Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Constraints Penerapan Flexible Working dan Coping Individual dalam Pengelolaan Konflik Pekerjaan-Keluarga T2 912012039 BAB IV

(1)

25

Bab 4

Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1

Workload

4.1.1 Bank Mandiri

Beban kerja merupakan kemampuan pekerja untuk menerima pekerjaan yang sesuai dan seimbang dengan kemampuan fisik maupun psikologis. Beban kerja yang berlebihan menyebabkan pekerja mengalami tekanan kerja yang dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas kerja pegawai. Tingginya tekanan kerja dapat mengakibatkan ketegangan psikologis maupun kelelahan fisik. Pekerjaan di sektor perbankan memiliki potensi tekanan kerja yang muncul dari load dan ekspektasi pekerjaan yang tinggi guna mengejar target perusahan dan menghadapi ekspektasi konsumen.

Pressure seperti inilah yang lazimnya menjadi sumber stres bagi para pekerja. Kondisi kerja yang stressful

dapat mengganggu kestabilan emosi dan jika melampaui kemampuan untuk mengelola emosi dapat berimplikasi pada gangguan kesehatan (sakit). Akumulasi keadaan ini seringkali terbawa kedalam kehidupan keluarga, menjadi beban mental tambahan bagi pekerja dan membuatnya makin tidak fokus dalam bekerja. Pengalaman ibu YL yang karena situasi kerja


(2)

26

yang demikian stressful, mengalami gangguan emosi yang terbawa sampai ke rumah pernah berkata :

“Saya pernah terbawa emosi sampai ke keluarga. Jujur ya

memang pernah dropsampe memang karena gakachieve

target kan yajadi memang beban mental ya dan terbawa sampai ke rumah sampe sakit pernah. Saya pernah tidak

fokus karena masalah ini..”

Ibu RA yang karena kelelahan dalam pekerjaan pernah mengalami kondisi emosi yang tidak stabil hingga terbawa sampai ke kehidupan keluarga. Selain itu, ibu RA seringkali merasakan stres kerja ketika pergantian jabatan atau posisi dari divisi pelayanan ke divisi mikro dan ketika mutasi dari cabang satu ke cabang lainnya, sebab ketika berganti jabatan atau posisi dan mutasi kerja ibu RA menghadapi tanggungjawab dan lingkungan kerja yang berbeda. Berikut pernyataan ibu RA :

“Kadang karena capek saya marah-marah mbak. Ya namanya juga manusia ya kadang capekya mbak..” Terus kalo pindah ganti ke jabatan yang lain itulohmbak biasanya agak stres. Stresnya juga kalokita di mutasi dari cabang sini nanti di mutasi ke cabang mana, pasti kan penyesuaian dulu kan. Biasanya sih di penyesuaian awal ya mbak [stres

biasanya di penyesuaian awal]..”

Responden-responden penelitian ini bekerja di salah satu bank terbesar di Indonesia yang memiliki tuntutan kerja yang lebih tinggi dari bank pada umumnya. Sekalipun dengan resiko pekerjaan yang tinggi, mereka harus bisa menghadapi dan mengelolanya. Para responden menganggap kelelahan


(3)

27

yang dialami adalah resiko dari pekerjaan yang harus dihadapi. Hal ini ditegaskan dengan pernyataan :

Kalo lelah pasti lelah yambak. Kalo Mandiri itu memang

gede ya kan bank terbesar di Indonesia yamakanya. Mandiri

kan ramembak, kalombakliatrame banget jadi

transaksinya kan banyak banget kecuali kalo bank yang kecil itu kan palingan jam 15.00 itu sudah selesai, selesai, selesai.

Kalo Mandiri zaman aku jadi teller itu, yang lain-lain kayak bank lain itu sudah pada mati lampu, bank Mandiri itu lampunya masih hidup karena memang transaksinya belum selesai. Nasabah sudah selesai, cumankitanya yang belum. Transaksi rata-rata di sini satu orang itu harus 170

transaksi jadi 1 hari itu bisa 1000 orang masuk Mandiri

makanya capek banget..(ibu RA)”

“Yang jelas ginimbak, stres sebenarnya kan karena target, karena situasi kondisi kerja. Pekerjaan di bank itu penuh resiko, belum di target, belum di complain.. (ibu YL)”

“Setiap orang kan pasti pernah merasakan capek, lelah gitu. Sakit biasa, flu, kecapekan [saya pernah sakit seperti flu dan juga kelelahan]. Semua juga sama, yang lain juga kan

kerjanya pun mungkin hampir sama ya semuanya. Sama-sama berat gitu loh, cuma menurut saya karena resiko..( ibu

DA)”

Meskipun pressure pekerjaan mengintervensi kehidupan keluarga namun pengertian dan dukungan dari suami, orang tua dan adanya pihak ketiga seperti jasa pembantu dan pihak sekolah merupakan mekanisme untuk mendukung kepentingan keluarga sehingga tidak memberikan pressure balik terhadap kepentingan-kepentingan pekerjaan. Hal ini menjadi faktor-faktor yang menetralisir stres terhadap pekerjaan sehingga dapat membantu responden khususnya dalam menetralisir pressure keluarga. Semua responden mengatakan hal yang sama tentang


(4)

28

dukungan suami dan keluarga terhadap pekerjaan mereka. Berikut pernyataan responden.

keluargaku sangat mendukung. Dari pihak keluargaku atau

suamiku mendukung karena aku sebelum kenal suamiku

pun dia sudah tau aku sudah kerja kanjadinya sudah taulah

jadi dia sangat mendukung. Keluarga juga sangat

mendukung..”

Pengalaman ibu RA, tidak hanya mendapat dukungan dari keluarga inti tetapi juga dari extended family-nya. Hal ini diceritakan ibu RA ketika ia bekerja,

extended family-nya ikut membantu dalam

memperhatikan dan mengurus anak. Berikut kutipan ibu RA.

Anakku ta tinggal di rumah tuh aku tetap gak khawatir karena memang ada eyang di rumah kan gak sama

pembantu aja. Ada mbahnya, ada mbak putri, trus kakakku

rumahnya juga dekat di situ, kakak iparku, sepupu jadi ada ada yang nemenin gitu loh..”

Mekanisme internal juga membantu responden untuk menetralisir stres kerja yang mereka hadapi. Semua responden mengatakan bahwa stres kerja dapat ditekan tergantung cara menikmati dan sikap terhadap pekerjaan itu sendiri. Berikut kutipan responden.

Kalo lelah pasti lelah yambak. Tapi lama-lama akan enjoy

mbak. Kalo pressure, tiap bank pasti pressure kalo target pasti iya cumankalokita jadikan beban nanti gak kerja-kerja, pusing sendiri. Enjoy aja pokoknya, santai. Memang

kerjanya begitu jadi kalokitamikir susah truskitamikir ke

bawah susah..”

Ibu DA mengungkapkan bahwa adanya kondisi dan lingkungan kerja yang menyenangkan serta adanya hubungan baik dengan rekan kerja dan juga atasan


(5)

29

dapat menekan stres kerja karena bagi ibu DA tidak harmonisnya hubungan dengan rekan kerja dan atasan dapat menciptakan stres dalam bekerja. Berikut pernyataan ibu DA.

“Supaya kitagak stres kitaaja buat situasi kerja itu

nyaman, sama teman-teman, sama atasan, sama bawahan

kalo bisa harus punya hubungan yang baik. Soalnyakalo misalkan kerjaan, kalo kerjaan sihkalo ringan ya ringan tapi

kalo misalnya hubungannya sama atasan sama bawahan kurang baguskan bikin stres..”

Organisasi dalam menetralisir stres kerja yang dihadapi, memfasilitasi kebutuhan pegawai selain dengan gaji, insentif, tunjangan-tunjangan, jaminan kesehatan dan cuti pegawai, juga menyediakan program-program untuk menanggulangi stres kerja dan menciptakan keakraban diantara pegawai, baik dengan rekan kerja, atasan maupun bawahan. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi yang diberlakukan untuk seluruh cabang Bank Mandiri seperti Refreshing yaitu belanja, nonton, makan bersama, olahraga, piknik, kerohanian dan kesenian. Seperti yang diceritakan para responden berikut ini.

“Untuk menanggulangi stres yakalo di cabang itu biasanya

tuh ada nonton bareng, jadi ke Solo ke Paragon atau kemana,

makan-makan bareng, piknik, kadang karaokean bareng.

Kalo di Mandiri ada club-club olahraga, di sini sabtu

biasanya pada bulutangkis bareng, ada futsal, biasanya ada Sepak bola, kerohanian juga ada, kemudian kayak nyanyi-nyanyi itu juga ada Mandiri Idol juga, lomba foto di pasar,


(6)

30

Program-program organisasi tersebut bersifat kondisional artinya dilakukan pada kondisi tertentu. Pekerjaan di sektor perbankan dengan tekanan kerja yang tinggi menyebabkan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga yaitu waktu yang terlalu banyak tersita dipekerjaan. Hal ini berimplikasi adanya ketidakseimbangan waktu antara pekerjaan dan keluarga, ketidakseimbangan keterlibatan pekerjaan dan keluarga dan tidak seimbangnya tanggungjawab pekerjaan dan keluarga sehingga para responden sangat sulit membagi waktu secara seimbang antara pekerjaan dan keluarga.

4.1.2 Dosen

Load pekerjaan di sektor pendidikan dalam hal mengajar tidak menimbulkan kelelahan dan stres kerja sebab telah terjadwal. Tekanan pekerjaan seperti stres kerja dan kelelahan dirasakan responden ketika berhadapan dengan load pekerjaan di luar mengajar seperti terlibat dalam pengurusan re-akreditasi, menjadi panitia atau koordinator suatu kegiatan dan tugas keluar kota. Seperti pengalaman ibu BS dan ibu ER berikut.

Kalo stres karena memang terkadang saya merasa tidak bisa membagi waktu ketika anak banyak kegiatan berbarengan

disini re-akreditasi gitu. (ibu BS)”

“Selain ngajar biasanya ada panitia-panitia gitu loh. Suruh jadi panitia apa panitia apa, itu yang kadang membuat kita sedikit stres, sedikit terbeban. Kalo pekerjaan rutin seperti


(7)

31

ngajar, koreksi itu gak masalah. Yang bikin stres itu administratifnya.. (ibu ER)”

Stres kerja dialami juga ketika masa-masa penyesuaian dengan lingkungan kerja. Seeperti kasus ibu ER dan ibu SP yang karena masa-masa adaptasinya menjadi dosen, ia sempat mengalami kelelahan dan berimplikasi pada tekanan fisik hingga sempat terganggu kesehatannya. Berikut kutipan responden.

“Dulu ya maklum aku masih dalam masa-masa adaptasi ya

[dulu saya mengalami kelelahan ketika penyesuaian awal]. Waktu itu sampe pernah kena maag. Tetapi di sisa itu sih

jarang..”

Walaupun pressure pekerjaan dan pressure

keluarga seringkali dialami oleh para responden, dukungan dari suami dan adanya pihak ketiga seperti jasa pembantu merupakan mekanisme untuk menetralisir stres kerja dan kelelahan. Semua responden mengatakan hal yang sama tentang suami yang mendukung pekerjaan mereka. Berikut kutipan responden.

Kalo suami saya sudah tau dan mendukung. Sudah tau

pekerjaan saya bahkan dia membantu..”

Stres kerja dalam pekerjaan sebagai dosen dapat dinetralisir pula dengan kehadiran rekan kerja yang membantu responden mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi seperti mengalami stres karena tidak seimbangnya waktu antara pekerjaan dan keluarga maka responden melakukan diskusi atau sharing


(8)

32

dengan rekan kerjanya. Seperti pengalaman ibu ER dan ibu BS berikut.

Ya untuk pekerjaan masih bisa di handle sih. Untuk kesulitan-kesulitan masih bisa di atasi, kan banyak teman juga untuk diskusi. Kalo misalnya ada kesulitan tentang pekerjaan ya bisa sharing sama teman..(ibu ER)”

Kalo stres karena benar-benar stres karena memang terkadang saya merasa tidak bisa membagi waktu ketika anak banyak kegiatan berbarengan di sini re-akreditasi gitu,

yah kalo kondisi seperti itu ya sudah, paling-paling

penyelesaiannya dengan bercerita dengan siapa seperti itu..(ibu BS)”

Selain itu, lingkungan kerja yang menyenangkan juga membantu responden untuk menetralisir tekanan pekerjaan yang dialami. Semua responden mengatakan bahwa mereka merasa nyaman dengan lingkungan kerjanya. Berikut pernyataan responden.

“Saya merasa ini lingkungan yang menyenangkan. Dari sisi

pekerjaan kadang-kadang memang stressful ya artinya memang kadang-kadang tuntutannya tinggi, kedepannya juga akan lebih tinggi tetapi sampai dengan hari ini sih saya masih senang, masih enjoy di sini terlebih saya punya lingkungan kerja yang juga menyenangkan, banyak pekerjaan tetapi lingkungan saya menyenangkan..”

Pengalaman ibu SP dan ibu BS sebagai responden yang bukan alumni institusi pendidikan tempat mereka bekerja, mereka merasa bahwa lingkungan pekerjaan mereka adalah lingkungan pekerjaan yang unik sehingga mereka merasa senang dan nyaman bekerja. Berikut pengalaman responden.

“Bagi saya, lingkungan di sini sangat unik. Dengan background saya yang bukan alumni sini, saya kebetulan dari negeri kan dan ya pertama saya masuk sini sihkaget.


(9)

33

“bapak/ibu”. Tetapi ketika saya masuk pertama kali kesini sangat mengejutkan ketika saya melihat relasi mahasiswa dengan dosen itu akrab gitu loh. Akrab sampe dalam sapaan

pun tidak menggunakan “bapak/ibu” tapi “koh, cik, mbak, mas” saya rasa itu sudah relasi yang menarik. Pengalaman pribadi saja, ketika saya baru masuk di sini sebagai orang luar ya bukan alumni sini, yang notabenenya saya juga belum banyak bahkan tidak tau sama sekali suasana disini, mereka welcome, mereka nyapa, mengajak kenalan, kadang membantu saya untuk mengenal institusi ini lebih jauh. Itu yang saya rasakan dek, baik dari senior maupun dari rekan-rekan sekerja baik..”

Pekerjaan diperusahan perbankan dengan load

pekerjaan yang tinggi dan berimplikasi terhadap tingginya tekanan pekerjaan, para responden dengan pengalamannya sulit untuk membagi waktu, keterlibatan dan tanggungjawab secara seimbang antara pekerjaan dan keluarga. Berbeda dengan kondisi pekerjaan di sektor perbankan, pekerjaan di institusi pendidikan seperti perguruan tinggi dengan profesi sebagai dosen, memiliki kelenturan waktu untuk menyeimbangkan waktu, keterlibatan dan tanggungjawab terhadap pekerjaan dan keluarga. Kedua kondisi kerja ini berimplikasi pada konflik pekerjaan-keluarga dan kepuasan terhadap pekerjaan maupun kepuasan terhadap kehidupan keluarga.

4.2 Konflik pekerjaan-keluarga

4.2.1 Bank Mandiri

Konflik pekerjaan-keluarga terjadi sebagai akibat individu menanggung peran ganda yaitu peran dalam


(10)

34

pekerjaan dan peran dalam keluarga di mana waktu dan perhatian sebagian besar tercurah pada satu diantaranya (biasanya peran pada pekerjaan) sehingga tuntutan peran lain (dalam keluarga) tidak terpenuhi secara optimal (Susanto, 2009). Kasus konflik pekerjaan-keluarga dalam penelitian ini menunjukkan implikasi terhadap pengasuhan anak, kurangnya kasih sayang terhadap anak dan kurangnya waktu bagi keluarga. Kondisi kerja yang menyita waktu relatif lebih banyak dipekerjaan dan kondisi suami yang juga bekerja, para responden mempercayakan pengasuhan anaknya selain kepada suami, juga kepada orang tua, pembantu dan pihak sekolah. Selain itu, karena tersitanya waktu yang lebih banyak dipekerjaan, responden tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya. Berikut kutipan responden.

Kalo anak-anak itu seutuhnya saya kasi ke sekolah, jadi model sekolahnya itu kan dari pagi sampe sore. Ada penitipan anak di sana jadi kita tidak perlu khawatir anak itu nantimakannyagimana, nanti tidursiangnya gimana, semua sudah di atur dari sekolah.. (ibu YL)”

“Kebetulan sama bapak ibukutuhrumahnya gandeng jadi anak ada pengawasan. Ada pembantu juga. Jadi gak perlu khawatir. Cuma aku juga sering ya kasih sayang tuh gak ada

aku [kurang kasih sayang dari saya], cuman ada kakek neneknya yang sering tiap hari. Trus suamiku juga dia kalo

libur gini kan juga di rumah full. kalo dia piket malam aku kan sudah di rumah jadi ada yang gantiin.. “Kalo arisan gitu aku gak ikut mbak. Cuman bayar arisannya yo tetap cuman kalo menyempatkan diri arisan, duduk gitu aku gak pernah.

Kalo tetangga nikahan itu mbantu yo gak, ya gak sempat ya mbak.. (ibu RA)”


(11)

35

Ketiga responden penelitian mendapat complain

-dari anak-anak mereka karena terambilnya waktu bagi keluarga disebabkan lembur kerja dan tersitanya waktu libur yang merupakan waktu untuk keluarga. Berikut kutipan responden.

“Anak kadang biasanya [anak biasanya protes]. Biasanya sabtu minggu aku lembur kan ya, dia mesti: “ ya ini kan hari sabtu kenapa mama harus masuk? Ya aku yang gak masuk.

Kan sabtu libur jadi ya kadang dia pengen di perhatikan,

cumankalo sabtu minggu aku keluar dia mesti protes..”

Konflik pekerjaan-keluarga ini berpengaruh terhadap ketidakseimbangan antara kehidupan pekerjaan-keluarga dan kepuasan responden. Kepuasan yang dimaksudkan adalah kepuasan yang sama terhadap pekerjaan dan keluarga, kepuasan yang sama terhadap keterlibatan yang seimbang antara pekerjaan dan keluarga serta kepuasan yang sama terhadap pembagian waktu yang seimbang antara pekerjaan dan keluarga. Ibu RA dan ibu YL merasa belum seimbang dalam pembagian waktu dan keterlibatan antara pekerjaan dan keluarga karena waktu dan keterlibatan lebih banyak tersita dipekerjaan. Berikut kutipan responden.

Kalo seimbang sih lebih berat di pekerjaan yambak karena sering ketemu pekerjaan. Kalo di keluarga kan kadang kita

sudah capek karena kalo di keluarga kitapengennya kan

datang, istirahat gitu ya. Kalo di keluarga emang aku masih

merasa agak kurang..”

Kasus ibu DA yang bekerja terpisah dari keluarganya memiliki pengalaman sulit dalam hal


(12)

36

menyeimbangkan waktu dan keterlibatan antara pekerjaan dan keluarga. Keluarga ibu DA berdomisili di Jogjakarta sedangkan ibu DA bekerja di Salatiga. Waktu dan keterlibatan dengan keluarga hanya dapat dirasakan pada hari sabtu dan minggu, bahkan terkadang waktu untuk keluarga tersita karena tanggungjawab dual control. Ibu DA sedang berupaya untuk mengurus mutasi kerjanya agar tempat kerjanya lebih dekat dengan keluarga. Berikut pernyataan ibu DA.

Kalo pekerjaan dalam seminggu kalo 5 hari bekerja kan

berarti untuk kerja sendiri sekitar 70% ya untuk keluarga

paling 30%. Saya rasa juga gak seimbang. Ya paling saya

pinginnya, doain aja, saya sedang ngurus pindah ke Jogja jadi selain kerja itu malam juga masih ada waktu dengan keluarga. Saya rasa kan paling gak kan 40:60 lah kalo saya kerja di Jogja. Kadang kalo sabtu saya di sini karena ada tanggungjawab untuk monitoring ATM jadi kadang sabtu juga tersita. Tapi biasanya sabtu minggu saya pulang, senin sudah balik lagi kesini..”

Secara tanggungjawab, semua responden merasa belum seimbang tanggungjawabnya antara pekerjaan dan keluarga, belum maksimal dan belum puas tanggungjawabnya terhadap pekerjaan maupun keluarga disebabkan tersitanya waktu yang lebih banyak untuk pekerjaan. Berikut pernyataan responden.

Kalo saya seimbang tanggungjawab mungkin belum ya. Kalo

jadi istri itu seutuhnya saya harus melayani suami bener-bener tapi kan saya gak bisa. Kalo tanggungjawab terhadap anak saya pun hanya setengah-setengah. Dua-duanya belum puas ya di kantor juga belum maksimal, dirumah pun belum


(13)

37

maksimal juga jadinya kalokita mau fokus di rumah otomatis kantor harus di tinggal, kalokita mau fokus di kantor, rumah ya di abaikan dulu tapi kitagak bisa seperti itu..”

Walaupun secara waktu dan intensitas keterlibatan lebih besar dipekerjaan, responden belum puas terhadap pekerjaannya karena merasa belum maksimal dan harus terus menggali kinerjanya. Berikut pernyataan responden.

“Saya belum puas yambak. Kita kan ada target ya. Targetnya itu setiap bulan semakin menantang, kalo targetnya belum tercapai ya belum puas. Kalokatakanlah targetnya sudah tercapai tapi yang lain mencapainya lebih dulu juga belum puas juga. Kinerja saya harus tetap di galih lagi walaupun saya merasa sudah bisa tapi tetap harus belajar lagi mbak..”

4.2.2 Dosen

Konflik pekerjaan-keluarga pada kondisi tertentu kerapkali terjadi pada responden yang bekerja sebagai dosen. Konflik pekerjaan-keluarga dialami responden ketika menangani kegiatan di luar mengajar seperti tugas keluar kota, re-akreditas, koordinator kegiatan dan kepanitian. Meskipun tugas-tugas ini terjadi secara

seasonal namun kegiatan-kegiatan tersebut kerapkali menyita waktu yang relatif lebih besar dipekerjaan dan mengakibatkan kurangnya waktu untuk keluarga. Terganggunya waktu untuk keluarga karena urusan pekerjaan, para responden kerapkali mendapat komplain dari anak-anak mereka. Seperti pengalaman ibu BS ketika waktu tersita lebih banyak dipekerjaan


(14)

38

karena menangani kegiatan pembinaan olimpiade, ia mendapat protes dari anaknya. Ibu BS menuturkan :

“Pernah ketika pekerjaan itu banyak sekali, misalnya di IE kami pembinaan untuk olimpiade jadi kadang ada beberapa sekolah SMA yang datang ke fakultas Ekonomi sementara saya koordinatornya. Walaupun saya gak ngajar karena saya koordinator, kan saya harus datang lebih pagi,

mempersiapkan, memastikan nanti pengajarnya, nanti tempatnya benar ini, fasilitasnya ini, gitu kan. Nahitukalo

sudah seperti itu terus bisa 1 bulan seperti itu. Anak saya walaupun sabtu minggu saya ajak pergi tapi kalo ketika dari

senin sampe jumat saya dari pagi sampe jam 6.00 terus, dia akan berkomentar dan dia akan protes..”

Pengalaman ibu SP yang karena membawa pekerjaan dirumah, ia mendapat komplain dari anaknya. Berikut yang diceritakan ibu SP.

“Waktu itu karena mengejar harus uji proposal atau apagitu, kebetulan waktunya sudah mepet kan ya jadi saya belum sempat baca, saya bawa pulang ke rumah. Nah, situasinya ketika saya membaca sambil melihat anak bermain, ternyata anak saya protes. Dia masih kecil tetapi dia sudah. Bagi saya, ya udalah..”

Mencegah kemungkinan komplain dari anak-anak, semua responden menyatakan bahwa mereka memilih untuk menyelesaikan pekerjaan setelah anak mereka tidur. Berikut pernyataan responden.

“Jadi kalo memang saya harus selesaikan [kalau memang saya harus menyelesaikan pekerjaan] ya saya nunggusampe

anak tidur barusaya kerja..”

Sebagai wanita yang memiliki peran ganda, responden seringkali menghadapi tekanan tidak hanya dari pekerjaan tetapi juga dari keluarga. Ibu SP yang karena mengalami tekanan keluarga, ia pernah merasa


(15)

39

sulit membagi perannya dengan baik. Ibu SP mengungkapkan :

“Waktu itu anak saya masih baby jadi saya butuh orang ketiga istilah pembantulah untuk membantu saya. Kebetulan

cuman saya, suami, anak dan pembantu. Ketika hari itu saya sudah di jadwalkan mengajar segala macem, nah

kejadiannya tuh pada hari H pembantu saya gak datang, padahal hari itu saya harus tugas keluar kota, segala macem begitu kan, ya udah situasinya kan pembantu gak datang

gak ada yang jaga anak. Mendadak begitu ya otomatis, ya

bagi saya tuh pilihan yang agak sulit juga ya, disatu sisi ini bicara tugas dari pekerjaan, disisi yang lain ini anak gitu ya, waktu itu yastres..”

Para responden menuturkan bahwa mereka seringkali berkeputusan untuk meninggalkan profesionalitas mereka ketika diperhadapkan dengan pilihan antara masalah keluarga dan kepentingan pekerjaan. Kasus ibu SP dan ibu BS ketika mengalami masalah dalam keluarga, profesionalitas kerja seringkali ditinggalkan dan lebih mengutamakan keluarga. Hal itu terjadi ketika kondisi dan keadaan yang cenderung mendesak misalnya anak sakit. Berikut kutipan responden.

“Ketika terjadi konflik artinya saya sendiri ingin profesional

dalam arti ketika bekerja saya bertanggungjawab inginnya profesional tetapi kadang-kadang saya sebagai ibu ada sesuatu hal yang tidak bisa saya hindari, contoh ketika anak saya sakit ya mau tidak mau profesionalisme saya kadang-kadang bisa saya tinggalkan. Nah, jadi saya akan mengurus anak saya yang sakit, dengan konteks bahwa sakitnya si

anak lagi butuh pengawasan.. ”

Konflik pekerjaan-keluarga dalam pekerjaan sebagai dosen cenderung terjadi pada kondisi mendesak. Terlepas hari hal tersebut, pekerjaan


(16)

40

sebagai dosen memiliki kelenturan waktu yang dapat membantu para responden untuk menyeimbangkan tanggungjawabnya terhadap pekerjaan dan keluarga. Seperti kasus ibu BS dengan kelenturan waktu yang memungkinkan, ketika menghadapi konflik pekerjaan-keluarga ia dapat meluangkan waktunya untuk menengok anaknya ketika sakit. Berikut pernyataan ibu BS.

“Pernah dalam kasus saya ketua panitia untuk Economi competition yang itu untuk seJawa, jadi saya untuk koordinator acaranya. Baru sekali itu anak saya sakit pas

saya harus acara besar, saya tidak mungkin tinggal, saya

tetap. Dia di rumah dengan ayahnya. Saya berangkat pagi, ketika acara sudah mulai saya naik motor pulang ke rumah untuk sekedar menengok anak saya, memastikan tidak apa-apa..”

Bagi seorang wanita, keluarga adalah aspek terpenting sehingga sebagian pekerja wanita dalam mencegah terjadinya konflik pekerjaan-keluarga, karir seringkali dihindari. Seperti kasus ibu BS yang cenderung mementingkan keluarga, ia menegaskan bahwa dalam pekerjaannya, jabatan selalu dihindarinya meskipun diakuinya bahwa hal ini adalah

motivasi yang “buruk”. Bagi ibu BS, ketika ia diberi

jabatan maka konsekuensinya adalah waktu akan cenderung lebih banyak tersita untuk pekerjaan sehingga waktu untuk keluarga akan berkurang. Berikut pernyataan ibu BS.

“Saya cenderung tidak punya keinginan untuk punya jabatan karena saya selalu menghindari jabatan, saya selalu bilang


(17)

41

ke kaprogdi saya, puji Tuhan baik sekali, saya bilang “ pak,

saya mending di suruh apa saja tetapi jangan beri saya jabatan, suruh koordinator ini ok tapi saya jangan di beri

jabatan”. Karena kalau di beri jabatan berarti konsekuensi saya harus menambah waktu di kantor itu lebih banyak, itu saya gak mau..”

Terlepas dari konflik pekerjaan-keluarga yang dialami, semua responden dengan pengalamannya masing-masing mengatakan bahwa institusi pendidikan tempat mereka bekerja tidak menerapkan jam kerja yang kakuh sehingga mereka terbantu dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Berikut pernyataan responden.

“Pekerjaan kami sebagai dosen tidak kakuh ya. Dari segi waktu kalo tidak mengajar kankadangkita bisa melakukan hal yang lain ya seperti penelitian, atau kalomisalnyakita punya keperluan di luar kampus yakita bisa keluar sih. Kalo

di perusahan kan harus kakuh dari jam 8.00 sampe jam 4.00 gak bisa keluar gak bisa izin-izin, susahlah. Kalo di sini masih gampang..”

Dengan kelenturan waktu tersebut, para responden terbantu untuk menyeimbangkan kepentingan pekerjaan dan keluarga. Hal ini berimplikasi terhadap kepuasan mereka yaitu kepuasan terhadap waktu, keterlibatan dan tanggungjawab yang sama antara pekerjaan dan keluarga. Responden-responden penelitian ini mengatakan bahwa mereka puas dengan keterlibatan, waktu dan tanggungjawab mereka terhadap pekerjaan dan keluarga sebab mereka dapat memenuhi peran gandanya secara seimbang. Berikut kutipan ibu SP dan


(18)

42

ibu ER yang merasa senang dan puas dengan pekerjaan dan keluarga mereka.

“Saya puas dengan pekerjaan dan tanggungjawab saya dalam keluarga karena saya merasa semuanya baik-baik saja dan seimbang-seimbang saja. Memang dari sisi tuntutan profesi memang saya masih jauh dari yang diharapkan. Tetapi kalo secara pribadi, saya sudah merasa puas, saya merasa senang..”

Kasus ibu BS yang dapat menyeimbangkan waktu, keterlibatan dan tanggungjawabnya terhadap pekerjaan dan keluarga merasa senang dan puas karena dengan keseimbangan yang terpenuhi, ia dapat meluangkan waktu untuk mengajar anaknya dan ia merasa bangga anaknya berprestasi. Berikut kutipan ibu BS.

“Saya rasa sejauh ini semuanya seimbang. Saya senang,

karena saya puas anak saya bisa membaca dan menulis karena saya, anak saya tidak perlu les mata pelajaran karena saya masih bisa ngajari sendiri. Puji Tuhan, campur tangan Tuhananak saya bisa berprestasi..”

Tingginya tekanan pekerjaan dan konflik pekerjaan-keluarga yang berpengaruh pada kepuasan atau ketidakpuasan terhadap waktu, keterlibatan dan tanggungjawab pekerjaan dan keluarga ini berimplikasi pada keinginan responden untuk tetap bekerja, berpindah pekerjaan bahkan meninggalkan pekerjaan mereka.


(19)

43

4.3

To stay or to leave

4.3.1 Bank Mandiri

Pada bagian sebelumnya telah digambarkan bahwa tekanan pekerjaan di sektor perbankan berada pada level pressure yang cenderung konstan dan bahkan meningkat. Hal ini berimplikasi terhadap keinginan responden untuk berpindah pekerjaan. Mereka berpikir bahwa jika memiliki pekerjaan yang tekanan kerjanya rendah, mereka dapat menyeimbangkan waktu dan keterlibatan dengan keluarga. Ibu YL yang karena kelelahan dalam pekerjaannya, sempat berpikir untuk berpindah pekerjaan yaitu dengan berwirausaha namun hal itu dianggap hanya emosi sesaat ketika kelelahan. Selain itu, gaji, insentif, tunjangan-tunjangan dan jaminan yang diberikan organisasi menjadi alasan ibu YL tetap bekerja diperbankan. Ibu YL berkata :

“Saya pernah [saya pernah berpikir untuk berpindah

pekerjaan], saya pernah ketika saya lelah saya pengen seperti wiraswasta. Tapi saya berpikir lagi secapek-capeknya orang

pasti suatu saat kalo saya sudah menjalani pekerjaan lain

kan pasti saya capek juga. Akhirnya saya tetap memilih disini. Itu pun kalo waktu itu saya berencana untuk wiraswasta itu hanya emosi sesaat ya. Kita kembali flashback lagi, disini kita kerja toh Mandiri sudah berikan semuanya, ya insentif, ya kesehatan, ya sudah benar-benar dicover..”

Kasus ibu RA yang karena tingginya tekanan pekerjaan dan tidak seimbangnya keterlibatan serta tanggungjawab antara pekerjaan dan keluarga pernah berpikir untuk berpindah pekerjaan tetapi dukungan suami, gaji atau


(20)

44

income yang menjanjikan, insentif, tunjangan-tunjangan dan jaminan seperti pengalaman ibu RA ketika anaknya dioperasi, keseluruhan biaya di-cover oleh organisasi serta faktor ekonomi keluarga menjadi alasan ibu RA memilih untuk tetap bekerja diperbankan.Ibu RA merasa organisasi menjamin kesejahteraannya sehingga ia menjadi loyal terhadap organisasi. Berikut pernyataan ibu RA.

“Saya pernah sihmbak berpikir untuk pindah pekerjaan tapi ta pikir kalo suamiku kan dukung aku di sini yambak.

Cumankalokita sudah terbiasa dengan gaji, kaloorang mungkin pegawai bank ya gajinya lebih banyak sebenarnya

gak juga sih tapi kalo dibanding pegawai negeri kita income lebih ya. Wong dari segi materi lebih menjanjikan disini..”

Kemaren kebetulanabisanakku operasi nihmbak dan 9

harian. Alhamdulillah operasi pun kita dicover semua dari bank Mandiri biayanya. Aku sendiri dan anakku sendiri jadi

semuanya tercover. Yamakanya mungkin semakin perusahan memperhatikan kesejahteraan kitaya, ya

mungkin semakin loyal ya..”

Berbeda dengan kasus ibu YL dan ibu RA, meskipun dengan tekanan kerja yang tinggi dan mengalami ketidakseimbangan antara pekerjaan dan keluarga ibu DA tidak berpikir untuk berpindah pekerjaan karena pertimbangan income atau gaji yang memadai, telah bekerja dalam kurun waktu yang terpaut lama (12 tahun), faktor usia tidak memungkinkan bagi ibu DA untuk berpindah pekerjaan, adanya reward yang diberikan organisasi dan adanya rasa nyaman dengan jabatan atau posisinya dalam organisasi. Berikut pernyataan ibu DA.

“Pindah pekerjaan sih gak. Karena umur sudah gak pas dan posisi di sini sudah lumayan jadi saya gak mungkin cari


(21)

45

pekerjaan dengan umur saya, belum tentu dapat sebaik ini. Kemudian di Mandiri itu ada reward ya. Kayak produk-produknya Mandiri itu bisa pergi ke luar negeri, bisa di promosi, banyak. Yah mungkin itu penghargaan ya buat

semangat..”

Responden penelitian ini akan memilih untuk berpindah atau berhenti dari pekerjaannya ketika ekonomi keluarga sudah mapan karena mereka bekerja untuk membantu suami memenuhi ekonomi keluarga dan ingin memberikan pendidikan yang berkualitas kepada anak-anak. Menurut responden, pendidikan yang berkualitas tidaklah murah sehingga mereka juga harus bekerja. Seperti pada kasus ibu YL yang memilih tetap bekerja diperbankan karena ingin anak-anaknya mendapat pendidikan terbaik. Berikut pernyataan ibu YL.

“Mereka sadar kalo saya gak kerja toh mereka juga gak akan dapat pendidikan yang seperti itu kan tentunya [pendidikan yang berkualitas]. Ya sekolah negeri yapaling gak sih dengan fasilitas seadanya saya gak mau. Yakitakankalo memilih

sekolahan, pendidikan yang terbaik untuk anak-anak. Saya tekankan sama mereka pendidikan memang nomor 1 jadi

kalo saya pengen pendidikan yang bagus untuk kamu saya harus kerja..”

Selain itu, ibu RA dan ibu YL bangga bekerja di perusahan perbankan. Mereka mnegatakan bahwa ada kebanggaan ketika mereka menjadi contoh bagi anak-anak dan memenuhi harapan orang tua. Bagi ibu RA dan ibu YL, mereka bekerja di salah satu bank terbesar di Indonesia dapat menciptakan rasa percaya diri,


(22)

46

dan masyarakat. Berikut pernyataan ibu RA dan ibu YL.

Kalokita kerja di bank Mandiri setidaknya ada penghargaan

gitu ya entah dari suami atau masyarakat. Bangga ya mbak

kerja di bank Mandiri. Jadi kebanggaan buat keluarga juga

sih, kanbapak ibu juga “ini loh anakku ta sekolahin”, jadi kalo setiap bulan kita bantu orang tua kan bisa. Punya gaji sendiri kangak harus minta uang suami mau bantuin orang tua, mungkin orang tua suami juga, saudara-saudara. Sedikit-sedikit bisa bantu. Ada kebanggaan.. (Ibu RA)”

“Tulang rusuk kan yakita membantu menegakkan ekonomi keluarga. Bisa jadi contoh buat anak-anak juga. Jadi, ini loh

wanita juga bisa bekerja. Ada sebuah nilai plus ya,

kebanggan seperti sedikit gengsi gitu, jadi kalokatakanlah di

tanya “ibumu kerja apa?” : ibuku di rumah gak kerja, beda dengan ibumu kerja di mana? : oh di Mandiri gitu kan ada kebanggaan tersendiri buat mereka. Saya bekerja juga untuk

prestige.. (Ibu YL)”

Semua responden mengatakan bahwa stres kerja dan kelelahan yang dirasakan setimpal dengan kesejahteraan dan income yang diterima. Hal ini membuat para responden memilih untuk tetap bekerja pada organisasi perbankan. Namun, jika bekerja dengan tekanan kerja yang tinggi tetapi tidak menerima imbalan yang setimpal maka terbuka kemungkinan bagi responden untuk berpindah dari pekerjaannya. Berikut pernyataan responden.

“Mungkin kaloya sudah gajinya sedikit, suruh kerjanya

sampe malem, cuti gak di kasi, uang cuti gak ada ya udah

[Mungkin jika gajinya sedikit dan bekerja hingga malam hari, tidak diberikan cuti dan tidak ada uang cuti maka saya akan

berpindah pekerjaan]..”

Selain itu, dukungan keluarga juga menjadi faktor penting bagi wanita yang bekerja. Semua responden


(23)

47

mengatakan bahwa jika keluarga tidak mendukung pekerjaan mereka, maka mereka akan lebih memilih untuk berpindah pekerjaan. Berikut pernyataan responden.

Kalo keluarga tidak mendukung, saya akan keluar ya. Saya keluar tapi saya mauistilah nego ya, ya bolehlah saya keluar tapi dengan gaji kamu [gaji suami] apakah sudah mencukupi

semuanya? Tapi apapun yang terjadi, keluarga tetap nomor 1..”

4.3.2 Dosen

Tekanan pekerjaan yang cenderung seasonal dan belum cukup tinggi berimplikasi terhadap terpenuhinya keseimbangan antara kepentingan pekerjaan dan kepentingan keluarga. Oleh sebab itu, para responden tidak pernah berpikir untuk berpindah ataupun meninggalkan pekerjaan. Seperti kasus ibu SP dan ibu ER yang tidak berpikir untuk berpindah pekerjaan selain karena lingkungan kerja yang menyenangkan dan pada dasarnya wanita memang harus bekerja, ibu SP dan ibu ER juga bekerja untuk membantu suami secara perekonomian, bekerja karena pelayanan dan menjadi contoh bagi anak-anaknya. Bagi ibu SP dan ibu ER, pekerjaan bukan hanya masalah uang tetapi masalah eksistensi diri. Berikut kutipan responden.

“Sejauh ini belum terpikir ya [belum berpikir berpindah pekerjaan]. Ya saya prioritas pertama memang untuk membantu suami ya secara perekonomian. Selain itu,

Pekerjaan bagi saya sebenarnya bukan hanya masalah uang, itu juga masalah eksistensi diri ya. Misalkan contoh, saya sudah sekolah tinggi gitu kan, kalo tidak bekerja saya mau


(24)

anak-48

anak ya saya sendiri juga sependapat sebenarnya, paling tidak terlebih kan saya di dunia pendidikan seperti ini kan

anak-anak saya sihharapannya kedepan mudah-mudahan dia bisa mencontoh ya bahwa belajar juga penting..”

Berbeda dengan kasus ibu SP dan ibu ER, ibu BS pernah berpikir untuk berpindah pekerjaan. Namun, keinginan berpindah pekerjaan ini bukan karena tekanan pekerjaan tetapi karena ibu BS bekerja terpisah dari suaminya. Pengertian dan dukungan suamilah yang membuat ibu BS bertahan dalam pekerjaannya. Berikut kasus ibu BS.

“Dulu waktu saya punya anak baby saya pernah berpikir

mau keluar Karena waktu itu saya pernah mengalami suami saya kan kerja di Salatiga kan baru 3 tahun ini, Waktu itu suami saya tidak ada di sini dia di Jogja. saya sempat

bergumul. Saya lebih baik keluar dari sini karena suami saya di Jogja. Akhirnya suami saya yang memutuskan keluar dan bekerja di Salatiga. Saya merasa bahwa ini memang yang Tuhan tempatkan untuk saya..”

Dukungan pasangan hidup (suami) menjadi faktor terpenting pegawai wanita tetap bertahan dalam pekerjaannya. Responden mengakui bahwa jika keluarga (suami) tidak mendukung maka mereka lebih memilih untuk mengutamakan keluarga dan meninggalkan pekerjaan, tetapi kondisi seperti ini membutuhkan banyak syarat. Seperti pernyataan ibu SP berikut.

Kalosituasinya misalkan terpaksa misalkan suami saya tetap tidak mendukung, kemudian juga situasi keluarga saya

sudah “ok”, secara ekonomi sudah “ok”, ya sebenarnya sih

bagi saya tidak masalah kalo saya harus melepaskan pekerjaan tetapi situasi seperti itu pasti membutuhkan


(25)

49

Seperti yang sudah diungkapkan pada bagian sebelumnya, pekerjaan di sektor perbankan dengan tingginya load pekerjaan berimplikasi pada tekanan kerja yang dialami pegawai, baik tekanan secara psikologis maupun tekanan. Potensi tingginya tekanan pekerjaan diperusahan perbankan ini kemudian mengakibatkan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga dan ketidakpuasan terhadap keseimbangan antara pekerjaan dan kepentingan keluarga.

Selanjutnya, effect konflik pekerjaan-keluarga terhadap ketidakpuasan ini berimplikasi pada keinginan pegawai untuk berpindah atau bahkan memilih untuk meninggalkan pekerjaannya. Berbeda dengan di sektor perbankan, pekerjaan di institusi pendidikan sebagai dosen memiliki potensi kelenturan waktu yang memungkinkan para pegawai terbantu untuk menyeimbangkan kepentingan pekerjaan dan kepentingan keluarga. Load pekerjaan dalam hal mengajar tidak menimbulkan tekanan baik secara psikologis maupun secara fisik karena telah terjadwal. Tekanan pekerjaan yang stressful dialami ketika menjalankan pekerjaan di luar mengajar dan dalam beberapa kasus tekanan pekerjaan yang stressful ini berimplikasi pada gangguan kesehatan. Kondisi pekerjaan dosen dengan potensi tekanan pekerjaan yang seasonal dan memiliki kelenturan waktu,


(26)

50

menghasilkan kepuasan yang sama terhadap pekerjaan dan keluarga. Kepuasan terhadap pekerjaan dan keluarga ini kemudian berimplikasi pada keinginan pegawai untuk tetap bertahan dan tidak berpikir untuk berpindah pekerjaan.

Kondisi pekerjaan dengan pressure yang tinggi sebenarnya berpotensi bagi organisasi untuk memberikan intervensi untuk menekan pressure

pekerjaan agar pressure kerja tersebut telatif berkurang. Intervensi ini dapat membantu pekerja dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga secara seimbang khususnya bagi pekerja wanita yang memiliki peran ganda. Intervensi yang dibutuhkan adalah kebijakan organisasi untuk menerapkan flexible working. Dunia kerja seperti didunia barat telah menerapkan flexible working bagi pekerjanya untuk memfasilitasi pekerjanya menyeimbangkan kepentingan pekerjaan dan kepentingan keluarga, menekan angka turnover,

meningkatkan kepuasan kerja, meningkatkan produktivitas dan mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, berbeda dengan dunia kerja di Indonesia. Meskipun dengan tekanan kerja yang tinggi seperti diperusahan perbankan dan kelenturan waktu yang memadai untuk menyeimbangkan kepentingan pekerjaan dan keluarga


(27)

51

seperti di institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi, organisasi tidak memfasilitasi pekerjanya dengan

flexible working.

4.4 Mengapa organisasi tidak menerapkan

flexible working?

Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pekerjaan di sektor perbankan merupakan memiliki pressure yang tinggi karena tingginya load

pekerjaan dan ekspektasi mengejar target perusahan dan memenuhi ekspektasi konsumen. Tingginya tekanan pekerjaan di sektor perbankan berimplikasi terhadap ketegangan psikologis dan ketegangan fisik yaitu kelelahan, stres kerja dan bahkan gangguan kesehatan. Meskipun dengan kondisi kerja yang demikian stressful, organisasi tidak menerapkan

flexible working sebagai kebijakan untuk membantu pekerja wanita menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Flexible working hanya sempat menjadi wacana yaitu penerapan flexitime tetapi hanya mencakup posisi back office karena pekerjaan

back office dinilai bisa fleksibel dibanding dengan posisi kerja yang lain. Keterangan dari semua responden, posisi kerja di perbankan yang bisa fleksibel adalah bagian marketing karena bagian marketing selalu


(28)

52

bekerja di luar kantor untuk mencari nasabah dan memenuhi target. Berikut pernyataan responden.

“Untuk saat ini bank tidak bisa ya fleksibel kecuali kalo

marketing ya. Marketing kalo dipegawai kami kan ada pegawai tetap ada yang outsourching. Outsourching itu biasanya dia menangani untuk produk-produk pihak ketiga

kayak dia sales kartu kredit kemudian kredit-kredit mikro,

itu kan masuk keluar masuk dan itu mereka bisa lebih fleksibel karena mereka yang ditargetkan yang penting tercapai. Kalo mereka sih masih bisa fleksibel untuk marketing tapi kalo yang lain susah mbak..”

Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini bahwa tidak diterapkannya flexible working untuk pekerjaan di sektor perbankan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kebutuhan, peraturan jam kerja, bidang pekerjaan sektor perbankan, dukungan organisasi dan konsekuensi dari penerapan fleksibilitas itu sendiri baik terhadap pegawai, nasabah, instansi-instansi maupun konsekuensi terhadap sektor ekonomi. Seperti ibu YL dan ibu RA yang mengungkapkan bahwa pekerjaan di sektor perbankan belum cocok untuk diterapkannya flexible working. Berikut pernyataan responden.

Gak cocok kayaknya ya mbak untuk bank. Karena kalokita

kerja part time misalnya ya, pagi nihkita istirahat nanti sore kitasampe malam kerja. Jadi gak cocok..(ibu YL)”

Kayaknya belum cocok ya. Nanti kalo ada yang ganti bingung nanti anak buahnya. Terus saya complain ke teman-teman mungkin akan susah ya. Pimpinannya kan saya jadi kalo demikian ngontrolnya akan susah. Mengkoordinasi mereka agak susah ya.. (ibu RA)”

Selanjutnya ibu RA menyatakan bahwa sektor perbankan tidak menerapkan flexible working karena belum


(29)

53

adanya peraturan dari kantor pusat untuk serempak menerapkan rancangan pekerjaan yang fleksibel. Menurut ibu RA, rancangan pekerjaan yang fleksibel dapat diterapkan sektor perbankan jika pemberlakuannya dilakukan secara serempak. Selanjutnya, ibu RA menyatakan bahwa tidak diterapkannya flexible working di sektor perbankan karena bank berhubungan dengan instansi yang lain, karena pelayanan dan tuntutan masyarakat dan berpengaruh terhadap sektor ekonomi. Berikut pernyataan ibu RA.

“Karena memang dari kantor pusat memang belum ada

kayakflexible time gitu-gitu gak ada ya. Kecuali kalo semua serempak mungkin bisa ya mbak. Terus karena memang ya

langsung dengan nasabah, keinginan nasabah itu, misalkan

untuk beli bensin beli solar itu kanada pembayarannya bank Mandiri. Kalomisalkan itusampemalem, itu kan langsung nembusnya ke pertamina tuh sistemnya, kan gak mungkin pertamina kerja malem-malemjuga kan makanya karena juga berhubungan dengan instansi yang lain karena orang butuhkita dan mereka butuhnya juga untuk ke tempat lain.

Makanya karena memang tuntutan juga dari masyarakat

kan. Terus juga pengaruhnya ke sektor ekonomi itu pasti

ya..”

Lebih lanjut ibu RA menyatakan sektor perbankan tidak menerapkan flexible working karena harus melihat dari sisi kebutuhan masyarakat. Selain itu, perbankan tidak menerapkan flexible working karena penyesuaian terhadap mobilitas uang di masyarakat. Bank Mandiri sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia bahkan membuka layanan Mandiri weekend

di wilayah-wilayah tertentu karena adanya mobilitas uang di masyarakat. Berikut pernyataan ibu RA.


(30)

54

Kalo di Mandiri kan ada weekend Mandiri juga tapi gak

semua cabang. Kalo di Solo biasanya di Slamet Riyadi kalo di Semarang biasanya di Pahlawan kalogak salah ya. Jadi karena di Solo itu ada pasar Klewer, yahdi situ kan ada

mobilitas uang itu kan jadi setiap hari pasti ada uang masuk makanya sabtu itu Mandiri weekend Solo dibuka tapi kalo disini belum karena gak se-ramedi Solo..”

Ibu DA menyatakan bahwa sektor perbankan tidak menerapkan flexible working karena bank Mandiri bekerja dengan sistem, berhadapan langsung dengan nasabah, tergantung bidang pekerjaan dan perbankan mengikuti jam kerja di Indonesia pada umumnya. Selain itu, ibu DA menyatakan bahwa untuk menerapkan flexible working perlu mempertimbangkan konsekuensi dari fleksibilitas itu sendiri. Berikut pernyataan ibu DA.

“Tidak bisa yambak karena kita berhadapan langsung dengan nasabah dan bekerja dengan sistem. Terus karena ini sudah bidangnya yambak. Ada kantor yang bisa tapi kalo di Mandiri gak mungkin ya karena resikonya juga gak baik bagi nasabah dan karyawan, resikonya agak banyak..”

Teruskalomau fleksibel itukitaliat bidang jasanya apa dulu. Kaloyang di perbankan, di liat jabatannya juga sih, di liat posisinya juga. Kalo saya di frontliner kan gak mungkin.

Trus juga kan juga memang sudah ada patokankalo di perbankan kan dari jam 8.00 sampe jam 5.00 sore.

Kemudian karena kebanyakan untuk jam kerja di Indonesia disamakan ya jadi ada hubungannya dengan jam kerja yang berlaku di Indonesia..”

Selain itu, semua responden mengatakan bahwa sektor perbankan tidak menerapkan flexible working

karena sektor jam kerja perbankan berkaitan dengan ketentuan jam kerja Bank Indonesia sebagai bank perantara. Berikut pernyataan responden.


(31)

55

Kita patokannya kan di jam kerja. Sudah ada aturannya dari jam berapasampejam berapa. Kalokitamau bikin

aturan sendiri kan malah gak lazim karena bank Indonesia

kan juga bukanya sama, jam terbangnya sama. Jam kerjanya

dari jam 8.00, ada yang buka sampe jam 4.00 sore. Karena

kalokita kirim, kita transfer-transfer kan perantaranya mereka. Misalnya dari Mandiri transfer ke BCA itu kan lewat dulu BI baru di transfer ke BCA-nya. Nah,kalomisalkankalo

pihak ketiga ini kitakerjanya malam sementara BI-nya kerjanya siang kan gak mungkin bisa jalan..”

Ibu YL menyatakan bahwa menerapkan flexible working di sektor perbankan perlu mempertimbangkan nasabah karena menerapkan flexible working misalnya

compress week maka akan merugikan nasabah dan

tidak manusiawi bagi karyawan. Selain itu, ibu YL menyatakan bahwa perbankan tidak fleksibel karena sudah merupakan konsekuensi. Berikut pernyataan ibu YL.

Kalo seperti itu tidak manusiawi [kalau compress week].

Menurutku tidak manusiawi, karena kita akan sangat kelelahan ya. Dan juga akan merugikan nasabah karena misalnya yang wiraswata itu kan perputaran uangnya kan

terjadi setiap hari jadi kalokitatutupnya terlalu lama kasian

mereka juga gitu. Jadi harus menyesuaikan dengan mobilitas dimasyarakat ya. Kalo Mandiri tidak fleksibel karena

memang itu udah konsekuensinya mbak..”

Berbeda dengan sektor perbankan, pekerjaan sebagai dosen memiliki kelenturan waktu yang memungkinkan untuk menyeimbangkan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Semua responden mengatakan bahwa tugas-tugas di luar mengajar adalah fleksibel sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menyeimbangkan kepentingan pekerjaan dan kepentingan keluarga. Tugas-tugas di luar


(32)

56

mengajar yang fleksibel menurut responden yaitu mengoreksi tugas mahasiswa, menyiapkan bahan mengajar, membaca skripsi ketika menjadi penguji, melakukan penelitian, dan pengabdian masyarakat yang bisa diselesaikan atau dilakukan tidak hanya di kantor tetapi dapat dikerjakan dirumah dengan waktu yang fleksibel. Berikut pernyataan responden.

“Hal dalam pendidikan yang fleksibel itu yang di luar ngajar kan fleksibel. Contoh, misalkan ketika saya mengoreksi, nah itu kan memang tidak harus, yang pasti kan batas akhir nilai masuk ya saya tidak terlambat gitu aja. Kemudian yang kedua yang sedikit fleksibel bagi saya adalah ketika jam konsultasi atau bimbingan mahasiswa, baik untuk skripsi, proposal dan lain segala macam, pengabdian masyarakat

dan penelitian bisa fleksibel..”

Namun, berbicara masalah pengajaran merupakan pekerjaan yang tidak fleksibel karena sudah terjadwal dan harus dijalankan secara bertanggungjawab. Meskipun dalam kondisi tertentu sebagai pengajar atau dosen berhalangan untuk memenuhi kewajibannya dalam mengajar karena kendala tertentu, namun hal itu terjadi karena situasional seperti harus memenuhi tugas keluar kota dan ketika anggota keluarga sakit. Selain karena sudah terjadwal, masalah pengajaran tidak bisa fleksibel karena dapat merugikan baik pihak mahasiswa maupun kesulitan mencari waktu dan kelas pengganti. Berikut pernyataan para responden.

Kalo untuk pengajaran, bicara tatap muka kita tidak bisa hindari jadi itu kan hukumnya istilahnya wajib, jamnya, jadwalnya sudah di tentukan jadi yang itu jelas tidak fleksibel, gak bisa “seenak gue” gitu misalnya gitu pindah


(33)

57

hari jam itu gak bisa. Saya pernah kosong mendadak karena anak saya sakit, saya mengakui itu ataupun saya pribadi pernah sakit, ataupun ada dapat tugas keluar kota. Tapi itu karena situasi ya dek..”

Meskipun memiliki kelenturan waktu namun pekerjaan di sektor pendidikan tidak menerapkan

flexible working. Menurut ibu ER organisasi tidak menerapkan flexible working karena pekerjaan sebagai dosen merupakan pekerjaan yang sudah fleksibel. Lebih lanjut ibu ER menyatakan bahwa secara legasi rancangan jam kerja mengikuti legasi universitas meskipun pada prakteknya dapat lebih fleksibel dan untuk menerapkan fleksibilitas perlu mempertimbangkan konsekuensi sikap individu terhadap pekerjaannya. Berikut pernyataan ibu ER.

“Selama ini kita juga menurut saya fleksibel ya. Secara aturan kankita harus tunduk pada universitas ya.

Universitas kan jam kerjanya jam 8.00 sampai jam 4.00. Jadi secara legasi kita harus tetap ikut aturan universitas

walaupun nanti secara praktek kita bisa lebih fleksibel. Kan

jam kerja tuh kan harus ikutitu kan, walaupun prakteknya juga fleksibel asalkan pekerjaan kitaberes. Tapi sebenarnya tergantung individunya juga sihkalo individunya memang

kerjaannya beres menurut saya bisa tapi kalo kembali lagi ke individu kalodia gak beres nanti kalo di fleksibelkan seperti

itu tambah gak beres..”

Para responden menyatakan bahwa pekerjaan di institusi pendidikan seperti dosen sudah tergolong fleksibel dan didukung oleh atasan dan organisasi. Semua responden menyatakan bahwa pekerjaan sebagai dosen bukan merupakan pekerjaan yang fleksibel karena organisasi tidak mengatur secara


(34)

58

kakuh pekerjaan dosen yang terpenting adalah menjalankan tanggungjawab dengan baik. Berikut kutipan responden.

“Sebenarnya kalo saya merasa lembaga ini menerapkan itu karena ketika raker ada yang mengusulkan kita harus presensi pegawai seperti finger nail, pak Rektor sendiri

mengatakan “mau? kalian mau seperti itu? gak kan?”. Jadi sebenarnya kan secara kelembagaan sendiri juga menyadari bahwa yang penting kan tanggungjawab kita pengajaran jalan. Pimpinan kami sebenarnya dari dulu sudah

mengatakan “kita fleksibel yang jelas asal jangan sampai mengganggu proses PBM dan tugas di luar ngajar itu juga selesai sesuai deadline. Bicara koreksi, mau di kantor mau di rumah, kantor tidak pernah mempermasalahkan yang

penting tanggungjawab selesai..”

Ibu SP menyatakan bahwa untuk fleksibilitas perlu mempertimbangkan jenis pekerjaan sebab menurut ibu SP, ada pekerjaan yang bisa diselesaikan di mana saja dan ada juga pekerjaan yang seharusnya diselesaikan ditempat kerja misalnya pekerjaan dengan sistem internal. Berikut pernyataan ibu SP.

“Memang sebagian besar pekerjaan ada yang bisa saya lakukan di manapun saya bisa melakukannya tetapi ada juga pekerjaan yang saya tidak bisa lakukan di manapun. Artinya saya harus tetap di situ. Nah itu kalo kita bicara soal sistem internal dek. Kan kalokita bicara keuangan di dana pensiun misalkan, atau keuangan di UKSW, itu kan jaringan internet tetapi intranet di sini jadi kalomo mengurus hal-hal itu ya harus disini, gak bisa di tempat yang lain. Dan ini bukan bicara fleksibel tidak fleksibel, tapi ini bicara

kerahasiaan data yang memang tidak bisa sembarang orang

tau..”

Ibu SP juga menyatakan bahwa pekerjaan sebagai dosen bukan pekerjaan yang kakuh sebab dosen dalam proses belajar dan mengajar seringkali berlangsung


(35)

59

lebih pagi dan juga pada malam hari. Berikut pernyataan ibu SP.

“Kami sebagai dosen, kami tidak bisa kakuh, kenapa? Karena ada jam mengajar dimulai jam 7.00 pagi artinya kami bisa 1 jam lebih cepat bahkan kami bisa mengajar

sampe malam. Nah, jadi kadang-kadang realisasinya bisa lebih dari itu tetapi juga bisa kurang dari itu. Bahkan kalo

bicara jam kerja di UKSW juga setau saya gakkakuh-kakuh amat karena kanbicara jadwal kuliah sangat fleksibel juga..”

Fleksibilitas pada pekerjaan dosen ini pada dasarnya adalah mengikuti bentuk atau model kerja standar yaitu pekerjaan dosen mengikuti jadwal dalam mengajar dan para responden menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan dan tugas-tugas di luar mengajar adalah fleksibel. Sifat pekerjaan ini memungkinkan pekerjaan sebagai dosen bisa dilakukan secara fleksibel.

4.5 Pembahasan

Realitas yang dihadapi responden yaitu tingginya

load pekerjaan yang berimplikasi terhadap ketegangan secara psikologis maupun kelelahan fisik. Kondisi kerja yang stressful ini dapat mengganggu kestabilan emosi hingga mengganggu kesehatan dan seringkali terbawa hingga ke kehidupan keluarga. Meskipun pressure

pekerjaan mengintervensi kehidupan keluarga namun

coping keluarga terhadap pressure tersebut dapat membantu responden untuk mengatasi stres kerjanya. Jika coping mekanisme tidak sanggup menanggung


(36)

60

beban maka mengakibatkan stres kerja. Stres kerja ini berdampak pada under-performance karyawan terhadap pekerjaannya dan berpotensi bagi karyawan berkeputusan untuk stay atau leave terhadap pekerjaannya. Jika kondisi stres terus menerus meningkat dan kemudian karyawan berkeputusan untuk meninggalkan pekerjaannnya, maka hal ini dapat menjadi persoalan dan kerugian bagi organisasi seperti biaya yang harus ditanggung dan waktu yang dihabiskan untuk melakukan rekrutmen, seleksi dan

training untuk mendapatkan karyawan yang

berkualitas.

Tingginya load pekerjaan yang berinteraksi dengan beban rumah tangga yaitu jika beban pekerjaan memberi pressure terhadap beban rumah tangga dalam artian urusan pekerjaan mencampuri urusan keluarga atau sebaliknya beban rumah tangga memberi pressure

terhadap beban pekerjaan mengakibatkan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga. Konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh terhadap kepuasan terhadap waktu, keterlibatan dan tanggungjawab pekerjaan-keluarga dan dapat menyebabkan stres kerja yang kemudian berimplikasi terhadap keinginan responden untuk tetap bekerja, berpindah atau meninggalkan pekerjaan.

Kondisi kerja seperti yang telah diungkapkan seharusnya telah menunjukkan signaling terhadap


(37)

61

organisasi untuk mengintervensi desain pekerjaan secara lebih fleksibel untuk memenuhi work life

balance karyawan, menurunkan stres kerja,

menurunkan konflik pekerjaan-keluarga dan meningkatkan performance karyawan. Namun, dalam penelitian ini ditemukan bahwa meskipun kondisi kerja dengan workload yang tinggi dan stressful, adanya

work-family conflict serta adanya keinginan responden untuk berpindah pekerjaan, organisasi tidak memberikan intervensi atau adopsi flexible working.

Tidak diterapkannya flexible working disebabkan faktor-faktor hambatan yaitu regulasi, type/nature of work,

belum adanya dukungan manajerial dan organisasi serta pertimbangan effect atau konsekuensi dari penerapan flexible working itu sendiri. Jika regulasi dan

nature of work berubah, adanya dukungan manajerial dan organisasi maka kemungkinan untuk intervensi rancangan pekerjaan yang lebih fleksibel akan semakin terbuka. Berikut model yang dihasilkan sebagai dasar perusahan atau organisasi tidak menerapkan flexible working.


(38)

62

Ya Tidak

Gambar 1 Model hasil penelitian

Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) faktor sebagai alasan perusahan atau organisasi tidak menerapkan flexible working. Faktor pertama, adanya regulasi yang mengatur mekanisme kerja suatu organisasi seperti pekerjaan yang berbasis sistem dan adanya aturan jam kerja. Flexible working

dapat memberikan effect positif terhadap produktivitas karyawan jika didukung oleh regulasi organisasi

(Al-WLB WFC

Coping

Beban kerja Beban rumah tangga

Ya Stres kerja,

Kelelahan. ketegangan

Performance

Flexible working Intent to stay/to leave

Constraints

Effect/Consequences Managerial/

Organizational support


(39)

63

Rajudi, 2012). Hal ini menunjukkan adanya indikasi dari pekerja yang membutuhkan eksistensi suatu kebijakan dan hukum untuk mendukung rancangan suatu pekerjaan yang fleksibel (Al-Rajudi, 2012). Organisasi sebaiknya tidak hanya memenuhi tuntutan teknis dalam organisasi tetapi juga harus merespon tekanan yang berbeda-beda dari beberapa lembaga dan memenuhi tuntutan dalam bentuk peraturan, norma, hukum, dan harapan sosial (Triaryati, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa bilamana regulasi diubah dan tidak menghambat maka kemungkinan perusahan-perusahan akan lebih terbuka mengadopsi flexible working karena pressure aktual bahkan kemunginan akan semakin meningkat.

Seperti yang terjadi di negara-negara barat bahwa organisasi menawarkan praktik work life balance

karena mereka menyadari manfaat yang dapat dirasakan terlepas dari apakah karyawan memanfaatkan praktek tersebut atau tidak; Hal ini adalah relevansi khusus bagi konteks dan tidak ditandai dengan regulasi yang memberatkan (Beauregard dan Henry, 2009). Misalnya, undang-undang Inggris menetapkan bahwa karyawan yang memiliki tanggungjawab pengasuhan anak atau tanggungan orang tua, memiliki hak untuk meminta jadwal kerja yang fleksibel dan organisasi berkewajiban


(40)

64

untuk mempertimbangkan permintaan tersebut secara serius (DTI, 2007 dalam Beauregard dan Henry, 2009 ). Di Eropa dan Jepang, kebijakan publik mendukung jam kerja yang fleksibel, paid parental leave, dan jam kerja mingguan yang lebih pendek dalam upaya untuk meningkatkan partisipasi wanita dalam angkatan kerja (Appelbaum et al., 2006). Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada mempercayakan inisiatif penerapan kebijakan terhadap pemilik perusahan untuk menerapkan praktik-praktik kehidupan kerja.

Faktor kedua, untuk menerapkan rancangan pekerjaan yang fleksibel perlu menelusuri bidang atau jenis pekerjaan dan nature pekerjaan sebagai sifat-sifat dari sebuah pekerjaan dalam suatu organisasi. Sebab, kondisi kerja dan sifat-sifat suatu bidang atau jenis pekerjaan memiliki tekanan pekerjaan yang berbeda, artinya terdapat variasi kebutuhan dan kepentingan dari suatu bidang atau jenis pekerjaan. Suksesnya penerapan flexible work arrangements dikontrol oleh rancangan pekerjaan yang digunakan secara aktual, jenis industri, budaya yang telah diimplementasikan dalam pekerjaan dan relative flexibility terhadap praktik pekerjaan itu sendiri (Al-Rajudi, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya kesesuaian antara penerapan flexible working dengan type/nature of work


(41)

65

dalam organisasi. Seperti pernyataan Kossek dan Lee (2008) yaitu pengaturan flexible working perlu disesuaikan dengan jenis pekerjaan tertentu dan kebutuhan.

Nature of work akan cenderung sama. Nature of work yang dimaksud adalah nature dalam konteks lingkungan pekerjaan. Karakteristik pekerjaan akan berubah dengan adanya intervensi teknologi sehingga pekerjaan dapat dilakukan tidak hanya secara fisikal ditempat kerja tetapi memungkinkan dilakukan dari jarak yang jauh. Jika teknologi berubah dan mengubah

nature of work maka kemungkinan adopsi rancangan pekerjaan secara lebih fleksibel dapat diterapkan.

Faktor ketiga, penerapan rancangan pekerjaan yang fleksibel membutuhkan dukungan dari pihak manajerial maupun organisasi. Jika manajer dan organisasi mendukung maka penerapan intervensi

flexible working akan semakin terbuka. Duxbury dan Haines (1991) menyebutkan bahwa manajer dan supervisor menjadi kunci dalam mengimplementasikan strategi rancangan pekerjaan yang lebih fleksibel. Jika manajer ingin mempertahankan karyawan yang berkualitas maka pihak manajer perlu mengurangi pekerjaan yang stressful dan menyediakan kebijakan yang ramah (Sahzad et al., 2011). Kebijakan tersebut berupa flexible work hours, timetable dan menyatu


(42)

66

dalam pengambilan keputusan terhadap penerapan

work life policies (Ongori (2007). Jika organisasi mendukung implementasi program desain pekerjaan secara lebih fleksibeldan work life policies, maka hal ini dapat menurunkan terjadinya turnover sebab praktik-praktik work life balance dapat membantu organisasi menarik karyawan baru dan memperbaiki sikap dan perilaku karyawan terhadap organisasi (Beauregard dan Henry, 2009). Sebaliknya, ketidakmampuan organisasi atau perusahan untuk mengadaptasi kebijakan yang diperlukan karyawannya dapat mengakibatkan konflik pekerjaan-keluarga, stres kerja dan ketidakpuasan, yang kemudian melatarbelakangi keputusan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya (Triaryati, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa manajer dan supervisor perlu menyadari pentingnya kebijakan yang ramah terhadap suatu bisnis atau pekerjaan yaitu peran flexible work

arrangements sebagai alat untuk menarik dan

mempertahankan karyawan yang valuable (Al-Rajudi, 2012).

Faktor keempat, dalam menerapkan flexible

working perlu mempertimbangkan dampak dan

konsekuensi baik terhadap organisasi, pekerja maupun terhadap konsumen. Al-Rajudi (2012) menyatakan bahwa sangat penting untuk memikirkan secara


(43)

67

holistik dampak dari flexible work arrangements

ditempat kerja. Riset-riset menunjukkan penerapan

flexible working memberikan effect dan konsekuensi positif baik bagi organisasi maupun bagi karyawan. Bagi organisasi, penerapan flexible working dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Baltes et al., 1999; Beham et al., 2012; Hilbrect et al., 2008)), meningkatkan komitmen terhadap organisasi (Glass dan Finley, 2002), Mengurangi ketidakhadiran dan

turnover (Hyland, 2000) dan meningkatkan

produktivitas karyawan (Al-Rajudi, 2012; Pierce & Newstrom, 1989). Bagi karyawan, penerapan flexible working dapat mengurangi stres kerja (Almer & Kaplan, 2002; Schaefer, 2005), meningkatkan energi, kreativitas dan mengurangi burnout (Schaefer, 2005), karyawan berpersepsi bahwa flexible working membuat mereka

“bahagia” dan menentukan sikap dan perilaku yang menghubungkan kebahagiaan, perilaku discretionary

dan meningkatkan performance outcomes (Atkinson & Hall, 2011) serta mencapai pemenuhan work life balance dan mengurangi terjadinya konflik pekerjaan-keluarga (Beham et al., 2012; Hayman, 2009).

Berbeda dengan riset-riset tersebut, temuan dalam penelitian ini para responden cenderung mengutarakan kekhawatiran mereka terhadap effect


(44)

68

baik terhadap organisasi, karyawan maupun konsumen. Kekhawatiran responden terhadap effect

atau konsekuensi negatif penerapan flexible working

dapat disebabkan karena kurangnya pemahaman mereka tentang konsep-konsep flexible working sebab

flexible working cenderung masih merupakan hal baru bagi responden dan bahkan bagi organisasi. Karena kurangnya pemahaman tentang flexible working,

responden belum memandang flexible working sebagai kebutuhan dan solusi. Padahal penelitian (Al-Rajudi, 2012) menunjukkan bahwa employees support

berpengaruh terhadap penerapan fleksibilitas. Sebab, dalam perancangan dan penentuan kebijakan karyawan diikutsertakan sehingga kebijakan yang diadaptasi sesuai dengan kebutuhan karyawan (Triaryati, 2003).

Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa flexible working tidak menjadi solusi untuk memenuhi work life balance karyawan karena adanya faktor-faktor hambatan seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa workload yang tinggi, stres kerja, kelelahan dan konflik pekerjaan-keluarga merupakan fenomena yang akan terus terjadi. Coping terhadap beban rumah tangga merupakan mekanisme individual untuk dealing


(45)

69

beban rumah tangga ini membantu karyawan untuk menetralisir tekanan kerja akibat tingginya load

pekerjaan. Hal ini mungkin sulit berlaku dalam budaya sosial didunia barat yang cenderung individualis. Namun, budaya sosial (social cultural) di masyarakat Asia yang cenderung kolektif atau oriented family memungkinkan untuk adanya coping terhadap beban rumah tangga. Hal ini ditunjukkan seperti adanya keluarga inti dan extended family yang membantu karyawan menangani urusan keluarga, serta lingkungan sosial ditempat kerja yang dapat menetralisir stres kerja karyawan melalui hubungan yang harmonis.

Di kota-kota besar coping terhadap beban rumah tangga semakin sulit terjadi pada pekerja-pekerja yang jauh dari lingkungan sosial aslinya seperti keluarga dan

extended family. Tidak adanya family support ini memunculkan stres pada karyawan. Penelitian ini berlangsung dikota Salatiga, Jawa Tengah di mana pekerja lazimnya memiliki konteks sosial pendukung. Bilamana konteks sosial itu berubah seperti dikota besar di mana masyarakat pekerja hidup dari dan untuk dirinya sendiri tanpa dukungan sosial dan

coping mechanism, maka intervensi organisasi

diperlukan. Hal ini mengindikasikan bahwa flexible working menjadi solusi ditempat-tempat yang tidak memungkinkan untuk coping mechanism. Namun,


(46)

70

untuk menerapkan intervensi flexible working dapat dilakukan jika adanya kelonggaran terhadap faktor-faktor hambatan pada gambar 1 dan diperlukan pelaku-pelaku yang adaptif terhadap realitas perubahan dan perkembangan kebutuhan pekerja dalam organisasi.


(1)

65

dalam organisasi. Seperti pernyataan Kossek dan Lee (2008) yaitu pengaturan flexible working perlu disesuaikan dengan jenis pekerjaan tertentu dan kebutuhan.

Nature of work akan cenderung sama. Nature of

work yang dimaksud adalah nature dalam konteks

lingkungan pekerjaan. Karakteristik pekerjaan akan berubah dengan adanya intervensi teknologi sehingga pekerjaan dapat dilakukan tidak hanya secara fisikal ditempat kerja tetapi memungkinkan dilakukan dari jarak yang jauh. Jika teknologi berubah dan mengubah

nature of work maka kemungkinan adopsi rancangan

pekerjaan secara lebih fleksibel dapat diterapkan.

Faktor ketiga, penerapan rancangan pekerjaan yang fleksibel membutuhkan dukungan dari pihak manajerial maupun organisasi. Jika manajer dan organisasi mendukung maka penerapan intervensi

flexible working akan semakin terbuka. Duxbury dan

Haines (1991) menyebutkan bahwa manajer dan supervisor menjadi kunci dalam mengimplementasikan strategi rancangan pekerjaan yang lebih fleksibel. Jika manajer ingin mempertahankan karyawan yang berkualitas maka pihak manajer perlu mengurangi pekerjaan yang stressful dan menyediakan kebijakan yang ramah (Sahzad et al., 2011). Kebijakan tersebut berupa flexible work hours, timetable dan menyatu


(2)

66

dalam pengambilan keputusan terhadap penerapan

work life policies (Ongori (2007). Jika organisasi

mendukung implementasi program desain pekerjaan secara lebih fleksibeldan work life policies, maka hal ini dapat menurunkan terjadinya turnover sebab praktik-praktik work life balance dapat membantu organisasi menarik karyawan baru dan memperbaiki sikap dan perilaku karyawan terhadap organisasi (Beauregard dan Henry, 2009). Sebaliknya, ketidakmampuan organisasi atau perusahan untuk mengadaptasi kebijakan yang diperlukan karyawannya dapat mengakibatkan konflik pekerjaan-keluarga, stres kerja dan ketidakpuasan, yang kemudian melatarbelakangi keputusan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya (Triaryati, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa manajer dan supervisor perlu menyadari pentingnya kebijakan yang ramah terhadap suatu bisnis atau pekerjaan yaitu peran flexible work

arrangements sebagai alat untuk menarik dan

mempertahankan karyawan yang valuable (Al-Rajudi, 2012).

Faktor keempat, dalam menerapkan flexible

working perlu mempertimbangkan dampak dan

konsekuensi baik terhadap organisasi, pekerja maupun terhadap konsumen. Al-Rajudi (2012) menyatakan bahwa sangat penting untuk memikirkan secara


(3)

67

holistik dampak dari flexible work arrangements ditempat kerja. Riset-riset menunjukkan penerapan

flexible working memberikan effect dan konsekuensi

positif baik bagi organisasi maupun bagi karyawan. Bagi organisasi, penerapan flexible working dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Baltes et al., 1999; Beham et al., 2012; Hilbrect et al., 2008)), meningkatkan komitmen terhadap organisasi (Glass dan Finley, 2002), Mengurangi ketidakhadiran dan

turnover (Hyland, 2000) dan meningkatkan

produktivitas karyawan (Al-Rajudi, 2012; Pierce & Newstrom, 1989). Bagi karyawan, penerapan flexible

working dapat mengurangi stres kerja (Almer & Kaplan,

2002; Schaefer, 2005), meningkatkan energi, kreativitas dan mengurangi burnout (Schaefer, 2005), karyawan berpersepsi bahwa flexible working membuat mereka “bahagia” dan menentukan sikap dan perilaku yang menghubungkan kebahagiaan, perilaku discretionary dan meningkatkan performance outcomes (Atkinson & Hall, 2011) serta mencapai pemenuhan work life

balance dan mengurangi terjadinya konflik

pekerjaan-keluarga (Beham et al., 2012; Hayman, 2009).

Berbeda dengan riset-riset tersebut, temuan dalam penelitian ini para responden cenderung mengutarakan kekhawatiran mereka terhadap effect atau konsekuensi negatif penerapan flexible working


(4)

68

baik terhadap organisasi, karyawan maupun konsumen. Kekhawatiran responden terhadap effect atau konsekuensi negatif penerapan flexible working dapat disebabkan karena kurangnya pemahaman mereka tentang konsep-konsep flexible working sebab

flexible working cenderung masih merupakan hal baru

bagi responden dan bahkan bagi organisasi. Karena kurangnya pemahaman tentang flexible working, responden belum memandang flexible working sebagai kebutuhan dan solusi. Padahal penelitian (Al-Rajudi, 2012) menunjukkan bahwa employees support berpengaruh terhadap penerapan fleksibilitas. Sebab, dalam perancangan dan penentuan kebijakan karyawan diikutsertakan sehingga kebijakan yang diadaptasi sesuai dengan kebutuhan karyawan (Triaryati, 2003).

Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa flexible working tidak menjadi solusi untuk memenuhi work life balance karyawan karena adanya faktor-faktor hambatan seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa workload yang tinggi, stres kerja, kelelahan dan konflik pekerjaan-keluarga merupakan fenomena yang akan terus terjadi. Coping terhadap beban rumah tangga merupakan mekanisme individual untuk dealing dengan pressure pekerjaan. Artinya, adanya coping


(5)

69

beban rumah tangga ini membantu karyawan untuk menetralisir tekanan kerja akibat tingginya load pekerjaan. Hal ini mungkin sulit berlaku dalam budaya sosial didunia barat yang cenderung individualis. Namun, budaya sosial (social cultural) di masyarakat Asia yang cenderung kolektif atau oriented

family memungkinkan untuk adanya coping terhadap

beban rumah tangga. Hal ini ditunjukkan seperti adanya keluarga inti dan extended family yang membantu karyawan menangani urusan keluarga, serta lingkungan sosial ditempat kerja yang dapat menetralisir stres kerja karyawan melalui hubungan yang harmonis.

Di kota-kota besar coping terhadap beban rumah tangga semakin sulit terjadi pada pekerja-pekerja yang jauh dari lingkungan sosial aslinya seperti keluarga dan

extended family. Tidak adanya family support ini

memunculkan stres pada karyawan. Penelitian ini berlangsung dikota Salatiga, Jawa Tengah di mana pekerja lazimnya memiliki konteks sosial pendukung. Bilamana konteks sosial itu berubah seperti dikota besar di mana masyarakat pekerja hidup dari dan untuk dirinya sendiri tanpa dukungan sosial dan

coping mechanism, maka intervensi organisasi

diperlukan. Hal ini mengindikasikan bahwa flexible

working menjadi solusi ditempat-tempat yang tidak


(6)

70

untuk menerapkan intervensi flexible working dapat dilakukan jika adanya kelonggaran terhadap faktor-faktor hambatan pada gambar 1 dan diperlukan pelaku-pelaku yang adaptif terhadap realitas perubahan dan perkembangan kebutuhan pekerja dalam organisasi.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Constraints Penerapan Flexible Working dan Coping Individual dalam Pengelolaan Konflik Pekerjaan-Keluarga T2 912012039 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Constraints Penerapan Flexible Working dan Coping Individual dalam Pengelolaan Konflik Pekerjaan-Keluarga T2 912012039 BAB II

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Constraints Penerapan Flexible Working dan Coping Individual dalam Pengelolaan Konflik Pekerjaan-Keluarga T2 912012039 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Constraints Penerapan Flexible Working dan Coping Individual dalam Pengelolaan Konflik Pekerjaan-Keluarga

0 1 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Constraints Penerapan Flexible Working dan Coping Individual dalam Pengelolaan Konflik Pekerjaan-Keluarga

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB IV

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB IV

0 1 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat Nias T2 752016014 BAB IV

0 0 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB IV

0 1 9

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evidence dalam Membuktikan Adanya Kartel di Indonesia T2 BAB IV

0 0 4