Pengaruh penghayatan kaul kemiskinanterhadap persaudaraan Suster Suster Misi dan Adorasi dari Santa Familia di Indonesia

(1)

i

PENGARUH PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN TERHADAP PERSAUDARAAN SUSTER-SUSTER

MISI DAN ADORASI DARI SANTA FAMILIA DI INDONESIA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Margareta Bulan Lejiu NIM: 091124006

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan Kepada:

Semua orang yang terlibat terlebih telah mendukung dan membantu dalam penyusunan skripsi ini. Orang-orang yang aku kasihi dan cintai; Kongregasi Suster-suster MASF di Indonesia, kedua orang tua dan kakak-kakakku, para dosen IPPAK-USD dan teman-teman yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk berkembang selama menempuh studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama

Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


(5)

v MOTTO

“Tuhan adalah Setia” (2 Tes 3: 3a)

“Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang,

tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. (Luk 9: 58).

“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang ada di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati”.


(6)

(7)

(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “PENGARUH PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN TERHADAP PERSAUDARAAN SUSTER-SUSTER MISI DAN ADORASI DARI SANTA FAMILIA DI INDONESIA”. Peneliti memilih judul ini berdasarkan keprihatinan terhadap gaya hidup suster-suster MASF yang terkesan kurang mampu dalam menghayati kaul kemiskinan sehingga berdampak pada persaudaran di Komunitas. Peneliti ingin memberikan sebuah sumbangan pemikiran untuk menanamkan semangat persaudaraan suster-suster MASF melalui penghayatan kaul kemiskinan.

Dalam konstitusi MASF “sebagai Kongregasi misi, kita mempunyai tugas lebih dari yang lain, yakni menjadi solider dengan semua orang di dunia, dengan mereka yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Oleh karena itu, kita hidup sederhana serta membatasi keinginan-keinginan kita” (Konst. No. 112). Seperti Yesus, kita diutus oleh Bapa untuk “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada para tawanan, membuka penglihatan bagi orang buta dan membebaskan orang-orang tertindas” (Luk 4: 18-19). Kita mencari inspirasi dari keluarga kudus, “ dalam setiap Komunitas, antar Komunitas dan antar tingkat pimpinan, hendaknya saling tukar pikiran dengan semangat kerjasama yang baik, juga di luar lembaga resmi dengan menghormati hak dan wewenang masing-masing” (Konst. 107).

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Dengan menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif, pengaruh penghayatan kaul kemiskinan terhadap semangat persaudaraan suster-suster MASF di Indonesia dapat diukur. Seluruh suster MASF di Indonesia yang berjumlah 60 menjadi populasi sekaligus responden di dalam penelitian ini. Untuk mengukur sikap responden, peneliti menggunakan kuesioner. Kuesioner berisikan 40 pernyataan mengenai penghayatan kaul kemiskinan dan 40 pernyataan mengenai persaudaraan. Uji validitas menunjukkan bahwa taraf signifikansi mencapai 5%. Dengan jumlah populasi 60, maka nilai kritisnya adalah 0,245. Uji reliabilitas menunjukkan koefesien alpha sebesar 0,966 dan dengan demikian tingkat reliabilitas instrumen adalah tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata penghayatan kaul kemiskinan mencapai 106,80 dan nilai rata-rata persaudaraan mencapai 104,10. Dengan demikiran penghayatan kemisikinan dan semangat persaudaraan di dalam Kongregasi tergolong baik. Dari uji regresi, diperoleh nilai r² sebesar 0,783 (78.3%) dan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penghayatan kaul kemisikinan berdampak positif terhadap semangat persaudaraan di dalam Kongregasi. Meskipun demikian, semangat persaudaraan masih perlu ditingkatkan dengan peningkatan penghayatan kaul kemisikinan melalui pembinaan secara berkala. Oleh karena itu, penulis menawarkan sebuah program pembinaan dengan model rekoleksi untuk menanamkan dengan lebih mendalam semangat persaudaraan suster-suster MASF melalui peningkatan penghayatan kaul kemiskinan.


(9)

ix

ABSTRACT

The thesis is entitled “THE INFLUENCE OF THE LIVING OF THE VOW

OF POVERTY ON THE SISTERHOOD OF THE SISTERS MISSION AND ADORATION OF SANTA FAMILIA IN INDONESIA”. The researcher chooses this title because of the researcher’s concern about the lifestyle of the MASF sisters, who seem less capable of living the vow of poverty, and it has effect on the spirit of brotherhood in the community. The researcher would like to contribute ideas toward fostering the brotherhood in the congregation through developing of the living of the vow of poverty.

In the Constitution of MASF “as the missionary congregation, more than others we have task to have solidarity with the people worldwide and with those who live in poverty and deprivation. Therefore we should live in a simple manner and constrain our desires” (Cons 12). As Jesus, we are sent by the Fatherto bring good news to the poor, to proclaim liberty to the captives and recovery of the sight to the blind, to set free the oppressed(Luke 4: 18-19). We search inspiration from the Holy Family, “there should be aspirit of collaboration and exchange of thoughts among communinities and Superiors while respecting ones authority and rights.

This research is descriptive qualitative one. By doing this research, it is able to asses the influence of the living of the vow of poverty on the sisterhood of the MASF sisters in Indonesian. All 60 sisters MASF in Indonesia are the population and the respondent of the research as well. The researcher used questionnaire to measure the respondent attitude. The questionnaire contains 40 statements concerning the living of the vow of poverty and 40 statements concerning the sisterhood. The validity test shows that the level of significance reaches 5 %. For 60 respondents the critical value is 0,245. The reliability test shows that the alpha coefficient reaches 0,966 and thus it means that the instrument reliability is high.

The result of the research shows that the average score of the living of the vow of poverty is 106,80 and the average score of the sisterhood is 104,10. Thus the living of the vow of poverty and the sisterhood in the congregation are good. The regression test shows that the r² reaches 0,783 (78,3 %) and it can be concluded that the influence of the living of the vow of poverty has positive effect on the spirit of sisterhood in the congregation. However it is still necessary to develop the spirit of sisterhood in the congregation through developing the living of the vow of the poverty in a regular program. Therefore, the researcher offers a recollection as the program to foster deeper the spirit of sisterhood in the congregation through developing the living of the vow of poverty.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Penulis menghaturkan puji dan syukur kehadiran Tuhan yang Maha Esa, atas segala rahmat dan kasih-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul PENGARUH PENGHATAN KAUL KEMISKINAN TERHADAP PERSAUDARAAN SUSTER-SUSTER MISI DAN ADORASI DARI SANTA FAMILIA DI INDONESIA.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberi masukan bagi para religius mengenai pentingnya penghayatan kaul kemiskinan demi membangun hidup persaudaraan antar sesama religius dalam kongregasi. Di samping itu skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian Program Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta keterlibatan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Drs. FX. Heryatno W.W., S.J., M.Ed. selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang memberikan dukungan dalam seluruh proses penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. J. Darminta, SJ selaku dosen pembimbing utama yang selalu mendampingi, membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(11)

xi

3. Y. H. Bintang Nusantara, SFK., M. Hum selaku dosen penguji II yang telah berkenan mendampingi, memberikan semangat, memeriksa dan menguji skripsi ini.

4. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd selaku dosen penguji III yang telah berkenan mendampingi dan menguji skripsi ini.

5. Segenap staf dosen dan seluruh staf karyawan prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang secara tidak langsung selalu memberikan dorongan kepada penulis.

6. Para saudari dari Kongregasi MASF, terutama para Dewan Jenderal yang telah memberi kepercayaan dan perhatian kepada penulis untuk tekun menjalani studi pada program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

7. Para suster OSF di komunitas Senopati dan Surakarta, terutama yang berada di komunitas Dawung Wetan (Sr. Euphrasia, MASF, Sr. Petronela, MASF, Sr. Secilia, MASF, dan Sr. Vianney, MASF) yang telah memberi dukungan dan cinta kasih yang begitu Tulus.

8. Keluarga tercinta: Bapak, Mama, kakak-kakak, keponakan-keponakanku dan seluruh keluarga besarku yang selalu mendoakan dan memberikan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan.

9. Sahabatku Sr.Emerensiana, Kym, Sr. Gemma, CB, Corry, Maria Magdalena Buik, Maria dan semua teman-temanku mahasiswa IPPAK-USD, khususnya angkatan 2009 yang selalu memotivasi dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(12)

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .. ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO. ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR SINGKATAN ... xx

BAB I . PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Indentifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penulisan ... 7

F. Manfaat Penulisan ... 7

G. Metode Penulisan ... 8

H. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN DALAM PERSAUDARAAN KONGREGASI MASF ... 10


(14)

xiv

1. Pengertian Kaul Kemiskinan ... 10

a. Kemiskinan Injili ... 11

1) Kemiskinan Dalam Harta Benda ... 12

2) Kemiskinan Sebagai Sikap Batin ... 15

b. Kaul Kemiskinan Kenabian ... 16

c. Kemiskinan Salib ... 17

2. Makna Kaul Kemiskinan ... 18

3. Penghayatan Secara Kongregational ... 22

a. Kemiskinan Pribadi ... 24

b. Kemiskinan Karya ... 27

c. Kemiskinan Komunitas ... 28

B. Persaudaraan MASF ... 29

1. Spiritualitas Persaudaraan MASF ... 30

2. Penghayatan Persaudaraan Dalam Komunitas MASF ... 31

3. Penghayatan Persaudaraan Dalam Gereja ... 34

4. Persaudaraan Dalam Perbedaan ... 35

C. Kemiskinan Demi dan Dalam Persaudaraan ... 37

1. Harta Milik Allah ... 37

2. Harta Untuk Kesejahteraan Bersama ... 38

3. Penghayatan Kemiskinan Melawan Keserakahan Pemborosan ... 39

4. Gaya Hidup Komunitas Persaudaraan ... 42

5. Peran Peraturan Tentang Penghayatan Kemiskinan ... 44

BAB III. PENELITIAN MENGENAI PENGHAYATAN KEMISKINAN DALAM HIDUP SEHARI-HARI ... 46

A. Jenis Penelitian ... 46

B. Desain Penelitian ... 47

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 48

1. Tempat Penelitian ... 48

2. Waktu Penelitian ... 48


(15)

xv

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 49

1. Variabel Penelitian ... 49

2. Definisi Konseptual Variabel ... 49

a. Kaul Kemiskinan ... 49

b. Persaudaraan ... 49

3. Definisi Operasional variabel ... 49

a. Kaul Kemiskinan ... 49

b. Persaudaraan ... 50

4. Teknik Pengumpulan Data ... 50

5. Instrumen Penelitian ... 52

6. Kisi-Kisi Instrumen ... 53

7. Pengembangan Instrumen ... 56

a. Uji Coba Terpakai ... 56

b. Uji Validitas ... 57

c. Uji Reliabilitas ... 59

8. Teknik Analisis Data ... 60

a. Variabel X (Penghayatan kaul Kemiskinan) ... 60

b. Variabel Y (Persaudaraan) ... 61

F. Uji Persyaratan Analisis ... 62

1. Uji Normalitas Data ... 62

2. Uji Linieritas Regresi ... 62

3. Uji Homokedastisitas ... 63

G. Uji Hipotesis ... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 64

A. Hasil Penelitian ... 64

1. Uji Persyaratan Analisis ... 64

a. Tujuan Uji Normalitas ... 64

b. Tujuan Uji Linieritas ... 66

c. Tujuan Uji Homokedastisitas ... 67


(16)

xvi

a. Penghayatan Kaul Kemiskinan ... 69

b.Persaudaraan ... 84

B. Uji Hipotesis ... 99

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN REKOLEKSI SEBAGAI UPAYA DALAM MENINGKATKAN PENGHAYATN KAUL KEMISKINAN TERHADAP PERSAUDARAAN SUSTER-SUSTER MASF ... 107

A. Pembahasan Hasil Penelitian ... 107

B. Keterbatasan Penelitian ... 114

C. Refleksi ... 115

1. Penghayatan Kaul Kemiskinan ... 115

2. Persaudaraan ... 118

D. Evaluasi ... 121

1. Penghayatan Kaul Kemiskinan ... 121

2. Persaudaraan ... 123

E. Rekoleksi Sebagai Upaya Meningkatkan Penghayatan Kaul Kemiskinan Terhadap Persaudaraan Suster-suster MASF ... 123

1. Pengertian dan Tujuan Rekoleksi ... 123

2. Relevansi Rekoleksi Dalam Upaya Meningkatkan Penghayatan Kaul Kemiskinan Terhadap Persaudaraan MASF ... 127

3. Program ... 128

a. Pengertian Program ... 128

b. Tujuan Program ... 129

c. Tema-Tema Dalam Program Rekoleksi ... 130

d. Penjabaran Program Rekoleksi ... 132

4. Contoh Satuan Pertemuan Rekoleksi ... 135

a. Identitas ... 135

b. Pemikiran Dasar ... 135

c. Proses Pelaksanaan Rekoleksi ... 137


(17)

xvii

A. Kesimpulan ... 144

B. Saran dan Usul ... 148

DAFTAR PUSTAKA ... 149

DAFTAR LAMPIRAN ... 152

Lampiran 1: Surat Permohonan Izin Penelitian ... (1)

Lampiran 2: Lembar Kuesioner Penelitian ... (2)

Lampiran 3: Hasil Analisis Validitas Variabel X dan Variabel Y ... (13)

Lampiran 4: Hasil Analisis Validitas Variabel X ... (14)

Lampiran 5: Hasil Analisis ValiditasVariabel Y ... (15)

Lampiran 6: Tabel Histogram ... (16)

Lampiran 7: Tabel Descriptive Statistics ... (17)

Lampiran 8: Tabel Nilai Distribusi F ... (18)

Lampiran 9: Tabel Nilai-Nilai r Product Moment ... (20)

Lampiran 10: Tabel Model Summary ... (21)

Lampiran 11: Tabel ANOVA ... (22)

Lampiran 12: Tabel Coefficients ... (23)

Lampiran 13: Tabel Correlations ... (24)

Lampiran 14: Tabel ANOVA Table ... (25)


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi Populasi... ... 49

Tabel 2 Teknik Pengumpulan Data ... 51

Tabel 3 Skor Alternatif Jawaban Variabel X dan Y ... 53

Tabel 4 Kisi-Kisi Instrumen Kaul Kemiskinan ... 53

Tabel 5 Kisi-Kisi Instrumen Persaudaran ... 55

Tabel 6 Reliability Statistics ... 60

Tabel 7 Kriteria Kategori Variabel X... 61

Tabel 7 Kriteria Kategori Variabel Y... 61

Tabel 10 Anova ... 67

Tabel 11 Rangkuman Statistik Deskriptif Penghayatan kaul Kemiskinan ... 69

Tabel 12 Aspek Partisipasi Dalam Kemiskinan Kristus ... 70

Tabel 13 Dekripsi Partisipasi Dalam Kaul Kemiskinan ... 71

Tabel 14 Apek Beradaptasi ... 72

Tabel 15 Deskripsi Beradaptasi ... 74

Tabel 16 Aspek Hidup Sederhana ... 75

Tabel 17 Deskripsi Aspek Hidup Sederhana ... 76

Tabel 18 Aspek Membatasi Diri Dalam Penggunaan Harta Benda ... 77

Tabel 19 Deskripsi Menbatasi Diri Dalam Penggunaan Harta Benda ... 79

Tabel 20 Aspek Tanggung Jawab ... 80

Tabel 21 Deskripsi Aspek Tanggung Jawab ... 81

Tabel 23 Aspek Solider ... 82

Tabel 23 Deskripsi Aspek Solider ... 83

Tabel 25 Rangkuman Statistik Deskriptif Persaudaraan ... 84

Tabel 26 Aspek Memahami Sesama ... 85

Tabel 27 Deskripsi Aspek Memahami Sesama ... 87

Tabel 28 Aspek Menerima Satu Sama Lain ... 88

Tabel 29 Deskripsi Aspek Menerima Satu Sama Lain ... 89


(19)

xix

Tabel 31 Deskripsi Aspek Memaafkan ... 91

Tabel 32 Aspek Melayani ... 92

Tabel 33 Deskripsi Aspek Melayani ... 94

Tabel 34 Aspek Cinta Yang Mengabdi ... 95

Tabel 35 Deskripsi Aspek Cinta Yang Mengabdi ... 96

Tabel 36 Aspek Kebersamaan ... 97

Tabel 37 Deskripsi Aspek Kebersamaan ... 98

Tabel 38 Descriptive Statistics ... 100

Tabel 39 Model Summary ... 100

Tabel 40 Anova ... 101

Tabel 41 Coefficients... 102


(20)

xx

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan dalam Penelitian

ANOVA : Analisys of Varience

Ho : Hipotesis nol

Ha : Hipotesis alternatif

SPSS : Statistical Product and Service Solution

Std : Standard

Dev : Deviasi

Sig : Signifikansi

B. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab Deuterokanonika, Lembaga Biblika Indosesia, 2008.

C. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Januari 1983.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja, 4 Desember 1963


(21)

xxi D. Singkatan Lain

Art : Artikel

Ay : Ayat

Bdk : Bandingkan

Dkk : Dan kawan-kawan

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

Kan : Kanon

Konst : Konstitusi

KS : Kitab Suci

No : Nomor

MASF : Misi dan Adorasi dari Santa Familia PH : Pedoman Hidup suster-suster MASF


(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Kaul kemiskinan merupakan kaul yang menjadi dasar dalam kehidupan membiara, yang sudah melekat dan menjadi bagian hidup seorang yang dipilih secara khusus oleh Allah untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya yaitu imam, biarawan dan biarawati. Kaul kemiskinan adalah kaul yang mengajak setiap pribadi untuk menghayatinya secara lebih mendalam demi menanggapi sebuah panggilan yang suci dari Allah kepada manusia yang telah dipilih-Nya. Kaul kemiskinan tidak pernah terlepas dari seorang religius yang menyatakan atau membaktikan dirinya dalam sebuah Kongregasi yang telah dipilihnya. Diharapkan bahwa kaul kemiskinan menjadi jalan yang baik bagi seorang religius untuk semakin mampu hidup di manapun dia diutus untuk menjalankan tugas-tugas yang telah dipercayakan Kongregasi kepadanya.

Semua harta milik dan barang-barang menjadi milik Kongregasi atau Tarekat. Setiap anggota Kongregasi tidak lagi memiliki hak atas apa saja yang diberikan kepadanya, entah barang entah uang. Semua derma dan hadiah, yang barangkali diberikan kepadanya sebagai ungkapan terima kasih atau ungkapan lain apapun, menjadi hak Kongregasi. Keutamaan Kemiskinan adalah keutamaan injili yang mendorong hati untuk melepaskan diri dari barang-barang fana; karena kaulnya, biarawan/wati terikat oleh kewajiban itu (Darminta, 1975:52).


(23)

Dewasa ini, tidak sedikit seorang religius yang kurang mampu dan bisa menghayati kaul kemiskinan ini dalam kehidupannya sehari-hari, bahkan gaya hidup miskin yang seharusnya menjadi bagian dari pilihan hidupnya kurang tampak atau kurang dihayatinya. Kenyataan ini menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan dalam kehidupan membiara masa sekarang. Masing-masing anggota Kongregasi sepertinya berusaha untuk menjadi yang terbaik dan terkenal dengan gaya, kemampuan dan kepintaran yang dimilikinya sehingga tidak mampu lagi melihat siapa dirinya dan untuk apa dia melakukan itu semua. Yang ada adalah semua dilakukan hanya untuk kepentingan diri sendiri.

Penghayatan terhadap kaul-kaul bagi religius di masa sekarang seolah-olah sebagai suatu formalitas atau syarat-syarat yang harus diikrarkan, untuk memberi tanda dan identitas pada dirinya bahwa dia telah membaktikan dirinya secara khusus kepada Tuhan dan sesama. Makna dan arti kaul kemiskinan terkadang merupakan sesuatu yang biasa dalam arti bahwa kaul kemiskinan itu memang sudah menjadi bagian dari kehidupan seorang religius. Sehingga penghayatan terhadap kaul kemiskinan ini terkadang kurang tampak atau jelas kalau mau dilihat secara lebih sungguh-sungguh.

Dari wawancara saya dengan Suster-suster di Komunitas, mereka mengatakan untuk zaman sekarang terkadang mengalami kesulitan untuk dapat secara bersama-sama atau pun pribadi menghayati kaul kemiskinan di zaman yang serba instan, bahkan kalau tidak hati-hati bisa diperbudak oleh banyaknya tawaran-tawaran menarik. Tawaran-tawaran yang dijumpai sangat menggiurkan untuk segera dimiliki dan dikonsumsi.


(24)

Tawaran dunia memang menarik bagi semua orang tanpa kecuali. Ada daya pikat yang membuat siapa pun tidak bisa mengendalikan dirinya. Apapun bentuk tawaran-tawaran yang ada yang jelas pasti mengajak untuk secara lebih dewasa dalam menyikapinya. Gaya hidup ikut-ikutan seringali juga dialami oleh seorang religius yang tidak mampu memiliki sikap yang tepat. Jadi masalah baik dan tidaknya terkadang menjadi urusan belakang, yang penting bisa mengikuti tren masa kini.

Zaman yang serba instan ini, membawa dampak negatif terhadap gaya hidup dan juga penghayatan kaul kemiskinan. Tidak sedikit seorang religius yang menumpuk harta meskipun tidak jelas akan diapakan atau apa manfaat dari itu semua. Seorang religius yang mengoleksi hanya karena senang dan suka memang perlu dipertanyakan maksud dan manfaatnya, sehingga biara tidak menjadi tempat penyimpanan barang-barang yang tidak jelas fungsinya. Seorang religius dalam hal ini menjadi monitor sehingga dengan sendirinya mampu untuk memantau diri sendiri, sejauh mana gaya hidupnya mencerminkan sikap miskin seperti yang diteladankan oleh Yesus Kristus kepada manusia. Sikap miskin yang diteladankan Yesus adalah sikap yang selalu mampu menerima apapun yang akan terjadi dalam kehidupan serta tidak mudah putus asa disaat berhadapan dengan berbagai peristiwa hidup.

Kaul kemiskinan menjadi sorotan penulis sebagai suatu keprihatinan yang terlihat jelas yang terjadi terhadap suster-suster MASF. Akhir-akhir ini semangat kemiskinan menjadi sesuatu yang kurang menjadi kekuatan dan daya tarik. Kaul kemiskinan disini tidak hanya melulu berkaitan dengan harta benda melainkan


(25)

bagaimana dia mampu menjalin relasi dengan orang-orang yang berada di sekitarnya dalam arti bahwa kemiskinan harus nampak dalam semangat pelayanan. Dan kaul kemiskinan berarti orang menyanggupi diri untuk bekerja agar dapat hidup secara wajar, namun dalam kelebihan maupun dalam kekurangan yang dialami dia sanggup untuk terlibat pada hidup orang lain secara pribadi lewat harta benda yang ada padanya.

Kemiskinan bukan merupakan tujuan, tetapi merupakan sarana untuk menangkap hadirat Allah dan menyampaikan hadirat Allah itu kepada sesama. Dengan kata lain kemiskinan mengajak untuk memahami bahwa apapun yang dimiliki dan dapat dicapai, itu merupakan ungkapan panggilan Tuhan. Maka diharapkan untuk menggunakan menurut kepentingan dan kebutuhan masing-masing orang guna mencapai Allah, sekaligus untuk menyampaikan hadirat Allah kepada orang lain. Dalam pedoman hidup suster Misi dan Adorasi dari Santa Familia dikatakan bahwa cara hidup kita harus jelas bahwa yang terutama mengarahkan perhatian kepada kerajaan Allah, sebagai peziarah kita menaruh harapan pada-Nya dalam perjalanan menuju kepada Dia dan tidak mengandalkan harta milik manapun juga (Konst. 27).

Hidup miskin atau sederhana tidak berarti menolak barang-barang duniawi atau bersikap acuh tak acuh terhadap harta benda dan uang. Dengan hidup miskin atau sederhana, orang tetap memberi tempat kepada barang-barang duniawi, namun tidak mengikat diri pada barang-barang duniawi tersebut. Dengan bersikap lepas bebas terhadap harta benda dan uang, orang menyatakan nilai relatif dari harta benda dan uang, yang sering menghalangi orang untuk mengabdi Allah


(26)

dengan sepenuh hati (Mat 6:19-24). Terhadap barang-barang duniawi, para religius harus bersikap lepas bebas. Mereka harus senantiasa mawas diri, supaya tidak terjerat dan terikat oleh kenikmatan barang-barang duniawi. Sejauh diperlukan untuk hidup dan karya, barang-barang duniawi boleh saja dimanfaatkan oleh para religius. Tetapi barang-barang duniawi yang merupakan “kebutuhan” hidup atau “keperluan” karya ini tidak boleh lantas menjadi “keharusan” yang dituntut oleh mereka. Jika sudah tersedia, jangan dituntut. Dalam hal ini, para religius harus berprinsip sama seperti rasul Paulus, yaitu: “asal ada makanan dan pakain, cukuplah!”(1 Tim 6:8).

Dari pengalaman yang ada maka penulis sebagai anggota Kongregasi merasa prihatin terhadap situasi yang ada sehingga tergerak untuk menyumbangkan gagasan-gagasan yang bermanfaat bagi Kongregasi untuk mampu menghayati hidup dalam persaudaraan, oleh sebab itu penulis tertarik untuk menulis judul sebagai berikut: PENGARUH PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN TERHADAP PERSAUDARAAN SUSTER-SUSTER MISI DAN ADORASI DARI SANTA FAMILIA DI INDONESIA.

B. Identifikasi Masalah

Berbagai macam masalah yang berpengaruh dan menghambat penghayatan kaul kemiskinan dan persaudaraan:

1. Kemorosotan nilai-nilai penghayatan kaul kemiskinan 2. Kaul kemiskinan seolah-olah menjadi sesuatu yang biasa 3. Adanya tawaran-tawaran yang menarik dan menggiurkan


(27)

4. Ikut-ikutan gaya hidup sesuai dengan tren

5. Mengumpulkan harta benda hanya karena senang kendatipun kurang bisa dimanfaatkan.

6. Kurang dewasa dalam memaknai arti kaul kemiskinan yang telah diikrarkan dihadapan Tuhan dan sesame.

7. Perlu banyak belajar dalam mengendalikan diri terhadap sesuatu yang baru.

C. Pembatasan Masalah

Penulis menyadari bahwa banyak faktor yang mempengaruhi gaya hidup para suster berkaitan dengan penghayatan kaul kemiskinan. Pada penulisan ini penulis lebih memfokuskan pada penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan suster-suster yang dapat mempengaruhi penghayatan dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang religius yang seharusnya mencerminkan sikap kesederhanaan dalam seluruh kehidupannya.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Apa kaul kemiskinan menurut MASF?

2. Seberapa besar pengaruh penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan Suster-Suster MASF?

3. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penghayatan kaul kemiskinan suster MASF?


(28)

E. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan religius zaman sekarang.

2. Untuk membantu suster-suster menghidupi semangat penghayatan kaul kemiskinan sebagai bentuk kesiapsediaan dalam tugas perutusan kapanpun dan di manapun.

3. Membangkitkan semangat dan daya juang dalam diri suster-suster untuk menjadikan kaul kemiskinan sebagai salah satu jalan dalam keterbukaan menuju hidup yang sejati dan abadi.

4. Mengingatkan kembali suster-suster untuk menghargai segala sesuatu yang ada dalam hidup ini dan tidak mencari-cari sesuatu yang tidak ada.

F. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Membantu suster-suster dalam penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan setiap harinya.

2. Menjadi masukan bagi suster-suster untuk belajar hidup apa adanya sebagai keluarga dalam komunitas.

3. Menambah pengalaman dan pengetahuan berkaitan dengan cara penghayatan kaul kemiskinan.


(29)

4. Bagi suster-suster untuk tidak pernah lupa dengan identitas yang telah melekat pada diri masing-masing yaitu kaul kemiskinan yang telah diikrarkan sebagai janji yang harus ditepati.

5. Membangun dan meningkatkan persaudaraan antara para suster dalam kebersamaan hidup berkomunitas.

6. Bagi penulis sendiri menjadi masukan dan kekuatan untuk lebih mampu menghayati kaul kemiskinan secara lebih baik dan sungguh-sungguh.

G. Metode Penulisan

Penulisan ini akan menggunakan pendekatan deskriptif analisis yang dilakukan melalui pengumpulan data dengan menyebarkan angket dan studi pustaka untuk mengetahui dan mendiskripsikan seberapa besar Pengaruh Penghayatan Kaul Kemiskinan Terhadap Persaudaraan Suster-Suster Misi dan Adorasi Dari Santa Familia di Indonesia.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam enam bab dengan perincian:

Bab I sebagai pendahuluan, berisi antara lain Latar Belakang Penulisan, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II: Berisikan Penghayatan kaul kemiskinan dalam persaudaraan kongregasi MASF yang meliputi: Kaul Kemiskinan, persaudaraan MASF, kemiskinan demi dan dalam persaudaraan.


(30)

Bab III: Berisikan penghayatan kemiskinan sehari-hari yang meliputi: Jenis Penelitian, desain Penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi, teknik dan instrumen pengumpulan data, uji persyaratan analisis, uji hipotesis.

Bab IV: Berisikan hasil penelitian tentang meningkatkan penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan Suster-suster MASF yang meliputi: Hasil Penelitian dan Uji hipotesis.

Bab V: Berisikan pembahasan hasil, keterbatasan penelitian, refleksi, evaluasi dan program pembinaan melalui rekoleksi untuk meningkatkan penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan suster-suster MASF.

Bab VI: Bagian penutup berisikan kesimpulan, saran dan usul, untuk lebih menjadi masukan dan catatan penting demi kemajuan dan perkembangan hidup kongregasi khususnya dalam penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan suster-suster MASF.


(31)

BAB II

PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN

DALAM PERSAUDARAAN KONGREGASI MASF

Sebagai religius tentunya memiliki syarat dan peraturan yang dibuat untuk dijalani dan ditaati bersama dalam kongregasi seperti kaul-kaul kebiaraan yang mampu menciptakan dan membangun suasana persaudaraan dalam hidup bersama. Dalam bab II ini akan diuraikan berkaitan dengan dua dimensi yang diteliti yakni Penghayatan Kaul Kemiskinan dan Persaudaraan.

A. Kaul Kemiskinan

Penghayatan kaul kemiskinan terdiri dari dua unsur yakni penghayatan dan kaul kemiskinan yang mempunyai pengertian masing-masing. Oleh sebab itu kedua unsur ini akan diulas secara tersendiri sehingga membantu kita untuk memahami tentang penghayatan kaul kemiskinan secara mendalam.

1. Pengertian Kaul Kemiskinan

Menurut Darminta (1981: 42), kaul kemiskinan berarti ikut ambil bagian dalam menegakkan Kerajaan Surga dengan memerangi keadaan manusia yang tidak manusiawi. Ketika Yesus memanggil para murid, Dia menghendaki para murid untuk meninggalkan segala milik mereka, tidak supaya mereka menjadi miskin, seolah-olah kemiskinan itu suatu yang bernilai pada dirinya, tetapi supaya


(32)

mereka mempunyai kepercayaan yang kuat dan berakar, total hanya kepada Tuhan. Mengikuti Kristus yang miskin merupakan bentuk konkret dari kepercayaan yang absolut dan total, yang diharapkan dimiliki oleh para murid kepada Bapa di surga, dalam ikut ambil bagian misteri salib Kristus, dan dalam kesetiaan kepada tindakan Roh Kudus.

Dalam Hukum Kanonik (bdk Kan 600), tentang kaul kemiskinan ini ditegaskan beberapa hal penting yang perlu dicamkan baik-baik oleh mereka yang mengucapkannya:

1) Motivasi kaul kemiskinan adalah mau mengikuti jejak Kristus, yang meskipun kaya namun bersedia menjadi miskin demi keselamatan umat manusia (bdk 2 Kor 8:9).

2) Kaul kemiskinan mewajibkan untuk hidup miskin baik dalam kenyataan maupun dalam semangat (bdk Mat 5:3; 19:21).

3) Kaul kemiskinan mewajibkan untuk bekerja dalam kesederhanaan, dengan menjauhkan diri dari kekayaan duniawi (bdk Mat 6:19-21).

4) Kaul kemiskinan membawa serta ketergantungan dan keterbatasan dalam hal penggunaan serta penentuan harta benda (bdk Luk 12:13-21; Yak 1:19-11).

a. Kemiskinan Injili

Ladjar (1983:44) mengatakan bahwa Kemiskinan Injili yang ditawarkan oleh Yesus sulit untuk dipahami dan dimengerti makna dan nilainya. Makna dan nilai disini dijalankan sebagai ungkapan iman terhadap Allah, karena Allah sendiri merupakan satu-satunya tempat tumpuan harapan seseorang. Iman yang dimiliki


(33)

mendorong seseorang bersedia dan rela untuk meninggalkan segala sesuatunya demi mencapai harta Kerajaan Allah.

Dalam kemiskinan Injili ini yang menjadi contoh adalah para Rasul, setelah bertemu dengan Yesus dan terpikat oleh-Nya. Bahkan lebih kuat lagi, mereka dicekam, seperti yang dialami oleh Rasul Paulus. Bagi mereka tidak ada pilihan lain selain meninggalkan segalanya dan pergi mengikuti Yesus. Dijelaskan oleh Ladjar yaitu Rasul Paulus menggambarkan hal itu dengan cara yang amat mengesan “Segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Yesus Kristus, Tuhanku, lebih mulia dari pada segalanya” (Flp 3:8).

Setelah pertemuannya dengan Kristus, seluruh hidup dan kegiatan Paulus diarahkan kepada-Nya saja dengan meninggalkan segala sesuatu. Kerelaan dan kesediaan Paulus untuk mengikuti Yesus karena iman dan percaya akan Yesus yang memanggilnya.

1) Kemiskinan Dalam Harta Benda

Kemiskinan religius berada dalam rangka mengikuti Kristus, maka yang menjadi norma adalah Yesus Kristus sendiri. Kemiskinan religious menunjuk penentuan sikap terhadap dunia dan segala kekayaannya dalam hubungan dengan Kerajaan Allah yang diwartakan dan dihadirkan oleh Yesus Kristus (Ladjar, 1983: 46).

Kemiskinan religius selalu dilihat dalam rangka tuntutan umum untuk mengikuti Kristus. Kristus yang memanggil dan menangkap manusia untuk mengikuti-Nya adalah Kristus yang sendiri “tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Mat 8:20). Ia tidak menganggap kesetaraannya dengan


(34)

Allah “sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:6-7).

Untuk menjadi murid Kristus kita dituntut untuk meninggalkan segala harta milik demi kerajaan Allah. Kerajaan Allah dibandingkan-Nya dengan harta yang tersembunyi di ladang dan dengan intan yang berharga. Nilainya mengatasi segala-galanya, sehingga untuk memperolehnya orang harus mempertaruhkan segalanya yang dimilikinya (Mat 13:44-46). Para Rasul juga meninggalkan segala harta miliknya demi untuk menjadi murid-Nya (Mrk 10: 28). Yang mau diwujudkan dalam kemiskinan oleh para Rasul adalah suatu dasar tuntutan Kerajaan Allah yang lebih dalam, Yaitu tuntutan untuk “mencari dahulu Kerajaan Allah dan yang lain akan diberikan” (Mat 6:24-34).

Mahatma (2013:40), menjelaskan bahwa kemiskinan tidak sama dengan menolak hak milik namun menyediakan segala sesuatu yang dimiliki seperti barang, tenaga, waktu untuk orang lain. Dalam kerangka ini, barang-barang material dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mengabdi pada Tuhan dan sesama, dan bukan demi memuaskan hasrat dan hobi pribadi.

Di dalam kehidupan kaum religius, Suparno (2004:37-38) mengingatkan penjabaran beberapa aturan pokok dari penghayatan kaul kemiskinan yang menyangkut harta benda antara lain:

(a) Semua uang dan harta yang diperoleh atau diterima oleh anggota dari luar harus diserahkan kepada tarekat atau komunitas.


(35)

(b) Anggota yang membutuhkan sesuatu, entah harta atau uang, akan minta kepada pimpinan komunitas atau Tarekat.

(c) Harta Tarekat adalah milik bersama yang harus digunakan bersama dan dipertanggungjawabkan dengan sungguh-sungguh. Tidak ada milik pribadi (d) Anggota sebaiknya hanya meminta dan menggunakan barang atau harta

sejauh diperlukan untuk hidup dan karyanya; dan tidak menumpuk untuk dirinya sendiri. Inilah semangat lepas bebas pada harta sebagai wujud hidup sederhana hidup dalam kemiskinan.

Sebagai kaum religius perlu untuk mengambil sikap yang wajar dan semestinya terhadap barang-barang. Kemiskinan merupakan suatu sikap dinamis seseorang, yang mengatur hubungannya dengan alam dan budaya. Untuk lebih mengetahui secara lebih mendalam Darminta menjelaskan sebagai berikut:

“Benda-benda atau barang-barang yang kita temui dalam hidup, ternyata merupakan anugerah dari Allah, yang harus disempurnakan dan digunakan dengan sikap hormat terhadap arti dan keindahan barang dan dengan sikap hormat kepada siapa barang itu digunakan. Dalam segala kebutuhan, idea-idea, cita-cita dan daya tangkap manusia kepada barang-barang itu, orang mampu mempunyai sikap hormat kepada benda itu, hanya bila berulang kali orang mengambil jarak dari dimensi lahiriah barang-barang itu (1975:50-51).

Dari penjelasan ini kita diajak dan diharapkan untuk mampu melihat dan menyadari bahwa barang-barang atau benda-benda yang ada adalah anugerah dari Allah sehingga kitapun harus menggunakan dengan sikap hormat. Dengan segala kebutuhan hidup, kita juga belajar untuk mengendalikan diri terhadap keinginan-keinginan dan terlebih mengambil jarak sehingga sikap hormat kita semakin tumbuh dan berdaya guna.


(36)

Semangat kemiskinan sejati dapat membuat kita Menahan diri untuk cepat-cepat mendapatkan hasil menurut keinginan kita sendiri, cepat-cepat mengadakan perombakan, atau cepat-cepat menutup diri kepada perubahan. Selain itu juga semangat kemiskinan sejati akan memberi kesabaran, penuh pengertian dan tahu menggunakan bakat-bakat atau anugerah-anugerah yang dimilikinya, demi kemajuan manusia dan bukannya kemajuan sendiri (Darminta, 1975:52)

2) Kemiskinan Sebagai Sikap Batin

Hidup dan karya Yesus untuk manusia ialah bahwa Ia menjadi miskin sekalipun Ia kaya, supaya kita menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya (2 Kor 8:9). Maksudnya bahwa bukan pertama-tama kemiskinan ekonomis, tetapi mengenai penghampaan Diri-Nya dengan menjadi manusia. Ia melepaskan kemuliaan ilahi yang merupakan milik-Nya dan dengan itu Ia melengkapi manusia yang miskin dengan kekayan ilahi, yaitu diterima sebagai anak Allah (Daminta, 1983:48-49).

Kemiskinan sebagai sikap batin lebih menekankan pada sikap percaya sepenuh-penuhnya kepada penyelanggaraan ilahi. Sikap seperti ini harus dimiliki oleh para pengikut Kristus yang pola hidupnya ditentukan oleh hadirnya Allah dan Kerajaan-Nya. Pada dasarnya bahwa manusia adalah seorang miskin yang tidak dapat hidup sendiri dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Dengan demikian kemiskinan religius mengungkapkan satu kenyataan dasar pada manusia yang


(37)

sepenuh-penuhnya bergantung pada Allah. Allah pencipta adalah sumber dan asal segalanya, sedangkan manusia adalah makhluk yang menerima segalanya.

Kaum religius perlu hidup dalam kebebasan batin artinya keadaan batin yang tidak terikat kepada sesuatu yang bukan dari Tuhan. Batinnya tidak lekat pada banyak hal seperti: kekayaan, harta, kekuasaan, keserakahan, gengsi, ketakutan dan manusia. Berkaitan dengan sikap batin ini Suparno (2011:199-120) menegaskan kembali bahwa:

“Orang yang sungguh lepas bebas hanya demi Tuhan, akan lebih merasa

gembira melepaskan segala sesuatu yang tidak diperlukan dalam mengabdi Tuhan. Akibatnya, ia menjadi orang yang gembira di manapun karena tidak terikat pada hal dan barang lain, kecuali Tuhan. Ia dapat gembira pada waktu sakit, mengalami kegagalan, bahkan juga dijatuhkan orang lain”.

Dalam urain ini mau dikatakan bahwa orang yang hidup dalam kebebasan batin terdalam lebih dikuasai oleh Tuhan. Tuhan menjadi satu-satunya andalan dan pegangannya. Bahkan yang diutamakan adalah mencari kehendak Tuhan dalam seluruh hidupnya seperti: dalam pekerjaan, perutusan, dan pergaulan. Kebebasan batin mengantar seseorang untuk dapat menghadapi siapapun tanpa takut, tanpa kekhawatiran, karena Tuhan menjadi pegangannya.

b. Kaul Kemiskinan Kenabian

Seorang nabi dipahami sebagai pribadi yang kuat dan berani berkorban untuk membantu orang lain. Dia memiliki relasi yang istimewa dan baik dengan Tuhan, sebagai utusan Allah yang membawa pembebasan dan keselamatan dari Allah sendiri bagi banyak orang. Darminta (1994:32), mengatakan seorang nabi


(38)

adalah pertama seorang utusan Allah dan kedua berperan untuk menyatakan bahwa Allah sungguh memperhatikan kemalangan manusia dan bertekad membebaskan. Peranan dari nabi sendiri adalah mengingatkan Israel agar kembali kepada hidup menurut hukum Tuhan, kasih, keadilan dan kebenaran dan persaudaraan ( bdk .Ams 2:6-16).

c. Kemiskinan Salib

Salib biasa dihubungkan dengan suatu kesulitan atau kesukaran hidup yang dialami oleh manusia. Kesukaran menantang kita untuk mengubah situasi atau memperbaiki diri. itu bukan salib. Selain itu juga kalau ada hal yang perlu dilepaskan atau dikorbankan, tetapi demi sesuatu yang dianggap lebih bernilai meskipun berat, namun ada motif jelas tidak bisa dikatakan salib. Salib itu tidak dapat kita hindari, tetapi kita pikul (Verbeek, 1981:60).

Belajar dari pengalaman Yesus dalam menerima salib, meskipun sulit dan berat namun demi kesetiaan dan ketaatan-Nya kepada Bapa dan cinta-Nya kepada manusia sehingga Dia berani untuk mengorbankan seluruh hidup-Nya dikayu salib. Bapa menghendaki, agar Yesus tetap setia dan taat kepada panggilan-Nya: mewartakan kebaikan dan kerahiman Bapa. Ketaatan ini dihendaki Bapa, ketaatan yang tidak tahu batas. “Taat sampai mati, sampai mati disalib” (Flp 2:8).

Dipaparkan oleh Verbeek (1981:63) kalau dalam bahasa pengalaman kita sendiri, Yesus berani melepaskan SEGALA pegangan untuk masa depan karena Bapa menantikan-Nya. Namun dalam pengalaman-Nya sendiri salib itu begitu berat dan sukar diterima, sehingga saat Ia bergantung pada salib, Ia berseru


(39)

kepada Bapa,“Ya Allah-Ku, Ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Daku?” (Mrk 15:34). Ia berani mempercayakan Diri selalu kepada Bapa.

Berkaitan dengan salib, Verbeek (1981:64) membuat kesimpulan yang perlu diperhatikan sebagai berikut:

1) Bukan Bapa yang menghendaki salib itu, Bapa menghendaki kataatan Putera-Nya meskipun berkonsekuen salib.

2) Salib itu merupakan kemenangan dari kejahatan yang tidak dapat dibenarkan dan tidak mungkin diberi arti dengan sendirinya. Demi keadilan orang tidak dapat menerima salib ini, sejauh itu didirikan oleh manusia bagi salah seorang saudara yang tidak bersalah.

3) Baru sekarang di tengah-tengah kegelapan ketidakadilan dan kedurhakaan salib itu nampaklah arti “kehendak Bapa” dengan segala konsekuensinya dalam hidup Yesus. Di situ jugalah kita harus mencari arti salib dalam hidup kita, yang sebagai murid Yesus disuruh: “memanggul salib setiap hari” (Luk 9:23).

4) Ketaatan Yesus sampai mati-Nya di salib diganjar Bapa dengan kemuliaan yang mengatasi segala kemuliaan; karena ketaatan-Nya Ia meniadakan kedurhakaan dosa manusia.

2. Makna Kaul Kemiskinan

Masing-masing kaul yang telah diikrarkan oleh kaum religius memiliki suatu makna, yang mengajak setiap anggota kongregasi untuk dengan tekun dan setia menghidupinya dalam seluruh kehidupannya.


(40)

Kaul kemiskinan adalah sarana dalam menjalin kesatuan dengan orang-orang miskin. Sarana bagi kaum religius untuk lebih mampu menghayati kaul kemiskinan, sehingga dalam seluruh kehidupannya lebih melihat segala pengalaman yang dialami sebagai suatu berkat, dan terlebih bisa bersyukur atas apa yang dialami dan diperoleh. Hidup dijalaninya dengan penuh kebebasan dan syukur. Sabda Yesus sendiri meneguhkan dan memberikan keberanian kepada kita, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Luk 6:34).

Soenarjo (1984:93-96) menguraikan makna kaul kemiskinan dalam hidup kaum religius sebagai berikut:

1) Kaul Sebagai Ikatan Ke Dalam

“Kaul merupakan penyucian diri kepada Tuhan dalam hidup bakti, dan dimaksud untuk membebaskan manusia dari ikatan dan kelekatan pada milik harta dunia, hingga ia bebas menyerahkan diri dalam pengabdian kepada Tuhan. Yang menjadi dasar bagaimana kaul merupakan ikatan ke dalam ditegaskan bahwa lembaga (Tarekat) harus mencukupi para anggotanya dengan segala sesuatu, yang menurut konstitusi diperlukan untuk melaksanakan tujuan mereka dipanggil (KHK. 670)”

Bukan anggota yang menuntut, melainkan Tarekat yang memenuhi wajibnya atas dasar hukum Gereja, yang mengatur hubungan antara Tarekat dengan anggota yang menyerahkan diri dengan ikatan kaul kepadanya.

Isi kaul kemiskinan untuk setiap Kongregasi diatur oleh kebijaksanaan Konstitusi, yang paling kurang akan minta pertanggungjawaban atas penggunaan harta-dunia; dan demi kepentingan lembaga, anggota dan kerasulannya dapat menterapkan peraturan atau pembatasan seperlunya.


(41)

2) Kaul Sebagai Pembangkit Semangat

“Semangat kemiskinan sungguh nampak, kalau orang berusaha mencari kebersihan dan kemurniannya, meningkatkan perjuangan dan pengurbanan dengan menggunakan perlengkapan sesederhana mungkin, diambil secukupnya, dengan rasa syukur, sambil menghasilkan buah yang sama atau yang lebih, karena perjuangan, keterlibatan dan keprihatinan akhirnya demi cinta akan panggilan, akan kongregasi dan demi kemuliaan Tuhan”.

Kaul kemiskinan mengarahkan orang untuk bersikap efisien terhadap segala sesuatu yang dihadapinya. Selalu berusaha untuk mampu mensyukuri dan menerima apapun yang terjadi dalam hidupnya. Pendapat ini mendukung sikap ini yaitu:

“Semangat kemiskinan menolak mentah-mentah setiap sikap aji

mumpung, panggilan dijadikan jalan untuk mencapai kemajuan material pada tetangga masyarakat. Semangat kemiskinan tidak menggerutu, tidak menuntut, tetapi merasa senang dan puas, sekali-kali (meskipun biasanya dalam perkara kecil saja) mengalami akibat kemiskinan, menderita kekurangan, dan mungkin menanggung ejekan juga” (Soenarja, 1984: 95).

Sikap yang menjunjung tinggi nilai material tidak cocok dengan kaul kemiskinan. Orang seperti ini akan selalu mencari dan mencari bahkan tidak pernah puas dengan apa yang ada. Untuk menjaga pengalaman seperti ini maka diharapkan untuk secara sungguh-sungguh menghayati kaul kemiskinan.

Ditegaskan lagi bahwa mereka yang sudah menjalani dan menghidupi kaul kemiskinan akan berusaha untuk bisa:

“Menolak mengikuti arus konsumatip dalam masyarakat, yang ingin membeli dan memiliki yang serba mewah, serba lux, model yang paling baru. Ia lebih senang memilih yang kuat, sederhana dan sudah mencukupi keperluannya. Ia tidak serakah mencari yang lebih, tetapi sedia dan iklas


(42)

melepaskan yang tidak diperlukan, puas dengan yang paling sederhana. (Soenarja, 1984: 95)

3) Kaul Kemiskinan Sebagai Kesaksian

“Kaul kemiskinan juga diwarnai oleh kondisi waktu, tempat dan keadaan masyarakat. Maka sebelum menerjunkan religius muda dalam karya kerasulan, perasaan dan keadaan masyarakat, dan penyesuain diri sebagai “saksi kemiskinan” harus sudah dilatih. Religius dalam masa pembentukan harus disiapkan untuk menghadap kemiskinan dalam masyarakatnya sebagai saksi Kristus yang bersabda: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga (Mat 5: 3)”.

Dengan kaul kemiskinan, kita sungguh-sungguh berkeinginan untuk mengungkapkan hadirat Allah dengan mengambil sikap yang wajar kepada barang-barang itu. Dengan demikian barang kita letakkan dalam tempatnya di dalam kerangka hidup manusia, yang harus bergaul dengan Allah. Maka kita ingin mengungkapkan makna dan nilai benda itu dalam rangka keseluruhan dan dasar hidup manusia. Dan pengungkapan itu kita nyatakan dengan suatu kaul, yang disebut kemiskinan, yang berarti kita mencoba melihat barang itu dalam arti dan nilai yang dalam, sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah (Darminta, 1975:55).

Semangat kemiskinan sangat ditekankan oleh Santo Lukas sampai kepada pelaksanaan konkret yakni:

(a) Amanat kemiskinan

Semangat kemiskinan mengandaikan semangat iman, yang mampu mengadakan penegasan tentang harta kekayaan sejati. Orang harus memilih antara Tuhan dan uang (Luk 16:1-3). Yang dimaksud dari kalimat ini adalah bahwa


(43)

sesudah kematian orang tidak membawa kekayaannya, maka orang harus menggunakan kekayaan itu dalam terang kehendak Tuhan. Pilihan yang harus dilakukan dalam ini ialah antara kerajaan Allah dan kekayaan (Luk 18:18-28). Dia juga menekankan pengikraran akan harta kekayaan (Luk 12: 13-21).

(b) Menghayati hidup miskin

Kesaksian kemiskinan tidak hanya bahwa itu dapat dilihat oleh mereka yang berada disekitarnya, tetapi harus pula merupakan suatu kemauan untuk masuk ke dalam situasi kesaksian kemiskinan tanpa mau menghindarkan diri dari corak kemiskinan apostolos. Seorang religius diharapkan untuk menghayati hidup yang keras, atau dapat dikatakan meletakkan kemiskinan pada kesaksian apotolos. Secara singkat orang menghayati kemiskinan berarti orang yang mencintai hidup sederhana dan hidup kerja, menerima kemiskinan riil, dan mengarahkan penggunaan segala miliknya, pendidikannya, sarana kerjanya untuk berhasilnya kerasulan (Darminta, 1981:47).

3. Penghayatan Secara Kongregational

Penghayatan dalam hidup membiara membantu kaum religius untuk semakin mencintai dan setia dalam menjalani panggilannya sebagai imam, bruder dan suster. Dewasa ini tidak jarang suatu keputusan yang telah dipilih secara matang namun pada akhirnya kandas atau berhenti ditengah jalan, dalam arti bahwa kaum religius memilih untuk keluar dari biara.


(44)

Dalam situasi seperti ini hal-hal yang diperlukan adalah keberanian, kemauan dan kesediaan untuk sungguh-sungguh mengembangkan dan memiliki sikap penghayatan. Penghayatan untuk melihat setiap motivasi dan tujuan dari pilihan hidup yang telah dipilih yakni sebagai seorang Imam, Bruder dan Suster.

Menurut Madya Utama (2001:7) penghayatan kaul kemiskinan secara otentik juga menuntut adanya pengalaman pertobatan pribadi yang terus menerus. Tanpa adanya pertobatan, untuk memahami arti dari kemiskinan religius di tengah-tengah dunia yang begitu didera oleh kemiskinan, realitas kemiskinan akan tinggal semata-mata sebagai suatu mitos keagamaan yang tanpa wajah dan tanpa nama.

Secara singkat, bila kaul kemiskinan tidak membawa kaum religius berpihak pada orang-orang miskin dan tertindas, kaul kemiskinan hanya akan berhenti pada penghayatan terhadap istilah-istilah pra-Vatikan II yang menjadi corak khas dari kaul kemiskinan; seperti ”ketidaklekatan”, sudah mendapatkan izin, tidak memiliki harta kekayaan secara pribadi. Akibatnya, kaul kemiskinan hanya akan berurusan dengan hal-hal yang remeh-remeh dan membuat kaum religius menjadi pribadi-pribadi yang bergantung pada izin pembesar dan terus menerus hanya memikirkan kepentingannya sendiri ( Madya Utama, 2001:7).

Kaul kemiskinan yang dihayati dan dihidupi oleh kaum religius bertujuan untuk meneladani hidup Yesus Kristus, yang “meskipun kaya, Ia rela menjadi miskin karena kita manusia” (2 Kor 8:9). Kemiskinan Yesus merupakan gaya hidup yang didasarkan atas cinta-Nya yang tanpa batas terhadap manusia. Cinta-Nya luar biasa bagi manusia, apapun dilakukan untuk kita. Kesediaan dan


(45)

kerelaan menjadi bukti nyata pengorbanan-Nya, yakni “sama seperti anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”(Mat 20:28).

a. Kemiskinan Pribadi

Ketika seorang suster MASF berani untuk mengambil keputusan dan memilih untuk bergabung dalam Kongregasi MASF serta menyadari bahwa Allah adalah segalanya, maka dengan kerelaan hati dan berani untuk meninggalkan kekayaan dan kesenangan duniawi. Kesadaran bahwa sebagai seorang suster yang hanya mengandalkan Allah dalam hidupnya akan membantu untuk semakin setia dalam pelayanan serta panggilan. Kemiskinan pribadi seorang suster mengajak untuk berani lepas bebas serta yakin dengan pilihan hidup yang telah diambil. Penghayatan kaul kemiskinan seorang religius harus muncul dari kedalaman hati bukan hanya karena taat pada peraturan atau takut pada dewan pimpinan.

Seorang suster dalam seluruh hidupnya berusaha untuk semakin dewasa dalam penghayatan kaul sebagai konsekuensi dari pilihan hidup. Dalam Konstitusi no. 26 dikatakan:

“pilihan untuk hidup miskin dan sederhana dalam kebersamaan, kita wujudkan dalam ketergantungan pada komunitas, di mana kita berada. Kita adalah manusia bebas, yang berusaha mempertaruhkan diri lewat kesetiaan dan tanggung jawab pribadi dalam hidup bersama. Oleh karena itu, dalam hidup bersama kita diberi ruang gerak untuk prakarsa dan tanggung jawab pribadi”.

Pilihan hidup miskin dan sederhana para suster MASF, menuntut sebuah kesetiaan dan tanggung jawab pribadi, dengan demikian kemiskinan pribadi menjadi daya dorong dalam hidup para suster MASF untuk semakin mencintai


(46)

dan terlebih mensyukuri berkat dan anugerah Tuhan yang dialami dalam panggilan.

Kaul kemiskinan yang dihayati oleh seorang suster menyatakan kesanggupan dirinya untuk menjalankan tugas dan hidup secara bertanggung jawab, terlebih terpanggil untuk terlibat dalam hidup orang lain dengan menaruh perhatian kepada kebutuhan banyak orang tanpa melihat status seseorang. Dan yang lebih penting bahwa penggunaan harta benda bukan karena menjadi kesenangan melainkan karena memang diperlukan untuk menunjang hidup.

Sebagai kaum religius yang menyatakan diri untuk hidup secara miskin dengan menghayati kaul kemiskinan maka seorang suster harus mengerti sungguh dan sanggup hidup apa adanya, tidak mencari-cari apa yang tidak ada. Hidup harus disyukuri dan dijalani dengan sebaik mungkin. Dengan penggunaan harta benda yang tepat serta kesediaan untuk tidak lekat dengan harta benda, menunjukkan adanya penghayatan kemiskinan yang nyata dari seorang religius. Pribadi yang dewasalah yang sanggup untuk menghayati kemiskinan secara lebih baik, karena diharapkan untuk bisa melihat apa yang terpenting dalam hidup.

Menjadi hak kodrat sebagai manusia sehingga pertumbuhan dan perkembangan mereka tergantung atas harta benda. Tetapi lain halnya dengan kehidupan para religius, kemiskinan pribadi sangat penting bagi seorang religius untuk semakin memantapkan panggilannya dalam mengikuti Kristus dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan hidup mereka bisa tercapai yakni pengabdian diri dan hidup kepada Tuhan dan sesama.


(47)

Kemiskinan pribadi akan nampak sejauh mana kita mampu melepaskan hubungan dan tidak memperpanjang kepribadian kepada harta benda. Darminta (1981:52) menegaskan bahwa kemiskinan merupakan hak istimewa dari seorang yang sangat dewasa, yang tidak memerlukan untuk memperpanjang kepribadiannya kepada harta benda. Mereka sudah sampai kepada taraf, dimana mereka merasa sudah penuh dan lengkap dalam hidupnya sendiri”.

Kemiskinan pribadi dibedakan dengan adanya tanda-tanda nampak secara lahiriah, sehingga kemiskinan diartikan tidak memiliki hubungan moral pada harta benda. Tetapi tetap bisa menggunakan barang untuk menyempurnakan kepribadian. Disini kemiskinan dilihat sebagai sarana untuk hidup dan pelayanan. Jadi inti dari kemiskinan hidup religius yaitu harus bekerja untuk hidup. Tidak juga berlebihan, punya cukup untuk tugasnya, bukan untuk dimiliki.

Sebagai seorang religius yang berkaul tentunya memiliki konsekuensi untuk rela memberi dan berbagi hasil yang diperolehnya untuk keperluan sesama dalam komunitas maupun sesama yang dilayaninya. Dengan pemberian dana dari personal kepada kumunitas atau kepada yang membutuhkan akan lebih terasa bahwa kita sanggup melepaskan apa yang ada pada diri kita demi kepentingan orang lain yang lebih membutuhkannya.

Keputusan dan keinginan untuk lebih memperhatikan sesama mengandaikan keputusan pribadi bukan hanya keputusan bersama sehingga terbangunlah persaudaraan di dalam komunitas dan lingkungan, karena kenyamanan dan damai yang dibangun dalam hidup bukan terletak pada milik dan


(48)

harta kekayaan melainkan pada persaudaraan yang dibangun melalui harta benda tersebut.

b. Kemiskinan Karya

Kongregasi MASF memiliki sasaran utama dalam pelayanan yakni pelayanan terhadap kaum miskin. Kaul kemiskinan yang dihayati oleh para suster MASF mendorong untuk terlibat dengan kaum miskin. Dalam menjalankan tugas setiap harinya para suster selalu menyerahkan segalanya dihadapan Tuhan, percaya bahwa Tuhan selalu terlibat dalam setiap tugas dan hidup para suster.

Menghayati kaul kemiskinan bagi para suster MASF bukan hanya diwujudkan dengan hidup ditengah kaum miskin. Kemiskinan itu lebih utama dihayati ditengah Komunitas para suster MASF. Setiap para suster mengambil bagian untuk bisa menghidupi kelangsungan hidup dengan terlibat dalam karya Kongregasi sehingga keterlibatan tersebut bisa menopang kebutuhan hidup masing-masing Komunitas. Sejak dalam perjanjian lama, Allah menyatakan diri sebagai Allah kaum miskin. Yesus juga mengutamakan kaum miskin. Kita mewujudkan sikap hidup ini dengan memperhatikan kaum miskin dan bersikap sederhana. Kekayaan jasmani dan rohani, kita gunakan bersama bagi orang lain. Kita terbuka menerima tamu dan berani melepaskan apa saja yang menghambat kehidupan sejati. Dengan demikan, Allah melimpahkan berkat-Nya kepada kita (Konst. No.24).


(49)

c. Kemiskinan Komunitas

Penghayatan kemiskinan pribadi juga menjadi sikap kemiskinan Komunitas. Kemiskinan Komunitas bukan hanya dilihat pada harta benda yang dimiliki oleh Komunitas, pada zaman ini kemiskinan diletakkan pada perspektif hubungan antara pribadi yang menuntut sikap rendah hati, pelayanan, hamba dan pengosongan diri. Sikap seperti ini diharapkan suatu saat akan memberi dampak dalam kehidupan Komunitas untuk lebih menemukan bentuk yang sesuai dengan kesadaran akan nilai kaul kemiskinan. Perlu diperhatikan dan direfleksikan lebih dalam lagi pendapat dari Darminta ( 1981:54) yang mengatakan:

“ada hal yang tidak dapat ditawarkan lagi, ialah bahwa Komunitas sendiri harus merupakan komunitas yang ramah, rendah hati, mengundang orang yang lewat dan melihatnya; ramah tidak hanya pada orang-orangnya, tetapi juga gaya hidup didalamnya, bahkan sampai pada bentuk rumahnya pula”.

Berdasarkan pendapat di atas, sejauh ini banyak Komunitas yang sudah nampak punya perubahan, sehingga Komunitas religius maupun biara bukan lagi menjadi sesuatu yang asing bagi yang lain khususnya bagi kaum awam, melainkan semakin terbuka akan kehadiran orang lain.

Di dalam Komunitas, para suster harus saling melengkapi dan saling berbagi serta dengan rendah hati mengakui keterbatasan. Darminta (1975:60) menegaskan:

“pengakuan keterbatasan diri sendiri dan orang lain akan membawa sikap tidak tegang dalam hidup dan gembira dan tidak muram, sebab hilanglah kekhawatiran, yang membuat kita takut untuk berbuat sesuatu, karena ada prasangka jangan-jangan orang lain akan terlukai atau tersinggung”.


(50)

Dengan demikian kita sadar bahwa masing-masing suster mempunyai arti dan nilai sehingga satu dengan yang lainnya saling menghormati. Kita terbuka terhadap orang lain dengan memberi perhatian dan pengertian terhadap mereka.

Kemiskinan Komunitas mengajak para suster untuk semakin mampu menumbuhkan rasa solider dan terlibat dalam kehidupan orang lain sebagaimana dikatakan dalam Konstitusi sebagai Kongregasi Misi, kita mempunyai tugas lebih dari yang lain, yakni menjadi lebih solider dengan semua orang di dunia, dengan mereka yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Oleh karena itu, kita harus hidup sederhana serta membatasi keinginan-keinginan kita (Konst.no.112)

Dari pernyataan di atas jelas bahwa para suster MASF memiliki tugas yang lebih penting yang berguna bagi kehidupan orang lain demi terwujudnya kerajaan Allah. Solider lebih diungkapkan dengan hidup sederhana dan membatasi apa yang menjadi keinginan-keinginan, misalnya dengan menggunakan barang seperlunya, tidak lagi terikat dengan barang dan harta benda yang ada.

B. Persaudaraan MASF

Para suster MASF sebagai Kongregasi yang menghayati semangat keluarga kudus Nasareth, oleh sebab itu sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan. Persaudaraan MASF ini yang telah membangun dan mempersatukan segala perbedaan yang ada, seperti perbedaan sikap, budaya, suku dan bahasa. Persaudaraan juga mendorong satu sama lain saling terbuka, memahami dan merasa nyaman berelasi dengan para suster dalam hidup berkomunitas dan karya.


(51)

1. Spiritualitas Persaudaraan MASF

Bagi para suster MASF untuk menciptakan dan menumbuhkembangkan rasa persaudaraan dalam hidup bersama maka pentingnya menghayati visi misi dan kharisma Kongregasi.

a. Visi dan Misi

Demi terwujudnya persaudaraan, maka Kongregasi secara bersama-sama menghidupi dan berpedoman pada arah dan tujuan yang jelas (kumpulan doa MASF 2012:

iv

), sehingga dirumuskanlah Visi dan Misi Kongregasi MASF: Visi : Wanita religius yang dijiwai oleh semangat Keluarga Kudus, Adorasi, dan

misi dipanggil Tuhan untuk mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini. Misi : Menghadirkan Kristus dalam pelayanan kepada mereka yang miskin dan

lemah, terutama kaum wanita dan anak-anak.

Dengan adanya Visi dan Misi ini maka masing-masing anggota Kongregasi mengusahakan untuk semakin mampu mencipta dan membangun persaudaraan dalam Kongregasi dan terlebih dalam Komunitas. Sebagai suatu Kongregasi sudah jelas memiliki tujuan yang sama untuk lebih menghayati dan mendalami apa yang menjadi kesepakatan bersama dalam Kongregasi. Visi Dan Misi menjadi suatu aturan yang mengedepankan tujuan yang sama dalam menjalani seluruh hidup dan karya dalam Kongregasi.

b. Kharisma

Masing-masing Kongregasi memiliki kharisma yang sesuai dengan kharisma pendiri. Kharisma pendiri harus dihidupi dan dihayati oleh setiap


(52)

anggota. Kharisma dari Kongregasi MASF yaitu daya kekuatan kasih Kristus yang mengosongkan diri dan kasih keibuan Maria menggerakkan kita untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia lemah dan tak berdaya, sebagai citra Allah.

Dalam usaha mewujudkan kharisma tersebut maka para suster MASF melakukannya dengan cara:

(1) Memberdayakan (INKARNASI)

(2) Menyembuhkan dan membebaskan (MISIONER)

(3) Merelakan diri untuk memberi hidup bagi orang lain (EKARISTI) dengan kepenuhan hati

(4) Masing-masing membawa pergumulannya bersama anggota komunitas ke hadirat Bapa (ADORASI) “Hatiku untukmu-untuk-Mu sehingga dapat menampakkan kehadiran kerahiman Allah yang berbelarasa.

Adapun wujud konkret dari kharisma itu diungkapkan dan nampak dalam kerasulan dibidang : pendidikan, kesehatan, pastoral dan sosial. Dengan demikian nampak jelas, bahwa kharisma itu bersifat fungsional, karena diwujud nyatakan dalam konteks gerakan Allah demi pembangunan Gereja dan pengabdian kepada umat manusia.

2. Penghayatan Persaudaraan Dalam Komunitas MASF

Bagi Kongregasi MASF persaudaraan sangat ditekankan dalam hidup bersama, baik dalam Kongregasi maupun di tempat karya. Keluarga kudus menjadi inspirasi serta teladan hidup para suster MASF. Keluarga yang sederhana dan hidup dalam kerukunan antara satu dengan yang lainnya. Keluarga kudus


(53)

Yesus, Maria dan Yusuf hidup bertahun-tahun lamanya secara tersembunyi dengan sikap taat, patuh dan rela melayani. Dalam setiap Komunitas, antar Komunitas dan antar tingkat pimpinan, hendaknya ada tukar pikiran dengan semangat kerjasama yang baik, juga di luar lembaga resmi dengan menghormati hak dan wewenang masing-masing (Konst.no.107).

Bertolak dari spiritualitas Pater pendiri Kongregasi Suster Misi dan Adorasi dari Santa Familia (Antonius Maria Trampe) maka persaudaran dapat didasarkan pada tiga tonggak, yakni misi (perutusan), adorasi dan santa familia. a. Misi (perutusan)

Seperti yang ditekankan dalam konstitusi no.13 tentang perutusan sebagai anggota MASF:

“Kita mengabdikan diri untuk hidup menggereja lokal maupun universal yang berarti kita peka terhadap dambaan umat akan kesatuan dan persaudaraan. Pedoman kita adalah sikap menghargai, memahami perbedaan, dan menciptakan perdamaian. Kita berpangkal pada Yesus Kristus yang melimpahkan Roh-Nya bagi kita”.

Sikap membuka diri dan siap diutus kemana saja untuk mewartakan kabar gembira, serta selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi zaman di mana kita berada.

b. Adorasi (sembah sujud)

Semangat Adorasi atau sembah sujud diuraikan dalam konstitusi no. 12

13 sebagai berikut:

“Kita percaya bahwa Kristus dengan berbagai cara menyatakan kehadiran-Nya diantara kita, dalam sabda dan sakramen, dalam seluruh kehidupan Gereja dan dimana manusia dapat memancarkan cinta kasih Kristus dalam


(54)

cinta kasih kepada sesama. Tetapi puncak kehadiran-Nya diantara kita, kita muliakan didalam perayaan ekaristi. Di situ Ia menyerahkan diri kepada kita dan mengikutsertakan kita dalam tanda yang merangkum seluruh hidup-Nya: “Tubuh-Ku, Darah-Ku, Hidup-Ku untukmu.” Maka dari itu ekaristi menjadi pusat hidup kita”.

Ekaristi itu pertama-tama, perayaan dan perbuatan di mana Kristus menciptakan kita menjadi satu tubuh dalam diri-Nya. Dalam perayaan itu Kristus juga menjamin kehadiran-Nya yang tetap diantara kita: “siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, tetap tinggal didalam Aku, dan Aku didalam dia” (Yoh 6:57). Kita dapat menghayati dan mengungkapkan keterikatan yang tetap kepada Kristus dengan pelbagai macam cara, tetapi kita dalam menghayati keterikatan itu ingin memusatkan pada ekaristi sebagai sakramen tetap, yang dalam tanda Roti Hidup dalam setiap kali menunjukkan pada pusat kehidupan kita: “Kristus dalam ungkapan cinta sampai sehabis-habisnya” (Konst. no. 13). Sembah sujud dihadapan Sakramen Maha Kudus merupakan sikap dan penghayatan hidup doa untuk menimba kekuatan rohani dari Yesus yang hadir dalam Roh dan kebenaran.

c. Santa Familia (Keluarga Kudus Nasareth)

Keluarga Kudus ditandai oleh kesederhanaan, tekun bekerja, cinta dan selalu berhubungan dengan Bapa. Keluarga kudus hidup dalam ketidakpastian mereka dikejar, diusir dan dianiaya, tetapi mereka tetap bersandar kepada iman akan Allah. Demikian harusnya hidup kita, berani terlibat dalam realitas kehidupan. Keluarga Kudus dan bersama banyak orang lain merupakan keluarga besar yang menantikan dengan penuh iman Almasih yang dijanjikan serta harapan akan Yerusalem baru, kota kudus di atas gunung, tujuan segala bangsa dan hanya


(55)

di situlah ada kedamaian. Oleh karena itu, kita ingin saling meneguhkan dalam harapan (Konst. No.11).

Jadi hubungan Yesus dan Maria dan Yusuf dijadikan sebagai teladan dan menekankan pada semangat kekeluargaan, kesederhanaan, keterbukaan, mengarahkan hati pada kehendak Allah Bapa dalam doa dan perutusan dan terlibat dalam gerak langkah dunia dan tanda-tanda zaman.

3. Penghayatan Persaudaraan Dalam Gereja

Persaudaraan menjadi salah satu ajaran yang diajarkan Gereja kepada setiap manusia di dunia ini. Gereja itu di dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia (LG, 1). Dengan persaudaraan antara sesama, maka akan terciptalah perdamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan kita. Kita sebagai Gereja umat Allah sudah sepantasnya menjadi pelopor untuk menciptakan persaudaraan dengan siapa saja, tanpa melihat agama, budaya dan status sosial seseorang.

Bagi Yesus semua orang sama. Dalam persaudaraan kita perlu saling melayani, saling membasuh kaki seperti yang telah dilakukan oleh Yesus kepada kedua belas murid-Nya (Yoh 13:14:15). Hal ini akan terwujud apabila kita bisa menghargai yang lain; melayani dalam persaudaraan, menerima kelebihan dan kekurangan sesama. Persaudaraan akan mendukung hidup bersama tugas pelayanan, hidup doa dan hidup karya.

Kaum religius yang hidup dalam suatu komunitas, dipanggil untuk membangun komunitas persaudaraan. Perbedaan antara satu dengan yang lain,


(56)

bukan lagi menjadi penghalang dalam persaudaraan. Dasar persaudaraan kita di Tarekat adalah bahwa kita yang berbeda-beda ini sama-sama dipanggil Tuhan Yesus yang sama (Mrk 3:13-19). Suparno (Rohani 2005:37) menegaskan:

“kesadaran kita masing-masing dipanggil Tuhan dan disatukan oleh Tuhan dalam tarekat yang sama itulah menyatukan kita. jadi bukan karena kita mempunyai kesamaan bakat, sifat atau tindakan. Hubungan pribadi dengan Yesuslah yang menjadi pemersatu persaudaraan kita. Maka bila dalam hidup bersama di tarekat kita menginginkan semua orang sama seperti kita, atau menilai semua orang dengan ukuran kita sendiri, jelas tidak tepat bahkan dapat salah”.

Dengan demikian kita disatukan oleh karena panggilan Tuhan kepada kita masing-masing, selain itu kesatuan spritualitas Tarekat yang kita hayati juga mendukung untuk terciptanya persaudaraan. Kita berbeda-beda tetapi dengan kemauan dan kesediaan kita bekerjasama untuk mengembangkan Kongregasi dan melaksanakan tugas perutusan bersama.

4. Persaudaraan Dalam Perbedaan

Penerimaan perbedaan dan kekhasan dari masing-masing akan menciptakan persaudaraan yang lebih mendalam dan kuat dalam Kongregasi. Dengan mau menerima perbedaan yang ada akan menjadi mudah dari pada memaksa mereka untuk bisa seperti kita. Karena kita tidak akan bisa mengubah pribadi orang lain menjadi seperti kita.

Menurut Suparno (2005:38-39), cara-cara yang lebih mudah untuk menerima teman yang berbeda dalam Kongregasi adalah:

1) Menyadari bahwa teman-teman kita adalah ciptaan Tuhan yang unik, yang baik dan berharga.


(57)

2) Berusaha selalu mencoba melihat segi positif dari teman-teman kita dan mencoba menghentikan mencari yang negatif.

3) Bayangkan seandainya di Kongregasi semua orang persis sama seperti kita. Kita akan mudah bosan karena dimana-mana ketemu orang yang sama seperti kita.

4) Perlu belajar menyadari bahwa diri kita tidak selalu sempurna. Bahkan kita dapat menyadari bahwa kita banyak tidak sempurna.

5) Perlu sering merefleksikan hidup kita bersama bahwa kita tidak dapat hidup sendiri.

Berdasarkan beberapa cara mengenai penerimaan teman yang berbeda dalam Kongregasi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penerimaan teman yang berbeda adalah sebuah proses yang terus menerus disadari dan selalu diusahakan dalam kehidupan kita setiap saat sebagai anggota Kongregasi itu sendiri. Kita adalah makhluk sosial yang tidak mungkin bisa hidup sendiri tanpa orang lain.

Perbedaan yang ada bukan menjadi sesuatu yang menghambat kita dalam hidup bersama dengan teman, melainkan menjadi suatu kesempatan yang baik untuk banyak belajar satu sama lain. Perbedaan memberi kekayaan untuk semakin menghargai dan menghormati sesama.

Komunitas religius sebenarnya sebuah persaudaran dalam Kristus. Persaudaraan itu mewujudkan diri dalam kasih kristiani. Kasih itu pada pokoknya searah, sejurusan saja dan tidak timbal balik. Kepentingan saudara dalam Kristus selalu diutamakan, entah ada balasan atau tidak. Kalau persaudaraan itu berhasil


(58)

dihayati, maka semua anggota dapat mengatasi dan melampaui segala ikatan wajar dan alamiah yang barangkali menghalangi persaudaraan dalam Yesus Kristus (Groenen, 1982: 296-2970)

C. Kemiskinan Demi Dan Dalam Persaudaraan 1. Harta Milik Allah

Harta yang dimiliki oleh kaum religius diharapkan menjadi dasar untuk lebih memuliakan Tuhan, dengan kesediaannya untuk masuk dalam Kongregasi yang telah dipilihnya tentunya memiliki ketentuan-ketentuan dalam hal penggunaan harta yang diperolehnya. Sesuai dengan aturan-aturan dalam Kongregasi bahwa apa yang dimiliki oleh anggota Kongregasi akan mutlak menjadi milik Kongregasi, sebagaimana yang telah dibuat dalam surat wasiat masing-masing anggota.

Menyadari bahwa harta miliki Allah maka kaum religius dengan iklas hati untuk memilih dan memutuskan lepas dari harta benda, dan harta benda tersebut diserahkan kepada Kongregasi sebagai bentuk solidaritas dengan semua orang, seperti yang tertulis dalam konstitusi MASF berikut ini sebagai kongregasi Misi, kita mempunyai tugas lebih dari yang lain, yakni menjadi lebih solider dengan semua orang di dunia, dengan mereka yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Oleh karena itu, kita harus hidup sederhana serta membatasi keinginan-keinginan kita”. (Konst. 2008:112).

Solider dengan semua orang di dunia, terlebih mereka yang miskin sebagai bentuk nyata dari pelayanan kaum religius, mereka perlu diperhatikan karena mereka sungguh-sungguh membutuhkan bantuan dari kita. Membantu orang


(59)

miskin berarti kita telah mengambil bagian dari tugas Yesus yakni meringankan beban sesama yang menderita.

Menurut Darminta (2012:04), dalam hal harta benda dan kebutuhan hidup, Gereja selalu membatasi diri pada menunjukkan secara umum prinsip dasar yang harus dianut, dan perlunya setiap orang atau kelompok mengadakan penegasan dan pilihan sendiri sesuai dengan makna, tempat dan peran. Oleh sebab itu kaum religius menjadi pribadi yang tegas dan tahu dalam penggunaan harta benda yang ada, artinya bahwa harta benda sebagai suatu sarana yang mendukung dalam tugas pelayanan.

2. Harta Untuk Kesejahteraan Bersama

Dalam Kongregasi MASF, masing-masing anggota diharapkan untuk bisa membantu kehidupan anggota lain yang ada dalam Komunitas, sehingga apapun bentuk harta yang diperoleh baik berupa barang maupun gaji akan menjadi milik bersama. Sebagai Kongregasi yang menimba semangat persaudaraan keluarga kudus sudah menjadi suatu keharusan untuk menekankan kebersamaan dan persaudaraan dalam hidup bersama. Demikianlah semua anggota Kongregasi sebagaimana terdapat dalam aturan hidup (Konst.110) yang menegaskan:

“sebagai anggota persekutuan yang diinspirasi oleh semangat injil, kita mau solider dalam segala hal. Titik tolak dan tolok ukur untuk itu adalah perhatian sungguh untuk semua anggota kongregasi, semua orang maupun dengan siapa dan untuk siap kita bekerja. Oleh karena itu, kita ingin membagi harta rohani maupun harta material dengan sesama”.

Solider dengan sesama merupakan sikap baik yang perlu dipertahankan oleh para suster MASF, terlebih kepada mereka yang membutuhkan bantuan kita,


(1)

(23) Lampiran 12: Tabel Coefficents

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B

Std.

Error Beta

1 (Constant) .043 7.214 .006 .995

Penghayatan Kaul

Kemiskinan .974 .067 .885

14.48

1 .000 a. Dependent Variable: Persaudaraan


(2)

(24) Lampiran 13: Tabel Correlations

Persaudaraan

Penghayatan Kaul Kemiskinan Pearson

Correlation

Persaudaraan 1.000 .885

Penghayatan Kaul

Kemiskinan .885 1.000

Sig. (1-tailed) Persaudaraan . .000

Penghayatan Kaul

Kemiskinan .000 .

N Persaudaraan 60 60

Penghayatan Kaul


(3)

(25) Lampiran 14: Tabel ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig. Persaudaraan *

Penghayatan Kaul

Kemiskinan

Between Groups

(Combined)

6022.650 29 207.678 11.23

1 .000 Linearity

5152.380 1 5152.380 278.6

33 .000 Deviation

from Linearity

870.270 28 31.081 1.681 .083

Within Groups 554.750 30 18.492


(4)

(26)

Lampiran 15: Kisah Perjalanan Hidup Panggilanku (Oleh Fr Robertus Yudi, O Carm)

Misteri panggilan Tuhan bagi saya

Kehidupan di biara memang kelihatan “berat”, namun kita dapat bersama-sama melihat ke dalam kehidupan kita masing-masing adakah hidup kita saat ini selalu terasa enak dan tidak memberatkan? Apapun pilihan hidup kita, kita selalu mengalami konsekuensi bebasnya, konsekuensi yang muncul karena pilihan bebas kita. Setiap pilihan hidup kita akan selalu memiliki sisi menyenangkan maupun sisi yang kurang menyenangkan. Inilah yang dinamakan kehidupan.

Banyak orang berkata bahwa pilihan untuk menjalani hidup selibat itu berat dan tidak menyenangkan, apakah Anda setuju dengan pernyataan ini? Selama manusia hidup di dunia akan selalu mengalami dua hal, yaitu yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Saya mengalami bahwa hidup panggilan sebagai seorang selibat haruslah sungguh-sungguh didasarkan pada panggilan Tuhan sendiri. Inilah prinsip utama yang menurut saya harus dipegang oleh setiap orang yang tertarik dengan panggilan hidup selibat, untuk melayani dan bekerja di kebun anggurNya.

Saya akan menggambarkan maksud dari “panggilan Tuhan” tersebut. Panggilan Tuhan ini saya sering menganalogikannya dengan suara batin atau suara hati. Panggilan hidup sebagai seorang selibat haruslah merupakan suatu gerakan hati, dan itulah sebabnya mengapa panggilan itu disebut suatu misteri karena memang “tidak jelas” bahkan bagi diri si terpanggil sekalipun. Saya mengambil contoh dari kisah hidup saya sendiri. Saya merasa terpanggil ketika saya akan lulus SMA. Pada kisah panggilan hidup saya di atas, saya merasa terpanggil setelah saya mendengarkan sharing dari seorang suster. Saya merasakan adanya suatu gerakan hati untuk terus melangkah melanjutkan panggilan saya. Saya merasa bahwa Tuhan masih menginginkan saya untuk lanjut, dan ini jugalah yang menjadi pegangan saya sampai hari ini bahwa saya “MERASA” Tuhan masih memanggil saya. Maka walaupun saya harus mengalami banyak sekali kesulitan dalam menjalani hidup panggilan saya ini, saya masih dapat bertahan sampai hari ini karena saya “merasa” Tuhan masih memanggil saya. Pengalaman merasa ini adalah sangat individu bagi setiap pribadi dan mungkin akan dialami atau dirasakan secara berbeda-beda oleh setiap orang. Sebab Tuhan sering bekerja secara sangat personal dalam kehidupan kita. Walau kadang Tuhan juga bekerja di dalam dan melalui komunitas. Hanya kita masing-masing yang mampu mengenali rasa “merasa” itu dan perasaan itu tidak selalu mudah untuk dibagikan kepada orang lain yang tidak merasakannya atau mengalaminya dalam bentuk yang berbeda.


(5)

(27)

Saya mengatakan bahwa panggilan itu misteri bahkan bagi diri si terpanggil sekalipun, maksudnya bagi diri orang-orang yang sudah menjalani hidup membiara atau sebagai rohaniwan (bukan yang baru tertarik dengan hidup selibat). Ini karena saya sendiri dapat mengatakan bahwa saya pun belum sepenuhnya yakin bahwa saya sungguh-sungguh terpanggil, juga semua orang yang hidup selibat pasti akan mengalami pergulatan ini setiap hari. “Panggilan itu

sekuat jawabannya”. Kalimat ini sungguh menginspirasi saya, bahwa

kesungguhan panggilan Tuhan ini dipengaruhi oleh jawaban kita. Kami memang belum yakin sepenuhnya apakah Tuhan sungguh-sungguh memanggil kami, maka dari itu kami harus membarui jawaban “YA” kami setiap hari.

Lalu adakah indikasi-indikasi yang mampu membuat para kaum selibater ini masih merasa yakin bahwa Tuhan masih memanggil mereka? Jawabannya: ya ada! Kita ambil contoh kasus hidup saya sendiri saja, walaupun saya harus mengalami banyak sekali kesulitan dalam belajar, bersosialisasi, berdamai dengan diri saya sendiri, relasi dengan Tuhan, dan sebagainya. Namun, saya masih dapat bertahan hingga sekarang walaupun saya mengalami bahwa hidup sebagai seorang selibat itu berat, saya masih merasakan bahwa Tuhan sungguh memberkati hidup saya di tempat yang saat ini saya pilih. Tuhan masih memberi saya KEBAHAGIAAN dan sekian banyak RAHMAT serta ANUGERAH kehidupan. Inilah dua kunci atau indikator yang dapat dijadikan patokan bagi seseorang bahwa memang jalan hidup yang dialaminya saat ini sungguh merupakan pilihan hidup yang tepat bagi dirinya. Saya merasakan kebahagiaan karena selama ini saya mengalami banyak sekali perubahan dalam hidup saya. Saya kini tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa dan mandiri. Menjadi pribadi yang percaya diri dan berani. Semua hal ini belum tentu akan saya dapatkan jika saya tidak berada di biara. Saya juga dapat mengenal dan bertemu dengan banyak orang, mencintai banyak orang dengan tidak eksklusif. Inilah anugerah-anugerah dan kebahagiaan yang saya rasakan selama saya menjalani hidup panggilan saya di biara ini.

Jadi, apapun pilihan hidup kita saat ini, satu hal yang harus selalu kita pegang sebagai prinsip hidup kita bahwa kita harus selalu bertanya setiap hari kepada diri kita sendiri: Apakah aku bahagia dengan hidupku saat ini? Tidak ada bentuk kehidupan di dunia ini yang sepenuhnya hanya berisi hal-hal yang menyenangkan, bahwa selama manusia hidup di dunia ini haruslah berjuang dan perjuangan ini menandakan bahwa kehidupan ini memang sungguh berat! Tuhan sendiri mengundang kita untuk selalu datang kepadaNya, seperti yang Ia ungkapkan dalam Matius 11:28, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu”. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan kita nanti, apa yang Tuhan rencanakan bagi hidup kita kelak. Satu hal dapat kita lakukan sebagai manusia adalah selalu ikut kehendak Tuhan, caranya dengan berpasrah. Inilah yang menjadi pegangan hidup saya saat ini, bahwa menjadi apa saya kelak semua saya serahkan kepada rencana dan kehendak Tuhan sendiri. Bagaimana cara supaya kita dapat sedikit “tahu” terhadap rencana Tuhan ini dalam hidup kita? Yaitu dengan berdoa, menjalin relasi yang mendalam


(6)

(28)

dengan Tuhan. Sebagaimana diteladankan oleh banyak nabi-nabi di perjanjian lama, salah satunya nabi Elia.

Terus bergantung kepada Tuhan sepanjang sisa perjalanan yang menentukan

Kini, kami satu angkatan hanya tinggal 4 orang (sebelumnya 13 orang) dan kami semua harus berjuang dengan persoalan diri kami masing-masing. Khususnya saya yang memang sudah mendapat ultimatum bahwa saya harus segera melakukan perubahan dalam waktu 1 tahun ke depan ini, jika tidak ingin dikeluarkan. Bagi saya kenyataan ini memang sangat berat, namun dalam keyakinan saya yang terdalam saya masih mau berharap pada Tuhan. Dalam suatu retret akhir tahun, saya menggunakan kesempatan tersebut untuk memperbaharui niat dan motivasi saya untuk ke depan. Saya ingin kembali memperbaiki relasi doa saya dengan Tuhan yang selama ini terhambat karena krisis yang berkepanjangan. Setelah retret tersebut saya mulai mendapat semangat baru dalam hidup doa saya. Saya sadar bahwa tidak banyak yang dapat saya buat untuk sembuh dari sakit ini, maka dari itu saya hanya dapat berbuat semampu saya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan lewat doa-doa saya. Saya mau percaya bahwa jika memang Tuhan menginginkan saya untuk menjadi imam-Nya, maka IA pasti akan membantu saya untuk dapat keluar dari setiap persoalan yang harus saya hadapi saat ini dan kelak. Saya hanya dapat berpasrah dan membuka diri dan hati saya untuk menerima urapan rahmat kasih-Nya. Saya meyakini satu hal dari Tuhan yang saya ikuti ini, bahwa IA adalah Allah dan Tuhan yang bertanggung jawab. Jika IA memberikan sesuatu hal bagi manusia, maka IA akan menyelesaikannya pula. Jika Tuhan telah memulai sesuatu pekerjaan yang baik di dalam kita, Dia akan meneruskannya sampai pada kesudahannya (Filipi 1:6 "Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus").

Jika Tuhan memberikan saya “sedikit” cobaan ini, maka saya percaya bahwa Tuhan akan membantu saya. Saya percaya dan bahkan saat ini saya mulai merasakan bahwa Tuhan mempunyai maksud di balik semua ini, saya merasakan bahwa sepertinya Tuhan sedang menyiapkan saya untuk sesuatu yang lebih besar di depan saya nanti. Tuhan punya rencana atas hidup setiap manusia di dunia ini, dan saya (serta kita semua) hanya diminta untuk pasrah dan mengikuti saja akan apa yang diminta oleh Tuhan. Apa pun yang terjadi saat ini dalam diri saya dan masing-masing dari kita, biarlah semua itu terjadi, karena Allah peduli! Bahwa semua yang terjadi dalam hidup kita merupakan HADIAH BESAR pemberian Tuhan kepada kita anak-anak-Nya yang terkasih.