KAJIAN OPTIMALISASI PENGELOLAAN DAN PEMASARAN PRODUK PERIKANAN KOTA MEDAN

KAJIAN OPTIMALISASI PENGELOLAAN DAN PEMASARAN PRODUK PERIKANAN KOTA MEDAN BAGIAN ADMINISTRASI SUMBER DAYA ALAM SEKRETARIAT DAERAH PEMERINTAH KOTA MEDAN

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan selat malaka di bagian utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis, Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/ jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/ nasional.

Secara geografis Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti Kabupaten Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, dan saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. Disamping itu, sebagai daerah yang terletak di tepi jalur pelayaran Selat Malaka yang padat, Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini. Pelabuhan Belawan di Kecamatan Medan Belawan merupakan pelabuhan utama yang melayani pelayaran laut sebagai jalur masuk barang maupun/ dan wisatawan.

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

Potensi perikanan dan hasil laut yang dihasilkan Kota Medan, ditangkap serta diproses oleh nelayan setempat yang menetap di wilayah pesisir Kota Medan, yaitu di Kecamatan Medan Belawan, Medan Labuhan dan Medan Marelan. Pada Tahun 2006, jumlah nelayan adalah 12.399 orang. Fasilitas pendukung industri perikanan dan hasil laut adalah cold storage (gudang pendingin), pabrik garam kering, pabrik es, pelabuhan perikanan dan tempat pelelangan. Medan memiliki potensi yang besar untuk mengeksploitasi pertumbuhan permintaan ikan di pasaran regional. Ekspor hasil perikanan dari Medan sudah menembus pasar Malaysia dan Singapura sejak sekian lama, secara langsung yaitu melalui Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, Medan. I kan-ikan seperti tenggiri, tongkol, kakap, kerapu, udang windu dan udang karang, cumi-cumi dan lain-lain banyak diekspor ke pasaran regional melalui pedagang atau pengolah di Medan. Hanya saja keinginan untuk melakukan ekspor secara langsung ke pasaran regional banyak mengalami hambatan dan tantangan antara lain:

• Skala produksi yang terbatas terutama untuk jenis-jenis yang layak

ekspor sehingga pelaku pasar sulit untuk mendapatkan volume yang mencukupi untuk dikirim langsung ke luar negeri

• Pelaku pemasaran (misalnya pedagang ikan Medan) memiliki

ketergantungan yang sangat besar pada agen atau ekportir di Medan dalam hal keuangan, akses pasar, kepastian bisnis/ pembayaran

• Tersedianya prasarana perikanan yang terbatas seperti prasarana

pasca panen (cold room/ cold storage), pelabuhan ekspor, pengangkutan

• Pedagang ikan Medan banyak yang melakukan praktek dagang secara tradisional (cash and carry), antara lain karena keterbatasan

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

modal, pengetahuan yang terbatas mengenai perbankan (pembukaan letter of credit) dll.

• Pasar lokal di Medan kadang-kadang memberikan insentif yang

lebih baik untuk jenis-jenis ikan tertentu seperti harga yang lebih tinggi dibandingkan harga di pasaran ekspor sehingga tidak ada insentif bagi pedagang untuk melakukan ekspor untuk jenis tersebut.

• Selain itu banyak faktor-faktor lain yang berkaitan dengan kondisi

sosiol ekonomi - politik yang kadang - kadang menjadi tantangan tersendiri dalam mengembangkan ekspor langsung dari Medan

Ancaman terhadap usaha perikanan laut, baik budidaya maupun penangkapan, menjadi semakin besar karena degradasi lingkungan yang menyebabkan penurunan stok ikan dan adanya konflik sosial di antara pengguna sumberdaya ikan (nelayan). Persoalan nyata dalam perikanan tangkap adalah persaingan antar nelayan di daerah penangkapan ikan, karena sumberdaya dan daerah operasinya menjadi terbatas, sementara jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi semakin meningkat. Pengoperasian trawl yang ilegal masih terdapat di wilayah pesisir, menyebabkan konflik sosial dengan nelayan tradisional.

Kota Medan lebih memfokuskan pengelolahan produksi dan pemasaran hasil perikanan pada Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan. PPS Belawan terletak pada posisi yang cukup strategis, yakni terletak diantara Perairan Pantai Timur Sumatera (Selat Malaka), Perairan Zona Ekonomi Ekslusif I ndonesia (ZEEI ) dan Laut Cina Selatan, serta merupakan pintu masuk bagi kegiatan ekonomi beberapa negara di Asia.

Pembangunan pelabuhan perikanan diperlukan dalam rangka menunjang usaha serta pengembangan ekonomi perikanan secara menyeluruh terutama dalam menunjang perkembangan industri perikanan baik hulu

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

maupun hilir, sehingga akan tercapai pemanfaatan sumberdaya perikanan yang seimbang, merata dan proporsional.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.06/ MEN/ 2007 tanggal 25 Januari 2007, PPS Belawan mempunyai tugas memfasilitasi produksi dan pemasaran hasil perikanan di wilayahnya, pengawasan dan pemanfaatan sumberdaya ikan untuk pelestariannya, dan kelancaran kegiatan kapal perikanan, serta pelayanan kesyahbandaran di pelabuhan perikanan.

Dalam melaksanakan tugas pokoknya PPS Belawan mempunyai beberapa fungsi, yaitu : 1) perencanaan, pembangunan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan dan pengendalian serta pendayagunaan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan. 2). pelayanan teknis kapal perikanan dan kesyahbandaran di pelabuhan perikanan. 3) pelayanan jasa dan fasilitasi usaha perikanan dan 4) pengembangan dan fasilitasi penyuluhan serta pemberdayaan masyarakat perikanan 5) pelaksanaan fasilitasi publikasi hasil riset, produksi dan pemasaran hasil perikanan. 6) pelaksanaan pengawasan, penangkapan sumberdaya ikan dan penanganan, pengolahan, pemasaran serta pengendalian mutu hasil perikanan dan 7) pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data perikanan serta pengolahan sistem informasi

Namun, dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Kota Medan selama ini, banyak isu-isu mendesak yang perlu mendapat perhatian, antara lain: pertambahan jumlah penduduk di wilayah pesisir yang cukup pesat dan memerlukan sumber daya kelautan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; masih banyaknya praktek pemanfaatan sumber daya perikanan yang merusak dan illegal; tidak seimbangnya pemanfaaatan sumberdaya antar kawasan dan antar jenis

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

sumber daya; adanya pemahaman yang sempit dalam implementasi otonomi daerah serta belum lengkapnya peraturan operasional; dan belum sinerginya pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dalam satu kesatuan kebijakan dan perencanaan yang komprehensif.

Kegiatan tangkapan ikan ini sulit dimonitor, misalnya berapa banyak hasil tangkapan ikan yang didaratkan, begitu pula jenis ikannya. Laporan maupun data tidak gampang diperoleh. Mereka enggan memberitahu kepada aparat berwenang tentang data hasil tangkapan yang didaratkan di dalam tangkahan.

Belum lagi persoalan perikanan darat, dimana potensinya juga belum termaksimalkan dengan baik. Apakah ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan atau tidak masih terus dibutuhkan kajian yang lebih mendalam.

Masalah lain sebagai mata rantai aktifitas perikanan adalah masalah pemasaran. Kebutuhan ikan di kota Medan apakah tecukupi oleh hasil yang ada, atau bahkan masil surplus sehingga dapat diekspor sampai ke mancanegara. Regulasi yang seperti apa yang telah diterapkan dan bagaimana idealnya sebuah reguali tersebut menjadi bahan yang sangat penting untuk dikaji berikutnya.

Dengan demikian, kegiatan pemasaran adalah sangat penting dalam semua kegiatan yang menghasilkan barang ataupun jasa. Hasil perikanan dapat dikelompokkan ke dalam bahan mentah dan barang konsumsi. Sebagai bahan mentah dapat dibeli oleh pabrik atau usaha pengolahan untk diolah menjadi barang jadi misalnya ikan kaleng, aneka olahan ikan, tepung ikan, dsb. Sebagai barang konsumsi akan dibeli oleh konsumen akhir (household consumer, restaurant, hospital, dll). Produk perikanan dan kelautan termasuk “perishable good” atau produk mudah rusak, maka

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

akan sangat memerlukan startegi pemasaran yang berbeda dengan produk barang maupun jasa pada umumnya. Apalagi “image” masyarakat terhadap produk-produk perikanan juga berbeda atau beragam dengan produk pada umumnya. Berdasarkan pendapat atau pengamatan dari praktisi pemasaran produk perikanan dan kelautan, bahwa persepsi masyarakat terhadap produk perikanan dan kelautan antara lain jika makan ikan alergi, ikan baunya amis, ikan banyak duri, ikan mahal, ikan rumit memasaknya, ikan hanya bisa atau paling enak digoreng. Karena image masyarakat terhadap produk perikanan masih demikian kompleknya, maka diperlukan strategi pemasaran yang dapat merubah image tersebut, sehingga kendala pemasaran produk perikanan dan kelautan dapat diatasi.

Dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi, maka diperlukan inovasi dan strategi kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, mengingat Kota Medan sebagai kota yang mempunyai garis pantai yang seharusnya memiliki wawasan kelautan dalam pembangunan Kota Medan

Dari latar belakang diatas dengan semua kondisi saat ini, potensi dan permasalahan yang ada maka dibutuhkan Penyusunan Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Produk Perikanan Kota Medan

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

2. Maksud dan Tujuan

2.1. Maksud

Maksud dari Penyusunan Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Produk Perikanan Kota Medan adalah untuk memudahkan khususnya Kota Medan untuk mendesign perencanaan kedepan dalam rangka mengptimalikan Pengelolaan Dan Pemasaran Produk Perikanan Kota Medan demi meningkatkan kesejahteraan nelayan/ petambak dan penduduk pesisir pantai..

2.2. Tujuan

Tujuan dari studi ini adalah :

1. Mengkaji sejauhmana peningkatan pengelolahan produksi perikanan kota medan

2. Mengkaji strategi yang paling optimal dalam pemasaran hasil perikanan kota medan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan/ petambak dan penduduk pesisir pantai

3. MANFAAT

Manfaat dari kegiatan Penyusunan Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Produk Perikanan Kota Medan adalah untuk meningkatkan efektivitas pembangunan agar Pengelolaan Dan Pemasaran Produk Perikanan yang ada dapat optimal dan mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat nelayan/ petambak dan penduduk pesisir pantai pada khususnya dan masyarakat kota Medan umumnya..

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

BAB I I

I I . TI NJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap

Undang-Undang Republik I ndonesia No. 22 Tahun 1999 pasal 3, bahwa wilayah provinsi, sebagaimana yang dimaksud pasal 2 ayat 1, terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Wilayah pesisir dan pulau dipandang dari segi pembangunan merupakan potensi sumberdaya yang dapat diperbaharui (pulih), terdiri atas : perikanan laut (tangkap, budidaya, dan pascapanen), hutan mangrove, terumbu karang, industri bioteknologi kelautan dan pulau-pulau kecil (Dahuri, 2001). Secara khusus, sumberdaya perikanan tangkap dikelompokkan ke dalam 4 kelompok yakni (Naamin, 1987):

1. Sumberdaya ikan demersal, yaitu jenis ikan hidup di atau dekat perairan.

2. Sumberdaya pelagis kecil, yaitu jenis ikan yang berada di permukaan.

3. Sumberdaya pelagis besar, yaitu jenis ikan oseanik yang berada di permukaan dan sangat jauh dari lepas pantai, seperti tuna dan cakalang.

4. Sumberdaya udang dan biota laut non ikan lainnya.

Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003) adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Berdasarkan pengelolaannya, UU No. 22 Tahun 1999 pasal 10 ayat

2 menyatakan bahwa kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada pasal 3, meliputi

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

(1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, (2) pengaturan kepentingan administrasi, (3) pengaturan tata ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Selanjutnya pasal 10 ayat 3 dijelaskan bahwa kewenangan daerah Kota dan daerah kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi.

Berdasarkan kewenangan yang diberikan dalam pengelolaan sumberdaya tersebut, maka setiap orang dapat memanfaatkan dan masuk dalam industri perikanan. Setidaknya ada dua rejim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu rejim akses terbuka (open access regime) dan rejim pengelolaan secara terpusat (centrally planned management). Perbedaan kedua rejim ini terletak pada terkontrol-tidaknya pengelolaan sumberdaya dan bebas-tidaknya nelayan melakukan ekspansi penangkapan ikan baik secara teknologi, hari menangkap ikan maupun daerah penangkapan. Walaupun akses terbuka seringkali disamakan dengan milik bersama (common property) namun pada dasarnya keduanya memiliki arti yang sangat berbeda. Sumberdaya milik bersama dapat saja pemanfaatannya terkelola dengan baik karena memang ada yang memilikinya atau kepemilikan bersama (co-owners). Di luar dari kelompok pemilik, pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diikutkan, oleh karena akan menimbulkan kesukaran bagi kelompok pemilik sumberdaya (exclusion). Karena sumberdaya akses terbuka tidak dimiliki oleh siapapun, maka tidak ada yang bisa mengeluarkan seseorang dari mengkonsumsi suatu sumberdaya sehingga lebih sering tidak tertata dalam pemanfaatannya (Fox, 1992).

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

Keadaan sumberdaya perikanan yang bebas dan liar pada tingkatan tertentu dapat dikategorikan sebagai suatu sumberdaya akses terbuka. Sebagai suatu akses terbuka, berarti bahwa sumberdaya perikanan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang. Bila industri masih memiliki keuntungan super normal dan merupakan insentif bagi pendatang baru (new entrans) untuk masuk ke dalam industri, maka seseorang dengan modal dan keterampilan yang dimilikinya dapat dengan bebas masuk ke dalam industri tersebut. Namun jika dirasakan usaha perikanan tidak lagi menguntungkan, dia dengan bebas juga dapat keluar dari industri atau kegiatan ini. Pada saat yang sama mereka yang sudah terlebih dahulu ada dalam industri akan memperluas atau meningkatkan usahanya (Clark et al., 1985).

Masuknya pendatang baru ke dalam industri perikanan serta perluasan usaha oleh mereka yang terlebih dahulu ada disana akan membuat upaya intensitas penangkapan ikan bertambah karena modal yang bertambah. Namun karena ikan yang diusahakan terbatas, tambahan modal ini akan menurunkan produktivitas marginal dan produktivitas rata-rata. Secara ekonomi, gejala penurunan produktivitas ini sepatutnya menjadi peringatan atau tanda bagi nelayan untuk ke luar dari industri. Namun demikian karena kesulitan dalam mengalihkan investasi, faktor musim, ketidakpastian (uncertainty) usaha serta resiko yang diambil (risk taker) dalam bentuk harapan hasil tangkapan yang lebih baik di waktu yang akan datang, maka nelayan akan terus berusaha dan bila mungkin terus meningkatkan kapasitas penangkapan ikan (Clark et al., 1985). Bila ini terjadi, penangkapan ikan secara berlebihan (biological overfishing) terjadi secara bersama dengan kelebihan investasi (economic overfishing) (Nikijuluw et al., 2000).

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

2.2. Kebijakan Sektor Perikanan Kota Medan

Kota Medan sebagai salah satu Kota besar di wilayah Provinsi Sumatera Utara memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Saat ini upaya pengkajian stok ikan di perairan Belawan masih sangat terbatas pelaksanaannya. Dinas Kelautan dan Perikanan (2008), bahwa total potensi perikanan Laut Banda mencapai 248.40 ribu ton pertahun, dimana potensi terbesar ikan Pelagis Kecil 132.00 ribu ton pertahun dengan tingkat pemanfaatan 29.6% dan ikan Pelagis Besar 104.12 ribu ton dengan tingkat pemanfaatan 27.6% . Dirjen Perikanan Tangkap (2003) memberikan informasi potensi ikan Pelagis Besar yakni 26.20 ton pertahun. I ni berarti bahwa 25.16% potensi Pelagis Besar di Laut merupakan potensi perikanan di perairan Belawan

Mengingat kegiatan pemanfaatan sumberdaya (produksi) ikan terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan, maka semua kebijakan yang diterapkan mempertimbangkan keberadaan sumberdaya dalam jangka waktu yang relatif lama. Ketentuan Umum Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang perikanan, bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan adalah semua upaya termasuk kebijakan dan non-kebijakan yang bertujuan agar sumberdaya itu dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung secara terus-menerus. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, membuka peluang yang lebih besar bagi daerah (Kota dan Kota), guna mengoptimalkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara sinergis, mengatur memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjamin fungsi keseimbangan lingkungan. Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh daerah memang terdapat

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

keuntungan, tetapi juga sekaligus menjadi beban dan tanggungjawab daerah dalam pengendalian dan pengelolaannya.

Pembatasan tekonologi alat tangkap, pembatasan jumlah effort dan pengendalian daerah penangkapan ikan merupakan pengendalian secara biologi. Pengendalian secara ekonomi menggunakan peubah ekonomi sebagai instrumen pengendalian upaya penangkapan ikan. Peubah ekonomi yang relevan dalam menunjang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal meliputi : harga ikan, subsidi BBM, pajak dan biaya izin penangkapan ikan (Nikijuluw, 2002), pengembangan alternatif lapangan kerja nelayan (Pascoe and Mardle, 2001 ; Kjoersgaard and Andersen, 2003), pemberian kredit, pengembangan prasarana pelabuhan perikanan, peningkatan keterampilan nelayan dan pengembangan agribisnis perikanan (Kjoersgaard and Andersen, 2003).

2.3. Aspek Ekonomi Perikanan

Fenomena ekonomi menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah endogen maupun eksogen yang membedakan model ekonomi pertanian dengan ekonomi perikanan, yakni : (1) kepemilikan asset, (2) daerah produksi (penangkapan ikan) yang berbeda, (3) sistem bagi hasil dalam pengaturan upah, dan (4) peubah kebijakan. Sehubungan dengan hal tersebut, kemampuan nelayan untuk memaksimumkan hasil tangkapan ikan ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain :

(1) modal kerja atau investasi (perahu/ motor dan jenis alat tangkap), (2) potensi sumberdaya perairan atau daerah operasi penangkapan ikan di laut, (3) hari kerja efektif melaut, (4) kemudahan untuk memasarkan hasil

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

tangkapan dengan harga yang wajar, dan (5) biaya operasi/ produksi penangkapan ikan (Smith, 1987).

Kepemilikan asset kapal rumahtangga nelayan pada usaha penangkapan ikan adalah analog dengan penguasaan luas areal lahan pada ekonomi rumahtangga petani yang lazim digunakan untuk pemodelan ekonomi rumahtangga petani. Mengingat besarnya tonage (ukuran mesin) kapal berhubungan langsung dengan produktifitas dan produksi tangkapan, maka untuk menduga produksi nelayan, disamping didasarkan atas teknologi alat tangkap dan jumlah kapal, juga ditentukan oleh tonage kapal yang dimiliki (Muhammad, 2002). Kepemilikan asset (kapal) dipengaruhi oleh penerimaan atau pendapatan melaut dan non-melaut, jumlah tenaga kerja dan jumlah sarana produksi (Aryani, 1994 dan Reniati, 1998).

Namun demikian, modernisasi dalam kepemilikan asset perikanan seringkali menyebabkan juga berbagai permasalahan, antara lain : ketimpangan antar nelayan (buruh dengan pemilik kapal) karena kesempatan untuk memperoleh bantuan teknologi dan modal seringkali bias pada segelintir nelayan (Kusnadi, 2000). Oleh karena itu pembangunan perikanan yang diharapkan sebagai sumber pertumbuhan baru, lebih diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana produksi antara lain modernisasi jenis alat tangkap dan motorisasi armada penangkapan ikan. Motorisasi berdampak pada mobilitas nelayan lebih cepat dan frekuensi melaut yang lebih tinggi, sehingga mempengaruhi hasil tangkapan ikan. Selain itu, kondisi ini menyebabkan nelayan dapat menentukan daerah operasi penangkapan ikan dan mampu meningkatkan hasil tangkapan ikan (produksi) pada saat musim dimana kemampuan nelayan untuk melaut sangat terbatas (Allsopp, 1985).

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

2.4. Aspek Manajemen Perikanan

Analisis ekonomi dari berbagai alternatif manajemen perikanan telah dicoba dilakukan di Malaysia yang menggunakan model Schaefer. Model kuadratik dari fungsi penangkapan ikan yang digunakan, memasukkan variabel bebas capital intensive dan labor intensive dari berbagai jenis alat penangkapan ikan dari berbagai wilayah perairan. Hasil menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan dengan capital intensive dengan menggunakan teknologi moderen lebih efektif daripada usaha yang menggunakan labor intensive dengan teknologi tradisional. Kebijakan pajak akan membawa ke penggunaan sumberdaya yang kurang optimal, dan kebijakan subsidi akan mempercepat pengurasan sumberdaya ikan. Sementara itu, pembatasan kapal akan memperpanjang potensi sumberdaya ikan dan mampu membawa peningkatan rent ekonomi produksi lestari untuk tujuan peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja (Mustapha, 1984 dalam Soepanto, 1999).

Optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan tujuan untuk mengetahui jumlah alat tangkap, kapal penangkap ikan yang seharusnya dioperasikan guna mensejahterakan nelayan dilakukan dengan pendekatan Multiobjective Goal Programming. Pertimbangannya bahwa hasil penelitian diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Kebutuhan yang dimaksud yakni optimalisasi total hasil tangkapan ikan, jumlah hari kerja operasi, penggunaan BBM dan jumlah alat tangkap optimal (Panjaitan et al., 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sasaran pengendalian hasil tangkapan, pengendalian jumlah hari operasi, pengendalian penggunaan BBM dan pengendalian pemakaian jumlah dan luas jaring dapat dicapai

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

sesuai target. Selanjutnya terdapat unit penangkapan ikan yang perlu ditambah adalah Jaring I nsang, Trammel Net, Bagan Perahu dan Tonda, sedangkan unit penangkapan ikan dikurangi adalah Pancing Ulur.

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menggunakan multiobjective goal programming model juga dilakukan dengan memasukkan faktor profit maksimum, penyerapan dan keselamatan tenaga kerja, ketersediaan input bagi industri perikanan, pembatasan penangkapan dan dampak industri perikanan terhadap perdagangan ikan non komersil. Faktor-faktor tersebut merupakan tujuan pengelolaan perikanan yang ingin dicapai targetnya (Pascoe and Mardle, 2001; Kjoersgaard and Andersen, 2003). Sementara Rawung (1999) dan I hsan (2000) melakukan penelitian tentang pendugaan potensi sumberdaya (MSY) dengan menggunakan model Schaefer yang dikombinasikan dengan optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menggunakan metode analisis program linear. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan karang dengan menggunakan enam alat tangkap ikan ternyata efektif untuk digunakan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan masih dibawah tingkat MSY

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menggunakan multiobjective goal programming model juga dilakukan dengan memasukkan faktor profit maksimum, penyerapan dan keselamatan tenaga kerja, ketersediaan input bagi industri perikanan, pembatasan penangkapan dan dampak industri perikanan terhadap perdagangan ikan non komersil. Faktor-faktor tersebut merupakan tujuan pengelolaan perikanan yang ingin dicapai targetnya (Pascoe and Mardle, 2001; Kjoersgaard and Andersen, 2003). Sementara Rawung (1999) dan I hsan (2000) melakukan penelitian tentang pendugaan potensi sumberdaya (MSY) dengan menggunakan model

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

Schaefer yang dikombinasikan dengan optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menggunakan metode analisis program linear. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan karang dengan menggunakan enam alat tangkap ikan ternyata efektif untuk digunakan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan masih dibawah tingkat MSY

2.5. Status perikanan tangkap I ndonesia dari indikator- indikator lainnya

Pada semua wilayah perikanan tangkap di I ndonesia, para ahli menyarankan untuk melakukan pembatasan usaha (penutupan wilayah penangkapan, pembatasan ijin usaha, menurunkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan menurunkan kapasitas armada (Widodo, 2003). Namun kesimpulan tersebut tidak sejalan dengan harapan bangsa ini, yaitu meningkatnya hasil tangkapan. Lokakarya memutuskan bahwa penduga MSY hasil lokakarya adalah 6,4 juta ton (sama dengan hasil dugaan pada tahun 2001). Upaya mencapai angka tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan eksplorasi dan intensifikasi perikanan tangkap di luar wilayah studi dan dengan ekplorasi sumberdaya ‘inkonvensional’ seperti stok sumberdaya laut-dalam. Rekomendasi lainnya dari lokakarya adalah mempertahankan total usaha (effort) pada kondisi yang ada saat ini. Meskipun lokakarya mengakui adanya tantangan dalam menentukan status perikanan tangkap I ndonesia, rekomendasi dan temuan-temuan di dalamnya masih bersifat mendua: pengelolaan melalui pembatasan vs eksplorasi dan intensifikasi, dan keyakinan akan adanya stok sumberdaya yang belum dieksploitasi (tanpa dukungan pembuktian), sementara sebagian besar walau tidak semua studi menunjukkan bahwa status perikanan tangkap yang diteliti berada pada kondisi tangkap lebih

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

atau tidak jelas. Lokakarya juga menyarankan agar pengelolaan sebaiknya memperhatikan ekosistem, bukan spesies, serta menggaris bahawi kebutuhan untuk melakukan monitoring stok ikan, habitat, dan ekosistem.

2.6. Masa depan perikanan tangkap I ndonesia dan peran

kaw asan perlindungan laut

Dokumen kebijakan DKP meminta seluruh jajarannya untuk berpedoman pada nilai MSY (PCI , 2001b). Hal ini bisa dipahami, namun sayangnya terlepas dari saran kebijakan itu sendiri, DKP masih menggunakan nilai MSY dalam sebutan lain, yaitu ‘potensi perikanan tangkap’ dalam setiap komunikasinya – para investor potensial mungkin tidak menyadari adanya unsur ketidak-pastian dari hasil perhitungan terhadap nilai penduga dan bisa mengartikan bahwa perbedaan antara hasil tangkap tahunan yang ada saat ini dengan penduga nilai MSY sebagai dukungan untuk perluasan investasi dibidang perikanan tangkap.

Konsep MSY sudah dibuktikan tidak efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, tidak saja di I ndonesia, tetapi juga pada berbagai perikanan di dunia. Khusus untuk I ndonesia dengan karakteristik perikanan tangkap ‘multi-alat’ dan ‘multi-spesies’, hampir tidak mungkin atau paling tidak, sangat mahal sekali untuk mendapatkan data yang memenuhi kualitas dan bisa digunakan untuk menduga MSY (Widodo, Wiadnyana & Nugroho, 2003). Bahkan, jika data tersedia maka hasil perhitungan tampaknya akan mendapatkan dugaan MSY yang terlalu optimistik. Dengan demikian, sangat tepat dan sudah saatnya untuk tidak lagi berpedoman semata pada nilai MSY sebagai tujuan pengelolaan.

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP sangat jelas menyebutkan tentang status perikanan tangkap I ndonesia. Dalam kondisi stok perikanan tangkap yang sudah menipis dan hampir kolaps, tidak saja di I ndonesia tetapi juga di dunia, maka usaha terus-menerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara tidak terkontrol dan tidak terkelola secara baik, melalui peningkatan produksi yang didorong oleh pemerintah dalam 30 tahun terakhir, jelas merupakan kebijakan yang kurang tepat. Sebagai gantinya, kita memerlukan suatu kebijakan yang betul-betul segar untuk membuktikan terjadinya peningkatan usaha penangkapan secara tidak terkontrol di masa lalu serta untuk membalikkan kondisi over-fishing atau penangkapan berlebih (PCI , 2001b). Naskah kebijakan tersebut selanjutnya menyarankan untuk ‘menciptakan, membangun, dan meningkatkan kesadaran dalam usaha untuk merubah persepsi dan pemikiran masyarakat agar menghentikan pemikiran romantis bahwa sumberdaya laut kita, terutama perikanan, tidak akan pernah habis’ (PCI , 2001a). Terkait dengan hal ini, rencana investasi perikanan tangkap di perairan Papua yang diumumkan baru-baru ini (Jakarta Post, 14 Januari 2004), serta rencana lainnya tentang intensifikasi usaha perikanan tangkap harus dipertimbangkan kembali secara cermat.

Selain perikanan tangkap itu sendiri, pengelolaan perikanan tangkap

I ndonesia juga sedang mengalami krisis. Sementara sebagian besar (kalau tidak semua) kajian stok perikanan yang terpercaya menyimpulkan bahwa status perikanan tangkap I ndonesia berada pada posisi belum jelas atau tangkap lebih, DKP diharapkan untuk mengelola perikanan sedemikian rupa agar mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDB dengan kesadaran bahwa masih bisa melakukan peningkatan hasil tangkap dari sumberdaya yang sudah terbatas. Pembatasan usaha secara definitif akan menyebabkan penurunan total hasil tangkap dalam jangka

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

pendek, sehingga menyebabkan gagalnya peluang (dalam jangka sangat pendek) memberikan kontribusi terhadap sasaran DKP secara keseluruhan. Kerugian jangka pendek yang diakibatkan dari pengelolaan restriktif (bidang penangkapan) hampir tidak mungkin bisa ditutupi melalui perluasan budidaya ikan yang memerlukan investasi modal, atau eksplorasi sumberdaya yang masih belum terjamah yang mungkin pada kenyataannya tidak ada, atau kalau ada, tidak menguntungkan secara ekonomis (seperti kasus perikanan tangkap terhadap spesies ikan demersal pada beberapa wilayah penangkapan (Venema, 1996)). Satu- satunya jalan untuk memecahkan kebuntuan ini adalah dengan membangun pemahaman kepada seluruh masyarakat I ndonesia, dan di dalam lingkup DKP bahwa pengembangan perikanan tangkap seharusnya tidak diukur dari gambaran peningkatan produksi yang masih bisa dilakukan, tetapi pada jumlah usaha industri yang menguntungkan secara ekonomi, bisa dipertanggung jawabkan secara sosial dan tidak merusak lingkungan, sehingga bisa menopang penghidupan masyarakat pantai, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.

Alternatif pengelolaan untuk mengatasi kelemahan dari pendekatan MSY yang banyak diterapkan akhir-akhir ini adalah pengelolaan berbasis ekosistem melalui pembentukan suatu jejaring Kawasan Perlindungan Laut (Marine Preserved Areas) (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001). Definisi I UCN (I nternational Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tentang kawasan perlindungan laut adalah ‘suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya’. Selain fungsinya sebagai alat untuk

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

konservasi keanekaragaman sumberdaya hayati, kawasan perlindungan laut, KPL, juga banyak dinyatakan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang harus diintegrasikan kedalam perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001).

Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KPL dengan suatu kawasan ‘larang-ambil’ yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami (27 studi ditinjau dalam Roberts & Hawkins (2000)). Pembuktian ilmiah sekarang sedang dikembangkan untuk mengetahui manfaat komersial dari kawasan perlindungan laut (3 studi ditinjau dalam Roberts & Hawkins (2000)). Roberts et al., (2001) melaporkan bahwa sebuah jejaring terdiri dari 5 KPL yang berukuran kecil di St. Lucia diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40 dan 90% , sementara kawasan perlindungan laut di Merrit I sland National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970an. Setelah mempelajari pengaruh kawasan perlindungan laut terhadap perikanan lobster di Selandia Baru (Kelly, Scott & MacDiarmid, 2002) bisa disimpulkan bahwa emigrasi dari lobster (baik yang muda maupun dewasa) ke dalam wilayah penangkapan di sekitarnya menurunkan kerugian jangka panjang yang akan diderita oleh nelayan lokal dari hilangnya kesempatan menangkap lobster. Alasan utama bagi sedikitnya studi lapang untuk pembuktian ilmiah tentang manfaat komersial dari kawasan perlindungan laut (KPL) adalah karena kesulitan dalam melakukan penelitian eksperimental dengan ulangan dalam skala ekologis. Namun mekanisme deduktif dari bukti pengaruh populasi ikan di dalam wilayah larang-ambil bisa juga digunakan untuk

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

wilayah sekitarnya.

Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan-ikan ekonomis penting di dalam kawasan larang-ambil dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui (Roberts & Hawkins, 2000): (1) penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, “spill-over”, (2) ekspor telur dan/ atau larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar kawasan larang- ambil mengalami kegagalan. Selanjutnya, KPL bisa menjadi alat untuk perlindungan tempat-tempat sensitif, seperti agregasi pemijahan ikan khususnya ikan karang (Johannes, 1998). Keuntungan lain dari KPL dibanding alat pengelolaan perikanan seperti pengaturan usaha, pengaturan kuota dan alat tangkap adalah bahwa pengaruh penutupan wilayah di dalam kawasan bisa menjadi penjelasan yang cukup tajam kepada para pihak, khususnya jika penutupan wilayah tersebut mencakup wilayah pemijahan atau pendederan.

Biaya penetapan dan pengelolaan KPL cukup tinggi, namun manfaat yang didapatkan ternyata jauh lebih tinggi. Sebuah jejaring (network) KPL global dengan ukuran 20-30% dari luas laut dunia diperkirakan memerlukan biaya $5-19 miliar per tahun, namun akan menghasilkan tangkapan yang keberlanjutan senilai $ 70-80 miliar setiap tahunnya. Jejaring KPL tersebut juga diperkirakan memberikan jasa ekosistem setara $ 4,5 – 6,7 juta setiap tahun (Balmford et al. 2004). Total biaya yang dibutuhkan untuk membuat dan mengelola jaringan KPL ternyata lebih rendah dibandingkan dengan pembelanjaan subsidi terhadap industri

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

perikanan yang kita ketahui tidak berkelanjutan, yaitu $15-30 miliar per tahun (Balmford et al. 2004).

Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP menyarankan untuk membuat paling tidak 10% dari total wilayah perairan laut I ndonesia sebagai kawasan perlindungan laut (PCI , 2001a). Akhir-akhir ini, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sudah menunjukkan usaha yang cukup kuat untuk membangun sebuah strategi pembentukan jejaring kawasan perlindungan laut di I ndonesia dan telah membentuk forum terdiri dari institusi pemerintah dan non-pemerintah, disebut Komite Nasional Konservasi Laut I ndonesia (Surat Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. SK 43/ P3K/ I I I / 2004). Forum ini terdiri dari tim pengarah dan tim teknis dengan tiga kelompok kerja yang akan memberikan masukan teknis dalam penyusunan draft kebijakan yang difokuskan pada strategi nasional mengenai KPL, pengembangan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan, dan penyusunan kebijakan bagi konservasi spesies dan genetik. Tantangan utama yang dihadapi oleh tim teknis pada topik antara strategi nasional kawasan perlindungan laut dengan perikanan yang berkelanjutan adalah memformulasi usulan kebijakan dalam mengembangkan perikanan tangkap yang lebih berkelanjutan melalui jejaring KPL sebagai alat di tingkat nasional dan juga pengelolaan perikanan di tingkat lokal

2.7. Upaya Penangkapan

Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya optimalisasi antara ketersediaan sumberdaya

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

(stok) udang dengan tingkat pemanfaatan pada tiap lokasi penangkapan udang adalah sangat penting untuk menjamin sistem usaha perikanan tangkap yang efisien secara berkelanjutan.

Tingkat upaya penangkapan udang di Delta Mahakam dan sekitarnya, jika melebihi potensi lestarinya ( maximum sustainable yield ), maka terjadi fenomena tangkap lebih ( overfishing ) yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan per satuan upaya ( catch per unit effort ), yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan. Sebaliknya jika upaya penangkapan udang dibawah potensi lestari (MSY) atau tingkat MEY ( maximum economic yield ), maka terjadi kondisi yang kurang optimal. Kondisi suboptimal dapat dikatakan mubazir, karena sumberdaya udang di laut pada waktunya jika tidak ditangkap akan mati secara alamiah ( natural mortality ) atau dicuri oleh nelayan asing.

Untuk menjaga keseimbangan antara stok udang dan upaya penangkapan adalah kegiatan-kegiatan untuk mengendalikan intensitas dan teknik penangkapan ikan sesuai potensi lestari. Fenomena tangkap lebih ( overfishing ), disebabkan oleh persepsi keliru tentang sumberdaya udang oleh nelayan, pengusaha perikanan dan pejabat pemerintah, yaitu beranggapan bahwa udang adalah sumberdaya dapat pulih ( renewable resources ), maka sumberdaya udang dapat dieksploitasi secara tak terbatas ( infinite ) dan anggapan sumberdaya udang di laut sebagai sumberdaya milik umum ( common property resources ), sehingga berlaku rejim open acces dalam pemanfaatannya dengan pengertian bahwa siapa saja, kapan saja, dapat mengeksploitasi sumberdaya udang sebanyak- banyaknya.

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

Untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan ( sustainable fisheries ), maka rejim (pola) pemanfaatannya harus segera diubah dari rejim open acces menjadi rejim perikanan tangkap yang bertanggung jawab ( responsible fisheries ) seperti yang dianjurkan oleh Kode Etik Perikanan Yang Bertanggung Jawab ( Code Conduct of Responsible Fisheries , FAO 1995b). Satu diantara unsur dari Kode Etik ini adalah praktek perikanan tangkap secara terkendali (Dahuri 2002).

2.8. Tingkat Eksploitasi

Sumberdaya wilayah pesisir dan laut, merupakan sumberdaya yang bersifat open access dan common property, sehingga setiap orang/ stakeholder berhak memanfaatkannya dengan tujuan memperoleh economic rent . Pola pemanfaatan yang demikian cenderung mengarah kepada deplesi sumberdaya, sehingga jika tidak ada upaya untuk menjaga kelestariannya seperti konservasi dikhawatirkan terjadi scarcity sumberdaya yang mengarah kepada kepunahan.

Selain itu dampak utama dari sifat yang “ open access dan common property ” terhadap pemanfaatan dan pengelolaannya adalah :

1 . Kesulitan dalam pengontrolan dan estimasi jumlah stok dari ikan pada setiap musim/ periode karena dipengaruhi oleh faktor biologi dan ekologi dari sumberdaya perikanan sebagai faktor alami (makanan, mangsa dan habitatnya), serta berbagai upaya eksploitasi yang dilakukan manusia (bertujuan memaksimumkan resource rent untuk meningkatkan kesejahteraan) sebagai faktor non alami.

2 Usaha penangkapan ikan di wilayah perairan mengandung risiko dan ketidakpastian ( uncertainty ) yang relatif besar. Dalam hal ini

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

sumberdaya perikanan bersifat mobile/ fugitive , sehingga risikonya adalah kehilangan sejumlah penangkapan dan risiko-risiko penyerta lainnya.

3 Timbulnya pemanfaatan sumberdaya yang economic overfishing dan biology overfishing . Economic overfishing terjadi jika input ( effort ) yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan ( fishing ), melebihi kapasitas produksi, dengan kata lain untuk menangkap ikan dengan jumlah kecil dalam suatu usaha dibutuhkan input yang besar ( effort ).

I mplikasinya adalah hasil tangkapan ( catch ) yang diperoleh, dan dinilai dengan uang ( total revenue ) < biaya input yang dikeluarkan (TC). Sedangkan biology overfishing terjadi jika hasil tangkapan telah melebihi potensi lestarinya, sehingga kemampuan ikan bertahan pada keseimbangan produksinya terancam, yang akan mengarah pada kelangkaan ( scarcity ) sumberdaya perikanan, serta kepunahan beberapa spesies tertentu.

Usaha penangkapan oleh nelayan di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya, merupakan usaha yang bersifat komersial ( profit oriented ) yang lebih menekankan pada besarnya benefit / keuntungan yang akan diperoleh dari operasionalisasi usaha tersebut. Telaah aspek finansial untuk melihat tingkat keuntungan sangat memegang peranan penting, apakah usaha yang dijalankan nelayan dengan mengandalkan komoditas utama, yaitu udang dan berbagai jenis ikan lainnya layak diteruskan baik dimasa kini maupun mendatang.

Menurut Dwiponggo (1982) dalam Parerung (1996), tingkat pemanfaatan atau pengusahaan sumberdaya perikanan dibagi menjadi empat macam, yaitu :

1. Pengusahaan yang rendah, dimana hasil tangkapan hanya

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

merupakan sebagian kecil dari potensinya

2. Pengusahaan yang moderat (sedang), dimana hasil tangkapan merupakan sebagian yang nyata dari potensi, namun penambahan upaya penangkapan masih memungkinkan

3. Pengusahaan yang tinggi, dimana hasil tangkapan sudah mencapai sebesar potensinya, penambahan upaya penangkapan tidak akan menambah hasil tangkapan

4. Pengusahaan yang berlebih (overfishing), dimana terjadi pengurangan dari stok udang/ ikan, karena penangkapan yang tinggi, sehingga hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan akan jauh berkurang.

Ditegaskan pula oleh Purwanto (1986) dalam Parerung (1996), bahwa untuk mengusahakan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan terus-menerus secara maksimal, dalam waktu yang tak terbatas, maka laju kematian karena penangkapan (tingkat pemanfaatan), perlu dibatasi sampai pada suatu tingkat tertentu. I nduk-induk udang dalam jumlah tertentu harus disisakan dan diberi kesempatan untuk berkembang biak, sehingga mampu menghasilkan anakan dalam jumlah cukup untuk kelestarian. Tingkat eksploitasi atau pemanfaatan yang optimal adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang ditangkap, sebanding dengan tambahan jumlah/ kepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami.

Dari uraian tersebut di atas dalam penelitian ini dilakukan analisa distribusi spasial temporal, luas sapuan trawl ( swept area ) dan hasil tangkapan per satuan luas (CPUA) yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan guna pengelolaan upaya penangkapan udang. Sistem I nformasi Geografis (SI G) atau analisa spasial merupakan suatu pengelolaan basis

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

data (data base)) spasial yang dikomputerisasi dan merupakan alat analisis sistem (Bartlett 1999 dalam Prihatini 2003). Suatu SI G dapat digunakan untuk menyimpan, mengorganisasikan, memanipulasi dan menganalisa data spasial serta segala atributnya dalam suatu sistem perangkat keras dan lunak komputer. SI G dapat mengakomodasi berbagai jenis format dan sistem data secara mudah untuk proses pengambilan keputusan (Burrough 1986; Tomlinson 1987 dalam Prihatini 2003). Dengan demikian SI G dapat menjadi jawaban bagi penyediaan dukungan pengambilan keputusan.

Dasar acuan lainnya yaitu luas sapuan dan hasil tangkapan per satuan luas ( catch per unit area / CPUA), dimana rata-rata hasil tangkapan (dalam bobot atau jumlah) per satuan upaya atau luas adalah indeks kepadatan stok udang (yakni dianggap proporsional dengan kepadatan). I ndeks ini dapat dikonversi ke dalam ukuran absolut biomassa dengan menggunakan metode swept area (luas sapuan). Analisa CPUA berdasarkan strata kedalaman dilakukan atas dasar distribusi kepadatan stok udang, sehingga dapat memisahkan perairan dengan kepadatan tinggi, sedang atau rendah. I nformasi tentang kepadatan stok udang dari hasil dugaan dapat dijadikan dasar untuk penentuan tingkat eksploitasi dalam rangka pengelolaan upaya penangkapan udang yang optimum (Sparre & Venema 1999).

2.9. Optimasi Upaya Penangkapan

Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat milik bersama ( common property ), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan, karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan ( access profit ) bagi usaha penangkapan

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

ikan, sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besarbesaran, dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan aspek sustainability, agar dapat memberikan manfaat yang sama, dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi, tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dam budaya. Tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal melalui pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan MSY akan memberikan hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek pengelolaan sumberdaya perikanan, tingkat tangkapan MEY akan lebih baik, karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi, yang dapat mempertahankan diversitas yang besar.

Menurut Monintja (2000) dalam Nurani (2002), kriteria yang digunakan untuk teknologi penangkapan yang secara teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan adalah hemat biaya dan energi, meningkatkan produksi dan produktivitas, memperhatikan mutu produk, produk yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar, meningkatkan wirausaha dan investor, meningkatkan devisa dan pengembangan daerah, serta meningkatkan kesejahteraan nelayan.

2.10. Perikanan Yang Berkelanjutan ( Sustainable Fisheries)

Usaha perikanan yang berkelanjutan ( sustainable fisheries ) merupakan suatu proses perubahan, dimana eksploitasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan institusi adalah suatu proses yang harmonis dan menjamin potensi masa kini dan masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Kantor MenKLH/ Bapedal 1997 dalam Simbolon 2003).

Kajian Optimalisasi Pengelolaan Dan Pemasaran Roduk Perikanan Kota Medan

Konsep usaha perikanan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, pertama kali digunakan oleh Komisi Usaha perikanan dan Lingkungan Dunia ( World Commission on Environment and Development) atau The Brundtland Commission pada tahun 1987. Palunsu dalam Hastuti (2001), mengemukakan bahwa usaha perikanan yang berkelanjutan mengandung tiga pengertian yaitu :

1. Memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan masa yang akan datang

2. Tidak melampaui daya dukung ekosistem

3. Mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan menyelaraskan manusia dan usaha perikanan dengan sumberdaya alam.

Dari aspek ekonomi, usaha perikanan berkelanjutan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia melalui pertumbuhan ekonomi dan efisiensi penggunaan kapital dalam keterbatasan dan kendala sumberdaya dan teknologi. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui upaya perencanaan usaha perikanan secara komprehensif dengan tetap berpijak pada tujuan-tujuan jangka panjang. Selain itu perlu adanya pengurangan eksploitasi sumberdaya secara berlebihan dan menutupi dampak yang mungkin timbul dari eksploitasi sumberdaya dengan memberikan harga kepada sumberdaya ( pricing ) dan biaya tambahan ( charge ). Dengan demikian sasaran ekonomi dalam usaha perikanan berkelanjutan adalah peningkatan ketersediaan dan kecukupan kebutuhan ekonomi ( growth ), kelestarian aset dalam arti efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan, berkeadilan bagi masyarakat pada masa kini dan yang akan datang (Munasinghe, 1994).