Perubahan Bentuk Baishun Dalam Sejarah Jepang

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP “BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG”

2.1 Defenisi Baishun

Kegiatan baishun(prostitusi) adalah suatu kegiatan yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu pro-situare yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan persundalan, percabulan, pergendakan. Dalam bahasa inggris baishun disebut prostitution yang artinya tidak jauh berbeda dengan bahasa latin yaitu, prostiture persundalan dan ketunasilaan. Orang yang melakukan kegiatan pelacuran disebut pelacur yang dikenal juga dengan WTS atau Wanita Tuna Susila (Kartono 1997:177).

Dalam bahasa Jepang modern prostitusi disebut baishun. Baishun berasal dari 2 kanji, yakni bai(売) yang artinya menjual dan shun(春) yang artinya musim semi. Secara harafiah arti kata baishun adalah menjual pemuda. Undang-undang anti baishun Jepang (売春防止法,baishun Boushi hou) yang dikeluarkan pada tahun 1956 pada pasal 2 menyebutkan defenisi dari baishun

売春

、対償 受 、又 受

約束 不特定 相手

方 性交

いう。 売春防止法第 章第 条

Terjemahan

Pasal 2 (pengertian): "Kata untuk prostitusi yang digunakan di hukum ini dapat berarti persetubuhan yang tidak ditentukan oleh pihak lain untuk bayaran

atau janji untuk dibayar”.

Tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan Matsui dalam Chalmers

The word for prostitution, baishun, meaning selling one’s body (shun literally meaning ‘spring’ and metaphorically a nubile young girl), has been


(2)

buy a body. This has taken the onus offwomen initiating the exchange of sex for money ( Chalmers 2002:93).

Terjemahan

Kata untuk prostitusi, baishun, berarti menjual tubuh seseorang (makna harafiah shun adalah musim semi dan metaforit dari gadis yang boleh kawin) telah diubah kepengucapan yang sama tetapi yang memakai awal kanji yang berbeda yang berarti membeli tubuh. Ini ditujukan untuk perempuan yang memulai pertukaran seks untuk uang ( Chalmers 2002:93).

2.2 Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Baishun

2.2.1 Kemiskinan dikalangan Petani

Kemiskinan adalah salah satu penyebab munculnya baishun. Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan hidup membuat perempuan memilih jalan dengan menjual tubuh mereka. Di zaman feodal Jepang banyak orang tua menjual anak perempuan mereka demi memenuhi kebutuhan keluarga. Penjualan anak perempuan ini dilazimkan karena Jepang menganut sistem patriarkhi yang memiliki landasan legal konfusianis seperti yang dijalankan masyarakat pada zaman Tokugawa, membuat kaum perempuan terpinggirkan dan menjadi warga masyarakat kelas dua (Wulandari 2013:79).

Sebelum zaman Meiji, yaitu pada zaman Tokugawa (1603-1868), pemerinta menggolongkan masyarakat kedalam kelas shi-no-ko-sho yaitu bushi (militer), noomin (petani), kosakunin (tukang), dan shoonin (pedagang). Saat itu jumlah kaum bushi sekitar 7%, petani 84%, tukang dan pedagang 6%, sisanya adalah kelompok diluar keempat golongan itu, misalnya para pendeta, kaum ninggrat, dan golongan yang dianggap sangat bawah seperti para penjaga kubur


(3)

dan penyembelih binatang. Jumlah mereka yang besar seharusnya juga menguntungkan, tetapi secara politik kedudukan mereka ternyata lemah, karena pemerintahan dikuasai oleh kaum militer dengan shogun sebagai pemimpin tertinggi. Petani dibebani pajak tahunan (nengu) berupa hasil panen yang besarnya 50%-60% dari hasil panen, bahkan beberapa han (wilayah kekuasaan para tuan tanah/daimyo) ada yang mencapai 70%. Ini berarti bagian yang harus diserahkan kepada pemerinta sebagai pajak dapat mencapai lebih dari setengah hasil panen secara keseluruhan. Sisanya yang kurang dari setengahnya digunakan untuk kebutuhan keluarga. Akibat kebijakan ini, kaum petani yang merupakan mayoritas penduduk, termasuk di daerah asal karayuki-san yaitu Amakusha dan Shimabara tetap hidup dalam kemiskinan (Pangastoeti 2009:141).

Pada zaman Edo, pemerintahan Tokugawa mengeluarkan kebijakan politik sankin koutai. Sankin koutai adalah kebijakan yang mewajibkan bahwa daimyo

shimpan dan fudai untuk tinggal di Edo selang 6 bulan. Sedangkan bagi Tozama

Daimyo diwajibkan tinggal di Edo selang setahun. Kewajiban inilah yang

memperberat ekonomi wilayah, karena biaya hidup rombongan tuan mereka untuk tinggal di Edo harus diantar oleh anak buah mereka (Situmorang 2011:89). Keramaian jalan lintas antar kota lain ke Edo melahirkan bisnis- bisnis pingir jalan yang salah satunya juga baishun. Tempat–tempat itu digunakan sebagai peristirahatan rombongan daimyo dalam perjalanan ke Edo dan akan mengeluarkan uang lebih lagi untuk persinggahan tersebut. Untuk menutupi biaya tersebut pemerintah menaikkan pajak bagi petani.


(4)

Para rentenir kemudian memanfaatkan keadaan kaum petani yang miskin. Mereka merekrut anak perempuan petani untuk menjadi pelacur dengan mengatur kedatangan perekrutan. Mereka datang bertepatan ketika petani lokal sangat miskin: awal musim semi ketika toko-toko makanan yang menipis dan akhir musim panas ketika pembayaran pajak yang jatuh tempo.

Memasuki zaman Meiji (1868-1912), kondisi petani tidak banyak berubah. Modernisasi yang dilakukan oleh pemerinta Meiji lebih diarahkan untuk mencapai sasaran fukoku kyoohei (negara kaya, militer kuat). Dalam masa modernisasi yang ditandai oleh perkembangan industri ini, pemerintah memang berusaha juga untuk memperhatikan para petani dengan memperbaiki peraturan pajak (chiso kaisei) dari hasil panen menjadi uang tunai sebesar 3% dari harga tanah dan membebankan pajak ini kepada pemilik tanah (jinushi). Namun, para pemilik tanah melemparkan tanggung jawab ini kepata petani penggarap (kosakunin) dengan memaksa mereka untuk menyerahkan lebih dari 60% hasil panennya kepada pemilik tanah. Kondisi ini akhirnya menyebabkan banyak petani meninggalkan lahan garapan mereka, kemudian pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kepergian mereka selain dibebani kewajiban untuk menghidupi diri sendiri juga harus menanggung keluarganya di kampung, sehingga di kota pun mereka harus bekerja keras. Namun selain bertani, mereka tidak mempunyai keterampilan lain. Bagi laki-laki memang dapat bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya, tetapi bagi perempuan kesempatan yang tersedia hanya menjadi buruh di pabrik pemintalan dan menjadi pelacur. Di pabrik pemintalan pun upahnya kecil, sehingga mereka yang harus menanggung keluarga


(5)

di kampung tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi pelacur (Pangastoeti 2009:141).

2.2.2 Pembentukan Yukaku

Istilah yang paling umum bagi seorang wanita yang bekerja di sebuah rumah bordil (yukaku) yang berarti wanita yang bermain, yu berasal dari kata kerja asobu yang berarti untuk bermain (Swington 1995:58). Gadis-gadis dan wanita yang bekerja disana mendapat pemeriksaan kesehatan dan makanan dan tempat tinggal sebagai imbalan untuk menjual tubuh mereka, tetapi mereka dijual kerumah bordil untuk setidaknya sepuluh tahun, yang setidaknya menjadi standar. Untuk pekerjaan yang mereka tampilkan, mereka mendapat seperti uang muka untuk layanan sepuluh tahun, tetapi mereka berusaha mencari pelamar kaya yang bersedia membayar untuk pembebasan mereka dan menjadi gundik atau istri. Kebanyakan yujo ini berhasil keluar lebih awal, karena selama zaman Edo pria

kalah jumlah dari wanita, dan bahkan untuk “bebek jelek”, menemukan seorang

pria untuk menikah bukan perbuatan susah (Helgadottir 2011:36).

Untuk yujo dari rumah bordil di Yoshiwara, kehidupan seorang gadis dimulai saat tiba di rumah bordil, dimana dia diperiksa oleh dokter dan dinyatakan siap untuk mulai bekerja. Biasanya gadis- gadis mendapat gelar kamoro (gadis-gadis remaja pembantu perempuan kelas atas) tapi setelah terus menerus dinilai, mereka mendapat peringkat yujo, yang berarti bahwa mereka bisa memulai pembelajaran mereka, tetapi dalam istila itu ada berbagai jajaran yang diberikan secara teratur tergantung pada nilai mereka untuk yukaku tersebut. Kehormatan tertinggi dari yujo biasanya dijuluki tayu, status yang begitu tinggi dan pria sangat


(6)

mengincar perhatian mereka. Tepat dibawah mereka adala koshi yang mengira mereka juga berpangkat tinggi tetapi hanya sepertiga dari harga tayu. Berikutnya adalah sancha, perempuan yang dulunya bekerja sebagai pelayan di rumah teh tetapi ternyata pelacur dan biaya mereka adalah sepertiga dari koshi. Wanita yang berasal dari salah satu dari tiga yang disebutkan diatas biasa menyebut diri mereka oiran (pangkat tinggi pelacur), tetapi dibawah mereka ada tsubone, pelacur yang

bekerja dari kamar mereka sendiri dan yang terendah adalah hashi yang biayanya begitu sedikit, sekitar seperseratus dari harga tayu (Helgadottir 2011:37).

Toyotomi Hideyoshi membangun yukaku dengan alasan mengumpulkan banyaknya yujo yang berkeliaran di kota guna merapikan Osaka dan Kyoto dan mengawasi yujo lebih efisien. Yukaku pertama di Jepang dibangun di Osaka dan Kyoto. Ini adalah asal-usul Shimabara Yukaku di Kyoto dan Shinamachi Yukaku

di Osaka dan nantinya dipanggil “Tiga Yukaku Besar” bersama-sama dengan Yoshiwara Yukaku di Edo.

Pada zaman Edo, Tokugawa membangun Yoshiwara Yukaku. Yoshiwara adalah rumah bordil yang paling terkenal di zaman Edo. Pada tahun 1612

pengusaha sebuah rumah bordil yang bernama Jin’emon mengajukan petisi kepada keshogunan Tokugawa meminta pemerintah baru untuk mengenali bisnis dan memberinya sebidang tanah dimana ia dan rekan-rekannya bisa menjalankan perdagangan mereka. Dia menyusun penjelasannya dengan hati- hati. Ketika rekan- ekannya telah mengajukan petisi ke shogun untuk diakui sebagai serikat pada tahun 1605, para hakim telah menjawab bahwa mereka tidak melihat alasan untuk memperpanjang hak-hak istimewa untuk pengusaha rumah bordil. Kali ini


(7)

Jin’emon ingin memastikan bahwa permintaannya akan dipertimbangkan, sehingga ia mengajukan banding terhadap kepentingan keshogunan dalam melestarikan tatanan sosial dan politik. Pertama, dia mengambil stok situasi di pertumbuhan kota benteng, yang memiliki peningkatan pesat dan populasi didominasi oleh kaum laki-laki. Ini telah menciptakan permintaan yang kuat terhadap jasa seks, yang pengusaha rumah bordil bersemangat menyediakannya. Tapi, perdagangan seks yang tidak diatur menyebabkan sejumlah masalah, yang

dipastikan Jin’emon untuk menguraikan secara rinci; gadis-gadis muda dari

keluarga “baik” bisa diculik dan dijual kerumah bordil, samurai bisa

merencanakan pemberontakan di apartemen pribadi pelacur, dan pedagang magang bisa menghamburkan- hamburkan upah mereka dengan pesta pora bersama wanita. Setelah menekankan bahaya meninggalkan pasar yang

berkembang tidak diatur, Jin’emon mengusulkan solusi: jika shogun memberinya

sebidang tanah dan monopoli pada perdagangan seks, dia akan menjamin menahan bahaya ini. Sebagai gambaran etikad baik, pemilik bordil akan membatasi operasi mereka yang baru dibuat “kuartal kesenangan” dimana mereka akan merekam datang dan perginya pelanggan dan melaporkan kegiatan yang

mencurigakan. Permintaan Jin’emon bukan tanpa presenden, pada tahun 1589, 2

samurai tidak bertuan (ronin) telah mengajukan proposal yang mirip kepada Hideyoshi yang menguasai ibukota Kyoto, dan Hideyoshi memberikan mereka

sebuah hadiah menguntungkan yakni tanah dipusat kota, Jin’emon mengharapkan

penyelesaian serupa di Edo. Setelah menunggu jawaban selama 5 tahu n, akhirnya pada tahun 1617 pemerintah memberikan permintaannya, memberikannya sebidang tanah yang nyaman tapi berawa di pinggiran kota. Menjelaskan bahwa


(8)

hadiah itu bergantung pada tawaran Jin’emon membatasi kekacauan yang terkait

dengan baishun. Shogun menegaskan bahwa pemilik bordil harus mematuhi peraturan sumtuary, tindakan memantau pelanggan, dan melarang perempuan mereka untuk bekerja di luar kabupaten (Stanley 2012:45-46).

2.2.3 Pembentukan rumah bordil pasca perang dunia II

Perang berakhir bagi Jepang setelah pengumuman penyerahan Kaisar Showa Hirohito disiarkan oleh radio pada tanggal 15 Agustus 1945. Pendudukan Jepang oleh sekutu (terutama orang- orang dari Amerika) resmi dimulai pada 1 september 1945 dan tetap berlaku sampai 1952. Jendral U.S Douglas MacArtur dan staf birokrasi militer Amerika (disebut sebagai Supreme Command for the Allied Power, SCAP) mengambil pendudukan. SCAP melaksanakan berbagai

reformasi politik, termasuk mengeluarkan sebuah konstitusi baru yang mempromosikan kesetaraan hak bagi perempuan. Konstitusi baru memberikan perempuan hak pilih sebagai warga negara hukum penuh untuk pertama kalinya.

Setelah perang dunia II, namun bukannya penjajah, Jepang menjadi dijajah. Pemerintah jepang menganggap bahwa kejahatan seks tentara Jepang yang telah dilakukan di negara yang mereka jajah mungkin terjadi di Jepang, akibatnya pemerintah mendukung sistem prostitusi untuk melayani pasukan militer Amerika Serikat.

Pemerintah Jepang melembagakan sistem prostitusi dari tahun 1945. Pertama, menurut pakar hukum Wakao Noriko, segera setelah Jepang kalah dalam perang, pada 18 Agustus 1945, pemerintah Jepang secara sukarela membahas


(9)

pembentukan dari “comfort institutions” bentuk pelacuran sistematis untuk militer Amerika, lembaga- lembaga ini akhirnya disebut “organized houses” dan tempat dimana pelacur swasta berkumpul di daerah berlisensi. Pemerintah Jepang juga

membangun “Recreational Amusement Association/R.A.A” untuk merekrut pelacur untuk melayani personil militer Amerika Serikat. R.A.A membuat iklan di koran dengan teks-teks seperti, “PERLU WANITA JEPANG BARU!BEKERJA UNTUK TRANSAKSI PASCA-PERANG DI LEMBAGA NASIONAL YANG

MENDESAK”

Keadaan Jepang setelah perang dunia II sangat miskin. Beberapa kota besar di Jepang hancur oleh bom atom yang mengakibatkan kelumpuhan ekonomi total. Kebijakan pemerintah membuka rumah bordil untuk melayani militer Amerika seperti memberikan pilihan bagi perempuan-perempuan Jepang untuk menjadi baishun. Seperti di Hiroshima, lima bulan setelah bom atom telah memiliki 566 pekerja seks yang terdaftar di 7 rumah di kota dan sekitarnya.

2.2.4 Pengesahan Undang-undang anti baishun (売春防止法, baishun boushi hou)

Zaman Nara sampai akhir zaman feodal, Jepang tidak mempunyai hukum yang mengatur tentang pencegahan baishun. Pemerintah bahkan membuat sebuah daerah perkumpulan pasa baishunfu yang disebut yukaku. Memasuki Zaman Meiji, pemerintah mulai memperhatikan masalah sosial masyarakat tersebut. Fujime dalam Harada menyebutkan bahwa pemerintahan Meiji resmi meninggalkan lisensi pelacuran pada tahun 1872 saat pemerintah juga menjanjikan penghapusan perdagangan manusia. Pemerintah percaya bahwa negara- negara beradab tidak


(10)

memanfaatkan baishun berlisensi di Jepang modern yang menunjukkan Jepang keterbelakangan dan pra-modernitas (Harada 2002:9). Namun, sistem ini dihapuskan dalam nama saja dan sebenarnya direorganisasi dibawah kedok baru bisnis. Sistem modern baishun di Jepang membatasi pelacur tanpa ijin selama periode Meiji, namun pemerintah diam-diam mengijinkan baishunfu swasta untuk mlanjutkan bisnis mereka dengan pembenaran bahwa perempuan mendapat penghasilan tambahan dan terlibat dalam baishun atas kehendak bebas mereka. Banyak baishunfu berlisensi menjadi baishunfu swasta karena mereka terlibat hutang berat dan tidak mempunyai cara lain untuk hidup.

Masyarakat Jepang telah lama menyadari bahwa baishun adalah kegiatan yang merusak moral masyarakat. Kesadaran ini muncul karena masuknya pemikiran-pemikiran dari dunia barat terlebih ajaran-ajaran Kristen yang dibawa missionaris, namun negara memelihara baishun sebagai pemasukan uang kas negara yang membuat perkembangan baishun tidak banyak terganggu.banayk gerakan- gerakan yang telah dibuat demi melawan baishun. Tahun 1886 The

Women’s Christian Temperance Union-WCTU/Nihon Kirisutokyo Kyofukai mulai beroperasi di Tokyo dan bergabung dengan Salvation Army (Kyuseigun) di tehun 1900. Pada tahun 1891 muncul gerakan penghapusan baishun nasional (Zenkoku Baisho Domeikai) dan gerakan- gerakan umum lainnya. Semakin lama gerakan ini

semakin gencar melawan prostitusi, termasuk pemulangan karayuki-san dari luar negeri karena didukung oleh organisasi-organisasi yang memiliki pemikiran barat pada saat itu.


(11)

Yukaku modern yang diciptakan Jepang untuk melayani militer Amerika

pada masa pendudukan banyak menyebarkan penyakit kelamin. MacArthur bersama dengan gerakan- gerakan penolakan baishun mendesak pemerintah Jepang untuk menghapuskan sistem baishun berlisensi karena kegiatan ini tidak bermoral. Pemerinta Jepang mulai menerima bahwa kenyataannya bahwa kegiatan baishun berlisensi tidak bermoral. Pada sore hari tanggal 5 maret 1949, sidang

publik pertama untuk Tokyo anti baishun (Baishunto Torisimari Jorei) berlangsung di gedung majelis Meropolitan yang mendatangkan audiens yang termasuk komisaris polisi serta pemilik baishun berlisensi. Setelah proses perjuangan penghapusan baisun yang begitu panjang, pada tanggal 21 Mei 1956 disahkanlah undang-undang anti baishun dan mulai berlaku pada 1 April 1957.

Kebijakan pemerintah setelah pengesahan undang-undang anti baishun adalah melindungi mantan baishunfu. Pada tahun 1962, 476.080.000 yen dialokasikan untuk anggaran tahun fiskal sebagai dana yang akan digunakan untuk melindungi mantan baishunfu. Dari jumlah tersebut, 11.000.000 yen dialokasikan untuk membangun koloni mereka (The Fusae Ichikawa Memorial association 1962:No.66,1). Pencapaian besar hukum anti baishun adalah untuk membuat baishun ilegal, meskipun tidak mungkin untuk membeli dan menjual wanita sekarang, namun berbagai celah hukum dan longgarnya penegakannya telah memungkinkan industri seks mencapai kesejahteraan.


(12)

2.3Baishun dalam Sejarah Jepang

Baishun dikatakan profesi tertua umat manusia, tetapi untuk membahas

asal dari baishun sangatlah sulit. Menurut salah satu teori, asal keinginan untuk kenikmatan seksual manusia dimulai dari prehominid serebral, yakni dimana manusia telah mencapai tingkat kebosanan dan untuk menutup kebosanan teersebut melakukan hubungan seksual yang tidak bertujuan untuk reproduksi ( Ono 2011: 3).

Awal baishun Jepang terlihat dalam profesi penghibur. Goodwin menyebutkan bahwa yang paling mencolok diantara mereka adalah asobi (juga dikenal sebagai Yukun) sering ditemukan menghibur wisatawan di pelabuhan laut dan sungai. Kelompok penting lainnya adalah perempuan dari kelompok - kelompok dalang disebut kugutsu dan penari yang dikenal sebagai shirabyoushi yang muncul diakhir periode Heian. Kita tahu tentang wanita ini karena banyak dari mereka yang terhibur dan menjadi pasangan seksual orang terkemuka yang pengalamannya dicatat dalam buku harian pria atau dalam laporan yang ditulis orang lain (Goodwin 2007:1).

Sayangnya, menghitung baishunfu adalah tugas yang hampir mustahil untuk sejarawan, bahkan mereka yang bekerja pada periode data statistik modern tersedia. Dalam kasus Tokugawa Jepang, kesulitan diperbesar. Tidak ada kelengkapan, sensus negeri dan catatan penduduk dari berbagai yurisdiksi yang terpisah- pisah. Selain itu, penjaga rumah bordil yang ingin menghindari peraturan atau menghindari pajak sering berbohong tentang berapa banyak pelacur yang mereka pekerjakan. Ibukota keshogunan Edo (atau sekarang Tokyo) memiliki


(13)

sekitar satu juta penduduk dipertengahan abad ke-19, sekitar 60 persen diantaranya adalah rakyat jelata. Daftar penduduk dipertengahan tahun 1840-an sebanyak tujuh ribu yujo di Yoshiwara dan sekitar seribu pelayan gadis (meshimori onna) di stasiun posting dipinggiran kota, menghasilkan sekitar delapan ribu baishunfu resmi diakui.

Mengenal baishun pada zaman Edo tidak terlepas dari Yoshiwara. Yoshiwara adalah rumah bordil yang paling terkenal di Zaman Edo. Pada tahun

1612 pengusaha sebuah rumah bordil yang bernama Jin’emon mengajukan petisi

kepada keshogunan Tokugawa meminta pemerintah baru untuk mengenali bisnis dan memberinya sebidang tanah dimana ia dan rekan-rekannya bisa menjalankan perdagangan mereka. Dia menyusun penjelasannya dengan hati- hati. Ketika rekan- rekannya telah mengajukan petisi ke shogun untuk diakui sebagai serikat pada tahun 1605, para hakim telah menjawab bahwa mereka tidak melihat alasan untuk memperpanjang hak-hak istimewa untuk pengusaha rumah bordil. Kali ini

Jin’emon ingin memastikan bahwa permintaannya akan dipertimbangkan ,

sehingga ia mengajukan banding terhadap kepentingan keshogunan dalam melestarikan tatanan sosial dan politik. Pertama, dia mengambil stok situasi di pertumbuhan kota benteng, yang memiliki peningkatan pesat dan populasi didominasi oleh kaum laki-laki. Ini telah menciptakan permintaan yang kuat terhadap jasa seks, yang pengusaha rumah bordil bersemangat menyediakannya. Tapi, perdagangan seks yang tidak diatur menyebabkan sejumlah masalah, yang

dipastikan Jin’emon untuk menguraikan secara rinci; gadis-gadis muda dari

keluarga “baik” bisa diculik dan dijual kerumah bordil, samurai bisa merencanakan pemberontakan di apartemen pribadi pelacur, dan pedagang


(14)

magang bisa menghamburkan- hamburkan upah mereka dengan pesta pora bersama wanita. Setelah menekankan bahaya meninggalkan pasar yang berkembang tidak diatur, Jin’emon mengusulkan solusi: jika shogun memberinya sebidang tanah dan monopoli pada perdagangan seks, dia akan menjamin menahan bahaya ini. Sebagai gambaran etikad baik, pemilik bordil akan

membatasi operasi mereka yang baru dibuat “kuartal kesenangan” dimana mereka

akan merekam datang dan perginya pelanggan dan melaporkan kegiatan yang

mencurigakan. Permintaan Jin’emon bukan tanpa presenden, pada tahun 1589, 2

samurai tidak bertuan (ronin) telah mengajukan proposal yang mirip kepada Hideyoshi yang menguasai ibukota Kyoto, dan Hideyoshi memberikan mereka

sebuah hadiah menguntungkan yakni tanah dipusat kota, Jin’emon mengharapkan

penyelesaian serupa di Edo. Setelah menunggu jawaban selama 5 tahun, akhirnya pada tahun 1617 pemerintah memberikan permintaannya, memberikannya sebidang tanah yang nyaman tapi berawa di pinggiran kota. Menjelaskan bahwa

hadiah itu bergantung pada tawaran Jin’emon membatasi kekacauan yang terkait

dengan baishun. Shogun menegaskan bahwa pemilik bordil harus mematuhi peraturan sumtuary, tindakan memantau pelanggan, dan melarang perempuan mereka untuk bekerja di luar kabupaten (Stanley 2012:45-46).

Selama periode Tokugawa (1600-1868) sebagian besar dari produksi budaya dikelilingi perdagangan seks, membuat kesenangan membayangkan bordil diakses oleh khalayak luas. Baishun tidak hanya lembaga sosial yang memungkinkan orang untuk menikmati seksual dan estetika hiburan; itu juga bisnis yang bergantung pada tenaga kerja perempuan miskin. Dalam hal ini, dampak ekonomi sangat besar. Karena baishun tidak menciptakan produk yang


(15)

nyata, tidak ada bal beras, gulungan sutera, tas garam, atau baut kain katun untuk dihitung sebagai ruang lingkup. Sebaliknya, pengaruh harus diukur dalam jangkauan geografis dan jumlah perempuan yang bekerja (Stanley 2012:1).

Pada zaman feodal, kaum petani yang berekonomi rendah menyebabkan penyakit sosial. Untuk bertahan hidup, para petani dan nelayan miskin menjual anak gadisnya ke agen dengan dalih adopsi untuk dijadikan geisha, bahkan pelacur. Praktik penjualan anak gadis merupakan suatu hal yang lumrah sejak abad empat belas, dan menjadi semakin intensif sejak industri Jepang mulai berkembang pada abad ke sembilan belas. Seperti yang dinyatakan Sheldon Garon dalam Wulandari bahwa, praktik penjualan anak perempuan menjadi suatu hal yang biasa di kalangan petani- petani miskin yang tidak dapat memberi makan anak- anaknya. Akibatnya terjadi ledakan populasi urban buruh di kota-kota, diikuti dengan tumbuhnya rumah- rumah pelacur di pusat- pusat industri.

Tidak hanya kemiskinan yang menjadi alasan adanya baishun dimasa feodal Jepang. Banyak faktor yang menunjukkan bahwa kondisi ini didukung oleh

sufficient condition berupa kondisi sosial dan kultural. Pertanyaan “bagaimana”

sangat penting dikemukakan, terutama untuk mengungkap sufficient condition yang antara lain berupa penculikan, perdagangan manusia, dan perbudakan terselubung. Dua unsur pertama banyak dilakukan oleh para perantara atau broker di kampung halaman dan di wilayah atau pelabuhan transit, dan unsur ketiga banyak dilakukan oleh para mucikari yang menjadi oyakata (majikan) atau oleh


(16)

Pada masa pemerintahan Meiji, banyak terjadi imigrasi masyarakat Jepang ke negara- negara lain. Menurut Yano dalam Pangastoeti, pada zaman Meiji (1868-1962), untuk mendukung program utama yang disebut fukoku kyoohei (negara kaya militer kuat), pemerintah Jepang menekankan pembangunan sektor industri dan hubungan dengan negara- negara barat. Asia (selain Cina) bukanlah wilayah yang diangga penting karena banyak yang sedang dalam penguasaan negara- negara barat. Namun tidak berarti sama sekali tidak ada orang Jepang yang melakukan kontak dengan negara Asia, dan pemerintah Meiji pun sebenarnya mengakui hal ini (Pangastoeti 2009:138).

Dengan program terbukanya Jepang terhadap negara- negara luar, maka semakin banyak para pemuda pergi ke barat untuk belajar tentang barat. Dimulai dari utusan Iwakura Tomoni, pemuda- pemuda lain terutama dari golongan elit banyak yang keluar negeri untuk belajar. Namun, ada pula orang-orang dari kalangan rakyat biasa yang pergi ke luar negeri dengan tujuan mencari penghidupan yang lebih baik (Wulandari 2013:74).

Kalangan rakyat biasa yang pergi keluar negeri pekerjaannya tidak jauh berbeda dengan saat di Jepang itu sendiri. Sebagai contoh, di Indonesia pada tahun Meiji 30 (1897) terdapat 125 orang Jepang yang terdiri dari 25 orang laki-laki dan 100 orang perempuan. Sementara itu, menurut survei dari konsulat Jepang di Indonesia, pada tahun Meiji 40 (1909) terdapat 614 orang Jepang, terdiri dari 166 orang laki-laki dan 448 orang perempuan. Mereka terlibat dalam aktivitas pertanian, perikanan, perdagangan, dan juga dalam improper trades seperti baishun dan usaha rumah-rumah bordil (Pangastoeti 2009:137-138).


(17)

Pada tahun 1887, diketahui lebih dari 100 pelacur Jepang di Singapura. Selama tahun 1889, Badan legeslatif, badan lokal administrasi Inggrris yang mengurus masalah permukiman di sekitar Selat malaka, telah mengeluarkan 104 izin kepada pelacur Jepang untuk beroperasi. Dengan demikian, baishun di rumah bordil adalah industri Jepang yang paling aktif secara ekonomi di kawasan Asia Tenggara pada pergantian abad ke-20 (Wulandari 2013:81).

Para pelacur Jepang yang ada di luar negeri ini (karayuki-san) mengirim penghasilan yang mereka terima dari bisnis mereka kekampung halamannya, artinya mereka turut membangun ekonomi Jepang pada saat itu. Peranan yang mereka mainkan, diakui atau tidak dikatakan luar biasa dalam pertumbuhan ekonomi negara (Wulandari 2013:89). Muraoka Iheiji, seorang mucikari besar ingat bahwa karayuki-san asuhannya telah mengirim uang kerumah sekitar 600.000 yen per tahun pada awal 1890-an. Pada tahun 1900, kantor pos Nagasaki telah melaporkan penerimaan lebih dari 200.000 yen per tahun dari karayuki-san di Asia Tenggara. Hal yang sama diakui juga oleh seorang pemikir Jepang terkemuka pada masa Meiji, Fukuzawa Yukichi. Ia menulis bahwa perempuan Jepang yang pergi keluar negeri untuk mencari uang, agar diakui secara resmi migrasinya keluar negeri telah memperkaya ekonomi negara. Selanjutnya ia mengatakan bahwa migrasi keluar negeri adalah jalan keluar untuk mengatasi kemiskinan didalam negeri, karena selam dua dekade abad dua puluh ekonomi Jepang belum cukup kuat untuk bersaing dengan kekuatan barat, dan belum dapat menyerap kelebihan populasi di wilayah pedesaan (Wulandari 2013:86).


(18)

Pada masa perang dunia I dan perang dunia II, kehidupan para pelacur Jepang termasuk dalam periode vakum. Perempuan Jepang dipaksa bekerja di pabrik (bidang industrialisasi) untuk membantu perang. Mengenai kehidupan seks para tentara Jepang, mereka membuat kata wanita kesenangan, yakni wanita yang secara sukarela memberikan seks kepada tentara Jepang. Namun, dalam faktanya wanita kesenangan itu adalah korban dari kejahatan perang. Mereka dipaksa untuk melayani kebutuhan seks para tentara Jepang, para wanita ini diculik dan diperkosa oleh tentara Jepang.

Setelah kekalahan Jepang dalam perang dunia II, Jepang diduduki oleh Amerika kurang lebih selama tujuh tahun (Agustus 1945 sampai April 1952). Pada awal 1933, militer Jepang di luar negeri beralih ke metode yang lebih otoriter untuk mengatur layanan seksual yang juga mengandung penyakit. Mereka

mendirikan yang mereka kenal dengan “stasiun kenyamanan” yang pada

kenyataannya menjadi situs perbudakan seksual (Kovner 2012:21). “Stasiun

kenyamanan” dibangun karena terjadinya pemerkosaan warga sipil cina yang

pertama terjadi pada insiden Shanghai 1932 dan skala yang lebih besar pada perang habis-habisan 1937. Pengalaman di luar negeri ini menyebabkan para pejabat Jepang takut bahwa pasukan pendudukan akan terlibat dalam pemerkosaan massal perempuan Jepang, sehingga mereka mengambil keputusan

untuk mengatur “stasiun kenyamanan” bagi tentara Amerika (Kovner 2012:22).

Didukung oleh banyaknya penyakit yang disebabkan baishun Jepang dan didorongnya kesadaran akan kemunduran moral akibat adanya baishun oleh aktivis Kristen di Jepang, maka pada tanggal 21 Mei 1956 pemerintah Jepang


(19)

mengeluarkan undang-undang anti baishun. Hal ini sesuai dengan tujuan dari undang- undang anti baishun Jepang pada pasal yang ke-1, yakni mengingat fakta bahwa baishun merusak martabat manusia, merusak moral seks, dan merusak akhlak yang baik dari masyarakat, untuk mencegah baishun dengan tindakan hukum, dll. Mempromosikan baishun dan pada saat yang sama dengan mengambil langkah- langkah untuk bimbingan sifat, perlindungan dan rehabilitasi perempuan seperti yang ditangkap dari karakter mereka dan perilaku dan lingkungan melacurkan (Wakabayashi 2003:164).

Banyak yang percaya alasan utama perempuan beralih ke baishun adalah

“kemiskinan”. Namun, pada tahun 1986 dan tahun 1997 survei pemerintah

menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen pelacur Jepang berasal dari kelas menengah (Wakabayashi 2003:152). Tingkat konsumerisme penduduk Jepang pada saat itu sangat tinggi. Keinginan para wanita Jepang untuk memiliki barang- barang mewah tidak sesuai dengan upah gaji yang didapatnya dari pekerjaan. Ada perbedaan kekuatan ekonomi yang signifikan antara pria dan wanita di Jepang. Pada tahun 2002, upah rata-rata wanita adalah 66,5 persen dari upah rata-rata pria (Wakabayashi 2003:152).

Baishun akibat konsumerisme juga terjadi di kalangan siswi Jepang.

Sebagai contoh, yang ditulis Kuronuma Katsushi dalam Liska, Yumi dan Sawako berusia 15 tahun dan merupakan siswi tahun ke-3 sekolah menengah pertama di suatu sekolah katholik khusus putri di Tokyo. Ayah Yumi adalah seorang lulusan sekolah hukum dan bekerja sebagai pegawai diperusahaan besar, sedangkan ayah Sawako adalah seorang insinyur. Yumi dan Sawako setiap bulan menerima


(20)

20.000 yen. Namun, menurut mereka uang saku tersebut tidak cukup memenuhi semua kebutuhan mereka, termasuk untuk pergi bermain serta berbelanja pakaian dan alat rias. Melalui setiap transaksi enjokosai mereka bisa mendapatkan minimal 50.000 yen. Sedangkan dalam kondisi terbaik, mereka bisa melakukan enjokosai tiga kali dalam sehari, sehingga dalam sebulan mereka dapat mengumpulkan sekitar 400.000- 500.000 yen (Liska 2011:65).

Baishun di Jepang sekarang dipenuhi oleh orang-orang luar negeri,

kebanyakan negeri-negeri yang sedang berkembang. Seperti yang disebutkan dalam bangkok post 25 desember 2013, The Polaris Project, sebuah organisasi non-pemerintah, memperkirakan bahwa ada sampai 54.000 korban perdagangan manusia yang dibeli dan dijual di Jepang setiap tahun. Laporan tersebut menyoroti kasus-kasus dimana perempuan dari Filipina, Thailand, dan korea selatan diperdagangkan ke Jepang untuk bekerja di Industri baishun.

Kutipan dalam Deutsche Wele 1 desember 2007, juga menerangkan bahwa wanita asal Filipina yang bekerja di industri baishun Jepang mengirim sekitar 100 juta dolar pertahun kembali kekeluarga mereka. Hal ini menunjukkan betapa besar penghasilan yang diterima Jepang dari industri baishun. Menurut berbagai laporan pendapat, diperkirakan industri baishun di Jepang menghasilkan 24 miliar dolar (2,3 triliun yen) pertahun (Japan Times, 29 april 2007).


(21)

BAB III

PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

3.1 Bentuk-bentuk Baishun dalam Sejarah Jepang

Dokumentasi paling awal dari baishun ditemukan setidaknya dari periode Nara (abad ke-8). Pelacur ini milik yurisdiksi kepala tertentu dari stasiun posting yang menyarankan mereka untuk mencari nafkah dengan menghibur orang, terutama wisatawan di kota- kota padat penduduk seperti Kyoto. Selama periode Kamakura, meningkatnya jumlah wisatawan antara Kyoto dan wilayah Kanto menyebabkan pertumbuhan perdagangan baishun. Sebagai populasi mereka yang meningkat, wanita kesenangan datang untuk diselenggarakan dibawah pemasok tertentu baishun seperti choja (kepala pelacur) atau selir penguasa lokal.

3.1.1 Baishun Tradisional 1. Asobi

Hampir tidak ada undang- undang tentang perdagangan seks dan komersiaalisasi lengkap ekonomi membuat sulit untuk membedakan pelacur yang dibayar dari mitra seksual yang diberi hadiah. Bahkan, banyak literatur tentang interaksi seksual dengan perempuan seperti asobi dipertahankan setidaknya dengan kesan bahwa yang mereka terima dianggap hadiah, bukan pembayaran. Namun, meskipun beberapa ahli berpendapat bahwa seks tidak diperdagangkan sampai abad ke empat belas, beberapa abad ke sebelas rekening mengacu pada

pertukaran layanan seks untuk pembayaran sebagai “dijual” oleh kali pertengahan

Heian, dengan kata lain tubuh seksual perempuan dapat diperlakukan sebagai komoditas dan layanan seksual perempuan sebagai tenaga kerja untuk menyewa.


(22)

Dalam hal ini asobi dan yang lain dapat dianggap sebagai baishun (Goodwin 2007:3).

Ada 2 teori yang menjelaskan awal mulanya asobi. Teori pertama berpendapat bahwa asobi ditelusuri garis keturunan mereka dari dukun perempuan yang beralih ke usaha sekuler hiburan dan baishun. Teori yang lain berpendapat bahwa tradisi menggabungkan performance dan baishun berasal dari benua asia dan dibawa ke Jepang oleh imigran benua.

Wamyosho merupakan sebuah kamus yang memberikan pengucapan dan etimologi istilah yang ditulis dalam aksara cina. Wamyosho berisi 3 istilah untuk perempuan yang memperdagangkan seks, yakni ukarame, asobi dan yahochi. Menurut salah satu sumber, mereka yang berkeliaran disiang hari disebut asobi, sementara mereka yang menunggu sampai waktu malam dan kemudian menawarkan seks terlarang (inbon) disebut yahochi. Sedangkan ukarame adalah asobi yang dikembangkan, disusun dalam kelompok, diperluas praktek mereka diluar perjamuan resmi, menetap di lokasi tertentu, yang diadopsi metode tanda tangan dan praktek melakukan dan menambahkan layanan seksual sebagai komponen rutin dalam paket hiburan mereka (Goodwin 2007:12).

2. Yujo

Pada zaman Edo, Tokugawa mengeluarkan perintah bahwa baishun dibatasi di daerah tertentu yang disebut Yukaku. Pelacur pada zaman edo dikenal dengan Yujo. Mereka ahli dalam tarian, musik, percakapan, dan hiburan lainnya, dan mereka beroperasi ditempat berlisensi seperti, Yoshiwara di Edo, Shimabara di Kyoto, Shinmachi di Osaka, Maruyamu di Nagasaki, dan Furuichi di dekat Ise.


(23)

Menurut Yuji, seorang wanita terlatih dalam musik dan menari yang tugasnya adalah menghibur dan melayani di perjamuan dan kadang-kadang tidur dengan pelanggan, dia disebut asobime/ yujo. The founder of japanese foklor Kunio Yanagida mengemukakan teori bahwa teori yujo berasal dari ichiyazuma yang berarti teman tidur semalam, dilakukan oleh miko, seorang wanita yang biasanya melayani dewa sebagai istri dewa di festifal malam dalam rangka mempromosikan kebebasan seksual (shinto tidak salam dalam hubungan seks sebagai hal yang rahasia, tetapi menganggap hal berpikiran terbuka dan menyenangkan). Sementara, sejarahwan Sadakiti Kita mengajukan teori sistem mingi korea yang datang ke Jepang. Mingi adalah seorang wanita korea yang perannya sama persis dengan yujo (Yuji 2004:1). Dengan mengacu pada pendapat tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa yujo adalah perkembangan dari asobi.

Menurut samurai archieve, peringkat yujo dibagi atas 2 periode yakni sebelum tahun 1750 dan setelah tahun 1750.

a. Peringkat yujo sebelum tahun 1750 yakni Tayu

(

)

, Koshi

(

), Tubone (

) dan yang terakhir adalah Hashi (

).

b. Peringkat yujo setelah tahun 1750 yakni Oiran

(

花 魁

), Chusan

Yobidashi

(

呼出昼三

), Chusan

(

昼三

), Tsukemawashi

(

), Zashikimochi

(

座敷持

)

, Heyamochi

(

部屋持

)

, Shinzo

(


(24)

3. Pelacur jalanan

Pelacur jalanan adalah pelacur illegal yang memperdagangkan seks tidak pada tempat yang disediakan shogun. Di kota- kota pelabuhan, perempuan yang sering menjual seks dikenal dengan Gejo (hamba perempuan). Dikota sekitar kompleks candi/kuil di Konpira, pelacur dikenal dengan chatate onna (gadis penyeduh teh), dan shakutori onna (gadis penuang minuman). Di Niigata perempuan yang menjual seks sering dijuluki goke (janda). Sedangkan shogun menyebut pelacur yang bekerja di perusahaan tetapi tidak di wilayah yang ditentukan sebagai meshi-mori onna (pelayan perempuan) dan sentaku onna (gadis loundry) (Stanley 2012:13).

4. Geisha dan Kabuki

Cobb dalam Maharani menyebutkan bahwa Geisha dapat diartikan terpisah menurut bentuk huruf kanjinya, yang berasal dari kantai kanji (huruf kanji dari masa Edo) yaitu gei dan sha. Gei brarti kemahiran atau penampilan. Sha berarti orang, jadi geisha berarti orang yang menampilkan atau memamerkan keterampilan atau kemahiran mereka. Sistem geisha timbul disekitar pertengahan periode Edo (1600-1868) dimasa feodal Jepang ini para samurai dan bangsawan memerlukan selingan dari tugas mereka sehingga mencari hiburan (Maharani 2005:13). Namun, geisha yang bekerja di Fukagawa okabasho, serta kabupaten yang lebih kecil seperti Yotsuya dan Ryogoku, yang melakukan apapun untuk mencari nafkah, dan mereka terkenal karena berhubungan seks dengan klien (Stanley 2012:67). Onmitsu Mawari, seorang inspektur rahasia shogun khawatir dengan meningkatnya popularitas perempuan yang bekerja sebagai geisha atas inisiatif sendiri. Dia melaporkan bahwa pekerjaan utama mereka mengajar


(25)

bernyanyi dan belajar shamisen, tetapi mereka akan menambah penghasilan mereka dengan keluar untuk menghibur di kapal dan di kedai teh dan kadang-kadang terlibat seks gelap dengan klien mereka.

Kabuki adalah kesenian tradisional Jepang yang berbentuk drama klasik

yang bertahan sampai saat ini masih digemari oleh rakyat Jepang. Kesenian ini muncul sebagai kesenian rakyat kota terutama kelas para pengrajin dan pedagang pada zaman Edo dalam pemerintahan Shogun Tokugawa (Renariah 2008:1). Tarian Okuni disebut Kabuki Odori, yang menggambarkan suatu kemegahan yang menjadi amat populer, tetapi di sisi lain para pemainnya melayani para pria penggemarnya sehingga terjadi baishun, sebagai akibat dari hal tersebut maka pada tahun 1629 Tokugawa melarang pertunjukkan kabuki wanita penghibur yang disebut Onna kabuki, karena shogun khawatir akan pengaruh sosial yang lebih buruk, dan sebagai pengganti dari Onna kabuki adalah wakashu kabuki (Renariah 2008:7)

3.1.2 Karayuki-san

Menurut kanjinya, karayuki-san berasal dari kata kara, yuki, dan san. Kara adalah suatu terminologi kuno yang memiliki makna pergi ke Cina sedangkan yuki bermakna pergi, tujuan atau “seorang yang pergi”. Sedangkan san adalah akhiran yang ditempelkan dibelakang nama atau profesi seseorang (wulandari 2013:72). Karayuki-san identik dengan baishun. Sone dalam Pangastoeti menyebutkan baishun yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Jepang diluar negaranya pada masa itu (Zaman Meiji) lazim disebut karayuki-san. Unsur hubungan seksual dan pembayaran memang dua hal yang terkait erat denga n


(26)

profesi karayuki-san karena mereka akan menerima pembayaran setelah melayani pelanggan. Jumlah karayuki san pada awal Meiji sekitar 100.000 orang, tersebar di enam wilayah yaitu Siberia, Manchuria, Kwantung, daratan Cina, Asia Tenggara, Amerika Utara, Amerika Selatan, Oceania, dan Afrika (Pangastoeti 2009:139).

3.1.3 Baishun Masa Pasca Perang Dunia II

Pada masa pasca perang dunia II, pemerintah membangun tempat baishun untuk melayani tentara sekutu yang menduduki Jepang. Tempat baishun terdiri dari red line dan blue line. Berdirinya red line sering disebabkan oleh bekas kuartal berlisensi sedangkan blue line diduga berdiri untuk bar baru dan restoran (Kovner 2012 :90).

Berbeda dengan panpan, yakni pekerja seks yang berkeliaran di jalan (Kovner 2012:76) . Panpan adalah fenomenea baru dengan arti pekerja seks di masa pasca perang dunia ke-II. Tokyo yang dimana 65 persen dari tempat tinggal hancur, taman Ueno menjadi tempat bagi masyarakat miskin dan tunaisma datang dan tempat terkonsentrasi dari panpan. Bahkan beberapa mengatakan bahwa itu adalah tempat budaya panpan berasal (Kovner 2012:79).

Penggunaan istilah populer panpan dalam pers yang terbagi atas youpan (western pan, dengan kata lain panpan khusus untuk orang asing) dan wapan (pan yang mengambil pelanggan orang Jepang) memperlihatkan bahwa panpan terlibat seks dengan laki-laki Jepang dan laki-laki asing (Kovner 2012:76)

Kanzaki Kiyoshi (aktivis sosial, wartawan, dan penulis pada masa pasca perang) membagi kriteria dari panpan. Dimulai dengan panpan tingkat rendah,


(27)

yakni yama no pan atau panpan yang tinggal diketinggian bukit-bukit di taman. Kelompok berikutnya adalah shita no pan, yakni panpan yang bekerja di taman dengan arah keluar dari selatan stasiun Asakusa. Kanzaki menganggap mereka lebih modern dengan menggambarkan mereka mengenakan pakaian barat yang norak, sepatu, dan beberapa memakai kimono yang berkualitas rendah. Kanzaki juga menguraikan yang lain, kategori yang kurang diinginkan, yang ia sebut dengan three-mat room (sanjou no heya) yaitu kamar yang hanya berukuran enam belas meter persegi (Kovner 2012:80).

3.1.4 Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Baishun Jepang Menurut survei dari kantor perdana menteri, baishun di Jepang beroperasi dalam 5 kategori, yaitu 1. Pejalan kaki (geishogata), 2. Hostes di bar dan tempat berlisensi lainnya yang diatur dalam hukum tentang perusahaan yang mempengaruhi moral publik (fuzokueigyougata), 3. Petugas kamar mandi (koshitsu yokujogata), 4. Hostes atau karyawan jenis baru dari tempat hiburan dewasa, seperti kamar mandi pribadi atau panti pijat (shin fuzokutengata), 5. Gadis panggilan (hakengata) yang datang ke hotel dan diatur melalui telepon (Wakabayashi 2003:153-154).

Dalam pertengahan tahun 1980-an, kantor perdana menteri memperkirakan bahwa streetwalkers menyumbang 15% dari pelacur, bar hostes 12%, kamar pembantu mandi pribadi 20%, hiburan hostes dewasa 11% dan gadis panggilan menyumbang 42% dari semua baishun (Wakabayashi 2003:154).

Sejalan dengan kategori yang dibuat oleh kantor perdana menteri, jenis-jenis industri seks di Jepang. Yang terdiri dari:


(28)

1. Soapland

Setelah undang-undang anti baishun disahkan pada tahun 1956, baishun tanpa ijin cepat berkembang. Beberapa rumah tua yang paling terkenal di

Yoshiwara menutup rumah bordil mereka, kebanyakan diubah menjadi Toruko (Turki) atau Toruko buro (permandian Turki). Toruko buro adalah pendahulu soapland. Pada tahun 1955 layanan seks beberapa toruko buro mulai beroperasi. Pada tahun 1984 seorang pemuda Turki memprotes bahwa nama negaranya ditunjuk untuk fasilitas baishun melalui duta besar Turki. Setelah protes oleh duta besar Turki tersebut, Toruko Buro berubah menjadi soapland. Diruangan soapland tersedia kamar mandi, kursi, dan tempat tidur. Seorang wanita sering menawarkan pijat telanjang dengan tubuh mereka (payudara, lidah dan pinggang) dan “layanan

penuh” yang berarti hubungan seksual yang illegal. Pelanggan membayar dimeja petugas untuk mandi tetapi membayar wanita secara seorangan untuk “layanan Penuh”.

2. Health fashion dan pink salons

Health fashion adalah panti pijat yang menawarkan oral seks. Dan pink salons yang disebut juga pin salo ini tidak dapat didefenisikan sebagai baishun karena wanita melayani seorang pria dengan lidah dan tidak berada dibawah hukum anti baishun. Sama seperti health fashion , hanya membutuhkan 30 menit atau satu jam diruang kecil yang berharga 10.000 yen. Tentang pink salons, pelanggan sedang minum minuman beralkohol di salon, lalu wanita datang ke pelanggan itu lalu ia melayani pelanggan dengan lidahnya di bawah kursi.


(29)

3. Image club

Pelanggan tidak puas dengan seks yang didapat dengan mudah. Image club datang dengan inovasi wanita yang menyamar sebagai perawat dan siswi

sekolah menengah atas untuk menambah kepuasan pelanggan. 4. Deri-Heru

Ini muncul pada akhir tahun 1990-an. Pijat zona sensitif seksual disebut seikan massage. Mereka beroperasi melalui jasa pengiriman kesehatan. Mereka pergi ke pelanggan di rumah maupun di hotel. Ini tidak mudah didefenisikan sebagai baishun. Berdasarkan kasus per kasus, beberapa wanita

memberikan layanan seks karena negosiasi. Pada masa itu di Jepang “servis”

menggunakan lidah wanita menguntungkan.

5. Kyubakura dan kyabajo (host Kyubakura)

Kyubakura adalah tempat hiburan dan kyabajo tidak selalu berarti

pelacur. Klub hostes adalah fitur umum di industri malam Jepang, instansi yang mempekerjakan staf terutama perempuan dan melayani laki-laki yang mencari minuman dan percakapan yang penuh perhatian. Kyabakura yang paling populer biasanya set biayanya mencapai 5000-9000 yen. Hostes yang disebut kyabajo umumnya disewa dari penampilan mereka atau kepribadian mereka. Dalam beberapa kyabakura, pelanggan dapat memeriksa wajah gadis (kyabajo) itu dipintu masuk. Mereka lalu menyalakan rokok, menuangkan minuman, menawarkan percakapan yang genit, dan bernyanyi di karoke dalam upaya menjaga pelanggan tetap terhibur. Hostes dapat dilihat sebagai mitra modern dari geisha, memberikan hiburan untuk upah.


(30)

6. Enjo Kosai (baishun remaja di Jepang)

Jumlah pelacur remaja mulai naik sekitar tahun 1974. Di tahun 1984 jumlahnya mencapai tingkat yang mengkawatirkan dan masih akan terus menaik. Badan Statistik Kepolisian Nasional di tahun 1995 menunjukkan bahwa anak dibawah umur mencapai 5841 orang perempuan terlibat di klub telepon atau kegiatan yang berhubungan dengan seks. Seperempat dari gadis-gadis itu masih duduk dibangku sekolah menengah pertama.

Sepertiga dari laporan kasus baishun di Jepang adalah remaja siswi sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas. Mereka disebut Enjo Kosai yang merupakan eufinisme yang digunakan di Jepang untuk baishun gadis

remaja. Seorang pria usia pertengahan (sekitar 40-50 tahun) akan mengencani gadis yang cukup muda untuk menjadi puterinya. Mereka mengenal satu sama lain melalui terekura (klub telepon yang merupakan jenis pink phone) yang sangat populer dikalangan remaja perempuan untuk menambah uang saku. Pria ini mungkin pergi ke restoran dan mengobrol atau pergi ke bioskop maupun ke hotel.

7. Pariwisata seks (tur)

Beberapa pria Jepang menggunakan wisata seks untuk membeli gadis-gadis remaja dan perempuan di negara-negara berkembang dengan alasan kurang ajar bahwa mereka membeli wanita untuk membantu kemiskinan di negara berkembang. Jika mereka pergi kesana dengan wisata seks, kerumunan perempuan berkumpul untuk menjual tubuh mereka di hotel.

Almarhum Yayori Matsui, seorang wartawan, mengatakan “jika


(31)

ada banyak cara kecuali melacur. Saya ragu apakah pria tersebut dapat menghormati perempuan yang mereka beli.

8. Perempuan non-Jepang

Meskipun laki-laki Jepang merupakan jumlah terbesar dari wisata seks asia, sebanyak 150.000 perempuan non-Jepang bekerja di baishun di Jepang, kebanyakan mereka bereasal dari Thailand, Filipina, dan wanita rusia. Mereka umumnya datang ke Jepang dengan alasan jalan-jalan atau belajar untuk menghindari hukum imigrasi yang kaku di Jepang dan mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan dari kabaret, penari atau pelacur sesuai dengan yang diberikan oleh makelar mereka.

3.2 Penyebab Perubahan Bentuk Baishun di Jepang 3.2.1 Penyebab Munculnya Baishun Tradisional Jepang

Munculnya baishun tradisional di Jepang berasal dari profesi penghibur yang muncul pada zaman Heian. Misalnya, pelacur pertama, disebut yukojofu (secara harafiah berarti gelandangan atau perempuan main-main), shirabyusi (penari dan penyanyi wanita) dan kugutsu (dalang).

Mereka muncul untuk mengharapkan hadiah dari hasil kerja mereka. Seperti dalam kasus yang dibuat Stanley, Yorinaga memanggil asobi dan kemudian ia menidurinya dan memberinya nasi dan beberapa hadiah bagus lainnya (Stanley 2006:26). Di kasus ini asobi tidak memainkan perannya sebagai penari tetapi membawa peran penarinya demi mendapat hadiah.

Kemiskinan pada masa feodal Jepang merupapakan satu alasan berkembangnya baishun di Jepang. Kaum petani sangat merasakan kemiskinan


(32)

akibat kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh shogun. Kebijakan yang paling menyiksa petani adalah kebijakan membayar pajak. Petani dibebani pajak tahunan (nengu) berupa hasil panen yang besarnya 50-60% dari hasil panen, bahkan di beberapa han(wilayah kekuasaan para daimyo) ada yang mencapai 70%. Ini berarti bagian yang harus diserahkan kepada pemerintah sebagai pajak dapat mencapai lebih dari setengah hasil panen secara keseluruhan. Sisanya yang kurang dari setengah digunakan untuk kebutuhan keluarga (Pangastoeti 2009:141). Kondisi petani yang sangat miskin inilah yang membuat para ayah(petani itu) menjual anak gadisnya (baik secara sukarela atau paksaan) untuk menutupi

kekurangan ekonomi keluarga. Seperti diceritakan dalam kasus Hatsu “Ayahku

kembali ke provinsi ini begitu miskin, ia harus menjual saya. Dia tidak bisa datang dan menarik belas kasihan disini dan dia memiliki banyak hal untuk dilakukan, jadi dia tidak bisa membantu saya.” (Stanley 2007:143)

Namun dibalik kemiskinan, ada alasan yang paling mendasar, yakni status perempuan pada saat itu yang diatur dalam kepatuhan konfusiansi yang menempatkan perempuan sebagai inferior (sanju kun), karena semasa kanak-kanak seorang harus tunduk kepada ayahnya, setelah menikah ia harus patuh kepada suaminya, dan setelah tua pun dia harus melayani putra sulungnya (Wulandari 2013:78).

Ideologi ini juga menyebabkan kasus dimana suami menjual istri mereka menjual istri mereka untuk menutupi kekurangan ekonomi keluarga. Seperti contoh kasus, pada tahun 1612, Masakage melaporkan bahwa penata rambut bernama Sakujo mempekerjakan istrinya Osen untuk membiayai perjalanan pulang kampungnya. Di kasus lain, Masakage melaporkan bahwa seorang pria


(33)

telah menggadaikan istrinya untuk mengumpulkan uang guna menutupi hutang ayah mertuanya (Stanley 2007:34). Penjualan istri ini terjadi karena bagi para rentenir tubuh perempuan pada umumnya dianggap sebagai aset dan bisa diklaim sebagai pembayaran pinjaman (Stanley 2007:34).

Pihak germo sendiri memanfaatkan kemiskinan petani dengan perekrutan yang berfokus pada daerah yang bertepatan dengan musim ketika petani lokal paling kasihan ; awal musim semi ketika toko-toko makanan menipis dan akhir musim panas ketika pajak mereka jatuh tempo (Stanley 2007:12)

Yukaku adalah tempat baishun berlisensi. Yukaku dibangun pertama kali

pada masa Toyotomi Hideyoshi pada tahun 1589. Selanjutnya Yukaku lain dibangun oleh pemerintahan Tokugawa yang berfungsi untuk menertibkan kegiatan baishun yang sudah marak terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa negara ikut ambil bagian dalam pembangunan baishun di Jepang. Dampak positif dari dibangunnya yukaku adalah negara menerima pajak dari pelacur di setiap rumah bordil yang dapa menambah penerimaan kas negara.

3.2.2. Penyebab Munculnya Karayuki-san

Schoorl dalam Pangastoeti membagi 4 faktor yang sering disebut faktor pendorong dan penarik (push and pull factors) yang melatarbelakangi seorang perempuan menjadi san. Kemiskinan, budaya, dan model dari karayuki-san yang sukses dapat dimasukkan ke dalam faktor pendorong, dan kondisi diluar Jepang sebagai faktor penarik (Pangastoeti 2009:140).


(34)

1. Kemiskinan

Memasuki Zaman Meiji (1868-1912), kondisi petani tidak banyak berubah. Modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah Meiji lebih diarahkan untuk mencapai sasaran Fukoku Kyoohei (negara kaya, militer kuat) (Pangastoeti 2009:141).

Selama deflasi Matsuka Masayoshi tahun 1880-an, komuditas pertanian jatuh hingga 50%, dan para petani skala kecil jatuh dallam kemiskinan parah. Akibatnya untuk bertahan hidup sebagian besar anak- anak petani mencari alternatif lain dengan menjadi buruh dikota- kota bahkan diluar negeri (Wulandari 2013:77).

Sebagian dari mereka mencari peruntungan di luar negeri baik atas kemauan sendiri ataupun tidak, adapula yang ditipu agen seperti kasus Ishimoto Sada (nama samaran). Ia lahir di Amakura pada tahun 1886,pada usia 16 tahun dia ditawari pekerjaan sebagai “sales girl” di perusahaan wol dengan gaji 40 yen perbulan. Suatu malam ia dipaksa untuk naik kapal dan segera meninggalkan pelabuhan. Setelah tiba di Singapura ia dijual ke rumah baishun dan dikirim ke jawa. Dari beberapa sumber, kasus yang dialaminya sama dengan perempuan-perempuan lain yang terjebak dalam bisnis baishun.

2. Budaya

Budaya patriarki yang berlaku saat itu mewajibkan perempuan yang telah menikah untuk mengabdi kepada suami secara total. Didalam hidupnya seorang perempuan dituntut agar mengabdi kepada tiga pihak (triple obedience) yaitu kepada ayahnya saat dia masih


(35)

muda dan belum menikah, kepada suaminya saat dia sudah berumah tangga dan kepada anak laki-lakinya saat dia tua (Pangastoeti 2009:142).

“Kepatuhan” yang menjadi landasan etika konfusianis membuat

kaum perempuan menerima perlakuan begitu saja. “Kepatuhan”

kepada kepala keluarga, merupakan suatu wujud kepatuhan keluarga kepada penguasa. Dengan demikian tubuh perempuan bukan semata- mata suatu privasi, tetapi adalah milik negara. Sehingga karayuki-san yang pergi keluar negeri memiliki loyalitas, dan ikatan batin yang kuat dengan negeri asalnya, yang akhirnya melahirkan sikap patriotisme bahwa mereka pergi untuk membantu negerinya (Wulandari 20013:79).

3. Model karayuki-san

Faktor pendorong berikutnya adalah model dari karayuki-san yang sukses, dan kriteria sukses ditentukan oleh kepemilikan materi. Jika karayuki mengacu pada perempuan yang pergi keluar negeri sebagai

pelacur, maka ada satu istilah yang bermakna sebaliknya, yaitu kara kudari. Istilah ini mengacu pada karayuki-san yang kembali

kekampung halamannya, lebih spesifik lagi yang sukses yakni pulang kampung dengan membawa uang yang banyak, kemudian membangun rumah yang mewah. Cincin emas dan tusuk konde yang mengkilap berlapis emas juga banyak membuat tetangga kagum. Penampilan seperti itu menunjukkan bahwa mereka mempunyai materi yang cukup, dan itu dimungkinkan karena mereka bekerja sebagai karayuki-san.


(36)

Jumlah mereka tidak banyak, tetapi pengaruhnya dalam memotivasi orang-orang dilingkungannya untuk menjadi karayuki-san cukup besar (Panganstoeti 2009:42).

4. Kondisi luar Jepang

Berikut adalah kondisi luar Jepang yang merupakan faktor penarik (pull factor) bagi perempuan Jepang untuk menjadi karayuki-san. Kondisi ini terkait dengan kebijakan pemerintah Jepang yang bermaksud mengembangkan kekuatan ekonomi ke selatan sebagai langkah awal membentuk wilayah koloni. Untuk wilayah asia tenggara, daya tarik terutama ada di Singapura yang pada akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20 telah menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh orang asing terutama Cina, Eropa, dan India (Panganstoeti 2009:42).

3.2.3 Penyebab Munculnya Baishun Pada Masa Pasca Perang Dunia ke II Pada 6 Agustus 1945, sebuah bom atom berkekuatan 12,5 TNT dijatuhkan di Hiroshima oleh pesawat perang Amerika B-29. Ledakan kolosal ini menyebabkan sekitar 100.000 orang Jepang binasa, menghancurkan kota Hiroshima, kota terbesar ke-7 di Jepang. Selain itu, pada 9 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Jepang Nagasaki, ledakan besar ini menghancurkan kota Nagasaki dan membunuh antara 60.000-70.000 orang (Koch 1999:3). Kehancuran kota dan kekalahan Jepang pada perang dunia ke II membuat Jepang mengalami kemiskinan. Sama seperti penyebab munculnya baishun tradisional dan karayuki-san, baishun pasca perang dunia ke II banyak diakibatkan oleh kemiskinan.


(37)

Sebuah laporan polisi mengungkapkan bahwa 60% dari pelacur mengatakan motivasi mereka adalah kesulitan ekonomi. Banyak yang harus membayar biaya pengobatan untuk suami atau anak- anak dan janda perang (Kovner 2012:81).

Tetapi motif untuk menjadi pekerja seks bukan hanya kesulitan ekonomi. Suatu survey pada tahun 1952 di Prevektur Kanagawa menunjukkan bahwa pekerja seks di pangkalan militer yang meayani klien Eropa-Amerika memiliki motif yang kompleks. Dalam survei periode lainnya, Takahashi Fuyo dari Kanagawa-Ken Women’s Rehabilitation Center, melaporkan bahwa survei ini mencaku 1.352 perempuan. Mereka didorong oleh teman- teman dan keluarga, mereka sebelumnya bekerja di tempat baishun, mereka ditipu oleh germo, atau mereka hanya ingin pindah ke daerah perkotaan dan melihat tidak ada cara lain selain baishun (Kovner 2012:82).

Itou Akiki, pekerja seks dalam panel yang sama, memiliki perspektif berbeda. Beberapa masukan dari masyarakat seperti karena kebutuhan, ingin tau, yang lain bergabung karena pemujaan ekstrim mereka teradap orang asing, ada juga mereka yang ditarik kedalamnya karena terpikat oleh seseorang (Kovner 2012:82).

3.2.4 Penyebab Munculnya Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Protitusi di Jepang

Penyebab munculnya baishun setelah disahkannya hukum baishun bukan lagi kemiskinan di Jepang, melainkan dikarenakan keinginan dan kemiskinan masyarakat di luar negeri Jepang yang ingin mencari kerja di Jepang.

Seperti yang ditulis oleh Torii,di Jepang alasannya idak kemiskinan, namun kemakmuran di hari ini. Dan baishun tidak dapat disingkirkan oleh hukum


(38)

tunggal di Jepang maupun negara lain. Setelah hukum pencegahan untuk menghapuskan baishun disahkan, Jepang berkembang menjadi negara besar secara ekonomi. Pria mengambil wisata keluar negeri (Korea, Filipina, Thailan dll) untuk membeli seks (Torii TT:108).

Sedangkan untuk baishun di dala Jepang sendiri, Torii menyebutkan beberapa alasan munculnya baishun, yakni :

1. Kekuatan ekonomi Jepang yang cepat berkembang

Ketika kita pergi ke departement store atau toko- toko lain, penuh dengan merek buatan Itali dan Perancis. Misalnya, tas prada, pakaian, tas chanel, dompet, gantungan kunci, sepatu ferragono, pakaian versace, menonton di Hermes, blus, lipstik Christian Dior dan kosmetik lainnya, dll. Saat ini wanita Jepang sangat ingin memiliki merek. Mereka umumnya memiliki beberapa merek. Juga siswi sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama di kota, mereka dikelilingi oleh merek yang mereka inginkan. Bahkan jika para siswi melakukan pekerjaan paruh waktu, mereka bisa mendapatkan 700 yen-800yen perjam.

Ini adalah atarbelakang terjadinya “Enjo Kosai” atau “Charitable Relations”. Karena Jepang adalah negara ekonomi yang besar, ada beberapa pria setengah baya yang memiliki uang yang bisa mereka gunakan sendiri.

2. Media massa yang merangsang keinginan

Banyak majalah yang biasa untuk wanita Jepang dan anak perempuan di usia remaja penuh dengan iklan merek. Terutama


(39)

para gadis yang terangsang keinginan materi mereka. Blue film, pornografi melalui media elektronik dianggap berbahaya dan pemerintah serta LSM berusaha untuk menghentikan itu. Saya telah melihat foto-foto telanjang di surat kabar tingkat pertama di Jepang, seperti “The Times of India” atau “The Hindustan Times” jika di India. TV yang ditonton anak-anak Jepang setiap hari mempertontonkan adegan seks dan adegan kekerasan destruktif di siang atau dimalam hari.

3. Teknologi baru yang membuat komunikasi lebih mudah

Hari ini kita dapat menghubungi siapa pun dengan diam-diam menggunakan pager, telepon genggam, komputer pribadi, maupun telepon. Ada banyak gadis yang menyebutkan klub kencan hanya untuk kesenangan dan untuk mengolok-ngolok pria setengah baya yang mesum yang sedang menunggu telepon dari gadis di sebuah klub kencan melalui telepon.

4. Hubungan manusia dan keluarga yang dangkal di Jepang

Dengan Jepang menjadi kaya, mereka menggunakan uang untuk melakukan segala sesuatu dengan mudah dan lancar. Jika kita pergi ke supermarket dan membayar uang, kita bisa membeli segala sesuatu tanpa bicara dengan siapapun. Kemasyarakatan menghilang di perkotaan di Jepang. Sebuah kompleks perumahan yang dibangun mulai tahun 1910an, warga kompleksnya telah meningkat, mereka tidak berbicara lagi


(40)

dengan tetangga mereka dan kadang-kadang tidak mengetahui tetangga mereka.

Semakin kita mencari kenyamanan dan efisiensi semakin kita dangkal dan kesepian. Hal ini juga menyatakan bahwa beberapa dari generasi muda tidak percaya keluarga dan otoritas., dan beberapa generasi muda menemukan bahwa masyarakat hanya berorientasi pada laki-laki. Itu seperti perkataan gadis muda “jika biasanya laki-laki bisa membeli perempuan, mengapa gadis tidak bisa menjual diri mereka sendiri? Apa salahnya hanya mendapat uang ekstra dari laki-laki?”. Meskipun baishun dilarang, jumlah pelacur di Jepang telah mencapai proporsi yang mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir (Torii TT:98-101).

Sedangkan baishun dari wanita luar negeri di Jepang banyak terjadi karena perdagangan manusia. Polaris Project Jepang dalam laporannya menguraikan cara brutal dimana banyak perempuan dan anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai pelacur diperlakukan pada saat kedatangan mereka di Jepang.

Setelah perempuan dan anak-anak dibawa ke Jepang, proses “bumbu” pelanggaran terjadi, biasanya terdiri dari geng pemerkosa, pemukulan, pemberian obat paksa, dan menginformasikan para korban bahwa mereka sekarang berutang kepada penyedia mereka dan bagaimana cara korban harus membayar mereka.

Para pelaku menggunakan jeratan hutang untuk mengeksploitasi perempuan di perdagangan seks Jepang yang besar. Mereka memaksakan utang


(41)

sampai 50.000 dolar. Metode jeratan hutang merupakan kontrol atas perdagangan manusia yang umumnya dimanfaatkan oleh pedagang budak seks di seluruh dunia. Yang disebut utang yang dikeluarkan oleh pedagang manusia karenabiaya yang berkaitan dengan perekrutan, pengadaan dokumen perjalanan, biaya perjalanan, makanan, akomodasi dan biaya pemeliharaan, dan biaya penyuapan yang dibayar kepada pemerintah dan aparat penegak hukum dan pembelian harga yang harus dibayar pembeli (Moen 2013:35-36).


(1)

Jumlah mereka tidak banyak, tetapi pengaruhnya dalam memotivasi orang-orang dilingkungannya untuk menjadi karayuki-san cukup besar (Panganstoeti 2009:42).

4. Kondisi luar Jepang

Berikut adalah kondisi luar Jepang yang merupakan faktor penarik (pull factor) bagi perempuan Jepang untuk menjadi karayuki-san. Kondisi ini terkait dengan kebijakan pemerintah Jepang yang bermaksud mengembangkan kekuatan ekonomi ke selatan sebagai langkah awal membentuk wilayah koloni. Untuk wilayah asia tenggara, daya tarik terutama ada di Singapura yang pada akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20 telah menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh orang asing terutama Cina, Eropa, dan India (Panganstoeti 2009:42).

3.2.3 Penyebab Munculnya Baishun Pada Masa Pasca Perang Dunia ke II Pada 6 Agustus 1945, sebuah bom atom berkekuatan 12,5 TNT dijatuhkan di Hiroshima oleh pesawat perang Amerika B-29. Ledakan kolosal ini menyebabkan sekitar 100.000 orang Jepang binasa, menghancurkan kota Hiroshima, kota terbesar ke-7 di Jepang. Selain itu, pada 9 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Jepang Nagasaki, ledakan besar ini menghancurkan kota Nagasaki dan membunuh antara 60.000-70.000 orang (Koch 1999:3). Kehancuran kota dan kekalahan Jepang pada perang dunia ke II membuat Jepang mengalami kemiskinan. Sama seperti penyebab munculnya baishun tradisional dan karayuki-san, baishun pasca perang dunia ke II banyak diakibatkan oleh kemiskinan.


(2)

Sebuah laporan polisi mengungkapkan bahwa 60% dari pelacur mengatakan motivasi mereka adalah kesulitan ekonomi. Banyak yang harus membayar biaya pengobatan untuk suami atau anak- anak dan janda perang (Kovner 2012:81).

Tetapi motif untuk menjadi pekerja seks bukan hanya kesulitan ekonomi. Suatu survey pada tahun 1952 di Prevektur Kanagawa menunjukkan bahwa pekerja seks di pangkalan militer yang meayani klien Eropa-Amerika memiliki motif yang kompleks. Dalam survei periode lainnya, Takahashi Fuyo dari Kanagawa-Ken Women’s Rehabilitation Center, melaporkan bahwa survei ini mencaku 1.352 perempuan. Mereka didorong oleh teman- teman dan keluarga, mereka sebelumnya bekerja di tempat baishun, mereka ditipu oleh germo, atau mereka hanya ingin pindah ke daerah perkotaan dan melihat tidak ada cara lain selain baishun (Kovner 2012:82).

Itou Akiki, pekerja seks dalam panel yang sama, memiliki perspektif berbeda. Beberapa masukan dari masyarakat seperti karena kebutuhan, ingin tau, yang lain bergabung karena pemujaan ekstrim mereka teradap orang asing, ada juga mereka yang ditarik kedalamnya karena terpikat oleh seseorang (Kovner 2012:82).

3.2.4 Penyebab Munculnya Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Protitusi di Jepang

Penyebab munculnya baishun setelah disahkannya hukum baishun bukan lagi kemiskinan di Jepang, melainkan dikarenakan keinginan dan kemiskinan masyarakat di luar negeri Jepang yang ingin mencari kerja di Jepang.

Seperti yang ditulis oleh Torii,di Jepang alasannya idak kemiskinan, namun kemakmuran di hari ini. Dan baishun tidak dapat disingkirkan oleh hukum


(3)

tunggal di Jepang maupun negara lain. Setelah hukum pencegahan untuk menghapuskan baishun disahkan, Jepang berkembang menjadi negara besar secara ekonomi. Pria mengambil wisata keluar negeri (Korea, Filipina, Thailan dll) untuk membeli seks (Torii TT:108).

Sedangkan untuk baishun di dala Jepang sendiri, Torii menyebutkan beberapa alasan munculnya baishun, yakni :

1. Kekuatan ekonomi Jepang yang cepat berkembang

Ketika kita pergi ke departement store atau toko- toko lain, penuh dengan merek buatan Itali dan Perancis. Misalnya, tas prada, pakaian, tas chanel, dompet, gantungan kunci, sepatu ferragono, pakaian versace, menonton di Hermes, blus, lipstik Christian Dior dan kosmetik lainnya, dll. Saat ini wanita Jepang sangat ingin memiliki merek. Mereka umumnya memiliki beberapa merek. Juga siswi sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama di kota, mereka dikelilingi oleh merek yang mereka inginkan. Bahkan jika para siswi melakukan pekerjaan paruh waktu, mereka bisa mendapatkan 700 yen-800yen perjam. Ini adalah atarbelakang terjadinya “Enjo Kosai” atau “Charitable Relations”. Karena Jepang adalah negara ekonomi yang besar, ada beberapa pria setengah baya yang memiliki uang yang bisa mereka gunakan sendiri.

2. Media massa yang merangsang keinginan

Banyak majalah yang biasa untuk wanita Jepang dan anak perempuan di usia remaja penuh dengan iklan merek. Terutama


(4)

para gadis yang terangsang keinginan materi mereka. Blue film, pornografi melalui media elektronik dianggap berbahaya dan pemerintah serta LSM berusaha untuk menghentikan itu. Saya telah melihat foto-foto telanjang di surat kabar tingkat pertama di Jepang, seperti “The Times of India” atau “The Hindustan Times” jika di India. TV yang ditonton anak-anak Jepang setiap hari mempertontonkan adegan seks dan adegan kekerasan destruktif di siang atau dimalam hari.

3. Teknologi baru yang membuat komunikasi lebih mudah

Hari ini kita dapat menghubungi siapa pun dengan diam-diam menggunakan pager, telepon genggam, komputer pribadi, maupun telepon. Ada banyak gadis yang menyebutkan klub kencan hanya untuk kesenangan dan untuk mengolok-ngolok pria setengah baya yang mesum yang sedang menunggu telepon dari gadis di sebuah klub kencan melalui telepon.

4. Hubungan manusia dan keluarga yang dangkal di Jepang

Dengan Jepang menjadi kaya, mereka menggunakan uang untuk melakukan segala sesuatu dengan mudah dan lancar. Jika kita pergi ke supermarket dan membayar uang, kita bisa membeli segala sesuatu tanpa bicara dengan siapapun. Kemasyarakatan menghilang di perkotaan di Jepang. Sebuah kompleks perumahan yang dibangun mulai tahun 1910an, warga kompleksnya telah meningkat, mereka tidak berbicara lagi


(5)

dengan tetangga mereka dan kadang-kadang tidak mengetahui tetangga mereka.

Semakin kita mencari kenyamanan dan efisiensi semakin kita dangkal dan kesepian. Hal ini juga menyatakan bahwa beberapa dari generasi muda tidak percaya keluarga dan otoritas., dan beberapa generasi muda menemukan bahwa masyarakat hanya berorientasi pada laki-laki. Itu seperti perkataan gadis muda “jika biasanya laki-laki bisa membeli perempuan, mengapa gadis tidak bisa menjual diri mereka sendiri? Apa salahnya hanya mendapat uang ekstra dari laki-laki?”. Meskipun baishun dilarang, jumlah pelacur di Jepang telah mencapai proporsi yang mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir (Torii TT:98-101).

Sedangkan baishun dari wanita luar negeri di Jepang banyak terjadi karena perdagangan manusia. Polaris Project Jepang dalam laporannya menguraikan cara brutal dimana banyak perempuan dan anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai pelacur diperlakukan pada saat kedatangan mereka di Jepang.

Setelah perempuan dan anak-anak dibawa ke Jepang, proses “bumbu” pelanggaran terjadi, biasanya terdiri dari geng pemerkosa, pemukulan, pemberian obat paksa, dan menginformasikan para korban bahwa mereka sekarang berutang kepada penyedia mereka dan bagaimana cara korban harus membayar mereka.

Para pelaku menggunakan jeratan hutang untuk mengeksploitasi perempuan di perdagangan seks Jepang yang besar. Mereka memaksakan utang


(6)

sampai 50.000 dolar. Metode jeratan hutang merupakan kontrol atas perdagangan manusia yang umumnya dimanfaatkan oleh pedagang budak seks di seluruh dunia. Yang disebut utang yang dikeluarkan oleh pedagang manusia karenabiaya yang berkaitan dengan perekrutan, pengadaan dokumen perjalanan, biaya perjalanan, makanan, akomodasi dan biaya pemeliharaan, dan biaya penyuapan yang dibayar kepada pemerintah dan aparat penegak hukum dan pembelian harga yang harus dibayar pembeli (Moen 2013:35-36).