Aktualisasi diri perempuan menikah dalam karier domestik

(1)

AKTUALISASI DIRI PEREMPUAN MENIKAH DALAM

KARIER DOMESTIK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Sabina Wulung Rarasati

129114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

HALAMAN MOTTO

“Success will follow you precisely because you had forgotten to think about it”

(Viktor E. Frankl)

“One is not born, rather becomes, a woman” (Simone de Beauvoir)

“ Masalah itu, mendewasakan kita” (Seorang sahabat)


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk Tuhan Yesus Kristus Pelindungku Bunda Maria Perawan Suci dan Santo Yosef

Santa Sabina, pelindung Ibu Rumah Tangga

Untuk keluarga kecilku, Bapak, Ibu, dan Mas, serta para sahabat serta teman-teman, atas semangat dan pernyertaanya.


(6)

(7)

AKTUALISASI DIRI PEREMPUAN MENIKAH DALAM KARIER DOMESTIK

Sabina Wulung Rarasati

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana perempuan menikah mengaktualisasikan diri di wilayah domestik dengan mengetahui cara aktualisasi diri di setiap bidang kehidupan di wilayah domestik. Partisipan dalam penelitian ini adalah 6 perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik (usia 30-60 tahun) yang pernah berkarier di wilayah publik. Pengambilan data

dilakukan dengan metode wawancara (interview). Analisis data dilakukan dengan

metode analisis isi kualitatif (AIK), menggunakan pendekatan deduktif, yakni analisis terarah. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa aktualisasi dapat dilakukan melalui wilayah domestik, sehingga miskonsepsi tentang aktualisasi diri hanya bisa dipenuhi di wilayah publik tidak sepenuhnya benar. Selain itu, peluang aktualisasi diri bagi perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik meluas karena dikotomi wilayah publik dan domestik yang semakin cair.


(8)

SELF ACTUALIZATION OF MARRIED WOMEN IN DOMESTIC CAREER

Sabina Wulung Rarasati ABSTRACT

This study aims to explore how married women self actualize in domestic sphere through the ways of self actualization in each area of domestic sphere. The participants in this study are 6 married women who have a career in domestic area (ages 30-60) and who had a career in public area. The data were collected by interview method. Data analysis was done by qualitative content analysis method (QCA), using deductive approach, namely directional analysis. In this study, it was found that self actualization can be achieved through domestic territory which are in domestic sphere, so that self-actualization can only be met in the public domain is a misconception. In addition, the opportunities of self-actualization for married women who work in domestic area are getting bigger due to increasingly fluid dichotomy of the public and domestic spheres.


(9)

(10)

KATA PENGANTAR

Finally, this is my first research, akhirnya, selama 10 semester perkuliahan,

karya ini selesai juga. Banyak pelajaran yang didapat dalam perjalanan ini, tapi dalam perjalanan ini..saya tahu, saya tidaklah sendiri, tetapi bersama begitu banyak teman-teman dan orang-orang hebat yang menyertai saya. Oleh karena itu dengan setulusnya saya ucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Tuhan Yang Maha Baik, terima kasih atas terkabulnya doa untuk selalu diberikan kekuatan khususnya dalam mengerjakan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing yang mendidik mengantarkan penulis hingga akhir.

3. Ibu Christiana Handari atas doa-doanya yang tak pernah berhenti, Bapak Totok Hedi Santosa, pelindung keluargaku dan Mas Gogor atas dukungan dan semangatnya.

4. Bapak Dr. T. Priyo Widianto, M.si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, dan seluruh jajaran dekanat.

5. Dosen penguji skripsi ini, Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si dan Pak Eddy Suhartanto, M.Si untuk menjadikan skripsi ini lebih baik.

6. Ibu Diana Permata Sari, M.Sc atas saran dan kritikannya untuk skripsi ini. 7. Dosen pembimbing akademik, Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si.

8. Para dosen Fakultas Psikologi.

9. Orang-orang hebat disekitarku, Om Nardi dan Om Johan yang mendukung dan turut memberi saran untuk menjadikan skripsi ini lebih baik.


(11)

10.Si Manajer Maria Anita terima kasih atas jalan-jalan, makan-makan, karaoke, belanja, menggosip, menginap, sampai muncul ide skripsi ini. Thank U, Sangat!

11. “Anak-Anak Professor” sebagai teman seperjuangan dalam mengerjakan skripsi, semangat teman-teman!

12.Sahabat dan teman yang menemani di fakultas psikologi dan teman-teman angkatan 2012.

13.Teman-teman asisten tes Kognitif, Inventori, dan Grafis beserta anak-anak asisten yang turut mengembangkan penulis di perkuliahan.

14.Para partisipan dalam penelitian ini.


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

1. Manfaat Teoritis ... 13

2. Manfaat Praktis ... 13

3. Manfaat Kebijakan ... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Aktualisasi diri ... 14

1. Makna Aktualisasi Diri ... 14

2. Kriteria orang-orang yang mengaktualisasi diri... 15

B. Aktualisasi diri perempuan menikah melalui bidang-bidang kehidupan di wilayah domestik... 22

C. Pandangan Positif dan Negatif dalam Wilayah Karier Domestik... 27


(13)

BAB III. METODE PENELITIAN ... 32

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 32

B. Fokus Penelitian ... 33

C. Partisipan ... 34

D. Peran Peneliti ... 34

E. Metode Pengambilan Data ... 35

F. Analisis dan Interpretasi Data ... 38

G. Kredibilitas Data ... 42

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Pelaksanaan Penelitian ... 43

B. Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara ... 43

C. Hasil Penelitian ... 52

1. Wilayah pekerjaan rumah tangga (household chores) ... 52

2. Wilayah perawatan keluarga (family day care)...56

3. Wilayah pengasuhan anak (childrearing) ... 60

4. Wilayah kehidupan sosial ... 65

5. Wilayah manajemen operasional dan keuangan ... 67

D. Pembahasan... 69

1. Aktualisasi diri di wilayah domestik ... 69

2. Miskonsepsi aktualisasi diri...77

3. Dikotomi wilayah publik dan domestik ... 79

BAB V. PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Keterbatasan Penelitian ... 84

C. Saran ... 84

1. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 84

2. Bagi Praktisi Psikologi ... 85

3. Bagi Perempuan Menikah yang Berkarier di Wilayah Domestik ... 85

DAFTAR ACUAN ... 86


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Wilayah karier perempuan menikah...25

Tabel 2. Pedoman wawancara utama...36

Tabel 3. Kriteria koding aktualisasi diri karier domestik...39

Tabel 4. Lokasi dan tempat pelaksanaan wawancara...43


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Survei Litbang Kompas menjelang Hari Ibu 2015, sejumlah 1640 pelajar Sekolah Menengah Atas dari 12 kota besar di Indonesia menempatkan ibu sebagai tokoh penting bagi kehidupan mereka. Lebih lanjut, sebanyak 47, 1 persen menyebut ibu sebagai tempat curhat dibandingkan ayah, yang hanya mendapat 7,7 persen. Bahkan lebih dari 50 persen responden remaja memilih membangun komunikasi dengan ibu dibandingkan ayah (kurang dari 10 persen). Mereka juga tetap memilih ibu sebagai pahlawan (46,2 persen) meski mereka menyebut ayah kepala keluarga dan pencari nafkah (Litbang Kompas, 2015 dalam Vermonte, 2016). Berdasarkan data tersebut, tampak bahwa ibu mempunyai peranan penting dalam kehidupan berkeluarga. Bahkan menurut Denys Lombard, kedudukan ibu di Indonesia memiliiki kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada wanita pada masyarakat Asia lainnya dan memegang peranan penting yang sangat menonjol (Handayani & Novianto, 2004). Di sisi lain, ada anggapan bahwa ibu atau perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik yang juga sering disebut ibu rumah tangga kurang memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dibandingkan ibu atau perempuan pada umumnya yang berkarier di wilayah publik.

Manusia pada hakikatnya mempunyai tujuan hidup untuk mengembangkan dirinya. Rogers (dalam Olson & Hergenhahn, 2013) mendefinisikannya sebagai kecenderungan mengaktualisasi (actualizing tendency) yang merupakan daya pendorong dalam hidup setiap orang, menyebabkan kita menjadi lebih terbedakan


(16)

(kompleks), lebih independen, dan lebih bertanggung jawab secara sosial. Selain Rogers, Maslow, seorang ahli psikologi humanistik sebelum Rogers, memaknai aktualisasi diri yang mencakup pemenuhan diri, sadar akan semua potensi diri, dan keinginan untuk menjadi sekreatif mungkin (Feist & Feist, 2006). Berbeda dengan Rogers, Maslow menjelaskan aktualisasi diri sebagai suatu kebutuhan (Maslow, 1970 dalam Feist & Feist, 2006). Oleh karena itu, beberapa ahli mengartikan aktualisasi diri sebagai suatu proses. Selanjutnya Goble (1997) menekankan konsep aktualisasi-diri Maslow sebagai perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau yang terpendam. Oleh karena itu orang yang mengaktualisasi diri berarti menjadi manusia sepenuhnya yang dapat melihat potensi diri yang belum tentu orang lain tidak dapat melihatnya atau menemukannya.

Untuk mencapai aktualisasi diri, menurut Maslow (Schultz, 1991) seseorang harus memuaskan terlebih dahulu empat kebutuhan yang berada dalam tingkat yang lebih rendah, yaitu: (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan-kebutuhan rasa aman, dan (3) kebutuhan akan memiliki dan cinta, dan (4) kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan. Kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan ini setidaknya harus sebagian dipuaskan berdasarkan urutan ini, baru setelah itu bergerak pada kebutuhan aktualisasi diri.

Ciri paling umum orang yang mengaktualisasi adalah kemampuannya melihat hidup secara sederhana, dalam arti tidak menuntut sesuatu harus berjalan seperti yang ia harapkan. Sebab, orang yang mengaktualisasi diri lebih mengutamakan sisi objektif mereka, yaitu melihat masalah berdasarkan fakta dan


(17)

realita yang ada daripada menggunakan sisi emosional mereka (Goble, 1997). Akan tetapi, untuk dapat disebut sebagai pribadi yang teraktualisasi, Maslow (Feist & Feist, 2006) mempunyai empat kriteria. Pertama, mereka bebas dari psikopatologi. Mereka bukan neurotik atau psikotik, bahkan tidak memiliki kecenderungan menuju gangguan-gangguan psikologis. Kedua, pribadi pengaktualisasi-diri bergerak maju melewati hierarki kebutuhan dan karenanya hidup di atas tingkatan eksistensi yang mapan dan tidak pernah merasakan ancaman bagi rasa aman mereka. Ketiga, pribadi yang mengaktualisasikan diri memegang erat-erat B-values. B-Values atau nilai-nilai “Being” (“Kehidupan”) merupakan indikator kesehatan psikologis dan merupakan kebalikan dari kebutuhan akan kekurangan (deficiency needs) yang memotivasi orang-orang yang nonaktualisasi diri. Nilai-nilai B bukanlah kebutuhan yang sama seperti makanan, perlindungan, atau persahabatan. Maslow menamakan nilai-nilai B sebagai “metakebutuhan” (metaneeds) untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai ini merupakan level tertinggi dari kebutuhan. Ia membedakan antara motivasi berdasarkan kebutuhan biasa dan motivasi dari orang-orang yang mengaktualisasi diri, yang disebutnya sebagai metamotivasi. Mereka merasa nyaman, bahkan selalu menginginkan kebenaran, keindahan, keadilan, keefektifan, dan humor. Keempat, akhirnya, pengaktualisasian-diri berarti menggunakan dan mengeksploitasi secara penuh talenta diri, kapasitas, potensi, dan seterusnya.

Ketika keempat kriteria tersebut telah dipenuhi, ketika orang yang mengaktualisasi diri merupakan orang-orang yang bebas dari psikopatologi dan memegang nilai-nilai “Being” maka mereka menganggap pekerjaan yang dihadapi


(18)

sebagai suatu kegemaran bagi dirinya karena adanya minat dan ketertarikan terhadap pekerjaan tersebut. Oleh karena adanya minat dan ketertarikan pada pekerjaan tersebut, maka timbul suatu kenikmatan pada saat melakukan pekerjaan. Selain itu, orang yang mengaktualisasi juga mengerjakan pekerjaan tersebut dengan segenap kemampuannya karena adanya rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut (Goble, 1997). Artinya, ketika seseorang mempunyai kesehatan jiwa yang baik, maka ia akan lebih mempunyai peluang untuk mengembangkan diri dimanapun dan kapanpun ia berada.

Sejalan dengan pendapat Maslow bahwa untuk mengaktualisasi diri seseorang harus mempunyai karier yang baik (Goble, 1997) perempuan menikah atau ibu rumah tangga mempunyai dua wilayah pilihan karier, yaitu wilayah publik dan wilayah domestik. Di wilayah karier publik, perempuan menikah dapat mengaktualisasikan diri melalui prestasi kerja, jaringan kerja (networking), pelatihan-pelatihan, kursus, atau dengan melanjutkan jenjang pendidikannya (Zainal, 2014). Sedangkan di wilayah karier domestik, perempuan menikah dapat mengaktualisasikan diri melalui bidang pekerjaan rumah tangga (household chores), perawatan keluarga (family day care), pengasuhan anak (childrearing), kehidupan sosial, dan manajemen operasional dan keuangan rumah tangga (Gatz et al dan Brody, 1985 dalam Lemme 1999; Lemme 1999; Gray, 2000; Etikawati, 2014; Latshaw 2016).

Kelebihan perempuan yang memilih menjalani karier publik adalah mendapat pengakuan, tampak lebih bahagia, lebih puas, rasa percaya diri yang besar, dan adanya kemandirian finansial (Matlin, 2008 ; Vermonte, 2016).


(19)

Kekurangannya, wanita karier yang sudah menikah lebih rentan mengalami konflik peran dibanding laki-laki (Harsiwi, 2004; Martins & Veiga, 2002; Kinnunon et al, 1998 dalam Handayani, 2013). Hal itu disebabkan dalam keluarga perempuan diidentikkan dengan peran ‘caregiver’. Ibu rumah tangga distereotipkan sebagai caretakers. Dalam keluarga, perempuan dipandang sebagai pengasuh yang tunduk, tergantung, dan akomodatif, dan dengan demikian lebih mungkin untuk dilihat pantas menjalani tugas melayani dan menempati posisi bawahan (De Armond et al., 2006, dalam Denmark & Paludi, 2008). Oleh karena itu, perempuan menikah yang berkarier di wilayah publik juga secara langsung harus membagi tanggung jawab kariernya dalam wilayah domestik.

Berbeda dengan karier publik, kelebihan karier domestik antara lain mereka mempunyai standar mereka sendiri untuk dipenuhi, dapat merencanakan dan mengontrol karier mereka sendiri, tidak diawasi, dan tidak dikritik, serta dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan istri (Santrock, 2002; Handayani, 2013). Sebaliknya, kekurangan yang didapat ketika perempuan memutuskan untuk berkarier di wilayah domestik antara lain adalah aktivitas tersebut tidak pernah berakhir, berulang-ulang, dan rutin yang biasanya mencakup membersihkan, memasak, mengawasi anak, berbelanja mencuci pakaian, dan beres-beres (Santrock, 2002). Lebih lanjut, peran pengasuh (caregiver) dianggap sebagai sumber signifkan dari stres pada perempuan-perempuan ini karena tidak mempunyai nilai untuk masa depan dalam hal dana pensiun atau sumber finansial yang lain. (Lemme, 1999; Santrock, 2002).


(20)

Selain itu, karier domestik yang erat kaitannya dengan profesi ibu rumah tangga seringkali dianggap inferior dibandingkan dengan karier publik yang lebih identik dengan wanita karier, bukan hanya di kalangan para laki-laki namun juga di kalangan perempuan menikah. Kanwar (2014) menemukan bahwa 74 dari 89 perempuan memandang bahwa karier rumah tangga dapat menghambat pertumbuhan dan pembelajaran dalam hidup. Ketika ditanya alasannya, ditemukan bahwa hal ini berakar dari ide bahwa aktivitas ibu rumah tangga adalah mencuci piring, memasak, dan membersihkan rumah sepanjang hari, sehingga tidak mempunyai waktu untuk belajar dan mengeksplorasi identitasnya. Miskonsepsi yang muncul antara lain adalah bahwa uang yang digunakan untuk pendidikan akan terbuang sia-sia jika tidak mempunyai karier atau bekerja, menghambat kreativitas, dan kehidupan ibu rumah tangga yang membosankan (Kanwar, 2014). Kesalahpahaman lain tentang profesi ibu rumah tangga semakin terlihat, khususnya pada perempuan yang berpendidikan tinggi. Hal ini dipertegas dengan temuan Komarovsky, Lopata, dan Oakley (dalam Nilson, 1978) bahwa “hanya menjadi ibu rumah tangga” mempunyai prestise yang rendah, paling tidak di mata perempuan yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi dan mempunyai kesempatan untuk dapat menduduki suatu jabatan.

Adanya miskonsepsi terhadap aktualisasi diri yang hanya dapat dipenuhi di wilayah publik menjadi keprihatinan peneliti karena berdampak pada pengabaian peran pengasuhan anak dan perawatan keluarga. Hal ini tampak misalnya pada fenomena di Korea Selatan, para ibu rumah tangga yang berpendidikan mengaktualisasikan dirinya dengan cara kembali ke universitas untuk memecahkan


(21)

ketidakpuasan mereka dari peran penuh waktu ibu rumah tangga, terutama untuk mengembalikan identitas pribadi sebagai individu yang independen (Jang & Merriam, 2004). Hal ini disebabkan karena mereka berpikir bahwa mereka harus mengaktualisasikan diri dan menjadi mandiri secara finansial dengan bekerja di luar seperti laki-laki sepanjang hidup mereka (Cho, 2000 ; Lim & Chung, 1996 dalam Jang & Merriam, 2004).

Selain itu, mereka juga menganggap keberadaan anak sebagai halangan untuk pengembangan karier dan pengekang kebebasan sehingga membuat mereka mengalami frustrasi yang berasal dari konflik diri dan tanggung jawab pengasuhan (Jang & Merriam, 2004). Padahal ahli psikoanalisis Freud menempatkan tokoh ibu paling penting dalam perkembangan seorang anak (Dagun, 1990). Oleh karena itu, jika karier domestik yang dikaitkan sebagai ibu rumah tangga diabaikan akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak.

Pengamatan lain menunjukkan bahwa isolasi merupakan tantangan umum pada ibu yang tinggal di rumah dan dapat menyumbang untuk perasaan sedih dan kehilangan diri (Rubin & Wooten, 2007). Perasaan sedih dan kehilangan diri juga menjadi keprihatinan peneliti karena perasaan sedih dan kehilangan diri bertentangan dengan salah satu kriteria orang yang mengaktualisasi diri menurut Maslow, yaitu bebas dari psikopatologi (Feist & Feist, 2006) sehingga menurut pandangan peneliti, jika ibu rumah tangga dapat menghayati pekerjaannya di wilayah domestik, maka peluang untuk mengaktualisasi diri akan semakin terbuka. Dalam perkembangan lain, ada pandangan-pandangan negatif pada pekerjaan rumah tangga (pekerjaan domestik) dan kemungkinan untuk


(22)

mengaktualisasi diri pada wilayah domestik. Pandangan-pandangan negatif tersebut misalnya diungkapkan oleh Betty Friedan, seorang tokoh aliran feminis yang mengatakan bahwa pekerjaan rumah tangga (pekerjaan domestik) dan pekerjaan sebagai seorang istri mengekang perempuan menikah. Ia meyakini bahwa secara tidak sadar perempuan memaksakan dirinya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga (Friedan, 1979). Senada dengan Friedan, feminis sosialis Inggris, Ann Oakley (1974 : 225, dalam Hollows, 2008) mengatakan bahwa pekerjaan rumah tangga (domestik) berlawanan kemungkinan seseorang untuk mengaktualisasikan diri. Selanjutnya, ia juga mengatakan bahwa orang yang merasa adanya kreativitas di dalam pekerjaan rumah tangga sebenarnya mengalami kesalahpahaman.

Pandangan di atas berlawanan dengan pandangan feminis Marxis yang memandang secara positif dengan memberikan penghargaan pada pekerjaan domestik seperti mencuci, memasak, dan mengasuh anak (Tong, 2006). Tokoh psikologi, Abraham Maslow (dalam Feist & Feist, 2006) juga berpendapat bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri, tak terkecuali perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik lewat karier domestiknya. Beberapa temuan penelitian sebelumnya misalnya penelitian yang dilakukan Daniel, Gutmann dan Raviv (2011) juga memperlihatkan adanya kreativitas dalam aktivitas memasak yang termasuk dalam wilayah karier domestik. Kanwar (2014) juga mengatakan bahwa anggapan pekerjaan ibu rumah tangga menghambat pertumbuhan dan kreativitas adalah bias. Selain itu, Rubin & Wooten


(23)

(2007) juga menemukan adanya pemenuhan diri ibu rumah tangga melalui komunitas dan kegiatan di sekolah anak mereka.

Oleh karena itu, dengan melihat pandangan negatif dan positif terhadap wilayah karier perempuan menikah dan adanya kemungkinan adanya peluang untuk mengaktualisasikan diri di wilayah domestik, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengeksplorasi bagaimana perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik mengaktualisasikan diri dengan mengetahui cara aktualisasi diri di setiap bidang kehidupan di wilayah domestik yang terdiri dari pekerjaan rumah tangga (household chores), perawatan keluarga (family day care), pengasuhan anak (childrearing), kehidupan sosial, dan manajemen operasional dan keuangan ibu rumah tangga (Gatz et al dan Brody, 1985 dalam Lemme 1999; Lemme 1999; Gray, 2000; Etikawati, 2014; Latshaw 2016).

Beberapa penelitian tentang aktualisasi diri perempuan di wilayah domestik pernah dilakukan, namun penelitian-penelitian tersebut menganggap bahwa wilayah domestik menghambat kesempatan seseorang untuk mengaktualisasikan diri. Penelitian yang dilakukan oleh Budiati (2006) mencoba menggali aktualisasi diri perempuan dalam konteks sistem budaya Jawa yang terpaku pada nilai-nilai 3M yaitu masak (memasak), manak (melahirkan) dan macak (berdandan), bukan mengenai bagaimana cara ibu rumah tangga di Jawa dapat mengaktualisasikan diri dalam karier domestik sebagai ibu rumah tangga. Penelitian Rubin dan Wooten (2007) memberikan gambaran umum tentang pengalaman menjadi ibu rumah tangga, secara khusus ibu rumah tangga berpendidikan yang berkarier di wilayah domestik, dan membahas pengembangan diri di wilayah domestik namun kurang


(24)

memfokuskan pada bagaimana cara ibu rumah tangga mengaktualisasikan diri melalui karier domestik ibu rumah tangga. Jang & Merriam (2004) juga meneliti tentang aktualisasi diri ibu rumah tangga, namun lebih berfokus pada pengalaman ibu rumah tangga yang ingin mengaktualisasikan diri di wilayah publik karena merasa dirinya terkekang di wilayah domestik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kanwar (2014) menunjukkan beberapa miskonsepsi tentang tidak adanya kreativitas bagi perempuan yang berkarier sebagai ibu rumah tangga, meliputi : (1) uang yang diberikan orangtua untuk pendidikan akan terbuang sia-sia, (2) terdapat sedikit kesempatan untuk mengembangkan dan berkreasi, dan (3) kehidupan ibu rumah tangga penuh dengan hal yang membosankan. Penelitian-penelitian tersebut tidak mengungkap bagaimana kriteria-kriteria aktualisasi diri perempuan menikah pada karier domestiknya.

Berdasarkan defisiensi penelitian-penelitian di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik mengaktualisasikan diri melalui karier di wilayah domestik yang terdiri dari bidang-bidang kehidupan perawatan keluarga (family day care), pengasuhan anak (childrearing), kehidupan sosial, dan manajemen operasional dan keuangan ibu rumah tangga (Gatz et al dan Brody, 1985 dalam Lemme 1999; Lemme 1999; Gray, 2000; Etikawati, 2014; Latshaw 2016).

Partisipan yang dipilih adalah perempuan menikah berpendidikan SMA/SMK, D1/D2/D3, dan S1 karena tingkat pendidikan sudah terbukti mempunyai kemungkinan untuk menjadi pekerja daripada perempuan yang mempunyai tingkat pendidikan lebih rendah (Jensen, 2000 dalam Kitterod, 2002).


(25)

Dari segi usia, partisipan dipilih dengan rentangan usia antara 30-60 tahun karena pada rentangan usia ini kepuasan kerja meningkat secara stabil sepanjang kehidupan kerja, baik orang dewasa yang berpendidikan tinggi, maupun tidak berpendidikan tinggi (Rhodes, 1983; Thamir, 1982 dalam Santrock 2002). Selain itu, partisipan juga dipilih yang pernah berkarier di wilayah publik lalu kemudian berkarier penuh di wilayah domestik karena dalam miskonsepsi aktualisasi diri banyak terjadi di kalangan perempuan berpendidikan dengan menjadi wanita karier (Cho, 2000 ; Lim & Chung, 1996 dalam Jang & Merriam, 2004).

Desain penelitian ini menggunakkan analisis isi kualitatif (AIK), dengan menggunakan pendekatan deduktif, yakni analisis terarah dengan cara mengumpulkan data wawancara menjadi satu, kemudian ditafsirkan dengan memberikan coding yang ditetapkan di awal sebagai satu unit analisis dan tidak dianalisis setiap bagian atau setiap kasus, berdasarkan kriteria koding yang dikembangkan dari teori aktualisasi diri Maslow (Hshieh & Shannon, dalam Supratiknya, 2015).

Prosedur pengambilan data akan dilakukan dengan metode wawancara. Moleong mengatakan, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Pada metode wawancara, interviewer berhadapan langsung dengan interviewee untuk mendapatkan informasi secara lisan dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian (Moleong, 2007).


(26)

B. Rumusan Masalah Pertanyaan utama:

Bagaimana perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik mengaktualisasikan dirinya melalui karier sebagai ibu rumah tangga?

Pertanyaan turunan:

1. Bagaimana cara perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik mengaktualisasikan diri dalam bidang pekerjaan rumah tangga (household chores)?

2. Bagaimana cara perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik mengaktualisasikan diri dalam bidang perawatan keluarga (family day care)? 3. Bagaimana cara perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik

mengaktualisasikan diri dalam bidang pengasuhan anak (childrearing)?

4. Bagaimana cara perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik mengaktualisasikan diri dalam bidang kehidupan sosial rumah tangga?

5. Bagaimana cara perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik mengaktualisasikan diri dalam bidang manajemen operasional dan keuangan rumah tangga?


(27)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi bagaimana perempuan menikah mencapai aktualisasi diri di wilayah domestik dengan mengetahui cara aktualisasi diri di setiap bidang kehidupan di wilayah domestik yang terdiri dari pekerjaan rumah tangga (household chores), perawatan keluarga (family day care), pengasuhan anak (childrearing), kehidupan sosial rumah tangga, serta manajemen operasional dan keuangan rumah tangga.

D. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah :

Manfaat Teoretis:

Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pengetahuan baru di bidang psikologi sosial, khususnya yang berkaitan dengan aktualisasi diri perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik.

Manfaat Praktis:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat bahwa ibu rumah tangga yang identik dengan karier domestik merupakan karier yang patut dihargai setara dengan karier yang berada di wilayah publik.

Manfaat Kebijakan:

Penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan sumbangsih bagi kebijakan di Indonesia khususnya tentang perlindungan dan hak-hak perempuan yang berkarier di wilayah domestik.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian tinjauan pustaka dibagi menjadi empat sub-bab. Penulis akan menjelaskan konsep aktualisasi diri secara umum, kemudian, pada sub-bab aktualisasi diri perempuan menikah, penulis akan mengeksplorasi bidang kehidupan perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik. Setelah itu, dalam sub-bab “pandangan positif dan negatif terhadap karier domestik”, penulis akan memberikan gambaran tentang perbandingan ideologi yang berpengaruh pada konsep aktualisasi diri dan karier domestik. Pada bagian akhir, peneliti akan menyajikan kerangka konseptual penelitian.

A. Aktualisasi Diri 1. Makna Aktualisasi Diri

Menurut Maslow, aktualisasi diri adalah suatu proses perkembangan atau penemuan potensi yang terpendam dalam diri seseorang (Goble, 1997). Selanjutnya, orang yang mengaktualisasi diri adalah seseorang yang dapat menemukan suatu potensi dalam dirinya karena orang yang mengaktualisasi diri memegang erat nilai-nilai “Being” yaitu nilai-nilai yang menuju pada suatu pemenuhan diri (Goble, 1997). Untuk mencapai aktualisasi diri, seseorang harus memuaskan terlebih dahulu empat kebutuhan yang berada di bawah kebutuhan aktualisasi diri yaitu : (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan-kebutuhan rasa aman, (3) kebutuhan-kebutuhan akan memiliki dan cinta, dan (4) kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (Feist & Feist, 2006). Penelitian ini secara khusus menggunakan


(29)

teori Maslow karena ia menganggap bahwa aktualisasi diri dapat dilakukan di manapun dan kapanpun (Feist & Feist, 2006) sehingga peneliti menduga bahwa perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri melalui karier domestiknya. Selain itu, perempuan menikah juga dianggap sudah dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan memiliki dan cinta, dan kebutuhan akan penghargaan yang menjadi prasyarat untuk aktualisasi diri. Untuk melihat aktualisasi diri perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik, berikut merupakan karakteristik aktualisasi diri menurut teori aktualisasi diri Maslow:

2. Kriteria orang-orang yang mengaktualisasi diri a. Persepsi yang lebih efisien akan kenyataan

Menurut Maslow (Feist & Feist, 2006) orang yang mengaktualisasi diri dapat cepat menangkap permasalahan lebih cepat dan kritis daripada orang pada umumnya. Oleh sebab itu, mereka lebih hati-hati dan cepat menangkap kenyataan secara lebih objektif berdasarkan pengamatan mereka walaupun pada kenyataanya ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan mereka baik terhadap orang lain maupun pada sesuatu hal yang ada di depan mereka.

b. Spontanitas, kesederhanaan, dan kealamian

Orang yang mengaktualisasi diri merupakan orang-orang yang spontan, sederhana, dan alami. Selain itu, orang yang mengaktualisasi merupakan orang


(30)

yang dapat melakukan sesuatu hal tanpa dipikirkan atau direncanakan terlebih dahulu. Orang yang mengaktualisasi diri juga menjunjung nilai-nilai kesederhanaan, artinya orang yang mengaktualisasi adalah orang yang apa adanya dan tidak dibuat-buat sehingga biasanya orang-orang ini ekspresif dan mau mengakui jika memang sedang merasakan suatu emosi tertentu. Di sisi lain ada persamaan antara orang-orang yang mengaktualisasi diri dengan anak-anak atau binatang yaitu sifat wajar atau alami dan sifat spontan mereka (Feist & Feist, 2006).

c. Kreativitas

Maslow melihat bahwa kreativitas dapat muncul dari mana saja. Oleh karena itu ia beranggapan bahwa orang-orang yang mengaktualisasi diri dapat memunculkan kreativitas dari mana saja, bahkan dari hal-hal yang sederhana sekalipun menjadi seseuatu yang lebih beragam dan tidak perlu mempunyai bakat khusus untuk memunculkan suatu kreativitas (Feist & Feist, 2006).

d. Penghargaan yang selalu baru

Orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai kemampuan untuk dapat mempertahankan penilaian mereka terhadap sesuatu yang mungkin dianggap orang lain sebagai sesuatu yang sederhana dengan pandangan yang tetap positif. Hal ini disebabkan orang-orang yang mengaktualisasi dapat menghargai hal-hal yang dianggap kecil bagi orang-orang pada umumnya dengan penuh rasa syukur (Feist & Feist, 2006).


(31)

e. Diskriminasi cara dan tujuan

Orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai pandangan bahwa mereka tidak terlalu mementingkan bagaimana cara yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan dan lebih mementingkan tujuan. Yang dimaksud dengan mementingkan tujuan bukanlah dengan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar tetapi lebih bagaimana orang-orang yang mengaktualisasi tidak terlalu memperhatikan cara yang mungkin menghambat tujuan utama mereka (Feist & Feist, 2006).

f. Tidak mengikuti enkulturasi (pembudayaan)

Orang yang mengaktualisasi diri tidak mudah terpengaruh oleh kebiasaan atau tren pada umumnya yang dikriteria secara sepihak oleh pihak luar yang diikuti oleh orang-orang di sekitarnya atau pada zamannya, terutama jika memang kebiasaan atau tren tersebut tidak sesuai atau merasa tidak cocok dengan dirinya. Orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai nilai-nilai untuk suatu kebiasaan maupun perilaku sesuai dengan keyakinan yang dianggapnya benar yang diterapkan pada dirinya sendiri (Feist & Feist, 2006).

g. Hubungan interpersonal yang kuat

Orang-orang yang mengaktualisasi diri lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas dari suatu hubungan. Mereka mempunyai hubungan yang kuat dan mendalam terhadap orang-orang tertentu yang mereka anggap sehat dan memberikan kontribusi positif terhadap mereka. Akan tetapi, bukan berarti orang


(32)

yang mengaktualisasi diri enggan berteman dengan orang yang kurang sehat menurut mereka. Mereka tetap menghargai dan berempati terhadap mereka (Feist & Feist, 2006).

h. Gemeinschaftgefuhl(rasa kemasyarakatan)

Orang-orang yang mengaktualisasi mempunyai rasa keterikatan dan ketertarikan pada lingkungan sosialnya sehingga bukan hanya sekedar terikat secara formal dalam suatu masyarakat, namun yang lebih penting adalah perasaan menjadi bagian dari suatu masyarakat sehingga orang yang mengaktualisasi dapat secara tulus atau tidak mengharapkan keuntungan dalam bermasyarakat (Feist & Feist, 2006).

i. Kebutuhan akan privasi

Orang yang mengaktualisasikan diri tidak mengalami masalah atau tidak merasa kesepian ketika dirinya harus sendirian. Sebaliknya mereka juga tidak bermasalah ketika harus bersama-sama orang lain karena orang-orang ini pada dasarnya kebutuhan cinta dan keberadaanya telah tercukupi (Feist & Feist, 2006).

j. Penerimaan diri, orang lain, dan alam

Orang yang mengaktualisasi diri dapat menerima dirinya apa adanya dan tidak terlalu melihat kekurangan yang ada di dalam diri sehingga mereka tidak terlalu membela diri dan merasa bersalah ketika ada kritik yang ditujukan pada mereka. Mereka juga mempunyai rasa sayang terhadap binatang dan mempunyai


(33)

selera yang baik terhadap kebutuhan dasar manusia. Di sisi lain mereka juga menerima orang lain sebagaimana adanya serta dapat menoleransi kelemahan yang ada pada orang lain dan tidak merasa tertekan oleh kekuatan orang lain sehingga tidak mempunyai kebutuhan untuk mengendalikan, menginformasikan, atau mengubah orang lain menurut kemauannya (Feist & Feist, 2006).

k. Berpusat pada tugas (task-oriented)

Orang-orang yang mengaktualisasi diri adalah orang yang lebih mengutamakan tugas atau pekerjaan mereka (task-oriented) daripada masalah yang terjadi pada diri mereka. Oleh karena lebih mementingkan hal-hal yang ada di luar diri mereka, orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengembangkan suatu misi dalam hidupnya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Sedangkan orang yang tidak mengaktualisasi diri lebih memusatkan perhatian pada diri mereka sendiri dan cenderung melihat masalah-masalah yang ada kaitannya dengan diri mereka (Feist & Feist, 2006).

l. Kemandirian

Orang-orang yang mengaktualisasi merupakan orang yang berusaha untuk dapat bertanggung jawab pada dirinya sendiri namun ia tetap masih mempunyai kesadaran bahwa seseorang tidak dapat sepenuhnya tidak bergantung pada orang lain (Feist & Feist, 2006).


(34)

m. Rasa humor yang filosofis

Rasa humor yang diciptakan orang-orang yang mengaktualisasikan diri biasanya terjadi pada situasi unik tertentu, spontan dan tidak dibuat-buat. Oleh karena itu orang yang ingin melihat ulang humor tersebut akan sia-sia karena humor tersebut tidak dapat diulangi lagi. Inilah yang dimaksud Maslow sebagai humor yang filosofis.

n. Pengalaman puncak

Pengalaman puncak adalah pengalaman tak terduga yang sulit dijelaskan dan memberi perasaan sangat hebat. Pengalaman puncak ini sendiri ikut membentuk kepribadian seseorang. Selama mengalami pengalaman puncak mereka biasanya merasa lebih rendah hati dan sekaligus lebih kuat. Mereka tidak mau mengubah hal-hal, merasa bisa menerima hal-hal baru, lebih mau memperhatikan apa yang didengar dan lebih mampu untuk mendengar. Pada saat yang sama, mereka merasa lebih bertanggung jawab atas aktivitas dan persepsi mereka, lebih aktif, dan lebih yakin pada diri sendiri.

Orang-orang yang mengalami pengalaman puncak merasakan hilangnya rasa takut, kecemasan, dan konflik serta menjadi lebih mencintai, menerima, dan bersikap spontan. Walaupun orang-orang yang mengalami pengalaman puncak sering kali merasakan emosi seperti kagum, terkejut, senang, bahagia, hormat, rendah hati, dan berserah diri, mereka cenderung tidak menginginkan untuk mendapatkan apapun dari pengalaman tersebut. Mereka sering kali mengalami disorientasi waktu dan ruang, kehilangan kesadaran diri, sikap tidak mementingkan


(35)

diri sendiri, dan kemampuan untuk melampaui segala perbedaan yang terjadi pada kehidupan sehari-hari. (Feist & Feist, 2006).

o. Struktur watak demokratis

Orang yang mengaktualisasi mempunyai prinsip kesetaraan pada orang-orang disekitarnya oleh karena itu, orang-orang-orang-orang ini menanggap bahwa mereka bisa belajar dari siapa saja, bahkan pada orang-orang yang dipandang oleh-orang lainnya terbuang atau tidak berguna karena orang yang mengaktualisasi diri mempunyai sifat dasar yang rendah hati yang membuat dirinya dapat belajar dari siapa saja (Feist & Feist, 2006).

p. Pembaktian pada pekerjaan

Ketika orang yang mengaktualisasi diri merupakan orang-orang yang bebas dari psikopatologi dan memegang nilai-nilai “Being” maka orang-orang yang mengaktualisasikan diri menganggap pekerjaan yang dihadapi sebagai suatu kegemaran bagi dirinya karena adanya minat dan ketertarikan terhadap pekerjaan tersebut. Oleh karena adanya minat dan ketertarikan pada pekerjaan tersebut, maka timbul suatu kenikmatan pada saat melakukan pekerjaan. Selain itu, orang yang mengaktualisasi juga mengerjakan pekerjaan tersebut dengan segenap kemampuannya karena adanya rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut (Goble, 1987).


(36)

B. Aktualisasi diri perempuan menikah melalui bidang-bidang kehidupan di wilayah domestik

Menurut Maslow, syarat orang yang mengaktualisasi diri adalah mempunyai karier yang baik. Tidak hanya itu, orang yang mengaktualisasi diri juga dapat menikmati kariernya dan sanggup untuk bertanggung jawab atas karier yang dijalani (Goble, 1987). Selain itu, ahli psikologi humanistik tersebut juga menambahkan bahwa mekarnya sebuah potensi juga dapat dilakukan dimanapun dan kapan pun (Feist & Feist, 2006), termasuk perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik.

Sejalan dengan pendapat Maslow bahwa prasyarat untuk mewujudkan aktualisasi diri adalah memiliki karier yang baik. Ada dua kemungkinan wilayah karier bagi perempuan menikah, yaitu wilayah publik dan wilayah domestik. Di wilayah publik, bidang-bidang kehidupan karier yang dapat dipilih perempuan menikah untuk mengembangkan potensi antara lain adalah dengan cara mencapai prestasi kerja, memperluas jaringan kerja (networking), melalui pelatihan-pelatihan, mengikuti kursus, atau dengan melanjutkan jenjang pendidikannya (Zainal, 2014). Ada beberapa alasan mengapa perempuan menikah memilih untuk berkarier di wilayah publik yaitu adanya keinginan untuk berkontribusi dalam pendapatan keluarga, dukungan dari suami untuk berkarier publik, keyakinan bahwa anak sudah dapat mandiri, dan keyakinan bahwa untuk mengaktualisasikan diri adalah dengan berkarier di wilayah publik (Sudirman, 2014).

Di sisi lain, perempuan menikah yang berkarier di wilayah karier domestik juga berpeluang untuk mengaktualisasikan diri melalui bidang-bidang kehidupan


(37)

domestik yang mencakup pekerjaan rumah tangga (household chores), perawatan keluarga (family day care), pengasuhan anak (childrearing), serta kehidupan sosial, manajemen operasional dan keuangan rumah tangga (Gatz et al dan Brody, 1985 dalam Lemme 1999; Lemme 1999; Gray, 2000; Etikawati, 2014; Latshaw 2016).

Secara lebih rinci, wilayah karier domestik yang pertama adalah pekerjaan rumah tangga (household chores), yang mencakup bantuan instrumental seperti mendekorasi rumah, merapikan tempat tidur, menyetrika, mengepel lantai, membersihkan kamar mandi, mencuci pakaian dan piring, merawat peliharaan rumah, membuang sampah, menata halaman, perbaikan kerusakan rumah, antar jemput, berbelanja, menyiapkan makanan, aktivitas menyetir, dan membereskan mainan (Gatz et al dalam Lemme, 1999; Latshaw, 2015). Bidang kehidupan karier domestik yang kedua adalah perawatan keluarga (family day care) yang mencakup dukungan emosional dan saran, perawatan pada relasi yang lebih tua, misalnya pada mertua atau orang tua dan perawatan pada suami yang dependen, misalnya pada suami yang sakit dalam jangka waktu lama atau mengalami disabilitas (Gatz et al; Brodi, 1985 dalam Lemme 1999). Bidang kehidupan yang ketiga adalah pengasuhan anak (childrearing) yang mencakup perawatan anak (basic care), kehadiran atau keterlibatan dalam aktivitas anak (accesibility), kendali (control), bimbingan (guidance), dukungan emosional dan perhatian (emotional support), perlindungan dan rasa aman (protection), dan pengharapan terhadap anak (ekspectation) (Etikawati, 2014). Bidang kehidupan karier domestik yang keempat adalah kehidupan sosial yang mencakup mengorganisasi kehidupan sosial dan menjaga relasi (Gray, 2000). Bidang kehidupan yang terakhir adalah manajemen


(38)

operasional dan keuangan rumah tangga yang terdiri dari mengelola keuangan, keputusan tentang perawatan dan mengatur penyedia layanan formal seperti perawat dan pembantu untuk datang ke rumah, membayar tagihan, dan bantuan keuangan langsung. Beberapa alasan mengapa perempuan menikah memilih karier di wilayah domestik antara lain lebih menghemat biaya dibandingkan memiliki aktivitas di luar, dapat mengerjakan banyak pekerjaan rumah tangga, dapat mengawasi anak-anak secara penuh, dapat mempunyai banyak waktu luang untuk diri sendiri, tidak kehilangan momen penting pertumbuhan anak, dan tidak akan menghadapi tuntutan-tuntutan untuk membagi peran di wilayah publik maupun domestik (Reed, 2012). Perbandingan antara wilayah karier publik dan domestik bagi perempuan menikah disajikan di Tabel 1.


(39)

Wilayah Karier Publik Wilayah Karier Domestik  Prestasi Kerja  Prestasi kerja merupakan faktor yang

paling penting untuk meningkatkan dan mengembangkan karier seorang perempuan menikah. Kemajuan karier sebagian besar tergantung pada prestasi kerja yang baik dan etis. Ketika kinerjanya di bawah standar, dengan mengabaikan upaya-upaya pengembangan karier lain, bahkan tujuan karier yang paling sederhana sekalipun biasanya tidak bisa dicapai. Kemajuan karier umumnya terletak pada kinerja dan prestasi (Zainal, 2014)

 Pekerjaan Rumah Tangga (Household Chores)

 Bantuan Instrumental seperti mendekorasi rumah, merapikan tempat tidur,

menyetrika, mengepel lantai,

membersihkan kamar mandi, mencuci pakaian dan piring, merawat peliharaan rumah, membuang sampah, menata halaman, perbaikan kerusakan rumah, antar jemput, berbelanja, menyiapkan makanan, aktivitas menyetir, dan membereskan mainan. (Gatz et al dalam Lemme, 1999; Latshaw, 2015)

 Jaringan Kerja (Networking)

 Jaringan kerja berarti perolehan eksposur di luar perusahaan. Kontak pribadi dan profesional, utamanya melalui asosiasi profesi akan memberikan kontak kepada seseorang yang bisa jadi penting dalam mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan yang lebih baik (Zainal, 2014)

 Perawatan Keluarga (Family day Care)

 Dukungan emosional dan saran (Gatz et al. dalam Lemme, 1999)

 Perawatan pada relasi yang lebih tua (Brody 1985 dalam Lemme 1999)

 Perawatan pada suami yang dependen (Lemme, 1999).


(40)

(Growth opportunities)

pendidikannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada perempuan

menikah untuk tumbuh dan

berkembang sesuai dengan rencana kariernya. (Zainal, 2014)

(Childrearing) (accesibility), kendali (control), bimbingan (guidance), dukungan emosional dan perhatian (emotional support), perlindungan dan rasa aman (protection), dan pengharapan terhadap anak (ekspectation) (Etikawati, 2014)  Kehidupan

Sosial

 Mengorganisasi kehidupan sosial (Gray, 2000)

 Menjaga relasi (Gray, 2000)  Manajemen

Operasional dan Keuangan Rumah

Tangga

 Mengelola keuangan (Gatz et al. dalam Lemme, 1999)

 Keputusan tentang perawatan dan mengatur penyedia layanan formal, seperti perawat dan pembantu untuk datang ke rumah. (Gatz et al. dalam Lemme, 1999)  Membayar tagihan (Latshaw, 2015)  Bantuan keuangan langsung (Gatz et al.


(41)

Ada sebagian masyarakat modern, termasuk wanita karier yang cenderung menganggap karier di wilayah domestik secara negatif. Pandangan negatif ini menurut aliran konservatif (Robertson, 2000 & Schaffly dalam Brescoll & Uhlman, 2005) dipengaruhi oleh adanya gerakan kesetaraan (feminis). Hal tersebut disebabkan karena gerakan kesetaraan (feminis), khususnya feminis liberal, yang menganggap bahwa subordinasi kaum perempuan berakar pada kendala legal seperti mengucilkan atau menghalangi keterlibatan penuh dan setara kaum perempuan dalam ajang publik (Sumiyatiningsih, 2016).

Hal ini terungkap misalnya oleh beberapa feminis gelombang kedua sekitar tahun 1960-an sampai dengan 1970-an seperti Betty Friedan yang mengklaim bahwa domestisitas membuat para perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik menjadi ‘sakit’. Selanjutnya ketika perempuan melihat diri mereka sebagai istri dan ibu, mereka kehilangan identitas diri mereka. Dengan alasan inilah Friedan percaya bahwa solusi yang paling baik adalah perempuan menolak keterlibatannya di karier domestiknya dan memahami bahwa domestisitas tidak akan mengisi rasa pemenuhannya sehingga ia menyarankan perempuan untuk mengenyam pendidikan yang tinggi, mempunyai pekerjaan yang digaji, dan mencari tempat di wilayah publik (Friedan, 1973).

Senada dengan Friedan, Ann Oakley percaya bahwa peran sebagai istri bertentangan dengan identitas yang nyata dan berlawanan pada kesempatan seseorang untuk mengaktualisasikan diri. Ia juga memandang bahwa orang yang merasakan adanya kreativitas dalam pekerjaan rumah tangga sedang mengalami kesalahpahaman (Hollows, 2008).


(42)

salah seorang feminis Marxis, Margaret Benston mengatakan bahwa memberikan ruang publik bagi perempuan tanpa diimbangi sosialisasi yang baik terhadap karier di wilayah domestik seperti memasak, membersihkan dan mengasuh anak, berarti menjadikan kondisi opresinya menjadi lebih buruk. Menurutnya, begitu setiap orang menyadari betapa sulitnya pekerjaan rumah tangga, masyarakat tidak akan lagi mempunyai dasar bagi opresi terhadap perempuan sebagai orang-orang yang tidak berguna atau lebih rendah sehingga dibutuhkan sosialisasi atau kesetaraan pada pekerjaan rumah tangga (Tong, 2011).

Hal ini didukung dengan pandangan feminis domestik yang berargumen bahwa perempuan secara natural lebih cocok untuk kehidupan domestik dan diberi penghargaan yang tinggi. Hasilnya, feminis domestik mengklaim, perempuan harus diberikan hak untuk menyelesaikan masalah yang berada di publik karena keterlibatannya di domestik membuat mereka lebih superior dari laki-laki (Hayden, 1982; Matthews 1987 dalam Hollows 2008).

Pandangan positif ini juga dapat dilihat misalnya pada masyarakat Jawa yang menekankan kelemahlembutan dan kehalusan sehingga karier domestik yang identik dengan kekuatan feminin menemukan ruang untuk mengekspresikan diri secara leluasa. Selain itu, sosok ibu atau perempuan menikah, secara spesifik dalam kultur Jawa memiliki posisi sangat penting sekaligus dipandang sebagai pusat rumah yang selalu dipercaya yang tidak dimiliki sosok bapak yang menjadi simbol publik (Handayani & Novianto, 2004).

Di samping adanya pandangan positif dan negatif dalam karier domestik, ahli psikoanalisis setelah Freud, Jung (dalam Sadli, 2009) mengkategorikan prinsip


(43)

yang berorientasi pada prestasi (achievement) dan prinsip feminim (eros) yang dicirikan dengan keterikatan (reatedness), kepekaan (receptivity), cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup yang mempunyai orientasi ‘communal’ atau memelihara hubungan. Artinya ketika perempuan menikah memilih karier di wilayah publik, maka ia menggunakan peran maskulin. Sebaliknya, ketika perempuan menikah memilih karier di wilayah domestik, maka ia menggunakan peran feminim.

Dalam dunia psikologi, peran maskulin dan peran feminim tersebut lebih sering disebut sebagai stereotip gender yaitu gambaran tentang ciri sifat maupun peran laki-laki dan wanita (Handayani & Novianto, 2004). Oleh karena itu, adanya anggapan bahwa perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik dapat menghambat seseorang untuk berkembang dan memiliki nilai yang lebih rendah daripada perempuan yang berkarier di wilayah publik dapat dipertanyakan kembali. Sadli (2009) juga mengatakan bahwa menjadi kurang relevan untuk mempertentangkan karier publik dan karier domestik karena keduanya adalah pilihan yang setara dan sama-sama memerlukan tanggung jawab.


(44)

Menurut Maslow, aktualisasi diri adalah sebuah kebutuhan untuk pemenuhan diri. Lebih lanjut, pada jaman sekarang wilayah aktualisasi diri bagi perempuan menikah dibagi menjadi dua wilayah karier yaitu wilayah publik dan wilayah domestik. Di wilayah publik, karier diidentikkan dengan prestasi kerja, jaringan kerja, dan potensi untuk mengembangkan diri untuk tumbuh melalui pendidikan dan pelatihan. Sedangkan di wilayah domestik yang identik dengan karier domestik yaitu sebagai ibu rumah tangga dihadapkan dengan pekerjaan rumah tangga, perawatan keluarga, pengasuhan anak, manajemen operasional dan keuangan. Di zaman dahulu, ketika perempuan menikah, perempuan diidentikkan dengan ibu rumah tangga tradisional, dengan kata lain, perempuan mempunyai tugas untuk menjalankan karier di wilayah domestik. Akan tetapi, adanya gerakan kesetaraan perempuan (feminis) membuat adanya miskonsepsi wilayah domestik tidak memberikan ruang perempuan menikah untuk mengaktualisasikan diri, padahal menurut Maslow, peluang untuk mengaktualisasikan diri dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun asalkan seseorang dapat menghayati kariernya.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti mempunyai perkiraan bahwa wilayah domestik tidak akan menghambat seseorang untuk mengaktualisasikan diri. Selain itu, peneliti juga memperkirakan bahwa peluang aktualisasi diri bagi perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik juga akan semakin luas karena pada zaman sekarang dikotomi wilayah domestik dan publik yang semakin kabur.


(45)

Perempuan Menikah

Melalui Wilayah Pemenuhan

Diri ( Self-Fulfillment)

Domestik

Pekerjaan Rumah Tangga (Household Chores)

- Perawatan Keluarga (Family Day Care)

- Pengasuhan anak (Childrearing) - Manajemen Keuangan dan Operasional Rumah Tangga

Publik

Aktualisasi Diri

\


(46)

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitan yang mencoba menggali makna menurut para partisipan, sehingga peneliti harus terjun langsung ke dalam lingkungan atau suasana alamiah partisipan untuk mengambil berbagai macam data, baik melalui wawancara, observasi maupun dokumen-dokumen. Penelitian kualitatif mencoba untuk mencari gambaran menyeluruh dari isu yang diteliti, sehingga bisa saja pelaksanaan penelitian ini lebih luas dari rencana penelitian yang telah disusun sebelumnya (Creswell, 2009, dalam Supratiknya, 2015).

Desain penelitian menggunakan analisis isi kualitatif (AIK), yaitu penafsiran secara partisipantif dari isi data yang berupa teks dengan proses klasifikasi sistematik berupa coding atau pengodean dan pengidentifikasian berbaga tema dan pola (Hsieh & Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015).

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana cara perempuan menikah mencapai aktualisasi diri melalui kariernya di wilayah domestik, meliputi wilayah-wilayah pekerjaan rumah tangga (household chores), perawatan keluarga (family day care), kehidupan sosial rumah tangga, dan manajemen operasional dan keuangan rumah tangga. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, dengan pertanyaan wawancara utama di setiap bidang-bidang pekerjaan di wilayah karier domestik.


(47)

elektronik menjadi teks tertulis atau dokumen. Selanjutnya dengan analisis isi kualitatif (AIK), teks atau kata-kata tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan deskripsi yang padat dan kaya tentang fenomena yang diteliti (Supratiknya, 2015).

B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah aktualisasi diri perempuan menikah dalam karier domestik. Penelitian ini hendak mengungkap bagaimana perempuan menikah mengaktualisasikan dirinya di wilayah domestik dengan menggunakan kriteria orang-orang yang mengaktualisasi diri menurut teori Maslow.

Kriteria orang yang mengaktualisasikan diri menurut Maslow adalah: persepsi yang lebih efisien akan kenyataan, spontanitas; kesederhanaan; dan kealamian, kreativitas, penghargaan yang selalu baru, diskriminasi cara dan tujuan, tidak mengikuti enkulturasi, hubungan interpersonal yang kuat, gemeinschafttgefuhl, kebutuhan akan privasi, penerimaan diri; orang lain; dan alam, berpusat pada tugas, kemandirian, rasa humor yang filosofis, pengalaman puncak, struktur watak demokratis, dan pembaktian pada pekerjaan.

Wilayah domestik tempat perempuan menikah mengaktualisasikan diri adalah: (houshehold chores), perawatan keluarga (family day care), pengasuhan anak (childrearing), kehidupan sosial, dan manajemen operasional rumah tangga.


(48)

Partisipan dalam penelitian ini adalah 6 perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik, berusia 30-60 tahun, mempunyai anak, pernah berkarier di wilayah publik minimal selama satu tahun, berpendidikan minimal sekolah menengah atas, tidak memiliki usaha skala besar (mempunyai karyawan), dan yang terakhir adalah kesediaan dan kesanggupan partisipan untuk menceritakan pengalamannya. Terkait dengan pemilihan partisipan, peneliti menggunakan teknik sampling berupa criterion sampling. Patton (2002) menjelaskan bahwa, criterion sampling bertujuan untuk meninjau dan mempelajari semua kasus yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti supaya sesuai dengan tujuan penelitian.

D. Peran Peneliti

Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai instrumen kunci. Artinya, peneliti memainkan peranan penting dalam pengambilan data. Selain itu, peneliti juga berperan menangkap suara partisipan dan mengolahnya. Peneliti turun sendiri ke lokasi penelitian untuk mengumpulkan data dengan mewawancarai partisipan dengan sebuah protokol yaitu instrumen pengumpulan data berupa pedoman wawancara atau pedoman observasi, namun tetap peneliti sendiri yang benar-benar mengumpulkan data (Supratiknya, 2015).

Peneliti tidak memiliki kaitan apapun dengan lokasi penelitian maupun dengan partisipan. Peneliti memilih kediaman partisipan sebagai lokasi penelitian karena peneliti merasa bahwa rumah partisipan merupakan tempat yang terkait dengan topik penelitian dan merupakan tempat partisipan melakukan kegiatan


(49)

pengalamannnya.

Potensi paling buruk yang bisa terjadi dari penelitian ini adalah munculnya rasa malu dan sedih atau perasaan-perasaan lain yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan dalam diri partisipan ketika menceritakan pengalamannya sebagai ibu rumah tangga. Untuk memastikan bahwa partisipan terbebas dari rasa tidak nyaman, peneliti menempuh prosedur informed consent yaitu dengan cara mempersilahkan partisipan untuk mengetahui tema penelitian, prosedur pengambilan data, dan potensi paling buruk yang mungkin terjadi di dalam penelitian.

Isu sensitif yang mungkin muncul terkait etika adalah terbongkarnya identitas partisipan. Untuk menanggulangi hal itu, semua data mengenai identitas partisipan akan diminimalisir, peneliti akan menggunakan inisial atau P1, P2, dan seterusnya.

E. Metode Pengambilan Data

Dalam penelitian ini, metode utama dalam pengambilan data adalah wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas jawaban itu (Moleong, 2015). Wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan wawancara. Pertanyaan yang disusun dapat dimodifikasi menurut respon partisipan sehingga memungkinkan peneliti dan partisipan untuk melakukan dialog. Di samping itu, peneliti dapat menyelidiki lebih jauh tentang hal-hal menarik dan penting yang mungkin muncul


(50)

digunakan agar pengambilan data dapat dilaksanakan dengan baik. Tahapan pelaksanakan wawancara tersebut adalah:

1. Mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.

2. Membangun rapport, menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan dan memastikan kembali kesediaan partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian.

3. Menyusun kesepakatan jadwal dilakukannya wawancara antara peneliti dan partisipan.

4. Melaksanakan wawancara sesuai kesepakatan peneliti dan partisipan. Dalam sesi wawancara, peneliti menggunakan alat bantuan alat perekam (digital recorder). Di samping itu peneliti juga mencatat perilaku nonverbal dari partisipan selama proses wawancara berlangsung. Setelah data terkumpul peneliti melakukan transkrip wawancara dari hasil perekaman tersebut.

Berikut adalah pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini: Tabel 2. Pedoman wawancara utama

Wilayah karier domestik Pertanyaan utama

Pekerjaan rumah tangga/ household chores)

Coba ceritakan bagaimana peranan ibu dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga?

Perawatan keluarga/ family day care) Coba ceritakan bagaimana peranan ibu dalam merawat anak atau anggota keluarga ibu?

Pengasuhan anak (childrearing) Coba ceritakan bagaimana peranan ibu dalam mengasuh anak?


(51)

ibu? Manajemen operasional dan keuangan rumah tangga

Coba ceritakan bagaimana peranan ibu dalam manajemen operasional dan pengaturan keuangan keluarga ibu?


(52)

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi kualitatif (AIK). AIK merupakan suatu metode untuk menganalisis pesan-pesan komunikasi yang bersifat lisan, tertulis, atau visual (Supratiknya, 2015). Penelitian ini menghasilkan data berupa transkripsi dari hasil wawancara. Ketika data selesai ditranskripsi lalu data tersebut dikumpulkan menjadi satuan analisis. Data-data hasil penelitian tersebut kemudian dikategorikan berdasarkan kesamaan makna sehingga diperoleh suatu deskripsi yang padat terhadap fenomena yang sedang diteliti (Supratiknya, 2015).

Analisis isi kualitatif (AIK) dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif atau analisis isi terarah. Peneliti akan melakukan pengodean terhadap transkripsi wawancara yang sudah dikumpulkan menjadi satuan analisis. Skema awal pengodean yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kriteria orang-orang yang mengaktualisasi diri dari teori Maslow yang diterapkan dalam lima wilayah bidang-bidang kehidupan rumah tangga yang terdiri dari pekerjaan rumah tangga (household chores), perawatan keluarga (family day care), kehidupan sosial, dan manajemen operasional dan keuangan rumah tangga. Apabila peneliti masih menemukan data-data yang belum dimasukan ke dalam kode, maka peneliti akan membaca dan kembali menganalisis apakah data-data tersebut hanyalah termask subkategori atau perlu membuat suatu kode baru. Kriteria yang hendak digunakan dalam koding tertera dalam Tabel 3, yaitu:


(53)

Tabel 3. Kriteria koding aktualisasi diri karier domestik

Aspek (beserta koding) Wilayah Karier Domestik

Pekerjaan rumah tangga (Household chores) Perawatan keluarga (Family day care) Pengasuhan anak (Childrearing) Kehidupan sosial rumah tangga Manajemen operasional dan keuangan rumah tangga

Persepsi yang lebih efisien akan kenyataan

Cepat menangkap permasalahan dengan objektif

Spontanitas

Mengacu pada sifat spontan, tidak banyak berpikir.

Kesederhanaan

Apa adanya, tidak dibuat-buat Kealamian

Sikap wajar Kreativitas

Intelektualitas seseorang untuk mengkreasikan sesuatu menjadi lebih beragam

Penghargaan yang selalu baru Berusaha mempertahankan penilaian secara postif


(54)

Struktur karakter demokratis Dapat belajar dari siapa saja Diskriminasi cara dan tujuan Mementingkan tujuan daripada cara Tidak mengikuti enkulturasi Tidak terpengaruh oleh kebiasaan atau tren yang dibuat secara sepihak dari pihak luar jika memang tidak cocok.

Hubungan interpersonal yang kuat

Mengutamakan kualitas dalam hubungan sosial

Gemeinschagefuhl (Paguyuban) Mempunyai rasa ketertarikan dalam kemasyarakatan atau ketertarikan dalam suatu kelompok sosial. Kebutuhan akan privasi

Mempunyai perasaan nyaman ketika bersama dengan orang lain maupun ketika sendirian tanpa merasa kesepian.

Penerimaan akan diri, orang lain, dan alam

Menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya, kebutuhan yang sedikit akan tuntutan kepada orang lain.


(55)

Berpusat pada tugas

Mengutamakan tugas sebagai hal utama daripada kepentingan pribadi Kemandirian

Dapat mengambil keputusan dan tanggung jawab pada diri sendiri, mempunyai niat untuk tidak tergantung pada orang lain. Rasa humor yang filosofis Mempunyai rasa humor terhadap sesuatu yang sedang dijalani.

.

Pengalaman puncak

Pengalaman tak terduga yang sulit dijelaskan dan memberi perasaan sangat hebat.

Pembaktian pada pekerjaan Merasakan kenikmatan pada pekerjaannya karena menganggap pekerjaannya sebagai kegemaran, bertanggung jawab pada


(56)

G. Kredibilitas Data

Peneliti biasanya melakukan beberapa strategi untuk menguji kredibilitas penelitiannya. Strategi pertama yang digunakan adalah member checking. Pada member checking, setelah data dirumuskan ke dalam tema-tema, peneliti akan membawa kembali kepada partisipan untuk mengetahui apakah tema-tema yang telah dirumuskan tersebut sudah akurat atau sesuai dengan diri partisipan. Strategi kedua yang digunakan adalah thick description atau deskripsi mendalam dimana peneliti menyajikan deskripsi yang sangat rinci tentang setting atau lingkungan penelitian dan dinamika ketika melaksanakan wawancara. Dengan cara itu, hasil-hasil penelitian menjadi lebih realistik dan dapat dipercaya (Supratiknya, 2015). Strategi ketiga yang digunakan adalah dengan menuliskan latar belakang setiap partisipan sehingga peneliti dapat membuktikan bahwa setiap partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini benar adanya dan bukan sekedar partisipan fiktif

Penelitian ini menggunakan dua strategi untuk menguji konsistensi hasil penelitian. Strategi yang pertama adalah peneliti memeriksa berungkali transkrip-transkrip rekaman wawancara untuk memastikan tidak ada kesalahan yang serius saat proses transkripsi. Pada strategi yang kedua, peneliti juga membandingkan data dengan kode-kode yang telah dirumuskan. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergeseran makna kode-kode yang mungkin terjadi selama proses transkripsi.


(57)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini diadakan pada pertengahan Desember 2016 sampai awal bulan Februari. Proses pengambilan data menggunakan metode wawancara yang dilakukan oleh peneliti sendiri kepada enam ibu rumah tangga. Wawancara dilakukan di rumah partisipan. Durasi wawancara bervariasi antara 30 menit sampai paling lama 2,5 jam. Rangkuman waktu dan tempat diadakannya wawancara disajikan di Tabel 4.

Tabel 4. Lokasi dan tempat pelaksanaan wawancara

No Partisipan Waktu Lokasi

1 P1 23 Desember 2016

3 Januari 2017 17 Januari 2017

Rumah Partisipan Rumah Partisipan Rumah Partisipan

2 P2 28 Desember 2016

7 Januari 2017

Rumah Partisipan Rumah Partisipan

3 P3 13 Januari 2017

20 Januari 2017

Rumah Partisipan Rumah Partisipan

4 P4 22 Januari 2017 Rumah Partisipan

5 P5 25 Januari 2017

28 Januari 2017

Rumah Partisipan Rumah Partisipan

6 P6 1 Februari 2017 Rumah Partisipan

B. Latar belakang partisipan dan dinamika proses wawancara

Wawancara dilakukan oleh peneliti secara tatap muka personal terhadap tiap partisipan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti menjelaskan secara garis besar mengenai penelitian dan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh partisipan. Tiap partisipan juga telah menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian ini yang


(58)

pemberian informasi lengkap tentang penelitian termasuk resiko-resiko dan pemberian kesediaan kesediaan untuk partisipasi oleh partisipan sesudah tahu seluk-beluk dan resikonya.

Partisipan pertama adalah P1. PI adalah perempuan menikah berumur 33 tahun yang mempunyai gelar pendidikan sarjana dan pernah berkarier di wilayah publik selama enam setengah tahun sebagai HRD (Human Resources Development) dan terakhir mempunyai posisi sebagai Departement Head Human Resources Development di Jakarta. P1 memutuskan untuk berhenti berkarier di wilayah publik ketika pindah ke Yogyakarta dan memutuskan untuk merawat anaknya yang masih balita.

Walaupun partisipan memperoleh dukungan penuh dari suami dalam mengambil keputusan untuk berkarier di wilayah domestik, partisipan tetap merasa kurang percaya diri dengan status tersebut. Ia tetap dibayangi perasaan bersalah tidak dapat memenuhi harapan ibunya untuk menjadi wanita karier dan mandiri di pihak lainnya. Belum lagi ia harus mendengar komentar dari mantan teman kerjanya bahwa partisipan terlihat tidak produktif .

Untuk membangun rasa percaya diri, P1 membuka usaha kecil berupa toko yang menyediakan perlengkapan bayi di rumahnya baik secara offline maupun online. Di tempat yang sama, dengan pengalamannya sebagai HRD, ia juga membuka jasa konsultasi secara freelance. Selain dua hal tersebut, partisipan menggunakan link tempat kerjanya terdahulu, masyarakat sekitarnya untuk bersosialisasi sekaligus memasarkan produk MLM dimana ia menjadi salah satu distributornya. Menurut pengakuannya, dalam statusnya sebagai ibu rumah tangga,


(59)

lebih besar dibandingkan dengan ketika ia berkarir sebagai HRD. Lebih dari itu, kini ia merasa dapat melakukan hal – hal yang ia sukai.

Akan tetapi, kendati pendapatan yang menjadi lebih besar dan merasa mampu melakukan hal – hal yang ia sukai rupanya tidak dengan sendirinya membuat ia merasa nyaman dengan karir domestik tersebut. Jauh di lubuk hatinya, ia tetap merindukan untuk kembali berkarier di wilayah publik suatu saat nanti. Menurutnya wanita yang berkarir di wilayah publik adalah sesuatu yang membanggakan. Selain itu, partisipan juga beranggapan menjadi wanita karier sebagai satu – satunya cara yang ia yakini untuk mengaktualisasi diri.

Pengambilan data dilangsungkan tiga kali, pada pengambilan data yang pertama wawancara berkisar kurang lebih selama 30 menit, pengambilan data yang kedua kurang lebih selama 60 menit, dan pengambilan data yang ketiga kurang selama lebih 30 menit di rumah partisipan. Pada saat wawancara yang pertama, partisipan mengenakan kaus putih dan celana panjang dan sesi wawancara bertempat di ruang tengah rumah partisipan. Saat proses wawancara yang pertama, P1 menjawab pertanyaan dengan cukup santai dan tanpa adanya pemberhentian sampai sesi selesai. Selain itu, P1 berbicara dengan lancar dan cepat ketika sesi wawancara berlangsung. Partisipan juga seringkali tertawa ketika bercerita tentang pengalamannya sendiri. Selanjutnya, pada pengambilan data yang kedua, pengambilan data dilakukan di ruang tamu rumah partisipan, pada saat sesi wawancara partisipan menggunakan baju tidur dan selama wawacara berlangsung partisipan sering berdeham karena partisipan mengaku sedang sakit flu dan lupa untuk memberitahu peneliti sebelumnya. Pada pengambilan data yang ketiga,


(60)

wawancara, wawancara sempat dihentikan sejenak karena partisipan berbicara pada suaminya dan meminta waktu untuk mengurus anaknya sebentar. Selanjutnya wawancara dengan partisipan dilakukan di dapur sembari partisipan memasak dan menyiapkan makan sore.

Partisipan kedua adalah perempuan menikah berumur 37 tahun dengan gelar Diploma (D3). Ia pernah berkarier di wilayah publik selama enam tahun sebagai Branch Operational Support di Jakarta. Atas permintaan suaminya untuk lebih fokus mengasuh ketiga anaknya yang masih kecil, ia berhenti berkarier di wilayah publik. Awalnya partisipan merasa tidak terima dan keberatan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Hal itu disebabkan karena partisipan memandang perjuangan menyelesaikan kuliah untuk kemudian meniti karir di wilayah publik untuk waktu yang tidak sebentar menjadi sia - sia. Bahkan ia menjadi semakin tidak percaya diri ketika mendengar komentar tetangga yang tertuju pada dirinya sebagai pengangguran.

Bergulirnya waktu dan dukungan terus menerus dari suami, orangtua, mertua, dan anak-anaknya perlahan-lahan membuat ia mampu menerima dirinya sebagai ibu rumah tangga. Untuk membangkitkan kepercayaan dirinya yang sempat hilang, ia membuka toko kelontong kecil di dekat rumahnya. Akan tetapi, ketiga anaknya rupanya membuat ia sibuk luar biasa. Akhirnya toko kelontong tersebut dilanjutkan kakaknya dan partisipan bertekad bulat untuk fokus mengurus anak - anaknya. Untuk kedepannya ketika anak-anaknya sudah cukup besar, partisipan masih mempunyai keinginan untuk berwirausaha sebagai perias atau sebagai MC Adat Jawa. Secara tegas partisipan tidak lagi memiliki keinginan untuk berkarier


(61)

tiba ia sudah tidak lagi muda.

Pengambilan data wawancara dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 28 Desember 2016 dan 7 Januari 2017 bertempat di rumah partisipan. Pada pengambilan data yang yang pertama, paritisipan menggunakan kemeja bergaris dan celana panjang dan sesi wawancara dilakukan di ruang tamu. Saat wawancara, meski terganggu dengan keberadaan anaknya yang selalu mengajaknya bicara dan ingin terlibat pembicaraan, P2 menjawab dengan cukup fokus dan bersemangat. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan yang cukup panjang dan sesuai dengan konteks pertanyaaan yang diajukan. Bahkan kadang - kadang partisipan balik bertanya kepada peneliti untuk lebih mengerti maksud dari pertanyaan yang diajukan.

Di waktu yang berbeda pada tempat yang sama, gangguan yang serupa dari ketiga anaknya, dan suara musik yang keras di luar rumah partisipan, pengambilan data kedua untuk melengkapi kekurangan dalam wawancara pertama dilakukan. Kali ini partisipan mengenakan kaus berwarna merah dan celana panjang hitam. Banyak sekali jeda pada wawancara kali ini karena ketiga anaknya jauh lebih terlibat dalam pembicaraan tidak hanya dengan partisipan tapi juga pada peneliti, mungkin karena sudah semakin akrab.

Partisipan ketiga adalah seorang perempuan menikah berumur 46 tahun yang pernah menjadi karyawan (perias) selama dua tahun. Partisipan memutuskan untuk berhenti menjadi karyawan karena mempunyai anak. Selama menjadi ibu rumah tangga, partisipan pernah membantu keuangan keluarga dengan mengajar bahasa Indonesia untuk orang-orang Jepang dan berjualan untuk membantu perekonomian keluarga dengan membuka toko kecil. Akan tetapi karena adanya


(62)

tidak merasa terbebani ketika ia tidak menjadi karyawan lagi dan mengurus anak, hal itu disebabkan karena setelah enam tahun setelah menikah, partisipan baru dikaruniai seorang anak. Pada saat anak partisipan sudah dewasa, partisipan sempat membuka usaha dengan membuka warung soto, tetapi karena kondisi fisik partisipan yang tidak memungkinkan, akhirnya warung soto miliknya terpaksa dihentikan walaupun partisipan sebenarnya memiliki keinginan untuk membuka warung. Alasan partisipan membuka warung soto adalah karena ia ingin memiliki teman bicara dan berinteraksi dengan orang lain jika membuka warung. Karena keterbatasan fisik, akhirnya partisipan banyak tinggal di rumah untuk menemani anak-anaknya dan mengurus rumah karena suami partisipan tidak tinggal satu kota dengan partisipan.

Partisipan pernah mendengar komentar bahwa ibu rumah tangga merupakan pekerjaan yang mudah dari wanita yang bekerja di wilayah publik (karyawan) tetapi partisipan merasa bahwa ibu rumah tangga adalah sesuatu yang melebihi karier karena tidak terbatas waktu bekerja. Bagi partisipan, menjadi ibu rumah tangga bukan sesuatu yang membuat ia tidak percaya diri, ia malah merasa bahwa ia bangga karena dapat membesarkan anak-anaknya sendiri.

Pengambilan data dilakukan dua kali. Pada pengambilan data yang pertama, partisipan mengenakan atasan kemeja berwarna hijau dan celana panjang. Ketika sesi wawancara, wawancara berlangsung cukup kondusif, partisipan menjawab pertanyaan peneliti dengan cepat dan lancar. Akan tetapi, di tengah sesi wawancara peneliti sempat memberi waktu jeda karena partisipan sempat menangis ketika diwawancarai. Ketika ditanya mengapa menangis, partisipan merasa terharu


(63)

mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena suami partisipan berada di kota yang berbeda dengan partisipan untuk mencari nafkah.

Partisipan keempat adalah perempuan berusia 50 tahun dan mempunyai tingkat pendidikan D2. Partisipan mempunyai pengalaman berkarier di wilayah publik selama empat tahun. Partisipan pernah menjadi guru PMP, bekerja sebagai staff di showroom marketing, dan terakhir sebagai distributor MLM. Partisipan pernah menerima pesanan kue-kue dan manisan dan dititipkan di warung sebagai sarana untuk membantu perekonomian keluarga. Partisipan juga pernah menerima jahitan dan sempat berhenti karena menjadi agen distributor MLM. Partisipan memutuskan berhenti sebagai agen MLM karena tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya sehingga ia tidak mempunyai pemasukan dari keanggotaanya kendati secara formal masih tercatat sebagai agen. Partisipan mengaku belum pernah mendengar komentar orang lain terkait status partisipan karena di lingkungan partisipan, banyak perempuan menikah yang juga berkarier di wilayah domestik.

Ketika wawancara berlangsung, partisipan sering menanyakan apakah jawabannya sudah menjawab pertanyaan yang disampaikan peneliti atau belum. Partisipan juga terlihat cukup lama dalam berpikir untuk menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh peneliti. Proses pengambilan data dilakukan dua kali. Pada pengambilan data yang pertama dilakukan di ruang tamu rumah partisipan, pada saat itu, partisipan menggunakan kemeja bermotif bunga dan celana panjang hitam. Sebelum sesi wawancara dimulai, partisipan banyak bertanya tentang bagaimana cara menjawab pertanyaan wawancara dan meminta peneliti untuk tidak


(1)

4. Konsep terkait perempuan menikah berkarier di domestik yang menyatakan bahwa (1) uang yang diberikan orangtua untuk pendidikan akan sia-sia, (2) terdapat sedikit kesempatan untuk mengembangkan dan berkreasi, (3) dan kehidupan yang penuh dengan hal yang membosankan, ternyata tidak terbukti. 5. Di zaman sekarang, dikotomi wilayah publik dan domestik menjadi semakin cair. Hal ini disebabkan adanya pekerjaan-pekerjaan yang tidak terikat ruang dan waktu sehingga sulit dibedakan pembatasan antara wilayah publik atau domestik.

6. Tidak semua kriteria-kriteria orang yang mengaktualisasi diri menurut Maslow dapat muncul di setiap bidang kehidupan di wilayah domestik. Akan tetapi, perempuan menikah dapat mencapai aktualisasi di wilayah domestik. Sehingga paham yang mengatakan bahwa di wilayah domestik tidak memungkinkan seseorang untuk mengaktualisasikan diri merupakan bias. Bahkan pada zaman sekarang, peluang perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mengaktualisasikan diri.

7. Kriteria-kriteria yang tidak muncul di setiap bidang kehidupan di wilayah domestik adalah pengalaman puncak, rasa humor yang filosofis, dan tidak mengikuti enkulturasi.


(2)

B. Keterbatasan Penelitian

1. Peneliti kurang mempertimbangkan status sosial ekonomi para partisipan. Selain itu peneliti juga tidak mencari tahu lebih lanjut dampak status sosial ekonomi pada pemilihan karier domestik di kalangan perempuan menikah dan kemungkinan adanya perbedaan wilayah aktualisasi diri di antara mereka. 2. Peneliti kesulitan untuk menggali keseluruhan peluang aktualisasi diri karier di

wilayah domestik karena bentuk-bentuk karier domestik yang terlalu luas, khususnya di zaman sekarang dimana batas antara wilayah publik dan domestik yang semakin cair.

C. Saran 1. Bagi Penelitian Selanjutnya

a. Bagi penelitian selanjutnya, dapat dipilih partisipan yang memasuki tahap perkembangan dewasa madya dan mempunyai anak pada masa kanak-kanak karena pada masa itu peluang untuk mengaktualisasikan lebih besar daripada partisipan yang mempunyai masa perkembangan dewasa akhir.

b. Dapat dipertimbangkan lagi pemilihan partisipan terkait dengan mempertimbangkan status sosial ekonomi tertentu.

c. Dapat dipertimbangkan dengan menggunakan partisipan yang lebih banyak dan lebih beragam latar belakangnya supaya data yang didapatkan semakin kaya.


(3)

2. Bagi Praktisi Psikologi

Bagi praktisi psikologi, agar lebih dapat membuka wawasan baru tentang karier ibu rumah tangga dan lebih peka terhadap bias-bias dan miskonsepsi yang mungkin banyak berkembang di masyarakat.

3. Bagi Masyarakat

Bagi masyarakat agar lebih menghargai perempuan menikah yang memilih berkarier di wilayah domestik dan menganggap ibu rumah tangga sebagai karier yang patut dihargai.

4. Bagi perempuan menikah yang berkarier di wilayah domestik

Bagi para perempuan menikah yang memilih menjalani karier domestik agar lebih memiliki kebanggaan sebagai ibu rumah tangga dan dapat mencari peluang untuk tetap mengembangkan diri melalui karier domestiknya.


(4)

DAFTAR ACUAN

Brescoll, V.E & Uhlmann, E.L. (2005). Attitudes toward traditional and nontraditional parents. Psychology of Women Quarterly, 29, 436-445. Budiati, A.C. (2006). Aktualisasi diri perempuan dalam sistem budaya jawa.

Pamator,1 (3), 51-59.

Dagun, S. M. (1990). Psikologi keluarga: Peranan ayah dalam keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

Daniel, M., Gutmann, Y, & Raviv, A. (2011). Cooking and Maslow’s hierarchy of

needs: A qualitative analysis of amateur chef’s perspective. International

Journal of Humanities and Social Sciences, 20 (1), 86-94.

Denmark, F.L & Paludi, Michele A. (2008). Psychology of women: A handbook of issues and theories. London: Praeger.

Etikawati, A.I. (2014). Apersepsi mengenai figur ayah dan ibu pada anak-anak di Yogyakarta. Jurnal Penelitian Sanata Dharma, 2 (17), 78-90.

Feist, Jess & Feist, Gregory J. (2006). Theories of personality (sixth -ed.). New York: McGrawHill.

Friedan, Betty. (1979). The feminine mystique. New York: Dell Publishing.

Goble, Frank. (1997). Mazhab ketiga psikologi humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisius.

Gray, Edith. (2000). Employment, age, and children: How do they affect the division of household labour. Negoitating the life course discussion paper series, 3-21.

Handayani, Arri. (2013). Keseimbangan kerja pada perempuan bekerja: Tinjauan teori border. Bulletin Psikologi, 2 (21), 90-101.

Handayani, C.S & Novianto, A. (2004). Kuasa wanita jawa. Yogyakarta: Lkis. Hollows, Joanne. (2008). Domestic cultures in cultural and media studies. New

York : Open University Press.

Jang, S. Y. & Merriam, S. (2004). Korean culture and the reentry motivations of university- graduated women. Adult Education Quarterly, 4 (54), 273-290. Kanwar, Mitika. (2014). Misconception regarding housewives among youth female: A psychological perspective. Indian Journal of psychological sciences, 106-112.


(5)

Kitterod, R. H. (2002). Mother’s housework and childcare: Growing similiarities or stable inequalities? Acta Sociologica, (45), 127-147.

Latshaw, B. A. (2016). From mopping to mowing: Masculinity and housework in stay at home father households. Journal of men’s studies, 3 (23), 252-270. Lemme, B. H. (1999). Development in adulthood. Needham Height: Allyn &

Bacon.

Matlin, Margaret W. (2008). The psychology of women. Belmont, CA: Wadsworth. Moleong, Lexy. (2015). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Olson, M. H. & Hergenhahn, B.R. (2013). Teori-teori kepribadian. Edisi kedelapan. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Nilson, L. B. (1978). The social standing of housewife. Journal of marriage and family, 3 (40), 541-548.

Patton, Michael Quinn. (2009). Qualitative research and evaluations methods. London: Sage Publications.

Reed, Brian. (2012, Februari 1). 5 Alasan perlu jadi ibu rumah tangga. Diakses tanggal 2 Mei 2017 dari

http://lifestyle.kompas.com/read/2012/02/01/12291736/5.alasan.perlu.jadi. ibu.rumah.tangga.

Rubin, S.E & Wooten, H.R. (2007). Highly educated stay-at-home mothers: A study of commitment and conflict. The family journal: Counseling and theraphy for couples and families.4 (15), 336-345.

Sadli, Saparinah. (2009). Berbeda tetapi setara: Pemikiran tentang kajian perempuan. Jakarta: Penerbit buku kompas.

Santrock, J.W. (2002). Life-span development : Jilid 2 (ed. ke-5). Jakarta: Erlangga. Schultz, Duane. (1991). Psikologi pertumbuhan: Model-model kepribadian sehat.

Yogyakarta: Kanisius.

Smith, Jonathan. A. (2009). Psikologi kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudirman, S.A. (2014). Mother and carrier: Phenomenology study of dual-carrier

family. Jurnal Ilmiah Kajian Gender, 1 (4), 47-67.

Sumiyatiningsih. (2016). Pergeseran peran laki-laki dan perempuan dalam kajian feminis. Jurnal studi agama dan masyarakat WASKITA, 125-137.


(6)

Supratiknya, A. (2015). Metodologi penelitian kuantitatif & kualitatif dalam psikologi. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Tong, Rosarie P. Femnist thought: Pengantar paling komphrehensif kepada arus utama pemikiran feminis. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Vermonte, S. F (2016). Sumbangan ibu rumah tangga. Harian Kompas. hlm.7 Zainal, V. R (2014). Manajemen sumber daya manusia untuk perusahaan: Dari

teori ke praktik. Jakarta: Penerbit Rajawali Press.