makalah terapi perilaku

(1)

TERAPI PERILAKU

Disusun Oleh Kelompok 5 - Kelas 2E

1. Visqi Ninda L.D (201401193) 2. Dian Novianto (201401194) 3. Oka Dyaningwan (201401195) 4. Citra Arum N (201401196) 5. Kharisma Murega (201401197) 6. Henisyah E.A (201401198)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA SEHAT PPNI KABUPATEN MOJOKERTO

2015


(2)

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul “TERAPI PERILAKU” tepat waktu.

Adapun maksud dilaksanakannya penyusunan makalah ini, tidak lain adalah untuk memenuhi tugas Sistem Neurobehaviour. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

1. Bapak Windu Santoso, S.Kp.M.Kep, selaku Ketua STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto 2. Ibu Duwi Basuki,M.Kep selaku Kepala Prodi S1 Keperawatan .

3. Ibu Lilik Ma’rifatul Azizah, MKes selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini.

4. Pihak perpustakaan yang meminjamkan buku-buku untuk bahan penyusunan makalah ini 5. Orang tua yang memberi motivasi dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat

terselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan.

6. Teman-teman senasib seperjuangan yang telah memberi dukungan baik secara moril dan materiil.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang memerlukannya pada masa yang akan datang serta untuk penyusunan makalah yang selanjutnya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, sekiranya para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun sehingga isi makalah ini dapat lebih sempurna.

Mojokerto, November 2015 Penulis


(3)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penulisan ... 2

1.4 Manfaat Penulisan ... 3

BAB II :PEMBAHASAN... 4

2.1 Definisi Perilaku... 4

2.2 Karakteristik Perilaku... 4

2.3 Klasifikasi Perilaku... 5

2.4 Definisi Terapi Perilaku... 6

2.5 Ciri Dan Tujuan Terapi Perilaku... 6

2.6 Kelebihan Dan Kekurangan Terapi Perilaku... 7

2.7 Tahap-Tahap Terapi Perilaku... 7

2.8 Pengalaman Klien Dalam Terapi ... 8

2.9 Teknik-Teknik Terapi Perilaku... 8

2.10 Contoh Kasus Terapi Perilaku... 12

BAB III : PENUTUP... 13

3.1 Kesimpulan... 13

3.2 Saran... 13

DAFTAR PUSTAKA... 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terapi perilaku (behavior therapy) dan pengubahan perilaku (behavior modification) atau pendekatan perilaku dalam konseling dan psikoterapi, adalah salah satu dari beberapa “revolusi” dalam dunia pengetahuan psikologi, khususnya konseling


(4)

dan psikoterapi (Gunarsa, 1992:191). Revolusi-revolusi yang lain adalah psikoanalisis dan pendekatan berpusat pada klien. Pendekatan perilaku dianggap sebagai salah satu wujud revolusi dalam konseling dan psikoterapi karena ia mengembangkan teori dan praktik terapi yang khas, yaitu memandang tingkah laku manusia dipandang sebagai respon-respon terhadap stimuli tingkah laku merupakan hasil belajar, bukan determinan sebagaimana pandangan psikoanalisis eksternal dan internal, dan karena itu tujuan konseling adalah sedapat mungkin untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode stimulus-respon (S-R), jadi analog dengan psikologi eksperimental.

Pendekatan perilaku yang bersumber pada aliran Behaviorisme pada mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yaitu John Broadus Watson. Pendekatan ini menitikberatkan peranan lingkungan, peranan dunia luar sebagai faktor penting di mana seseorang dipengaruhi, seseorang belajar. Aliran ini memandang perkembangan seseorang sebagai “seorang tumbuh menjadi seperti apa yang terbentuk oleh lingkungan”. Ulmann dan Krasner (1965) menunjukkan banyak bukti tentang keefektifan pendekatan perilaku dengan menghimpun berbagai tulisan para ahli pendekatan perilaku dalam buku Case Studies in Behavior Modification.

Sejarah pendekatan perilaku dalam konseling atau konseling behavioral (Rosyidan, 1994:4-6) bermula pada Ivan Sechenov (1829-1905), bapak fisiologi Rusia. Struktur hipotetiknya dikembangkan sekitar 1863, yang memandang fungsi-fungsi otak sebagai pancaran refleks, yang mempunyai tiga komponen: input sensorik, proses, dan

“efferent-outflow”. Menurut Sechenov, semua tingkah laku terdiri atas respon-respon kepada stimulasi-stimulasi, dengan interaksi-interaksi dari rangsangan dan hambatan yang beroperasi pada bagian sentral dari pancaran refleks. Dengan menggunakan model ini, Pavlov (1849-1936) memulai serangkaian eksperimen klasik di mana respon-respon air liur pada anjing dirangsang dengan berbagai stimuli. Pada eksperimen ini ia mendemonstrasikan banyak fenomena yang kemudian diperluas kepada semua tipe belajar. Penterjemahan karya Pavlov ke dalam bahasa Inggris tahun 1927 mendorong pengambilalihan pendekatan behavioristik dalam mempelajari psikologi di Amerika Serikat, dan kemudian dikenal sebagai kondisional klasik (classical conditioning). Implikasi teori Pavlov dalam konseling adalah perilaku konseli dapat dilatih dengan menggunakan koneksi antara stimulus dengan respon, perilaku yang tidak dikehendaki dilatih menjadi perilaku yang dikehendaki.


(5)

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi perilaku?

1.2.2 Bagaimana karakteristik perilaku? 1.2.3 Bagaimana klasifikasi perilaku? 1.2.4 Apa definisi terapi perilaku? 1.2.5 Apa ciri dan tujuan terapi perilaku?

1.2.6 Apa kelebihan dan kekurangan terapi perilaku? 1.2.7 Apa tahap-tahap terapi perilaku?

1.2.8 Bagaimana pengalaman klien dalam terapi? 1.2.9 Apa saja teknik-teknik terapi perilaku? 1.2.10 Bagaimana contoh kasus terapi perilaku?

1.3 Tujuan Masalah

1.3.1 Untuk mengetahui definisi perilaku. 1.3.2 Untuk mengetahui karakteristik perilaku. 1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi perilaku. 1.3.4 Untuk mengetahui definisi terapi perilaku. 1.3.5 Untuk mengetahui ciri dan tujuan terapi perilaku.

1.3.6 Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan terapi perilaku. 1.3.7 Untuk mengetahui tahap-tahap terapi perilaku.

1.3.8 Untuk mengetahui pengalaman klien dalam terapi. 1.3.9 Untuk mengetahui teknik-teknik terapi perilaku. 1.3.10 Untuk mengetahui contoh kasus terapi perilaku

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi pembaca, agar dapat mengetahui definisi , ciri dan tujuan serta isi dari terapi perilaku.

1.4.2 Bagi penulis , agar memahami dan mengaplikasikan terapi perilaku pada pasien Meningitis.


(6)

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1

Definisi Perilaku

Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2005). Dari pandangan biologis perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan.. Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. (dikutip dari Notoatmodjo, 2003).

Skinner (1938) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus/ rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya organisme. Dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skinner ini disebut “S-O-R” atau stimulus-organisme-respon.

Perilaku juga bisa dikatakan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi 2, yakni :

1. Dalam bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit) 2. Dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit)


(7)

1. Perilaku adalah perkataan dan perbuatan individu. Jadi apa yang dikatakan dan dilakukanoleh seseorang merupakan karakteristik dari perilakunya

2. Perilaku mempunyai satu atau lebih dimensi yang dapat diukur, yaitu : frekuensi, durasi,dan intensitas.

3. Perilaku dapat diobservasi, dijelaskan, dan direkam oleh orang lain atau orang yang terlibat dalam perilaku tersebut..

4. Perilaku mempengaruhi lingkungan, lingkungan fisik atau sosial. 5. Perilaku dipengaruhi oleh lingkungan (lawful)

6. Perilaku bisa tampak atau tidak tampak. Perilaku yang tampak bisa diobservasi oleh oranglain, sedangkan perilaku yang tidak tampak merupakan kejadian atau hal pribadi yang hanya bisa dirasakan oleh individu itu sendiri atau individu lain yang terlibat dalam perilaku tersebut.

2.3

Klasifikasi Perilaku

Menurut Skinner (1938), dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Perilaku tertutup

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas.

b. Perilaku terbuka

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dengan mudah dapat diamati atau dengan mudah dipelajari.

Menurut Notoatmodjo (1993) bentuk operasional dari perilaku dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:

1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar.

2. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar. Dalam hal ini lingkungan berperan dalam membentuk perilaku manusia


(8)

yang ada di dalamnya. Sementara itu lingkungan terdiri dari, lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang bersifat fisik dan akan mencetak perilaku manusia sesuai dengan sifat dan keadaaan alam tersebut. Sedangkan lingkungan yang kedua adalah lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembentukan perilaku manusia.

3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit, yakni berupa perbuatan atau action terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

Klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behaviour)

menurut Becker (1979, dikutip dari Notoatmodjo, 2003) sebagai berikut:

1. Perilaku kesehatan, yaitu tindakan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya.

2. Perilaku sakit, yakni segala tindakan seseorang yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya termasuk juga pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, serta usaha mencegah penyakit tersebut.

3. Perilaku peran sakit, yakni segala tindakan seseorang yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.

2.4 Definisi Terapi Perilaku

Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti depresi, gangguan kecemasan, fobia dengan memakai tehnik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.

Terapi Perilaku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar dengan menyertakan penerapan sistematis prinsip-prinsip belajar pada perubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif.

Terapi perilaku secara formal didefinisikan sebagai penggunaan prinsip dan paradigma belajar yang ditetapkan secara eksperimental untuk mengatasi perilaku tidak adaptif (Wolpe, 1982).


(9)

Ciri Behavior Therapy :

1. Berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik

2. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling

3. Menggembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien 4. Penilaian yang objektif terhadap tujuan konseling.

Tujuan Behavior Therapy

Menurut George & Cristiani (dalam Gunarsa, 2007) adalah : 1. Mengubah perilaku yang tidak sesuai pada klien

2. Membantu klien belajar dalam proses pengambilan keputusan secara lebih efisien. 3. Mencegah munculnya masalah di kemudian hari.

4. Memecahkan masalah perilaku khusus yang diminta oleh klien.

5. Mencapai perubahan perilaku yang dapat dipakai dalam kegiatan kehidupannya.

2.6

Kelebihan dan Kekurangan Terapi Perilaku

Kelebihan:

1. Pembuatan tujuan terapi antara terapis dan klien di awal sesi terapi dan hal itu dijadikan acuan keberhasilan proses terapi.

2. Memiliki berbagai macam teknik konseling yang teruji dan selalu diperbaharui.

3. Waktu konseling relatif singkat.

Kekurangan:

1. Konseling atau terapi behavior bersifat dingin (kaku), 2. Kurang menyentuh aspek pribadi,

3. Bersifat manipulatif,


(10)

2.7

Tahap-Tahap Terapi Perilaku

Proses terapi ini adalah proses belajar, terapis membantu terjadinya proses belajar tersebut, dengan cara mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya. Terapi ini memiliki empat tahap dalam prosesnya, yaitu:

1. Melakukan Pengkajian (assessment) 2. Menetapkan tujuan (goal setting) 3. Implementasi teknik

4. Evaluasi dan pengakhiran

2.8

Pengalaman Klien Dalam Terapi

Salah satu sumbangan yang unik dari terapi tingkah laku adalah suatu sistem prosedur yang ditentukan dengan baik yang digunakan oleh terapis dalam hubungan dengan peran yang juga ditentukan dengan baik. Suatu aspek yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku adalah, klien didorong untuk bereksperimenkan dengan tingkah laku baru dengan maksud memperluas perbendaharaan tingkah laku adaptifnya. Terapi ini klien harus berani mengambil resiko. Bahwa masalah-masalah kehidupan nyata harus dipecahkan dengan tingkah laku baru diluar terapi. Keberhasilan dan kegagalan usaha-usaha menjalankan tingkah laku baru adalah bagian yang vital dari perjalanan terapi.

2.9

Teknik-Teknik Terapi Perilaku


(11)

Adalah jenis terapi perilaku yang digunakan dalam bidang psikologi untuk membantu secara efektif mengatasi fobia dan gangguan kecemasan lainnya. Lebih khusus lagi, adalah jenis terapi Pavlov/terapi operant conditioning therapy yang dikembangkan oleh psikiater Afrika Selatan, Joseph Wolpe.

Dalam metode ini, pertama-tama klien diajarkan keterampilan relaksasi untuk mengontrol rasa takut dan kecemasan untuk fobia spesifik. Klien dianjurkan menggunakannya untuk bereaksi terhadap situasi dan kondisi sedang ketakutan. Tujuan dari proses ini adalah bahwa seorang individu akan belajar untuk menghadapi dan mengatasi phobianya, yang kemudian mampu mengatasi rasa takut dalam phobianya.

Fobia spesifik merupakan salah satu gangguan mental yang menggunakan proses desensitisasi sistematis. Ketika individu memiliki ketakutan irasional dari sebuah objek, seperti ketinggian, anjing, ular, mereka cenderung untuk menghindarinya. Tujuan dari desensitisasi sistematis untuk mengatasi ini adalah pola memaparkan pasien bertahap ke objek fobia sampai dapat ditolerir.

2. Kondisioning operan

Disebut juga penguatan positif dimana terapis memberi penghargaan kepada klien terhadap perilaku yang positif yang telah ditampilkan oleh klien. Dengan penghargaan dan umpan balik positif yang didapat maka perilaku tersebut akan dipertahankan atau ditingkatkan oleh klien. Misalnya seorang klien begitu bangun tidur langsung ke kamar mandi untuk mandi, perawat memberikan pujian terhadap perilaku tersebut. Besok pagi klien akan mengulang perilaku segera mandi setelah bangun tidur karena mendapat umpan balik berupa pujian dari perawat. Pujian dalam hal ini adalah reward atau penghargaan bagi perilaku positif klien berupa segera mandi setelah bangun.


(12)

Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.

Teknik latihan asertif membantu klien yang:

1. Tidak mampu mengungkapkan ‘’emosi’’ baik berupa mengungkapkan rasa marah atau perasaan tersinggung.

2. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya,

3. Klien yang sulit menyatakan penolakan, mengucapkan kata “Tidak”.

4. Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.

Prosedur:

Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Misalnya, klien mengeluh bahwa dia acap kali merasa ditekan oleh atasannya untuk melakukan hal-hal yang rnenurut penilaiannya buruk dan merugikan serta mengalami hambatan untuk bersikap tegas di hadapan atasannya itu.

Cara Terapinya:

Pertama-tama klien memainkan peran sebagai atasan, memberi contoh bagi terapis, sementara terapis mencontoh cara berpikir dan cara klien menghadapi atasan. Kemudian, mereka saling menukar peran sambil klien mencoba tingkah laku baru dan terapis memainkan peran sebagai atasan. Klien boleh memberikan pengarahan kepada terapis tentang bagaimana memainkan


(13)

peran sebagai atasannya secara realistis, sebaliknya terapis melatih klien bagaimana bersikap tegas terhadap atasan.

5. Terapi Aversi

Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat/hilang. Terapi ini mencakup gangguan, kecanduan Alkohol, Napza, Kompulsif, Fetihisme, Homoseksual, Pedhophilia, Judi, Penyimpangan seksual lainnya.

Efek-efek samping:

1. Emosional tambahan seperti tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan ditekan hanya apabila penghukum hadir.

2. Jika tidak ada tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang dihukum, maka individu ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan, 3. Pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang

berkaitan dengan tingkah laku yang dihukum, Misal : Seorang anak yang dihukum karena kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah, semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.

6. Pembentukan tingkah laku model (role model)

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup, atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicotoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.


(14)

Prinsip teori yang melandasi teknik terapi ini adalah teori mengenai belajar melalui pengamatan (observation learning) atau sering juga disebut belajar sosial (social learning) dari Walter dan Bandura. pada prinsipnya, terapis memperlihatkan model yang tepat untuk membuat klien dapat meniru bagaimana ia seharusnya melakukan upaya menghilangkan perasaan dari pikiran yang tidak seharusnya dari orang lain yang disebut model itu.

Terhadap dua konsep yang berbeda yang digunakan dalam modeling ini, yakni antara coping dan mastery model menampilkan perilaku ideal, contohnya bagaimana menangani ketakutan. Sebaliknya, coping model pada dasarnya menampilkan bagaimana ia tidak merasa takut untuk menghadapi hal yang semula menakutkan.

2.10

Contoh kasus

Ny.Z, berusia 45 tahun, seorang Ibu rumah tangga. Ia masuk rumah sakit 1 minggu yang lalu. Ny.Z mengeluh sakit kepala hebat, muntah, dan nyeri otot sebelum masuk rumah sakit. Keluarga mengatakan bahwa Ny.Z sering merasa sakit kepala dan mata terasa nyeri bila terkena cahaya yang terang. Akibatnya, Ny.Z tidak mau kalau kamarnya dibuka, ia juga marah dan akhirnya menangis karena merasakan nyeri. Saat kejadian itu, Ny. Z merasa cemas, mudah marah dan cepat tersinggung . Setelah diperiksa dokter dan dilakukan CT Scan, diagnosa medis Ny.Z adalah Meningitis. Dokter menyarankan pasien untuk dilakukan pemberian obat dan terapi. Saat ini kondisi pasien sangat melemah, harga diri dan kepercayaan diri rendah dan tidak semangat melakukan terapi. Setelah dikaji ternyata kehidupan sehari-harinya rajin beribadah dan menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Terapi perilaku yang cocok untuk Ny.Z adalah teknik desensitisasi sistematis yaitu teknik mengatasi kecemasan dan kemarahan dengan memperkenalkan/memaparkan pada stimulus atau situasi yang menimbulkan


(15)

kecemasan dan kemarahan tersebut secara bertahap dalam keadaan klien sedang relaks/santai. Makin lama intensitas pemaparan stimulus makin meningkat seiring dengan toleransi klien terhadap stimulus tersebut. Hasil akhirnya adalah klien akan berhasil mengatasi kecemasan dan kemarahannya akan stimulus tersebut.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti depresi, gangguan kecemasan, fobia dengan memakai teknik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.

Ciri Behavior Therapy :

1. Berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik

2. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling

3. Menggembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien 4. Penilaian yang objektif terhadap tujuan konseling.

Tujuan Behavior Therapy :

1. Mengubah perilaku yang tidak sesuai pada klien

2. Membantu klien belajar dalam proses pengambilan keputusan secara lebih efisien. 3. Mencegah munculnya masalah di kemudian hari.


(16)

5. Mencapai perubahan perilaku yang dapat dipakai dalam kegiatan kehidupannya.

3.2 Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis menyarankan bahwa terapi modalitas itu penting karena bisa membantu proses penyembuhan dan mengurangi keluhan yang dialami oleh klien, selain itu juga menjadi suatu pencegahan saat penderita telah di diagnosa awal tentang penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. 2009. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.

Gunarsa, Singgih D. 2007. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta https://namiho.wordpress.com/2013/04/29/terapi-behavior/

https://nurainiajeeng.wordpress.com/2013/04/30/behavior-theraphy/ http://fenisha.blogspot.co.id/2013_04_01_archive.html


(1)

Adalah jenis terapi perilaku yang digunakan dalam bidang psikologi untuk membantu secara efektif mengatasi fobia dan gangguan kecemasan lainnya. Lebih khusus lagi, adalah jenis terapi Pavlov/terapi operant conditioning therapy yang dikembangkan oleh psikiater Afrika Selatan, Joseph Wolpe.

Dalam metode ini, pertama-tama klien diajarkan keterampilan relaksasi untuk mengontrol rasa takut dan kecemasan untuk fobia spesifik. Klien dianjurkan menggunakannya untuk bereaksi terhadap situasi dan kondisi sedang ketakutan. Tujuan dari proses ini adalah bahwa seorang individu akan belajar untuk menghadapi dan mengatasi phobianya, yang kemudian mampu mengatasi rasa takut dalam phobianya.

Fobia spesifik merupakan salah satu gangguan mental yang menggunakan proses desensitisasi sistematis. Ketika individu memiliki ketakutan irasional dari sebuah objek, seperti ketinggian, anjing, ular, mereka cenderung untuk menghindarinya. Tujuan dari desensitisasi sistematis untuk mengatasi ini adalah pola memaparkan pasien bertahap ke objek fobia sampai dapat ditolerir.

2. Kondisioning operan

Disebut juga penguatan positif dimana terapis memberi penghargaan kepada klien terhadap perilaku yang positif yang telah ditampilkan oleh klien. Dengan penghargaan dan umpan balik positif yang didapat maka perilaku tersebut akan dipertahankan atau ditingkatkan oleh klien. Misalnya seorang klien begitu bangun tidur langsung ke kamar mandi untuk mandi, perawat memberikan pujian terhadap perilaku tersebut. Besok pagi klien akan mengulang perilaku segera mandi setelah bangun tidur karena mendapat umpan balik berupa pujian dari perawat. Pujian dalam hal ini adalah reward atau penghargaan bagi perilaku positif klien berupa segera mandi setelah bangun.


(2)

Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.

Teknik latihan asertif membantu klien yang:

1. Tidak mampu mengungkapkan ‘’emosi’’ baik berupa mengungkapkan rasa marah atau perasaan tersinggung.

2. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya,

3. Klien yang sulit menyatakan penolakan, mengucapkan kata “Tidak”.

4. Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.

Prosedur:

Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Misalnya, klien mengeluh bahwa dia acap kali merasa ditekan oleh atasannya untuk melakukan hal-hal yang rnenurut penilaiannya buruk dan merugikan serta mengalami hambatan untuk bersikap tegas di hadapan atasannya itu.

Cara Terapinya:

Pertama-tama klien memainkan peran sebagai atasan, memberi contoh bagi terapis, sementara terapis mencontoh cara berpikir dan cara klien menghadapi atasan. Kemudian, mereka saling menukar peran sambil klien mencoba tingkah laku baru dan terapis memainkan peran sebagai atasan. Klien boleh memberikan pengarahan kepada terapis tentang bagaimana memainkan


(3)

peran sebagai atasannya secara realistis, sebaliknya terapis melatih klien bagaimana bersikap tegas terhadap atasan.

5. Terapi Aversi

Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat/hilang. Terapi ini mencakup gangguan, kecanduan Alkohol, Napza, Kompulsif, Fetihisme, Homoseksual, Pedhophilia, Judi, Penyimpangan seksual lainnya.

Efek-efek samping:

1. Emosional tambahan seperti tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan ditekan hanya apabila penghukum hadir.

2. Jika tidak ada tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang dihukum, maka individu ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan, 3. Pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang

berkaitan dengan tingkah laku yang dihukum, Misal : Seorang anak yang dihukum karena kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah, semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.

6. Pembentukan tingkah laku model (role model)

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup, atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicotoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.


(4)

Prinsip teori yang melandasi teknik terapi ini adalah teori mengenai belajar melalui pengamatan (observation learning) atau sering juga disebut belajar sosial (social learning) dari Walter dan Bandura. pada prinsipnya, terapis memperlihatkan model yang tepat untuk membuat klien dapat meniru bagaimana ia seharusnya melakukan upaya menghilangkan perasaan dari pikiran yang tidak seharusnya dari orang lain yang disebut model itu.

Terhadap dua konsep yang berbeda yang digunakan dalam modeling ini, yakni antara coping dan mastery model menampilkan perilaku ideal, contohnya bagaimana menangani ketakutan. Sebaliknya, coping model pada dasarnya menampilkan bagaimana ia tidak merasa takut untuk menghadapi hal yang semula menakutkan.

2.10

Contoh kasus

Ny.Z, berusia 45 tahun, seorang Ibu rumah tangga. Ia masuk rumah sakit 1 minggu yang lalu. Ny.Z mengeluh sakit kepala hebat, muntah, dan nyeri otot sebelum masuk rumah sakit. Keluarga mengatakan bahwa Ny.Z sering merasa sakit kepala dan mata terasa nyeri bila terkena cahaya yang terang. Akibatnya, Ny.Z tidak mau kalau kamarnya dibuka, ia juga marah dan akhirnya menangis karena merasakan nyeri. Saat kejadian itu, Ny. Z merasa cemas, mudah marah dan cepat tersinggung . Setelah diperiksa dokter dan dilakukan CT Scan, diagnosa medis Ny.Z adalah Meningitis. Dokter menyarankan pasien untuk dilakukan pemberian obat dan terapi. Saat ini kondisi pasien sangat melemah, harga diri dan kepercayaan diri rendah dan tidak semangat melakukan terapi. Setelah dikaji ternyata kehidupan sehari-harinya rajin beribadah dan menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Terapi perilaku yang cocok untuk Ny.Z adalah teknik desensitisasi sistematis yaitu teknik mengatasi kecemasan dan kemarahan dengan memperkenalkan/memaparkan pada stimulus atau situasi yang menimbulkan


(5)

kecemasan dan kemarahan tersebut secara bertahap dalam keadaan klien sedang relaks/santai. Makin lama intensitas pemaparan stimulus makin meningkat seiring dengan toleransi klien terhadap stimulus tersebut. Hasil akhirnya adalah klien akan berhasil mengatasi kecemasan dan kemarahannya akan stimulus tersebut.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti depresi, gangguan kecemasan, fobia dengan memakai teknik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.

Ciri Behavior Therapy :

1. Berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik

2. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling

3. Menggembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien 4. Penilaian yang objektif terhadap tujuan konseling.

Tujuan Behavior Therapy :

1. Mengubah perilaku yang tidak sesuai pada klien

2. Membantu klien belajar dalam proses pengambilan keputusan secara lebih efisien. 3. Mencegah munculnya masalah di kemudian hari.


(6)

5. Mencapai perubahan perilaku yang dapat dipakai dalam kegiatan kehidupannya.

3.2 Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis menyarankan bahwa terapi modalitas itu penting karena bisa membantu proses penyembuhan dan mengurangi keluhan yang dialami oleh klien, selain itu juga menjadi suatu pencegahan saat penderita telah di diagnosa awal tentang penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. 2009. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.

Gunarsa, Singgih D. 2007. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta https://namiho.wordpress.com/2013/04/29/terapi-behavior/

https://nurainiajeeng.wordpress.com/2013/04/30/behavior-theraphy/ http://fenisha.blogspot.co.id/2013_04_01_archive.html