PERAN IDEOLOGI DAN STRATEGI PENERJEMAHAN
LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PEMULA PERAN IDEOLOGI DAN STRATEGI PENERJEMAHAN TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN ISTILAH BUDAYA USING PADA PUBLIKASI PARIWISATA DWIBAHASA KABUPATEN BANYUWANGI
Tim Peneliti
Wiwin Indiarti, S.S., M.Hum. / 0715087803
Wulan Wangi, M.Pd. / 0709078201
UNIVERSITAS PGRI BANYUWANGI DIBIAYAI OLEH KOPERTIS WILAYAH VII KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SESUAI DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PROGRAM PENELITIAN NOMOR: 110/SP2H-PDP/K7/PT/IX/2013
TANGGAL 18 SEPTEMBER 21
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 521 / Ilmu Linguistik
LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PEMULA PERAN IDEOLOGI DAN STRATEGI PENERJEMAHAN TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN ISTILAH BUDAYA USING PADA PUBLIKASI PARIWISATA DWIBAHASA KABUPATEN BANYUWANGI
Tim Peneliti
Wiwin Indiarti, S.S., M.Hum. / 0715087803
Wulan Wangi, M.Pd. / 0709078201
UNIVERSITAS PGRI BANYUWANGI DIBIAYAI OLEH KOPERTIS WILAYAH VII KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SESUAI DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PROGRAM PENELITIAN NOMOR: 110/SP2H-PDP/K7/PT/IX/2013
TANGGAL 18 SEPTEMBER 213
RINGKASAN PERAN IDEOLOGI DAN STRATEGI PENERJEMAHAN TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN ISTILAH BUDAYA USING PADA PUBLIKASI PARIWISATA DWIBAHASA KABUPATEN BANYUWANGI
Wiwin Indiarti dan Wulan Wangi
Semakin populer dan pesatnya perkembangan kajian budaya ( cultural studies) pada saat ini telah menggeser definisi penerjemahan yang pada awalnya sekadar aktivitas antarbahasa ( cross-linguistic activity) menjadi suatu bentuk komunikasi lintas budaya ( cross-cultural communication) yang tentu saja sangat strategis artinya dalam menjalin kesepahaman antarbudaya ( cross-cultural understanding ). Dalam konteks publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi, penerjemahan istilah budaya asli Banyuwangi (budaya Using) ke dalam bahasa Inggris akan berhasil memperkenalkan keunikan suku dan budaya Using pada wisatawan manca. Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran ideologi dan strategi penerjemahan dalam menghasilkan terjemahan istilah budaya Using yang berkualitas.
Penelitian yang berorientasi pada terjemahan ini bersifat deskriptif kualitatif dengan disain studi kasus terpancang. Data primernya yang berupa istilah budaya Using dan terjemahannya diambil dari tiga publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi. Data primer yang terkumpul diolah dengan pendekatan content analysis untuk mendapatkan data tentang kualitas terjemahan yang terkait dengan ideologi dan strategi penerjemahan. Sementara itu teknik kuesioner diterapkan untuk mendapatkan data tentang kualitas terjemahan yang terkait dengan tingkat keterbacaan terjemahan. Untuk memvalidasi tanggapan pembaca sasaran yang diberikan pada kuesioner dipakai teknik wawancara mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi penerjemahan yang diterapkan berjumlah 12, yaitu peminjaman murni (34,02%), transposisi (23,19%), sinonim (17,78%), padanan deskriptif (6,70%), penghilangan (4,12%), penambahan-semantik (3,35%), penambahan-struktural (3,35%), penyusutan (2,8%), perluasan (2,57%), terjemahan resmi (1,3%), analisis komponensial (0,5%) dan padanan budaya (0,26%) dan dengan kecenderungan pemakaian ideologi domestikasi. Dari 381 data primer, 320 (83,99%) diterjemahkan secara akurat, 44 (11,55%) diterjemahkan secara kurang akurat, dan 17 (4,46%) diterjemahkan secara tidak akurat. Dari tingkat keberterimaannya, 261 (94,75%) berterima, 3 (0,79%) kurang berterima, dan 17 (4,46%) tidak berterima. Dari tingkat keterbacaan, 176 (46,19%) memiliki tingkat keterbacaan tinggi dan 205 (53,81%) memiliki tingkat keterbacaan sedang.
Kata Kunci: ideologi penerjemahan, strategi penerjemahan, istilah budaya Using, kualitas terjemahan, publikasi pariwisata dwibahasa
PRAKATA
Alhamdulillah . Berkat nikmat sehat dan jernih pikir dari Allah laporan akhir Penelitian Dosen Pemula ini berhasil diselesaikan sesuai dengan tenggat waktu yang disediakan.
Awal mulanya adalah ketertarikan pada bidang penerjemahan. Selanjutnya pengalaman dalam mengajar dan melakukan aktivitas penerjemahan itu sendiri. Ternyata semakin didekati semakin kompleks masalah yang ditawarkan oleh bidang ini. Namun demikian, kompleksitas tersebut membuat hidup lebih berwarna. Adrenalin terus terpicu deras untuk mencari jawaban atas permasalahan penerjemahan. Demikianlah, maka tawaran dari DIKTI untuk membuat penelitian skim Hibah Penelitian Dosen Pemula kami sambut dengan gempita.
Oleh karena memiliki guide book pariwisata yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka kami menetapkan untuk melakukan penelitian yang mengkaji penerjemahan istilah budaya pada publikasi pariwisata tersebut secara umum. Namun demikian, pada saat mengikuti Klinik Penelitian Dosen Pemula di Kopertis 7, Prof. Wurlina Meles menyarankan agar bahan kajian kami dipersempit menjadi penerjemahan istilah budaya Using. Alhamdulillah , ternyata saran tersebut membuat kami lebih fokus dan “warna lokal” sepertinya
berhasil menarik minat reviewer pada proposal kami. Terima kasih, Prof! Di sinilah kami sekarang; menjadi bagian dari para penerima hibah yang
berbahagia. Meski jalan penelitian tidak selalu mulus, pada akhirnya adalah itikad baik dan semangat yang tinggi untuk terus berkarya di tengah keterbatasan. Berguru pada Emha Ainun Najib, “ruang luas adalah pelampiasan, ruang sempit adalah pengendalian,” maka tekad dibulatkan untuk merebut kesempatan karena dalam siasat perangnya Tsun Su pun berkata bahwa “OPPORTUNITIES MULTIPLY AS THEY ARE SEIZED.”
Tim Peneliti
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Model Proses Penerjemahan.......................................................................9 Gambar 2. Diagram V Model Penerjemahan..............................................................10 Gambar 3. Model Proses Analisis Interaktif...............................................................25
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Istilah Budaya Using pada Publikasi Pariwisata Dwibahasa Kabupaten
Banyuwangi Menurut Kategorinya
Lampiran 2. Panduan Wawancara
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Pesona alamnya yang indah terhampar dari wilayah utara hingga selatan, dari wilayah barat hingga timur. Selain pesona alam, Banyuwangi juga dikaruniai dengan pesona budaya; di antaranya adalah tarian khas ( seblang, gandrung , dan kuntulan ), makanan khas ( rujak soto, pelasan , dan uyah asem lucu ), serta ritual khas ( petik laut, rebo wekasan , dan idher bumi ). Keanekaragaman budaya tersebut muncul karena Banyuwangi merupakan tempat tinggal bagi tujuh kelompok etnis; yaitu suku Jawa, Using, Madura, Arab, Bugis, Bali, dan Cina.
Kekayaan alam dan budaya yang melimpah didukung oleh letak Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali menjadikan Banyuwangi sebagai tujuan wisata yang potensial dan strategis. Kondisi tersebut mendorong pemerintah daerah, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, terus berupaya untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara ke Banyuwangi, salah satunya dengan menerbitkan publikasi pariwisata dwibahasa. Selain untuk kepentingan promosi, meminjam kata-kata sambutan Bupati Abdullah Azwar Anas dalam Banyuwangi Calendar of Events 2013 (Kalender Wisata 2013 Kabupaten Banyuwangi), publikasi pariwisata dwibahasa ini juga membantu para wisatawan, agen perjalanan wisata, para peneliti budaya dan para pengusaha jasa pariwisata, dari dalam dan luar negeri, untuk merencanakan perjalanan wisata ke Banyuwangi.
Mengacu pada tiga tipologi teks; yaitu informatif, ekspresif dan operatif yang digagas Reiss (2000: 160 dalam Silalahi, 2009: 3), publikasi pariwisata termasuk ke dalam tipologi teks informatif. Dengan lain istilah, sebagai sumber informasi mengenai objek atau destinasi pariwisata yang unik dan menarik di Banyuwangi, maka publikasi pariwisata harus mampu mengkomunikasikan informasi secara tepat dan akurat. Dalam konteks publikasi pariwisata dwibahasa, kualitas (keberterimaan, keakuratan, dan keterbacaan) bisa dicapai lewat penerjemahan yang baik.
Saat ini pemahaman tradisional mengenai penerjemahan telah bergeser seiring dengan semakin populer dan pesatnya perkembangan kajian budaya. Penerjemahan saat ini dipandang tidak hanya terkait bahasa, sebagai cross-linguistic activity , namun juga terkait budaya, merupakan suatu bentuk cross-cultural communication (Sun, 2011: 160) karena setiap bahasa lahir dari konteks budaya tertentu. Secara kronologis pengertian komunikasi lintasbudaya melalui penerjemahan dapat dipahami sebagai berikut: Penerjemahan pada dasarnya merupakan proses alihbahasa dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa). Oleh karena setiap bahasa memiliki caranya sendiri dalam menangkap realitas, yang kemudian mempengaruhi cara realitas tersebut diartikulasikan oleh komunitasnya (Culler, 1976: 21-22 dalam Ordudari, 2010), maka konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu bahasa mungkin saja sangat berbeda satu sama lain. Dengan demikian, menerjemahkan berarti menjembatani perbedaan budaya dengan mengkomunikasikan kembali konsep- konsep yang ada dalam budaya BSu melalui padanan yang tepat dalam BSa.
Penerjemahan merupakan aktivitas yang sangat kompleks karena, “differences between cultures cause more severe complications for the translator than do
differences in language structure” (Nida, 1964: 30 dalam Fernandez Guerra, 2005), atau, meminjam kata-kata Fernandez-Guerra, banyak kata atau frase yang merujuk pada objek, fakta, fenomena tertentu, dan lain-lain yang berakar kuat pada budaya sumber ( culture-bound ) dan sangat unik dalam budaya yang melahirkannya ( culture- specific ) sehingga sulit untuk dicarikan padanannya dalam BSa.
Kompleksnya masalah dan proses penerjemahan konsep-konsep yang berakar budaya serta kenyataan bahwa Banyuwangi merupakan kota yang kaya budaya menjadi titik tolak dipilihnya publikasi pariwisata dwibahasa yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi; yaitu 1) Visitor’s Guide Book: Visit Banyuwangi-The Real Tropical Country (2010), Banyuwangi Calendar of Events (2013), dan brosur Welcome to Banyuwangi: The Sunrise of Java (2013) sebagai sumber primer penelitian ini. Pada saat penelitian ini diusulkan, ketiganya merupakan publikasi terbaru yang mewakili jenisnya masing-masing.
Dari sudut pandang penerjemah, penerjemahan merupakan “proses pengambilan keputusan dalam komunikasi int erlingual” (Silalahi, 2009: 4), dalam artian bahwa semua keputusan yang diambil oleh seorang penerjemah sudah pasti merupakan Dari sudut pandang penerjemah, penerjemahan merupakan “proses pengambilan keputusan dalam komunikasi int erlingual” (Silalahi, 2009: 4), dalam artian bahwa semua keputusan yang diambil oleh seorang penerjemah sudah pasti merupakan
Ideologi dan strategi penerjemahan merupakan dua komponen yang akan berdampak pada kualitas terjemahan, berdasarkan keakuratan isi ( accuracy in content ), keberterimaan ( acceptability ) dan keterbacaan ( readibility ). Penelitian ini difokuskan pada peran ideologi dan strategi penerjemahan terhadap kualitas terjemahan istilah budaya Using yang terdapat pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Kategori istilah budaya Using apakah yang terdapat pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi?
2. Strategi penerjemahan apakah yang diterapkan dalam menerjemahkan istilah budaya Using pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi?
3. Ideologi penerjemahan yang manakah yang dianut oleh penerjemah dalam menerjemahkan istilah budaya Using pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi?
4. Bagaimanakah peran ideologi dan strategi penerjemahan tersebut terhadap kualitas terjemahan?
1.3. Batasan dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini berorientasi pada produk atau karya terjemahan. Objek kajiannya adalah ideologi penerjemahan, strategi penerjemahan dan perannya terhadap kualitas terjemahan (baik dalam keakuratan pesan, keberterimaan dan keterbacaan terjemahan). Satuan terjemahan ( translation unit ) yang dikaji dibatasi pada istilah budaya Using (kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas di bidang budaya asli Banyuwangi) yang terdapat pada publikasi pariwisata dwibahasa yang diterbitkan oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi; yaitu 1) Visitor’s Guide Book: Visit Banyuwangi-The Real Tropical Country (2010), Banyuwangi Calendar of Events (2013), dan brosur Welcome to Banyuwangi: The Sunrise of Java (2013). Oleh karena diorientasikan pada produk atau karya terjemahan, proses penerjemahan tidak dikaji dalam penelitian ini. Dengan demikian, pernyataan tentang strategi dan ideologi penerjemahan dan hal-hal yang menyangkut kualitas terjemahan disimpulkan berdasarkan kajian terhadap produk tanpa menghubungkannya secara langsung dengan penerjemah dan proses penerjemahan yang telah dilakukan oleh penerjemah.
1.4. Asumsi Penelitian
Data yang dikaji dalam penelitian ini bersumber pada 3 publikasi pariwisata dwibahasa yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Tidak adanya keterangan tertulis pada ketiga publikasi tersebut mengenai identitas penerjemah membuat peneliti tidak bisa membuat asumsi khusus mengenai kompetensi penerjemah kaitannya dengan tingkat keakuratan pesan, keberterimaan, dan keterbacaan terjemahan. Sementara itu, karena tujuan dari pembuatan publikasi pariwisata tersebut untuk mempromosikan Banyuwangi (mengenalkan kekayaan alam dan keunikan budaya Banyuwangi yang tidak bisa ditemui di tempat lain), maka dapat diasumsikan bahwa penerjemah cenderung menggunakan ideologi foreinisasi yang berpihak pada budaya BSu dan strategi penerjemahan yang menyokong ideologi tersebut.
1.5. Klarifikasi Istilah
Istilah di bidang studi penerjemahan yang digunakan dalam penelitian ini perlu diklarifikasi guna menghindarkan dari kerancuan pikir. Hal ini didasarkan pada kemunculan istilah yang berbeda untuk merujuk konsep yang sama dalam literatur teori terjemahan. Bahkan ada pula istilah yang digunakan secara tidak konsisten. Keseluruhan istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Bahasa sumber dan bahasa sasaran. Bahasa sumber (BSu) mengacu pada bahasa yang diterjemahkan sementara itu bahasa sasaran (BSa) merupakan bahasa yang menjadi target penerjemahan. Jika seseorang menerjemahkan teks 1. Bahasa sumber dan bahasa sasaran. Bahasa sumber (BSu) mengacu pada bahasa yang diterjemahkan sementara itu bahasa sasaran (BSa) merupakan bahasa yang menjadi target penerjemahan. Jika seseorang menerjemahkan teks
2. Strategi Penerjemahan adalah taktik penerjemah untuk menerjemahkan kata atau kelompok kata, atau mungkin kalimat penuh bila kalimat tersebut tidak bisa dipecah lagi menjadi unit yang lebih kecil untuk diterjemahkan. Dalam literatur tentang teori terjemahan, strategi penerjemahan disebut sebagai prosedur penerjemahan ( translation procedures ). Oleh karena kata prosedur dalam bahasa Indonesia berarti urutan yang formal, maka di sini istilah strategi yang dipilih (Suryawinata, 2003: 67).
3. Ideologi Penerjemahan. Dalam bidang penerjemahan, ideologi dimaknai sebagai prinsip atau keyakinan tentang “benar dan salah” terhadap suatu
terjemahan (Hoed, 2003 dalam Silalahi 2003: 10). Ideologi penerjemahan terbagi menjadi dua kutub; yaitu kutub yang berpihak pada BSu (domestikasi) dan kutub yang berpihak pada BSa (foreinisasi). Newmark dalam Approaches to Translation (1988: 81 dalam Ordudari, 2007) menyatakan bahwa ideologi penerjemahan yang terkadang disebut juga metode penerjemahan merujuk pada cara menerjemahkan seluruh teks.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat tiga istilah penting dalam bidang komunikasi antarbahasa ( interlingual communication ); yaitu penerjemahan ( translation ), menerjemahkan ( translating ) dan terjemahan ( a translation ). Istilah penerjemahan merujuk pada proses kognitif; suatu proses yang terjadi di dalam otak penerjemah. Menurut M.R. Nababan dalam Teori Menerjemah Bahasa Inggris (1999) proses ini dikenal dengan kotak hitam ( black box ) penerjemah karena tidak kasat mata. Sementara itu istilah menerjemahkan dapat diartikan sebagai sebuah proses yang dapat diamati secara langsung dengan mata telanjang karena diperlihatkan oleh perilaku penerjemahan ( translation behavior ), antara lain seperti membuka kamus, membaca, dan menulis. Istilah terjemahan mengacu pada hasil dari suatu proses penerjemahan (Silalahi: 2009: 12).
Dalam aktivitas penerjemahan dan menerjemahkan, seorang penerjemah seringkali berurusan dengan dua bahasa yang secara linguistis dan budaya berbeda satu sama lain, sebagaimana dinyatakan oleh Wills (1983: 22 dalam Silalahi, 2009:
22) bahwa “any interlingual transfer is characterized by the fact that source language and target language are both linguistically and extralinguistically divergent; they differ-from language-pair to language-pair in a specific manner-structurally, semantically, and socio- culturally.” Untuk menghasilkan terjemahan yang berkualitas, seorang penerjemah harus mampu mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara memilih ideologi dan strategi penerjemahan yang tepat.
Bab 2 ini terbagi dalam 7 bagian, yaitu batasan publikasi pariwisata dwibahasa, pengertian penerjemahan, ideologi penerjemahan, strategi penerjemahan, strategi penilaian kualitas terjemahan, budaya dan penerjemahan, penelitian terdahulu.
2.1. Batasan Publikasi Pariwisata Dwibahasa
Istilah publikasi pariwisata dwibahasa dipilih karena sumber data dalam penelitian ini terdiri dari buku, kalender kegiatan, dan brosur yang ditulis dalam Istilah publikasi pariwisata dwibahasa dipilih karena sumber data dalam penelitian ini terdiri dari buku, kalender kegiatan, dan brosur yang ditulis dalam
Publikasi pariwisata bukanlah teks ilmiah yang harus ditulis secara akademis; “memakai bahasa keilmuan yang lugas” (Hoed, 2007: 27) dan mematuhi kaidah
efektif dan efisien (Silalahi, 2009: 14). Namun demikian, bukan berarti tingkat kesulitan dalam menerjemahkannya menjadi lebih mudah karena, berdasarkan fungsi informatifnya untuk mempromosikan objek atau destinasi wisata suatu daerah, terdapat lokalitas ( culture-bound terms ) yang seringkali menempatkan penerjemah ke dalam posisi sulit karena harus mencari padanan yang tepat.
Banyuwangi memiliki kekayaan alam yang beragam dan keragaman budaya yang unik sehingga dua hal itulah yang menonjol dalam setiap publikasi pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Keunikan budaya yang berupa adat tradisi menjadi lebih kompleks karena masing-masing memiliki istilah yang diungkapkan dengan bahasa Using-bahasa daerah masyarakat asli Banyuwangi. Sementara setiap bahasa memiliki ciri- ciri tersendiri “sui generis” yang berbeda dengan bahasa lain (Catford, 1965: 27 dalam Silalahi, 2009: 22). Hal ini menjadikan tantangan tersendiri bagi penerjemah dalam proses pengalihbahasaan karena adanya kemungkinan munculnya masalah ketakterjemahan linguistik ( linguistic untranslatability ) dan ketakterjemahan budaya ( cultural untranslatability ).
2.2. Pengertian Penerjemahan
Teori-teori penerjemahan yang dimunculkan oleh para pakar pada kurun waktu antara tahun 1960an hingga 1970an pada dasarnya memiliki kesepakatan, terlepas dari pemakaian istilah yang berbeda-beda, bahwa menerjemahkan berarti mencari padanan BSu dalam BSa (Suryawinata, 2003: 11), seperti tampak dalam tabel berikut ini:
Nama Jenis
Bahasa Ahli
Objek
Hasil
Aktivitas yang
Catford Penggantian
Materi Tekstual Padanan
Materi BSu-BSa
Padanan Gagasan Tidak disebutkan
(1968) Nida
Pereproduk- Makna/Pesan/ Padanan Alami yang BSu-BSa dan
Brisslin Pentransfer-
BSu-BSa (1976)
Gagasan dan Ide
an Pinhuck Penemu-
BSu-BSa (1977)
Tuturan
Padanan BSa
an
Tabel 1. Definisi Penerjemahan pada Tahun 1960an-1970an
Dari tabel di atas nampak jelas bahwa pada penerjemahan yang diganti/direproduksi/dialihkan/ditransfer dari BSu ke BSa bukanlah bentuk bahasa ( form/surface structure ) yang berupa kata, frase, kalimat, paragraf, atau teks, melainkan makna ( meaning/deep structure ), pesan, ide, atau gaya dari bentuk bahasa. Selanjutnya secara lebih lengkap dapat disimpulkan bahwa penerjemahan berarti mengalihkan makna, pesan, ide atau gaya yang terdapat pada BSu ke dalam BSa dan mewujudkannya kembali di dalam BSa dengan bentuk-bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam BSa. Bentuk kewajaran yang dimaksud diterangkan oleh Finlay (dalam Simatupang, 2000: 3) sebagai berikut: “ideally, the translation should give the sense of the original in such a way that the reader is unaware that he is reading a translation.”
Menurut Silalahi (2009: 16), definisi penerjemahan tersebut di atas masih tergolong sebagai pengertian sempit karena mengacu sekedar pada
a linguistic operation yang dilakukan oleh penerjemah dalam upayanya mentransfer pesan teks Bsu ke dalam Bsa, dan diwujudkan ke dalam tiga tahapan, sebagaimana proses a linguistic operation yang dilakukan oleh penerjemah dalam upayanya mentransfer pesan teks Bsu ke dalam Bsa, dan diwujudkan ke dalam tiga tahapan, sebagaimana proses
Selanjutnya Silalahi menyatakan bahwa gambaran yang lebih jelas mengenai tahapan yang lazim dilalui oleh penerjemah dalam menghasilkan sebuah terjemahan bisa didapatkan dari diagram proses penerjemahan yang dibuat oleh Roger T. Bell.
Gambar 1. Model Penerjemahan (Bell, 1999: 45)
Secara ringkas model proses penerjemahan Bell dapat dijelaskan sebagai berikut.
sintaksis untuk mengidentifikasikan bagian-bagian yang membentuk klausa. Selanjutnya disambung dengan analisis semantik dalam rangka menentukan makna yang terkandung pada bagian-bagian yang membentuk klausa tersebut. Penentuan makna tersebut harus kontekstual. Tahap ketiga adalah analisis pragmatik untuk memahami a) tujuan teks Bsu, b) struktur tematik teks BSu, dan c) gaya teks BSu. Pada tahap inilah penerjemah dihadapkan pada pilihan apakah akan mempertahankan atau mengubah tujuan, struktur tematik dan gaya BSu dalam terjemahannya (Bell, 1991: 59 dalam Silalahi, 2009: 17-18).
Pada saat yang bersamaan dengan ketika melakukan analisis sintaksis, semantik, dan pragmatik pada teks BSu, penerjemah juga melakukan sintesis sintaksis, semantik, dan pragmatik terhadap BSa. Jika proses tersebut berhasil, penerjemah dapat menghasilkan terjemahan. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka dia harus kembali ke tahap awal. Oleh karena itulah, proses penerjemahan bersifat siklus; dapat diulang-ulang sehingga penerjemah merasa puas dengan padanan teks BSu dalam BSa yang ditemukannya (Bell, 1991: 60 dalam Silalahi, 2009: 18).
2.3. Ideologi Penerjemahan
Ideologi penerjemahan, atau dalam Approaches to Translation (Newmark, 1988: 81 dalam Ordudari, 2007) lebih sering disebut sebagai metode penerjemahan, merujuk pada cara menerjemahkan seluruh teks. Lebih khusus, Newmark memperkenalkan Diagram V untuk menunjukkan dua kutub yang berbeda dari metode penerjemahan. Kutub yang pertama berpihak pada sistem dan budaya BSu sedangkan kutub yang kedua sangat menghargai sistem dan budaya BSa.
Source Language Emphasis Target Language Emphasis
Word-for-word translation Adaptation Literal Translation Free Translation Faithful Translation Idiomatic Translation Semantic Translation Communicative Translation
Gambar 2. Diagram V Metode Penerjemahan (Newmark, 1988: 45)
Secara tradisional, seperti tampak pada model proses penerjemahan yang ditawarkan oleh Newmark, pembicaraan mengenai ideologi atau metode penerjemahan selalu berkutat pada dua pilihan: penerjemahan secara harfiah atau secara bebas. Dikarenakan hakikat penerjemahan sebagai komunikasi lintasbahasa, maka perdebatan mengenai penerapan metode penerjemahan secara harfiah atau bebas bersumber pada perbedaan ekspresi linguistik.
Pada masa sekarang pilihan metode penerjemahan bukan lagi penerjemahan harfiah atau bebas, tetapi penerjemahan domestikasi ( domestication ) atau foreinisasi ( foreignization ) karena telah dipahami bersama bahwa penerjemahan tidak bisa tidak dipengaruhi oleh budaya BSu dan BSa sehingga cara menangani hal tersebut menjadi salah satu perhatian utama dalam penerjemahan. Seorang penerjemah harus menentukan prioritas-apakah berorientasi pada BSu dengan menerapkan metode foreinisasi atau pada Bsa dengan metode domestikasi. Dengan kata lain, ideologi dalam penerjemahan memberikan pandangan super makro dalam hubungannya dengan penerjemahan sebagai bagian dari kegiatan sosial budaya (kebudayaan suatu masyarakat (Hoed, 2003 dalam Silalahi, 2003: 68).
Metode foreinisasi berawal dari asumsi bahwa literasi bukanlah sesuatu yang universal. Komunikasi menjadi kompleks karena perbedaan antar budaya dan dalam komunitas bahasa. Karena penerjemahan merupakan sarana pertukaran budaya yang penting, maka penerjemahlah yang bertugas mengenalkan budaya asing pada komunitas BSa. Oleh karena itulah, penerjemah berupaya mempertahankan perbedaan budaya dan bahasa teks asing serta sejumlah besar struktur budaya dan kata BSu dipinjam lalu diperkenalkan pada budaya BSa. Leververe Venuti merupakan pendukung utama metode ini baik dalam teori maupun praktek. Baginya”a translated text should be the site where a different culture emerges, where
a reader gets a glimpse of a culture other, and resistancy, a translation strategy based on an aesthetic of discontinuity, can best preserve that difference, that otherness (Venuti, 1995: 306 dalam Sun, 2011: 161). Metode ini seringkali menghasilkan terjemahan yang terasa aneh atau asing karena dari aspek pemadanan, metode ini sangat tergantung pada pemadanan formal ( formal equivalence ) (Silalahi, 2003: 70). Hal tersebut bukan karena tidak adanya padanan dalam BSa, tetapi lebih pada pilihan sadar penerjemah.
Di lain pihak, metode domestikasi berorientasi pada kaidah, norma, dan budaya BSa karena bagi para pendukung metode domestikasi, tujuan penerjemahan adalah menjadikan perbedaan budaya sesuatu yang familier/tidak asing : “Domestication refers to the target-culture-oriented translation in which unusual expression to the target culture are exploited and turned into some familiar ones so as to make the translated text intellingible and easy for target readers” (Zhao Ni dalam Silalahi, 2003: 70). Eugene Nida berada di garis depan yang sangat menganjurkan penerapan metode ini karena menurutnya tujuan dari penerjemahan/penerapan padanan dinamis adalah menghasilkan ekspresi yang wajar/natural dan menghubungkan pembaca dengan model perilaku yang relevan dengan konteks budayanya sendiri (Nida, 1964: 159 dalam Sun, 2011: 161). Dalam hal pemadanan, ideologi domestikasi sangat bergantung pada pemadanan dinamis ( dynamic equivalence ).
Adanya dua ideologi penerjemahan dengan orientasi yang sama sekali lain seolah menunjukkan bahwa penerjemahan terjebak pada dikotomi hitam-putih, namun pada kenyataannya, tidak ada penerjemah yang secara penuh menerapkan salah satu ideologi. Yang terjadi sebenarnya adalah kecenderungan untuk menerapkan salah satu dari dua ideologi tersebut (Silalahi, 2003: 70). Sementara itu, Hongmei Sun dalam On Cultural Differences and Translation Methods (2011: 163) berkesimpulan bahwa kedua ideologi penerjemahan tersebut saling melengkapi. Metode terbaik ( golden mean ) untuk menghasilkan terjemahan unsur-unsur budaya yang baik idealnya dilakukan dengan menerapkan kedua metode ekstrim tersebut secara padu atau seimbang.
2.4. Strategi Penerjemahan
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, istilah strategi, prosedur, maupun teknik penerjemahan seringkali digunakan secara bergantian untuk merujuk pada cara menerjemahkan kalimat dan unit-unit bahasa yang lebih kecil.
Para pakar memiliki pendapatnya masing-masing mengenai seberapa banyak jumlah strategi penerjemahan. Dalam penelitian ini dipakai kategorisasi yang dibuat oleh Zuchridin Suryawinata, Guru Besar Penerjemahan Universitas Negeri Malang.
Suryawinata membagi strategi penerjemahan menjadi 2, yaitu strategi struktural dan semantik.
2.4.1. Strategi Struktural
Strategi struktural merupakan strategi penerjemahan yang diterapkan berdasarkan pertimbangan bentuk ( form/surface structure). Sebagian besar strategi yang dipaparkan berikut ini bersifat wajib dipilih untuk mencapai efek kewajaran atau keberterimaan secara struktural di dalam BSa.
1. Strategi penambahan ( addition ); biasanya dilakukan dengan menambahkan kata- kata di dalam BSa karena struktur BSa memang menghendaki demikian. Misalnya, kalimat Saya peneliti diterjemahkan menjadi
I am a researcher.
2. Strategi pengurangan ( subtraction ) dilakukan dengan mengurangi elemen struktural di dalam BSa. Misalnya kalimat You should go back diterjemahkan menjadi Kamu mesti kembali .
3. Strategi transposisi ( tra nsposition ); biasanya diterapkan pada penerjemahan klausa atau kalimat dengan merubah kategori gramatikal atau mengganti satu kelas kata dengan kelas kata yang lain tanpa merubah makna pesan (Vinay dan Dalbernet, 1977: 50 dalam Fernandez-Guerra, 2012). Berbeda dengan 2 strategi struktural sebelumnya, transposisi bisa dipandang sebagai keharusan atau sebagai pilihan. Transposisi wajib dilakukan bila tanpanya makna BSu tidak tersampaikan, sementara transposisi menjadi pilihan karena alasan gaya bahasa (stilistika) saja. Yang paling sering terjadi adalah transposisi dilakukan karena alasan kedua. Strategi transposisi harus dilakukan bila terdapat salah satu dari tiga perbedaan antara struktur BSu dan BSa (Newmark, 1988: 85; Rachmadi, 1988: 136 dalam Suryawinata, 2003: 68), yaitu 1) pengubahan bentuk jamak menjadi bentuk tunggal atau sebaliknya; misalnya frase three intrinsic aspects diterjemahkan menjadi tiga aspek intrinsik dan bukannya tiga aspek-aspek intrinsik, 2) pengubahan posisi kata sifat; misalnya kalimat Roman Jakobson devides translation into four basic groups diterjemahkan menjadi Roman Jakobson membagi penerjemahan menjadi empat kelompok dasar , 3) pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan karena struktur kalimat BSu tidak ada di dalam BSa; 3. Strategi transposisi ( tra nsposition ); biasanya diterapkan pada penerjemahan klausa atau kalimat dengan merubah kategori gramatikal atau mengganti satu kelas kata dengan kelas kata yang lain tanpa merubah makna pesan (Vinay dan Dalbernet, 1977: 50 dalam Fernandez-Guerra, 2012). Berbeda dengan 2 strategi struktural sebelumnya, transposisi bisa dipandang sebagai keharusan atau sebagai pilihan. Transposisi wajib dilakukan bila tanpanya makna BSu tidak tersampaikan, sementara transposisi menjadi pilihan karena alasan gaya bahasa (stilistika) saja. Yang paling sering terjadi adalah transposisi dilakukan karena alasan kedua. Strategi transposisi harus dilakukan bila terdapat salah satu dari tiga perbedaan antara struktur BSu dan BSa (Newmark, 1988: 85; Rachmadi, 1988: 136 dalam Suryawinata, 2003: 68), yaitu 1) pengubahan bentuk jamak menjadi bentuk tunggal atau sebaliknya; misalnya frase three intrinsic aspects diterjemahkan menjadi tiga aspek intrinsik dan bukannya tiga aspek-aspek intrinsik, 2) pengubahan posisi kata sifat; misalnya kalimat Roman Jakobson devides translation into four basic groups diterjemahkan menjadi Roman Jakobson membagi penerjemahan menjadi empat kelompok dasar , 3) pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan karena struktur kalimat BSu tidak ada di dalam BSa;
I find it embarassing to express such things openly menjadi Menurutku mengungkapkan hal-hal semacam itu secara terbuka sungguh memalukan . Sementara itu, strategi transposisi yang dilakukan karena pertimbangan stilistika mencakup pemecahan satu kalimat BSu menjadi dua kalimat dalam BSa atau lebih dan juga sebaliknya (Newmark, 1988: 85 dalam Suryawinata, 2003: 69). Misalnya: Some species are very large indeed and the blue whale, which can exceed 30 m in length, is the largest animal to have lived on earth bisa diterjemahkan ke dalam dua gaya:
BSa-1: Beberapa spesies sangatlah besar dan paus biru, yang bisa mencapai panjang lebih dari 30 meter, adalah binatang terbesar yang pernah hidup di bumi.
Bsa-2: Beberapa spesies sangatlah besar. Ikan paus biru, yang bisa mencapai panjang lebih dari 30 meter, adalah binatang terbesar ya ng pernah hidup di bumi.
2.4.2. Strategi Semantis.
Strategi semantis adalah strategi penerjemahan yang diterapkan berdasarkan pertimbangan makna ( meaning/deep structure ). Berikut ini strategi-strategi yang termasuk dalam strategi semantis.
1. Strategi pungutan ( borrowing ); biasanya diterapkan untuk menerjemahkan kata atau frase yang berhubungan dengan nama orang, nama tempat, nama majalah, nama jurnal, gelar, nama lembaga, dan istilah-istilah pengetahuan yang belum ada di dalam BSa dengan cara meminjam kata atau ungkapan dalam BSu (Suryawinata, 2003: 71) karenanya dimaksudkan sebagai pengayaan BSa. Namun demikian, penerjemah harus hati-hati menerapkan Strategi ini pada teks dengan istilah budaya yang banyak (García Yebra, 1982: 340 dalam Fernandez- Guerra, 2012), kecuali dia memang ingin mempertahankan warna lokal atau eksotisme (Fernandez-Guerra, 2012). Strategi ini dibedakan menjadi 2, yaitu transliterasi atau pungutan murni ( pure borrowing ) dan naturalisasi ( naturalized borrowing ). Transliterasi biasanya diterapkan apabila kata atau ungkapan dalam BSu tidak ada padanannya dalam budaya BSa atau bila penerjemah ingin menciptakan efek stilistika atau eksotika (Fernandez-Guerra, 2012) misalnya 1. Strategi pungutan ( borrowing ); biasanya diterapkan untuk menerjemahkan kata atau frase yang berhubungan dengan nama orang, nama tempat, nama majalah, nama jurnal, gelar, nama lembaga, dan istilah-istilah pengetahuan yang belum ada di dalam BSa dengan cara meminjam kata atau ungkapan dalam BSu (Suryawinata, 2003: 71) karenanya dimaksudkan sebagai pengayaan BSa. Namun demikian, penerjemah harus hati-hati menerapkan Strategi ini pada teks dengan istilah budaya yang banyak (García Yebra, 1982: 340 dalam Fernandez- Guerra, 2012), kecuali dia memang ingin mempertahankan warna lokal atau eksotisme (Fernandez-Guerra, 2012). Strategi ini dibedakan menjadi 2, yaitu transliterasi atau pungutan murni ( pure borrowing ) dan naturalisasi ( naturalized borrowing ). Transliterasi biasanya diterapkan apabila kata atau ungkapan dalam BSu tidak ada padanannya dalam budaya BSa atau bila penerjemah ingin menciptakan efek stilistika atau eksotika (Fernandez-Guerra, 2012) misalnya
2. Strategi padanan budaya ( cultural equivalent ); biasanya diterapkan dengan mengganti kata/istilah yang khas dalam BSu dengan kata/istilah yang khas dalam BSa. Strategi ini kemungkinan besar tidak bisa menjaga ketepatan makna karena budaya BSu seringkali berbeda dengan budaya BSa. Karena tujuan utamanya adalah domestikasi (Fernandez-Guerra, 2012), maka strategi ini bisa menghasilkan terjemahan yang mulus dan enak dibaca (Suryawinata, 2003: 72). Misalnya kalimat Minggu depan Jaksa Agung Andi Ghalib akan berkunjung ke Swiss diterjemahkan menjadi Next week the General Attorney Andi Ghalib will visit Switzerland.
3. Strategi padanan deskriptif ( Descriptive Equivalent ); biasanya dilakukan dengan mendiskripsikan makna atau fungsi dari istilah/ungkapan sehingga sejenis dengan parafrase, atau bahkan amplifikasi atau eksplanasi dari istilah BSu. Strategi ini diterapkan pada kata atau istilah BSu yang terkait erat dengan budaya, bilamana pemakaian teknik padanan budaya dirasa tidak bisa memberikan derajat ketepatan yang dikehendaki (Suryawinata, 2003: 73). Misalnya istilah samurai diterjemahkan dengan kaum bangsawan Jepang pada abad XI sampai XIX yang menjadi pegawai pemerintahan .
4. Strategi analisis komponensial ( Componential Analysis ); strategi ini sangat mirip dengan padanan deskriptif. Dalam hal ini sebuah kata dalam BSu diterjemahkan dengan cara memerinci komponen-komponen makna kata BSu tersebut karena padanannya tidak ditemukan dalam BSa sementara penerjemah menganggap bahwa pembaca perlu mengerti makna yang sebenarnya. Misalnya kalimat Gadis itu menari dengan luwesnya diterjemahkan dengan The girl is dancing with great fluidity and grace.
5. Strategi penghapusan ( omission/deletion ) dilakukan dengan menyintesiskan atau mengimplisitkan informasi dalam BSu, terutama bila informasi tersebut dianggap tidak penting (Vázquez Ayora, 1977: 359 dalam Fernandez-Guerra, 2012). Strategi penerjemahan ini tidak biasa diterapkan untuk menerjemahkan istilah-istilah budaya karena biasanya istilah budaya tersebut tidak relevan fungsinya atau malah menyesatkan pembaca (Fernandez-Guerra, 2012).
Misalnya kalimat “Sama dengan raden ayu ibunya,” katanya lirih diterjemahkan deng an “Just like her mother” she whispered . Istilah raden ayu tidak diterjemahkan karena dianggap tidak penting dan malah akan membingungkan pembaca.
6. Strategi modulasi ( modulation ); biasanya diterapkan dengan menggunakan frasa yang berbeda untuk mengungkapkan ide yang sama. Atau dengan kata lain terjadi perubahan fokus, sudut pandang, perspektif atau cara berpikir pada diri penerjemah (Newmark, 1988: 88 dalam Suryawinata, 2003: 75). Strategi ini mirip dengan transposisi dan terkadang perlu dipakai bila penerjemahan harfiah tidak menghasilkan terjemahan yang wajar atau luwes. Misalnya kalimat
I cut my finger diterjemahkan menjadi Jariku terpotong.
7. Strategi terjemahan resmi; merupakan strategi penerjemahan yang telah dibakukan dalam P edoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing . Strategi ini diterapkan untuk menerjemahkan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh mouse diterjemahkan menjadi tetikus, keyboard diterjemahkan menjadi papan ketik.
8. Strategi penyusutan dan perluasan. Strategi penyusutan dipakai bila penerjemah menghilangkan elemen kata dalam BSu; misalnya automobile diterjemahkan menjadi mobil . Sementara itu teknik perluasan dipakai bila penerjemah memperluas unsur kata Bsa; misalnya whale diterjemahkan menjadi ikan paus.
9. Strategi penambahan. Tidak sama dengan strategi penambahan yang telah isebutkan sebelumnya (penambahan yang bersifat struktural), strategi penambahan ini dilakukan berdasarkan pertimbangan kejelasan makna (penambahan yang bersifat semantis). Informasi tambahan ini bisa berupa catatan perut, catatan kaki, atau catatan di akhir teks (Newmark, 1988: 91-92 dalam Suryawinata, 2003: 74). Strategi ini biasanya dipakai untuk membantu 9. Strategi penambahan. Tidak sama dengan strategi penambahan yang telah isebutkan sebelumnya (penambahan yang bersifat struktural), strategi penambahan ini dilakukan berdasarkan pertimbangan kejelasan makna (penambahan yang bersifat semantis). Informasi tambahan ini bisa berupa catatan perut, catatan kaki, atau catatan di akhir teks (Newmark, 1988: 91-92 dalam Suryawinata, 2003: 74). Strategi ini biasanya dipakai untuk membantu
camouflage it from predators when underwater. Bsa: Kulitnya, yang keras dan bersisik, berwarna abu-abu. Dengan demikian, kulit ini membantunya berkamuflase, menyesuaikan diri dengan keadaan
lingkungan untuk menyelamatkan diri dari predator, hewan pemangsa , jika berada di dalam air
10. Strategi sinonim. Penerjemah juga bisa menerapkan strategi ini apabila analisis komponensial dirasa bisa mengganggu alur kalimat BSa, yaitu dengan cara menggunakan kata BSa yang kurang lebih sama untuk kata-kata BSu yng bersifat umum (Newmark, 1988: 83-84 dalam Suryawinata, 2003: 73). Misalnya kalimat What a cute baby you’ve got! diterjemahkan menjadi Alangkah lucunya bayi Anda ! Cute dan lucu hanya bersinonim saja, tidak merupakan padanan yang benar-benar tepat.
2.5. Strategi Penilaian Kualitas Terjemahan
Penilaian terhadap kualitas terjemahan harus berlandaskan norma-norma objektif. Berpedoman pada argumentasi Nida dan Taber (1969) serta Newmark (1988), maka suatu terjemahan dianggap “baik” bila berorientasi pada pembaca/pendengar BSa. Oleh karena itulah, maka penguasaan BSa menjadi sangat penting. Kemampuan menerjemahkan bertumpu pada kemampuan berpikir, rasa bahasa, dan kemampuan retoris (Silalahi, 2003: 32).
Penilaian terhadap kualitas terjemahan berkaitan erat dengan fungsi terjemahan sebagai sarana komunikasi antara penulis asli dengan pembaca sasaran. Fungsi ini pada umumnya dipahami sebagai upaya transfer ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya dari suatu bahasa ke bahasa yang lain. Dalam hal ini, aspek yang dinilai tidak hanya menyangkut keakuratan pesan, tetapi juga keberterimaan dan keterbacaan. Aspek keakuratan pesan menjadi prioritas sebagai konsekuensi dari konsep dasar penerjemahan bahwa suatu teks dapat disebut terjemahan jika teks tersebut mempunyai hubungan padanan ( equivalence relation ) dengan teks sumber. Karena suatu terjemahan ditujukan bagi pembaca sasaran, maka terjemahan yang dihasilkan Penilaian terhadap kualitas terjemahan berkaitan erat dengan fungsi terjemahan sebagai sarana komunikasi antara penulis asli dengan pembaca sasaran. Fungsi ini pada umumnya dipahami sebagai upaya transfer ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya dari suatu bahasa ke bahasa yang lain. Dalam hal ini, aspek yang dinilai tidak hanya menyangkut keakuratan pesan, tetapi juga keberterimaan dan keterbacaan. Aspek keakuratan pesan menjadi prioritas sebagai konsekuensi dari konsep dasar penerjemahan bahwa suatu teks dapat disebut terjemahan jika teks tersebut mempunyai hubungan padanan ( equivalence relation ) dengan teks sumber. Karena suatu terjemahan ditujukan bagi pembaca sasaran, maka terjemahan yang dihasilkan
Penilaian terhadap kualitas terjemahan dalam penelitian ini mengadopsi strategi penilaian yang dirancang oleh Nababan (2004) dalam disertasinya yang berjudul Translation Processes, Products, and Products of Professional Indonesian Translators karena penilaian terhadap ketiga aspek yang menentukan kualitas terjemahan dilakukan secara terpisah. Pemisahan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa ketiganya merupakan konsep yang terpisah satu sama lain. Strategi penilaian kualitas terjemahan akan dijelaskan secara lebih rinci dalam bab 4.
2.7. Budaya dan Penerjemahan
Bahasa merupakan ekspresi budaya dan individualitas penuturnya. Dengan kata lain, budaya penutur bahasa selalu mempengaruhi bahasanya. Jadi, yang paling mendasari hubungan antara bahasa dan budaya adalah bahwa bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa (Silalahi, 2003: 52). Penerjemahan menjembatani perbedaan antarbudaya ( gap across cultures ) sehingga memungkinkan orang untuk berkomunikasi dengan orang lain dari budaya yang berbeda.
Bertolak dari pemahaman mengenai relasi antara bahasa dan budaya tersebut, banyak ahli, diantaranya Kade, Kutz, Nord, Rabadán, and Venuti (dalam Fernandez- Guerra, 2012) melakukan kajian mendalam tentang istilah-istilah budaya dan masalah-masalah yang muncul terkait dengan penerjemahan istilah-istilah tersebut.
Vlakhov and Florin merupakan orang pertama yang melontarkan istilah realia untuk merujuk pada unsur-unsur budaya seperti objek-objek, adat, kebiasaan, dan aspek kultural serta material yang berpengaruh dalam pembentukan bahasa tertentu (Cerdá Massó dalam Fernandez-Guerra, 2012). Selanjutnya bermunculanlah sejumlah besar klasifikasi dan taksonomi bagi aspek-aspek budaya semacam itu yang Vlakhov and Florin merupakan orang pertama yang melontarkan istilah realia untuk merujuk pada unsur-unsur budaya seperti objek-objek, adat, kebiasaan, dan aspek kultural serta material yang berpengaruh dalam pembentukan bahasa tertentu (Cerdá Massó dalam Fernandez-Guerra, 2012). Selanjutnya bermunculanlah sejumlah besar klasifikasi dan taksonomi bagi aspek-aspek budaya semacam itu yang
A Textbook of Translation , 1988: 21 dalam Fernandez- Guerra, 2012) mendefinisikan budaya sebagai cara hidup dan manifestasinya yang khas bagi sebuah komunitas yang menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana dari "ekspresi”, sehingga mengakui bahwa setiap kelompok bahasa memiliki fitur sendiri dari suatu budaya tertentu. Oleh karena itulah dia mengkategorikan kata-kata, istilah atau ungkapan budaya sebagai berikut: 1) Ekologi: Flora, fauna, bukit, angin, dataran, bukit, sawah, hutan tropis, 2) Material budaya: artefak, 3) Makanan, pakaian, bangunan, transportasi dan komunikasi, 4) Sosial Budaya (Kerja dan waktu luang), 5) Organisasi (Kelompok): Kemasyarakatan, Hukum, Agama, Seni (artistik). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istilah budaya dalam tulisan ini adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan cara hidup dan manifestasinya yang khas bagi sebuah komunitas yang menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana ekspresi dari ekologi, material budaya, sosial budaya, organisasi, konsep politik dan admisnistrasi, agama, artistik, dan bahasa tubuh ( gestures ) dan kebiasaan (Ahmad, 2011: 20).
Peter Newmark (
2.8. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai terjemahan yang berkaitan dengan budaya telah dilakukan sebelumnya. Dr. Syahron Lubis, M.A. ( Penerjemahan Teks Mangupa dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris, 2009 dalam Ahmad, 2011: 15) mengkaji masalah-masalah penerjemahan dalam teks mangupa, sebuah teks budaya Mandailing, ke dalam bahasa Inggris. Penelitian menunjukkan bahwa perbedaan dalam aspek struktur bahasa (tidak dikenalnya konsep kala dalam bahasa Mandailing) dan aspek kultural (banyaknya pemakaian kata arkais) menimbulkan masalah dalam penerjemahan frasa, kata majemuk dan kalimat.
Fatukhna‟imah Rhina Zuliani ( Kajian Teknik Penerjemahan dan Kualitas Penerjemahan Ungkapan Budaya dalam Novel The Kite Runner Karya Khaled Hosseini , 2010 dalam Ahmad, 2011: 16) menyimpulkan bahwa teknik naturalisasi
menghasilkan lebih banyak terjemahan yang akurat, berterima, dan memiliki menghasilkan lebih banyak terjemahan yang akurat, berterima, dan memiliki
Yusnia Sakti Nurlaili dalam penelitiannya yang berjudul The Translation of Proper Names and Cultural Terms from Indonesia to English in Suluh Magazine (2010 dalam Ahmad, 2011: 18) menyimpulkan bahwa penggunaan teknik padanan deskriptif dan penerjemahan harfiah tepat untuk digunakan dalam menerjemahkan proper nouns dan cultural terms .
Sulaiman Ahmad dalam Analisis Terjemahan Istilah-Istilah Budaya pada Brosur Pariwisata Berbahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara (2011) menyatakan bahwa teknik yang paling banyak dipakai dalam penerjemahan istilah-istilah budaya adalah teknik deskripsi dan pungutan, sementara pergeseran yang paling sering terjadi adalah pergeseran unit.