Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Branchless Banking dalam Peraturan Perbankan di Indonesia T1 312009064 BAB II

(1)

13

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Pustaka

1. 1. Pengertian Branchless Banking

Branchless Banking atau dalam terjemahan bebas berarti perbankan tanpa cabang merupakan kegiatan baru dalam industri perbankan, yang mana masyarakat dapat melakukan transaksi perbankan tanpa harus datang ke kantor bank.1

Literatur terkait dengan Branchless Banking di Indonesia pada saat ini masih sedikit, oleh karena itu Penulis menjabarkan pada bab ini menggunakan sumber bacaan dari luar negeri, yaitu, Consultative Group to Assist the Poor memberikan memberikan pengertian Branhless banking, sebagai berikut :2

“CGAP defines Branchless Banking as the delivery of financial services outside conventional Bank branch using information and communications technologies

and retail agents”

Branchless Banking didefinisikan sebagai pemberian jasa keuangan yang dilakukan diluar kantor cabang bank konvensional dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi serta agen ritel bukan bank.

CGAP sendiri merupakan konsorsium kebijakan dan penelitian independen yang didesikasikan untuk memajukan akses keuangan bagi masyarakat miskin dunia. Hal ini didukung oleh lebih dari 34 lembaga pembangunan dan yayasan swasta yang memiliki misi umum untuk mengurangi kemiskinan. CGAP berkedudukan di World Bank,

1

Nurjipto, 0609496996, Aspek Hukum Penggunaan Agen Dalam Kegiatan Branchless Banking di Perbankan Indonesia, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 26 Juni 2012, H. viii

2

http://www.cgap.org/gm/document-1.9.2319/Brazil-Notes-On-Regulation-Branchless-Banking-2008.pdf, dikunjungi pada tanggal 13 oktober 2015 pukul 02:25


(2)

14

menyediakan intelejen pasar, mempromosikan standar, mengembangkan solusi inovatif dan menawarkan layanan konsultasi kepada pemerintah, penyedia jasa keuangan donor dan investor.3

Sedangkan di Indonesia sendiri pemahaman Branchless Banking sendiri menggunakan istilah Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif yang disebut Laku Pandai yang diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No/ 19/ POJK.03/ 2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif. Peraturan tersebut menjelaskan Laku Pandai sebagai berikut:4

Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka KeuanganInklusif yangselanjutnya disebut Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layananperbankan dan/atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidakmelalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak laindan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.

1. 2. Asas dan Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Resiko dalam

Undang-undang Perbankan

Kesadaran akan perlunya suatu sistem pengaturan prinsip kehati-hatian pada mulanya menjadi perhatian Committee on Banking Regulations and Supervisory Practices (Basel Committee) tahun 1988 yang keanggotaannya terdiri dari para gubernur bank sentral. Basel committee merekomendasikan agar negara pesertanya mengadopsi dan menerapkan prinsip prudential regulation dan pengawasan terhadap perbankan. Rekomendasi itu dituangkan dalam Basel Accord I dan disempurnakan dalam Basel Accord II. Bank Indonesia menuangkan prinsip prudential dan pengawasan berdasarkan rekomendasi Basel Committee tersebut dalam berbagai peraturan. Ketentuan itu antara lain tentang kewajiban penyediaan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit,

3

http://www.cgap.org/p/site/c/abotus/dikunjungi pada tanggal 13 oktober 2015 pukul 02:48

4

Pasal 1angka3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/ POJK.03/ 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka keuangan inklusif


(3)

15

kualitas aktiva produktif, kewajiban penyisihan penghapusan aktiva produktif, restrukturisasi kredit, dan laporan keuangan tahunan. Bank Indonesia mengadopsi Basel Acccord dalam peraturan mengenai posisi devisa neto, pengawasan likuiditas, prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal, prinsip kehati-hatian dalam transaksi efek beragun aset maupun ketentuan yang bersifat self regulatory banking yang mewajibkan bank menyusun ketentuan internal mengenai pedoman manajemen risiko.5

Prinsip kehati-hatian mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Pengaturan prinsip kehati-hatian dalam perbankan menyangkut pelayanan jasa-jasa perbankan maupun dalam hal penghimpunan dan penyaluran dana dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam sistem perbankan digunakan sebagai perlindungan secara tidak langsung oleh pihak bank terhadap kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya di bank. Prinsip ini digunakan untuk mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian dari suatu kebijakan dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Prinsip ini diatur dan ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-undang No.7 Tahun 1992 junto Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang

Perbankan yaitu: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan

demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Prinsip kehati-hatian

5

http://www.scribd.com/doc/24402673/Makalah-Manajemen-Risiko-RBS-Sertifikasi- Perbankan, Oleh:

Scribd RBS, “Manajemen Risiko Perbankan dan Peranan Risk-Based Supervision dalam Penilaian Efektivitas


(4)

16

merupakan prinsip terpenting yang wajib diterapkan oleh bank-bank dalam menjalankan kegiatan usahanya sebab bisnis perbankan adalah bisnis yang berdasarkan kepercayaan.

Prinsip ini telah dinormatifkan dalam peraturan perbankan di Indonesia misalnya dalam Pasal 2 Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Penormatifan prinsip kehati-hatian dalam Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan berarti suatu penegasan yang secara implisit bahwa prinsip kehati-hatian ini sebagai salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan dan dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.6

Penegasan prinsip kehati-hatian juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang

menegaskan: ”Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan

kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubung-an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”. Tidak ada alasan bagi bank-bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi serta berpegang teguh pada prinsip ini. Hal ini mengandung makna bahwa segala sesuatu perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat harus senantiasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3)

6

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan Keempat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, H.134.


(5)

17

Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, terkandung secara eksplisit prinsip kehatihatian dalam hal penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada nasabah debitor. Ketentuan tersebut

menegaskan: ”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah

dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”. Hal ini dilaksanakan selain bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian pada bank juga memberikan perlindungan kepada kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya. Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan mulai dari Pasal 29 s/d Pasal 37-B, tampak penegasan prinsip ini termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Prinsip kehati-hatian merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Menurut Anwar Nasution, ketentuan prinsip kehati-hatian dalam undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit.7 Tanggung jawab bank terhadap nasabahnya tampak pula dalam penegasan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10

Tahun 1998 tentang Perbankan yang menegaskan: ”Untuk kepentingan nasabah, bank

wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. Dalam ketentuan secara eksplisit pula terkandung prinsip kehati-hatian yang mewajibkan bagi bank

7

Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka

Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”, Makalah disampaikan pada Seminar

tentang Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, Departemen Kehakiman, BPHN, di Hotel Indonesia Jakarta, pada tanggal 24-25 Juni 1997, H 2


(6)

18

menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

2. Pengaturan Branchless Banking

a. Menurut Undang – undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagai mana telah diubah dengan Undang – undang Nomor 10 Tahun 1998.

Dalam undang – undang ini yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.8 Sedangkan Bank sendiri didefinisikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.9 Undang – undang ini mengatur bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terdahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang – undang tersendiri.10 Dalam rangka menghimpun dana tersebut, Bank membutuhkan sarana guna tercapainya kebijakan penghimpunan dana melalui ekspansi pembukaan kantor – kantor Bank. Undang – undang telah mengatur bahwa hanya Bank sebagai badan usaha yang

8

Pasal 1 angka 1 Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang nomor 10 Tahun 1998

9

Ibid

10

Di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau semacam simpana, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pension, atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga – lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha perbankan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1). Kegiatan penghimpunan dana dari masyarkat yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tersebut, diatur dengan undang – undang tersendiri


(7)

19

melakukan kegiatan usahanya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Dan apabila Bank hendak membuka kantor – kantor Bank sebagai sarana ekspansi kegiatan usahanya, wajib terdahulu mengajukan izin pembukaan kantor kepada Bank Indonesia.11 Pengaturan ini secara tegas menunjukkan bahwa kegiatan usaha penghimpunan dana dari masyarakat tidak boleh dilakukan oleh badan usaha lain selain Bank dalam pembukaan kantor – kantornya pun, Bank wajib memperoleh ijin atau penugasan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kegiatan penghimpunan dana dilakukan oleh bank hal ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang – undang Perbankan. Dalam Undang – undang Perbankan tersebut tidak dijelaskan bahwa ada pihak lain selain Bank yang dapat menghimpun dana tersebut. Tidak diperkenankannya pihak selain Bank untuk menghimpun dana masyarakat, ini merupakan bagian dari perlindungan yang dilakukan negara untuk melindungi nasabah baik terhadap simpanan maupun terhadap rahasia nasabah. Hanya saja dalam praktek terdapat badan usaha lain yang dapat menjalankan fungsi dari Bank tersebut. Pihak diluar Bank mampu menghimpun dana dari masyarakat yang fungsinya sama dengan Bank umum, mulai dari mendeposit atau menarik dana dari akun e – money nasabah transfer dana, pembayaran tagihan / pajak, pengajuan dan pencairan peminjaman pembukaan rekening dan pengjajuan aplikasi kartu kredit. Hanya saja pihak diluar Bank tersebut merupakan perpanjangan tangan dari Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat. Pihak diluar Bank tersebut dalam melakukan usahanya tetap

11

Selengkapnya dalam Pasal diatur (1) pembukaan kantor cabang bank umum hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan bank Indonesia. (2) pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis – jenis kantor lainnya diluar negeri dari bank umum hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan bank Indonesia. (3) pembukaan kantor dibawah kantor cabang bank umum wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada bank Indonesia. (4) persyaratan dan tata cara pembukaan kantor bank umum sebgaiaman dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Bank Indonesia.


(8)

20

menggunakan prinsip kehati – hatian sesuai Pasal 2 Undang – undang Perbankan yang selanjutnya diatur kembali oleh Peraturan Bank Indonesia No 13/25/PBI/ 2011 tentang Prinsip kehati- hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain.

Adapun beberapa peraturan Bank Indonesia yang terkait pelaksanaan fungsi Bank kepada pihak diluar Bank, yaitu :

1) Peraturan Bank Indonesia No 13/25/PBI/ 2011 tentang Prinsip kehati- hatian

bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain.

Penyerahan sebagian pelaksanaan yang dilakukan oleh bank merupakan usaha bank dalam melaksanakan fungsinya sebagai penghimpun dana dan penyalur dana masyarakat. Penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak lain dilakukan oleh Bank agar Bank dapat berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dalam praktek ini juga sejalan dengan perundang-undangan yang belaku. Penyerahan kepada pihak lain tentunya berpotensi menimbulkan dan meningkatkan resiko bagi bank sebagai lembaga intermediasi. Fungsi Bank sebagai lembaga intermediasi khususnya dalam penyaluran kredit mempunyai peranan penting bagi pergerakan roda perekonomian secara keseluruhan dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.12 Hal inilah yang menjadi latar belakang Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan tentang penyerahan sebagaian pelaksanaan kegiatan usaha Bank tersebut. Dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak

12

Sentosa Sembiring, keberadaan Bank sebagai lembaga intermediasi dalam memajukan kesejateraan masyarakat, percikan gagasan tentang hukum IV; mewujudkan keadilan sosial ditengah arus perubahan hukum sosial buday, politik dan ekonomi diIndonesia, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung, 2013, H. 261.


(9)

21

Lainyang selanjutnya disebut Alih Daya adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan Penyedia Jasa melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau melalui perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja. Pelaksanaan alih daya tidak menghilangkan tanggung jawab Bank atas akibat dari tindakan yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa dalam melaksanakan pekerjaan yang dialihkan, termaksud apabila terdapat tindakan yang merugikan Nasabah. Sebagai contoh, ketika seorang nasaba dirugikan oleh oknum debt collector maka Bank harus yang bertanggung jawab. Peraturan Bank Indonesia ini tidak mengalihdayakan pekerjaan atau profesi bank tersebut, melainkan Peraturan Bank Indonesia juga mengatur secara tegas dan jelas tentang jenis-jenis pekerjaan Bank yang tidak dialihdayakan. Bank hanya dapat mengailhdayakan pekerjaan penunjang alur dari kegiatan kegiatasn usaha Bank, sehingga Bank tidak diperbolehkan melakukan alih daya pada pekerjaan pokok dari Bank. Yang dimaksud dengan “alur” adalah serangkaian pekerjaan dari awal sampai akhir dari suatu pendukung usaha, misalnya alur pemberian kredit mencakup pekerjaan pemasaran, analisis kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, dan penagihan kredit.13 Contoh pekerjaan penunjang pada kegiatan usaha Bank misalnya alur pemberian kredit antara lain pekerjaan call center, pemasaran dan penagihan.14 Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan pendukung usaha antara lain pekerjaan yang dilakukan oleh sekretaris, agendaris, resepsionis, petugas kebersihan, petugas keamanan,pramubakti, kurir, data entry, dan pengemudi.15

13

Nurjipto, 0609496996, Aspek Hukum Penggunaan Agen Dalam Kegiatan Branchless Banking di Perbankan Indonesia, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 26 Juni 2012,H. 81

14

Ibid

15


(10)

22

Bank Indonesia telah mengatur hal – hal apa saja yang dapat dilakukan sebagai pendukung usaha kegiatan Perbankan, yang termuat didalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang menyatakan :

(1) Dalam rangka Alih Daya, kegiatan Bank dikategorikan sebagai berikut :

a. kegiatan usaha; dan

b. kegiatan pendukung usaha.

(2) Dalam setiap kegiatan usaha dan kegiatan pendukung usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Bank dapat menyerahkan tugas kegiatan usahanya sesuai yang terdapt dalam Undang – undang Perbankan. Bukan hanya itu bank dapat bekerja sama dengan badan lain untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pendukung usaha.

2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/Pbi/2014 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/Pbi/2009 Tentang Uang Elektronik (Electronic Money)

Uang elektronik merupakn perluasan jaringan masyarakat untuk memperoleh jasa pembayaran secara digital. Masyarakat dapat melakukan pembayaran atau transfer dana menggunakan uang elektornik, hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 angka 4 Nilai Uang Elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik pada suatu media


(11)

23

server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana.

Dalam memanfaatkan uang elektronik Bank tidak dapat melakukan usaha sendiri, hal ini harus dilakukan melalui kerja sama dalam hal kegiatan pendukung usaha. Hal ini juga yang menjelaskan bahwa kegiatan Perbankan bukan hanya dilakukan oleh Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat tetapi juga dilakukan oleh pihak lain diluar Bank. Kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan Pasal 11A ayat (1) dilakukan dalam rangka fasilitator registrasi pemegang, pengisian ulang, pembayaran tagihan, Tarik tunai, penyaluran program bantuan pemerintah kepada masyarakat, dan penyediaan sarana dan insfrastruktur pendukung penyelenggaraan Uang Elektronik. Pihak lain tersebut yang bekerjasama dengan penerbit dalam rangka penyediaan fasilitas uang elektronik berupa penyelenggaran transfer dana atau badan usaha berbada hukum Indonesia. Adapun syarat penyelenggara transfer dana ialah; telah memperoleh izin dari Bank Indonesia, menempatkan deposit pada Penerbit dengan jumlah sesuai yang ditetapkan Penerbit, lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh penerbit.

Dalam perkembangannya Bank Indonesia memberikan pengaturan tentang layanan keuangan digital. Penyelenggaran keuangan digital dilakukan oleh Bank melalui kerja sama agen Layanan Keuangan Digital (LKD). Agen LKD tersebut merupakan penyelenggara transfer dana atau badan usaha berbadan hukum, dan/atau individu. Agen LKD individu harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan di Pasal 24E yaitu :


(12)

24

b. Memiliki usaha yang sedang berjalan dengan lokasi anda tetap paling singkat 2 (dua) tahun;

c. Lulus proses uji tutas (due diligence) oleh penerbit berupa Bank;

d. Menempatkan deposit dengan jumlah sesuai yang ditetapkn Penerbit berupa Bank. Dalam hal tanggung jawab Penerbit wajib bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan oleh agen LKD. Sehingga Penerbit harus menerapkan prinsip kehati – hatian sesuai Undang – undang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia No 13/25/PBI/ 2011 tentang Prinsip kehati- hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain

b. Menurut Undang – undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa keuangan.

Menurut Undang – undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan, untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang –


(13)

25

undang ini16. Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang17:

1) pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

a) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank

b) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa

2) pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

a) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank

b) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank c) sistem informasi debitur

d) pengujian kredit (credit testing) e) standar akuntansi bank

3) pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehatihatian bank, meliputi:

a) manajemen risiko b) tata kelola bank

c) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang

d) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatanPerbankan

4) pemeriksaan bank

16

Pasal 1 ayat 1 Undang – undang nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

17


(14)

26

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana, OJK mempunyai wewenang18:

a) menetapkan peraturan pelaksanaan Undang - undang ini

b) menetapkan peraturan perundang-undangan di sector jasa keuangan c) menetapkan peraturan dan keputusan OJK

d) menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sector jasa keuangan. e) menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK

f) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan danpihak tertentu

g) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan

h) menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban

i) menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangandi sektor jasa keuangan.

18


(15)

27

Untuk mencapai tujuan dari dibentuknya Otoritas jasa keuangan, perlu didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik, yang secara terus menerus melakukan reformasi terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu komponen penting dalam sistem perokonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional. Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional19. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa Branchless Banking sebagai lembaga layanan jasa perbankan memiliki fungsi intermediasi bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Sehingga sebagai lembaga yang memiliki peran dalam layanan keuangan perlu juga diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Bila diamati, undang-undang Otoritas Jasa Keuangan belum mengakomodasi pengaturan bentuk pengawasan bank, baik bank umum maupun brancless banking. Pengawasan bank yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada prinsipnya terbagi atas dua jenis, yaitu pengawasan dalam rangka mendorong bank-bank untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjada kestabilan moneter (macro-economic supervision) dan pengawasan yang mendorong agar bank secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential supervision)20. Tentu saja dibentuknya branchless banking yang memiliki fungsi intermediasi lebih berperan dalam masyarakat. Dalam hal ini OJK perlu mengawasi, demi kesesuaian tujuan prudential supervision, tujuan prudential supervision adalah

19

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014. H. 109

20


(16)

28

mengupayakan agar setiap bank secara individual sehat dan aman, serta keseluruhan industri perbankan menjadi sehat dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat21. Ini berarti bahwa setiap branchless banking sendiri harus dijauhkan dari segala kemungkinan risiko.

c. Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014

Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif Laku Pandai disingkat dari Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif, yaitu Program penyediaan layanan perbankan dan/atau layanan keuangan lainnya melalui kerjasama dengan pihak lain (agen bank) dan didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.22 Masih banyak anggota masyarakat yang belum mengenal, menggunakan dan/atau mendapatkan layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya, antara lain karena bertempat tinggal di lokasi yang jauh dari kantor bank dan/atau adanya biaya atau persyaratan yang memberatkan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri perbankan, dan industri jasa keuangan lainnya berkomitmen untuk mendukung terwujudnya keuangan inklusif. Pemerintah Indonesia mencanangkan program Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) pada bulan Juni 2012, yang salah satu programnya adalah branchless banking. Branchless banking yang ada sekarang perlu dikembangkan agar memungkinkan layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya menjangkau segenap lapisan masyarakata di seluruh Indonesia Produk yang dapat

21

Ibid

22

http://www.ojk.go.id/Files/box/laku-pandai/buku-saku.pdf di akses pada tanggal 24 november 2015


(17)

29

disediakan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang menyelenggarakan Laku Pandai antara lain23:

1) Tabungan;

2) Kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro; 3) Asuransi mikro; dan/atau

4) Produk keuangan lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.

Produk-produk yang disediakan dalam program ini adalah tabungan dengan karakteristik Basic Saving Account (BSA), kredit atau pembiayaan kepada nasabah mikro, dan produk keuangan lainnya seperti Asuransi Mikro. Karakteristik Basic Saving Account (BSA) antara lain:

1) tanpa batas minimum baik untuk saldo maupun transaksi setor tunai

2) ada batas maksimum saldo dan transaksi pendebetan rekening yang ditetapkan oleh Bank namun kedua batas tersebut tidak boleh melebihi batas yang ditetapkan di Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), yaitu untuk saldo setiap saat maksimum Rp20juta dan untuk transaksi debet kumulatif selama sebulan maksimum (Rp5juta) 3) tanpa biaya administrasi bulanan dan tidak dikenakan biaya untuk pembukaan dan

penutupan rekening, dan transaksi pengkreditan rekening

23

Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif


(18)

30

Gambar Karakteristik dari Basic Saving Account (BSA)

Bank Umum yang dapat menyelenggarakan Laku Pandai harus memenuhi persyaratan yang telah di tetapkan peraturan OJK. adapun persyaraan ialah: Pertama, Bank tersebut harus berbadan hukum; Kedua; memiliki peringkat profil risiko, tingkat risiko operasional dan risiko kepatuhan dengan peringkat 1, 2 atau peringkat 3; Ketiga, memiliki jaringan kantor di Wilayah Indonesia Timur dan/atau Provinsi Nusa Tenggara Timur; Keempat, memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan layanan transaksi elektronik bagi nasabah berupan Short Message Service (SMS) / Mobile Banking dan Internet Banking. Walau demikian terdapat pengecualian bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah atau Bank yang berkantor pusat di luar provinsi DKI Jakarta.

Bank penyelenggara Laku Pandai tentu tidak bisa dipisahkan dengan Agen dalam penyelenggaraannya. Kerjasama dengan agen sangat diperlukan agar Bank dapat menggapai masyarakat yang belum terlayani jaringan kantor Bank. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 Peraturan OJK tentang Laku Pandai, agen yang bekerjasama


(19)

31

dengan Bank antara lain, Agen Perorangan dan/atau Agen berbadan Hukum. Adapun syarat agar menjadi agen diatur Pasal 17 dan 18, yaitu:

1) Agen Perorangan

Perorangan dapat menjadi Agen harus memenuhi persyaratan

a) Bertempat tinggal di lokasi tempat penyelenggaraan Laku Pandai b) Memiliki kemampuan, reputasi, kredibilitas dan integritas yang baik

c) Memiliki sumber penghasilan utama yang berasal dari kegiata usaha dan/atau kegiatan tetap lainnya selama paling singkat 2 (dua) tahun

d) Belum menjadi Agen dari Bank Penyelenggara Laku Pandai yang kegiatan usahanya sejenis

e) Lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Bank peyelenggara Laku Pandai 2) Agen Berbadan Hukum

Badan hukum yang menjadi Agen Laku Pandai harus memenuhi syarat antara lain a) Berbadan hukum Indonesia yang Diawasi oleh otoritas pengatur dan pengawasan

dan diperkenankan melakukan kegiatan di bidang keuangan atau merupakan perusahaan dagang yang memiliki jaringan retail outlet

b) Memiliki reputasi, kredibilitas, dan kinerja yang baik

c) Memiliki usaha yang menetap di satu lokasi dan masih berlangsung paling singkat 2 tahun

d) Mampu melakukan manajemen likuiditas sesuai yang dipersyarakatkan oleh Bank penyelenggara Laku Pandai

e) Mampu menyediakan sumber daya manusia yang memunyai kemampuan teknis untuk mendukung penyelenggaraan Laku Pandai


(20)

32

f) Memiliki teknologi informasi yang memadai untuk mendukung penyelenggaraan Laku Pandai

g) Lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Bank penyelenggara Laku Pandai Tentu saja terdapat perbedaan antara kerjasama antara agen perorangan dan agen berbadan hukum. Dimana Agen perorangan disyaratkan belum bekerjasama dengan Bank Lain mengenai Laku Pandai sedangkan Agen berbadan hukum dapat bekerjasama dengan Bank Penyelenggara Laku Pandai lain selama Agen tersebut dapat memberikan pelayanan dengan baik.

Tadi telah dijelaskan bahwa tabungan dalam bank ini berkarakteristik Bank Savic Account (BSA). Dalam membuka tabungan yang berkarakteristik Bank Savic Account (BSA) tentu saja Agen tetap menerapkan prosedur Costumer Due Dilligence (CDD), hanya saja penerepannya lebih sederhana. Agen meminta informasi kepada calon nasabah mencakup:

a) Nama lengkap

b) Alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dana lama domisili apabila ada c) Tempat dan tanggal lahir

d) pekerjaan

Dalam Pasal 30 ayat (2) diterangkan hal yang sederhana tersebut tidak dapat diterapkan kepada calon nasabah apabila terkait; Pertama, terdapat ketidaksesuaian profil calon nasabah; Kedua, Calon nasabah merupakan Polittically Exposed Person (PEP); Ketiga, terdapat dugaan terjadi transaksi pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Jika dalam hal membuka tabungannya nasabah tidak memenuhi CDD, Bank dengan bantuan Agen wajib melakukan CDD ulang hal ini diatur dalam Pasal 32 Peraturan Laku Pandai.


(21)

33

Kemungkinan Risiko dalam Laku Pandai bukan sesuatu yang tidak mungkin, hal tersebut agaknya sulit untuk dihindari apalagi lagi Laku Pandai yang memanfaatkan perkembangan Telekomunikasi dan Teknologi Informasi. Dalam kaitan ini, rupanya Peraturan ini telah mengantisipasi hal tersebut. Hal ini terlihat dalam dalam Bab VI Pasal 33 Peraturan Laku Pandai ini. Dalam ketentuannya, Bank wajib menerapkan prinsip-prinsip pengendalian pengamanan data nasabah dan transaksi e-banking pada sistem elektronik. Pengendalian pengamana data nasabah dan transaksi e-banking pada sistem elektronik mencakup kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), ketersediaan (availability), keaslian (authentication), tidak dapat diingkari (non repudiation), pengendalian otorisasi dalam sistem, database, dan aplikasi (authorization of control), pemisahan tugas dan tanggung jawab (segregation of duties) dan pemeliharaan jejak audit (maintenance of audit trails)24. Selanjutnya mengenai Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi informasi Oleh Bank Umum diatur tersendiri oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/15/PBI/2007.

3. Sistem Hukum Perbankan

Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo diibaratkan sebagai gambar mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti gambar semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri terlepas hubungannya dengan yang lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi antar bagiannya. Kalau sampai terjadi konflik, maka akan

24

Lihat Penjelasan Pasal 33 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif


(22)

34

diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri, sesuatu kebersisteman hukum sangat dibutuhkan, menurut Scholten suatu perintah (penulis: dalam hukum) yang bertentangan menghapus dirinya sendiri, suatu penataan yang melawan dirinya sendiri adalah kekacauan, setiap ketentuan undang-undang harus selalu ditafsirkan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain.25

Dengan sistem inilah peraturan perundang-undangan ditata sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pertentangan antara satu dengan lain, bahkan kelindan pengaturan yang sangat mungkin terjadi pada beberapa peraturan perundangan tidak berimplikasi pada timbulnya konflik pengaturan, serta dalam suatu penafsiran yang sama. Pada dasarnya dalam suatu sistem hukum, tata hukum yang ada merupakan suatu kesatuan yang unsur-unsur didalamnya saling melengkapi satu dengan yang lain, tidak dibiarkan berlarut-larut.26

Bagaimana sistem hukum itu terbentuk tentunya didasarkan kejadian yang pernah menimpa industri perbankan, sehingga Bank Indonesia selaku Bank Sentral telah menetapkan suatu kebijakan di bidang perbankan yang lebih dikenanl dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)27. Adapun tujuan dari penyusunan API adalah untuk:

1) Terciptanya struktur perbankan yang sehat, yang mampu mendorong pembangunan nasional secara berkesinambungan

2) Terbentuknya industri perbankan yang memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko 3) Terciptanya good corporate governance

4) Terbentuknya sistem pengaturan dan pengawasan perbankan yang efektif dan efisien

25

Paul Scholten, 1993, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, H. 61.

26

Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Ed.3 Liberty, Yogyakarta, hlm. 102-103.

27

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan Edisi Revisi, Cet. Ke-3, Mandar Maju, Bandung, Oktober 2012. Hal. 56


(23)

35

5) Terwujudnya infrastruktur yang lengkap dan dapat mendukung efisiensi operasional sistem perbankan

6) Terwujudnya pemberdayaan dan perlindungan konsumen pengguna jasa perbankan

4. Hubungan hukum antara pihak principal dengan agen

Dalam praktek kegiatan kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai hubungan hukum antara pihak prinsipal dengan agen, dimana pihak prinsipal dengan agen memberi wewenang kepada agen untuk melakukan transaksi dengan pihak ketiga. Hubungan hukum antara prinspal dengan agen dapat berupa perwakilan, dimana agen bertindak untuk dan atas nama principal, meskipun terdapat juga unsur jual – beli karena principal memberi wewenang agen untuk mengimpor barang dari principal. Hubungan antara prinsipal dengan agen dapat berupa jual – beli biasa dimana agen bertindak untuk dirinya sendiri. Hasil penelitian Tim Naskah Akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional menunjukkan barang dari principal dengan cara membeli atau dengan cara memperoleh kuasa untuk menjual.28

Jika agen bertindak untuk dan atas nama principal tentunya agen bertanggung jawab terhadap segala transaksi dan perbuatan agen dalam batas wewenang yang diberikan seperti, kualitas produk, wanprestasi, dan perbuatan melawan hukum, sebaliknya jika agen bertindak untuk dirinya sendiri, maka principal tidak bertanggun jawab atas transaksi dan perbuatan yang dilakukan oleh agen.29

Agency dalam sistem common law adalah suatu hubungan hukum dimana satu pihak agen bertindak untuk dan atas nama pihak lain, yaitu principal dan tunduk pada

28

Soharnoko, Hukum Perjanjian :Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakara, Juli 2012. H. 41

29


(24)

36

pengawasan prinsipal30. Hubungan hukum antara prinsipal yaitu Bank dan Agen tentu saja menimbulkan hak dan kewajiban, antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Yang satu mencerminkan adanya yang lain31. Contohnya mencerminkannya ialah Si A mempunyai suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu, apabila perbuatan Si A itu ditunjukkan kepada orang tertentu, yaitu Si B. Dengan melakukan suatu perbuatan yang ditunjukkan kepada B itu, A telah menjalankan kewajibannya. Sebaliknya, karena adanya kewajiban pada B itulah, A mempunyai suatu hak. Hak itu berupa kekuasaan yang bisa diterapkan terhadap B, yaitu berupa tuntutan untuk melakukan kewajibannya itu.

Meskipun keagenan di Indonesia bukan ataupun tidak identik dengan agency law dalam sistem common law, tetapi perjanjian keagenan dapat mengadung unsur perjannjian pemberi kuasa seperti yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata32. Kekuasaan untuk mewakili orang lain bukan hanya didapat dari suatu perjanjian tetapi juga Undang – undang. Soebekti menamakan pemberian kekuasaan ini pernjanjian penyuruhan, perjanjian penyuruhan adalah kekuasaan untuk mewakili

orang lain yang berdasarkan suatu perjanjian, biasanya dianamakan “penguasaan‟ („volmacht’)33

. Agen yang mendapat kuasa bertindak untuk dan atas nama prinsipal, tentu saja principal harus bertanggung jawab terhadap perbuatan agen yang merugikan orang lain34.

B. PEMBAHASAN

30

Ibid

31

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, cetakan ke VI, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, H.54

32

Op.cit H.42

33

Soebekti, Pokok – pokok hukum perdata, Intermasa, Jakarta, 2003, H.168

34


(25)

37

1. PENGATURAN BRANCHLESS BANKING DALAM SISTEM HUKUM

PERBANKAN DI INDONESIA

Tidak ada pengaturan yang khusus mengnai branchless banking, namun demikian tidak berarti terdapat kekosongan hukum mengenai hal ini. Bila kita rangkaikan pengaturan mengenai branchless banking, maka akan ditemukan pengaturan yang dapat menjadi dasar pelaksanaan praktek bankless banking tersebut. Dalam Undang-undang Perbankan Kegiatan umum bank dalam Pasal 3 dikemukakan, fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dana, penyalur dana masyaratat. Hal ini berarti kehadiran branchless banking tidak semata mata untuk bisnis, namun ada misi lain yakni peningkatan kesajehtaraan masyarakat pada umumnya. Sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 4 Undang-undang Perbankan, Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Tentunya dibentuknya Branchless Banking oleh Bank memiliki tujuan yang sama dengan Perbankan Indonesia. Dalam Peraturan Bank Indonesia No 13/25/PBI/ 2011 tentang Prinsip kehati- hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain hal ini menguatkan bahwa penyerahan pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan sebagai pendukung usaha Perbankan. Sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif bahwa kegiatan Branchless Banking dalam Bagian Umum Penjelasan Peraturan Paragraf 10 (Sepuluh) bahwa Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif atau Branchless Banking memanfaatkan sarana teknologi informasi seperti telepon seluler,


(26)

38

Electronic Data Capture (EDC) dan/atau internet banking yang mendukung layanan keuangan oleh Bank melalui Agen, diharapkan dapat menjangkau masyarakat di daerah terpencil.

Ada masalah hukum yang perlu dicermati, karena dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Perbankan menyebutkan “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak” dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan Bank-lah yang dapat menghimpun dana masyarakat tersebut, Pasal 16 ayat (1) Undang-undadng Perbankan juga menyatakan

“Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri”, yang dimaksud dengan Undang-undang sendiri ialah seperti Perusahaan Pos; Dana Pensiun dan Perusahaan Asuransi, dari hal tersebut dapat dipahami bahwa Branchlees Banking dalam Undang-undang Perbankan tentu saja dilarang, karena sampai saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur tentang Branchless Banking tersebut. namun dalam Peraturan OJK hal tersebut diperbolehkan terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif, yang dalam penjelasannya menyatakan Branchless Banking sebagai program Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI)35. Dari ketentuan yang telah disebutkan dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai Branchless Banking masih mencederai Kepastian Hukum. Perlunya kepastian hukum bagi pengguna

35


(27)

39

dalam kegiatan Brancless Banking akan memberikan situasi yang kondusif bagi pengembangan pemanfaatan jasa perbankan.

Sehubungan dengan adanya hierarki dalam peraturan yang terkait Branchless Banking maka berlakulah Asas Lex Superior Derograt Lex Inferior. asas hukum ini bermaksud bahwa jika dalam perundang-undangan terdapat beberapa peraturan yang mengatur objek yang sama tetapi isi dari peraturan-peraturan itu saling bertentangan, maka yang berlaku adalah peraturan yang kedudukannya lebih tinggi36. Jika dilihat dari kedudukan Undang-undang Perbankan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentu saja Undang-undang lebih tinggi kedudukannya, hanya saja bilamana Branchless Banking ditutup fungsi intermediasi Bank akan hilang satu alat pencapai tujuan. Dengan demikian manakala branchless banking di perbolehkan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif, maka sudah seharusnya pasal 16 Undang-undang Perbankan tersebut diamandemen.

2. HUBUNGAN HUKUM BRANCHLESS BANKING

Peranan industri jasa keuangan khususnya perbankan dalam mendorong perekonomian antara lain melalui fungsi intermediasi dengan menyalurkan kredit yang bersifat produktif atau kredit lainnya kepada masyarakat secara menyeluruh. Tentu saja dalam penyaluran dana tersebut masyarakat memerlukan akses berkesinambungan terhadap jasa keuangan tersebut atau keuangan inklusif. Keuangan inklusif adalah suatu keadaan dimana seluruh masyarakat dapat menjangkau akses layanan keuangan secara

36

Diktat Kuliah Pengantar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Tim Pengajar PIH FH UNPAR, Bandung, 1995. Hal. 84


(28)

40

mudah dan memiliki budaya untuk mengoptimalkan penggunaan jasa keuangan37. Guna mencapai tujuan Keuangan inklusif tersebut salah satu programnya ialah penyediaan keuangan tanpa kantor (branchless banking) yang antara lain dapat dilakukan melalui Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai).

Laku Pandai yang memanfaatkan saran teknologi informasi seperti telepon seluler, Electronic Data Capture (EDC) dan/atau internet baking yang mendukung layanan keuangan oleh Bank melalui Agen, diharapkan dapat menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Dalam aplikasi Branchless Banking tersebut terdapat dua model yang umum digunakan yakni bank based model dan non-bank based model, selain itu terdapat juga hybrid model yang merupakan perpaduan antara bank based dan non-bank based mode38.

a. Konvensional (Bank Based Model)

Jika melihat dari Tabel diatas terdapat distribusi layanan perbankan sampai ke nasabah dibagi menjadi dua yakni melalui retail agent dan jasa telekomunikasi, dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Retail Agent

Retail agent berinteraksi dengan nasabah dalam menyediakan jasa layanan keuangan. Dalam pasal 1 butir 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor menyebutkan agen adalah pihak yang

37

Pasal 1 Butir 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanapa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif

38

Pungky Purnomo Wibowo, Branchless Banking Setelah multilicense: Ancaman atau Kesempatan Bagi

Perbankan Nasional, Bank Indonesia,

http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/berita/Documents/Branchless%20Banking%20Setelah%20Multi license%20(Publik).pdf. H. 31 diakses pada tanggal 12 februari 2016


(29)

41

bekerjasama dengan Bank penyelenggara Laku Pandai yang menjadi kepanjangan tangan Bank untuk menyediakan layanan perbankan kepada masyarakat dalam rangka keuangan inklusif sesuai yang diperjanjikan. Adapun beberapa cakupan layanan yang dapat dilakukan Agen dalam perjanjian kerjasama agen dengan Bank tertera dalam Pasal 19 Peraturan OJK, terkait tabungan berkarakter BSA/ non-BSA, kredit dan/atau layanan atau jasa keuangan lain sesuai ketentuan yang berlaku.

2) Jasa telekomunikasi

Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi39.Perangkat Penunjang Layanan Pasal 28 Peraturan OJK, Dalam hal penyelenggaraan Laku Pandai memerlukan dukungan kerjasama dengan pihak lain yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi, Bank wajib memiliki perjanjian kerjasama secara tertulis dengan pihak lain tersebut

Penjelasan Pasal 28

“Yang termasuk pihak lain yang terkait dengan teknologi informasi dan

komunikasi antara lain perusahaan penyedia jasa teknologi informasi dan/atau

perusahaan telekomunikasi”. Hubungan hukum yang terjadi didsarkan pada perjanjian kerjasama yang tunduk dalam Buku Ke III KUH Perdata. Terdapat 3 pihak dalam perjanjian ini yaitu bank-agent-jasa-pelaku jasa telekomunikasi.

b. Non Konvensional

39


(30)

42

Branchless Banking Model Non Konvensional atau Non-Bank Based Model disini nasabah menggunakan produk e-money dimana seluruh proses perizinan dan operasional dilakukan oleh institusi non-bank. Institusi tersebut menyediakan jasa perbankan yang paling dasar dan bank tidak terlibat langsung dalam operasional bisnis. Nasabah tidak memiliki hubungan kontraktual (maksudnya tidak membuat perjanjian) dengan bank dan produk yang ditawarkan berupa electronic money (E- money). Pihak dalam model ini adalah Bank, Penyedia Jasa Teknologi Informasi dan Nasabah.

c. Hibryde

Hybryde model penggabungan antara konvensional dan non konvesional.

Pada dasarnya hubungan hukum yang terus berkembang dalam Branchless banking ini adalah hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan pihak yang terikat dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama penyelenggaraan Branchless banking. Adapun perjanjian anatara nasabah dan pihak bank pada prinsipnya tetap sama.


(1)

37

1. PENGATURAN BRANCHLESS BANKING DALAM SISTEM HUKUM

PERBANKAN DI INDONESIA

Tidak ada pengaturan yang khusus mengnai branchless banking, namun demikian tidak berarti terdapat kekosongan hukum mengenai hal ini. Bila kita rangkaikan pengaturan mengenai branchless banking, maka akan ditemukan pengaturan yang dapat menjadi dasar pelaksanaan praktek bankless banking tersebut. Dalam Undang-undang Perbankan Kegiatan umum bank dalam Pasal 3 dikemukakan, fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dana, penyalur dana masyaratat. Hal ini berarti kehadiran branchless banking tidak semata mata untuk bisnis, namun ada misi lain yakni peningkatan kesajehtaraan masyarakat pada umumnya. Sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 4 Undang-undang Perbankan, Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Tentunya dibentuknya Branchless Banking oleh Bank memiliki tujuan yang sama dengan Perbankan Indonesia. Dalam Peraturan Bank Indonesia No 13/25/PBI/ 2011 tentang Prinsip kehati- hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain hal ini menguatkan bahwa penyerahan pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan sebagai pendukung usaha Perbankan. Sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif bahwa kegiatan Branchless Banking dalam Bagian Umum Penjelasan Peraturan Paragraf 10 (Sepuluh) bahwa Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif atau Branchless Banking memanfaatkan sarana teknologi informasi seperti telepon seluler,


(2)

38

Electronic Data Capture (EDC) dan/atau internet banking yang mendukung layanan keuangan oleh Bank melalui Agen, diharapkan dapat menjangkau masyarakat di daerah terpencil.

Ada masalah hukum yang perlu dicermati, karena dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Perbankan menyebutkan “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak” dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan Bank-lah yang dapat menghimpun dana masyarakat tersebut, Pasal 16 ayat (1) Undang-undadng Perbankan juga menyatakan

“Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri”, yang dimaksud dengan Undang-undang sendiri ialah seperti Perusahaan Pos; Dana Pensiun dan Perusahaan Asuransi, dari hal tersebut dapat dipahami bahwa Branchlees Banking dalam Undang-undang Perbankan tentu saja dilarang, karena sampai saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur tentang Branchless Banking tersebut. namun dalam Peraturan OJK hal tersebut diperbolehkan terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif, yang dalam penjelasannya menyatakan

Branchless Banking sebagai program Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI)35. Dari

ketentuan yang telah disebutkan dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai Branchless

Banking masih mencederai Kepastian Hukum. Perlunya kepastian hukum bagi pengguna

35


(3)

39

dalam kegiatan Brancless Banking akan memberikan situasi yang kondusif bagi pengembangan pemanfaatan jasa perbankan.

Sehubungan dengan adanya hierarki dalam peraturan yang terkait Branchless Banking maka berlakulah Asas Lex Superior Derograt Lex Inferior. asas hukum ini bermaksud bahwa jika dalam perundang-undangan terdapat beberapa peraturan yang mengatur objek yang sama tetapi isi dari peraturan-peraturan itu saling bertentangan, maka yang berlaku adalah peraturan yang kedudukannya lebih tinggi36. Jika dilihat dari kedudukan Undang-undang Perbankan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentu saja Undang-undang lebih tinggi kedudukannya, hanya saja bilamana Branchless Banking ditutup fungsi intermediasi Bank akan hilang satu alat pencapai tujuan. Dengan demikian manakala branchless banking di perbolehkan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif, maka sudah seharusnya pasal 16 Undang-undang Perbankan tersebut diamandemen.

2. HUBUNGAN HUKUM BRANCHLESS BANKING

Peranan industri jasa keuangan khususnya perbankan dalam mendorong perekonomian antara lain melalui fungsi intermediasi dengan menyalurkan kredit yang bersifat produktif atau kredit lainnya kepada masyarakat secara menyeluruh. Tentu saja dalam penyaluran dana tersebut masyarakat memerlukan akses berkesinambungan terhadap jasa keuangan tersebut atau keuangan inklusif. Keuangan inklusif adalah suatu keadaan dimana seluruh masyarakat dapat menjangkau akses layanan keuangan secara

36

Diktat Kuliah Pengantar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Tim Pengajar PIH FH UNPAR, Bandung, 1995. Hal. 84


(4)

40

mudah dan memiliki budaya untuk mengoptimalkan penggunaan jasa keuangan37. Guna mencapai tujuan Keuangan inklusif tersebut salah satu programnya ialah penyediaan keuangan tanpa kantor (branchless banking) yang antara lain dapat dilakukan melalui Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai).

Laku Pandai yang memanfaatkan saran teknologi informasi seperti telepon seluler, Electronic Data Capture (EDC) dan/atau internet baking yang mendukung layanan keuangan oleh Bank melalui Agen, diharapkan dapat menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Dalam aplikasi Branchless Banking tersebut terdapat dua model yang umum digunakan yakni bank based model dan non-bank based model, selain itu terdapat juga hybrid model yang merupakan perpaduan antara bank based dan non-bank based mode38.

a. Konvensional (Bank Based Model)

Jika melihat dari Tabel diatas terdapat distribusi layanan perbankan sampai ke nasabah dibagi menjadi dua yakni melalui retail agent dan jasa telekomunikasi, dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Retail Agent

Retail agent berinteraksi dengan nasabah dalam menyediakan jasa layanan keuangan. Dalam pasal 1 butir 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor menyebutkan agen adalah pihak yang

37

Pasal 1 Butir 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanapa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif

38

Pungky Purnomo Wibowo, Branchless Banking Setelah multilicense: Ancaman atau Kesempatan Bagi

Perbankan Nasional, Bank Indonesia,

http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/berita/Documents/Branchless%20Banking%20Setelah%20Multi license%20(Publik).pdf. H. 31 diakses pada tanggal 12 februari 2016


(5)

41

bekerjasama dengan Bank penyelenggara Laku Pandai yang menjadi kepanjangan tangan Bank untuk menyediakan layanan perbankan kepada masyarakat dalam rangka keuangan inklusif sesuai yang diperjanjikan. Adapun beberapa cakupan layanan yang dapat dilakukan Agen dalam perjanjian kerjasama agen dengan Bank tertera dalam Pasal 19 Peraturan OJK, terkait tabungan berkarakter BSA/ non-BSA, kredit dan/atau layanan atau jasa keuangan lain sesuai ketentuan yang berlaku.

2) Jasa telekomunikasi

Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi39.Perangkat Penunjang Layanan Pasal 28 Peraturan OJK, Dalam hal penyelenggaraan Laku Pandai memerlukan dukungan kerjasama dengan pihak lain yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi, Bank wajib memiliki perjanjian kerjasama secara tertulis dengan pihak lain tersebut

Penjelasan Pasal 28

“Yang termasuk pihak lain yang terkait dengan teknologi informasi dan

komunikasi antara lain perusahaan penyedia jasa teknologi informasi dan/atau

perusahaan telekomunikasi”. Hubungan hukum yang terjadi didsarkan pada perjanjian kerjasama yang tunduk dalam Buku Ke III KUH Perdata. Terdapat 3 pihak dalam perjanjian ini yaitu bank-agent-jasa-pelaku jasa telekomunikasi.

b. Non Konvensional

39


(6)

42

Branchless Banking Model Non Konvensional atau Non-Bank Based Model disini nasabah menggunakan produk e-money dimana seluruh proses perizinan dan operasional dilakukan oleh institusi non-bank. Institusi tersebut menyediakan jasa perbankan yang paling dasar dan bank tidak terlibat langsung dalam operasional bisnis. Nasabah tidak memiliki hubungan kontraktual (maksudnya tidak membuat perjanjian) dengan bank dan produk yang ditawarkan berupa electronic money (E- money). Pihak dalam model ini adalah Bank, Penyedia Jasa Teknologi Informasi dan Nasabah.

c. Hibryde

Hybryde model penggabungan antara konvensional dan non konvesional.

Pada dasarnya hubungan hukum yang terus berkembang dalam Branchless banking ini adalah hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan pihak yang terikat dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama penyelenggaraan Branchless banking. Adapun perjanjian anatara nasabah dan pihak bank pada prinsipnya tetap sama.