KAJIIAN TENTAANG PENGGATURAN PEMERIKKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUTPERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA

(1)

KAJI PE Disusun D IAN TENTA T DALAM ERATURA Dan Diajuka Derajat Sarj U UN ANG PENG TANPA KE M TINDAK AN PERUND

an Untuk M ana Dalam I Universitas S D IHSA E FAKU NIVERSITA SU GATURAN HADIRAN PIDANA K DANG-UND elengkapi Sy Ilmu Hukum Sebelas Mare Disusun oleh: AN JAUHA E 1105013 ULTAS HUK AS SEBELA URAKARTA 2011 PEMERIK TERDAKW KORUPSI M DANGAN D yarat-Syarat m Pada Fakul et Surakarta : ARI KUM AS MARET A KSAAN PER WA MENURUT DI INDONE

t Guna Mem ltas Hukum

T

RKARA

ESIA


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Disusun Oleh :

IHSAN JAUHARI E 1105013

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

KRISTIYADI, SH, M.Hum. NIP. 195812251986011001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Disusun Oleh : IHSAN JAUHARI

E 1105013

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

pada: Hari : Selasa

Tanggal : 18 Januari 2011

TIM PENGUJI Ketua

1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum.: ... NIP. 196202091989031001

Sekretaris

2. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : ... NIP. 195706291985031002

Anggota

3. Kristiyadi, S.H., M.Hum. : ... NIP. 195812251986011001

MENGETAHUI Dekan,

(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.) NIP. 196109301986011001


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : IHSAN JAUHARI

NIM : E1105013

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : ”Kajian Tentang Pengaturan Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 18 Januari 2011 yang membuat pernyataan

IHSAN JAUHARI NIM. E1105013


(5)

commit to user

v Abstrak

Ihsan Jauhari, NIM. E1105013, KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini dilihat dari jenisnya merupakan penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan. Sifat penelitiannya adalah preskriptif. Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder. Sumber data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis memakai teknik pengumpulan data studi kepustakaan. Teknik analisis data dengan metode silogisme dan interpretasi. Mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absensia, ialah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Berdasarkan Pasal 196 ayat (1) KUHAP, pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain. Berdasarkan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Di dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi mengatur sidang in absensia,yaitu: jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat: a. memutus perampasan barang-barang yang telah disita, b. memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu. Pengaturan in absensia di dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tertuang dI dalam Pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Peradilan in absensia terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu mengenai hal kehadiran terdakwa di dalam persidangan, jika terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

Kata Kunci : Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa, Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Perundang-Undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi.


(6)

commit to user

vi

Abstract

Ihsan Jauhari, NIM. E1105013, THE INSTRUCTION OF ARRANGEMENT SESSION OF THE COURT WITHOUT ATTENDANCE OF DEFENDANT IN DOING AN INJUSTICE CORRUPTION BASED ON LAW AND

REGULATION IN INDONESIA. Faculty Of Law Surakarta Sebelas Maret

University.

This research has a goal to know the arrangement session of the court without attendance of defendant in corruption doing an injustice based on law and regulation in Indonesia. In this study, the writer used normatif law research with statute approach. The kinds of data collection and source of data is taken from secondary subject. The writer also used prescriptive research design to illustrate the condition of subject of the research. Source of secondary data consist of materials punish primary, materials punish secondary, and tertiary law materials. To get data in this research used writer bibliography study data collecting technique or documentation. Technique study of data used interpretation method. Judging or bringing to justice by in absentia is judge defendant someone and can punishing it without attended by its defendant. Based

on Article 196 Sentence (1) criminal prosedure (KUHAP), justice judge the case

of attended its defendant except in the case determine the other of law. Based on Article 26 of Law Number 31 Year 1999 about Eradication Doing An Injustice Corruption, investigation, prosecution, and inspection in court to corruption doing an injustice, conducted pursuant to procedure of criminal going into effect, except determined the other of this law. In Article 16 Sentence (1) of Law Number 7 Emergency Year 1955 about Decreasetion, Prosecution, and Jurisdiction of Economic Doing An Injustice arrange absentia is if there are good enough reason to anticipate, that someone passing away, before the case is inexorable decision again have done economic doing an injustice, so the judge on the publik prosecutor demand with justice decision could be a. breaking hijack of goods which have been confiscated b. breaking that discipline action of called at section 8 sub c and conducted by weighing against its estae someone who pass away. The rule of In absentia at Law Number 3 Year 1971 about Eradication Doing An Injustice Corruption decanted in Article 23 Sentence (1) expressing that if defendant called with and was absent in court without reasoning valid, hence case can be checked and decision by judge without its attendance. Jurisdiction of In absensia to corruption doing an injustice arranged in Article 38 of Law Number 31 Year 1999 about Eradication Doing An Injustice Corruption, that is hit matter attendance of defendant in conference, if defendant have been called validly, and absent in court without valid reason, hence case can be checked and decised without its attendance.

Keyword: Session Of The Court Without Attendance of Defendant, Doing An Injustice Corruption, Law And Regulation About Doing An Injustice Corruption.


(7)

commit to user

vii MOTTO

Pengetahuan adalah satu-satunya kekayaan yang tidak bisa di lenyapkan, hanya kematian yang bisa melenyapkan lentera pengetahuan yang ada di dalam dirimu. Kekayaan yang sebenarnya dari suatu bangsa bukan terletak pada jumlah emas dan perak yang terkandung di dalam sumber alamnya tetapi terletak pada pengetahuan, kebijaksanaan, dan kejujuran anak bangsa (Kahlil Gibran).


(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Dengan setulus hati, saya persembahkan Penulisan Hukum (Skripsi) ini untuk kedua orang tua saya tercinta H. Djahuri, B.A dan Hj. Ruwaidah, keluarga besar, Deni Herbiyanti, Spsi, Ronggo, S.H, Singgih, S.H, sahabat-sahabat terbaik saya, untuk Almamater Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, serta Indonesia tercinta.


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut asma Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta diiringi rasa syukur kepada Allah SWT, penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA”, dapat penulis selesaikan.

Penulisan hukum (skripsi) ini membahas permasalahan tentang pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penulis yakin bahwa penulisan hukum (skripsi) ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada:

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menyusun penulisan hukum (skripsi) ini.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Acara Pidana yang telah banyak memberikan masukan dan nasehat dalam penulisan hukum (skripsi) ini.

3. Bapak Hardjono, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Program S1 Non Reguler yang telah banyak memberikan masukan dan nasehat dalam penulisan hukum (skripsi) ini.

4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum selaku Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan nasehat dalam penulisan hukum (skripsi) ini.

5. Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan nasehat yang berguna selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(10)

commit to user

x

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan hukum (skripsi) ini dan semoga dapat penulis praktekkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

7. Staf dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah

selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat, semangat, serta doa-doa yang penuh limpahan berkah rahmat Allah SWT yang selalu mengiringi di setiap langkah saya.

9. Deni Herbiyanti, Spsi, Ronggo, S.H, Singgih, S.H, Edi Maryandi, S.H, Tiyas, S.H, dan semua sahabat-sahabat terbaik saya yang telah memberikan semangat.

10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum (skripsi) ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperjelas isi penulisan hukum (skripsi) ini. Semoga Allah SWT membalas segala amal kebaikkan semuanya dan mudah-mudahan penulisan hukum (skripsi) ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama bagi penulis sendiri, kalangan akademisi, praktisi, serta masyarakat umum. Amin ya Robbal ‘alamin.

Surakarta, 18 Januari 2011

Penulis


(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Kerangka Teoritis ... 10

1. Tinjauan Tentang Peradilan In Absensia…….………... 10

a. Pengertian In Absensia……….. 10

b. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi... 12

c. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi………... 13

d. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi……… 14


(12)

commit to user

xii

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi………. 14

a. Pengertian Tindak Pidana………. 14

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi………... 17

3. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi………... 27

a. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi……. 27

b. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi…….. 28

B. Kerangka Pemikiran... 31

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………... 32

Pengaturan Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia………... 32

BAB IV : PENUTUP... 59

A. Simpulan... 59

B. Saran... 60

DAFTAR PUSTAKA... 61

LAMPIRAN-LAMPIRAN... 64 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(13)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi, jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas maupun kuantitasnya tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat yang merupakan suatu fenomena kejahatan yang menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional, merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, serta membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan dalam rangka mewujudkan keadilan berdasarkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya. Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional


(14)

commit to user

maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata laksana pemerintahan yang baik dan kerjasama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus, antara lain dimulai dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (selanjutnya UU 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi), Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat A.D. Nomor PRT/PEPERPU/013/1958, Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (selanjutnya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption Tahun 2003 (Konvensi


(15)

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003) (selanjutnya UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption Tahun 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003)).

Memperhatikan berbagai langkah kebijakan penanggulangan tindak pidana korupsi di atas, terkesan bahwa strategi kebijakan lebih memfokuskan pada upaya melakukan pembaharuan dan perubahan peraturan perundang-undangan atau law

reform, upaya tersebut memang merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan

tetapi oleh karena masalah tindak pidana korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas maka seyogyanya ditempuh pendekatan integral sehingga tidak hanya law reform tetapi juga social, economic, political, cultural, moral, and administrative reforms.

Tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 1,95 triliun yang dilakukan oleh Almarhum Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing selaku Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa yang dilikuidasi pada tanggal 1 November 1997 lalu (selanjutnya BHS) yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyidangkan perkaranya secara in absensia pada 22 Maret 2002. Alm. Hendra Rahardja dihukum karena terbukti menyalahgunakan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (selanjutnya BLBI) secara bersama-sama dengan Eko Edi Putranto sebagai mantan Komisaris BHS yang juga anak Alm. Hendra Rahardja, dan Sherny Kojongian sebagai mantan Direktur Kredit BHS, yang harus disalurkan ke pengusaha kecil dan menengah itu dihabiskan untuk membeli tanah, membangun gedung BHS di sejumlah kota di Indonesia, dan dikucurkan ke kelompok perusahaannya sendiri hingga melanggar batas maksimum pemberian kredit (Hendriko L. Wiremmer, 2001: 1).

Harta Alm. Hendra Rahardja di Australia nilainya sekitar Aus$ 600.000,00 atau setara dengan Rp 3,84 miliar disita Pemerintah Australia, kemudian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Uang dalam bentuk cek itu telah


(16)

commit to user

diserahkan Menteri Kehakiman dan Bea Cukai Australia Chris Ellison kepada Duta Besar Indonesia di Australia Imron Cotan, rekeningnya tersebut terdapat di dua bank di Australia, yaitu di Sidney dan Perth kedua rekening tersebut sudah dibekukan. Rekening Alm. Hendra Rahardja yang berada di sebuah bank di Hongkong berisi US$ 385.000, 00 dapat ditarik kembali ke Indonesia karena Indonesia memiliki perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan hukum timbal balik dengan Hongkong (Dewi Indriastuti, 2008: 1).

Kejaksaan Agung menyatakan, jumlah aset Alm. Hendra Rahardja yang disita sekitar 232 item, yang telah dilelang 17 item dan cuma menghasilkan uang Rp 13 miliar. Dana hasil pelelangan sejumlah perusahaan milik Grup BHS, seperti PT Eka Sapta Dirgantara, PT Arta Buana Sakti, PT Inti Bangun Adi Pratama, PT Prasetya Mandiri, dan PT Setyo Harto Jaya Building sebesar Rp 430,3 miliar serta Kejaksaan Agung menyita aset tanah seluas 500 hektar di Bogor, Jawa Barat (Kun Wahyu Winasis, 2002: 1).

Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian masing-masing dihukum 20 tahun penjara. Hendra Rahardja, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian didenda sebesar Rp 30 juta dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 1,95 triliun. Waktu itu, hanya Hendra Rahardja yang mengajukan banding, sedangkan Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian tidak mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetap memvonis Hendra Rahardja dengan penjara seumur hidup. Berdasarkan siaran pers Kedutaan Besar Republik Indonesia dengan nomor 58/Pen/I/03, yang menyatakan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra telah menerima pemberitahuan dari pejabat Kejaksaan Agung Australia bahwa terpidana penyalahgunaan BLBI yaitu, Hendra Rahardja telah meninggal dunia pada hari Minggu, tanggal 26 Januari 2003 di Sydney, Australia karena kanker ginjal. Sedangkan, Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian hingga saat ini masih bebas dan dikabarkan berdomisili di Australia (Erwin Dariyanto, 2005: 1).


(17)

Sehubungan dengan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Hendra Rahardja tersebut diperiksa di muka persidangan secara in absensia, maka penulis menuangkannya ke dalam sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum dengan judul:

KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA.

B. Perumusan Masalah

Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas, maka perumusan masalahnya adalah:

Bagaimanakah pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga tujuan penelitian ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum agar memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, b. Untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman mengenai

pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh


(18)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Adanya suatu penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan semua pihak yang terkait dalam menangani masalah tindak pidana tersebut,

b. Memberikan gambaran yang nyata mengenai pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia,

c. Hasil penelitian tentang pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, diharapkan dapat menambah bahan referensi di bidang karya ilmiah lainnya.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis, serta untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan penulis dalam mengimplementasikan ilmu hukum yang diperoleh,

b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti,

c. Menambah pengetahuan tentang pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan atau statute


(19)

approach . Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 50-51). 2. Sifat Penelitian

Sifat penelitiannya adalah preskriptif atau terapan, yaitu penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang termasuk dalam data sekunder.

3. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang diperoleh melalui bahan-bahan, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, desertasi, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 12).

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah sumber data sekunder yang terdiri dari: bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti penjelasan undang-undang, serta bahan hukum tersier pada dasarnya mencakup bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, contohnya, ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan seterusnya (Soerjono Soekanto, 2006: 11).

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis memakai teknik pengumpulan data studi kepustakaan atau dokumentasi. Studi dokumentasi ini sebagai metode pengumpulan data sekunder yang utama dan


(20)

dokumen-commit to user

dokumen tersebut diharapkan dapat menjadi nara sumber yang dapat memecahkan permasalahan penelitian. Di dalam melakukan studi dokumentasi, peneliti menyelidiki bahan-bahan pustaka yang merupakan data sekunder.

6. Teknik Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif, permasalahan hukum dianalisis dengan metode silogisme dan interpretasi.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis membuat suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup, ditambah dengan lampiran-lampiran dan daftar pustaka. Apabila disusun dengan sistematis adalah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian antara lain: tujuan obyektif dan subyektif, manfaat penelitian antara lain: manfaat teoritis dan praktis, metode penelitian yang mencakup jenis penelitian, sifat penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, serta diuraikan juga sistematika penulisan hukum.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan antara lain mengenai kerangka teoritis dan kerangka pemikiran. Di dalam kerangka teoritis meliputi: pertama, tinjauan tentang peradilan in absensi yang di dalamnya dijelaskan tentang pengertian in absensia, pengaturan in absensia dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


(21)

Tindak Pidana Korupsi. Kedua, tinjauan tentang tindak pidana korupsi yang di dalamnya dijelaskan tentang pengertian tindak pidana dan tindak pidana korupsi. Ketiga, hukum acara tindak pidana korupsi yang di dalamnya dijelaskan tentang hukum acara tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan mengenai pengaturan in absensia di dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang tercantum dalam pasal 16 ayat (1), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tercantum dalam pasal 23 ayat (1), dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BAB IV: PENUTUP

Pada bab ini diuraikan simpulan berdasarkan analisis data yang dilakukan sebagai jawaban atas permasalahan yang dirumuskan dan diuraikan mengenai saran-saran yang ditujukan kepada para pihak yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Di dalam daftar isi diuraikan sumber-sumber pustaka yang digunakan oleh penulis, baik sumber-sumber dari buku, peraturan perundang-undangan, maupun bahan-bahan dari internet.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran-lampiran terdiri dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(22)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Tinjauan Tentang Peradilan In Absensia

a. Pengertian In Absensia

Mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absensia, ialah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Berdasarkan Pasal 196 ayat (1) KUHAP, pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain (Djoko Prakoso, 1985: 54-57).

Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan sebagai segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara baik perkara perdata maupun pidana untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum materiil. Sedangkan menurut Arief Sidharta, peradilan adalah pranata hukum untuk secara formal, imparsial, obyektif, serta adil manusiawi memproses penyelesaian definitif yang hasilnya dirumuskan dalam bentuk vonis yang implementasinya dapat dipaksakan dengan menggunakan aparat negara (HP. Panggabean, 2008: 95-96).

Istilah ”peradilan” dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kata ”peradilan” pada rumusan judul peraturan tersebut merupakan salah satu tahap penyelesaian perkara pidana, di samping tahap penyidikan dan penuntutan. Peradilan di sini mempunyai pengertian sebagai suatu proses pemeriksaan sampai dengan putusan pengadilan.

Secara fomal kata ”In Absentia” dipergunakan dalam Undang-Undang Nomor 11/Pnps/1963 yang perumusannya terdapat pada Pasal 11 ayat (1). Kata in absentia diartikan dengan mengadili di luar kehadiran terdakwa. Kata ”In Absentia” dalam rumusan tersebut sebenarnya menunjuk pada pengertian ”peradilan In Absentia” yang mencakup pemerikasaan sampai dengan putusan pengadilan di luar kehadiran terdakwa. Pengertian di atas sesungguhnya mempunyai cakupan yang


(23)

sempit, dalam arti bahwa pengertian tersebut hanya didasarkan pada terjemahan masing-masing kata yang membentuknya, yaitu kata peradilan dan kata In Absentia. Kata peradilan diterjemahkan sebagai pemeriksaan dan putusan pengadilan sedangkan kata In Absentia deterjemahkan sebagai tidak hadir. Tidak hadir dalam pengertian ini adalah tidak hadirnya terdakwa.

Menurut ensiklopedia Wikipedia, In absentia is Latin for "in the absence". In legal use it usually pertains to a defendant's right to be

present in court proceedings in a criminal trial. Apabila diterjemahkan

dalam Bahasa Indonesia, yaitu in absensia dalam bahasa Latin dapat diartikan ketidakhadiran. Di dalam sistem hukum pada umumnya adalah ketidakhadiran seorang terdakwa di pengadilan dalam suatu perkara pidana (Wikipedi,2008: 1-2).

Conviction of a person in absentia, that is in a trial in which they are not present to answer the charges, is held to be a violation of natural

justice Apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, dikatakan in

absensia adalah terdakwa yang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dijawab dalam suatu persidangan dipengadilan (Anthony, 2005: 1-2).

KUHAP secara umum tidak mengatur peradilan in absensia. Tanpa kehadiran terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara oleh pengadilan tidak dapat dilakukan. Sejalan dengan itu, Pasal 154 ayat (1) sampai dengan ayat (7) KUHAP mengatur bagaimana cara menghadirkan terdakwa dalam persidangan, yaitu: ayat (1) hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. Ayat (2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah


(24)

commit to user

terdakwa sudah dipanggil secara sah. Ayat (3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya. Ayat (4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Ayat (5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Ayat (6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. Ayat (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang. Dalam perkara tindak pidana umum, tidak dimungkinkan untuk diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa atau dilakukan secara in absensia, tetapi untuk tindak pidana khusus dimungkinkan sebab adanya kekhususan dan berbagai aspek pertimbangan untuk dilakukannya persidangan secara in absensia, misalnya adanya kerugian negara akibat tindak pidana khusus tersebut sehingga dapat berdampak kepada masyarakat (Adami Chazawi, 2005: 391).

b. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun

1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Pasal 16 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi mengatur lebih jelas tentang sidang in absensia meskipun masih mengandung penafsiran yang luas karena tidak rinci, yaitu: jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan


(25)

yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat: a. memutus perampasan barang-barang yang telah disita, b. memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.

c. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan in absensia di dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tertuang di dalam Pasal 23 ayat (1) sampai dengan ayat (6) yang menyatakan bahwa ayat (1) jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Ayat (2) bila terdakwa hadir pada sidang-sidang selanjutnya sebelum putusan dijatuhkan, ia wajib diperiksa dan didengar serta sidang dilanjutkan. Ayat (3) putusan pengadilan diumumkan oleh panitera dalam papan pengumuman pengadilan atau kantor pemerintah daerah. Ayat (4) terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa, terdakwa atau kuasanya dapat memajukan banding. Ayat (5) a. jika ada alasan yang cukup menduga, bahwa seorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi, telah melakukan suatu tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum, dengan putusan pengadilan dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita. b. ketentuan tersebut pada ayat (4) tidak berlaku bagi orang yang meninggal dunia dimaksud sub a. Ayat (6) Setiap orang yang berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan putusan dimaksud ayat (5) dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman tersebut dalam ayat (3).


(26)

commit to user

d. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Ketidakhadiran terdakwa atau saksi dalam persidangan sangat mengganggu para penegak hukum, terlebih Jaksa sebagai Penuntut Umum dan eksekutor putusan hakim. Dengan kejadian seperti ini, akan mengakibatkan membengkaknya jumlah tunggakan-tunggakan perkara pidana termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi ataupun denda-denda yang menjadi sumber penghasilan bagi negara. Untuk menghindari hal ini beberapa kasus atau perkara pidana yang menurut undang-undang yang berlaku, masuk ke pengadilan diselesaikan meskipun tanpa kehadiran terdakwa di muka sidang. Peradilan in absensia terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu mengenai hal kehadiran terdakwa di dalam persidangan, jika terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yang disebut strafbaar feit, dengan demikian istilah strafbaar feit

juga terdapat dalam Hukum Pidana Indonesia., tetapi tidak ada penjelasan resmi dari istilah strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dari istilah strafbaar feit, tetapi belum ada keseragaman pemakaian istilah strafbaar feit, ada yang menggunakan istilah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan perbuatan pidana.


(27)

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Adami Chazawi, strafbaar feit diartikan dengan tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Adami Chazawi, 2002: 55).

Sedangkan menurut Moeljatno, strafbaar feit yang di terjemahkan dengan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno merupakan penganut aliran dualisme yang mana memisahkan unsur perbuatan dan unsur tanggungjawab dalam strafbaar feit. Alasan Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana karena (Moeljatno, 1983: 54):

1) Bahwa yang dilarang adalah perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orangnya,

2) Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan dengan ancaman hukuman yang ditujukan kepada orangnya, ada hubungan yang erat, oleh karena itu perbuatan dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan yang erat pula,

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat tadi maka digunakan istilah perbuatan pidana yang merupakan suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan kongkrit, yaitu adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan adanya orang yang berbuat.

R. Saleh dalam Martiman Prodjohamidjojo, juga menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan (Martiman Prodjohamidjojo, 1997: 15-18).


(28)

commit to user

Bermacam-macamnya terjemahan dari istilah strafbaar feit, tidak menjadikan adanya suatu permasalahan, asalkan makna dari istilah

strafbaar feit tersebut sama, dan istilah tindak pidana yang dianggap

merupakan istilah resmi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebab hampir seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah tindak pidana (Andi Hamzah, 1993: 2).

Di dalam suatu tindak pidana terdapat unsur-unsur yang melekat padanya. Sama halnya dalam mengartikan strafbaar feit yang tersebut di atas, tidak ada keseragaman pemakaian arti strafbaar feit, dan mengenai unsur-unsur tindak pidana, tidak ada keseragaman pendapat oleh para ahli hukum pidana. Unsur-unsur tindak pidana terbagi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur-unsur-unsur yang melekat atau berhubungan dengan diri pelaku tindak pidana dan yang termasuk di dalamnya, segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif terdiri dari (PAF. Lamintang, 1997: 193-194):

a) Kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (culpa). Kesengajaan (intention/opzet/dolus) terdiri atas: kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan sebagai sadar kepastian (opzet als

zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai sadar kemungkinan

(dolus evantualis). Sedangkan kealpaan (culpa) terdiri atas: kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari (Leden Marpaung, 2005: 9),

b) Adanya maksud atau niat untuk melakukan tindak pidana,

c) Ada atau tidak adanya perencanaan dalam melakukan tindak pidana, d) Adanya perasaan takut dari pelaku tindak pidana.

Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan pelaku tindak pidana harus dilakukan (unsur-unsur dari luar diri pelaku tindak pidana. Unsur-unsur objektif terdiri dari:


(29)

b) Keadaan-keadaan tertentu yang menyertai perbuatan pelaku tindak pidana atau kualitas dari pelaku tindak pidana,

c) Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat atau kausalitas.

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi walaupun sudah tidak asing lagi di telinga kita rupanya merupakan kata serapan dari bahasa asing. Menurut Fockema Andreae dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruptio atau corruptus, selanjutnya disebut bahwa kata corruptio itu

berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah penggunaan istilah korupsi diserap berbeda di beberapa negara. Seperti Inggris, menyerapnya menjadi corruption,

corrupt, dan di Belanda menjadi corruptie (koruptie). Dan dari bahasa

Belanda turun ke bahasa Indonesia menjadi “korupsi”. Secara harafiah dari kata corruptio itu diartikan sebagai kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, kata-kata atau ucapan yang menghina (Andi Hamzah, 2006: 4-9).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Masa pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-undangan, antara lain:

1) Masa 1945 - 1957, 2) Masa 1957 - 1960, 3) Masa 1960 - 1971, 4) Masa 1971 - 1999,


(30)

commit to user

1) Masa 1945 - 1957

Tindak pidana korupsi belum dianggap sebagai ancaman negara yang membahayakan dan pada tahun 1956, tindak pidana korupsi mulai menguat dengan diangkatnya kasus tindak pidana korupsi di media cetak oleh Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar, namun keduanya malah di penjara pada tahun 1961.

2) Masa 1957 - 1960

Tindak pidana korupsi dirasakan sudah mulai menguat dalam tubuh pemerintahan. Nasionalisme perusahaan asing dianggap sebagai titik awal tindak pidana korupsi di Indonesia. Dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan peraturan-peraturan militer yaitu:

a) Perarutan Penguasa Militer No.PRT/PM/06/1957 (tata kerja menerobos kemacetan memberantas korupsi),

b) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 (pemilikan harta benda),

c) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/11/1957 (penyitaan harta benda korupsi, pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan korupsi),

d) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AL No. PRT/z.1/I/7/1958,

e) Peraturan Penguasa Perang AD No. PRT/PEPERPU/031/1958.

Pada masa orde lama ini, pernah dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), yang dipimpin oleh A.H. Nasution dibantu oleh M.Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Namun karena kuatnya reaksi dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi, PARAN berakhir tragis.


(31)

3) Masa 1960 - 1971

Dasar hukumnya dengan UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menambah perumusan tindak pidana korupsi yang ada di dalam KUHP. Pasal 1 UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disebut tindak pidana korupsi ialah:

a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggarankelonggaran dari negara atau masyarakat,

b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan,

c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai pasal 21 UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan di dalam Pasal-pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.

Lembaga khusus untuk memberantas korupsi mulai dibentuk, yaitu: Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963), Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR), dengan ketua Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani, Tim Pemberantasan Korupsi (Keppres No.228/1967), Komisi Anti Korupsi (KAK) (1967), Tim Komisi Empat (Keppres No. 12/1970). Kegagalan UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah masih ada perbuatan yang merugikan keuangan negara tetapi tidak ada perumusannya dalam undang-undang sehingga tidak di pidana serta pelaku tindak pidanakorupsi hanya pegawai negeri


(32)

commit to user

4) Masa 1971 - 1999

Perumusan pengertian tindak pidanakorupsi tercantum di dalam Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: ayat (1)

a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP, d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu,

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Ayat (2) Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.


(33)

UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memperluas perumusan tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP dan undang-undang sebelumnya, perumusan tindak pidana korupsi dengan delik formil, dan percobaan dan pemufakatan jahat di anggap sebagai delik selesai. Pada masa ini dibentuknya Tim OPSTIB (Inpres No. 9/1977), Tim Pemberantas korupsi diaktifkan kembali (1982), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara atau KPKPN (Keppres 127/1999).

5) Masa 1999 - Sekarang

Tindak Pidana Korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diatur di dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diatur di dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

3) Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau


(34)

commit to user

memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, diatur di dalam Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

4) Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, diatur di dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

5) Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

a) pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang,

b)setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang,

c) setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang,


(35)

d)setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang,

e) bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

6) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diatur di dalam Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

7) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, diatur di dalam Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

8) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja, diatur di dalam Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:


(36)

commit to user

a) menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya,

b) membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut,

c) membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

9) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya, diatur di dalam Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

10)Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

a) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya,

b) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,


(37)

c) hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,

d) seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili,

e) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,

f) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang,

g) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang, h) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolaholah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal


(38)

commit to user

diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan,

i) pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

11)Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, diatur di dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

12)Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan, diatur di dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

13)Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini, diatur di dalam Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Pasal 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi, yaitu kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, sedangkan pegawai negeri meliputi pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang


(39)

Pokok-pokok Kepegawaian, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, dan orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Dijelaskan di dalam Pasal 1 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yaitu pegawai negeri adalah setiap warga negara republik indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam Penjelasan Pasal 5 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyelenggara negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, meliputi: pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi

a. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Hukum acara terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur


(40)

commit to user

dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 40, yaitu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya dan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, yaitu tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan, industri, komoditi berjangka, bidang moneter, dan keuangan yang bersifat sektoral, dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih, dan dilakukan tersangka atau terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.

b. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Di atas telah diuraikan hukum acara terhadap tindak pidana korupsi yang diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan hukum acara terhadap tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperkenalkan adanya perangkat pendukung lain seperti dibentuknya tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dan di dalam undang-undang tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya KPK) yang merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam


(41)

memberantas tindak pidana korupsi bersifat independen dan bebas dari kekeuasaan manapun (Supanto, 2008: 88).

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum acara terhadap tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK dan dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama KPK, tetapi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP, yaitu penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia, tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK, yaitu penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP,


(42)

commit to user

sedangkan penyelidik, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan penyidik, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan, sedangkan jaksa, yaitu pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.


(43)

commit to user

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengaturan Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi

Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Sebelum mengarah pada pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berlaku, maka terlebih dahulu diuraikan peraturan yang sebelumnya berlaku, yaitu Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 yang memberikan pengertian tindak pidana korupsi adalah tiap perbuatan oleh siapapun, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara dan tiap perbuatan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara, alat daerah atau dari suatu badan yang menerima bantuan dan keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan, kewenangan, atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau materiil baginya.

Pada tahun 1958 dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat A.D. Nomor PRT/PEPERPU/013, di dalamnya pengertian tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melakukan pelanggaran, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan hukum, langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau suatu badan yang menerima bantuan dan keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal masyarakat atau perbuatan pelanggaran yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. Kejahatan dalam Pasal 41 sampai 50 peraturan ini dan Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP. Perbuatan korupsi lainnya adalah perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan yang langsung atau


(44)

commit to user

tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat dan perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan dengan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

Pada tahun 1960 ditetapkan UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjelaskan arti tindak pidana korupsi di dalam pasal 1 ialah:

a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggarankelonggaran dari negara atau masyarakat,

b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan,

c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai pasal 21 UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan di dalam Pasal-pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.

Menurut pasal ini maka perbuatan korupsi terdiri atas unsur-unsur: sub a: melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan dengan atau karena melakukan kejahatan itu, dan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau


(45)

masyarakat. Sub b: melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran, menyalahgunakan jabatan atau kedudukan dalam melakukan kejahatan atau pelanggaran itu, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.

Perumusan pengertian tindak pidanakorupsi tercantum di dalam Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: ayat (1)

a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP,

d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu, e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Ayat (2) Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.

Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti yang luas mempergunakan


(46)

commit to user

kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai seseorang di dalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikwalifiseer sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum pidananya dan acaranya. Penjelasan ayat (1) sub. a, ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan." Perkataan "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2), yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. keuangan negara seperti yang dimaksud oleh undang-undang ini meliputi juga keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum yang menggunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain. Tidak termasuk "keuangan negara" dalam undangundang ini ialah keuangan dari badan/badan hukum yang seluruhnya modal diperoleh dari swasta misalnya PT, Firma, CV, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang kewenangannya seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966. Sub. b, tindak pidana korupsi ini memuat sebagai perbuatan pidana unsur "menyalah-gunakan kewenangan" yang ia peroleh karena jabatannya, yang semuanya itu menyerupai unsur dalam Pasal 52 KUHP yang selain dari itu memuat pula unsur yang "secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara" serta dengan "tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan." Ketentuan dalam sub b. ini adalah luas dalam rumusannya karena mempergunakan istilah umum


(47)

"menyalah-gunakan" dan tidak mengadakan perincian seperti halnya dengan Pasal 52 KUHP. Sub. c, dengan perumusan pasal 1 ayat (1) a dan b, maka istilah korupsi dalam undang-undang ini dipergunakan dalam arti yang luas, hingga adalah layak apabila Pasal-pasal KUHP seperti tersebut dalam sub. c., dikwalifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Sub. d, dalam KUHP tidak diancam dengan hukuman orang-orang yang memberi hadiah kepada pegawai yang dimaksud dalam Pasal 418 KUHP, juga tidak diancam dengan hukuman orang-orang yang memberi hadiah kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal-pasal undang-undang ini. Untuk mengisi kekosongan itu maka diadakan tindak pidana korupsi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) d. Sub. e. Ketentuan dalam sub. c. ini dimaksudkan untuk memidanakan seseorang yang tidak melaporkan pemberian atau janji yang diperolehya dengan melakukan tindakpidana-tindak-pidana yang dimaksud dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP Apabila tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut dipenuhi dan pelaporan itu misalnya dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya diketahui tentang peristiwa penyuapan, maka ada kemungkinan bahwa sipenerima itu dapat dilepaskan dari penuntutan berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas. Hal demikian tidak berarti bahwa tiap pelaporan tentang penerimaan pemberian/janji itu membebaskan terdakwa dari kemungkinan penuntutan, apabila semua unsur dari tindak pidana dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP dipenuhi.

Di dalam ayat (2) dijelaskan karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara, maka percobaan untuk melakukan tindak pidana tersebut dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman sama dengan ancaman bagi tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.


(1)

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc. Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Jika putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Apabila putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agun, pemeriksaan perkara dilakukan oleh Majelis Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.

Analisis penulis terhadap pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, bahwa pengaturan in absensia diatur di dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 23 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan hukum acara terhadap tindak pidana korupsi diatur di dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 sampai dengan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut di atas mencerminkan bahwa pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana


(2)

commit to user

korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia masih terpecah-pecah dibeberapa undang-undang sehingga mengakibatkan masyarakat kehilangan orientasi. Oleh karena itu sebaiknya di lakukan perubahan dengan cara mengatur pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa secara tersendiri agar peradilan in absensia dapat diterapkan secara maksimal dengan aturan yang baik dan merupakan pencegahan serta penanggulangan kejahatan dengan sarana penal atau penal policy atau penal-law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu: tahap formulasi atau tahap kebijakan legislatif sebagai tahap penegakan hukum in abstrakto oleh badan pembuat undang-undang, tahap aplikasi atau tahap kebijakan yudikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum, dan tahap eksekusi atau tahap kebijakan eksekutif atau administrasi sebagai pelaksanaan hukum pidana secara kongkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana.

Di dalam pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi, mendengarkan langsung keterangan terdakwa merupakan aspek yang esensial demi obyektivitas serta prinsip tidak memihak. Melaui kehadiran terdakwa akan memperoleh kesempatan dalam melakukan pembelaan diri. Meskipun asas tersebut jelas terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUHAP tetapi penafsiran peradilan in absentia tidak dimungkinkan dalam KUHAP dapat terbaca dalam beberapa pasal. Peradilan in absensia dalam perspektif KUHAP secara umum tidak mengatur kecuali perkara pelanggaran lalu lintas karena diperiksa dengan acara cepat. Salah satu prinsip pemeriksaan terdakwa di depan sidang pengadilan mengharuska penuntut umum menghadirka terdakwa dalam pemeriksaan. Terdakwa tidak dapat diperiksa pengadilan secara in absentia. Tetapi ada kalanya terdakwa tidak hadir pada hari persidangan yang telah ditentukan, ketidakhadirannya dengan sendirinya mengakibatkan pemeriksaan tidak dapat dilakukan sampai terdakwa dapat dihadirkan oleh penuntu umum. Sehubungan dengan masalah ketidakhadiran terdakwa pada hari sidang yang telah ditentukan dapai dilihat dari beberapa segi, yaitu surat panggilan belum sah dan menghadirkan terdakwa secara paksa (ketidakhadiran terdakwa tanpa alasan yang


(3)

sah dan kehadiran terdakwa karena alasan yang sah). Oleh karena tindak pidana korupsi mengakibatkan kerugian keuangan negara yang tidak sedikit maka peradilan in absensia sangat efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana khusus lainnya agar kerugian keuangan negara dapat dikembalikan meskipun terdakwa tidak hadir dalam persidangan, di samping itu untuk penyederhanaan proses penuntutan serta penumpukan kasus di pengadilan akan dapat dikurangi.

Diantara orang-orang Indonesia, masih banyak yang mengutuk korupsi dan berusaha hidup bersih di lingkungan yang sudah tercemar korupsi, yang dapat dianggap corruption is way of live in Indonesian yang artinya korupsi telah menjadi pandangan dan jalan kehidupan bagi bangsa Indonesia. Menurut Gunard Myrrdal yang menyebut Indonesia sebagai soft nation atau bangsa yang lembek, disinilah kita harus melihat pentingnya membangun budaya baru yang lebih elegan, disiplin dan tak kenal kompromi dengan penyelewengan-penyelewengan (salah satunya adalah korupsi yang jelas-jelas menghancurkan sendi-sendi bangsa dan negara). Karena korupsi adalah suatu penyakit yang ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Para ahli kesehatan dan kedokteran diseluruh dunia tidak berhenti mencari obat dan cara melawan kanker, namun usaha mereka sampai sekarang belum berhasil tuntas, tetapi usaha mereka tidak dihentikan. Demikian pula dengan korupsi, bahwa korupsi adalah penyakit pemerintah dan masyarakat, maka wajiblah kita mencari obat dan cara memberantasnya. Apabila obat dan cara itu sekarang belum ditemukan maka usaha kita untuk menemukannya harus diteruskan dan didukung oleh pemerintah dan masyarakat sampai akhirnya kita berhasil.

Ada beberapa hipotesa tentang sebab-sebab dari korupsi di negara-negara yang sedang berkembang, yaitu:


(4)

commit to user

• Ketidak berdayaan manajemen (termasuk belum efektifnya mekanisme

pengawasan),

• Tekanan ekonomi yang keras, • Mentalitas pelaku rusak.

Gejala-gejala tersebut melahirkan korupsi secara nyata, korupsi menguntungkan bagi yang berkuasa, yaitu:

• Sebagai sarana untuk menggembangkan kantong,

• Sebagai mekanisme bagi penyelesaian politik, • Membina jalinan relasi,

• Memperbaiki efisiensi ekonomi.

Akibat buruk korupsi yaitu sakitnya bangsa dan negara yang artinya sama saja dengan menginjak-injak ibu pertiwi. Dengan memandang gejala umum penyebab korupsi dan akibat korupsi maka dapat diketahui sejauh mana peranan hukum dalam pemberantasan korupsi. Dewasa ini hukum tidak mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Jadi hukum tidak mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya “kekuasaan”. Hukum menjadi alat kekuasaan bagi penguasa. Ukuran hukum bukan benar atau salah, bermoral atau tidak, melainkan hukum merupakan apa yang diputuskan dan dijalankan penguasa padahal penguasa sendiri melakukan penyimpangan (korupsi). Hukum ditafsirkan sesuai dengan keinginan yang menafsirkan, sehingga “keadilan” hanya merupakan “semboyan retorik” (omong kosong). Di dalam metode normatif mempelajari ilmu hukum, bahwa hukum merupakan suatu peraturan yang tertutup atau hukum merupakan lembaga yang otonom yang terlepas dari unsur-unsur lain di luar hukum dan juga hukum terpengaruh oleh politik penguasa, hukum dengan politik bagaikan rel (berjalan seiring tapi tak pernah bertemu).


(5)

commit to user

   

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan yang sebelumnya berlaku, yaitu tercantum di dalam Pasal 16 UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 23 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini tercantum di dalam Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemeriksaan tindak pidana korupsi diatur di dalam Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat A.D. No. PRT/PEPERPU/013/1958, UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

B. Saran

Mengenai materi permasalahan in absensia yang tercantum di dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, belum tegas mengatur bagaimana sidang in absensia itu diberlakukan dan dalam hal ini dengan alasan apa, harus diatur dengan jelas dan tidak terpecah-pecah dijelaskan di beberapa peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengingat perumusan tentang sidang in absensia dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi masih lemah dan pembahasan in absensia


(6)

commit to user

   

tercantum dibeberapa peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga sebaiknya di lakukan revisi dengan cara dirumuskan dengan jelas agar penerapannya dapat maksimal dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengenai hukum acara tindak pidana korupsi yang merupakan hukum pidana yang baru dan perkembangan tindak pidana korupsi sudah sangat pesat, maka aturan beracaranya seharusnya diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, setidak-tidaknya peraturan pemerintah, agar tentang peradilan in absensia ini dapat diterapkan secara maksimal dengan aturan yang baik.