PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS (Studi Fenomenologis pada Anak dengan Ibu Single Parents dan Ayah Single Parents yang Bercerai).

(1)

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA

KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

(Studi Fenomenologis pada Anak dengan Ibu Single Parent dan Ayah Single Parent yang bercerai)

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

Oleh Ayu Wulandari

1103283

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DEPARTEMEN PEDAGOGIK

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2015


(2)

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA

KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

(Studi Fenomenologis pada Anak dengan Ibu Single Parent dan Ayah Single Parent yang bercerai)

Oleh Ayu Wulandari

Sebuah Skripsi yang diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

© Ayu Wulandari

Universitas Pendidikan Indonesia Oktober 2015

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya, atau sebagian, dengan cetak ulang, difoto copy atau cara lainnya tanpa izin dari penulis


(3)

(4)

(5)

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

(Studi Fenomenologis pada Anak dengan Ibu Single Parents dan Ayah Single Parents

yang Bercerai)

Ayu Wulandari

Euis Kurniati dan Mubiar Agustin

Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Departemen Pedagogik

Fakultas Imu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

ayu.wulandari050@gmail.com ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil karakter courage anak usia dini pada kondisi keluarga single parents dengan latar belakang bercerai. Karakter courage yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan kehendak untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi, baik itu tantangan eksternal maupun tantangan internal. Karakter courage terdiri dari keberanian, kegigihan, integritas dan vitality yang ada pada anak. Penelitian ini dilakukan melalui studi fenomenologis, dengan melakukan wawancara dan observasi kepada subjek penelitian, yaitu ibu single parents dan ayah single parents. Penelitian ini dilaksanakan di sekolah dan rumah subjek, di Kota Bandung. Melalui analisis grounded theory, penelitian ini mendapatkan hasil bahwa profil karakter courage anak usia dini pada single parents dipengaruhi oleh respon single parents terhadap anak, kontrol single parents terhadap anak, nurturance dari orangtua yang terpisah, dan peran significant other sebagai figur pengasuh pengganti. Permasalahan yang sering ditemui di lapangan adalah, kesulitan dan keterbatasan single parents dalam menjalankan perannya sebagai ayah, dan juga sebagai ibu. Biasanya kesulitan dan keterbatasan single parents akan menghasilkan karakter yang cenderung berlawanan dengan karakter courage, seperti pengecut, tidak percaya diri, kecemasan, kemalasan, menyerah, tidak mau mencoba, berbohong, memaksakan kehendak sendiri kepada orang lain, kurang mampu bersosialisasi, perilaku agresif, depresi, lamban, lesu, dan merasa tak bernyawa. Bagi orang tua single parents diharapkan dapat melakukan pengasuhan yang tepat bagi anak dalam rangka mengembangkan karakter courage pada anak. Selain itu, dibutuhkan penelitian selanjutnya di lapangan untuk mengkaji lebih jauh terkait dengan pembentukan karakter courage anak pada kondisi keluarga single parents.


(6)

COURAGE CHARACTER PROFILE OF EARLY CHILDHOOD IN THE FAMILY CONDITION OF SINGLE PARENTS

(A Phenomenological Study in Early Childhood who Stay with Their Single Parents in the Divorce Situation)

Ayu Wulandari

Euis Kurniati and Mubiar Agustin

Early Childhood Teacher Education Study Program Department of Pedagogy

Faculty of Educational Sciences Indonesia University of Education

ayu.wulandari050@gmail.com ABSTRACT

This study aims to investigate courage character profile of early childhood in family condition of single parents in divorce situation. Courage character means the emotional power which involves the desire implementation of achieving their goals in order to face oppositions, both external and internal challenges. Courage character consists of bravery, persistence, integrity, and vitality in their selves. This study was conducted through phenomenology study by using interview and observation to the subject which were mothers and fathers who take the role as single parent. This study was carried out in the subject school and house, in Bandung. Through the analysis of grounded theory, the results showed that courage character profile of early childhood in single parents are influenced by the response and control of the single parents to their children, the nurturance from the parents who divorce, and the role of significance other as the substitute caregiver figure. The problems which often occurred in the field are the difficulties and limitations of single parents in their role as a father, as well as the mother. Usually, the difficulties and limitations of single parents will produce a character which tend to be contrary to the courage character such as coward, insecure, anxiety, laziness, give up, unwilling to try, lied, impose their own will to others, less able to socialize, aggressive behavior, depression, sluggish, lethargic, and feeling lifeless. Thus, single parents are expected to undertake appropriate care for their children in order to develop the courage character in their children. In addition, further research on this field is needed to assess the study deeply related to the formation of the courage character profile of early childhood in family condition of single parents.


(7)

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL HAK CIPTA

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PENGUJI

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ...i

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...ii

ABSTRAK ...iii

ABSTRACT ...iv

UCAPAN TERIMA KASIH ...v

KATA PENGANTAR ...vii

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah Penelitian ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Struktur Organisasi Penulisan ... 9

BAB II KAJIAN TEORI...11

A. Teori Karakter Courage ... 11

1. Definisi Karakter Courage ... 11

2. Dimensi Karakter Courage ... 13

a. Keberanian ... 13

b. Kegigihan ... 13

c. Integritas ... 14

d. Vitality ... 14


(8)

1. Keluarga Single Parents ... 15

a. Ibu Single Parents... 17

b. Ayah Single Parents ... 18

2. Peran Keluarga dalam Pengembangan Karakter ... 19

a. Peran Keluarga Inti (Ayah-Ibu) ... 20

b. Peran Kakek-Nenek ... 21

3. Metode Pengembangan Karakter ... 22

a. Metode Keteladanan ... 22

b. Metode Pembiasaan ... 23

c. Metode Nasihat ... 23

d. Metode Pengamatan dan Pengawasan ... 24

4. Pola Asuh Orang Tua... 24

a. Authoritative Parenting ... 25

b. Authoritarian Parenting ... 26

c. Indulgent Parents ... 27

d. Indifferent Parents ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ...29

A. Metode dan Desain Penelitian ... 29

1. Metode Penelitian ... 29

2. Desain Penelitian ... 30

B. Penjelasan Ilmiah ... 30

C. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 32

1. Lokasi ... 32

2. Subjek Penelitian ... 32

D. Teknik Pengumpulan Data ... 33

1. Wawancara ... 34

2. Observasi ... 35

E. Validitas Data ... 36

1. Trianggulasi... 36


(9)

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

a. Adaptasi selama Melakukan Penelitian ... 37

b. Subjek sebagai Mahasiswa PGPAUD ... 38

F. Teknik Analisis Data ... 38

G. Etika Penelitian ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

A. Temuan ... 50

1. Deskripsi Subjek I ... 50

a. Identitas Subjek I ... 50

b. Latar Belakang Single Parents Subjek I ... 50

c. Keberanian Subjek I ... 51

d. Kegigihan Subjek I ... 54

e. Integritas Subjek I ... 55

f. Vitality Subjek I ... 59

g. Respon Ibu terhadap Subjek I ... 60

h. Kontrol Ibu terhadap Subjek I ... 63

i. Nurturance ... 66

j. Peran Significant Other ... 67

2. Deskripsi Subjek II ... 68

a. Identitas Subjek II ... 68

b. Latar Belakang Single Parents Subjek II ... 68

c. Keberanian Subjek II ... 68

d. Kegigihan Subjek II ... 70

e. Integritas Subjek II ... 71

f. Vitality Subjek II ... 74

g. Respon Ayah terhadap Subjek II ... 74

h. Kontrol Ayah terhadap Subjek II... 77

i. Nurturance ... 79

j. Peran Significant Other ... 79

B. Pembahasan ... 80 1. Profil Karakter Courage Anak Usia Dini pada Ibu Single Parents . 80


(10)

a. Keberanian ... 80

b. Kegigihan ... 87

c. Integritas ... 90

d. Vitality ... 94

2. Profil Karakter Courage Anak Usia Dini pada Ibu Single Parents . 95 a. Keberanian ... 95

b. Kegigihan... 99

c. Integritas ... 100

d. Vitality ... 103

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ... 104

A. Simpulan ... 104

B. Implikasi... 105

C. Rekomendasi ... 106

DAFTAR PUSTAKA...110 LAMPIRAN


(11)

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Skema Klasifikasi Pola Asuh Orang Tua ... 25

Tabel 3.1 Tabel Wawancara ... 33

Tabel 3.2 Tabel Coding ... 39

Tabel 3.3 Axial Coding ... 44


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Catatan Lapangan ... 35

Gambar 4.1 Pesan dari Guru Kelas ... 52

Gambar 4.2 Personal Massages Ibu Single Parents ... 61


(13)

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR LAMPIRAN

1. SK Pengangkatan Pemimbing ... 2. Pedoman Wawancara ... 3. Selective Coding ...

4. Axial Coding ...

5. Data Pemilik Buku Bimbingan Skripsi ... 6. Wawancara ... 7. Coding Wawancara ...

8. Catatan Lapangan ... 9. Lembar Revisi ...


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Karakter adalah seluruh kebaikan yang membentuk kualitas mental atau moral, kekuatan moral, dan reputasi seseorang yang tidak diwariskan namun dibangun secara berkesinambungan hari demi hari, sehingga memfokuskan tingkah laku orang tersebut dalam mengaplikasikan nilai kebaikan (Andrianto, 2011; Kurtus, 1997; Lickona, 2003; Muchlas & Hariyanto, 2011; Sudewo, 2011). Lickona (1991) mengemukakan bahwa karakter tersusun dari tiga bagian yang saling berhubungan satu sama lain yaitu, moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), moral behavior (perilaku moral). Dan menurut Zubaedi (2011) karakter yang baik terdiri dari pengetahuan tentang kebaikan (knowing the good), keinginan terhadap kebaikan (desiring the good), dan berbuat kebaikan (doing the good).

Saat ini, mudah terlihat adanya karakter yang belum mampu menghadapi tantangan dan permasalahan hidup karena pengecut atau tidak berani, tidak percaya diri, adanya kecemasan, kemalasan, menyerah, tidak mau mencoba, berbohong, memaksakan kehendak sendiri kepada orang lain, kurang mampu bersosialisasi, perilaku agresif, depresi, lamban, lesu, dan merasa tak bernyawa. (Arismantoro, 2008; Lickona, 1991; Peterson & Seligman, 2004). Sehingga, muncul perilaku sebagian masyarakat yang mengindikasikan karakter lemah, terlihat dari perilaku hidup tanpa norma yang mengakibatkan munculnya masalah-masalah moral, mulai dari masalah ketamakan dan ketidakjujuran hingga tindak kekerasan, dan pengabaian diri (Arismantoro, 2008; Lickona, 1991).

Untuk menghindari munculnya karakter yang lemah, maka diharapkan terwujudnya karakter yang baik untuk menjadi generasi yang unggul, salah satunya adalah dengan memiliki karakter courage. Seperti yang disampaikan oleh Peterson & Seligman (2004), Karakter courage merupakan karakter yang penting dimiliki oleh individu, karena karakter courage merupakan kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan kehendak untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi, baik itu


(15)

2

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

tantangan eksternal maupun tantangan internal. Aspek-aspek yang terdapat dalam karakter courage adalah keberanian dalam melakukan sesuatu, gigih dalam menghadapi tantangan, berperilaku baik terhadap orang lain dengan tulus, dan semangat sehingga selalu aktif dan ceria (Peterson & Seligman, 2004). Ketika seseorang memiliki karakter courage, diharapkan cerdas dalam kehidupan sehari-harinya, serta mampu mencapai tujuannya dengan melakukan semua upaya dan mampu menghadapi segala tantangan, sehingga menjadi pribadi yang unggul dan tangguh (Arismantoro, 2008; Peterson & Seligman, 2004). Sehingga, orang tua wajib menanamkan nilai-nilai prososial sejak dini seperti tolong-menolong, berbagi, empati dan lain-lain untuk mencegah anak menjadi agresif, dan anti sosial (Sodikin, dkk.).

Antonin Scalia (Arismantoro, 2008) seorang hakim tinggi di Amerika Serikat menyatakan bahwa the only thing in the world not for sale is character. Hawes (dalam Samani & Hariyanto, 2011, hlm. 6) menambahkan bahwa "...when character

is gone, all gone, and one of the richest jewels of life is lost forever”. Seperti yang

disampaikan oleh Hawes bahwa karakter merupakan hal yang yang sangat penting, karena ketika karakter hilang, semua hilang, dan salah satu permata paling berharaga dalam kehidupan telah hilang selamanya. Sejalan dengan pendapat ini, bahwa Presiden pertama Indonesia yaitu Bung Karno (dalam Haq, 2013, hlm. 3) pernah

berpesan bahwa “tugas berat untuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter

bangsa. Apabila pembangunan karakter ini tidak berhasil, maka bangsa Indonesia

akan menjadi bangsa kuli”. Melihat dari berbagai pendapat yang telah disampaikan oleh para ahli dan tokoh, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan hal perlu dan penting baik bagi pribadi maupun bangsa, karena karakter merupakan suatu permata yang berharga dalam kehidupan (Haq, 2013; Samani & Hariyanto, 2011).

Pada dasarnya setiap orang tua menginginkan anak-anaknya memiliki karakter yang baik, termasuk pengetahuan, pengelolaan emosi, dan pembiasaan diri (Andrianto, 2011). Menurut Mulyadi (dalam Arismantoro, 2008, hlm. 2), perlu disadari bahwa generasi unggul seperti itu tidak dapat tumbuh dengan sendirinya. Mereka sungguh memerlukan dukungan dan lingkungan yang sengaja diciptakan yang memungkinkan potensi anak-anak dapat tumbuh secara optimal dan menjadi


(16)

3

lebih sehat dan berperilaku baik, dan yang paling berperan dalam hal ini adalah orang tua. Namun kenyataan tidak semudah teori. Suatu penelitian yang disampaikan Yaumil (dalam Harry, 2002) bahwa dari 100% orang tua, yang mampu dan sadar untuk bisa mendidik karakter anak tidak lebih dari 20 atau 30%. Selebihnya tidak memiliki kapasitas untuk mendidik.

Dalam pengembangan karakter anak, orang tua memiliki peran penting, dimana orang tua secara efektif membuat dampak yang besar pada anak (Santrock, 2012). Pada keluarga inti, peranan utama pendidikan ini terletak pada ayah- ibu. Menurut Philips hendaknya keluarga menjadi sekolah untuk kasih sayang (school of love) (Zubaedi, 2011, hlm. 144). Berkowitz & Grych, 1998; Solomon, Watson, & Battistich (Lickona, 1998), menambahkan bahwa hangat, penuh perhatian, dan responsif adalah hubungan orang tua-anak yang positif terkait dengan perkembangan moral anak. Begitupun sebaliknya, tidak adanya kasih sayang orang tua memprediksi pengembangan bermasalah pada anak-anak. Dalam persfektif konvergensi, perkembangan individu baik dasar, pembawaan, maupun lingkungan memiliki peranan yang penting (Al-Asyamawi, 2004, hlm. 68).Figur ayah dan figur ibu secara komplementatif sangat diperlukan anak dalam pengembangan karakternya. Hal ini karena adanya beberapa peran ayah yang khas yang sulit digantikan oleh perempuan, sekalipun single parents. Pola pengasuhan ibu yang hati-hati, akan diseimbangkan oleh ayah sehingga membentuk pengasuhan yang sempurna. Ibu biasanya memberikan perlindungan dan keteraturan, sedangkan ayah bersikap santai, lugas sehingga membantu anak untuk bebas bereksplorasi, tegar, kompetitif dan menyukai tantangan (Arismantoro, 2008).

Orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama, disamping itu orang tua harus memberi contoh dan perilaku baik agar anak dapat meniru kebaikan dari orang tuanya (Al-Asyamawi, 2004). Melihat peran penting yang dimiliki orang tua, secara efektif membuat dampak yang besar pada anak, terutama pada pengembangan karakter anak, dan dalam prosesnya dibutuhkan kerja sama antara ayah dan ibu (Al-Asyamawi, 2004; Arismantoro, 2008; Santrock, 2012). Jay Belsky (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa relasi perkawinan, pengasuhan, serta perilaku dan


(17)

4

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

perkembangan bayi dapat memiliki dampak langsung ataupun tidak langsung satu sama lain. Sebagai contoh, perceraian orang tua akan memengaruhi efisiensi pengasuhan anak, dan secara tidak langsung dapat memengaruhi perilaku anak. Pengembangan karakter merupakan proses yang dilakukan seumur hidup. Kemudian, bagaimana profil karakter anak yang tinggal dengan single parents, namun dengan latar belakang bercerai (Al-Asyamawi, 2004, Wiludjeng, 2011). Suami dan istri yang bercerai biasanya diawali dengan proses yang panjang mulai dari konflik hingga proses perceraian selesai. Berpisahnya ibu dan ayah mengakibatkan anak-anak mereka juga berpisah dengan ibu atau ayahnya. Ada kemungkinan anak-anak hidup dengan ayahnya saja, atau ibunya saja, dan seketika ayah atau ibu tersebut menjadi

single parents atau orang tua tunggal (Wiludjeng, 2011). Menurut Sager, dkk

(Perlmutter & Hall, 1999), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang tua tunggal adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab pasangannya.

Data statistik Indonesia pada tahun 2010 tercatat 8.680.144 orang yang pasangannya meninggal dunia dan 2.523.431 orang yang bercerai. Apabila yang tercatat itu mengurus anak, kemungkinan mereka menjadi orang tua tunggal. Keadaan ini tidak begitu berbeda dengan tahun 1995 dimana 8.071.500 janda terdapat di Indonesia dan 2.399.153 duda (Wiludjeng, 2011). Banyak kasus kerusakan moral dan perilaku anak disebabkan pengaruh buruk dari pengasuhan ayah-ibu yang tidak tepat. Hal tersebut menjadi tantangan bagi seluruh orang tua, terutama single parents, dimana tantangan tersebut semakin menguatkan peran penting pengasuhan yang tepat dilakukan oleh ayah-ibu single parents dalam mengembangkan karakter anak (Amini dalam Arismantoro, 2008). Dalam keluarga dengan orang tua tunggal, diibaratkan sebagai burung bersayap satu, karena memiliki keterbatasan dan kekurangan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang tua tunggal membutuhkan penyesuaian dengan peran barunya, begitupun anaknya terhadap orang tua single parent. Orang tua single

parents juga merasa kehilangan persahabatan, kasih, rasa aman dan mengalami

penghentian kepuasan seks (Goode, 1983). Simon & Associates (dalam Wiludjeng, 2011) menambahkan bahwa hal tersebut yang menyebabkan mereka mengalami


(18)

5

stress, marah, merasa bersalah dan gagal, yang pada akhirnya menurunkan

kesejahteraan emosi dan kualitas perannya sebagai orang tua.

Beberapa hasil penelitian sebelumnya membahas mengenai kecenderungan karakter anak akan muncul jika anak tinggal dengan orangtua tunggal. Biasanya anak tersebut akan cenderung tidak begitu baik dalam sosial dan edukasional dibandingkan dengan anak dengan orang tua yang utuh, karena orang tua tunggal cenderung lemah dalam segi finansial. Namun biasanya, anak yang hidup dengan orang tua tunggal akan lebih mandiri, daripada anak yang tinggal dengan kedua orang tuanya. Selain itu, mereka memiliki tanggung jawab dalam rumah tangga, lebih banyak konflik dengan saudara kandung, kurangnya kekompakkan dalam keluarga, kurangnya mendapat support, kontrol dan disiplin dari ayah, apabila ayah absen dalam rumah tangga tersebut (Papalia, et al., 2008).

Analisis terhadap 33 studi dari 814 anak dalam perwalian bersama dan 1.846 anak dalam perwalian tunggal menunjukkan anak yang berada dalam perwalian bersama baik secara legal maupun fisik, mampu menyesuaikan diri lebih baik serta memiliki harga diri lebih tinggi, serta hubungan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan orang tua dengan perwalian tunggal. Faktanya anak yang hidup dengan perwalian bersama mampu menyesuaikan diri dengan baik, sama dengan anak yang hidup dalam keluarga dengan orang tua yang utuh (Papalia et al., 2008, hlm. 498). Penelitian menjelaskan bahwa anak yang hidup dengan orang tua tunggal baik karena perceraian maupun kematian ada kecenderungan memiliki kemampuan yang kurang dalam menyesuaikan diri. Selain itu, anak cenderung kurang memiliki harga diri dan hubungan keluarga yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang hidup dengan orang tua yang utuh (Papalia et al., 2008).

Dalam sebuah keluarga dengan orang tua tunggal yang bercerai, terdapat riset terkini yang menyatakan bahwa percekcokan perkawinan menyakiti anak jauh lebih parah dibandingkan perceraian (Hetherington et al., 1998; Hetherington & Stanley-Hagan, 1999 dalam Papalia, 2011). Namun, dua tahun setelah perceraian, anak menderita lebih banyak dari pertengkaran dibandingkan dengan anak dengan orang tua yang utuh. Hal ini akan terjadi apabila setelah perceraian konflik masih belum


(19)

6

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mereda antar orang tua. Satu tim peneliti memeriksa data kelompok longitudinal 11.407 pria dan wanita yang lahir di Inggris pada Maret 1958. 16% dari mereka yang usianya 33 tahun, melaporkan bahwa orang tua mereka telah bercerai pada suatu waktu. Dalam penelitian ini, para peneliti juga mampu mengontrol karakteristik awal dari anak-anak tersebut. Hasil riset menunjukkan bahwa terlepas dari beberapa perbedaan, baik itu pria atau wanita yang merasakan perceraian orang tua pada usia berapapun, menunjukkan outcome yang sama pada beberapa aspek. Mereka menunjukkan ketidakbugaran tubuh, cenderung memiliki pendidikan dan kualifikasi pekerjaan yang lebih rendah dan kecenderungan yang lebih besar untuk menjadi pengangguran dibandingkan dengan anak yang hidup dengan orang tua yang utuh (Papalia, et al. , 2008, hlm. 499).

Selain penelitian-penelitian yang dilakukan di luar negeri, adapula penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Febryanti dan Tairas tentang Perbedaan Kesiapan Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Antara Anak dari Orangtua Tunggal dengan Orangtua Utuh. Penelitian yang dilakukan pada 36 siswa, yang terdiri atas 18 siswa berasal dari orangtua tunggal dan 18 siswa yang berasal dari orangtua utuh. Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam kesiapan sekolah anak Taman Kanak-Kanan (TK) yang berasal dari orang tua tunggal dan orang tua utuh, dimana anak yang berasal dari orangtua utuh memiliki kesiapan sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari orangtua tunggal. Melihat hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak yang berasal dari orangtua tunggal memiliki kekurangan dalam kompetensi sosial, kesehatan dan kesejahteraan fisik, kematangan emosi, perkembangan bahasa dan kognitif serta keterampilan komunikasi dan pengetahuan umum.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sodikin, dkk., tentang Pengaruh Karakteristik Anak, Keberadaan Orang Tua, dan Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Sosial, Emosional dan Moral pada Usia Sekolah. Dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial, emosional dan moral anak, yaitu: 1) pekerjaan ayah/lokasi sekolah, 2) pekerjaan ibu/lokasi sekolah, dan 3) pola asuh orang tua. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa


(20)

7

pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, dan pola asuh merupakan faktor yang berhubungan dengan perkembangan sosial, emosional, dan moral anak usia sekolah, sehingga bagi orang tua yang bekerja harus memperhatikan kualitas dan kuantitas untuk melakukan kontak dengan anak sehingga tidak terjadi masalah sosial, emosional dan moral di kemudian hari. Selain itu, hasil penelitian Kalter dan Rembar dari Children’s

Pasychiatric Hospital, University of Michigan, AS, dari 144 anak dan remaja awal

yang orangtuanya bercerai ditemukan bahwa 63% diantaranya mengalami masalah psikologis seperti kegelisahan, sedih, suasana hati mudah berubah, fobia, dan mengalami stress (Wiludjeng, 2011, hlm. 54). Meskipun secara fisik anak terlihat normal, namun ada saja kekurangan yang dirasakan dari dirinya, dan kemungkinan anak menjadi introvert (Wiludjeng, 2011).

Berdasarkan pemaparan yang menunjukkan bahwa, peran orang tua baik itu ayah ataupun ibu sangatlah penting dalam pengembangan karakter anak usia dini. Melihat permasalahan dalam kasus perceraian akan menyebabkan lahirnya single parents, sehingga hak asuh bisa jatuh ke tangan ibu ataupun ayah. Ketika single parents harus menjalankan dua peran sekaligus sebagai ayah dan ibu, single parents juga harus mendidik serta mengembangkan karakter pada anak. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, menghasilkan bahwa anak yang hidup dengan single parents mengalami kekurangan dalam kompetensi sosial (beradaptasi), kematangan emosi, perkembangan bahasa dan kognitif, keterampilan komunikasi, kesehatan dan kesejahteraan fisik, serta pengetahuan umum. Meskipun besar kecilnya karakter

courage memiliki keterkaitan dengan beberapa aspek yang telah diteliti sebelumnya.

Namun, belum ada penelitian yang secara jelas menggambarkan terkait dengan karakter courage yang terdiri dari keberanian, kegigihan, integritas dan semangat anak. Oleh karena itu, penelitian ini akan memfokuskan kajian pada Profil Karakter

Courage Anak Usia Dini pada Single Parents.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “Bagaimana profil karakter courage anak usia dini pada single parents?”


(21)

8

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Permasalahan yang umum di atas, diuraikan oleh peneliti menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana profil karakter courage anak usia dini pada ibu single parents? 2. Bagaimana profil karakter courage anak usia dini pada ayah single parents?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai profil karakter courage anak usia dini pada

single parents dengan latar belakang bercerai.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui profil karakter courage anak usia dini pada ibu single

parents.

b. Untuk mengetahui profil karakter courage anak usia dini pada ayah single

parents.

D. Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan mampu bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat penulisan skripsi ini secara teoritis, diantaranya:

1. Memerkaya serta mengembangkan ilmu khususnya di bidang pendidikan Anak Usia Dini terutama tentang profil karakter courage anak usia dini pada single parents yang bercerai.

2. Memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan dan pertimbangan dalam mendidik anak berkaitan dengan profil karakter

courage anak usia dini pada single parents yang bercerai.

3. Mempertajam kemampuan peneliti dalam menganalisis masalah yang dihadapi oleh orang tua berkaitan dengan profil karakter courage anak usia dini pada single parents yang bercerai.


(22)

9

Selain dari manfaat secara teoritis yang telah dijabarkan sebelumnya, skripsi penelitian ini juga memiliki manfaat secara praktis, diantaranya:

1. Memberi masukan bagi single parents mengenai profil karakter courage anak usia dini.

2. Memberi masukan yang berarti bagi keluarga, lembaga, maupun instansi berkaitan upaya yang harus diberikan berikutnya dalam profil karakter

courage anak usia dini pada single parents.

3. Memberikan manfaat pada anak untuk mendapatkan upaya yang tepat dari

single parents dalam mengembangkan karakter courage anak usia dini.

E. Struktur Organisasi Penulisan

Struktur organisasi penelitian dalam penulisan skripsi ini terdiri kedalam lima BAB, yang terdiri dari: (1) BAB I Pendahuluan; (2) BAB II Kajian Teori; (3) BAB III Metodologi Penelitian; (4) BAB IV Temuan dan Pembahasan; dan (5) BAB V Simpulan, Implikasi dan Rekomendasi.

Adapun pada BAB I yang mebahas tentang latar belakang masalah dari penelitian ini, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, tujuan dari penelitian, dan manfaat dilakukannya penelitian ini, serta struktur organisasi penulisan.

Pada BAB II akan peneliti membandingkan, mengontraskan, dan memosisikan kedudukan masing-masing penelitian yang dikaji melalui pengaitan dengan masalah yang sedang diteliti.

BAB III membahas terkait dengan metodologi penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini, yakni mengarahkan pembaca untuk mengetahui pendekatan penelitian yang diterapkan, instrumen yang digunakan, tahapan pengumpulan data yang dilakukan, hingga langkah-langkah analisis data yang dijalankan.

Kemudian pada BAB IV akan menyampaikan dua hal utama, yakni (1) temuan penelitian berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data sesuai dengan urutan rumusan permasalahan penelitian, dan (2) pembahasan temuan penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya.


(23)

10

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

rekomendasi. Simpulan dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, implikasi yang menyajikan penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil analisis temuan, serta dan rekomendasi yang penulis rasa penting untuk disampaikan sebagai manfaat hasil dari penelitian tersebut.


(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, hal ini didasarkan pada permasalahan yang tertuang dalam pertanyaan penelitian. Dalam penelitian kualitiatif tentu menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu wawancara, pengamatan, atau penelaah dokumen (Moleong, 2010). Sugiyono (2008) memaparkan bahwa pendekatan kualitatif tidak merubah proses ataupun kondisi yang ada di lapangan. Penelitian kualitatif memaparkan data di lapangan tanpa adanya manipulasi yang dilakukan, selain itu bentuk dari data yang dipaparkan adalah bentuk naratif atau deskripsi analisis.

Penelitian kualitatif menurut Moleong (2010, hlm. 44) menyatakan bahwa:

Penelitian kualitatif juga berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari-dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian.

Penelitian kualitatif dilakukan bertujuan untuk menemukan makna, serta pemahaman yang mendalam, bukan hanya penjelasan tentang hubungan atau pengaruh terbatas, karena itu yang lebih diutamakan adalah EMIK yaitu pandangan atau perspektif dan penghayatan si pemilik realitas. Bukan ETIK yaitu pandangan atau perspektif dan penghayatan si peneliti sebagai orang luar (Putera, 2011). Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama (Moleong, 2010).


(25)

30

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 2. Desain Penelitian

Penelitian ini berfokus pada karakter anak yang terbentuk dalam pengasuhan orang tua tunggal. Untuk melakukan penelitian terkait profil pengembangan karakter anak pada orang tua tunggal, peneliti membutuhkan informasi dari ibu tunggal dan juga ayah tunggal yang disebabkan oleh perceraian. Sehingga digunakan pendekatan fenomenologi untuk menunjang penelitian ini. Pendekatan fenomenologi merupakan sebuah penelitian yang fokus terhadap fenomena tertentu. Menitikberatkan pandangan subjek terhadap penelitian. Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu (Moleong, 2010, hlm. 17).

Dalam filsafat modern, fenomenologi menyelidiki pengalaman kesadaran, yang berkaitan dengan pertanyaan. Adapun pengertian fenomenologis menurut Moleong (2010, hlm. 15), adalah pandangan berfikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi interpretasi dunia. Pencarian arti dari pengalaman hidup seseorang merupakan tujuan dari studi fenomenologi (Sukmadinata, 2010, hlm. 63). Sejalan dengan yang dikembangkan Sukmadinata, Smith (2009, hlm. 52) juga menyampaikan bahwa fenomenologi bertujuan untuk menangkap dan mengklarifikasi situasi yang dialami dalam kehidupan seseorang sehari-hari.

B. Penjelasan Ilmiah

Karakter adalah seluruh kebaikan yang membentuk kualitas mental atau moral, kekuatan moral, dan reputasi seseorang yang tidak diwariskan namun dibangun secara berkesinambungan hari demi hari, sehingga memfokuskan tingkah laku orang tersebut dalam mengaplikasikan nilai kebaikan. Karakter yang dimaskud dalam penelitian ini adalah character courage, seperti yang disampaikan oleh Peterson & Seligman (2004) bahwa character courage terdiri atas 4 aspek didalamnya, yaitu:


(26)

31

1. Keberanian

Keberanian adalah percaya diri dalam melakukan segala sesuatu, dan tidak menghindar dari ancaman, tantangan, kesulitan, atau sakit. Kebalikan dari keberanian adalah pengecut atau spinelessness.

2. Kegigihan

Kegigihan yaitu ketekunan (rajin) untuk menyelesaikan segala sesuatu yang sudah dimulai, mampu bertahan dalam suatu tindakan meskipun mengalami hambatan. Antonim dari ketekunan adalah semua hal yang negatif seperti kemalasan, menyerah, dan tidak mau mencoba. Ketekunan menjadi ciri khusus seseorang dan mengatur motivasi untuk menyelesaikan tugas dengan kontrol diri dan regulasi pada dirinya.

3. Integritas

Integritas yaitu kemampuan seseorang untuk menyajikan diri dengan cara yang tulus terhadap perasaan dan tindakan orang lain. Orang yang berbicara kebenaran (jujur), dan mengambil tanggung jawab, bersikap baik dari diri sendiri kepada orang lain. Integritas, keaslian dan kejujuran adalah nilai utama dalam hubungan (bersosialisasi). Lawan dari integritas adalah berbohong dan memaksakan kehendak sendiri kepada orang lain.

4. Vitality

Vitality mengacu pada perasaan merasa hidup yang penuh semangat dan

antusiasme untuk menampilkan dalam setiap aktivitas. Orang yang kuat dan energik, gembira dan bersemangat dalam menghadapi kehidupan. Vitalitas adalah kepuasan dan keterlibatan, memiliki kekuatan seperti rasa ingin tahu dan cinta terhadap pembelajaran. Antonim dari kekuatan ini adalah negatif; lamban, depresi, kusam, letih, lesu, lemas, dan merasa tak bernyawa.

Single parents yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang tua yang secara

sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab pasangan dengan latar belakang bercerai, yaitu ibu single parents dan ayah


(27)

32

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu C. Lokasi dan Subjek Penelitian

1. Lokasi

Lokasi pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan kepada orangtua tunggal yang tinggal di Kota Bandung.

2. Subjek Penelitian

Metode pengambilan contoh tidak terlalu mengikat, sejauh penetapan kasus benar-benar tepat. Jumlah contoh yang diambil dan tekhnik pengambilannya adalah subjektif, yaitu menurut kehendak peneliti, sesuai dengan subjek yang diinginkan. (Daniel, 2001).

Menurut Patton (dalam Alwasilah, 2002) penelitian kualitatif tidak membutuhkan

probability sampling, stratified sampling, dan convenience sampling, tetapi memilih purposeful sampling atau criterion-based selection menurut LeCompte & Preissle.

Alwasilah (2002) menyampaikan pendapat mengenai purposive sampling merupakan: jurus agar manusia, latar, dan kejadian tertentu (unik, khusus, tersendiri, aneh

nyeleneh) betul-betul diupayakan terpilih (tersertakan) untuk memberikan

informasi penting yang tidak mungkin diperoleh melalui jurus lain.

Pemilihan sampel secara purposive memiliki empat tujuan menurut Maxwell (Alwasilah, 2002), yakni:

a. Karena kekhasahan atau kerefresentatifan dari latar, individu, atau kegiatan. b. Demi heterogenitas dalam populasi.

c. Untuk mengkaji kasus-kasus yang kritis terhadap (mementahkan) teori-teori yang ada, yakni menjadi landasan diawal penelitian maupun yang berkembang dalam proses penelitian.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti telah menentukan beberapa sampel yang diambil secara purposive. Adapun penjelasan mengenai partisipan adalah sebagai berikut:

a. Nama Anak : Fs Usia Anak : 6 tahun Jenis kelamin : Laki-laki


(28)

33

Nama Ibu : Ibu Dn Usia Ibu : 31 tahun

Pekerjaan : Pegawai asuransi Alamat : Kota Bandung b. Nama Anak : Bn

Usia Anak : 8 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Nama Ayah : Bapak Sn Usia Ayah : 33 tahun

Pekerjaan : Buruh (kuli panggul) Alamat : Kota Bandung

D. Teknik Pengumpulan Data

Ciri khas penelitian kualitatif adalah adanya peran serta aktif peneliti dalam proses pengumpulan data dan pengolahan data, serta yang menentukan keseluruhan skenario di dalam penelitian adalah peneliti itu sendiri (Moleong, 2008). Menurut Lincoln dan Guba (Alwasilah, 2002, hlm. 78) “humans as primary date-gathering

intrumens” (manusia atau peneliti sendiri sebagai instrumen pengumpul data primer). Sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Lincoln dan Guba, bahwa dalam penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri.

Peneliti berperan untuk fokus terhadap penelitian baik terhadap sumber data, pengumpulan data, analisis data serta membuat kesimpulan atas temuannya di lapangan (Sugiyono, 2008). Penelitian kualitatif juga berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, dan mengandalkan manusia sebagai alat penelitian. Dalam penelitian kualitatif tidak digunakan instrument standar, tetapi peneliti berperan sebagai instrumen. Meskipun daftar pertanyaan disiapkan sebagai pedoman, namun dalam pelaksanaannya dikembangkan dan disesuaikan dengan kenyataan dilapangan (Sukmadinata, 2010).

Meskipun dalam penelitian ini yang menjadi key intrumen adalah peneliti, namun dalam penelitian ini dimungkinkan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif


(29)

34

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

yang dapat membantu memaksimalkan proses pengumpulan data selama penelitian. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Interview atau wawancara yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan

bertatapan langsung dengan responden, dengan menggunakan daftar percakapan, dan wawancara dalam penelitian pendekatan kualitatif dibagi menjadi tiga kategori, yaitu wawancara dengan cara melakukan pembicaraan informal (informal conversational

interview), wawancara umum yang terarah (general interview guide approach), dan

wawancara terbuka yang standar (standardized open-ended interview) (Suwarsono, 2006; Daniel, 2001). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara semi struktural (structural interview) menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu wawancara, pengamatan, atau penelaah dokumen (Moleong, 2010).

Tabel 3.1 Tabel Wawancara

No. Kode Pertanyaan Hasil

1. CC. KB. 2. 1.a

Apakah anak anda termasuk anak yang berani untuk tampil didepan orang banyak?

2. CC. KB. 2. 1.b

Apakah anak anda mampu memberi tahu pada temannya ketika temannya melakukan hal yang salah dan

berbahaya?

3. CC. KB. 2. 1.c Bagaimana sikap anak anda ketika menghadapi masalah?

4. CC. KB. 2. 1.d

Apakah anak anda berani mengambil keputusan ketika dihadapkan dalam pilihan?

5. CC. KB. 2. 1.e

Selaku single parents, upaya apa yang dilakukan dalam meningkatkan keberanian pada anak?

6. CC. KG. 2. 2.a

Apakah anak mampu menyelesaikan sesuatu baik tugas atau mainan sampai selesai?

7. CC. KG. 2. 2.b Apakah tipe anak anda termasuk anak yang mampu bertahan ketika


(30)

35

mengalami halangan dan tantangan?

8. CC. KG. 2. 2.c

Bagaimana upaya anda dalam meningkatkan kegigihan pada anak selaku single parents?

9. CC. IG. 2. 3.a

Apakah anak anda termasuk anak yang tulus dalam membantu teman yang mengalami kesulitan?

10. CC. IG. 2. 3.b

Apakah anak anda termasuk anak yang mampu berinteraksi dan

membuat hubungan yang baik dengan orang lain?

11. CC. IG. 2. 3.c

Bagaimana upaya anda dalam meningkatkan integritas pada anak selaku single parents?

12. CC. VT. 2. 4.a Bagaimana anak anda bersikap ketika menemukan hal baru?

13. CC. VT. 2. 4.b

Bagaimana semangat anak anda dalam menghadapi kegiatan sehari-hari?

14. CC. VT. 2. 4.c Apakah anak anda termasuk anak yang ceria dan aktif?

15. CC. VT. 2. 4.d

Bagaimana upaya anda dalam membangun dan meningkatkan semangat pada anak selaku single parents?

2. Observasi

Observasi adalah suatu usaha untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis, dengan prosedur terstandar dengan teknik yang memungkinkan peneliti menarik inferensi (kesimpulan) dari makna dan sudut pandang responden, kejadian, peristiwa, atau proses yang diamati melalui kegiatan pencatatan secara sistematis yang terkait dengan kejadian-kejadian, perilaku, objek-objek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan (Alwasilah, 2002; Arikunto, 2010; Sarwono, 2006).


(31)

36

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Gambar 3.1

Catatan Lapangan

E. Validitas Data

Validitas bukanlah hasil melainkan tujuan. Validitas relatif (nisbi) dalam pengertiannya bahwa ia seyogianya dinilai dalam kaitannya dengan tujuan dan lingkungan penelitian itu sendiri, bukan sekadar persoalan metode atau kesimpulan yang terlepas dari konteksnya (Alwasilan, 2002, hlm.169).

Validitas kualitatif merupakan upaya pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian dengan menerapkan prosedur tertentu, sementara realibilitas kualitatif mengidentifikasi bahwa pendekatan yang digunakan peneliti konsisten jika diterapkan peneliti lain (Creswell, 1998, hlm. 144). Jika data yang peneliti peroleh dapatkan di lapangan dianggap kurang cukup atau diragukan kevalidannya maka peneliti melakukan validitas data untuk mampu mendapatkan data yang lebih valid lagi dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Triangulasi

Teknik triangulation (triangulasi) yaitu kombinasi metodologi untuk memahami satu fenomena, triangulasi dilakukan dengan tujuan untuk mengecek kebenaran data


(32)

37

dengan membandingkan data yang diperoleh dari sumber lain mengenai pola pengembangan karakter anak usia dini dengan orang tua tunggal selama peneliti di lapangan (Alwasilah, 2002; Tarsiya, 2014). Patton (dalam Tasiyah, 2014) memaparkan terdapat empat cara untuk menguji validitas data, yaitu; a) membandingkan hasil wawancara, observasi serta cacatan lapangan yang telah diperoleh di lapangan dengan berbagai teori pendukung perihal yang akan diteliti yaitu pengembangan karakter pada anak usia dini dengan orang tua tunggal, b) membandingkan pengakuan informan secara pribadi dengan kenyataan perilaku dari informan itu sendiri, c) perbandingan pendapat pada saat penelitian, dengan situasi yang terjadi sebelumnya, d) membandingkan pendapat antara orang biasa, dan orang yang memahami tentang karakter dan pengembangannya.

2. Refleksivitas

Selain triangulasi peneliti juga melakukan refleksivitas, yaitu pengkajian yang cermat dan hati-hati terhadap seluruh proses penelitian (Sukmadinata, 2010). Penelitian kualitatif yang baik berisi pandangan peneliti tentang interpretasi mereka terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan serta dipengaruhi oleh latar belakang mereka, seperti hubungan dengan subjek penelitian, gender, kebiasaan yang ada di rumah, dan status sosial ekonomi begitu pemaparan Creswell (2010), refleksivitas juga dianggap sebagai salah satu kunci dalam penelitian kualitatif.

a. Adaptasi selama melakukan penelitian

Dalam penelitian yang bersifat interaktif, memerlukan adaptasi sehingga ketika proses penelitian berlangsung, baik subjek penelitian maupun peniliti akan merasa nyaman. Selama penelitian berlangsung, baik ibu subjek I dan ayah subjek II memberikan respon yang baik terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Meskipun ada perbedaan respon antara ibu subjek I dan ayah subjek II, dimana ibu subjek I lebih terbuka dan gamblang terhadap sesuatu yang dia rasakan atau lakukan. Namun, ayah subjek II tetap merespon dengan baik terhadap peneliti.


(33)

38

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dalam melaksanakan penelitian ini, tentu saja ada kekurangan atau kelemahan yang muncul. Ketika melakukan wawancara, peneliti sering merespon terhadap apa yang dinyatakan oleh subjek penelitian, sehingga peneliti lepas kontrol terhadap konteks pembicaraan yang diharapkan. Ketika melakukan observasi, Subjek I yang bisa di observasi oleh peneliti di sekolah, sedangkan subjek II di observasi di rumah, sehingga peneliti mengalami kesulitan untuk menyesuaikan waktu observasi dan menyeimbangkan beberapa kegiatan yang dilakukan anak. sehingga, keterbatasan dan pengalaman yang dimiliki peneliti menjadi kekurangan dalam penelitian ini.

b. Subjektivitas sebagai mahasiswa PGPAUD

Selama melakukan penelitian, seringkali peneliti menggunakan sudut pandang subjektif pribadi dalam merespon pernyataan subjek penelitian. Melihat pola asuh yang diterapkan oleh orangtua subjek penelitian, terkadang peneliti memberikan respon, baik itu berbagi pendapat dengan orangtua subjek penelitian atau memberikan pujian terhadap subjek penelitian. Melihat permasalahan pola asuh yang diterapkan orangtua subjek penelitian, seringkali peneliti menganggap bahwa perilaku subjek yang muncul diakibatkan oleh penerapan pola asuh orangtua subjek. Namun, orangtua subjek penelitian sering menganggap bahwa itu adalah perilaku subjek, sehingga orangtua subjek harus menerapkan pola asuh tersebut untuk mengatasi perilaku subjek.

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelititan kualitatif, peneliti tidak boleh menunda dan membiarkan data penelitian menumpuk untuk nanti dianalisis. Setelah melakukan observasi atau

interview, peneliti harus segera melakukan analisis lapangan dan menulis laporannya

dengan segera. Menurut Glaser (1978) apabila analisis tersebut ditunda maka peneliti tidak akan memperoleh theoretical sensitivity, yaitu kepekaan teoritis terhadap data yang dikumpulkan (Alwasilah, 2002).

Pendapat lain mengenai analisis data kualitatif disampaikan oleh Bogdan & Biklen (dalam Moleong, 2008), yang menyatakan bahwa teknik analisis data


(34)

39

kualitatif yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Teknik analisis data yang digunakan adalah grounded theory atau disebut juga penyusunan Teori-Dari-Bawah (TDB). Analisis data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep, dan pembangunan suatu teori baru, hal ini dapat kita sebut sebagai grounded theory yang di dalamnya terdapat tiga unsur yaitu konsep, kategori, dan proposisi (Moleong, 2008; Sarwono, 2006).

Strauss & Corbin (dalam Emzir, 2008, hlm. 192) munyampaikan bahwa:

pendekatan grounded theory adalah suatu metode penelitian kualitatif yang menggunakan suatu prosedur yang sistematis untuk mengembangkan teori secara induktif yang memperoleh teori dasar tentang suatu fenomena. Temuan penelitian merupakan suatu perumusan teoritis menyangkut kenyataan dibawah penyelidikan, bukan terdiri atas serangkaian angka-angka, atau suatu kelompok yang terlepas berhubungan dengan tema-tema. melalui metodologi ini, konsep dan hubungan antarkonsep tidak hanya dihasilkan, tetapi juga untuk sementara di uji.

Menurut Emzir (2008, hlm. 210) proses analisis data dalam penelitian grounded

theory bersifat sistematis dan mengikuti format standar sebagai berikut:

1. Dalam pengodean terbuka (open coding), peneliti membentuk kategori awal dari informasi tentang fenomena yang dikaji dengan pemisahan kategori menjadi segmen-segmen. Di dalam setiap kategori, peneliti menemukan beberapa propertics, atau subkategori, dan mencari data untuk membuat dimensi (to demansionalize), atau memperlihatkan kemungkinan ekstrem pada kontinum property tersebut.

2. Dalam pengodean poros (axial coding), peneliti merakit dalam cara baru setelah open coding. Rakitan data ini dipresentasikan menggunakan paradigma pengodean atau diagram logika dimana peneliti mengidentifikasi fenomena sentral (yaitu kategori sentral tentang fenomena), menjajaki kondisi kausal (yaitu kategori yang memengaruhi fenomena), menspesifikasikan


(35)

40

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

strategi (yaitu tindakan atau interaksi yang dihasilkan dari fenomena sentral), mengidentifikasi konteks dan kondisi yang menengahinya (yaitu kondisi luas dan sempit yang memengaruhi strategi), dan menggambarkan konsekuensi (yaitu hasil dari strategi).

3. Dalam pengodean selektif (selective coding), peneliti mengidentifikasi “garis cerita” dan menulis cerita yang mengintegrasikan kategori dalam model pengodean poros. Dalam fase ini, proposisi bersyarat (conditional

proposition) atau hipotesis biasanya disajikan.

4. Akhirnya, peneliti dapat mengembangkan dan menggambarkan secara visual suatu matrik kondisional yang menjelaskan kondisi sosial, historis dan ekonomis yang memengaruhi fenomena sentral. Fase analisis ini tidak sering ditemukan dalam studi grounded theory.

Tabel 3.2 Tabel Coding

Waktu Wawancara Hasil Wawancara Koding

6 Juni 2015 P : Usia berapa pak? R : 33 tahun

14. Sikap responsive orang tua

P : Kelas berapa sekarang? R : Yang kesatu kelas 3 SMP (16 tahun), sama baru masuk SD (6-7 tahun).

34. Usia

P : Oia kan katanya bapa sudah pisah ya sama istrinya?

R : Muhun.

14. Sikap responsive orang tua

P : Sudah berapa lama bapa bercerai?

R : Udah 2 tahun aja.

34, Usia (Lamanya bercerai, ketika anak berusia 4-5 tahun) P : Oh gitu..oia bapa kan sendiri

ya mengasuh anak? R : Iya sendiri.

50. Peran single parent

P : Kalo menurut bapa berat engga sih mengasuh sendiri? R : Alhamdulillah, berat sih engga. Cuma ya sedikit berbeda, yang tadinya ada jadi ngga ada. Alhamdulillahnya anak-anak

41. Ungkapan perasaan single parent

11. Tanggung jawab orang tua


(36)

41

juga ada semua sama saya.

P : Oh Alhamdulillah ya. Kalo bapak kerja dimana?

R : Kerja di pasar (kuli panggul).

39. Pekerjaan

P : Kalo jam kerjanya sendiri itu gimana pak?

R : Kalo kerja sih sebentar, cuma dari ashar jam 3 sampe jam 9.

39. Pekerjaan (Jam kerja ayah single parent)

P : Nah bapak kan sendiri, harus berperan sebagai ayah juga ibu. Gimana bapa menjalankan peran ibu?

R : Ya kalo saya, gimana ya? Udah biasa sih.

50. Peran single parent

P : Kalo untuk komunikasi sendiri? Bapa suka nanya tentang sekolah, atau temannya atau yang lainnya?

R : Kalo komunikasi ada, sampe beli buku segala mah gitu….ya kalo untuk beli, eh beli

hehe..nanyain temen pelajaran apa sama beli masalah

perlengkapan ini itu ini itu, ya ada.

20 Diskusi orientasi keinginan anak

14. Sikap responsive orang tua

P : Kalo belanja kebutuhan kaya gitu, suka sama bapa?

R : Iya.

50. Peran single parent

P : Wah bagus yah..kalo lagi di rumah bapa suka marah nggak kalo anak berbuat salah?

R : Ya engga, da udah biasa tuh. Jadiiii….gimana yah, istilahnya udah kebaca karakter anak tuh, pengennya gimana..Ya ngga mungkin kan satu keturunan bener (lurus) semua, pasti ada salah satunya yang salah tuh dulu-dulunya.

8. Emosional orang tua (orang tua tidak marah ketika anak melakukan kesalahan)

5. Sikap penerimaan orang tua

P : Kalo menurut bapa, yang kecil itu karakternya seperti


(37)

42

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

apa?

R : Yaa lempeng-lempeng aja, biasa aja gitu.

P : Prestasinya gimana? Hubungan sama temennya gimana?

R : Ya hubungan sama

temennya Alhamdulillah deket, akrab.Pelajaran agak khusu, suka ngerjain PR, selesai itu baru main gitu!

29. Kemampuan sosial subjek

30. Prestasi subjek

24. Sikap tanggung jawab subjek

P : Kalo masalah main gimana pak? Dibolehkan terus atau gimana?

R : Kalo masalah main mah, gimana ya..nggak bisa ngebates gitu. Gimana pengen si anak teh.

1. Kontrol orang tua (Kontrol kurang dan cenderung membebaskan anak)

P : Nah kalo bapa suka mengontrol nggak? Misalnya ade ngga boleh main selesai sekolah atau gimana gitu? R : Ya kalo seperti itu mah ada aja, kalo salah, tapi selama itu untuk kebaikan ya saya sih nggak masalah gitu.

1. Kontrol orang tua (Kontrol kurang dan cenderung membebaskan anak)

P : Bapak pernah marah sampe mukul, nyubit atau jewer gitu? R : Alhamdulillah belum pernah.

7. Hukuman fisik (tidak adanya penerapan fisik dari orang tua)

P : Wah sabar sekali ya pak heheeee,…(bersama)

R : Jadi gini The, makanya anak ikut sama saya tuh ya, jadi istilahna sapotong bapa sapotong ibu. Jadi, saya mah mau pengen ngasih yang terbaik gitu.

41. Ungkapan perasaan single parent

50. Peran single parent (ingin melakukan peran single parent dengan maksimal)

P : Alhamdulillah, bagus ya pak. R : yaa sampe sekolah manapun ya di stok terus gitu.Saya pribadi belum kepikiran buat nikah lagi gitu.

50. Peran single parent (ingin melakukan peran single parent dengan maksimal)

57. Peran anak dalam keluarga (anak merupakan


(38)

43

prioritas bagi ayah single parent)

P : Jadi untuk sekarang fokus ke anak gitu ya pak?

R : Ya iya, besok naik lagi ke SMA, nanti yang kecil juga kan sekolah SMP. Ya minimal 6 tahunan lah.

57. Peran anak dalam keluarga (anak merupakan prioritas bagi ayah single parent)

53. Aspek pendidikan (Ayah single parent mementingkan pendidikan bagi anak-anaknya)

P : Jadi sekarang fokus buat tabungan anak ya?

R : Ya muhun.. Jadi saya fokusnya kesitu aja sih, takut nanti terganggu. Memang kita bisa nyari lagi, mending kalo enak ke anaknya kalo engga. Nah itu yang saya jaga.

Yaa..takut nanti ada ‘saya udah ikut ke bapa, tapi bapanya kaya gitu’, gitu.

57. Peran anak dalam keluarga (anak merupakan prioritas bagi ayah single

parent)

P : Jadi dua-duanya ikut ke bapa? Ngga ada yang ikut mamahnya?

R : Ya nggak ada, sekolahnya juga disini semua.

4. Nurturance

P : Kalo mamahnya dimana? R : Ya pulang kekampungnya.

35. Broken home P : Oh gitu.. Oia pak balik lagi

ke karakter anak ya pak.. sekarang kan bapa mengasuh sendiri, gimana caranya supaya anak punya karakter yang baik? R : Yaaa, nomer satu sekarang yang dipengen sama anak, ya kita cuma bisa mencari, istilahnya gitu.Tapi kita ya harus minta

pertanggungjawabannya gitu. Misalnya kan sekarang pengen sepatu baru gitu, kaos baru, atau buku, atau mainan dirumah. Ya saya sebagai orang tua, pengen liat gimana hasil di sekolah gitu.

14. Sikap responsive orang tua

1. Kontrol orang tua


(39)

44

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Hasil sekolah ranking yang bagus gitu aja.

P : Jadi m..

R : Perilaku, masalah perilaku

jangan sampai istilahnya orang lain, gimana ya? orang lain

kecewa gitu. Yang penting kita

sama-sama saling akrab gitu..

2. Maturity demands dari orang tua (ayah ingin anaknya bisa meyesuaikan diri dengan orang lain sehingga tida membuat kekecewaan)

29. Kemampuan sosial subjek (hubungan akrab dengan orang lain)

P : Bapa sama anak-anak juga akrab? Sejalan gitu?

R : Ya akrab. Ya soalnya kan, ya semua juga pengen kan ngikutin bapa.Istilahnya ya nggak sama kaya waktu dulu, waktu masih bareng, sering dicegat jatahnya dibelakang saya tuh.

20. Diskusi orientasi keinginan anak (anak bebas memilih untuk ikut dengan ayah atau ibu) 36. Faktor perceraian (ibu kurang manajemen keuangan)

P : Wah sama ibunya?

R : Iya, jadi anak pengen beli anu, pengen beli anu, ini itu, bilangnya ngga ada. Sedangkan saya tuh ngasih uang, buat di rumah, mana buat makan, mana buat jajan, mana buat beli peralatan gitu langsung tuh.Jadi hak si anak pengen beli ini itu, alasan uang ngga ada gitu, padahal udah dikasih.

11. Tanggung jawab orang tua (kurangnya tanggung jawab ibu terhadap

manajemen keuangan dan pemenuhan kebutuhan anak)

11. Tanggung jawab orang tua (tanggung jawab ayah dalam pemenuhan

keuangan)

36. Faktor perceraian

P : Kurang manajemennya juga ya ibunya?

R : Iya, iya. Kan istilahnya kalo orang tuanya bener gitu ya, belum tentu saya juga, ngga tau udah bener apa masih salah. Yang penting mah sekarang saya nyari uang, buat anak, udah dikasih, asalkan anak mau nurut sama saya.Disuruh shalat, apa ngaji, apa sekolah jalaan. Dibalik semua itu, udah sekolah udah shalat, udah ngaji, main

41. Ungkapan perasaan single parent

50. Peran single parent 1. Maturity demand dari orang tua (ayah menuntut kemandirian dari anak) 13. Sikap tegas orang tua (orang tua membebaskan anak setelah mengerjakan tugas mereka)

11. Tanggung jawab orang tua (tanggung jawab orang tua dalam pemenuhan


(40)

45

yaudah saya mah bebas. Pengen apapun saya kasih, walaupun nggak ada juga, ya saya ada-adain.

kebutuhan dan keinginan anak)

P : Kalau menurut bapa anak yang kecil, itu punya percaya diri yang tinggi nggak? R : Ya Alhamdulillah.

25. Percaya diri anak.

Tabel 3.3 Axial Coding

TEMA SUBTEMA KODE

Character Courage

Keberanian anak yang tinggal dengan single parents

Berani melakukan segala sesuatu sesuai

keinginannya sendiri Berani melakukan sendiri, sesuai kegiatan yang ingin dilakukannya

Percaya diri di depan orang banyak

Berani menyampaikan pendapatnya sendiri Berani membela dirinya sendiri

Kegigihan anak yang tinggal dengan single parents

Selalu ingin memenuhi rasa ingin tahunya Fokus terhadap sesuatu yang sedang dilakukan Menyelesaikan sesuatu yang telah dimulai olehnya Tidak menyerah ketika mengalami kesulitan


(41)

46

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Integritas anak yang tinggal dengan

single parents

Tidak memilih teman ketika bermain

Menolong teman yang mengalami kesulitan Kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya Memiliki jiwa yang kompetitif

Mampu bersosialisasi dengan baik

Berperilaku dengan baik, tidak merugikan orang lain Tanggung jawab terhadap tugasnya

Leadership subjek

Kejujuran subjek

Vitality anak yang tinggal dengan single parents

Aktif dalam melakukan kegiatan

Ceria dalam melakukan kegiatan

Antusias dalam melakukan kegiatan yang dilakukan Respon single parents terhadap

anak

Empati single parents terhadap perasaan anak Menemani anak bermain Menemani anak belajar


(42)

47

Adanya kontak fisik seperti memeluk,

mencium, menggendong ketika bersama dengan anak

Mendengarkan pendapat anak

Diskusi orientasi keinginan anak

Sikap penerimaan orang tua terhadap karakter anak Intensitas kebersamaan Kontrol single parents terhadap

anak

Membatasi kegiatan anak Menerapkan aturan pada anak

Ketegasan terhadap aturan yang telah dibuat

Penerapan sanksi bagi anak

Maturity demands dari

orang tua

Reward yang diberikan

pada anak

Nurturance Joint custody dengan ayah

Joint custody dengan ibu

Peran Significant Other Nenek Kakek Bibi Metode single parent dalam

pengembangan character courage

Memberikan nasihat dengan penjelasan tentang


(43)

48

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pada anak dampak dari perbuatan

baik atau buruk atau memberikan dorongan pada anak

Membiasakan anak terhadap hal-hal yang mampu mengembangkan karakternya.

Memberikan keteladanan pada anak untuk menjadi contoh yang baik bagi anak

Melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap kegiatan anak

Table 3.4 Selective Coding

NO KODE

1 Keberanian anak yang tinggal dengan single parents 2 Kegigihan anak yang tinggal dengan single parents 3 Integritas anak yang tinggal dengan single parents 4 Vitality anak yang tinggal dengan single parents

5 Respon single parents terhadap anak 6 Kontrol single parents terhadap anak 7 Nurturance

8 Peran Significant Other


(44)

49

G. Etika Penelitian

Dalam penelitian yang bersifat interaktif, keterampilan membina hubungan interpersonal merupakan hal yang penting. Dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian, peneliti harus mampu menumbuhkan kepercayaan subjek penelitian, menjaga hubungan baik antara peneliti dan subjek penelitian, tidak menilai subjek penelitian, menghormati norma situasi, dan memiliki sensitivitas terhadap isu-isu etika (Sukmadinata, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti tidak menuliskan identitas subjek penelitian secara lengkap dan menggunakan inisial untuk nama. Peneliti tidak menampilkan dokumentasi ketika melakukan observasi, sehingga hanya melakukan catatan lapangan terhadap kegiatan subjek penelitian.


(45)

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

104

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, pada bab ini akan diuraikan kesimpulan yang telah diperoleh dari hasil penelitian. Kesimpulan tersebut berdasarkan pada rumusan permasalahan yang telah diajukan di BAB I, yaitu profil karakter courage anak usia dini pada ibu single parents yang bercerai, profil karakter courage anak usia dini pada ayah

single parents yang bercerai, serta perbandingan profil karakter courage anak usia

dini pada single parents dengan latar belakang bercerai. Berikut ini dikemukakan beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Profil karakter courage anak usia dini pada ibu single parents yang bercerai tidak berkembang secara maksimal. Hal itu dibuktikan dengan karakter keberanian anak yang belum berkembang dan munculnya antonim dari keberanian, sehingga tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak memiliki otoritas diri. Selain itu, anak memiliki integritas yang rendah, terlihat dengan kurangnya kemampuan sosial anak, dan agresifitas yang ditunjukkan anak, serta anak memiliki semangat yang cenderung menurun. Namun, anak memiliki kegigihan dalam memenuhi rasa ingin tahunya, dia tidak akan berhenti mencari tahu sampai rasa ingin tahunya telah terpenuhi. Selain itu, anak juga memiliki rasa peduli dan kemauan untuk menolong terhadap orang lain. Adanya beberapa sikap yang menunjukkan perkembangan karakter

courage dan sikap yang berlawanan dengan karakter courage dipengaruhi

oleh penerapan pola asuh ibu single parents yang tidak konsisten, terlihat dari kondisi emosi ibu yang cenderung tidak stabil; tanggung jawab orang tua yang terlalu melindungi dan berhati-hati; respon ibu yang tinggi, adanya sikap penolakan ibu terhadap kehadiran anaknya, kontrol ibu single parents yang terlalu menekankan aturan dan batasan yang disertai hukuman verbal dan fisik, keadaan financial yang tidak stabil, dan tidak adanya joint custody dengan ayah, serta kurangnya peran significant other.


(46)

105

2. Profil karakter courage anak usia dini pada ayah single parents yang bercerai, sudah berkembang. Hal tersebut terlihat dari karakter keberanian yang muncul pada anak, dibuktikan dengan sikap anak yang memiliki otoritas diri, dan memiliki kegigihan yang berkembang dengan tetap berusaha ketika menghadapi tantangan, dan anak memiliki integritas yang berkembang dengan kemampuannya yang pandai bersosialisasi tanpa memandang usia, meskipun dengan kemampuan berkomunikasi yang tidak leluasa, serta semangat anak yang cenderung meningkat. Adanya indikasi karakter courage anak dengan ayah single parents berkembang, dipengaruhi pola asuh yang diterapkan oleh ayah single parents ini adalah otoritatif yang dipengaruhi kondisi emosi orang tua yang cenderung stabil, cenderung bersikap hangat namun tegas, kontrol orang tua yang santai, tidak terlalu menekankan aturan dan batasan; menjalankan peran double figure dalam memenuhi tanggung jawab orang tua, sikap responsive orang tua yang tinggi, tidak adanya joint custody, namun ada nenek sebagai peran significant other dalam nurturance.

B. Implikasi

Ketika seseorang yang memiliki karakter courage diharapkan cerdas dalam kehidupan sehari-harinya, serta mampu mencapai tujuannya dengan melakukan semua upaya dan mampu menghadapi segala tantangan, sehingga menjadi pribadi yang unggul dan tangguh (Arismantoro, 2008; Peterson & Seligman, 2004). Pengembangan karakter harus dimulai sejak dini, sejak anak lahir. Pada masa ini anak mulai diletakkan nilai-nilai moral dasar yang akan mengembangkan karakter anak. Proses tersebut akan berlangsung hingga anak berusia lima tahun, dimana pada saat itu hampir seluruh waktu anak dihabiskan dalam lingkungan keluarga (Arismantoro, 2008).

Dalam prosesnya figur ayah dan figur ibu secara komplementatif sangat diperlukan anak dalam pengembangan karakternya. Hal ini karena adanya beberapa peran ayah yang khas yang sulit digantikan oleh perempuan, sekalipun

singleparent. Pola pengasuhan ibu yang hati-hati, akan diseimbangkan oleh ayah

sehingga membentuk pengasuhan yang sempurna. Biasanya ayah akan bersikap lebih santai, lugas, dan banyak memberi kebebasan untuk bereksplorasi


(47)

106

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

(Arismantoro, 2008). Namun dalam pelaksanaannya single parents mengalami beberapa kesulitan tersendiri, sehingga membuat anak memiliki profil karakter

courage yang tidak berkembang pada anak usia dini dengan single parents, seperti

keberanian yang tidak berkembang sehingga anak menjadi kurang percaya diri dan mandiri; memiliki kegigihan yang rendah sehingga anak tidak memiliki sifat tegar, kompetitif, tidak begitu menyukai tantangan; integritas yang rendah; serta kurang semangat dalam mencoba hal baru. Ternyata hal tersebut disebabkan oleh pola asuh yang diterapkan oleh single parents, nurturance, serta peran significant

other selama pengasuhan. Apabila faktor yang disebutkan tadi dilakukan dengan

baik, maka profil karakter courage anak usia dini pada single parents pun akan berkembang. Begitupun sebaliknya, apabila pola asuh yang diterapkan oleh

single parents adalah otoriter atau tidak konsisten atau permissive, nurturance

tanpa ada joint custody, serta tidak adanya peran significant other, maka profil karakter courage anak usia dini pada single parents pun tidak akan berkembang dengan baik.

C. Rekomendasi

1. Bagi Ibu Single Parent

Diharapkan untuk ibu single parent mampu melakukan pengasuhan yang tepat dalam rangka mengembangkan karakter courage pada anak, diantaranya:

a. Kondisi emosi orang tua yang stabil. Ibu single parents harus lebih pandai dalam menahan emosinya ketika marah, meskipun banyak tantangan dan beban yang dihadapinya. Hal ini harus dilakukan untuk mengurangi adanya peluapan emosi pada anak. Sehingga, anak tidak memunculkan perilaku yang tidak diharapkan oleh orang tua. Ketika anak melakukan kesalahan, ibu single parent perlu menjelaskan terlebih dahulu pada anak tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan berikut alasannya dengan menggunakan bahasa yang lugas dan jelas.

b. Tanggung jawab ibu single parent. Menempatkan tugas dan kewajiban sebagai ayah dan ibu menjadi agenda utama. Ibu yang baik akan secara sadar membuat kegiatan parenting dan pembentukan karakter anak sebagai prioritas utama meskipun mennjalankan dua peran sekaligus.


(1)

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 2. Bagi Ayah Single Parent

Diharapkan untuk ayah single parent mampu melakukan pengasuhan yang tepat dalam rangka mengembangkan karakter courage pada anak, diantaranya:

a. Tanggung jawab ayah single parent. Menempatkan tugas dan kewajiban sebagai ayah dan ibu menjadi agenda utama. Ayah single parent yang baik akan secara sadar membuat kegiatan parenting dan pembentukan karakter anak sebagai prioritas utama. Tidak hanya menjalankan perannya sebagai ayah, namun juga harus menjalankan peran sebagai ibu.

b. Kontrol ayah single parent. Memberikan hukuman dengan kasih sayang. Anak harus diberikan hukuman ketika melakukan pelanggaran atau kesalahan, namun hukuman yang diberikan harus bersifat mendidik agar ia mau belajar, bukan dengan memberikan hukuman fisik dan penggunaan kata yang kasar dan menghina pada anak, namun tetap harus tegas dan konsisten. Selain itu, anak harus tahu bahwa hal tersebut diberikan karena ayah sayang pada mereka.

c. Respon ayah single parent. Membuka mata dan telinga terhadap apa yang sedang mereka alami. Lebih peduli terhadap pengurusan anak, sehingga anak bisa berkembang lebih baik. Ayah single parent harus memberi pujian jika anak ketika berhasil melalui berbagai masalahnya, sehingga akan membentuk karakter anak yang kukuh dan anak makin percaya diri menatap masa depan.

d. Ayah single parent yang memiliki pekerjaan. Mereka harus mengevaluasi cara ayah single parent dalam menghabiskan waktu bersama anak (quality time). Ayah single parent perlu merencanakan cara yang sesuai dalam melibatkan diri bersama anak- anak melalui berbagai kegiatan baik itu belajar bersama, makan bersama, bermain bersama, dan mendongeng sebelum tidur.

e. Nurturance. Antara orang tua yang telah bercerai mampu melakukan joint custody demi keseimbangan perkembangan karakter anak. Ayah single parent menyiapkan diri menjadi contoh yang baik, karena ayah merupakan lingkungan terdekat yang paling banyak ditiru oleh anak. Hal ini tidak


(2)

109

dapat dihindari, karena anak sedang dalam masa imitasi dan identifikasi. Sehingga, ayah harus mampu menjalin kerja sama dengan ibu anak, atau melakukan pengasuhan yang seimbang baik sebagai ayah ataupun ibu.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Peneliti selanjutnya dapat menggali faktor-faktor lain yang terkait dengan profil karakter anak usia dini dengan single parents, seperti profil karakter kindes dengan single parents.

b. Peneliti selanjutnya dapat mencoba menerapkan metode penelitian yang lain untuk melihat lebih mendalam terkait dengan profil karakter anak usia dini dengan single parents.


(3)

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 110

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asyamawi, Hasan. (2004). Mendidik Anak Dengan Cinta. Yogyakarta: Saujana Alfabeta.

Alwasilah, A. C. (2002). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: PT Dunian Pustaka Jaya Andrianto, T. T. (2011). Mengembangkan Karakter Sukses Anak di Era Cyber.

Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek. Jakarta: Arismantoro (Penyunting). (2008). Tinjauan Berbagai Aspek Character Building:

Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter?. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bigner, J. J. (2002). Parent-Child Relations: An Introduction to Parenting. New Jersey: Merrill Prentice Hall.

Center on Education Policy. 4. What Roles Do Parent Involvement, Family Background, and Culture Play in Student Motivation?(pdf).

Cummings, E.M., Zahn-Waxler, C. and Radke-Yarrow, M. 1981, 'Young children's responses to expressions of anger and affection by others in the family', Child Development, vol.52, pp.1274-82.

Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among five tradition. London: Sage Publication..

Creswell, J. W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixd. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Daniel, Moehar. (2001). Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Medan: PT Bumi Aksara.

Departemen Hukum dan Ham. (2004). Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Jakarta.

Djamarah, S.B. (2014). Pela Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Emzir. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif & Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


(4)

111

Ernawati. (2009). Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dengan Perilaku Pengambilan Risiko pada Remaja. Skripsi pada Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Febryanti, W. Tairas. Perbedaan Kesiapan Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Antara Anak dari Orangtua Tunggal dengan Orangtua Utuh (pdf).

Feist, J. & Feist, G, J. (2008). Theories of Personality. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Goode, W. J. (1983). Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara.

Harry. (2002). Tidak Lebih 20%-30% Orangtua yang Tidak Mampu Didik Karakter Anak.Tersedia:http://www.kaltimprov.go.id/content.php?kaltim=news&code= 1&view=37.

Haq, Saiful. (2013). Jurus-Jurus Berkarakter. Yogyakarta: Mitra Barokah Abadi. Hodges, W. F. (1991). Interventions for Children of Divorce: custody, access &

psychotheraphy (2nd ed.). Canada: John Cuirey & Sons, Inc.

Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan(edisi kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ihromi, T. O. (1999). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kurtus, R. (1997). Concern for The Character of Children (Online). Tersedia:

http://www.school-for-champions.com/character/concern/children/htm. Lickona, T. (1991). Educating for Character: Mendidik untuk Membentuk Karakter.

Jakarta: PT Bumi Aksara.

Lickona, T. (1998). Do Parents Make a Difference in Children’s Character Development?. Fourth Annual Fall Character Education Seminar (Pdf) Lickona, T. (2003). Character Matters. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Mashar, Riana. 2011. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

MÖnks, F. J. et. al. (2006). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(5)

Ayu Wulandari, 2015

PROFIL KARAKTER COURAGE ANAK USIA DINI PADA KONDISI KELUARGA SINGLE PARENTS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Papalia, D. E., et. al. (2008). Human Development Edisi IV. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Papalia, D. E., et. al. (2011). Human Development Edisi V. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Perlmutter,M.E., & Hall. (1999). Adult Development and Aging. New York: John Willey & Sons

Peterson, C. & Seligman, M. (2004). Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. American Psychological Association and Oxford University Press.

Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Putera, Nusa. (2011). Penelitian Kualitatif: Proses & Aplikasi. Jakarta: PT Indeks. Rineka Cipta.

Rimm, Sylvia. (2003). Mendidik dan Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Samani, M. dan Hariyanto. (2011). Pendidikan Karakter. Surabaya: Rosda.

Santrock, J. W. (1995). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup (edisi kelima, jilid I). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. W. (2002). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup (edisi kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. W. (2012). Life Span Development. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Saptono, (2011). Dimensi- Dimensi Pendidikan Karakter. Jakarta: Esensi Erlangga Group.

Sarwono, Jonathan. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Severe, Sal. 2000. Bagaimana Bersikap pada Anak Agar Anak Bersikap Baik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Smith, J. 2009. Psikologi Kualitatif: Panduan Praktis Metode Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

113

Sodikin, dkk. Pengaruh Karakteristik Anak, Keberadaan Orang Tua, dan Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Sosial, Emosional, dan Moral Pada Usia Sekolah Wilayah Kota dan Desa Di Kabupaten Banyumas (pdf).

Steinberg, L. (2002). Adolescence (6th edition). New York: McGraw-Hill.

Sudewo, Erie. (2011). Character Building Menuju Indonesia Lebih Baik. Jakarta: Republika Penerbit.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:

Suhardono, V. M. E. (1998). Model Teori Pengambilan Keputusan Pasca-Krisis Perkawinan: Suatu Kajian pada Klien Konseling Perkawinan di Beberapa kota di Jawa. (Ringkasan Disertasi). Jakarta: Pascasarjana UI.

Sukmadinata, N.S. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tasiyah, Luthafiatul. (2014). Pola Asuh Anak di Desa Benda Kerep Kota Cirebon. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka

Wahab. (pdf). Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif. Tidak Diterbitkan.

Wahyudin, Uyu. Mubiar, A. (2011). Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Bandung: Refika Aditama.

Waluya, Bagja. (2007). Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Bandung: PT Setia Purna Inves.

Widyastuti, Dian. (1997). Faktor- Faktor yang Melatarbelakangi wanita dalam Mengambil Keputusan untuk Bercerai: Studi terhadap Perceraian yang Dialami Wanita Golongan Menengah di Jakarta. Jakarta: -.

Wiludjeng, Henny. (2011). Orang Tua Tunggal: Permasalahan dan Solusinya. Jakarta: Penerbit Inti Prima Promosindo.

Yusuf, Syamsu., dkk. (2010). Bimbingan Etika Pergaulan bagi Pengembangan Karakter Remaja. Bandung: Rizky Press