Buku Acuan Umum CFHC IPE 2014 1

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

KONTRIBUTOR

dr.Ova Emilia,M.Med.Ed., PhD., SpOG(K) Ilmu Kebidanan dan Kandungan dr.Rossi Sanusi, MPH., PhD Ilmu Kesehatan Masyarakat

Prof.DR.dr.Adi Heru Sutomo, DLSHTM, DCN Ilmu Kessehatan Masyarakat dr.Wahyudi Istiono,M.Kes Ilmu Kesehatan Masyarakat Dra.Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD Ilmu Kesehatan Masyarakat dr.Fatwasari Tetra Dewi, MPH., PhD Ilmu Kesehatan Masyarakat Alm. Mariyono Sedyowinarso, SKp., M.Si. Prodi Ilmu Keperawatan Totok Harjanto, S.Kep., Ns., M.Kes Prodi Ilmu Keperawatan dr. Suryono Yudha Patria, SpA(K) Imu Kesehatan Anak dr.Detty, MSc., PhD., SpOG(K) Ilmu Kebidanan dan Kandungan dr.Mora Claramita,MHPE., PhD

Bagian Pendidikan Kedokteran dr.Citra Indriyani, MPH Ilmu Kesehatan Masyarakat dr.Hikmawati,MMed.Ed Bagian Pendidikan Kedokteran Dr.Nur Azid Mahardinata Bagian Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran Dr.Emy Huriyati, M.Kes Prodi Gizi Kesehatan

dr.Fitriana

Tim Kedokteran Keluarga/ Tim CFHC-IPE dr.Fransisca Kurnia Chandra

Tim CFHC-IPE dr.Dianing Pratiwi

Tim CFHC-IPE

Editor:

Dra.Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD dr.Fatwasari Tetradewi, MPH, PhD

dr.Fitriana

Cover:

dr.Fitriana dr.Fransisca Kurnia Chandra

KATA PENGANTAR

Assalammu‟alaikum wr.wb

Puji syukur yang dalam kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala anugerah dan berkah Nya, karena telah selesainya penyusunan buku Panduan Umum CFHC-IPE bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran. Sebuah tim inter-disipliner terdiri atas praktisi-praktisi yang berasal dari berbagai macam profesi yang berbeda, yang berbagi populasi pasien yang sama dan tujuan pelayanan pasien yang sama, memiliki tugas dan kewajiban yang saling mendukung dan bergantung antar profesi. Tim ini saling bergantung secara aktif, dengan sarana komunikasi yang memadai diantara anggotanya dan dengan pasien beserta keluarganya untuk memastikan bahwa semua aspek kebutuhan kesehatan pasien tertangani secara komprehensif.

Pendidikan profesi kesehatan seringkali bersifat eksklusif sesuai dengan profesinya masing-masing. Mahasiswa tidak memiliki banyak kesempatan untuk menimba ilmu mengenai atau bersama-sama dengan mahasiswa dari profesi lain. Untuk dapat berfungsi secara efektif sebagai sebuah tim, para anggota harus terlebih dahulu memahami peran serta tugas dan kewajiban profesi lain.

Hubungan kelompok yang sudah terbangun dengan baik menjadi dasar dalam kegiatan di kurikulum CFHC yang berbasiskan masyarakat dalam bentuk Family Attachment. Kegiatan CFHC yang merupakan kegiatan longitudinal selama masa pembelajaran di S1 yang akan menerapkan pembelajaran Patient Safety, Evidence Based Practice, Public Health, Ethic and Professionalism, Family Medicine, Learning Skills, Clinical Skills Lab, Inter-professional Education (IPE), Pengembangan Kepribadian, baik dari Pendidikan Dokter maupun Ilmu Keperawatan dan Gizi Kesehatan.

Tim CFHC-IPE Fakultas Kedokteran-Universitas Gadjah Mada

PENDAHULUAN

Buku acuan umum CFHC-IPE merupakan rujukan keilmuan yang bersifat praktis. Buku ini digunakan untuk menambah kejelasan tentang dasar-dasar keilmuan CFHC-IPE secara sederhana. Untuk pendalaman diperlukan melihat rujukan-rujukan yang ditulis pada masing- masing bab.

Isi buku ini menyangkut masalah dasar-dasar kerja profesional tenaga kesehatan di tingkat pelayanan primer dengan pendekatan personal atau biopsiososial-kultur-spiritual; Inter professional education, communication, and teamwork; need, want, dan demand; Upaya penanggulangan penyakit; perjalanan alamiah penyakit; keseimbangan ekologis; epidemiologi; occupational health; self awareness; penyuluhan masyarakat; communication action and communication empowerment, pendekatan dan pemberdayaan masyarakat untuk kesehatan; dan sistem rujukan.

Pada prinsipnya pelayanan primer akan berhasil bila melibatkan pasien sebagai personal yang memiliki latar belakang biopsiososial-kultur-spiritual. Upaya personal dapat dikelompokkan di dalam keinginan individu, kebutuhan, serta suatu upaya yang harus dipenuhi (need, want, demand), maka hasil yang diharapkan dari upaya tersebut adalah tercapainya status kesehatan individu, keluarga dan masyarakat yang optimal yaitu semua upaya sudah dilaksanakan termasuk self awareness, penyuluhan masyarakat, communication action and communication empowerment, pendekatan dan pemberdayaan masyarakat untuk kesehatan, serta sistem rujukan.

Bagi mahasiswa yang sedang menjalankan pendidikan CFHC-IPE, acuan tersebut diatas dapat digunakan untuk melaksanakan tugas lapangan baik secara individu maupun kelompok. Kegiatan CFHC-IPE dilaksanakan secara kelompok karena realitas kegiatan di pelayanan primer dilakukan oleh tim kesehatan baik dari profesi dokter, perawat, dietisen, dan lain-lain maka diperlukan pendidikan interprofesi serta pembentukan teamwork seawal mungkin semenjak mahasiswa semester satu sampai dengan selesai sarjana.

Tujuan pembelajaran CFHC-IPE adalah pendekatan personal di dalam keluarga dilanjutkan dengan pelayanan komunitas berbasis pada kerjasama tim, maka diperlukan pengetahuan tentang upaya penanggulangan penyakit di tingkat primer yang meliputi berbagai komponen antara lain pemahaman perjalanan alamiah penyakit, keseimbangan ekologis, dan epidemiologi.

Ketua Koordinator CFHC-IPE

BAB I FAMILY ATTACHMENT-BIOPSYCHOSOCIAL

dr.Wahyudi Istiono, M.Kes dr.Fransisca Kurnia Chandra Totok Harjanto, S.Kep., Ns., M.Kes dr.Emy Huriyati, M.Kes Editor: dr.Fatwasari Tetradewi, MPH, PhD dan dr.Fitriana

Biospikososial-kultur-spiritual merupakan suatu konteks dinamika kehidupan individu terutama di lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja. Prinsip pengelolaan kesehatan yang berbasis pada individual atau personal menggunakan konteks tersebut di atas sebagai prosedur spesifik keilmuan di bidang pelayanan primer (family medicine). Biopsikososial memberikan dasar pemahaman menentukan penyakit, mengarahkan pada terapi yang tepat, dan pola pelayanan kesehatan .

Pendekatan biopsikososial secara sistematis mempertimbangkan faktor biologi, psikologi, dan sosial dan interaksi kompleks dalam memahami sehat, sakit (illness), dan penyampaian pelayanan kesehatan. Pendekatan ini menggambarkan karakteristik personal yang lebih lengkap dan lebih realistis sebagaimana kehidupan sehari-hari klien beserta keluarganya.

Dahulu, terminologi yang dipakai adalah biomedical, di mana kata tersebut hanya menjelaskan tentang pikiran dan tubuh. Mengingat penyakit primer merupakan kegagalan tubuh yang dihasilkan dari infeksi, keturunan atau semacamnya, konsekuensi dari pemakaian terminologi biomedical hanya menjelaskan sebagian dari konsep sehat. Hal tersebut menjadikan definisi sehat dari WHO menjadi sederhana, yaitu tidak adanya penyakit. Pada sebuah tulisan yang dibuat oleh Engel, dikatakan paradigma biomedical dan konsep sosial dan psikologi memberikan pemahaman proses sakit lebih baik. Beberapa tahun ini, model biopsikososial lebih dipakai dan diterima. Secara umum sekarang sakit dan sehat merupakan hasil dari interaksi antara faktor biologi, psikologi, dan sosial (Yolanda, 2004).

Tenaga kesehatan sebagai bagian intergral dari pelayanan kesehatan, ikut menentukan menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Pelayanan tenaga kesehatan sebagai pelayanan professional merupakan pelayanan yang bersifat humanistik, dilaksanakan berdasarkan ilmu dan Tenaga kesehatan sebagai bagian intergral dari pelayanan kesehatan, ikut menentukan menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Pelayanan tenaga kesehatan sebagai pelayanan professional merupakan pelayanan yang bersifat humanistik, dilaksanakan berdasarkan ilmu dan

Pengelolaan kesehatan personal juga mempertimbangkan konsep disease/sickness (yang merujuk pada kesehatan biologis) dan illness (yang merujuk pada fungsi dan makna biologis dalam kehidupan sehari-hari/psikososial, kultur dan spiritual) yang dirasakan individu dengan pengertian subjektif. Identifikasi pengelolaan illness dan disease/sickness dapat dilihat dari dokumen medical record yang informasinya dikelompokkan ke dalam identitas sosial demografi dan identitas klinik (subjektif, objektif, assessment, dan plan).

Pendekatan pelayanan primer harus mempertimbangkan semua aspek di atas dengan rincian sebagai berikut:

1. Untuk memahami masalah pada perseorangan atau individu perlu diketahui terlebih dahulu masalah sosial demografi secara rinci. Output ini digunakan untuk mempertimbangkan faktor

risiko, pencegahan, pendampingan, dan pemberdayaan individu tatkala sakit.

2. Informasi subjektif sebagai hasil anamnesis mempertimbangkan respon pasien terhadap sakit atau keluhan yang sedang diderita (illness). Respon tersebut digali dengan pendekatan

aktivitas psikologi individu, status sosial dan kegiatan sosial, kultur di lingkungan keluarga maupun sosial sekitarnya, serta aktivitas spiritual. Indikator kejelasan informasi sakit atau keluhan yang sedang diderita (illness) dapat berwujud semacam ide, harapan, perasaan, afek dan fungsi.

3. Informasi objektif adalah upaya aktif pengelolaan pelayanan kesehatan yang berbasis pada riwayat penyakit, pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium selama kontak dengan pasien.

4. Assessment dilakukan untuk menganalisis hasil informasi subjektif maupun objektif berupa diagnosis banding dan diagnosis utama yang bersifat holistik.

5. Plan merupakan suatu upaya mencari pemecahan atau penyelesaian komprehensif masalah yang berbasis pada prevensi pada semua level perjalanan alamiah penyakit (five level

prevention of Klark). Plan juga dapat berarti penyelesaian masalah mulai dari faktor risiko yang didapat pada konteks dinamika kehidupan individu, disease/sickness and illness yang ditemukan.

Pelayanan primer yang berbasis pada personal (patient center care) pada prinsipnya mengelola problem individu, tujuan yang diharapkan dan aturan atau prosedur yang akan diterapkan. Posisi pelayanan primer merupakan upaya pelayanan di tingkat kontak pertama.

Indikator pengelolaan diagnosis holistik dan penanganan yang komprehensif dapat mengacu pada:

1. Anamnesis holistik :

a. Personal social history

b. Family assessment tool: genogram, family map, family life cycle, family lifeline, family APGAR (Adaptation, Partnership, Growth, Affection, and Resolve), dan family

SCREEM (Social, Cultural, Religion, Economic, Education, and Medical).

c. Risk Factor

d. Disease and illness

2. Diagnosis holistik meliputi diagnosis psikososial, kultur, dan spiritual serta diagnosis medik.

3. Plan atau manajemen holistik meliputi:

a. intervensi psikososial

b. intervensi medik (diagnosa, treatment dan followup)

c. intervensi berbasis EBM

d. Upaya pencegahan diberbagai level perjalanan alamiah penyakit. Kesadaran tenaga kesehatan akan dampak dari stres yang dirasakan pasien sangat

membantu dalam proses promosi kesehatan dan pengobatan yang tepat untuk pasien. Setiap individu merupakan pribadi yang unik yang memiliki pengalaman pribadi, tingkat pendidikan, perilaku, kultur, kepercayaan akan kesehatan, kelemahan pribadi. Hal unik tersebut yang membuat pasien mendapatkan penanganan yang berbeda-beda.

Dokter memiliki kemampuan untuk menjadikan pasiennya memiliki kesehatan yang lebih baik. Beberapa kemampuan yang dimiliki dokter:

a. Reward power Dokter memiliki kemampuan memberi kepuasan kepada pasien melalui suatu hal yang riil.

Hal tersebut seperti obat untuk meringankan nyeri, mengobati penyakit, memberikan perhatian, informasi dan jaminan.

b. Coercive power Dokter memiliki hak memberikan masukkan untuk kebaikan pasien, seperti memberikan obat

kepada pasien, memondokkan pasien dan menolak permintaan pasien.

c. Expert power Walaupun informasi tentang penyakit dapat diperoleh dari banyak sumber, tetapi pasien tetap

menganggap bahwa dokter adalah orang yang paling mengetahui sakitnya.

d. Referent power Pasien akan menjaga hubungan dengan dokter untuk memperkuat dan mendukung diri

sendiri.

e. Legitimate power Seorang dokter diberi kuasa untuk memutuskan seseorang boleh atau tidak boleh melakukan suatu tindakan karena pasien datang dan meminta saran dari dokter dan hal tersebut dilindungi

oleh pemerintah. Beberapa contohnya adalah seorang dokter dapat memberikan ijin pasien tidak masuk kerja, memondokkan pasien ke rumah sakit jiwa.

Tindakan kolaborasi keperwatan dilakukan dengan tim kesehatan dalam pemberian asuhan keperawatan, perencanaan terhadap upaya penyembuhan serta pemulihan kesehatan klien. Kolaborasi keperawatan dapat juga dilakukan secara lintas sektoral untuk pengembangan dan pelaksanaan program kesehatan dalam upaya peningkatan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Peran perawat secara umum adalah sebagai berikut:

1. Care provider, menerapkan keterampilan berfikir kritis dan pendekatan sistem untuk penyelesaian masalah serta pembuatan keputusan keperawatan dalam konteks pemberian askep yang komprehensif dan holistik berlandaskan aspek etik dan legal.

2. Community leader, menjalankan kepemimpinan di berbagai komunitas, baik komunitas profesi maupun komunitas sosial

3. Educator, mendidik klien dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya

4. Manager, mengaplikasikan kepemimpinan dan manajemen keperawatan dalam asuhan klien

5. Researcher, melakukan penelitian keperawatan dengan cara menumbuhkan kuriositas, mencari jawaban terhadap fenomena klien, menerapkan hasil kajian dalam rangka

membantu mewujudkan Evidance Based Nursing Practice (EBNP)

Mendengarkan secara aktif merupakan salah satu kelebihan tenaga kesehatan dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi pasien baik biologi, psikologi, dan sosial. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa hal:

1. Pasien mengharapkan bantuan Seorang pasien yang datang untuk konsultasi dengan tenaga kesehatan selalu yakin

bahwa akan mendapat pertolongan dari mereka.

2. Hubungan terapetik Walaupun seorang pasien meyakini bahwa seorang tenaga kesehatan dapat

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, tetapi seorang pasien tetap dapat mengggunakan pengetahuan, kemampuan, dan perilaku sehari-harinya untuk menentukan cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Ikatan ini menciptakan hubungan yang didasari oleh saling menjaga dan memperhatikan satu sama lain.

3. Obtaining an external perspective Pasien selalu mengharapkan seorang tenaga kesehatan yang bijak dan berpengetahuan luas agar dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

4. Encourage a corrective experience Psikoterapi merupakan suatu pendekatan pengobatan pasien yang efektif. Psikoterapi

dapat mengubah fungsi, reaksi dan respon pasien terhadap suatu masalah.

5. Opportunity to test reality repeatedly Tenaga kesehatan adalah seseorang yang bisa selalu menjadi tempat pasien berkeluh

kesah. Dokter bertanggungjawab untuk mendampingi pasien menghadapi masalah. Permasalah klien juga mendapat perhatian dari perawat terhadap penyimpanan dan tidak

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosial dan spiritual) menjadi bidang garapan dan fenomena yang menjadi objek kelimuan keperawatan yang mencakup seluruh siklus kehidupan.

Kemampuan tenaga kesehatan dalam menggali masalah psikososial yang sedang dihadapi pasien sangat penting. Pertanyaan yang diajukan harus sistematis mengingat waktu yang dimiliki seorang tenaga kesehatan saat praktek sangat terbatas. Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam waktu yang tidak banyak, dapat digunakan akronim BATHE untuk melengkapi SOAP (subjektif, objektif, assessment, dan plan) dalam rekam medis. BATHE ini dapat membuat hubungan Kemampuan tenaga kesehatan dalam menggali masalah psikososial yang sedang dihadapi pasien sangat penting. Pertanyaan yang diajukan harus sistematis mengingat waktu yang dimiliki seorang tenaga kesehatan saat praktek sangat terbatas. Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam waktu yang tidak banyak, dapat digunakan akronim BATHE untuk melengkapi SOAP (subjektif, objektif, assessment, dan plan) dalam rekam medis. BATHE ini dapat membuat hubungan

i. Background, pertanyaan tentang tujuan pasien datang.

ii. Affect, pertanyaan tentang perasaan pasien saat ini.

iii. Trouble, pertanyaan yang berfokus pada masalah utama yang sedang dihadapi oleh pasien. iv. Handling, pertanyaan tentang tindakan yang sudah dilakukan pasien dalam menghadapi masalah. v. Empathy, membuat pernyataan yang masuk akal bagi pasien Penggalian masalah psikososial pasien yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tidak menjadikan tenaga kesehatan tersebut ikut bertanggungjawab dalam masalah pasien, tetapi hal ini bertujuan untuk membantu dokter menentukan terapi yang paling tepat untuk pasien. Dalam hal ini tenaga kesehatan hanya mendampingi pasien menyelesaikan masalah dan memastikan bahwa pasien mengetahui bahwa tenaga kesehatan akan membantu. Penting bagi tenaga kesehatan untuk menentukan masalah yang sedang dihadapi oleh pasien lebih dominan biomedik atau psikososial.

Seorang tenaga kesehatan tidak boleh mendikte pasien dalam memilih cara yang akan dipakai untuk menyelesaikan masalah. Tenaga kesehatan hanya mendampingi pasien menentukan masalah utama yang dihadapi dan memberikan beberapa macam alternatif penyelesaian, pada akhirnya pasien yang akan menentukan pilihan. Hal ini lebih baik karena dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan pasien dalam menganalisa alternatif mana yang paling baik untuk dirinya.

Ketika seorang pasien sudah putus asa, tenaga kesehatan harus meyakinkan pasien bahwa selalu ada penyelesaian untuk tiap masalah. Intervensi terapetik ini akan membantu pasien lebih terbuka terhadap kemungkinan yang ada. Terdapat beberapa cara dalam menghadapi masalah, seperti (Rakel, 2007):

1. Leaving, menyelidiki kemungkinan hasil terbaik dan terburuk dan merencanakan waktu yang tepat untuk menentukan sikap.

2. Changing, hal ini membutuhkan investigasi terhadap masalah yang dapat dihadapi dan solusi yang dimiliki.

3. Accepting, menjelaskan bahwa bila masalah yang dihadapi berubah, mereka harus bisa juga berubah agar semua masalah dapat tertangani dengan baik.

4. Reframing, menemukan cara menginterpretasikan bahwa suatu masalah merupakan pengalaman positif dan dapat dipakai sebagai pembelajaran di masa yang akan datang.

Bekerja sama dengan keluarga merupakan dasar dari kedokteran keluarga. Keluarga yang hidup dalam harmoni dapat menciptakan kesehatan mental yang baik untuk setiap anggota keluarganya dan juga stabilitas sosialnya. Hampir semua keluarga memiliki masalah psikososial salah satu contohnya seperti perceraian oleh karena itu dokter perlu mengetahui masalah psikososial yang dialami oleh keluarga tersebut.

Family therapy paling baik dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan oleh karena tenaga kesehatan memiliki posisi untuk dapat melakukan perawatan keluarga dan berkelanjutan. Dari sudut pandang family therapi, bekerjasama dengan keluarga bukan berarti tenaga kesehatan dapat mendikte yang harus dilakukan oleh keluarga, bertanggungjawab dengan apa yang keluarga butuhkan, dan menyebabkan keluarga menjadi bergantung pada tenaga kesehatan. Dari sudut pandang family education, bekerjasama dengan tenaga kesehatan berarti membantu keluarga mampu menerima perubahan yang baik maupun perubahan yang buruk.

Tenaga kesehatan perlu mengetahui karakteristik keluarga yang dibinanya agar dapat menilai dan membantu melakukan dari prevensi, promosi, kurasi, dan rehabilitasi. Beberapa karakteristik yang dimiliki keluarga adalah:

1. Komunikasi yang sehat, anggota keluarga bebas mengekspresikan perasaan dan emosi.

2. Otonomi, yang menunjukkan bahwa setiap anggota keluarga memiliki kesempatan menentukan keputusan ataupun lainnya secara mandiri serta toleran terhadap kehidupan

anggota keluarga lainnya

3. Fleksibel, anggota keluarga dapat saling menerima perubahan yang terjadi satu sama lain.

4. Apresiasi, anggota keluarga saling mendukung dan memuji untuk membangun kepercayaan diri.

5. Saling mendukung, tingkat stres seseorang dapat berkurang dengan adanya dukungan dari keluarga.

6. Waktu keluarga, meluangkan waktu bersama keluarga dapat meningkatkan kebahagiaan seseorang.

7. Ikatan keluarga, yang dicirikan dengan pola hubungan yang bervariasi misalnya genetic. Satu atap, satu dapur, satu tempat tidur, serta satu ikatan formal perkawinan ataupun lainnya.

8. Tumbuh, individu sebagai bagian dari keluarga maupun keluarga tersebut dapat dikatakan berkembang dan menjalani pertumbuhan phisik maupun biopsiko social spiritualnya samapai

dengan fase tertentu akan mengalami kemunduran.

9. Nilai spiritual dan religius, keluarga yang memupuk nilai spiritual dan religius memiliki tingkat kesehatan keluarga yang lebih baik.

Sebuah keluarga terkadang ditimpa oleh masalah seperti sakit, perceraian, dipecat, dan lain-lain. Kondisi sakit yang terjadi pada salah satu anggota keluarga atau beberapa tidak hanya mempengaruhi kehidupan yang mengalaminya, tetapi dapat juga mengganggu keseimbangan sistem dalam keluarga. Tenaga kesehatan perlu meminta peran serta keluarga untuk membantu pasien dalam menghadapi masalah sakitnya. menghadapi sakit pasien.

Untuk mengetahui manifestasi sakit pasien, tenaga kesehatan harus mengetahui respon pasien terhadap stimulus stres baik yang berasal dari dalam (keluarga dan pekerjaan) maupun dari luar (karakter personal).

Untuk memahami masalah yang sedang dialami oleh pasien, seharusnya seorang tenaga kesehatan juga melihat latar belakang keluarganya sehingga diharapkan dapat memahami pasien secara holistik. Untuk memahami permasalahan pasien, tenaga kesehatan seharusnya mengevaluasi dinamika keluarga. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengevaluasinya, seperti:

a. Mengobservasi interaksi antara anggota keluarga.

b. Lakukan konseling dengan seluruh anggota keluarga.

c. Lakukan kunjungan rumah.

d. Buatlah genogram untuk mengetahui struktur dan hubungan keluarga. Konsep family life cycle dapat dipahami bila kita mengatahui dinamika dalam keluarga.

Beberapa tahapan family life cycle (John, 2011):

1. Meninggalkan rumah, menjadi pribadi yang mandiri dan mulai terpisah secara emosi dengan orang tua.

2. Menikah, menjalin hubungan dengan suami atau istri, tahap ini membuat hubungan emosi dengan orangtua menjadi lebih terpisah.

3. Belajar hidup bersama, memulai hidup baru dengan keluarga.

4. Mengasuh anak pertama, memiliki anggota keluarga baru dan menambah peran sebagai orang tua.

5. Hidup dengan remaja, meingkatkan fleksibiltas batasan-batasan dalam keluarga

6. Melepas anak yang telah dewasa, penyesuaian telah berakhirnya peran sebagai orang tua.

7. Pensiun, masa di mana sudah tidak memiliki penghasilan dan membangun hubungan baru dengan anak, cucu, atau anggota keluarga lainnya.

8. Usia tua, belajar menerima bahwa semakin lemah dan bergantung pada orang lain, belajar menerima kehilangan pasangan hidup, keluarga, atau teman.

Perawatan kesehatan keluarga adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan pada keluarga sebagai unit pelayanan untuk mewujudkan keluarga yang sehat. Fungsi perawat membantu keluarga untuk menyelesaikan masalah kesehatan dengan cara meningkatkan kesanggupan keluarga melakukan fungsi dan tugas perawatan kesehatan keluarga. Peran perawat dalam melakukan perawatan kesehatan keluarga adalah sebagai berikut:

1. Pendidik Perawat perlu melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga agar keluarga dapat

melakukan program asuhan kesehatan secara mandiri dan bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan keluarga.

2. Koordinator Koordinasi diperlaukan pada perawatan agar pelayanan komprehensive dapat dicapai.

Koordinasi juga diperlukan untuk mengatur program kegiatan atau terapi dari berbagai disiplin ilmu agar tidak terjadi tumpang tindih dan pengulangan.

3. Pelaksana Perawat dapat memberikan perawatan langsung kepada klien dan keluarga dengan menggunakan metode keperawatan.

4. Pengawas kesehatan Sebagai pengawas kesehatan harus melaksanakan home visite yang teratur untuk mengidentifikasi dan melakukan pengkajian tentang kesehatan keluarga.

5. Konsultan Perawat sebagai nara sumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan. Agar

keluarga mau meminta nasehat kepada perawat, hubungan perawat dan klien harus terbina dengan baik, kemampuan perawat dalam menyampaikan informasi dan kialitas dari informasi yang disampaikan secara terbuka dan dapat dipercaya.

6. Kolaborasi Bekerja sama dengan pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan anggota tim kesehatan

lain untuk mencapai kesehatan keluarga yang optimal.

7. Fasilitator Membantu keluarga dalam menghadapi kendala seperti masalah sosial ekonomi, sehingga

perawat harus mengetahui sistem pelayanan kesehatan seperti rujukan dan penggunaan dana sehat.

8. Penemu kasus Menemukan dan mengidentifikasi masalah secara dini di masyarakat sehingga

menghindarkan dari ledakan kasus atau wabah.

9. Modifikasi lingkungan Mampu memodifikasi lingkungan baik lingkungan rumah maupun masyarakat agar tercipta

lingkungan yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Alonso, Y., 2004. The biopsychosocial model in medical research: the evolution of the health concept over the last two decades. PubMed: 53(2): 239-44.

John, M., 2011. General practice/John Murtagh 5 th

ed. McGraw-Hill Australia Pty Ltd.

Kaakinen, Joanna Rowe., 2010. Family Health Care Nursing: theory, practice, and research, 4th edition Konsil Kedokteran Indonesia., 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta PPNI, AIPNI & AIPDIKI., 2012. Standar Kompetensi Perawat Indonesia, Jakarta. (diunduh dari www.hpeq.dikti.go.id ) PPNI, AIPNI & AIPDIKI., 2012. Naskah akademik sistem pendidikan keperawatan, Jakarta. (diunduh dari www.hpeq.dikti.go.id )

Rakel, E.R., 1990. Textbook of Family Practice 4 th . McGraw-Hill, Mexico. Rakel, R.E., 2007. Textbook of Family Medicine 7 th

ed. Saunder Elsevier: Philadelphia

Riskesdas., 2013. Diambil dari: depkes.go.id

BAB II INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE), COMMUNICATION AND INTERPROFESSIONAL TEAMWORK

Alm. Mariyono Sedyowinarso, S.Kp., M.Si dan dr.Mora Claramita, MHPE., PhD

1. Interprofessional Education (IPE)

a. Definisi IPE

Menurut the Center for the Advancement of Interprofessional Education (CAIPE, 1997), IPE adalah dua atau lebih profesi belajar dengan, dari, dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan. IPEmerupakan pendekatan proses pendidikan dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda berkolaborasi dalam proses belajar-mengajar

interdisipliner/interaksi interprofessional yang meningkatkan praktek disiplin masing-masing (ACCP, 2009). Menurut Cochrane Collaboration, IPE terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa profesi kesehatan yang berbeda melaksanakan pembelajaran interaktif bersama dengan tujuan untuk meningkatkan kolaborasi interprofessional dan meningkatkan kesehatan atau kesejahteraan pasien.

b. Tujuan IPE

Secara umum IPE bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk lebih mengenal peran profesi kesehatan yang lain, sehingga diharapkan mahasiswa akan mampu untuk berkolaborasi dengan baik saat proses perawatan pasien. Proses perawatan pasien secara interprofessional akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan kepuasan pasien. Menurut Cooper (2001) tujuan pelaksanaan IPE antara lain: 1) meningkatkan pemahaman interdisipliner dan meningkatkan kerjasama; 2) membina kerjasama yang kompeten; 3) membuat penggunaan sumberdaya yang efektif dan efisien; 4) meningkatkan kualitas perawatan pasien yang komprehensif.

WHO (2010) juga menekankan pentingnya penerapan kurikulum IPE dalam meningkatkan hasil perawatan pasien. Gambar berikut menunjukkan bahwa IPE merupakan langkah yang sangat penting untuk dapat menciptakan kolaborasi yang WHO (2010) juga menekankan pentingnya penerapan kurikulum IPE dalam meningkatkan hasil perawatan pasien. Gambar berikut menunjukkan bahwa IPE merupakan langkah yang sangat penting untuk dapat menciptakan kolaborasi yang

Sumber: Framework for action on interprofessional education & collaboration practice (WHO, 2010)

c. Aplikasi Konsep Kurikulum IPE. Kurikulum IPE tidak dapat dipisahkan dari bagian kolaborasi interprofesional. Interprofessional education dapat meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan terhadap

praktik kolaborasi. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, sklill, attitute dan perilaku terhadap kolaborasi interprofesi. Hal tersebut akan membuat tenaga kesehatan lebih mengutamakan bekerjasama dalam melakukan perawatan pada pasien ditunjukkan oleh gambar berikut: praktik kolaborasi. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, sklill, attitute dan perilaku terhadap kolaborasi interprofesi. Hal tersebut akan membuat tenaga kesehatan lebih mengutamakan bekerjasama dalam melakukan perawatan pada pasien ditunjukkan oleh gambar berikut:

1) Kuliah klasikal

IPE dapat diterapkan pada mahasiswa menggunakan metode pembelajaran berupa kuliah klasikal. Setting perkuliahan melibatkan beberapa pengajar dari berbagai disiplin ilmu (team teaching) dan melibatkan mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum terintegrasi dari berbagai profesi kesehatan. Kuliah dapat berupa sharing keilmuan terhadap suatu masalah atau materi yang sedang dibahas.

2) Kuliah Tutorial (PBL)

Setting kuliah tutorial dapat dilakukan dengan diskusi kelompok kecil yang melibatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai profesi kesehatan. Mereka membahas suatu masalah suatu masalah dan mencoba mengindentifikasi dan mencari penyelesaian dari masalah yang dihadapi. Modul yang digunakan adalah modul terintegrasi. Dosen berupa team teaching dari berbagai profesi dan bertugas sebagai fasilitator dalam diskusi tersebut.

3) Kuliah Laboratorium

Kuliah laboratorium dilaksanakan pada tatanan laboratorium. Modul yang digunakan adalah modul terintegrasi yang melibatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai profesi kesehatan.

4) Kuliah Skills Laboratorium

Skills Laboratorium merupakan metode yang baik bagi IPE karena dapat mensimulasikan bagaimana penerapan IPE secara lebih nyata. Dalam pembelajaran skills laboratorium, mahasiswa dapat mempraktekkan cara berkolaborasi dengan mahasiswa dari berbagai profesi dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien.

5) Kuliah Profesi/Klinis-Lapangan

Pendidikan profesi merupakan pendidikan yang dilakukan di rumah sakit dan di komunitas. Pada pendidikan profesi mahasiswa dihadapkan pada situasi nyata di lapangan untuk memberikan pelayanan kepada pasien nyata. Melalui pendidikan profesi, mahasiswa dapat dilatih untuk berkolaborasi dengan mahasiswa profesi lain dalam kurikulum IPE.

2. Interprofessional Communication

a. Definisi komunikasi interprofesi Komunikasi atau communication menurut bahasa inggris adalah bertukar pikiran, opini,

informasi melalui perkataan, tulisan ataupun tanda-tanda (Hornby et al, 2007). Komunikasi interprofesi adalah bentuk interaksi untuk bertukar pikiran, opini dan informasi yang melibatkan dua profesi atau lebih dalam upaya untuk menjalin kolaborasi interprofesi.

b. Manfaat komunikasi interprofesi Komunikasi interprofesi yang sehat menimbulkan terjadinya pemecahan masalah,

berbagai ide, dan pengambilan keputusan bersama (Potter & Perry, 2005). Bila komunikasi tidak efektif terjadi di antara profesi kesehatan, keselamatan pasien menjadi taruhannya. Beberapa alasan yang dapat terjadi yaitu kurangnya informasi yang kritis, salah mempersepsikan informasi, perintah yang tidak jelas melalui telepon, dan melewatkan perubahan status atau informasi (O‟Daniel and Rosenstein, 2008).

c. Faktor yang mempengaruhi komunikasi interprofesi Menurut Potter dan Perry (2005) keefektifan komunikasi interprofesi dipengaruhi oleh :

a) Persepsi yaitu suatu pandangan pribadi atas hal-hal yang telah terjadi. Persepsi terbentuk apa yang diharapkan dan pengalaman. Perbedaan persepsi antar profesi yang berinteraksi akan menimbulkan kendala dalam komunikasi; b) Lingkungan yang nyaman membuat seseorang cenderung dapat berkomunikasi dengan baik. Kebisingan dan kurangnya kebebasan seseorang dapat membuat kebingunan, ketegangan atau ketidaknyamanan; c) Pengetahuan yaitu suatu wawasan akan suatu hal. Komunikasi interprofesi dapat menjadi sulit ketika lawan bicara kita memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Keadaan seperti ini akan menimbulkan feedback negatif, yaitu pesan menjadi akan tidak jelas jika kata-kata yang digunakan tidak dikenal oleh pendengar.

d. Upaya meningkatkan kemampuan komunikasi interprofesi Menurut Wagner (2011), IPE merupakan langkah yang penting untuk dilakukan karena

melalui IPE, mahasiswa dapat melatih kemampuan komunikasi interprofesi pada situasi yang tidak membahayakan pasien tetapi tetap mencerminkan situasi yang mendekati situasi nyata. Kebutuhan akan strategi pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi interprofesi berkembang. Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu mengembangkan metode dan strategi pembelajaran yang menggabungkan kemampuan komunikasi dan budaya pasien serta keterampilan teknis sejak tahap akademik (Mitchell, 2010). Salah satu model IPE yang dapat diterapkan adalah simulasi IPE. Melalui simulasi IPE tersebut mahasiswa dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam berkomunikasi dengan profesi yang lain. Selain itu mahasiswa juga lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan profesi yang lain ketika berkolaborasi dengan profesi yang lain karena mahasiswa sudah memiliki bekal pengalaman sebelumnya. Wagner (2011) menjelaskan dalam penelitiann ya yang berjudul “Developing Interprofessional Communication Skills ” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan diterima dengan baik sebagai inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan. Simulasi tersebutmerupakan langkah awal menuju pengembangan budaya yang menumbuhkan kerja sama tim interprofessional dalam perawatan kesehatan. Selain itu, simulasi tersebut adalah cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pengembangan kolaborasi melalui IPE, mahasiswa dapat melatih kemampuan komunikasi interprofesi pada situasi yang tidak membahayakan pasien tetapi tetap mencerminkan situasi yang mendekati situasi nyata. Kebutuhan akan strategi pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi interprofesi berkembang. Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu mengembangkan metode dan strategi pembelajaran yang menggabungkan kemampuan komunikasi dan budaya pasien serta keterampilan teknis sejak tahap akademik (Mitchell, 2010). Salah satu model IPE yang dapat diterapkan adalah simulasi IPE. Melalui simulasi IPE tersebut mahasiswa dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam berkomunikasi dengan profesi yang lain. Selain itu mahasiswa juga lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan profesi yang lain ketika berkolaborasi dengan profesi yang lain karena mahasiswa sudah memiliki bekal pengalaman sebelumnya. Wagner (2011) menjelaskan dalam penelitiann ya yang berjudul “Developing Interprofessional Communication Skills ” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan diterima dengan baik sebagai inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan. Simulasi tersebutmerupakan langkah awal menuju pengembangan budaya yang menumbuhkan kerja sama tim interprofessional dalam perawatan kesehatan. Selain itu, simulasi tersebut adalah cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pengembangan kolaborasi

Selain melalui simulasi IPE, pembelajaran IPE juga dapat menggunakan metode tutorial yang mengintegrasikan berbagai profesi kesehatan. Metode IPE melalui diskusi tutorial tersebut berpusat pada berbagai aspek peran profesi kesehatan dan komunikasi antara dokter, tenaga keperawatan serta pasien dalam setting managemen perawatan. Mitchell (2010) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul “Innovation In Learning – An Interprofessional Approach To Improving Communication”bahwa tutorial sangat

efektif untuk memberikan kesadaran akan pentingnya kolaborasi tim interprofesi dalam perawatan pasien. Selain itu, diskusi yang terjadi selama tutorial dengan profesi yang lain dapat melatih mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi interprofesi.

Menurut Berridge (2010), komunikasi interprofesi merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan keselamatan pasien, karena melalui komunikasi interprofesi yang berjalan efektif, akan menghindarkan tim tenaga kesehatan dari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan medical error, sehingga perlu adanya kurikulum pembelajaran IPE yang mampu melatih kemampuan mahasiswa dalam sebuah kolaborasi interprofesi.

Berikut ini adalah karakter dalam komunikasi interprofesi kesehatan yang kami temukan melalui serangkaian penelitian ilmiah bersama dengan profesi dokter, perawat, apoteker dan gizi kesehatan dan telah mendapatkan validasi oleh pakar komunikasi dari Indonesia maupun Eropa (Claramita, et.al, 2012):

1. Mampu menghormati (Respect) tugas, peran dan tanggung jawab profesi kesehatan lain, yang dilandasi kesadaran/sikap masing-masing pihak bahwa setiap profesi kesehatan dibutuhkan untuk saling bekerjasama demi keselamatan pasien (Patient-

safety) dan keselamatan petugas kesehatan (Provider-safety).

2. Membina hubungan komunikasi dengan prinsip kesetaraan antar profesi kesehatan.

3. Mampu untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif antar petugas kesehatan yang berbeda profesi dalam

4. Berinisiatif membahas kepentingan pasien bersama profesi kesehatan lain.

5. Pembahasan mengenai masalah pasien dengan tujuan keselamatan pasien bisa 5. Pembahasan mengenai masalah pasien dengan tujuan keselamatan pasien bisa

6. Mampu menjaga etika saat menjalin hubungan kerja dengan profesi kesehatan yang

lain.

7. Mampu membicarakan dengan profesi kesehatan yang lain mengenai proses

pengobatan (termasuk alternatif/ tradisional)

8. Informasi yang bersifat komplimenter/ saling melengkapi: kemampuan untuk berbagi informasi yang appropriate dengan petugas kesehatan dari profesi yang berbeda (baik tertulis di medical record, verbal maupun non-verbal).

9. Paradigma saling membantu dan melengkapi tugas antar profesi kesehatan sesuai

dengan tugas, peran dan fungsi profesi masing-masing.

10. Negosiasi: Kemampuan untuk mencapai persetujuan bersama antar profesi kesehatan mengenai masalah kesehatan pasien.

11. Kolaborasi: Kemampuan bekerja sama dengan petugas kesehatan dari profesi yang lain dalam menyelesaikan masalah kesehatan pasien.

3. Interprofessional Teamwork

a. Definisi kerjasama interprofesi Kerjasama merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama untuk mencapai suatu tujuan. Kerjasama interprofesi dapat diartikan sebagai suatu kolaborasi

yang terkoordinasi di antara berbagai profesi tenaga kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan kepada pasien untuk mengoptimalkan efektifitas kinerja, efisiensi biaya dan meningkatkan kepuasan pasien. Praktik kerjasama interprofesi menekankan tanggung jawab bersama dalam manajemen perawatan, dengan proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisi.

Kemitraan tenaga kesehatan dalam kerjasama interprofesi dapat ditumbuhkan dari hasil hubungan interpersonal yang baik. Kemitraan dapat diciptakan apabila kedua profesi yang bermitra mampu memperlihatkan sikap saling mempercayai dan menghargai, memahami dan menerima keberadaan disiplin ilmu masing-masing, menunjukkan citra diri yang positif, masing-masing anggota profesi yang berbeda dapat menunjukkan kematangan profesional yang sama yang timbul karena pendidikan dan Kemitraan tenaga kesehatan dalam kerjasama interprofesi dapat ditumbuhkan dari hasil hubungan interpersonal yang baik. Kemitraan dapat diciptakan apabila kedua profesi yang bermitra mampu memperlihatkan sikap saling mempercayai dan menghargai, memahami dan menerima keberadaan disiplin ilmu masing-masing, menunjukkan citra diri yang positif, masing-masing anggota profesi yang berbeda dapat menunjukkan kematangan profesional yang sama yang timbul karena pendidikan dan

b. Kerjasama tim dalam proses kolaborasi Proses kolaborasi memiliki ciri-ciri khas, di antaranya adalah kerjasama,

koordinasi, saling berbagi, kompromi, rekanan, saling ketergantungan dan kebersamaan. Menurut Kozier (1997) hal-hal yang dapat dilakukan dalam penerapan kolaborasi adalah: a) Kebersamaan dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, tujuan dan pertanggungjawaban, b) Bekerjasama dalam memberikan pelayanan, c) Melakukan koordinasi dalam pelayanan, d) Keterbukaan dalam komunikasi. Menurut Siegler & Whitney (2000) proses kolaborasi harus memenuhi 3 kriteria berikut ini: a) harus melibatkan tenaga ahli dengan bidang keahlian yang berbeda, yang dapat bekerjasama timbal balik secara mulus, b) anggota kelompok harus bersikap tegas dan mau bekerjasama, c) kelompok harus memberikan pelayanan yang keunikannya dihasilkan dari kombinasi pandangan dan keahlian yang diberikan oleh setiap anggota tim tersebut.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerjasama tim interprofesi Menurut Weaver (2008), fungsi kerjasama tim yang efektif dipengaruhi oleh

faktor anteseden, proses dan hasil. Faktor-faktor tersebut merupakan sesuatu yang dapat meningkatkan maupun menghambat proses kerjasama dalam tim seperti ditunjukkan oleh kerangka berikut.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kerjasama Interprofesi

Sumber: Weaver, T.E., 2008. Enhancing multiple disciplinary teamwork.

1) Anteseden (Antecedents)

a) Pertimbangan sosial dan intrapersonal(social and intrapersonal consideration).

Dasar pertimbangan sosial berawal dari kesadaran bahwa seseorang harus membentuk suatu kelompok agar dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sifat manusia sebagai makhluk sosial yang saling memerlukan dapat menjadi dasar terbentuknya sebuah tim. Pertimbangan intrapersonal juga merupakan komponen penting dalam menciptakan kolaborasi yang baik. Anggota tim harus memiliki tipe kepribadian yang baik dan sikap untuk bekerjasama yang baik. Selain itu, kolaborasi yang efektif akan tercapai apabila masing-masing anggota tim kesehatan merupakan pakar dalam profesinya masing-masing, artinya anggota tim dari profesi yang satu harus seimbang dengan profesi yang lain baik dari segi pengetahuan, keterampilan, maupun pengalaman yang dimiliki agar dapat saling berdiskusi secara efektif.

b) Lingkungan fisik (physical environment) Lingkungan kerja dan kedekatan di antara anggota tim dapat

memfasilitasi atau menghambat kolaborasi. Lingkungan kerja yang baik harus dapat mendukung kemampuan anggota tim untuk mendiskusikan beberapa ide maupun menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi, sehingga dapat meningkatkan ikatan dan diskusi penting yang mengarah pada pemahaman dari perspektif yang berbeda dan dapat menyelesaikan masalah di dalam tim.

c) Faktor organisasional dan institusional (organizational and institutional factor)

Institusi dan kelembagaan sangat berperan dalam mengurangi hambatan untuk kolaborasi lintas profesi. Kebijakan yang diterapkan oleh suatu institusi ataupun kelembagaan kesehatan harus dapat mendorong terciptanya kerjasama antar profesi kesehatan, kebijakan tersebut dapat berupa penerapan kurikulum interprofessional education maupun penerapan standar pelayanan kesehatan melalui kolaborasi interprofesi dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

2) Proses

a) Faktor perilaku

Perilaku bekerjasama antar profesi kesehatan merupakan kunci untuk mengatasi hambatan dalam proses kolaborasi. Kesadaran untuk bekerjasama dan saling membutuhkan harus ditanamkan pada setiap anggota tim agar tidak ada arogansi maupun egoisme profesi. Perilaku bekerjasama juga bertujuan untuk meredakan ketegangan di antara profesi yang berbeda, selain itu juga untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya perawatan pasien.

b) Faktor interpersonal

Interpersonal merupakan cara untuk berhubungan dengan orang lain, dalam hal ini adalah profesi kesehatan yang lain. Dalam hubungan interpersonal harus terdapat peran yang jelas. Setiap profesi harus mengetahui peran profesi yang lain, sehingga mereka dapat berbagi peran sesuai dengan kompetensi masing-masing profesi. Untuk membentuk hubungan interprofesi yang baik sangat diperlukan adanya komunikasi interprofesi yang efektif. Melalui komunikasi interprofesi, anggota tim dapat saling berbagi ide, perspektif dan inovasi perawatan kesehatan sehingga kolaborasi dapat berjalan dengan baik.

c) Faktor intelektual

Sebuah institusi pendidikan profesi kesehatan memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kolaborasi interprofesi. Kolaborasi Interprofesi akan berjalan dengan baik apabila setiap anggota tim mempunyai tingkat pengetahuan dan keterampilan yang setara.

3) Outcome and opportunity Pengembangan kerjasama dan kolaborasi tim interdisiplin akan sangat

membantu dalam menciptakan ide-ide baru yang berhubungan dengan inovasi pelayanan kesehatan. Kesadaran terhadap hambatan terbentuknya kerjasama yang efektif harus ditekankan pada setiap anggota tim sehingga dapat tercipta model integratis dalam sistem pelayanan kesehatan. Tuntutan terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan memberikan peluang bagi tenaga kesehatan untuk menerapkan kolaborasi interprofesi dalam sistem pelayanan kesehatan.

c. Upaya meningkatkan kerjasama interprofesi

Kerjasama yang efektif oleh tenaga kesehatan dari berbagai profesi merupakan kunci penting dalam meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien (Burtscher, 2012). Fakta yang terjadi saat ini, bahwa sulit sekali untuk menyatukan berbagai profesi kesehatan tersebut kedalam sebuah tim interprofesi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya kemampuan tenaga kesehatan untuk menjalin kerjasama yang efektif seperti kurangnya keterampilan komunikasi interprofesi dan belum tumbuhnya budaya diskusi bersama profesi lain dalam menentukan keputusan klinis pasien. Untuk itulah diperlukan adanya kurikulum yang dapat melatih mahasiswa tenaga kesehatan untuk berkolaborasi sejak masa akademik agar mereka terbiasa berkolaborasi dengan profesi lain bahkan sampai ketika mereka berada didunia kerja (Reeves, 2011).

Sebuah rekomendasi dari WHO (2010) yang bertema “Framework For Action On Interprofessional Education & Collaborative Practice” menjelaskan bahwa

interprofessional education (IPE) merupakan strategi pembelajaran inovatif yang menekankan pada kerjasama dan kolaborasi interprofesi dalam melakukan proses perawatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pasien. Lebih jauh WHO (2010) menjelaskan bahwa kerjasama interprofesi merupakan kemampuan yang harus selalu dipelajari dan dilatih melalui IPE. Kemampuan kerjasama interprofesi yang baik dapat dilihat dari kemampuan mahasiswa untuk menjadi team leader dan mampu mengatasi hambatan dalam kerjasama interprofesi.

d. Penerapan kerjasama interprofesi