/04/Editor/edit01.htm)
Dengan pengertian diatas, dalam praktek yang dapat dijumpai di lapangan, salah satunya adalah kepengurusan surat-surat kendaraan dikenal dengan praktek pencaloan juga. Markus juga dapat diartikan sebagai kegiatan pencaloan untuk memperlancar suatu urusan yang tidak menyulitkan pihak pengguna jasa calo tersebut. Dalam skala ini markus yang berkaitan dengan pemberitaan di media televisi, adalah kegiatan
(28)
pencaloan suatu kasus dalam taraf besar. Yang mampu melibatkan pejabat hukum yang ada di tubuh kepolisian.
2.1.4 Komunikasi Massa
Mulyana menyatakan bahwa, komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola suatu lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. (2001; 75)
Menurut Tan and Wright dalam Liliweri 1991, komunikasi massa merupakan komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikas secara massal, berjumlah banyak, bertempat tingal yang jauh (terpercaya) sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. (2004:3)
Sedangkan menurut Garbner (1967),
“Mass Communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most boodly shared continuous how of message in industrial societies”.
(Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang continue serta paling luas dimiliki orang dalam masyaralat industry).
Menurut Wright, dalam Severin dan Tankard, bahwa komunikasi massa dapat didefinisikan dalam tiga ciri yaitu:
(29)
1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen, dan anonim.
2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum sering dijadualkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara.
3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar
(2005: 4)
Pada dasarnya media massa merupakan suatu alat untuk menyampaikan informasi kepada khalayak. Berikut adalah beberapa ciri komunikasi massa menurut Effendy :
1. Sifat komunikatornya yang melembaga dan terorganisasi
2. Sifat media massanya yang serempak cepat, maksudnya pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat dilakukan dalam waktu yang cepat dan bersamaan
3. Sifat pesannya yang umum (public), maksudnya pesan yang disampaikan oleh media massa dapat diakses oleh siapapun.
4. Sifat komunikannya, ditujukan kepada khalayak yang jumlahnya relatif besar, heterogen dan anonim.
5. Sifat efek dari komunikasi massa yang timbul pada komunikan bergantung pada tujuan komunikasi yang dilakukan oleh komunikator.
(30)
Apakah tujuannya agar komunikan hanya tahu saja, atau agar komunikan berubah sikapnya dan pandangannya
(2002; 51)
Komunikasi memiliki fungsi dan menurut Dominick fungsi komunikasi massa adalah
1. Surveillace (Pengawasan)
Sebagai salah satu media untuk mengawasi bentuk pemberitaan yang di beritakan.
2. Interpretation (Penafsiran)
Penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi antar pesona atau kelompok. Sehingga dapat memberikan komentar atau opini yang ditujukan kepada khalayak pembaca serta dilengkapi perspektif (sudut pandang) terhadap berita yang disajikan. 3. Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan masyarakat yang beragam sehingga membentuk literage berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.
4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai)
Fungsi ini disebut juga sosialisasi. Sosialisai mengacu kepada cara, dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok.
(31)
5. Entertainment (Hiburan)
Selain itu fungsi dari media massa adalah memberikan hiburan kepada masyarakat, sehingga tidak terlalu jenuh dengan informasi-informasi yang telah diberitakan secara berat.
(2001:15)
2.1.5 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa
Kehadiran teknologi televisi serta merta tidak lepas dari dampak yang ditimbulkannya terhadap pandangan yang terbentuk oleh manusia atau masyarakat sebagai khalayaknya. Dengan televisi semata-mata tidak ada batasan dalam pemberian suatu informasi dan tidak ada batas terhadap satu negara dengan negara yang lain, yang dapat menimbulkan globalisasi dibidang informasi. Segala peristiwa yang terjadi dibelahan dunia pada saat yang sama dapat diketahui melalui televisi.
Televisi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata tele yang berarti jauh dan visi yang berarti penglihatan. Jadi televisi diartikan ”melihat jauh” atau dipahami sebagai melihat gambar dan mendengar suara yang diproduksi di suatu tempat yang jauh (studio televisi) melalui sebuah perangkat penerima (televisi set). (Wahyudi, 1986:149)
Menurut Sastro (1992:23), bahwa dari beberapa media massa yang ada, televisi merupakan media massa elektronik yang paling akhir kehadirannya. Meskipun demikian televisi dinilai sebagai media massa yang paling efektif saat ini dan banyak menarik simpatik kalangan
(32)
masyarakat luas karena perkembangan teknologinya begitu cepat. Hal ini disebabkan oleh sifat audio visual-nya yang tidak lain penayangannya mempunyai jangkauan yang relatif tidak terbatas.
Menurut Effendy, televisi adalah perpaduan antara unsur radio (broadcast) dan unsur-unsur film (moving picture). Televisi mempunyai daya tarik yang disebabkan adanya unsur-unsur kata, musik, sound effect dan juga unsur visual berupa gambar. (2000:177)
Sedangkan siaran televisi adalah siaran-siaran dalam bentuk suara dan gambar yang dapat ditangkap oleh umum baik dengan sistem pemancaran dalam elektromagnetik maupun kabel-kabel (Kuswandi, 1996:13)
Televisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siaran (Televisi Broadcast) yang merupakan media elektronik dan memiliki ciri-ciri yang berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya menimbulkan keserempakan dan komunikannya heterogen (Effendy, 1993:17)
Dari berbagai macam media massa yang ada, televisi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Televisi bersifat audio visual, yakni dapat didengar dan dilihat sekaligus melalui panca indera. Televisi memberikan pengalaman yang langsung dan konkrit serta merangsang tumbuhnya minat-minat baru, keadaan-keadaan baru di sekeliling.
(33)
2. Menonton televisi sifatnya kolektif, sehingga tayangan televisi dapat mempersatukan suatu pikiran dan perbuatan. Lagi pula menangkap pesan dalam televisi menimbulkan keserempakan.
3. Televisi mampu menembus batas-batas geografis, ruang dan waktu sehingga dapat menjadikan informasi mudah menyebar dan sampai kepada khalayaknya.
4. Televisi dapat menimbulkan keinginan-keinginan masyarakat, dan mempercepat proses mencari perhatian terhadap berbagai keinginan (Wahyudi, 1986:7)
2.1.6 Pengertian Berita
Berita berasal dari bahasa sansekerta, ”Vrit”, yang dalam bahasa inggris disebut ”Vrite”. Arti sebenarnya adalah ”ada” atau ”terjadi”. Ada juga yang menyebut dengan ”Vritta”, artinya ”kejadian atau yang telah terjadi”. Vritta dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi ”berita atau warta”. Dalam kamus bahasa Indonesia karya W. J. S Poerdaminata, berita berarti kabar atau warta. (1984 : 128)
Dean M. Lyle Spencer dalam bukunya yang berjuddul News Writings, yang kemudian dikutip oleh Georgr Fox Mott (News Survey Journalism), menyatakan bahwa, berita dapat didefinisikan sebagai setiap fakta yang akurat atau suatu ide yang dapat menarik perhatian bagi sejumlah besar pembaca.
(34)
Dja’far H. Assegaff dalam bukunya Jurnalistik Massa Kini, mendefinisaikan berita dalam arti jurnalistik sebagai berikut:
”Berita adalah sebagai laporan tentang fakta atau ide yang termasa dan terpilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang kemudian dapat menarik pembaca. Entah karena uar biasa; karena penting atau akibatnya; karena mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan” (1982:24)
Namun pengertian berita bisa diperjelas menjadi ”laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat”. Jadi berita dapat dikaitkan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi. (Djuroto, 2000 : 46)
DeFleur dan Dennis menyatakan bahwa definisi berita sebagai laporan yang menyajikan rincian data tentang isu, peristiwa atau proses yang dapat menarik minat khalayak dan informasi. Yang disajikan dalam berita harus memiliki nilai yang lebih (signifikan, aktual, luar biasa dan seterusnya) yang dapat menambah dan mempertegas pengetahuan khalayak (1989 : 604).
Kemudian menurut Mitchel V. Charnley dalam Effendy, definisi berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta atau opini yang memiliki daya tarik atau hal penting atau kedua-duanya bagi masyarakat luas (Muda, 2003:22).
Sedangkan menurut Fred Wibowo, berita adalah suatu sajian laporan berupa fakta dan kejadian yang mempunyai nilai berita dan disiarkan melalui media massa secara periodik (1997 : 85).
(35)
Cakupan tersebut dapat dicatat bahwa kata-kata seperti fakta, akurat, ide, tepat waktu, menarik, penting, opini dan sejumlah pembaca merupakan hal-hal yang peru mendapatkan perhatian. Dengan demikian disimpulkan bahwa berita adalah suatu fakta, ide atau opini aktual yang menarik dan akurat serta dianggap penting bagi sejumlah besar pembaca, pendengar, penonton. (Muda, 2003:22)
Lain dari pada itu, Paul de Massenner dalam buku Here’s Thee News : Unesco Associated menyatakan, news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan menarik serta menarik minat khalayak.
Sedangkan Charnley & James M. Neal menuturkan berita adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini, kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, mnarik, masih baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Errol jonathans dalam Mirza, 2000 : 68-69).
Doug Newsom & James A. Wallert, mengemukakan dalam definisi sederhana, berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang atau lebih luas lagi oleh masyarakat. Dengan melaporkan berita, media massa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai apa saja yang mereka butuhkan (1985 : 11).
Definisi lain yang dikumpulkan Assegaff, diharapkan bisa memberikan pengertian dan pemahaman yang lebih luas lagi mengenai berita (1983 : 23-24).
(36)
Sebuah berita menjadi menarik untuk dibaca, didengar atau ditonton, jika berita tersebutmemilikini nilai atau bobot yangberbeda antarasatu dan yang lainnya. Nilai berita tersebut sangat tergantung pada pertimbangan seperti berikut:
a. Timeliness
Berarti waktu yang tepa. Artinya emiliki berita yang akan disajikan harus sesuai dengan waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat pemirsa atau pembaca.
b. Proximity
Proximity artinya kedekatan. Kedekatan disini yakni dapat berarti dekat dilihat dari segi lokasi, pertalian, ras, profesi, kepercayaan, kebudayaan maupun kepentingan terkait yang lainnya.
c. Prominence
Prominence artinya adalah orang yang terkemuka. Semakin orang itu terkenal maka akan semakin menadi bahan yang menarik pula.
d. Consequence
Consequence artinya konsekuensi atau akibat. Pengertiannya yaitu segala tindakan atau kebijakan, peraturan, perundangan dan lain-lain yang dapat berakibat merugikan atau menyenangkan orang banyak merupakan bahan berita yang menarik.
(37)
e. Conflict
Conflict (konflik) memiliki nilai berita yang sangat tinggi karena konflik adalah bagian dalam kehdupan. Di sisi lain berita adalah sangat berhubungan dengan peristiwa kehidupan.
f. Development
Development (pembangunan) merupakan materi berita yang cukup menarik apabila reporter yang bersangkutan mampu mengulasnya dengan baik.
g. Weather
Weather (cuaca) di Indonesia atau di negara-negara yang beradadi sepanjang garis khatulistiwa memang tidak banyak terganggu.
h. Sport
Berita olah raga sudah lama jadi daya tariknya
i. Human Interest
Kisah-kisah yang dapat membangkitkan emosi manusia seperti lucu, sedih,dramatis, aneh dan ironis merupakan peristiwa dari segi human interest.
2.1.7 Jenis Berita
Berita pada umumnya dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu hard news (berita berat), soft news (berita ringan) dan investigative report (laporan penyelidikan). Ketiga kategori tersebut akan dapat mewadahi apa yang telah diuraikan diatas tentang cara memilih materi
(38)
berita. Pembedaan terhadap tiga kategori tersebut didasarkan pada jenis peristiwa dan cara penggalian data. (Muda, 2005:40-42)
1. Hard News
Hard news adalah berita tentang peristiwa yang dianggap penting masyarakat baik sebagai individu, kelompok maupun organisasi. Berita tersebut misalknya tentang diberlakukanya suatu kebijakan baru pemerintah. Ini tentu saja akan menyangkut hajat orang banyak sehingga orang ingin mengetahuinya, karena itu harus segera diberitakan.
Reporter yang pandai seringkali menginformasikan berita tersebut lebih awal sebelum kebijakan diturunkan. Tentu dengan mengetengahkan sumber-sumber yang dapat meyakinkan pemirsa. Misalnya tentang adanya isu pergantian pejabat atau adanya kenaikan harga. Hard news juga termasuk kejadian interasional, keadaan masyarakat, masalah ekonomi, kriminal, kerusakan lingkungan, maupn berita tentang ilmu pengetahuan.
2. Soft News
Soft news juga sering disebut sebagai feature yaitu berita yang tidak terikat dengan aktualitas, namun memiliki daya tarik bagi pemirsanya. Berita-berita semacam ini sering kali lebih menitik beratkan pada hal-hal yang dapat menakjubkan atau mengherankan pemirsa. Ia juga dapat menimbulkan kekhawatiran bahkan ketakutan atau mungkin juga menimbulkan simpati. Objeknya bisa manusia,
(39)
hewan, benda, tempat atau apa saja yang dapat menarik perhatian pemirsa. Misalnya tentang lahirnya hewan langka di kebun binatang, anjing menggigit majikannya, atau masyarakat kecil mendapatkan lotere milyaran rupiah.
Bagi televisi, berita ringan ini sangat diperlukan dalam setiap penyajian buletin berita. Hal ini karena berita ringan juga dapat berfungsi sebagai selingan antara berita-berita berat yang disiarkan pada awal sajian. Secara psikologis, pemirsa yang mendapat sajian berita berat dari awal sampai akhir akan merasa tegang terus karena itu perlu interval. Iklan di dalam berita sesungguhnya juga punya fungsi yang sama selain fungsi promosi produk.
3. Investigative News
Investigative report disebut juga laporan penyelidikan investigasi adalah jenis berita yang eksklusif. Datanya tidak bisa diperoleh di permukaan, tetapi harus dilakukan berdasarkan penyelidikan. Sehingga penyajian berita seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan tentu akan menghabiskan energi reporternya.
Berita penyelidikan ini sangat menarik, karena cara mengungkapkannya pun tidak mudah. Seseorang reporter untuk dapat melakukan tugas ini harus memiliki banyak sumber orang-orang dalam mendapatkan jaminan untuk tidak terekspos karena keselamatan diri mereka.
(40)
Berita penyelidikan untuk media televisi akan lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan berita yang sama untuk media cetak. Televisi membutuhkan gambar, bahkan wajah orang yang diwawancarai. Namun teknologi elektronika kini memungkinkan untuk dapat mengaburkan wajah orang yang akan diwawancarai, agar dapat terhindar dari kemungkinan bahaya atas apa yang ia sampaikan dalam wawancara televisi.
2.1.8 Pengguna Hukum di Surabaya Sebagai Pemirsa Televisi
Sasaran peneliti sebagai koresponden adalah usia 21 – 45 tahun, yang berada dalam lingkungan masyarakat di Surabaya. Dalam undang-undang menentukan bahwa untuk dapat bertindak dalam hukum seseorang telah dewasa, arti dewasa dalam hukum berbeda-beda. Menurut pasal 330 KUH Perdata, seorang dikatakan dewasa apabila telah berusia 21 tahun keatas atau telah kawin sebelum mencapai umur tersebut dan jika terjadi pembubaran perwakilan sebelum mereka berusia 21 tahun mereka tepat diakui dewasa.
Pemirsa merupakan sasaran komunikasi massa melalui media televisi. Komunikasi dapat efektif, bila pemirsa terpikat perhatiannya, tertarik minatnya, mengerti dan melakukan kegiatan yang diinginkan komunikator.
Pada dasarnya pemirsa televisi dapat dibedakan menjadi empat hal, yaitu :
(41)
1. Heterogen (aneka ragam)
Yaitu pemirsa televisi adalah massa, sejumlah orang yang sangat banyak, yang sifatnya heterogen/ beraneka ragam, terpencar-pencar di berbagai tempat. Selain itum pemirsa televisi dapat dibedakan pula menurut jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dan taraf kehidupan dan kebudayaan.
2. Pribadi
Yaitu untuk diterima dan dimengerti oleh pemirsa, maka isi pesan yang disampaikan melalui televisi bersifat peribadi dalam arti sesuai dengan situasi pemirsa saat itu.
3. Aktif
Yaitu pemirsa bersifat aktif, seperti apabila mereka menjumpai sesuatu yang menarik dari sebuah stasiun televisi, mereka aktif berfikir untuk melakukan interpretasi. Mereka bertanya pada dirinya, apakah yang diucapkan oleh seorang penyiar televisi benar atau tidak.
4. Selektif
Yaitu pemirsa bersifat selektif dalam memilih program televisi yang disukainya.
(42)
2.1.9 Culural Studies
2.1.9.1 Pengaruh Budaya dalam Proses Pemaknaan Teks
Cultural Studies lahir sebagai alternatif baru dalam kajian terhadap khalayak. Pada tahun 1960-an dibentuknya Centre for Contemporary Cultural Syudies di Universitas Brimingham Inggris sebagai bentuk praktisi cultural studies dan telah memperluas basis intelektual dan cakupan geografisnya.
Beberapa definisi cultural studies menurut Barnett (1998):
1. Cultural Studies adalah suatu arena interdisipliner dimana perspektif
dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat diambil dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan.
2. Cultural studies terkait dengan semua praktik, institusi dan system
klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai, kepercayaan, kompetensi, rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku suatu masyarakat.
3. Bentuk-bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh cultural studies beragam, termasuk gender, ras, kelas, kolonialisme, dll. Cultural studies berusaha mengeksplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah agen dalam upayanya melakukan perubahan.
(Barnett dalam Barker, 2006:7)
Cultural Studies merupakan suatu bangunan diskursif, yaitu ’jejak-jejak’ pemikiran, citra dan praktis, yang menyediakan cara-cara untuk
(43)
berbicara, bentuk-bentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait dengannya, tentang topik, aktivitas sosial tertentu atau arena institusional dalam masyarakat. (Hall, dalam Barker, 2006:6)
Jika dihubungkan dengan media, pengertian khalayak dibedakan menjadi dua yaitu mass society dan community. Di sini pengertian khalayak diartikan sebagai suatu comunityi. Lebih lanjut Littlejohn membahas bahwa khalayak terdiri dari ragam komunitas yang berbeda-beda. Dimana masing-masing memiliki gagasan, nilai dan kepentingan sendiri-sendiri. Kemudian isi media diinterpretasikan oleh anggota komunitas yang ada sesuai makna sosial yang berlaku didalamnya. Individu-individu yang ada dalam komunitas tersebut lebih dipengaruhi oleh peers daripada oleh media. (Littlejohn, 1999:335)
Menurut Litllejohn (1999), ketika memahami makna isi media, komunitas-khalayak lebih mengacu pada makna sosial yang berlaku disekitarnya dari pada makna teks meida itu sendiri. Dengan demikian, makna terhadap isi media berbeda pada tiap individu dan erat kaitannya dengan budaya yang melingkupinya. Gerard Schoening dan James Anderson mengemukakan bahwa khalayak akan memahami dan menginterpretasikan apa yang ada dalam isi media dengan cara yang berbeda satu sama lain. Khalayak mencari media sesuai dengan kebutuhannya sehingga ia akan memaknai isi media yang dipilihnya sesuai keinginannya sendiri. Ia merupakan khalayak yang aktif. Ia akan cenderung memilih media dan memaknainya secaraindividual dari hasil
(44)
interaksinya dengan lingkungan sosial. Memaknai isi media pun menjadi suatu hal uang kompleks. Khalayak hidup dan berinteraksi dalam dunia sosial mereka sehingga makna diperoleh dari budaya. Budaya timbul dari hasil interaksi antar individu yang terlibat didalamnya. Selanjutnya terbentuklah makna komunal atau makna bersama. Isi media pada akhirnya akan dimaknai bedasarkan makna individual khalayak dan makna bersama sebagai hasil dari komunikasi dan interaksi. (Littlejohn, 1999:336)
Thompson bersama Williams, mengonsepsikan kebudayaan sebagai sesuatu yang biasa dan dijalani, meskipun dia juga menaruh perhatian pada apa yang dilihatnya sebagai sesuatu yang kultural namun sosio-ekonomis. Bagi Thompson, kelas adalah fenomena ahistoris yang dibentik dan diciptakan oleh masyarakat: ia bukan ’benda’, melainkan serangkaian relasi sosial dan pengalaman. (Barker, 2006: 41)
2.2 Kerangka Berpikir
Kepuasan diperoleh individu setelah kebutuhan dapat tercapai. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu pasti memiliki kebutuhan dan kebutuhan itu harus dipenuhi agar individu dapat meraih kepuasan dalam hidupnya.
Kebutuhan individu tersebut beraneka ragam, mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga kebutuhan akan informasi mengenai hal-hal dan
(45)
fenomena yang terjadi disekelilingnya. Kebutuhan akan informasi dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi media cetak ataupun elektronik.
Televisi sebagai salah satu komunikasi massa adalah media massa yang penyampaian isi pesannya seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Informasi yang disampaikan lewat televisi akan muda dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat secara visual. (Suwandi, 1997:7).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan reception analysis. Pendekatan ini memandang khalayak sebagai active producer of meaning dan bukan hanya sebagai konsumen media. Penerimaan tersebut tidak dapat diprediksi sebelumnya, karena masing-masing individu memaknainya berdasarkan field of experience dan frame of reference yang dipunyai oleh masing-masing individu.
Untuk mendukung data penelitian, peneliti akan melakukan wawancara mendalam (Dept Interview). Dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan terbuka mengenai citra kepolisian pasca pemberitaan markus yang diungkap oleh Mantan Kabareskrim Susno Duadji.
(46)
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan untuk memilih kondisi suatu objek yang alamiah dimana peneliti merupakan instrument kunci. Selain itu metode kualitatif juga berupaya memahami tingkah laku manusia yang tidak cukup hanya dengan surfance behavioral semata, tetapi juga melihat prospektif dalam diri manusia untuk mempunyai gambaran yang utuh tentang manusia dan dunianya. (Mulyana; 2003:32)
Study yang digunakan dalam penelitian ini adalah Reception Analysis, yang merupakan sebuah studi yang menekankan pada khalayak sebagai “interpretative communities”. Dimana khalayak dianggap aktif bukan hanya dalam penelitian media, tetapi juga aktif dalam memberikan makna (meaning making) terhadap isi pesan media sesuai konteks dimana dia berada.
Dalam penelitian ini, peneliti berfungsi sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku social. Peneliti harus berempati dengan masyarakat yang akan diteliti, mengerti bagaimana mereka memahami realitas dan peristiwa yang beraneka ragam tersebut.
38
(47)
3.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah hasil dari wawancara mendalam yang dilakukan, yaitu berupa informasi interpretasi, hasil pemikiran dan pendapat masyarakat pengguna hukum sebagai informan. Lokasi penelitian dilakukan di Kotamadya Surabaya, dengan pertimbangan sebagai salah satu pusat kota dengan heterogenitas penduduk yang cukup tinggi sehingga reliabilitas data dapat diperoleh. Selain itu Markas kepolisian terbesar kedua berada di POLDA Jatim, yang berlokasi di Surabaya.
Pengguna hukum yang menjadi informan adalah yang tidak saling kenal, sehingga agar terhindar dari diskusi kecil, yang dapat merubah pemikiran satu sama lain. Dalam hal ini, peneliti mengambil pengguna hukum yang berusia 21 tahun sampai dengan 45 tahun dari seluruh kalangan pengguna hukum di Surabaya, yang mengetahui mengenai pemberitaan Susno Duadji dan pernah berkaitan dengan kasus suap dengan pihak kepolisian.
3.3 Unit Analisis
Unit analisis dari penelitian ini adalah narasi-narasi kualitatif yang didapat dari wawancara medalam, berupa informasi interpretasi, hasil pemikiran dan pendapat pengguna hukum sebagai informan.
(48)
3.4 Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah pengguna hukum yang sering berkaitan dengan kepolisian, yang berlokasi di Surabaya dan menonton pemberitaan mengenai mantan Kabareskrim Susno Djuaji, tentang Makelar Kasus (markus) yang terjadi dalam tubuh Kepolisian. Pengguna hukum tersebut antara lain adalah ibu rumah tangga, karyawan atau karyawati dan mahasiswa. Namun dalam hal ini tidak memungkinkan pula informan berantai, dari satu informan ke informan lain yang saling kenal karena adanya pengalaman berurusan dengan kepolisian.
Yang membatasi penelitian ini adalah pada faktor usia 21 - 45 tahun. Hal ini dikarenakan, menurut pasal 330 KUHPerdata, seorang dikatakan dewasa apabila telah berusia 21 tahun keatas atau telah kawin sebelum mencapai umur tersebut dan jika terjadi pembubaran perwakilan sebelum mereka berusia 21 tahun mereka tepat diakui dewasa.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
3.5.1 Wawancara Mendalam (Dept Interview)
Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung tatap muka dengan informan agar mendapatkan data lengkap dan lebih mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan frekuensi tinggi (berulang-ulang) secara intensif. Selanjutnya dibedakan antara responden (orang yang diwawancarai hanya sekali) dengan informan (orang yang ingin periset ketahui/ pahami dan yang akan
(49)
diwawancarai beberapa kali), karena itu juga disebut dengan wawancara intensif (intensive interview). Biasanya menjadi alat utama pada riset kualitatif yang dikombinasikan dengan observasi partisipan.
Wawancara mendalam memiliki karakteristik yang unik:
1. Digunakan untuk subjek yang sedikit atau bahkan satu atau dua orang saja. Mengenai banyaknya subjek, tidak ada ukuran pasti. Berbeda dengan riset kuantitatif yang mensyaratkan sampel harus dapat mewakili populasi. Pada wawancara mendalam periset berhenti mewawancarai hingga periset bertindak dan berfikir sebagai anggota-anggota kelompok yang sedang di riset (Frei, 1992:288). Atau jika periset merasa data yang terkumpul sudah jenuh (tidak ada sesuatu yang baru) maka ia bisa mengakhiri wawancara.
2. Menyediakan latar belakang secara detail (detailed background) mengenai alasan informan memberikan jawaban tertentu. Dari wawancara ini terelaborasi beberapa elemn jawaban, yaitu opini, nilai-nilai (values), motivas, pengalaman-pengalaman, maupun perasaan informan.
3. Wawancara mendalam memperhatikan bukan hanya jawaban verbal informan, tapi juga observasi yang panjang mengenai respon-respon nonverbal informan.
4. Wawancara mendalam ini biasanya dilakukan dalam waktu lama dan berkali-kali. Tidak seperti wawancara yang biasa digunakan dalam survei yang mungkin beberapa menit, sebuah wawancara mendalam
(50)
bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Bahkan bila perlu pewawancara sampai harus melibatkan diri secara dekat dengan hidup bersama informan guna mengetahui pola keseharian informan.
5. Memungkinkan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda atas informan yang satu dengan yang lain. Susunan katandan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap informan (Denzin, 1989:105). Jadi, pertanyaannya tergantung pada informasi yang ingin anda peroleh dan berdasarkan jawaban informasi yang dikembangkan oleh periset.
6. Wawancara mendalam sangat dipengaruhi oleh iklim wawancara. Semakin kondusif iklim wawancara (keakraban) antara periset (pewawancara) dengan informan, maka wawancara dapat berlangsung terus.
(Rakhmat, 2006:99)
Wawancara mendalam (Depth Interview) dipakai untuk mendapatkan dan mengumpulkan data. Wawancara mendalam akan dilakukan secara per partisipan, sehingga antara individu partisipan satu dengan yang lain tidak ada hubungan untuk saling memperngaruhi dan diambil dari nernagai kalangan yang ada di masyarakat. Peneliti akan mengambil antara 10 sampai 20 partisipan sebagai informan untuk di wawancarai.
Penggunaan wawancara mendalam, menuntut peneliti untuk menciptakan pertanyaan-pertanyaan seputar tema yang ditentukan peneliti dengan tujuan agar tidak melenceng dari tujuan awal. Dalam hal ini adalah
(51)
sikap masyarakat pengguna hukum di Surabaya setelah adanya pemberitaan mengenai Makelar kasus (Markus), yang diungkap oleh salah satu Mantan Petinggi Kepolisian, Kabareskrim Susno Duadji.
3.6 Teknik Analisis Data
Pada tahap analisis data ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Kata-kata
Kata-kata aktual dan maknanya sebaiknya ditentukan dengan mengelompokkan konsep yang sama.
2. Konteks
Mencari stimulus pencetus, enterpretasi dan komentar yang terkandung dalam konteks setiap kata.
3. Konsisten Internal
Membuat alur percakapan dan maencatat setiap perubahan dan pergantian posisi ketika berinteraksi.
4. Kekhususan Respon
Respon berdasarkan pengalaman dipandang lebih berbobot dari pada respon yang tidak jelas dan impersonal.
5. Gagasan Umum
Mencari gagasan umum yang menjadi benang merah dari keseluruhan hasil diskusi.
(52)
Analisis data haruslah mengikuti aturan tertentu agar diperoleh suatu kesimpulan yang sama oleh pihak lain melalui pengolahan dokumen atau data mentah yang ada.
Selain itu, untuk mendapatkan pemahaman dan pemaksaan saat melihat situasi tertentudalam partisipan, data yang dilaporkan bias dilihat dalam tiga level berikut:
1. Data Mentah. Berupa pernyataan responden yang disusun berdasarkan tingkat alamiah atau tema yang diangkat dalam diskusi. 2. Pernyataan Deskriptif. Merupakan kesimpulan komentar responden
yang didukung contoh ilustrasi dengan menggunakan data mentah. 3. Interpretasi. Mengacu pada proses pemaknaan data pernytaan
deskriptif dengan memperhatikan bias-bias dalam interpretasi. (Marczak, 2002: http://ag.arizona.adu/fcr/fs/cyfar/focus.html)
Dari data yang tersedia tersebut, peneliti dapat mengambil kesimpulan mengenai pendapat dari berbagai individu masyarakat pengguna hukum kepada cira kepolisian.
(53)
4.1 Gambaran Objek Penelitian 4.1.1 Pengguna Hukum
Pengguna hukum adalah masyarakat yang dikenai peraturan yang telah diberlakukan oleh penegak hukum dan negara. Pengguna hukum dalam penelitian ini adalah masyarakat yang Dewasa.
Dalam undang-undang menentukan bahwa untuk dapat bertindak dalam hukum adalah seseorang yang telah dewasa. Menurut pasal 330 KUH. Perdata seorang dikatakan dewasa apabila telah berusia 21 tahun keatas atau telah kawin sebelum mencapai umur tersebut dan jika terjadi pembubaran perwakilan sebelum mereka berusia 21 tahun mereka tepat diakui dewasa.
Dalam psikologi pada usia 21 – 24 tahun sekarang sering disebut sebagai masa dewasa muda atau masa dewasa awal. Dalam dewasa awal ini individu mendapatkan hak dan tanggung jawabnya terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. (Moenks/Knoers/Haditono, 2006: 262)
Penelitian ini melibatkan pengguna hukum di Surabaya yang berusia 21 tahun sampai 45 tahun. Selain karena Surabaya adalah salah satu kota dengan penduduk terbesar kedua setelah Jakarta, di Surabaya terdapat pusat dari hukum kepolisian di Jawa Timur yaitu POLDA Jatim. Pengguna hukum dalam penelitian ini tidak membedakan jenis kelamin,
45
(54)
baik laki-laki atau perempuan dimintai pendapatnya mengenai citra kepolisian.
Pengguna hukum yang terdiri dari profesi apa saja, seperti ibu rumah tangga, karyawan atau karyawati, pengusaha, mahasiswa, dan lain-lainnya, pernah memiliki pengalaman yang berkaitan dan berurusan dengan pihak polisi. Baik secara langsung maupun tidak langsung yang menggunakan perantara dalam kepengurusannya.
4.2 Analisis Data 4.2.1 Analisis Data
Penulis telah melakukan wawancara kepada pengguna hukum dari berbagai golongan. Terdapat ibu rumah tangga, mahasiswa, karyawan serta coordinator supir bemo di Surabaya.
Informan dimana semuanya adalah orang dewasa, pernah melakukan kegiatan suap dan berusia 21 tahun sampai 45 tahun saling memberikan argumennya mengenai citra kepolisian, dengan berdasarkan pengalaman yang dimiliki atau didapat dari orang lain.
Berikut adalah demografi informan yang telah diwawancarai: 1. Informan 1
Seorang koordinator supir angkutan umum yang sudah memiliki keluarga, berusia 44 tahun dan memiliki banyak pengalaman dengan pihak kepolisian. Pernah dijadikan terdakwa dalam satu kasus, yang juga berkaitan dengan jaksa.
(55)
2. Informan 2
Seorang karyawan warnet dan berusia 25 tahun. Menggunakan calo dalam pembuatan SIM, padahal usia pada waktu iru 15 tahun. Dalam hal ini dapat diartikan juga memaksakan pembuatan KTP pada usia 15 tahun yang harusnya, KTP bisa didapatkan pada usia 17 tahun. KTP merupakan salah satu syarat yang harus ditunjukkan dalam pembuatan SIM.
3. Informan 3
Lulusan salah satu perguruan tinggi swasta, sedang mencari kerja dan berusia 24 tahun. Memberikan sejumlah uang untuk membebaskan diri dari kesalahan melanggar marka jalan kepada anggota polisi.
4. Informan 4
Mahasiswa perguruan tinggi swasta, berusia 25 tahun. Memberikan sejumlah uang terhadap angota administrasi di Samsat, saat mengambil STNK yang di ambil oleh pihak kepolisian, saat ada pemeriksaan rutin dijalan.
5. Informan 5
Seorang ibu rumah tangga berusia 43 tahun dan sudah memiliki dua orang anak. Memberikan sejumlah uang terhadap polisi, saat melanggar marka jalan.
(56)
4.2.2 Analisis Data Wawancara
Suap merupakan salah satu tindak kriminal yang melanggar hukum. Namun dalam kepolisian hal tersebut merupakan suatu hal yang sering dilakukan, padahal kepolisian adalah salah satu lembaga hukum di Indonesia. Beberapa tahun ini polisi menggalakkan Gerakan Anti Suap dalam institusinya, dengan berbekal semboyannya sebagai pengayom masyarakat.
Tapi dalam kenyataan yang ada dilapangan, penggunaan suap dalam kepolisian masih ada. Baik di jalan maupun dalam institusi kepolisian, yang berurusan dengan administrasi atau hukum. Masih adanya tindakan suap menyuap yang dilakukan masyarakat pengguna hukum banyak diakui oleh masyarakat.
“ Aku pernah gitu!! Kasus itu Waktu itu tahun itukan, saya punya SIM kan udah lama ya. Saya pernah itu …wah iku sek isine sek top-top ‘e “mosok ngene ae gak isok!”, trus tak cobak … Ternyata Gagal. Ternyata gagal, saya pikir saya mampu, saya masih ini wes .. lek saiki lak wes teler wes males mikir mungkin, dulu masih top-top ‘e stre-stresnya akhirnya saya gagal Akhirnya lewat calo ” . (Informan 1, 44 tahun, 19 Mei 2010)
“ Oh pernah, dulu pas belum tau bikin SIM pas SMP, aku dulu berumur 15 tahun”
(57)
Dalam statement diatas baik informan 1 dan informan 2, sama-sama menggunakan Calo dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan SIM. Calo yang dimaksud disini adalah merupakan salah satu kegiatan perantara untuk mempermudah pihak lain dalam mengurus administrasi ataupun kelulusan untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Calo memiliki kenalan atau hubungan kerjasama dengan pihak di dalam administrasi kepengurusan SIM atau surat lainnya di kepolisian.
Berdasarkan statement pertama yang telah diutarakan oleh informan 1, istri dari informan 1 menanyakan tentang persamaan antara calo dengan markus.
“Calo Vi, duduk anu, calo yek opo ngunu iku?” (Istri dari Informan 1, 39 tahun, 19 Mei 2010) “Yo lewat tangan, yo sama juga”
(Informan 1, 44 tahun, 19 Mei 2010)
Pada statement kedua, informan 1 menyatakan adanya kesamaan antara calo dengan makelar kasus. Dalam hal ini layaknya makelar kasus, seorang calo menerima kasus-kasus yang berkaitan dengan kesulitan dalam kepengurusan mendapatkan SIM atau surat-surat yang lainnya.
Bukan hanya calo yang bisa dijadikan jalan untuk mencapai kemudahan, bahkan pihak kepolisianpun menawarkan jasanya untuk mempermudah dalam kepengurusan administrasi dalam mengeluarkan surat-surat kendaraan lain. Seperti yang dialami oleh Informan 4, yang
(58)
pada saat itu ditemui di sebuah pameran Informasi Teknologi (IT), di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya..
“ Waktu itu pembayaran STNK, waktu itu kena tilang di Jakarta terus, ya udah langsung kita ke Samsat nya dan di samsat itu sendiri langsung ke orangnya, dia bilang “mempermudah”, ya wis … cuman lebih mahal, biar lebih cepet gitu katanya”
“Ada jalan yang lebih mudah … ya kita pake yang lebih mudah”
(Informan 4, 25 tahun, 22 Mei 2010)
Dalam pernyataan informan 4, menyatakan bahwa saat mengambil Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang dalam sebuah kegiatan operasi kendaraan, informan ditunjukkan untuk menghadap seseorang yang berada di Samsat. Disana informan ditawarkan untuk mempermudah dalam pengambilan STNK tersebut, yaitu melalui jalan pintas dengan memberikan sejumlah uang, agar dipermudah urusannya.
Padahal dalam proses hukum yang sebenarnya, setelah surat-surat tersebut ditahan oleh pihak kepolisian, maka surat-surat tersebut akan diserahkan ke pihak Komisi Pelayanan Publik yang berada di Samsat untuk di serahkan ke Pengadilan. Hal tersebut agar pemilik dari surat-surat tersebut menjalani proses hukum pengadilan karena pelanggaran yang dilakukan dan menyerahkan sejumlah uang kepada Negara untuk menebus kembali surat-surat tersebut, sesuai dengan undang-undang yang sudah diberlakukan.
(59)
Namun pada kasus yang diungkapkan diatas, informan 4 hanya sampai mehadap ke Samsat untuk mengambil STNK dengan memberikan sejumlah uang yang harusnya tidak dikeluarkan atau diberikan pada pihak yang berada Samsat tersebut. Jumlah uang tersebut lebih mahal dari denda dikenakan dalam undang-undang.
Praktek suap bukan hanya dilakukan pada saat administrasi saja. Bahkan pada saat melakukan pelanggaran dijalan polisi kerap menawarkan suatu pilihan mudah terhadap pelanggar marka dan banyak pula yang takut dengan adanya polisi semakin dijadikan kesempatan oleh pihak kepolisian.
“ Aku pernah kecekel kok salah jalan gitu. Itu …“yek opo iki” bahasa inggris ‘e yek opo, yaaes .. tambah ngunu e ..!! Gara-gara salah jalan gitu. Aku anterin temenku karena ga tau jalan, trsu njaluk tolong, aku tolong pengen ero suramadu, trus makan setelah makan, jalan , tiba-tiba priit wah aku salah iki. Begitu nunjukin SIM dan STNK, trus polisinya bilang “yek opo iki” .. wes bahasa inggris e ngunu wes, aa ngenekno kek ‘i dua puluh ribu .. lancar wes”
(Informan 1, 44 tahun, 19 Mei 2010)
“ Pokok ‘e jek onok Vik, masih ada yang begitu-begitu” (Istri Informan, 39 tahun, 19 Mei 2010)
Dalam statement diatas, terdapat ungkapan dari seorang Polisi “Yek opo iki?”, yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “Gimana ini?”. Ungkapan “Gimana ini?” bagi masyarakat pengguna hukum adalah ungkapan bagi polisi untuk meminta atau mempermudah jalan pihak
(60)
pelanggar agar tidak terkena sidang di pengadilan. Hanya dengan memberikan uang sejumlah Rp. 20.000,- (Dua puluh ribu), keadaan pun membalik dan berubah menjadi lancar.
Dalam statement kedua, yang diungkapkan oleh istri dari informan 1, memberikan penegasan bahwa kegiatan suap masih sering dilakukan. Banyak ungkapan-ungkapan atau kata-kata kiasan lain yang dapat menggantikan kata suap didalamnya.
“Yang memintanya polisinya, dari pihak kepolisian. “Mas ini mau damai atau sidang? Sidang tempat apa sidang di pengadilan?”. Ya mungkin kita juga sama-sama membutuhkan, ya dia membutuhkan ya buat mungkin ya yang dinamakan uang, juga dan saya membutuhkan suatu waktu juga karna waktu itu saya terburu-buru juga”. (Informan 3, 24 tahun, 21 Mei 2010).
“Kena tilang dijalan, dia menawarkan apakah mau sidang lewat pengadilan atau langsung aja. Jadi atas penawaran dia, karena terburu-buru dan karena waktu, saya pilih yang kedua”
(Informan 5, 43 tahun, 23 Mei 2010)
Maksud dari statement pertama dari informan 3 adalah saat melakukan suap dijalan, informan 3 dimintai oleh anggota polisi yang bertugas dengan menggunakan ungkapan damai atau sidang. Dalam pengertian damai disini adalah pihak kepolisian menawarkan untuk menutup kasusnya saat itu juga sehingga tidak akan ada tindakan terhadap
(61)
pelangar marka atau peraturan. Namun secara tidak langsung, sidang ditempat juga merupakan salah satu ungkapan lain dari kata damai.
Ungkapan kata damai atau sidang ditempat merupakan salah satu ungkapan untuk menggantikan kata suap, karena pihak polisi meminta sejumlah duit atau penawaran yang dilakukan oleh pelanggar, agar dibebaskan. Dalam kedua statement diatas juga dapat diketahui bahwa pihak kepolisianlah yang menawarkan diri kepada pihak pelanggar marka atau hukum untuk melakukan suap kepada dirinya. Dengan dalih akan mempermudah atau tidak terjadi pelanggaran apa-apa saat dijalan.
Namun, suap yang terjadi dapat juga dikarenakan sama-sama membutuhkannya, dari segi polisi memanfaatkan kondisi yang dialami oleh pelanggar yang sedang terburu-buru dan dari sisi pelanggar juga terburu-buru karena mengejar waktu.
“ Kalau saya yakin sudah tegas, cuman ya itu tadi yang kelihatan kan terlihat .. yang gak kelihatan ya tetep ada” “Ada jalan yang lebih mudah … ya kita pake yang lebih mudah”. (Informan 4, 25 tahun, 22 Mei 2010)
“Pada gertak sambel aja .. pada saat itu!! Tapi kalo orang pintar dia akan berpikir gitu loh .. ya itu tadi, trus “endi bantale rek”, eee lemek‘e kok bantale”.
(Informan 1, 44 tahun, 19 Mei 2010)
Menurut statement yang telah diungkapkan diatas, kepolisian hanya melakukan gertak sambal atau dapat dibilang dengan omong kosong
(62)
belaka atau hanya teori. Hanya dalam prakteknya yang dapat dilihat oleh masyarakat saja yang diperlihatkan, namun masih banyak juga yang melakukan kegiatan suap menyuap didalamnya, yang tidak terlihat oleh mata masyarakat pengguna hukum yang awam dalam institusi kepolisian. Dalam arti disini, kepolisian tidak melakukan tindakan transparan kepada masyarakat dalam melakukan setiap kegiatannya.
“ Tindakan .. tegas!! upaya itu untuk membersihkan citra mereka ada memang … cuman dari mana nanti itukan gak selamanya ditransparasikan. Jadi paling nggak ada semacam yang ditutupin juga, nah itu kita gak tau masyarakat yang ditutupin itu eee.. ada tingkah apa sih didalamnya, itu kita gak tau”.
(Informan 2, 25 tahun, 22 Mei 2010)
Mudahnya kepengurusan dalam berurusan dengan kepolisian dikarenakan adanya uang, karena melanggar marka jalan atau kurangnya surat pengendara yang dimiliki akan menjadi ringan atau mudah.
“ Dari kebiasaan, ya dari mulut ke mulut .. kalo ada operasi atau apa gitu, disana prosesnya lebih cepet.. ya kitakan buat efisiennya aja, udah gak mau ribet.. damai yaa.. bisa ngelakuin itu deh!“.
(Informan 2, 25 tahun, 22 Mei 2010)
“Kesulitan kalau kita mematuhi aturan yang sudah ada. Pengalaman saya membuat SIM itu ada tes, praktekkan. Untuk tes tertulis sih bisa aja, untuk tes praktek itu gak
(63)
akan ada yang bisa lulus, karena kesempatannya hanya satu kali jalan. Itu gak ada, eee.. saya lihat sendiri itu gak ada yang lulus langsung, ataupun misalkan dia ngulang lagi untuk datang lagi dua minggu kemudian atau apa itu, gakkan bisa lulus karna kesempatannya hanya satu kali. Untuk prakteknya dan pada kenyataannya akhirnya orang pake jalan pintas. Apa itu dianggap mempersulit atau mempermudah, yaa.. kenyataannya seperti itu ”.
(Informan 5, 43 tahun, 22 Mei 2010)
“ Nggak juga! Ya itu tadi ada jalan yang lebih mudah ya kita pakek jalan yang lebih mudah”
(Informan 4, 25 tahun, 22 Mei 2010)
Dalam statement diatas dimaksudkan bahwa, suap sudah menjadi suatu kebiasaan, sehingga bisa mempermudah masyarakat untuk lolos dari jeratan hukum. Bahkan dalam statement kedua menyatakan, bahwa kesulitan dalam melaksanakan aturan yang sudah ada. Hal ini dikarenakan saat mengikuti prosedur yang dicontohkan dalam pembuatan SIM, banyak yang tidak dapat menyelesaikan tes dengan sempurna. Sehingga banyak yang memakai jalan pintas, yaitu dengan menggunakan uang untuk meminta jasa Calo ataupun langsung ke pihak terkait untuk mempermudah.
Kegiatan suap merupakan suatu kegiatan yang sudah membudaya di pihak kepolisian. Dengan budaya suap yang disandang tersebut, sejak dari dulu citra kepolisian pun buruk. Terlebih lagi dengan adanya
(1)
“Pandangan saya sebagai masyarakat yang aku lihat semakin memburuk”. (Informan 3)
“Bukan saja saat itu, udah dari dulu udah jelek citra kepolisian”. (Informan 4)
“Sebenarnya citra kepolisian itu udah gak bagus dari dulu, hanya sebenarnya beberapa tahun terakhir ini sudah membaik .. sejak Gus Dur itu mungkin ya yang menaikkan gaji para polisi. Itu lebih baik dari sebelumnya tapi ternyata juga masih tetap aja sih, ada juga kekurangannya lah .. ketidak jujurannya masih ada dan masalah Susno itu ya … saya gak menganggap Susno yang membongkar itu memang sudah jadi sebab akibat dari sebelumnya … Efek sebab akibat.” (Informan 5)
Statement-statement tersebut merupakan ungkapan pernyataan buruk terhadap citra kepolisian. Sehingga untuk mempercayai pihak kepolisian agar benar-benar bersih dari suap, selalu diragukan dalam prakteknya. Statement tersebut diungkapkan berdasarkan pengalaman yang dialami oleh informan. Selain itu juga berdasarkan dengan ajaran yang didapat dari lingkungan sekitar informan, yang sudah menjadi pandangan umum lingkungannya.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setiap orang memiliki keterbatasan dan juga kelebihan dalam sebuah pengetahuan untuk memperoleh informasi. Dalam sebuah lingkungan yang sudah mempengaruhinya sejak dini, dapat dijadikan salah satu alasan untuk cara berpikir yang berbeda dari kebanyakan orang.
Lingkungan yang mempengaruhi tersebut, menjadikan budaya berpikir seseorang tidak dapat disamakan dengan yang lain. Terlebih dalam mengartikan sebuah informasi yang didapat, karena hal ini dapat juga berkaitan dengan pengalaman yang terjadi pada dirinya maupun didapat dari orang lain. Sehingga individu tiap masyarakat dapat memberikan kesimpulan menurut pandangan budayanya sendiri.
Dalam hal ini masyarakat dapat menentukan sikapnya masing-masing terhadap suatu permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, yang berkaitan dengan dirinya maupun orang lain.
Penulis telah melakukan wawancara terhadap penguna hukum terhadap citra kepolisian. Citra merupakan suatu pandangan bagi seseorang terhadap suatu instansi atau organisasi. Hal ini mempengaruhi khalayaknya untuk mempercayai keberadaan institusi tersebut yang sesuai dengan tugas atau kewajibanya.
(3)
Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan oleh penulis, penulis mengambil lima informan untuk dimintai pendapatnya mengenai citra kepolisian. Sejauh ini dua informan yaitu informan 1 dan informan 2, menganggap bahwa citra kepolisian dapat dikatakan membaik. Baik disini adalah baik dari sisi depan, yaitu yang terlihat oleh masyarakat secara langsung. Namun disisi lain, setelah terbongkarnya Makelar Kasus dalam tubuh Polri, sebuah kasus yang melibatkan pejabat tinggi dari pihak kepolisian, membuat informan ragu dengan citra kepolisian saat ini.
Sedangkan tiga informan lain yaitu informan 3, informan 4 dan informan 5, menganggap citra kepolisian sudah buruk sejak awal dan sudah menjadi satu kebudayaan yang buruk dalam instansi penegak hukum seperti Kepolisian. Dengan adanya makelar kasus sama halnya dengan tindakan suap, namun dalam skala besar dengan melibatkan atasan dari kepolisian yang harusnya menjadi panutan untuk anggota polisi lainnya yang berada lebih rendah dalam jabatan.
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka citra kepolisian saat ini adalah buruk di mata masyarakat pengguna hukum, karena terkait dengan kasus suap menyuap yang terjadi dalam kepolisian.
(4)
5.2 Saran
Berikut adalah saran yang diambil dari statement-statement yang telah diutarakan oleh informan-informan dalam penelitian ini.
1. Pejabat tinggi kepolisian, harus mampu untuk bertindak tegas dalam memberlakukan suatu peraturan, sehingga membuat pihak dari kepolisian sendiri maupun masyarakat pengguna hukum tidak berani melanggar hukum yang telah ditetapkan.
2. Menemukan cara baru dalam mendekatkan diri dengan masyarakat, untuk memperbaiki citra kepolisian di mata masyarakat.
3. Lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan publik, masyarakat sebagai pengguna hukum. Sehingga benar-benar sebagai pengayom masyarakat.
4. Pihak kepolisian harus mampu memberikan komunikasi yang diinginkan oleh masyarakatnya, agar lebih transparan dalam menindak suatu kasus.
5. Dalam penelitian selanjutnya, hendaknya memiliki variasi informan. Sehingga pengalaman yang dimiliki setiap informan dapat menjadikan bukti dan pelajaran bagi siapapun.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris, 2006, Cultural Studies, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Djuroto, Totok, 2000, Teknik Mencari dan Menulis Berita, Bandung : PT. Remaja. Rosdakarya
Effendy, Onong Uchjana, 1990, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Effendy, Onong Uchjana, 1993, Dinamika Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Effendy, Onong Uchjana, 2000, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Hadi, Ido Prijana, 2007, Penelitian Khalayak Dalam Perspektif Reception Analisis, Jakarta
Jensen, Klaus Bruhn, 2002, A Handbook of Media and Communications research, Qualitative and Quantitative Methodologies, London: Routledge
KPK, 2006, Memahami Untuk Membasmi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta
Kuswandi, Wawan, 1996, Komunikasi Massa : Sebuah Analisis Media Televisi, Jakarta : Rineka Cipta
Liliweri, Alo, 2004, Wacana Komunikasi Organisasi, Bandung : Mandar Maju Littlejohn, Stepen W., 1999, Theories of human Communications Sixth ed., New
Mexico: London Wadsworth Publishing Company
Mc. Quail, Dennis, 1991, Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar, Jakarta : Erlangga
Mc. Quail, Dennis, 1997, Audience Analysis, London, SAGE Publications, Boston : Houghton Mifflin Company
Mulyana, Dedy, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung : Remaja Rosdakarya
Muda, Iskandar, 2003, Jurnalistik Televisi Menjadi Reporter Profesional, Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya
(6)
Poerwadaminta, W. J. S. 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Severin&Tankard, 2005, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan Dalam Media Massa, Jakarta : Prenada Media
Wibowo, Fred, 1997, Teknik Program Televisi dan Radio, Jakarta : Pinus Book
Non Buku:
http://www.ombudsman-asahan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=845&Itemid=1 http://news.okezone.com/read/2010/03/25/339/315877/susno-jadi-tersangka-polri-dinilai-kontraproduktif
http://nasional.tvone.co.id/berita/view/35510/2010/03/30/susno_datangi_komisi_iii_ dpr_minta_perlindungan_hukum/
http://hukum.tvone.co.id/berita/view/34496/2010/03/18/susno_duadji_dipanggil_satg as_mafia_hukum/
http://www.infogue.com/viewstory/2009/11/22/pengertian_makelar_kasus_atau_mar kus/?url=http://karodalnet.blogspot.com/2009/11/makelar-kasus-atau-markus.html http://www.suarapembaruan.com/News/2009/12/04/Editor/edit01.htm
http://www.cultsock.ndirect.co.uk/MUHome/cshtml/media/morley.html http://ag.arizona.adu/fcr/fs/cyfar/focus.html
http://shootjustice.blogspot.com/2009/02/dewasa-dan-batas-umur.html http://www.polri.go.id/indexwide.php?op=profile&type=00