Brine shrimp lethality test ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan [Latana Camara L.] beserta profil kromatografi lapis tipisnya.

(1)

INTISARI

Bahan alam banyak digunakan masyarakat untuk mengobati penyakit kanker. Salah satunya yaitu daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) yang secara luas digunakan masyarakat untuk menghilangkan tumor. Telah dilaporkan pula bahwa tumbuhan ini toksik pada hewan yang memakannya. Sebagai langkah awal untuk mengetahui apakah daun tumbuhan tembelekan mempunyai aktivitas antikanker, maka dilakukan penelitian menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test sehingga didapatkan informasi tentang toksisitas ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap larva Artemia salina Leach (artemia).

Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan posttest only control group design. Penelitian dilakukan dengan menggunakan ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang diperoleh dengan metode maserasi. Sampel uji dibuat seri konsentrasi yaitu 40, 52, 68, 88, dan 114 μg/ml. Kontrol menggunakan air laut buatan, dan dilakukan replikasi sebanyak 5 kali. Jumlah larva artemia yang mati pada tiap konsentrasi dihitung setelah 24 jam perlakuan. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Ekstrak dikatakan toksik apabila harga LC50 < 1000 μg/ml. Ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan kemudian diidentifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung di dalamnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik dengan harga LC50 sebesar 60,4 μg/ml. Identifikasi dengan kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan diduga mengandung senyawa golongan triterpenoid dan flavonoid.

Kata kunci : Brine Shrimp Lethality Test, Lantana camara L., Artemia salina Leach., toksisitas


(2)

ABSTRACT

Natural substances are often done by people to cure cancer. One of them is by using the tembelekan leaf (Lantana camara L.) that is widely used by people to omit the tumor. It is reported that this plant is toxic for the animal that consume it. As the beginning step to find out whether the tembelekan leaf has an anticancer activity or not, the research is being conducted with the Brine Shrimp Lethality Test method so the information about toxicity of ethanol extract of tembelekan leaf to the Artemia salina Leach larva can be gained.

The research was simple pure experimental with posttest only control group design. The research was done by using an ethanol extract of tembelekan leaf that is gained from maserasi method. The experiment sample is made in concentration series, they are 40, 52, 68, 88, and 114 μg/ml. The controller that is used is artificial sea water and it is replicated 5 times. The number of artemia larva that died in every concentration is counted after 24 hours treatment. The value of LC50 was counted using the probit analysis method. The extract is considered as toxic if the LC50 < 1000 μg/ml. The ethanol extract of tembelekan leaf then identified by the thin layer of chromatography to find out the compound type that is contained inside.

The research findings show that the ethanol extract of tembelekan leaf is toxic with LC50 is 60,4 μg/ml. The identification uses the thin layer of chromatography shows that the ethanol extract of tembelekan leaf is estimated contains the compound type triterpenoid and flavonoid.

Key words: Brine Shrimp LethalityTest, Lantana camara L., Artemia salina Leach, toxicity


(3)

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Natalia Sugianti NIM: 038114041

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Natalia Sugianti NIM: 038114041

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(5)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Persetujuan skripsi berjudul

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

Yang diajukan oleh: Natalia Sugianti NIM: 038114041

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Yustina Sri Hartini, M.Si.,Apt. Yohanes Dwiatmaka, M.Si.

Tanggal: ………. Tanggal: ……….


(6)


(7)

H

A

L

A

M

A

N

P

E

R

S

E

M

B

A

H

A

N

TUHAN TIDAK BERJANJI

LANGIT SELALU BIRU . . .

BUNGA DI SEPANJANG JALANMU. . . LAUTAN TANPA GELOMBANG. . .

TAPI . . . IA BERJANJI

BESERTA KITA. . .

MENDAMPINGI KITA. . .

DALAM SEGALA KEADAAN!!!

Kupersembahkan karya kecilku ini teruntuk:

JESUS- MY SAVIOR

Bunda MARIA

P a p a

dan

Ma ma

tercinta

Dhe- dhe ku imoet

Dev i

OH A L U N G

Sahabatku Lanny,

Indah

,

Renny

,

Nike

,

Yoha

A l m a m a t e r k u

v


(8)

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkatnya untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan

skripsi yang berjudul Brine Shrimp Lethality Test Ekstrak Etanol Daun Tumbuhan

Tembelekan (Lantana camara L.) Beserta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya.

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat tugas akhir untuk mencapai gelar sarjana ilmu Farmasi bidang studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis telah banyak mendapat bantuan baik moral maupun spiritual dan dukungan yang berupa bimbingan, dorongan, sarana, maupun fasilitas dari berbagai pihak dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing atas bimbingan

dan pengarahan selama penelitian sampai penyusunan skripsi.

3. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen pembimbing atas bimbingan

dan pengarahan selama penelitian sampai penyusunan skripsi.

4. Ibu dr. Luciana Kuswibawati, M. Kes. selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.


(10)

6. Papa dan Mama serta adikku Devi atas cinta, pengorbanan, dukungan, semangat, dan doa nya yang tak pernah berhenti.

7. Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarwanto selaku staf laboratorium

Farmakognosi Fitokimia . Terima kasih atas bantuan yang diberikan.

8. Lanny, sahabat dalam berbagi suka dan duka.

9. Indah, Renny, Nike, Yohana, ci Meta, ci Listy, ci Ricka, ci Maria, Chicka,

Selvi, Aning, Ratih, dan teman-teman kost DEWI lainnya. Terima kasih atas kebersamaan dan kekompakkannya selama ini.

10. Mas Wondo, Novi, Apri, Rosa, Mba Sinta. Terima kasih atas kerja sama dan

bantuannya selama penelitian.

11. Teman-teman angkatan 2003, khususnya kelas A. Terima kasih atas

kebersamaan dan kerja samanya selama ini.

12. Teman-teman BPM, khususnya PD Missio Dei dan PD Ignatius Loyola,

Meidi, Yandy, Iyonk, Ko Hendy, dan Ko Ari. Terima kasih atas dukungan doanya.

13. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak demi kemajuan dan kesempurnaan penelitian yang telah dilakukan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 25 Januari 2007

Penulis


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xvi

INTISARI... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah... 3

2. Keaslian penelitian ... 3

3. Manfaat penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian ... 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 5

A. Tumbuhan Tembelekan... 5


(12)

1. Keterangan botani ... 5

2. Nama daerah dan nama asing... 5

3. Deskripsi tumbuhan ... 6

4. Kandungan kimia ... 6

5. Kegunaan ... 6

B. Senyawa Yang Diidentifikasi... 7

1. Triterpenoid... 7

2. Flavonoid ... 9

C. Artemia... 11

1. Keterangan zoologi ... 11

2. Morfologi artemia ... 12

3. Lingkungan hidup artemia ... 16

4. Siklus hidup artemia... 17

5. Penggunaan artemia pada metode BST... 19

D. Uji Toksisitas Akut ... 22

E. Brine Shrimp Lethality Test ... 23

F. Kanker ... 24

G. Penyarian... 26

H. Kromatografi Lapis Tipis... 27

I. Landasan Teori... 29

J. Hipotesis... 30

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 31


(13)

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 31

1. Variabel penelitian ... 31

2. Definisi operasional ... 32

C. Bahan dan Alat Penelitian... 32

1. Bahan penelitian... 32

2. Alat penelitian ... 33

D. Tata Cara Penelitian ... 34

1. Determinasi tumbuhan tembelekan... 34

2. Pengumpulan bahan ... 34

3. Penyiapan bahan ... 34

4. Maserasi ... 34

5. Pembuatan air laut buatan ... 35

6. Penetasan telur artemia ... 35

7. Penyiapan sampel untuk uji toksisitas ... 36

8. Pembuatan larutan sampel... 36

9. Uji toksisitas akut dengan BST ... 37

10.Uji KLT pada ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan... 37

11.Analisis hasil ... 38

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Determinasi Tumbuhan... 39

B. Pengumpulan dan Pengeringan Bahan... 39

C. Maserasi Daun Tumbuhan Tembelekan... 41

D. Pembuatan Air Laut Buatan ... 43


(14)

E. Penetasan Siste Artemia ... 44

F. Uji Toksisitas dengan Metode BST ... 45

G. Uji Kualitatif Ekstrak Etanol dengan KLT ... 53

1. Identifikasi triterpenoid... 54

2. Identifikasi flavonoid ... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN... 66

BIOGRAFI PENULIS ... 83


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel I Perbedaan uji toksisitas akut, uji toksisitas sub kronis dan uji

toksisitas kronis... 23

Tabel II Seri konsentrasi larutan sampel daun tumbuhan tembelekan ... 36

Tabel III Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etanol

daun tumbuhan tembelekan ... 49

Tabel IV Hasil KLT pemeriksaan triterpenoid dalam ekstrak etanol daun

tumbuhan tembelekan ... 55

Tabel V Hasil KLT pemeriksaan flavonoid dalam ekstrak etanol daun

tumbuhan tembelekan ... 58


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur pentasiklik triterpenoid ...7

Gambar 2. Mekanisme penghambatan enzim topoisomerase...8

Gambar 3. Struktur umum flavonoid ...9

Gambar 4. Mekanisme kematian sel yang terprogram (apoptosis) pada sel normal (A) dan sel tumor yang kekurangan p53 menyebabkan kanker (B) ...10

Gambar 5. Larva artemia ...13

Gambar 6. Perubahan bentuk artemia ...13

Gambar 7. Bagian-bagian tubuh artemia dewasa ...14

Gambar 8. Artemia dewasa jantan dan betina ... 15

Gambar 9. Siklus hidup artemia biseksual ...18

Gambar 10. Kerja RNA polymerase dalam transkripsi ...20

Gambar 11. Mekanisme kerja Na+and K+ ATP ase ...21

Gambar 12. Siklus sel ...25

Gambar 13. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan ...50

Gambar 14. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk pemeriksaan triterpenoid dengan jarak pengembangan 10 cm ...56

Gambar 15. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk pemeriksaan flavonoid dengan jarak pengembangan 10 cm ...59


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat keterangan determinasi tumbuhan tembelekan ...66 Lampiran 2. Foto tumbuhan tembelekan ...67 Lampiran 3. Foto aquarium untuk uji BST ...67 Lampiran 4. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi yang akan

digunakan dalam pengujian ...68 Lampiran 5. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etanol

daun tumbuhan tembelekan ...73 Lampiran 6. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan analisis probit

terhadap ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan ...74 Lampiran 7. Foto kromatogram identifikasi triterpenoid ...77

Lampiran 8. Jurnal penggunaan uji Brine Shrimp Lethality Test...78


(18)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

1. ALB = Air Laut Buatan

2. AlCl3 = aluminium klorida

3. CaCl2 = kalsium klorida

4. cm = centimeter

5. KCl = kalium klorida

6. KLT = Kromatografi Lapis Tipis

7. LC50 = Median Lethal Concentration

8. LD50 = Median Lethal Dose

9. mm = millimeter

10.mg = milligram

11.MgCl2 = magnesium klorida

12.MgSO4 = magnesium sulfat

13.ml = milliliter

14.NaHCO3 = natrium bikarbonat

15.NaCl = natrium klorida

16.nm = nanometer

17.rpm = rotasi per menit

18.UV = ultraviolet

19.°C = derajat celcius

20.% = persen

21.μg/ml = microgram per milliliter

22.μl = microliter


(19)

INTISARI

Bahan alam banyak digunakan masyarakat untuk mengobati penyakit

kanker. Salah satunya yaitu daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) yang

secara luas digunakan masyarakat untuk menghilangkan tumor. Telah dilaporkan pula bahwa tumbuhan ini toksik pada hewan yang memakannya. Sebagai langkah awal untuk mengetahui apakah daun tumbuhan tembelekan mempunyai aktivitas

antikanker, maka dilakukan penelitian menggunakan metode Brine Shrimp Lethality

Test sehingga didapatkan informasi tentang toksisitas ekstrak etanol daun tumbuhan

tembelekan terhadap larva Artemia salina Leach (artemia).

Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan posttest

only control group design. Penelitian dilakukan dengan menggunakan ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang diperoleh dengan metode maserasi. Sampel uji

dibuat seri konsentrasi yaitu 40, 52, 68, 88, dan 114 μg/ml. Kontrol menggunakan air

laut buatan, dan dilakukan replikasi sebanyak 5 kali. Jumlah larva artemia yang mati

pada tiap konsentrasi dihitung setelah 24 jam perlakuan. Nilai LC50 dihitung dengan

analisis probit. Ekstrak dikatakan toksik apabila harga LC50 < 1000 μg/ml. Ekstrak

etanol daun tumbuhan tembelekan kemudian diidentifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung di dalamnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan

tembelekan bersifat toksik dengan harga LC50 sebesar 60,4 μg/ml. Identifikasi

dengan kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan diduga mengandung senyawa golongan triterpenoid dan flavonoid.

Kata kunci : Brine Shrimp Lethality Test, Lantana camara L., Artemia salina

Leach., toksisitas


(20)

ABSTRACT

Natural substances are often done by people to cure cancer. One of them is

by using the tembelekan leaf (Lantana camara L.) that is widely used by people to

omit the tumor. It is reported that this plant is toxic for the animal that consume it. As the beginning step to find out whether the tembelekan leaf has an anticancer activity

or not, the research is being conducted with the Brine Shrimp Lethality Test method

so the information about toxicity of ethanol extract of tembelekan leaf to the Artemia

salina Leach larva can be gained.

The research was simple pure experimental with posttest only control group design. The research was done by using an ethanol extract of tembelekan leaf that is gained from maserasi method. The experiment sample is made in concentration

series, they are 40, 52, 68, 88, and 114 μg/ml. The controller that is used is artificial

sea water and it is replicated 5 times. The number of artemia larva that died in every

concentration is counted after 24 hours treatment. The value of LC50 was counted

using the probit analysis method. The extract is considered as toxic if the LC50 <

1000 μg/ml. The ethanol extract of tembelekan leaf then identified by the thin layer

of chromatography to find out the compound type that is contained inside.

The research findings show that the ethanol extract of tembelekan leaf is

toxic with LC50 is 60,4 μg/ml. The identification uses the thin layer of

chromatography shows that the ethanol extract of tembelekan leaf is estimated contains the compound type triterpenoid and flavonoid.

Key words: Brine Shrimp LethalityTest, Lantana camara L., Artemia salina Leach,

toxicity


(21)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penyakit kanker dikenal sebagai penyakit yang sukar disembuhkan dan dapat menyebabkan kematian penderitanya jika tidak dirawat sejak awal. Kasus kanker di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Walaupun telah banyak ditemukan obat antikanker dan telah banyak dilakukan kemoterapi, namun hasilnya belum memuaskan dan biayanya juga sangat mahal. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk melakukan pengobatan menggunakan bahan alam atau obat tradisional (Mills and Bone, 2000).

Penggalian obat-obat antikanker dari bahan alam terus dilakukan. Salah satunya yaitu daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) yang secara luas

digunakan untuk pengobatan tumor, tetanus, rematik, malaria, sebagai antiseptik, dan perangsang muntah (Rana, Prasad, and Blazquez, 2005). Untuk menghilangkan bengkak, biasanya daun tumbuhan tembelekan dihaluskan lalu ditempel pada bagian yang sakit (Hembing, 2000). Daun tumbuhan tembelekan mengandung beberapa senyawa antara lain lantadene A dan B, lantanolic acid, lantic acid, humulene

(mengandung minyak atsiri), -caryophyllene, -terpidene, α-pinene, dan p-cymene

(Rana, 2005).

Tembelekan merupakan spesies tumbuhan yang toksik pada binatang yang memakan daunnya (Sharma and Sharma, 1989). Beberapa ahli menghubungkan toksisitas tumbuhan tembelekan dengan dua pentasiklik triterpenoid yaitu lantadene


(22)

A dan B (Tyler, Brady, and Robbers, 1988). Senyawa flavonoid dalam daun

tumbuhan tembelekan yaitu jenis flavon juga diketahui bersifat toksik pada sel dengan menginduksi apoptosis, yang merupakan suatu mekanisme kematian sel yang terprogram (Middleton, Kandaswami, and Theoharides, 2000). Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Asterina (1994), diketahui bahwa ekstrak etanol 95% daun tumbuhan tembelekan mengandung senyawa flavonoid.

Etanol dapat melarutkan flavonoid (Anonim, 1986) serta sebagian besar senyawa terpenoid (Mursyidi, 1990). Maka dalam penelitian ini digunakan ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan.

Pencarian senyawa antikanker baru dari tanaman dapat dilakukan pertama kali dengan cara skrining bioaktivitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test

(BST). Prinsip metode ini adalah uji toksisitas akut terhadap larva Artemia salina

Leach (artemia) dengan penentuan nilai LC50 setelah perlakuan 24 jam (Meyer,

Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nichols, and Laughlin, 1982). Digunakan artemia sebagai hewan uji karena artemia memiliki kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA polymerases artemia serupa dengan yang

terdapat dalam mamalia dan organisme ini memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+

dependent ATPase, sehingga senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada

sistem tersebut dapat terdeteksi (Solis, Wright, Anderson, Gupta, and Phillipson, 1993). Jika suatu larutan memiliki nilai LC50 < 1000 μg/ml maka larutan tersebut

memiliki efek toksik yang besar yang nantinya diharapkan memiliki efek sitotoksik, yang merupakan syarat utama untuk aktivitas antikanker.


(23)

3

Metode BST tidak spesifik untuk pengujian antikanker dan sebagian aksi fisiologis, namun metode ini dapat memonitor kemungkinan adanya efek sitotoksik dengan waktu dan biaya penelitian yang lebih sedikit dibandingkan dengan pengujian sitotoksisitas menggunakan biakan sel kanker. Senyawa yang bersifat toksik pada uji BST belum tentu bersifat sitotoksik, sehingga perlu dilakukan uji tingkat lanjut dengan menggunakan sel kanker. Namun, suatu senyawa yang bersifat sitotoksik akan bersifat toksik bila diuji dengan metode BST (Meyer et al., 1982).

Maka diharapkan metode BST dapat digunakan sebagai langkah awal untuk menentukan senyawa yang memiliki efek sitotoksik.

1. Perumusan masalah

Apakah ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik terhadap larva artemia?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan daun tumbuhan tembelekan antara lain isolasi dan identifikasi komponen kimia daun tembelekan asal Tamalanrea, Ujung Pandang oleh Aida (1990); penelitian farmakognosi dan kandungan kimia dari daun Lantana camara L. oleh Soelastru

(1986); pemeriksaan flavonoid dan verbaskosid daun Lantana camara L. oleh Rini

Asterina (1994); dan uji potensi antibakteri ekstrak etanol daun tembelekan terhadap

Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 35218 oleh Asteria

(2006). Tetapi sejauh penelusuran pustaka belum pernah dilakukan penelitian mengenai toksisitas ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia.


(24)

3. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih jelas, yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang farmasi mengenai toksisitas ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia yang tercermin dari nilai LC50.


(25)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tumbuhan Tembelekan 1. Keterangan botani

Tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) termasuk dalam familia

Verbenaceae. Tumbuhan ini mempunyai sinonim antara lain Lantana aculeata L.,

Lantana antillana Rafin., Lantana mutabilis Salisb., Lantana polyacanthus SCH.,

Lantana scabrida Soland (Becker and Bakhuizen, 1963).

2. Nama daerah dan nama asing a. Nama daerah

1) Sumatera : tembelekan, kembang telek, bunga pagar, kayu singapur, tahi ayam

2) Jawa : kembang telek, oblo, puyengan, pucengan, tembelek, tembelekan,

teterapan, waung, wilweran

3) Sunda : kembang satek, saliyara, saliyare, tahi hayam, tahi kotok, cente

4) Madura : kamanco, mainco, tamanjho

(Hembing, 2000)

b. Nama asing

1) Cina : wu se mei, ma ting tan

2) Tagalog: sapinit, koronitas, kantutay 3) Inggris : prickly lantana, hedge flower

(Dalimarta, 1999)


(26)

3. Deskripsi tumbuhan

Tembelekan kadang tumbuh liar atau ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman pagar. Tumbuhan asal Amerika tropis ini bisa ditemukan dari dataran rendah sampai 1.700 meter di atas permukaan laut, pada tempat-tempat terbuka yang terkena sinar matahari atau agak ternaung. Perdu, tegak, atau agak memanjat, tinggi 0,5-4 m, berbau. Batang berkayu, bercabang banyak, ranting bentuk segi empat, berduri, berambut. Daun tunggal, berhadapan, bundar telur, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi bergerigi, pertulangan menyirip, kedua permukaan berambut, perabaan kasar, panjang 5-8 cm, lebar 3,5-5 cm, warnanya hijau tua. Perbungaan majemuk berbentuk bulir, mahkota bagian dalam berambut, warnanya putih, merah muda, jingga, kuning, dan sebagainya. Buah buni, tangkai berambut, masih muda hijau, bila masak hitam mengkilap (Dalimartha, 1999).

4. Kandungan kimia

Daun mengandung lantadene A (0,31-0,68%), lantadene B (0,2%),

lantanolic acid, lantic acid, humulene (mengandung minyak menguap 0,16-0,2 %),

caryophyllene, terpidene, α pinene, p-cymene (Rana, 2005) dan flavonoid (Asterina ,1994).

5. Kegunaan

Akar berkhasiat mengatasi influenza yang disertai demam tinggi, TBC

kelenjar (skrofuloderma), rematik, bengkak terbentur (memar), keputihan (leukorea),

kencing nanah (gonore), gondongan (parotitis, mumps), dan sakit kulit yang

berkaitan dengan gangguan emosi (neurodermatitis). Bunga berkhasiat mengatasi TB


(27)

7

untuk pengobatan tumor, tetanus, rematik, malaria, sebagai antiseptik, dan perangsang muntah (Rana, 2005).

B. Senyawa yang Diidentifikasi 1. Triterpenoid

Terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2=C(CH3)-CH=CH2. Terpenoid

terdiri atas beberapa macam senyawa mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpenoid dan sesquiterpenoid yang mudah menguap sampai ke senyawa yang tidak mudah menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen karotenoid (C40) (Harborne, 1984). Terpenoid tersebar luas dalam damar, getah, dan kutin tumbuhan (Robbers, Speedie, Tyler, 1996).

HO

Gambar 1. Struktur pentasiklik triterpenoid (Kaufman, Cseke , Warbers, Duke, Brielmann, 1988)

Triterpenoid secara biosintesis terbentuk dari 6 unit isoprene sehingga triterpenoid merupakan suatu terpenoid dengan 30 atom C. Triterpenoid di alam dapat berbentuk ester atau glikosida dan kemungkinan berstruktur alifatik, tetrasiklik atau pentasiklik. Triterpenoid saponin biasanya dalam bentuk pentasiklik. Senyawa


(28)

serta asam turunannya yaitu asam ursolat dan asam oleanolat (Evans and Trease, 2002). Pentasiklik triterpenoid dapat menghambat kerja enzim topoisomerase I dan II

serta menghambat RNA polymerase sehingga mengakibatkan kematian sel (Lee,

Fang, Wang, Li, Cook, 1991).

Gambar 2 . Mekanisme penghambatan enzim topoisomerase(Albert, Johnson, Lewis, Raff, Roberts, Walter, 2002)

Untuk mendeteksi adanya triterpenoid salah satunya dapat dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis. Metode ini dapat menggunakan fase diam silika gel dan dengan memakai pengembang seperti heksan, etil asetat (1:1); kloroform, metanol (10:1); atau toluene : etil asetat (93:7). Sebagai deteksi dapat


(29)

9

digunakan penyemprotan dengan asam sulfat pekat, diteruskan dengan pemanasan

pada 100°C - 105°C sampai pembentukan warna sempurna (Harborne, 1984). Untuk

senyawa terpenoid, akan menghasilkan warna abu-abu, merah violet atau ungu (Wagner, Brady, and Zgainski, 1984).

2. Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa fenol alam yang terdapat dalam hampir semua tumbuhan dari bangsa Algae hingga Gymnospermae. Di dalam tumbuhan flavonoid biasanya berikatan dengan gula sebagai glikosida (Mursyidi, 1990). Glikosida flavonoid merupakan senyawa polar, maka umumnya cukup larut dalam pelarut yang polar anatara lain seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dan air (Markham, 1988).

Gambar 3. Struktur umum flavonoid (Harborne, 1984)

Flavonoid terdapat pada hampir semua bagian tanaman seperti daun, bunga, tepung sari, akar dan batang. Secara khusus flavonoid terutama terdapat pada bagian yang di atas tanah dan masih muda misalnya daun, pucuk-pucuk yang berbunga; yang terlokalisasi dalam jaringan epidermis dan sel palisade (Markham, 1988). Flavonoid berfungsi untuk pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba, antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1991). Flavonoid jenis flavon juga diketahui dapat menginduksi terjadinya apoptosis (mekanisme


(30)

kematian yang terprogram) pada sel kanker salah satunya dengan mencegah terjadinya mutasi p53. Dengan adanya apoptosis, sel yang telah rusak (abnormal) dan tidak berfungsi lagi akan mati dengan sendirinya, tidak terus menerus membelah dan menghasilkan sel neoplastik yang dapat berkembang menjadi sel tumor dan kanker

(Middleton, 2000).

Gambar 4. Mekanisme kematian sel yang terprogram (apoptosis) pada sel normal (A) dan sel tumor yang kekurangan p53 menyebabkan kanker (B)

(Albert et al., 2002)

Adanya senyawa flavonoid dalam suatu bahan dapat dianalisis dengan kromatografi lapis tipis. Biasanya digunakan fase diam selulosa dan fase gerak seperti n-butanol, asam asetat, air (4:1:5 v/v lapisan atas); kloroform, etil asetat (60:40 v/v); atau kloroform, aseton, asam format (75:16,5:8,5 v/v). Deteksi terhadap


(31)

11

bercak yang timbul setelah pengembangan dapat menggunakan sinar UV, pereaksi semprot seperti sitroborat, pereaksi aluminium klorida, dan antimon triklorida

(Wagner et al.,1984).

Flavonoid pada sinar UV 254 nm menyebabkan terjadinya pemadaman dan pada sinar UV 366 nm memberikan warna kuning, biru, atau ungu yang tergantung pada struktur flavonoidnya (Markham, 1988).

Pedoman umum flouresensi flavonoid di bawah UV 366 nm menurut Marhkam (1988) adalah

a. pada sinar UV tanpa NH3 berfluoresensi biru muda, dan dengan NH3

berfluoresensi hijau-kuning, kemungkinan merupakan flavonoid jenis flavon atau flavonol yang tidak mengandung 5-OH

b. pada sinar UV tanpa NH3 berfluoresensi biru muda, dan dengan NH3 nampak

perubahan sedikit warna atau tanpa perubahan, mungkin merupakan flavonoid jenis isoflavon yang tidak mengandung 5-OH bebas

c. pada sinar UV tanpa NH3 berfluoresensi biru muda, dan dengan NH3

berfluoresensi murup biru muda, kemungkinan merupakan flavonoid jenis isoflavon yang tidak mengandung 5-OH bebas

C. Artemia 1. Keterangan zoologi

Artemia termasuk dalam familia Artemidae. Artemia merupakan udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton, yang menghuni perairan-perairan yang berkadar garam tinggi (salina). Baik keadaan tubuh maupun tingkah


(32)

lakunya menunjukkan bahwa artemia tidak mempunyai alat atau cara untuk mempertahankan diri terhadap serangan musuh-musuhnya. Penyesuaian hidupnya di perairan berkadar garam tinggi merupakan suatu perlindungan alam sehingga mereka bebas dari pemangsanya. Karena di perairan yang demikian, para pemangsanya (ikan, udang, serangga, dan lainnya) sudah tidak dapat hidup lagi (Mudjiman, 1989).

2. Morfologi artemia

a. Telur

Istilah untuk telur artemia yang benar adalah siste, yaitu telur yang telah

berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan kemudian diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah pengapungan. Oleh karena itu, ia sangat tahan menghadapi keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989).

b. Larva

Apabila siste artemia direndam dalam air laut bersuhu 25°C, maka akan

menetes dalam waktu 24-36 jam. Dari dalam cangkangnya keluarlah burayak

(larva) yang juga dikenal dengan istilah nauplius. Dalam perkembangan

selanjutnya, larva akan mengalami 15 kali perubahan bentuk atau metamorfosis. Setiap kali larva mengalami perubahan bentuk merupakan satu tingkatan. Larva tingkat I dinamakan instar I, tingkat II dinamakan instar II, tingkat III dinamakan instar III, demikian seterusnya samapi instar XV. Setelah itu berubahlah menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989).


(33)

13

Gambar 5. Larva artemia (Mudjiman, 1989)

Larva yang baru saja menetas masih dalam tingkatan instar I. Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan cadangan. Oleh karena itu mereka masih belum perlu makan. Anggota badannya terdiri dari sepasang sungut kecil (antenula atau antena I) dan sepasang sungut besar (antena atau antena II). Di bagian depan di antara kedua sungut kecilnya terdapat bintik

merah, yaitu mata larva (oselus). Di belakang sungut besar terdapat sepasang

mandibulata (rahang) yang kecil, sedangkan di bagian perut (ventral) terdapat

labrum.


(34)

Sekitar 24 jam setelah menetas, larva akan berubah menjadi instar II. Pada tingkatan instar II, larva sudah mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur. Oleh karena itu mereka mulai mencari makanan. Bersamaan dengan itu, cadangan makanannya juga sudah mulai habis. Pengumpulan makanannya mereka lakukan dengan menggerak-gerakkan antena II nya. Selain untuk mengumpulkan makanan, antena II tersebut juga berguna untuk bergerak.

Pada tingkatan selanjutnya mulai terbentuk sepasang mata majemuk, selain itu berangsur-angsur tumbuh tunas-tunas kakinya. Setelah menjadi instar XV, kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang, maka berakhirlah masa larva, dan berubah menjadi artemia dewasa.


(35)

15

c. Artemia dewasa

Artemia dewasa bentuknya telah sempurna dan menyerupai udang kecil dengan ukuran panjang sekitar 1 cm, dengan kaki yang sudah lengkap sebanyak

11 pasang yang secara khusus disebut torakopoda. Baik pada yang jantan

maupun yang betina, antena I nya (antenula) tetap saja sebagai sungut, yang fungsinya sebagai alat peraba. Pada artemia jantan, antena II berubah menjadi alat penjepit yang membesar dan berotot yang kegunaannya untuk berpegangan pada betina pada waktu menjelang perkawinan. Pada betina, antena II-nya mengalami penyusutan yang akhirnya berubah menjadi alat peraba. Di belakang

kaki torakopoda yang jantan terdapat sepasang alat kelamin luarnya (penis),

sedangkan pada yang betina terdapat sepasang indung telur (ovarium) yang

terletak di sebelah kanan dan kiri saluran pencernaan.


(36)

3. Lingkungan hidup artemia

Artemia tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 6° C atau lebih dari 35° C, tetapi hal ini sangat tergantung pada ras dan kebiasaan tempat hidup mereka. Pertumbuhan artemia yang baik berkisar pada suhu antara 25°C -30°C. Daya tahan artemia terhadap perubahan kandungan ion-ion kimia dalam air ternyata juga sangat tinggi. Apabila kandungan ion natrium dibandingkan dengan ion kalium di dalam air laut alami adalah 28, maka artemia masih dapat bertahan pada perbandingan antara 8-173 (Mudjiman, 1989).

Untuk perkembangan artemia yang baik, mereka membutuhkan kadar garam air yang tinggi sebab pada kadar garam yang tinggi itu musuh-musuhnya sudah tidak dapat hidup lagi, sehingga mereka akan dapat hidup lebih aman tanpa gangguan. Untuk pertumbuhan telur, ternyata dibutuhkan air yang kadar garamnya lebih rendah dari pada suatu batas tetentu. Batas ini berlainan untuk setiap jenis artemia. Secara umum, apabila kadar garam air lebih tinggi dari 85 permil, maka telur tidak akan dapat menetas karena tekanan osmosis di luar telur lebih tinggi sehingga telur tidak dapat menyerap air yang cukup untuk proses metabolismenya

yang semula berada dalam keadaan diapauze. (Mudjiman, 1989).

Artemia dapat hidup dan menyesuaikan diri pada tempat yang kadar oksigennya rendah atau mengalami kejenuhan oksigen. Pengaruh pH terhadap kehidupan artemia muda dan dewasa belum jelas namun berpengaruh terhadap

penetasan siste. Apabila pH untuk penetasan kurang dari 8, maka efisiensi penetasan

akan menurun. Siste banyak yang tidak menetas atau waktu penetasan lebih panjang


(37)

17

4. Siklus hidup artemia

Ditinjau dari segi cara berkembang biaknya, ada 2 jenis artemia yaitu jenis biseksual dan partenogenesis. Jenis biseksual tidak dapat berkembangbiak secara partenogenesis, demikian pula sebaliknya. Baik pada perkembangbiakan biseksual

maupun partenogenesis, keduanya dapat terjadi secara ovovivipar maupun ovipar

(Mudjiman, 1991).

Pada ovovivipar yang keluar dari induknya sudah berupa anak atau larva

yang dinamakan nauplius, jadi sudah langsung hidup sebagai artemia muda. Pada

cara ovipar yang keluar dari induknya berupa telur bercangkang tebal yang disebut

siste. Untuk menjadi nauplius harus melalui proses penetasan lebih dahulu

(Mudjiman, 1991).

Setelah sel telur masak menjadi oosit, dikeluarkan dari indung telur

kemudian masuk ke dalam saluran telur (oviduct). Di dalam kantung telur ini pada

perkembangbiakan secara biseksual perlu dibuahi lebih dahulu oleh sel kelamin

jantan (spermatozoid) agar dapat berkembang lebih lanjut. Namun pada

perkembangbiakan secara partenogenesis, pembuahan ini tidak diperlukan karena telur dapat berkembang lebih lanjut dengan sendirinya (Mudjiman, 1991).

Sel telur yang telah dibuahi di dalam uterus akan berkembangbiak lebih lanjut menjadi embrio melalui tingkatan blastula dan gastrula. Dalam keadaan lingkungan yang baik, gastrula akan berkembang lebih lanjut hingga menjadi larva yang akhirnya dikeluarkan dari tubuh induknya. Apabila keadaan lingkungannya buruk, perkembangannya berhenti sampai tingkat gastrula. Gastrula ini akan dibungkus dulu dengan cangkang telur yang kuat dan mengandung hematin yang


(38)

dihasilkan oleh kelenjar cangkang telur. Setelah itu barulah mereka dikeluarkan dari tubuh induknya berupa telur yang berbutir-butir (Mudjiman, 1991).

Proses pembentukan cangkang telur dimulai dengan memburuknya keadaan lingkungan terutama kadar oksigennya yang rendah. Pada lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah ini artemia akan kesulitan bernafas. Oleh karena itu untuk mengatasinya dibentuklah hemoglobin di dalam darahnya. (Mudjiman, 1991).

Artemia dapat hidup sampai 6 bulan. Sementara itu setiap 4-5 hari sekali mereka dapat beranak (pada lingkungan yang baik) atau bertelur (pada lingkungan yang buruk) sebanyak 50-300 ekor atau butir. Anak artemia sudah menjadi dewasa dalam waktu 14 hari (Mudjiman, 1991).


(39)

19

5. Penggunaan artemia pada metode BST

Artemia secara luas telah digunakan untuk pengujian aktivitas farmakologi ekstrak suatu tanaman. Artemia juga merupakan hewan uji yang digunakan untuk praskrining aktivitas antikanker di National Cancer Institude (NCI), Amerika Serikat. Uji BST dengan hewan uji artemia dapat digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor karena uji ini mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antitumor meskipun penggunaan artemia ini memang tidak spesifik untuk antitumor maupun fisiologis aktif tertentu (Anderson, Goets, and Laughin, 1991).

Artemia dapat digunakan sebagai hewan uji karena artemia memiliki

kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA

polymerases yang terdapat pada artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia

dan organisme ini juga memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+ dependent ATPase

(Solis et al., 1992).

DNA-dependent RNA polymerases merupakan DNA yang mengarahkan

proses transkripsi RNA yang bergantung pada RNA polymerases. Enzim ini

membuka pilinan kedua untai DNA sehingga terpisah dan mengkaitkannya bersama-sama nulkeotida RNA pada saat nukleotida-nukleotida ini membentuk pasangan-basa

di sepanjang cetakan DNA. Eukariotik mempunyai 3 macam RNA polymerases yaitu

mRNA (messenger RNA) yang merupakan pembawa kode genetik dari DNA ke

ribosom, tRNA (transfer RNA) yang berfungsi untuk menterjemahkan kodon dan

mengikat asam amino yang akan disusun menjadi protein dan mengangkutnya ke


(40)

ribosom. Jika RNA polymerases tersebut dihambat, maka DNA tidak dapat

mensintesis RNA dan RNA tidak dapat terbentuk sehingga sintesis protein juga dihambat. Protein merupakan komponen utama semua sel. Protein berfungsi sebagai unsur struktural, hormon, imunoglobulin, serta terlibat dalam kegiatan transport oksigen, kontraksi otot, dan lainnya (Nuswantari, 1998). Tidak terbentuknya protein dapat mengganggu metabolisme sel, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel.

Gambar 10. Kerja RNA polymerase dalam transkripsi (Michael, 2007)

Artemia juga memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+ dependent ATPase.

Na+ K+ ATPase merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis ATP menjadi ADP

serta menggunakan energi untuk mengeluarkan 3 Na+ dari sel dan mengambil 2 K+

ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP dihidrolisis. Na+ K+ ATPase ditemukan dalam

semua bagian tubuh. Aktivitas enzim ini dihambat oleh ouabaine. Adanya ouabaine

menyebabkan keseimbangan ion Na+ dan K+ tetap terjaga (homeostasis). Selain itu,

sekarang ini ouabaine juga digunakan untuk terapi payah jantung. Di dalam jantung,

Na+ K+ ATPase secara tak langsung mempengaruhi transport Ca2+ karena Na+


(41)

21

maka lebih sedikit Ca2+ intrasel dikeluarkan dan Ca2+ intrasel meningkat, sehingga

memudahkan kontraksi otot jantung (Ganong, 1995).

Gambar 11. Mekanisme kerja Na+and K+ ATP ase (Michael, 2007)

Jika suatu senyawa bekerja mengganggu kerja salah satu enzim ini pada artemia dan menyebabkan kematian artemia, maka senyawa tersebut bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian sel mamalia. Metode BST dengan hewan uji artemia tidak dapat digunakan untuk pengujian senyawa yang dalam mengganggu kerja salah satu enzim tersebut memerlukan aktivasi dalam sel mamalia, seperti 6-mercaptopurine yang harus dimetabolisme terlebih dahulu dalam sel mamalia. Sehingga jika senyawa 6-mercaptopurine diujikan pada artemia, maka akan

memberikan LC50 yang lebih besar dari 1000 (bersifat tidak toksik pada artemia)

(Solis et al.,1992).

Keuntungan penggunaan artemia sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu relatif singkat, dan konsentrasi kecil sudah dapat


(42)

D. Uji Toksisitas Akut

Toksisitas merupakan sifat relatif toksikan berkaitan dengan potensinya mengakibatkan efek negatif bagi makhluk hidup. Toksisitas juga dapat diartikan sebagai kualitas bersifat racun, khususnya derajad virulensi mikroba toksik atau racun (Nuswantari, 1998). Toksisitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi toksikan, durasi dan frekuensi pemaparan. Toksikan dapat menghasilkan efek negatif bagi semua atau sebagian dari tingkat organisasi biologis (populasi, individu, organ, jaringan, sel, biomolekul) dalam bentuk merusak struktur maupun fungsi biologis, baik secara akut, sub kronis maupun kronis (Halang, 2004).

Uji toksisitas akut merupakan uji toksisitas dengan pemberian suatu senyawa pada hewan uji pada suatu saat, atau suatu ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan tertentu dan diamati selama 24 jam (Loomis, 1978). Prosedur awal untuk menentukan toksisitas akut senyawa baru adalah dengan membuat suatu kisaran dosis untuk diberikan pada hewan uji. Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak 4 peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang belum memberikan efek kematian hewan uji sampai dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji (Donatus, 1990).

Adapun data yang diperoleh pada uji toksisitas dapat berupa data kuantitatif

yang dinyatakan dengan LD50 (median lethal dose) atau LC50 (median lethal

concentration). Harga LD50 dan LC50 suatu senyawa harus dilaporkan sesuai dengan

lamanya pengamatan. Bila lamanya pengamatan tidak ditunjukkan dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Loomis, 1978).


(43)

23

Tabel I. Perbedaan uji toksisitas akut, uji toksisitas sub kronis, dan uji toksisitas kronis

Hal Uji toksisitas akut Uji toksisitas sub

kronis

Uji toksistas kronis

Waktu singkat (24 jam) < 3 bulan > 3 bulan

Dosis tunggal berulang berulang

Tujuan menentukan efek

toksik suatu senyawa

melihat apakah spektrum efek toksik berkaitan dengan dosis

menegaskan KETT (takaran tertinggi yang tidak menimbulkan efek

toksik tertentu pada subjek uji)

E. Brine Shrimp Lethality Test

Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode pengujian awal

aktifitas antikanker suatu senyawa dengan menggunakan hewan uji Artemia salina L.

selama 24 jam. Uji toksisitas akut dengan hewan uji artemia ini dapat digunakan sebagai uji pendahuluan pada penelitian yang mengarahkan pada uji sitotoksik

karena ada kaitan antara uji toksisitas akut dengan uji sitotoksik jika harga LC50 dari

uji toksisitas akut lebih kecil dari 1000 μg/ml. Parameter yang digunakan untuk

menunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada artemia adalah kematian.

Tingkat toksisitas dari ekstrak dapat ditentukan dengan melihat harga LC50.

Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Dari persentase data kematian larva

artemia dikonversikan ke nilai probit untuk menghitung harga LC50. Apabila harga

LC50 < 1000 μg/ml maka senyawa dapat dikatakan toksik. Apabila pengujian dengan

larva artemia menghasilkan harga LC50 < 1000 μg/ml maka dapat dilanjutkan dengan

pengujian antikanker menggunakan biakan sel kanker. Cara ini akan menghemat

waktu dan biaya penelitian (Meyer et al., 1982). Metode ini juga masih sering


(44)

F. Kanker

Kanker merupakan suatu penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada organisme multiseluler (Nafrialdi dan Ganiswarna, 1995). Sel-sel kanker akan terus membelah diri, terlepas dari pengendalian pertumbuhan dan tidak lagi menuruti hukum-hukum pembiakan. Sel-sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitarnya (invasi) dan dapat menyebar ke seluruh jaringan (metastasis). Selain itu sel kanker juga kehilangan fungsinya dan bersifat destruktif/merusak sel lainnya (Schunack, 1990).

Tahap-tahap pembentukan sel kanker adalah

1. inisiasi yaitu tahap pembentukan metabolit reaktif yang mampu berikatan secara

kovalen dengan DNA sehingga menyebabkan terjadinya mutasi pada DNA

2. promosi yaitu ekspresi mutasi yang dapat menyebabkan perubahan fungsi seluler

(ekspresi gen dan fungsi reseptor) serta pertumbuhan neoplasma (sel yang pertumbuhannya tidak normal)

3. progresif yaitu manifestasi pertumbuhan dan perkembangan tumor menjadi ganas

(kanker) dengan invasi dan metastasis

Pada organisme eukariotik, terdapat empat fase dalam siklus sel yaitu

1. fase Gap 1 (G1) atau fase pascamitosis merupakan fase awal dimana terjadi

sintesis asam ribonukleat dan protein

2. fase Sintesis (S) dimana terjadi replikasi identik dari DNA sehingga dihasilkan

dua set komplit DNA

3. fase Gap 2 (G2) atau fase pramitosis merupakan fase persiapan untuk memasuki


(45)

25

4. fase Mitosis (M) merupakan fase dimana material inti diturunkan identik kepada

sel anak, yang ditandai dengan pembagian kromosom dan dihasilkan dua sel anakan

Untuk selanjutnya sel dapat memasuki fase G0 dan dapat juga masuk

kembali ke fase G1. Hormon pertumbuhan, cyclins dan Cdk (cyclin dependent

kinase) merupakan sinyal transduksi yang dapat memacu sel untuk memasuki daur sel kembali. Sedangkan protein penekan tumor (misalnya p53), dan Cdk inhibitor

akan memacu sel untuk memasuki fase istirahat (G0). Pada sel kanker, tidak terdapat

p53 atau jumlah p53 kurang (antara lain karena terjadinya mutasi p53), sehingga sel

kanker tidak dapat memasuki fase G0 dan sel tersebut akan memasuki siklus sel

dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga sel akan terus membelah (Schunack, 1990).


(46)

Karsinogen dapat merangsang pembentukan kanker. Beberapa karsinogen yang diduga dapat menaikkan resiko terjadinya kanker antara lain senyawa kimia (zat karsinogen), faktor fisika (radiasi bom atom dan radioterapi agresif), virus (virus hepatitis B dan C), dan hormon (Dalimartha, 2003).

Sebagai langkah pengobatan, telah banyak dilakukan penanganan terhadap para penderita kanker, baik secara medis maupun tradisional. Obat antikanker diharapkan memiliki toksisitas selektif, artinya menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal (Nafrialdi dan Ganiswarna, 1995).

Senyawa-senyawa aktif dari berbagai macam tanaman telah banyak digunakan untuk mengobati kanker. Lebih dari 1400 macam tanaman digunakan

untuk mengobati kanker, misalnya Phyllanthus acuminatus, Marati oreganos,

Catharanthus roseus, dan masih banyak tanaman yang lain (Evans, 2002). Senyawa

aktif antikanker tersebar luas pada tanaman tingkat tinggi meliputi berbagai golongan senyawa seperti flavonoid, alkaloid, saponin, oligosakarida, kuasinoid, terpenoid dan polifenol (Cheng, 2003).

G. Penyarian

Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Untuk melakukan penyarian harus diketahui zat aktif yang dikandungnya sehingga mempermudah pemilihan cairan penyari serta cara penyarian yang tepat (Anonim, 1986).

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan


(47)

27

menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat akan didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).

Maserasi pada umumnya dilakukan dengan memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam bejana kemudian dituangi 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan. Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus menerus dapat mempersingkat waktu maserasi menjadi 6-24 jam (Anonim, 1986).

H. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan terdiri dari bahan berbutir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan yang ditotolkan pada fase diam dan hasil totolannya berupa bercak atau pita. Setelah itu pelat dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi fase gerak yang cocok. Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler/


(48)

pengembangan. Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan atau dideteksi (Stahl, 1985).

Fase diam pada kromatografi lapis tipis terdiri dari bahan padat atau serbuk halus yang terbuat dari kaca, polimer, atau logam. Larutan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum. Penyerap yang umum adalah silika gel, aluminium oksida, kieselguhr, poliamida, selulosa dan turunannya. Untuk analisis, tebal penyerap 0,1-0,3 mm. Sebelum digunakan, lapisan penyerap disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas dari uap lain (Stahl, 1985).

Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri dari satu atau beberapa pelarut yang bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan yang berpori yang disebabkan adanya gaya kapiler. Pelarut yang digunakan hanyalah yang memiliki tingkat mutu analitik dan apabila diperlukan dapat digunakan pelarut yang merupakan campuran sedikit mungkin pelarut dan paling banyak terdiri dari tiga jenis pelarut (Stahl, 1985).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi biasanya dinyatakan dalam angka Rf atau hRf, dimana angka tersebut dapat digunakan untuk identifikasi senyawa yang dianalisis. Harga Rf merupakan karakteristik KLT. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan dua bercak dengan harga Rf dan ukuran yang hampir sama. Harga Rf untuk suatu senyawa dapat dibandingkan dengan harga standar (Stahl, 1985).

Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf=


(49)

29

Deteksi bercak pada lempeng kromatografi yang telah dikembangkan dapat menggunakan sinar UV 254 nm dan UV 365 nm dan pereaksi semprot. Deteksi paling sederhana adalah dengan sinar UV pada lapisan yang mengandung indikator fluoresensi, terbatas pada senyawa yang mempunyai cincin aromatik dan ikatan rangkap terkonjugasi. Apabila dengan sinar UV senyawa tidak terdeteksi, maka digunakan pereaksi semprot yang sesuai (Stahl, 1985).

I. Landasan Teori

Tembelekan merupakan salah satu tumbuhan obat yang banyak digunakan masyarakat untuk menghilangkan tumor dan dilaporkan toksik pada binatang yang memakan daunnya. Toksisitas tumbuhan tembelekan dihubungkan dengan pentasiklik triterpenoid dan flavonoid yang terkandung didalamnya. Flavonoid dan pentasiklik triterpen dalam tumbuhan tembelekan larut dalam etanol.

Untuk mengetahui toksisitas daun tumbuhan tembelakan digunakan metode

Brine Shrimp Lethality Test yang merupakan metode pengujian bioaktivitas suatu

bahan dengan organisme uji berupa larva artemia. Larva artemia digunakan karena

memiliki kesamaan sistem enzim pada mamalia antara lain DNA-dependent RNA

polymerase dan ouabaine sensitive Na+ and K+ dependent ATPase. Suatu senyawa

dikatakan toksik jika mempunyai LC50 kurang dari 1000 μg/ml. Jika suatu senyawa

berefek toksik terhadap larva artemia, maka senyawa tersebut dapat diuji lebih lanjut menggunakan biakan sel kanker untuk mengetahui efeknya sebagai antikanker.


(50)

J. Hipotesis


(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis eksperimental murni dengan rancangan

Postest Only Control Group Design.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas

Ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang diujikan pada larva

artemia dengan konsentrasi 40, 52, 68, 88, dan 114 μg/ml.

b. Variabel tergantung

Jumlah kematian larva artemia setelah pemberian ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan.

c. Variabel pengacau terkendali

1) Faktor lingkungan tempat percobaan yaitu sinar lampu 5 Watt; suhu penetasan

yaitu 25°C-30°C; pH air laut buatan yaitu antara 8-9; dan kadar garam 5

permil.

2) Faktor hewan uji yaitu umur larva artemia (48 jam).

3) Faktor tumbuhan yaitu jenis atau varietas tumbuhan tembelekan. d. Variabel pengacau tidak terkendali

Kondisi lingkungan tempat tumbuh tumbuhan tembelekan.


(52)

2. Definisi operasional

a. Daun tumbuhan tembelekan yang digunakan adalah daun tumbuhan tembelekan

yang masih muda, yang merupakan daun ke-4 sampai ke-5 dari ujung tangkai. b. LC50 (lethal concentration-50) merupakan kadar senyawa uji yang mampu

mengakibatkan terbunuhnya 50% jumlah hewan uji dan ditentukan setelah 24 jam perlakuan.

c. Larva artemia merupakan larva yang telah berumur 48 jam dari penetasan telur

artemia.

d. Ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan merupakan ekstrak kering yang

diperoleh dengan menyari menggunakan etanol p.a. dengan cara maserasi.

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

a. Bahan utama

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh pada bulan Agustus di belakang RSJ Grahasia, Pakem, Sleman, Yogyakarta.

b. Bahan untuk ekstraksi

Bahan yang digunakan untuk penyarian yaitu etanol pro analysis.

c. Bahan untuk BST

Bahan yang digunakan untuk uji BST antara lain telur artemia Viper

(Jeannie Hoo., LTD, China), air laut buatan berkadar garam 5 per mil, ekstrak


(53)

33

d. Bahan untuk air laut buatan

Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berderajad teknis, yaitu natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, dan natrium bikarbonat, serta aquadest, aquadest bebas

CO2 dan aquadest panas.

e. Bahan untuk KLT

1) Flavonoid. Bahan yang digunakan antara lain selulosa, n-butanol, asam asetat, aquadest, ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan, pembanding rutin 1%, uap

ammonia, dan pereaksi AlCl3.

2) Triterpenoid. Bahan yang digunakan antara lain silika gel GF 254 (MERCK), toluene, etil asetat, ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan, ekstrak etanol

Liquiritiae Radix dan pereaksi semprot vanillin asam sulfat.

2. Alat penelitian

Alat yang digunakan antara lain shaker (Innova 2100), vacuum rotary

evaporator (Janke & Kunkel), neraca analitik (Mettler Toledo AB 204), mikropipet

50 μl dan 200-1000 μl (Socorex ISBA S.A), waterbath (Memert), aquarium penetas

artemia (lokal), aerator (Niko Nk 1200), lampu 5 watt (dop), bejana kromatografi, alat semprot, lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 254 nm dan 365 nm,

gelas ukur (Pyrex), gelas Beaker (Pyrex), Erlenmeyer (Pyrex), cawan porselen,

flakon, pipet khusus BST, pipet tetes, pipet ukur, pipet volume, batang pengaduk, dan sendok.


(54)

D. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tumbuhan tembelekan

Determinasi tumbuhan tembelekan bertujuan untuk memastikan bahwa

tumbuhan yang digunakan adalah Lantana camara L.. Determinasi dilakukan di

Laboratorium Kebun Obat, Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta dengan

menggunakan buku acuan menurutBecker and Backhuizen (1963).

2. Pengumpulan bahan

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh pada bulan Agustus 2006 di belakang RSJ Grahasia, Pakem, Yogyakarta.

3. Penyiapan bahan

Daun tumbuhan tembelekan yang sudah diambil dicuci dengan air yang mengalir, lalu dianginkan. Jika sudah bersih, daun dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan ditutupi kain hitam. Daun diasumsikan kering apabila daun diremas sudah dapat hancur. Setelah kering daun diserbuk dan diayak.

4. Maserasi

Sebanyak 30 gram serbuk daun tumbuhan tembelekan ditimbang dan dimasukkan dalam Erlenmeyer dengan ditambah 225 ml etanol p.a.. Erlenmeyer

ditutup dengan aluminium foil, lalu diletakkan pada mesin pengaduk (shaker) dengan

laju konstan (130 rpm) selama 24 jam lalu larutan disaring dengan kertas saring. Maserat ditampung dan disimpan pada suhu kamar sedangkan ampasnya dimaserasi

lagi dengan 225 ml etanol p.a. menggunakan shaker 130 rpm selama 24 jam, lalu

disaring dan maserat ditampung untuk digabungkan dengan maserat hasil maserasi 24 jam pertama.


(55)

35

Maserat yang terkumpul lalu dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator

sampai kental (volume kira-kira 1/3 nya). Setelah itu, dengan menggunakan cawan

porselen yang sudah ditimbang terlebih dahulu, ekstrak diuapkan di atas waterbath

dengan suhu 50°C dan dengan kipas angin sampai didapatkan ekstrak kering.

5. Pembuatan air laut buatan

Bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berkadar garam 5

per mil yaitu 5 g NaCl; 1,3 g MgSO4; 1 g MgCl2; 0,3 g CaCl2; 0,2 g KCl; dan 2 g

NaHCO3 dicampur dalam 1 liter aquadest. Bahan-bahan sebagian dilarutkan dalam

sebagian aquadest dalam labu takar 1 liter. Khusus untuk MgSO4 dilarutkan dalam

air panas, sedangkan NaHCO3 dilarutkan dengan air bebas CO2. Lalu ditambah

aquadest sampai volume 1 liter (Mudjiman, 1991).

6. Penetasan siste artemia

Artemia ditetaskan dengan media air laut buatan berkadar 5 per mil. Siste

artemia ditetaskan dalam aquarium yang disekat menjadi dua bagian, bagian terang

dan gelap, dengan sekat berlubang. Siste artemia ditaburkan pada bagian gelap

aquarium. Siste akan menetas setelah ± 24-39 jam lalu menjadi larva (Mudjiman,

1991). Larva yang aktif akan bergerak menuju tempat terang melalui lubang pada sekat. Setelah 48 jam, larva diambil menggunakan pipet, digunakan sebagai hewan

uji (Meyer et al., 1982).

7. Penyiapan sampel untuk uji toksisitas

Ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan dibuat seri konsentrasi 40, 52,

68, 88, dan 114 μg/ml. Kelompok ini merupakan kelompok perlakuan. Selain itu


(56)

yang sama dengan jumlah ekstrak etanol yang ditambahkan dalam tiap-tiap flakon. Dilakukan 5 kali replikasi untuk masing-masing seri konsentrasi.

8. Pembuatan larutan sampel

a. Pembuatan larutan A dan larutan B

Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan

menimbang 100,0 mg ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi

1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan

dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml. b. Pembuatan larutan sampel

Dari larutan B, dibuat seri konsentrasi 40, 52, 68, 88, dan 114 μg/ml.

Tabel II. Seri konsentrasi larutan sampel daun tumbuhan tembelekan

Konsentrasi larutan stok

(C1)

(μg/ml)

Volume larutan stok yang diambil

(V1)

(ml)

Volume air laut buatan yang ditambahkan

(V2)

(ml)

Konsentrasi larutan sampel yang

diujikan

(C2)

(μg/ml)

0,2 5 40 0,26 5 52 0,34 5 68 0,44 5 88 1000

0,57 5 114

9. Uji toksisitas akut dengan BST

Sepuluh ekor larva artemia yang telah berumur 48 jam diambil, dimasukkan dalam flakon yang berisi sampel dengan konsentrasi tertentu yang sebelumnya telah dikeringanginkan, kemudian ditambahkan air laut buatan sebanyak 3 ml. Lalu ditambah 1 tetes suspensi ragi (3mg ragi dalam 5ml ALB) sebagai makanan dan air


(57)

37

laut buatan sampai 5 ml. Setiap pengujian selalu disertai dengan kontrol dan tiap konsentrasi dibuat dalam 5 kali replikasi. Flakon dijaga agar selalu mendapat penerangan. Setelah 24 jam, jumlah larva yang mati dihitung untuk mengetahui nilai

probit dan dianalisis untuk mengetahui harga LC50 (Meyer et al., 1982).

10. Uji KLT ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

Pada lempeng KLT ditotolkan masing-masing sebanyak 3 totol ekstrak

(larutan A) dan pembanding dengan menggunakan mikropipet 5 μl. Setelah totolan

kering, lempeng dimasukkan dalam bejana yang berisi fase gerak yang telah jenuh lalu dielusi sampai jarak rambat 10 cm lalu diangkat dan dikeringkan. Setelah itu elusi yang terjadi diamati dengan melihat bercak yang timbul. Sistem KLT yang digunakan adalah sebagai berikut

a. flavonoid

1). fase diam : selulosa

2). fase gerak : n-butanol:asam asetat:air (4:1:5 v/v fase atas)

3). pembanding : rutin

4). deteksi : visibel, UV 254 nm dan UV 365 nm sebelum dan

sesudah diuapi amonia dan dengan pereaksi AlCl3

b. triterpenoid

1). fase diam : silika gel GF 254 (MERCK)

2). fase gerak : toluen:etil asetat (93:7 v/v)

3). pembanding : ekstrak etanol Liquiritiae Radix

4). deteksi : visibel, UV 254 nm dan UV 365 nm, dan vanillin


(58)

11. Analisis hasil

Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis

menggunakan analisis probit SPSS untuk menghitung harga LC50. Dalam

perhitungan analisis probit secara manual, konsentrasi ditransformasikan menjadi log konsentrasi (sebagai nilai x) dan % kematian ditransformasikan menjadi nilai probit

(sebagai nilai y). Setelah didapatkan persamaan garis data di atas, dicari nilai LC50

dengan menghitung nilai x pada y=5. Setelah itu, nilai x di anti-log kan untuk mendapatkan konsentrasi dimana dapat membunuh 50% hewan uji.

Jika pada kontrol ada artemia yang mati, maka persen kematian ditentukan

dengan rumus Abbot :

% kematian pada perlakuan – % kematian pada kontrol

% kematian = X 100%

100 – % kematian pada kontrol


(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tumbuhan

Determinasi pertama-tama dilakukan dengan melihat ciri-ciri morfologi tumbuhan secara keseluruhan yaitu daun, bunga, batang yang kemudian dicocokkan dengan menggunakan kunci determinasi menurut Becker and Bakhuizen (1963). Determinasi dilakukan untuk memastikan kebenaran tumbuhan yang akan digunakan dalam penelitian.

Berdasarkan determinasi yang telah dilakukan (lampiran 1), diperoleh kesimpulan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah benar-benar tumbuhan

tembelekan (Lantana camara L.).

B. Pengumpulan dan Pengeringan Bahan

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh dari tumbuhan tembelekan yang

diambil di belakang RSJ Grahasia, Pakem. Lokasi tumbuh diusahakan sama untuk

menghindari variasi kandungan kimia yang terlalu besar karena perbedaan kondisi lingkungan. Daun yang diambil merupakan daun ke-4 sampai ke-5 dari ujung tangkai. Pemilihan ini bertujuan agar daun yang digunakan memiliki umur yang relatif sama sehingga kadar senyawa aktifnya tidak berbeda secara bermakna (Anonim, 1985). Daun tumbuhan tembelekan diambil dalam keadaan segar pada kondisi sedang berbunga karena pada saat itu kandungan kimia mencapai kadar optimum sehingga senyawa aktif yang terbentuk juga dalam keadaan optimal (Anonim, 1985).


(60)

Daun tumbuhan tembelekan yang telah dikumpulkan lalu dibersihkan dan dicuci dengan air mengalir. Pencucian dengan air mengalir ini bertujuan agar tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada daun dapat terlepas serta tidak menempel lagi. Kemudian daun diangin-anginkan lalu dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan ditutup menggunakan kain hitam agar senyawa aktif yang terdapat didalamnya tidak rusak. Pengeringan bertujuan untuk mempermudah pembuatan serbuk, menurunkan kadar air sehingga tidak ditumbuhi jamur, dan menjamin agar kualitasnya tetap baik sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Reaksi enzimatis serta perubahan kimiawi juga dapat diminimalkan, sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam daun tumbuhan tembelekan tidak hilang terurai (Anonim, 1986).

Pengeringan daun dapat dihentikan jika kadar air yang terkandung dalam simplisia kurang dari 10% karena reaksi enzimatis yang dapat menguraikan senyawa aktif sudah tidak berlangsung (Anonim, 1985). Untuk mengetahui kapan proses pengeringan dihentikan juga dapat dilakukan dengan meremas daun sampai dapat hancur. Jika kadar air dalam daun masih tinggi, maka daun tersebut masih lemab dan jika diremas tidak hancur.

Simplisia yang telah kering kemudian diserbuk menggunakan blender. Pembuatan serbuk ini bertujuan untuk memperluas permukaan yang kontak dengan cairan penyari sehingga kandungan kimia yang terlarut dalam proses penyarian lebih banyak dan penyarian dapat berlangsung lebih sempurna (Anonim, 1986). Maka semakin halus serbuk simplisia seharusnya semakin baik penyariannya. Tetapi dalam pelaksanaannya tidak selalu demikian. Pada proses perkolasi, bila serbuknya terlalu


(61)

41

halus akan termampatkan, cairan penyari akan sulit menembus pori-pori serbuk sehingga penyarian tidak sempurna. Dalam penelitian ini, digunakan metode

maserasi dengan pengadukan terus menerus menggunakan shaker sehingga serbuk

tidak termampatkan. Oleh karena itu, masing-masing simplisia perlu ditetapkan derajat halus yang paling tepat untuk memperoleh hasil penyarian yang baik. Pada penelitian ini digunakan pengayak dengan no mesh 11 yang artinya dalam 1 inci tercapat 11 lubang. Pengayak ini digunakan karena dihasilkan serbuk yang dapat digunakan pada metode maserasi dengan pengadukan, dimana proses penyarian berjalan dengan baik.

C. Maserasi Daun Tumbuhan Tembelekan

Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga di dalam cairan penyari terdapat zat aktif. Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar serbuk simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya perbedaan konsentrasi yang sebesar-besarnya antara larutan dalam sel dengan larutan diluar sel. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar pula daya dorong untuk memindahkan massa dari dalam sel ke dalam cairan penyari (Anonim, 1986).

Maserasi dilakukan dengan memasukkan ke dalam bejana 10 bagian simplisia dengan derajad halus yang cocok kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari. Maserasi dengan menggunakan mesin pengaduk yang berputar terus


(62)

menerus dilakukan 6 sampai 24 jam (Anonim, 1986). Dalam penelitian ini digunakan 30 gram serbuk daun tembelekan dan 225 ml etanol p.a. yang dimasukkan dalam Erlenmeyer yang ditutup dengan aluminium foil. Hal ini bertujuan agar larutan penyari (etanol p.a.) tidak menguap terlebih dahulu, sehingga penyarian dapat

maksimal. Lalu diletakkan pada mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130

rpm) selama 2 x 24 jam, dengan tiap 24 jam mengganti pelarut. Penyarian dilakukan dengan laju 130 rpm yang diasumsikan merupakan putaran yang optimum. Penyarian dilakukan selama 2 x 24 jam untuk memastikan bahwa zat aktif yang terkandung dalam ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan sudah tersari dengan sempurna.

Pada penelitian ini didapatkan maserat sebanyak 450 ml. Untuk

mendapatkan ekstrak etanol kering maka etanol diuapkan menggunakan vaccum

rotary evaporator hingga kental (± 100 ml), kemudian dipekatkan di waterbath

dengan suhu 60° C menggunakan cawan porselen yang sebelumnya telah ditara.

Vaccum rotary evaporator digunakan karena dengan alat ini kita dapat mengatur tekanan alat (175 mmHg untuk etanol), sehingga hanya etanol saja yang menguap, senyawa lain yang terkandung di dalam ekstrak diharapkan tidak ikut menguap. Suhu

60° C merupakan suhu optimal untuk penguapan di atas waterbath. Jika suhu terlalu

tinggi, dapat menyebabkan senyawa aktif yang terdapat didalamnya rusak.

Dari penyarian ini didapatkan 2,27 gram ekstrak kering. Cawan porselen yang berisi ekstrak kemudian ditutup dengan aluminium foil lalu dimasukkan dalam eksikator. Dalam eksikator tidak ada air dan udara yang masuk, yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan senyawa dalam ekstrak tersebut atau dapat merusak senyawa oleh adanya bakteri atau cendawan. Selain itu, dapat juga menarik


(63)

43

sisa air yang mungkin masih tertinggal dalam ekstrak karena proses pengeringan yang kurang sempurna.

D. Pembuatan Air Laut Buatan (ALB)

Pembuatan ALB bertujuan untuk menyesuaikan lingkungan hidup artemia sehingga hampir sama dengan air laut alami. Untuk membuat ALB diperlukan natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, dan natrium bikarbonat. Semua bahan dilarutkan dengan aquadest kecuali natrium bikarbonat yang dilarutkan dengan air bebas karbondioksida dan magnesium

sulfat yang dilarutkan dalam aquadest panas agar lebih mudah larut. Penetasan siste

sangat dipengaruhi oleh pH karena pemecahan cangkang siste dibantu oleh kegiatan

enzim penetasan yang membutuhkan pH antara 8 sampai 9. Larutan natrium bikarbonat dalam air bebas karbondioksida dicampurkan terakhir agar tidak terjadi kekeruhan.

Jika semua bahan telah larut, larutan tersebut kemudian dipindahkan dalam labu ukur 1000 ml dan ditambahkan aquadest sampai tanda. Setelah itu, labu digojog hingga larutan tercampur.

Air laut buatan yang dibuat memiliki kadar garam 5 per mil yang artinya dalam 1 ml aquadest mengandung 5 mg natrium klorida. Diperlukan kadar 5 per mil

karena pada kadar tersebut, siste artemia menetas secara optimal (Mujiman, 1989).

Peningkatan kadar garam yang mendadak dari 5 permil menjadi 35 permil juga tidak akan mempengaruhi kehidupan artemia, sebab mereka mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan kadar garam. Bahkan dapat lebih dari 35 permil, misalnya


(64)

sampai 140 permil. Hal ini disebabkan karena artemia mempunyai kelenjar garam, yang dapat mengatur penyesuaian diri terhadap perubahan kadar garam. Dalam penelitian ini tidak diperlukan air laut berkadar garam tinggi karena kondisi penelitian sudah dikendalikan (tidak ada pemangsa artemia).

E. Penetasan Siste Artemia

Air laut buatan yang akan digunakan untuk menetaskan siste diaerasi

dahulu selama 2 jam. Aerasi ini bertujuan untuk memberikan oksigen yang cukup bagi kelangsungan hidup artemia. Aquarium yang digunakan adalah aquarium khusus BST, yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian gelap dan bagian terang, yang dipisahkan oleh sekat berlubang. Air laut buatan yang telah diaerasi dituangkan ke dalam aquarium pada bagian sekat gelap, dengan ketinggian di atas sekat bagian

bawah. Hal ini dilakukan agar ketika siste telah disebarkan tidak mengalir ke bagian

terang. Siste artemia disebarkan ke bagian gelap.

Sebelum penetasan (sebelum siste ditaburkan dalam aquarium), siste

direndam 1 jam dalam aquadest. Perendaman ini dimaksudkan agar terjadi

penyerapan air ke dalam siste. Siste artemia yang kering yaitu yang menpunyai kadar

air kurang dari 10% berisi embrio dalam keadaan diapauze yaitu dalam keadaan

metabolisme terhenti untuk sementara. Dengan perendaman terjadi penyerapan air

sehingga dalam waktu satu jam kadar air dalam siste diperkirakan sudah mencapai

lebih dari 65%, yang mengakibatkan metabolisme embrio yang semula berada dalam

keadaan diapauze menjadi aktif kembali. Setelah direndam kemudian siste disaring,


(1)

Lampiran 8. Jurnal penggunaan uji Brine Shrimp Lethality Test

Jou r n a l of D e n t ist r y

Volum e 28, I ssue 5 , June 2000, Pages 341- 345 doi: 10.1016/ S0300- 5712( 00) 00007- 5

Copyr ight © 2000 Elsev ier Science Lt d. All r ight s reserved

A new screening test for toxicity testing of dental

materials

M. Pelka, C. Danzl, W. Distler and A. Petschelt

Policlinic for Operative Dentistry and Periodontology, University of Erlangen-Nuremberg, Glueckstr. 11, D-91054 Erlangen, Germany

Received 7 May 1999; revised 16 August 1999; accepted 29 November 1999. Available online 24 April 2000.

Abstract

Objectives: The development of a micro plate assay for cytotoxicity testing of dental materials based on a bioassay using brine shrimp larvae (artemia salina) as sensitive organisms.

Methods: Brine shrimp larvae are commonly used for cytotoxicity assays in

pharmacology. These larvae are sensitive to toxic substances. The ratio between dead larvae (no motility) and living larvae (high motility) in comparison to a control without any toxic substances is used to estimate the toxicity of the test solutions. The test materials (Arabesk®, Solitaire®, Pertac® II, Tetric®, Herculite® and the compomer materials Dyract®, Hytac®, Compoglass®) were polymerized and

consecutively milled. After incubation of 1 g in 4 ml distilled water at 37°C for 48 h, the solid materials were separated by centrifugation. The solutions were equibrilated with NaCl to a salt content of 25 g/l. Aliquots of 200 μl were distributed in eight micro wells and 50 μl of a artemia salina containing (n=8–14) solution were added to each well. As controls eight wells with 250 μl salt solution containing a comparable number of brine shrimp were used. At baseline, after 2, 5, 24 and 48 h, the dead shrimp were counted using a stereo microscope. Finally all shrimps were sacrificed using Na-acid (5%) and counted to get the number of shrimps per well.

Results: All compomers and Solitaire caused 100% brine shrimp lethality after 24 h and showed significantly (p<0.01, signed rank test) higher toxicities than the remaining composites. With the exception of Pertac II, all composites showed


(2)

significantly higher toxic values than the control. Pertac II did not show any differences from the controls used.

Conclusions: This new technique has some advantages for toxicity testing of restorative materials, because it can quickly be carried out at low costs. The disadvantage is the high quantity of material used and the low sensitivity. Author Keywords: Elution; Monomer; Cytotoxicity; Artemia salina

Corresponding author. Tel.: +49-9131-8536310; fax: +49-9131-8533603; email:


(3)

Journal of the Chilean Chemical Society

ISSN 0717-9707 versi on-line

SECONDARY METABOLITES FROM FOUR MEDICINAL PLANTS FROM NORTHERN CHILE: ANTIMICROBIAL ACTIVITY AND BIOTOXICITY AGAINST Artemia salina.

GLAUCO MORALES * , PATRICIA SIERRA, ARLETT MANCILLA, ADRIN PAREDES, LUIS A. LOYOLA, OSCAR GALLARDO AND JORGE BORQUEZ

Laboratorio de Productos Naturales , Departamento de Qu ca , Facultad de Ciencias B cas , Universidad de Antofagasta, Casilla 170 . Antofagasta , Chile.

[email protected]

( Received : June 20, 2001 Accepted : October 15,2002 ) ABSTRACT

Antibacterial activity and biotoxicity against Artemia salina of chloroform and alcohol extracts and isolated products from four plants used in ethnomedicine in northern Chile is reported. Nine compounds already identified were isolated from aerial parts of Artemisia copa Phil., Acantholippia punensis Botta, Ephedra andina Poepp. ex C. A . Mey and Haplopappus rigidus Phil : 3,5 dihydroxy 6, 7, 3', 4' tetramethoxyflavone, lupeol, β amyrine , β sitosterol, ephedrine, 2

ethylhexanol phthalate , 18 acetoxy cis cleroda 3,13 Z dien 15 oic acid, 5,4' dihydroxy 7 methoxyflavanone and 3,5,7 trihydroxy 6, 4' dimethoxyflavone. Key Words: Artemisia copa Phil.(copa-copa), Acantholippia punensis Botta. (rica rica) , Ephedra andina Poepp.ex C. A . Mey (pingo pingo), Haplopappus rigidus Phil. (baylahuen) , medicinal plants, flavonoids, terpenoids, antimicrobial activity

INTRODUCTION

Andean High Plateau in Northern Chile (Puna Atacame between 3,000 to 4,200 m above sea level, is an ecoregion characterized by a very low relative humidity, cloudless skies during most of the year, daily large temperature extremes and between summer and winter, and a rainfall season in summer known as the Altiplano Winter. Small and distant villages are present in this particular

ecological system. Ollague (2113' S, 6827' W) in the north and Socaire (2336' S, 6750' W) in the south, have a combined population of nearly 5,000 inhabitants1. This report provides information on the antimicrobial properties and toxicity against Artemia salina of alcohol and chloroform extracts and secondary

metabolites isolated from four medicinal plants used by Atacame communities 1

-8

: Artemisia copa Phil., ( Asteraceae ), Acantholippia punensis Botta ( Verbenaceae), Ephedra andina Poepp.ex C. A . Mey ( Ephedraceae) and


(4)

Haplopappus rigidus Phil ( Asteraceae).

Microbial resistance to antibiotics in use nowadays provides the need for the search of new compounds with potential effects against pathogenic bacteria 9-10. Infusions of Artemisia copa ( copa copa) are used against abdominal, liver and kidneys pains. Acantholippia punensis ( rica rica) infusions are used against colds, stomach and liver discomforts and to improve blood circulation. Ephedra andina ( pingo pingo ) infusions are used against asthma, liver and urinary bladder discomforts and as antitussive and decongestant alternative. Haplopappus rigidus ( bailahu鮠) infusions are used to prevent or as a cure of liver and

gastrointestinal disorders and as a sexual stimulant. RESULTS AND DISCUSSION

Shows the results obtained after the evaluation of the antimicrobial activity of four medicinal plants extracts from Northern Chile :Artemisia copa Phil., Acantholippia punensis Botta , Ephedra andina Poepp.ex C. A . Mey and Haplopappus rigidus Phil. and 3 isolated products.

Inhibition zone measurements using the filter paper disks method showed that chloroform and alcohol extracts have interesting effects against Gram positive bacteria (Staphylococcus aureus (ATCC 25923), Enterococcus faecalis (ATCC 29212), Bacillus subtilus (ATCC 6633)). Their effects were negligible against Gram negative bacteria (Acinetobacter baumanni (ATCC 19606), Salmonella typhi (ATCC 3492), Escherichia coli (ATCC 25922), Pseudomona aeruginosa (ATCC 27853)) and Candida albicans (ATCC 10231). Growth of Staphylococcus aureus and Bacillus subtilus was affected by the four plants extracts and the effect was much higher on Bacillus subtilus. Only extracts from Acantholippia punensis (rica rica) showed inactivation of Enterococcus faecalis. Artemisia copa ( copa copa) , used against stomach, liver and spleen discomforts, was active against 7 out of 8 strains used in this study, including Candida albicans. These results could be related to the used of these plants as a remedy against urinary and intestinal infections by the Atacame people; however, isolated, purified products were inactive. Compound 6, (2 - ethyl) hexanol phthalate, showed the highest activity against S. aureus, B. subtilus and C.albicans. β - sitosterol ( Compound 4) and β - amyrine showed a marginal activity against E. coli.

The four plants extracts were highly toxic to Artemia nauplii and LD50 values ranged

from 0.023 to 7.29 mg / mL. Ephedra andina ( pingo pingo) extract was the most toxic. Only three compouds showed biotoxicity levels below 300 mg/mL and b -amyrine had the highest activity.

Compound 1 was isolated from Artemisia copa and its flavonoid nature was confirmed by its physical and spectroscopic properties. Its molecular formula, C 19H 18 O 8 , based on mass spectroscopy, is in agreement with the information inferred


(5)

located at C 5 ( d 12.65). The flavonol nature comes from the resonance values of C 2 , C 3 and C 4 carbon atoms at ring C, δ 148.25 , 138.61 and 178.80, respectively, in agreement with this flavonoid class. This information matches with that from 3,5 dihydroxy 6,7,3',4' tetramethoxyflavone 15.

Acantholippia punensis ( rica rica ) provided us with two isomeric, triterpenic natural products ( M+ 426). Compound 2 showed spectroscopic and physical properties identical to those described for 3β - hydroxylup- 20(29) en , known as lupeol 16-17 . According to the available data, Compound 3 is a 3β - hydroxyolean 12 - en known as β -amyrine 18

.

From Ephedra andina ( pingo pingo) we isolated three products . Compound 4, with a molecular formula C 29H50 O , showed physical and spectroscopic properties

identical to those described for b - sitosterol ( 3β stigmast 5 en 3 ol )19 - 20

. Compounds 5 and 6 were obtained from an extraction protocol for alcaloids isolation. Compound 5 was identical in all properties to a sample of () ephedrine , a well known antitussive and decongestant . Compound 6 was an aromatic ester (C24H34 O4 ,

1730, 1600 , 1580 cm-1). NMR spectra were central on structure determination since they showed a highly symmetrical molecule. The aromatic signals between d 7.70 and 7.52 ppm on the 1H NMR spectra have reazonable coupling constants for protons at the ortho- substituted ring. Signal at d 4.23 ppm is assigned to a methylene group geminal to the ester alcohol group. 2D NMR experiments allowed us to propose (2 - ethyl) hexanol phthalate as its molecular formula. This compound has been recently isolated as a natural product from Cassia auriculata 21.

Crystaline Compound 7 was isolated from Haplopappus rigidus (bailahu鮩 along other previously reported compounds: rigiduside (13 O β xylopiranosil 13 epimanool) 22, rigidusol (13 hydroxy 18 acetoxy cis clerode 3,14 dien) and desacetylrigidusol ( 13,18 dihydroxy cis clerode 3,14 dien)23.Its physical and spectroscopic properties indicated the presence of an ester and an acid group, both a, b unsaturated, which coincided with those described for 18 acetoxy cis clerode 3,13 Z dien 15 oic acid , a product we have isolated from Croton chilensis and its structure was confirmed by X rays crystalographic techniques24.

Properties of Compound 8 indicated it could be a flavonoid. Its uncolored crystals, optical activity and NMR spectra suggest a flavonone structrure and, considering the whole information available, its structure would be 5,4' dihydroxy 7 metoxyflavanone 25.

Finally, properties of Compound 9 are in agreement with those from 3,5,7 trihydroxy 4',6 dimethoxyflavone 26

© 2007 Sociedad Chilena de Qu ca Paicav 70, Depto. 19

P.O. Box 2613, Concepci Chile


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Natalia Sugianti dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 16 Desember 1984 sebagai putri pertama dari pasangan Jong Sugiyanto Setiyawan dan Lidia Setiati. Penulis menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak Karitas pada tahun 1989-1991, dan pada tahun 1997 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Karitas. Pada tahun 1997-2000, penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Purwokerto, dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Purwokerto pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata Satu (S1) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah penulis pernah menjadi panitia Pekan Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (PIMFI) dan panitia Lokakarya Kurikulum Program Profesi Universitas Sanata Dharma. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten Kimia Analisis (2006).